Post on 23-Mar-2020
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka
Tradisi mengarak ogoh-ogoh sudah berusia hampir empat dekade, sejak
pertama kali muncul pada awal tahun 1980-an. Meskipun sudah berusia cukup
lama dan pelaksanaannya cukup unik, fenomena pengarakan ogoh-ogoh dalam
rangkaian menyambut kedatangan Tahun Baru Saka dan parade ogoh-ogoh dalam
event-event budaya lainnya belum banyak diteliti. Dari yang sedikit itu, ada
penelitian oleh Prabandari (2009), Mahadewi (2012), Noszlopy (2003) dan
Indrayana (2006).
Sudah menjadi tradisi masyarakat Bali pada umumnya, menjelang Hari Raya
Nyepi disambut antusias oleh generasi muda dengan mempersiapkan ogoh-ogoh
sebagai sarana untuk memeriahkan malam pengerupukan. Masing-masing wilayah
di Bali memiliki cara tersendiri untuk mendukung kreativitas generasi muda
dalam pawai ogoh-ogoh sekaligus untuk menarik minat wisatawan. Prabandari
(2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pawai ogoh-ogoh yang
dilaksanakan sehari menjelang Hari Raya Nyepi di Bali, khususnya di Desa Adat
Kuta, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung memiliki potensi sebagai daya tarik
wisata. Prabandari juga mengungkapkan bahwa pawai ogoh-ogoh mempunyai
peluang pasar yang sangat menjanjikan baik pasar domestik maupun pasar
internasional. Ini berarti pawai ogoh-ogoh sebagai suatu seni budaya yang telah
16
17
menjadi tradisi masyarakat Bali pada malam pengerupukan, memiliki potensi
untuk dijadikan sebagai daya tarik wisata Bali.
Relevansi penelitian yang dilakukan oleh Prabandari (2009) dengan
penelitian ini yakni sama-sama mengkaji tentang potensi pawai ogoh-ogoh
sebagai daya tarik wisata, namun dengan lokasi penelitian yang berbeda.
Prabandari mengadakan penelitian di Desa Adat Kuta, Kecamatan Kuta,
Kabupaten Badung, sedangkan penelitian ini dilakukan di Kota Denpasar.
Selanjutnya, berdasarkan analisis Mahadewi (2012) mengenai event budaya
di Kota Denpasar, dapat diketahui bahwa pawai ogoh-ogoh yang diselenggarakan
sebelum Hari Raya Nyepi dapat dikategorikan sebagai hallmark event,
sebagaimana diuraikan sebagai berikut:
Salah satu atraksi budaya Kota Denpasar yang dapat dikategorikan sebagai
produk event wisata adalah pawai ogoh-ogoh. Ditinjau dari bentuk event,
maka pawai ogoh-ogoh di Kota Denpasar termasuk dalam hallmark event.
Dengan demikian, pawai ogoh-ogoh sebagai event wisata dapat digunakan untuk
mengembangkan citra positif dari daerah tujuan wisata dan untuk menarik
wisatawan. Adapun keterkaitkan penelitian Mahadewi (2012) dengan penelitian
ini adalah memiliki persamaan dengan menggunakan atraksi budaya ogoh-ogoh
sebagai produk event wisata. Jika dalam penelitian Mahadewi berfokus pada
pengkategorian atraksi budaya di Kota Denpasar di mana pawai ogoh-ogoh
merupakan salah satu produk event wisata di Kota Denpasar, maka dalam
penelitian ini lebih menekankan pada implementasi atraksi ogoh-ogoh sebagai
produk event wisata di Kota Denpasar.
18
Meskipun tidak diketahui mengenai tanggal pasti munculnya ogoh-ogoh,
pawai ogoh-ogoh menjelang Hari Raya Nyepi dapat dikatakan sebagai tradisi baru.
Noszlopy (2003) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa ogoh-ogoh telah
menjadi tradisi baru yang sangat populer sebagai bagian dari ritual tahunan yang
berlangsung pada malam sebelum Nyepi. Lebih lanjut, Noszlopy (2003:4)
mendeskripsikan mengenai karakter ogoh-ogoh, sebagai berikut:
These characters vary widely from the ‘traditional’ vocabulary of Hindu
deities, epic heroes and various bhuta kala and raksasa from Balinese
demonology to more contemporary figures drawn from international
popular culture or from contemporary Indonesian society.1
Dapat diketahui bahwa dalam perkembangannya, desain ogoh-ogoh yang semula
mengikuti gaya tradisional yang mengambil wujud bhuta kala (raksasa yang
menyeramkan), kini sebagian mulai dibuat dengan menerapkan gaya desain yang
lebih kontemporer. Adapun relevansi penelitian yang dilakukan oleh Noszlopy
(2003) dengan penelitian ini adalah terletak pada topik yang dikaji, yaitu mengkaji
tentang tradisi ogoh-ogoh sehari menjelang Nyepi. Jika penelitian Noszlopy
(2003) mendeskripsikan karakter ogoh-ogoh tradisional hingga kontemporer,
maka dalam penelitian ini lebih ditekankan pada ogoh-ogoh tradisional yang
berbentuk bhuta kala sebagai tema wajib peserta dalam parade ogoh-ogoh di Kota
Denpasar.
Ogoh-ogoh yang dibuat dalam rangka Hari Raya Nyepi tentunya memiliki
makna spiritual yang terikat pada pakem atau simbol tertentu. Menurut Indrayana
(2006:126-130) ogoh-ogoh dalam ritual Nyepi di Bali mempunyai fungsi:
1 Karakter ogoh-ogoh sangat bervariasi berasal dari demonologi „tradisional‟ Bali, seperti dewa
Hindu, pahlawan epik serta berbagai bhuta kala dan raksasa menjadi bentuk yang lebih
kontemporer yang diambil dari budaya populer internasional atau dari masyarakat Indonesia
yang kontemporer.
19
Fungsi sosial merupakan fungsi yang dimiliki masyarakat pendukung dan
masyarakat penikmat budaya Bali itu sendiri meliputi fungsi kreativitas,
sportivitas, sosial budaya dan pariwisata, sedangkan fungsi estetik adalah
estetik-religius.
Dalam ritual Nyepi, ogoh-ogoh berfungsi wahana simbolis untuk menetralisasi
berbagai pengaruh kekuatan negatif. Dalam proses pembuatan dan mengarak
ogoh-ogoh tidak dapat dilakukan seorang diri melainkan melibatkan banyak orang.
Persatuan dan kerjasama ini tersirat terutama pada saat ogoh-ogoh diarak keliling
banjar maupun desa. Ini menunjukkan bahwa dalam pembuatan ogoh-ogoh
sesungguhnya tidak hanya untuk mencurahkan ide yang kreatif dan inovatif,
namun juga ada simbol persatuan dan kerjasama yang terkandung di dalamnya.
Topik yang dikaji dalam penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Indrayana (2006), yaitu sama-sama mengkaji tentang ogoh-
ogoh, namun berbeda pada sudut pandang pengkajian dan lokasi penelitian.
Penelitian Indrayana merupakan sebuah kajian budaya yang mengkaji mengenai
bentuk, fungsi dan makna dari ogoh-ogoh ritual Nyepi dengan lokasi penelitian di
Desa Adat Kuta. Sedangkan penelitian ini dilihat dalam sudut pandang kajian
pariwisata yang mengkaji mengenai fungsi ogoh-ogoh pada fungsi kreativitas dan
fungsi pariwisata sehingga selain berfungsi untuk memberikan ruang gerak bagi
pengembangan dan pelestarian budaya oleh masyarakat Bali khususnya generasi
muda Kota Denpasar sekaligus juga sebagai penunjang program pemerintah
dalam mempromosikan kepariwisataan di Kota Denpasar.
Perangkat daerah sebagai unsur pembantu walikota/bupati dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah tentunya menjalankan berbagai program
dan kegiatan yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dinas untuk mendukung
20
visi dan misi yang ditetapkan oleh kepala pemerintahan daerah. Salah satunya
melalui penyelenggaraan program-program unggulan untuk mengembangkan
kepariwisataan daerah. Dalam penelitian Nugraha (2012) disebutkan bahwa :
Pemerintah Kota Denpasar telah merancang program Sightseeing Kota
Denpasar sebagai program unggulan yang diimplementasikan melalui
penyelenggaraaan event-event seni dan budaya.
Melalui penyelenggaraan event-event ini diharapkan selain berfungsi untuk
memberikan ruang bagi masyarakat berkreativitas juga sekaligus mempromosikan
kepariwisataan di Kota Denpasar. Lebih lanjut, Nugraha (2012) dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa bentuk program Sightseeing Kota Denpasar
belum terimplementasi secara optimal karena banyak kegiatan promosi dari
program tersebut tidak maksimal dikarenakan kurangnya koordinasi antarpihak
penyelenggara dan juga kurang maksimalnya partisipasi pemerintah dalam event-
event promosi bertaraf internasional.
Adapun relevansi penelitian Nugraha (2012) dengan penelitian ini yakni
penggunaan event sebagai topik penelitian. Namun dalam penelitian ini ruang
lingkup lebih difokuskan pada parade ogoh-ogoh sebagai salah satu event yang
dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan Kota Denpasar.
Untuk mengidentifikasi keberhasilan maupun kegagalan suatu
program/kegiatan, evaluasi merupakan salah satu komponen penting dan
mempunyai peranan yang besar. Dinas daerah sebagai perangkat daerah yang
menjalankan suatu program atau kegiatan tentunya juga melakukan evaluasi,
sebagaimana yang diuraikan dalam penelitian Krisnawati (2011) dan Kencana,
Mardianto & Junaidi (2012).
21
Krisnawati (2011) menekankan evaluasi program komunikasi pemasaran
pariwisata oleh Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kabupaten
Pati Jawa Tengah, sedangkan penelitian Kencana, Mardianto & Junaidi (2012)
lebih menitikberatkan pada evaluasi program pengembangan objek wisata Goa
Putri di Desa Padang Bindu Kecamatan Semidang Aji. Kedua peneliti sama-sama
menekankan pada evaluasi program dengan menggunakan model evaluasi CIPP
yang dikembangkan Stufflebeam dalam menganalisis evaluasi.
Berdasarkan indikator evaluasi Stufflebeam, hasil penelitian Krisnawati
(2011) mendeskripsikan bahwa hanya produk dari masing-masing program telah
menunjukkan keberhasilan sesuai tujuan program, sedangkan ditinjau dari konteks,
input dan proses masih diperlukan adanya perbaikan di masa mendatang.
Sebaliknya Kencana, Mardianto & Junaidi (2012) menguraikan bahwa program
telah menunjukkan keberhasilan dari segi konteks, proses dan produk, hanya saja
jumlah sumber daya yang dimiliki serta anggaran operasional sebagai input dari
masing-masing program masih kurang.
Melalui penelitian Krisnawati (2011) dan Kencana, Mardianto & Junaidi
(2012) dapat diketahui bahwa dengan dilaksanakannya evaluasi secara
menyeluruh ditinjau dari segi konteks, input, proses dan produk maka dapat
diketahui kelemahan maupun keberhasilan dari suatu program. Hasil evaluasi ini
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan kebijakan
selanjutnya terkait dengan keberlanjutan program yang telah dilaksanakan.
Persamaan penelitian Krisnawati (2011) dan Kencana, Mardianto & Junaidi
(2012) dengan penelitian ini terletak pada penggunaan model evaluasi CIPP untuk
22
menganalisis data, sedangkan perbedaannya pada ruang lingkup objek yang
diteliti. Krisnawati (2011) dan Kencana, Mardianto & Junaidi (2012) sama-sama
meneliti mengenai evaluasi program sedangkan dalam penelitian ini lebih
ditekankan pada evaluasi kegiatan.
Setelah mengkaji beberapa penelitian di atas yang terkait dengan penelitian
ini terdapat perbedaan dan persamaan di dalamnya. Persamaannya terdapat pada
topik kajian yang diteliti, yaitu fungsi ogoh-ogoh ritual Nyepi sebagai event
wisata dan mengenai evaluasi. Fokus permasalahan dan lokasi penelitian
(walaupun ada beberapa penelitian yang lokasinya sama dengan penelitian ini)
merupakan perbedaan dalam penelitian ini. Pada penelitian ini lokasi yang dipilih
adalah Kota Denpasar. Sedangkan, fokus permasalahan dalam penelitian ini
adalah mengenai implementasi parade ogoh-ogoh, kontribusi parade ogoh-ogoh
dan strategi terkait pelaksanaan parade ogoh-ogoh.
2.2 Konsep
Untuk memperjelas apa yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka
dipandang perlu untuk menguraikan beberapa konsep dasar yang berkaitan
dengan penelitian. Secara umum konsep yang digunakan dalam suatu penelitian
adalah konsep teoritis dan konsep operasional. Konsep teoritis merupakan
penjelasan secara teoritis tentang konsep variabel inti yang digunakan dalam
penelitian. Sedangkan konsep operasional merupakan penjelasan dan deskripsi
secara operasional terukur dari masing-masing variabel inti yang digunakan.
Adapun konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
evaluasi kegiatan, parade ogoh-ogoh dan pengembangan pariwisata budaya.
23
2.2.1 Evaluasi Kegiatan
Evaluasi merupakan suatu kegiatan yang penting, akan tetapi sering
dikesampingkan karena dianggap mencari kesalahan, kegagalan maupun
kelemahan kegiatan. Para pakar evaluasi telah mengemukakan berbagai definisi
mengenai evaluasi dengan formulasi yang berbeda, namun dengan substansi yang
sama, di antaranya oleh Tyler (1930) dan Alkin (1990).
Definisi dan teori evaluasi pertama kali disampaikan oleh Ralph Winfred
Tyler (Bapak Evaluasi) pada awal tahun 1930-an dan berkembang menjadi suatu
cabang ilmu yang mandiri. Tyler (dalam Wirawan, 2012:5) mengemukakan
definisi dan teori evaluasi yang memfokuskan pada penilaian keberhasilan
ataupun kegagalan suatu program dalam mencapai tujuannya yang dikenal sebagai
goal based evaluation model.
Selanjutnya Alkin (1990, dalam Wirawan, 2012:7) menjelaskan mengenai
evaluasi sebagai berikut:
The term evaluation refer to the activity of systematically collecting,
analyzing and reporting information that can be used to change attitudes or
to improve the operation of a project or program.2
Berdasarkan pendapat Alkin dapat diketahui bahwa untuk melakukan evaluasi
harus direncanakan sebelumnya dan dilakukan secara sistematis untuk
mendukung tercapainya tujuan sebuah proyek atau program.
Evaluasi paling sedikit akan ditemukan pada tiga dimensi yang saling terkait
dimulai dari kebijakan, program hingga proyek atau kegiatan. Ketiga dimensi
2 Evaluasi merupakan aktivitas sistematis yang terdiri dari pengumpulan, analisis dan pelaporan
informasi yang dapat digunakan untuk mengubah sikap atau meningkatkan kinerja dari sebuah
proyek atau program.
24
tersebut populer disebut dengan evaluasi kebijakan, evaluasi program dan evaluasi
proyek/kegiatan (Mutrofin, 2010:9; Wirawan, 2012:16-18). Dalam evaluasi yang
dinilai adalah kualitas dari suatu program/kegiatan dan manfaat yang berkaitan
dengan suatu tujuan atau standar tertentu. Pada dasarnya, evaluasi dimaksudkan
untuk memperoleh data atau informasi tentang jarak antara situasi yang ada dan
situasi yang diharapkan dengan menggunakan kriteria-kriteria tertentu (Mutrofin,
2010:36-37).
Dari beberapa pendapat di atas dapat disintesakan bahwa evaluasi merupakan
sebuah proses untuk mengumpulkan, menganalisis dan menyajikan berbagai
informasi mengenai objek evaluasi di antaranya kebijakan, program ataupun
proyek/kegiatan, yang selanjutnya informasi tersebut dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan mengenai keberlanjutan objek
evaluasi.
Berdasarkan paparan di atas, maka yang dimaksud dengan evaluasi dalam
penelitian ini adalah evaluasi kegiatan, yakni proses untuk mengumpulkan,
menganalisis dan menyajikan berbagai informasi mengenai parade ogoh-ogoh
tahun 2014 yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Kota Denpasar.
2.2.2 Parade Ogoh-ogoh
Dalam konteks pariwisata budaya, sebuah festival, event dan special event
diselenggarakan di suatu destinasi untuk merayakan tradisi masyarakat lokal
sehingga dapat meningkatkan pendapatan pariwisata (Akerlund, 2014:3). Menurut
Getz (1997, dalam Etiosa, 2012:8) sebuah event memiliki jangka waktu yang
terbatas namun tetap dilakukan secara periodik dan berkelanjutan.
25
Ada beberapa jenis event yang menjadi perhatian dari para peneliti dan
praktisi, di antaranya special event, hallmark event, mega event, festival, sport
event, bussiness event, dan art event (Etiosa, 2012:8). Mengingat beragamnya
jenis event, maka di dalam penelitian ini jenis event akan dibatasi pada hallmark
event.
Berdasarkan definisi yang diungkapkan oleh Ritchie menunjukkan bahwa
hallmark event mampu memberikan manfaat pencitraan yang tinggi bagi destinasi
karena kekhasan event yang dimiliki oleh suatu destinasi. Definisi standar
mengenai hallmark event disampaikan oleh Ritchie (1984, dalam Getz, et.all,
2012:48) sebagai berikut.
Major one-time or recurring events of limited duration, developed primarily
to enhance the awareness, appeal and profitability of a tourism destination
in the short and/or long term. Such events rely for their success on
uniqueness, status, or timely significance to create interest and attract
attention.3
Dengan diselenggarakannya hallmark event maka masyarakat setempat dapat
mempertahankan identitas budaya lokal yang dimilikinya (Hall, 1989:263)
sehingga antara event dan masyarakat pendukungnya terjadi hubungan yang
saling menguntungkan dan memberikan nilai yang atraktif (Getz, 2012:44).
Jika suatu daerah ingin merancang hallmark event, maka harus memenuhi
beberapa kriteria, di antaranya harus mampu menarik wisatawan, memberikan
citra positif dan menjadi identitas bagi destinasi, harus dapat diterima oleh
3 Event yang terjadi hanya sekali atau berulang dengan durasi yang terbatas, dikembangkan
untuk meningkatkan kesadaran, daya tarik dan keuntungan sebuah destinasi wisata dalam
jangka pendek dan/atau jangka panjang. Keberhasilan event-event tersebut bergantung pada
keunikan, status, atau waktu yang bermakna yang membuat menarik dan menjadi perhatian.
26
masyarakat setempat dan berkelanjutan dalam arti yang luas (Getz, 2012:44;
Getz,et.al, 2012:51). Menurut Krosbacher (2010:69) terdapat beberapa dimensi
yang harus dipenuhi untuk menyelenggarakan event, antara lain: tujuan, tema,
produk, lokasi, peserta event dan pihak penyelenggara.
Dari beberapa keterangan tersebut di atas, kiranya dapat dipahami bahwa
hallmark event pada hakikatnya merupakan jenis event yang diselenggarakan oleh
pihak tertentu dengan menonjolkan ciri khas atraksi destinasi agar mampu
menarik perhatian wisatawan sekaligus memberikan peluang bagi penduduk
setempat untuk memperkuat identitas budayanya.
Pawai ogoh-ogoh yang dilaksanakan sebelum Hari Raya Nyepi di Bali dapat
dikategorikan sebagai hallmark event karena selama ini pawai ogoh-ogoh telah
diidentikkan dengan Bali sebagai penyelenggaranya. Kata ogoh-ogoh berasal dari
kata ogah-ogah yang dalam bahasa Bali berarti sesuatu yang digoyang-goyangkan
(Indrayana, 2006:14). Ogoh-ogoh merupakan karya seni tiga dimensional yang
berbentuk patung (Indrayana, 2006:18) yang berwujud butha kala maupun
menyerupai wujud dewa-dewa, manusia, binatang atau perpaduan antara manusia
dan binatang (buku Panduan Ogoh-ogoh Pengerupukan, 2011:7). Di lain pihak,
Noszlopy (2003: 1) mendefinisikan ogoh-ogoh sebagai berikut.
Ogoh-ogoh are giant papier mache puppets or effigies usually created by
groups of young Balinese men as part of the annual cleansing ceremonies
(ngrupukan), which take place on the night preceding Nyepi, the Hindu-
Balinese New Year or Day of Silence.4
4 Ogoh-ogoh adalah patung berukuran besar yang tebuat dari bubur kertas dan bahan pelekat,
yang biasanya dibuat oleh kaum remaja Bali sebagai suatu bagian dari perayaan tahunan
“upacara pembersihan” (ngerupukan), yang dilaksanakan sehari sebelum perayaan Nyepi.
27
Ogoh-ogoh dapat dipandang sebagai suatu karya seni pertunjukan yang dapat
ditarikan dan dapat dipindah-pindahkan (Indrayana, 2006:18-19) karena dibuat
dengan mempergunakan bahan-bahan yang ringan dan lentur (Ana, 2007).
Dari beberapa konsep mengenai ogoh-ogoh di atas, maka yang dimaksud
dengan ogoh-ogoh dalam penelitian ini adalah hasil kreativitas tiga dimensional
yang menyerupai patung dengan ukuran besar yang berwujud butha kala yang
terbuat dari rakitan bahan padat, lembut atau lentur. Jika dikaitkan dengan event,
maka parade ogoh-ogoh dalam penelitian ini adalah karya tiga dimensional yang
menyerupai patung berwujud butha kala yang diarak oleh sekaa teruna sebagai
sebuah pertunjukan yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Kota Denpasar
di catus pata Catur Muka secara periodik setiap tahunnya menjelang Hari Raya
Nyepi.
2.2.3 Pengembangan Pariwisata Budaya
Secara umum pengembangan merupakan suatu proses/aktivitas memajukan
sesuatu yang dianggap perlu untuk ditata sedemikian rupa agar menjadi lebih
menarik dan bermanfaat. Pengembangan pariwisata pada suatu daerah sangat erat
kaitannya dengan pembangunan perekonomian daerah tersebut. Pengembangan
pariwisata meliputi berbagai bidang, di antaranya pengembangan wisata alam,
pengembangan wisata budaya dan pengembangan wisata hasil buatan manusia
yang sama-sama memiliki daya tarik khusus bagi para wisatawan.
Pariwisata budaya telah dikategorikan sebagai salah satu dari tiga jenis
pariwisata, di mana budaya menjadi faktor dominan untuk menarik kunjungan
wisatawan atau menjadi motivasi orang untuk melakukan perjalanan (McKercher
28
& du Cros, 2012:4). United Nations World Travel Organisation (UNWTO)
(dalam Csapo, 2012:205) memberikan definisi pariwisata budaya dari dua
perspektif yakni konseptual dan teknis. Definisi pariwisata budaya secara
konseptual lebih menekankan bahwa dalam jenis wisata ini wisatawan akan
memperoleh informasi dan pengalaman baru mengenai budaya dari destinasi yang
dikunjunginya. Sedangkan definisi secara teknis, lebih ditekankan pada jenis
wisata yang berbasis sumber daya budaya berupa atraksi budaya yang dimiliki
oleh suatu destinasi yang berbeda dengan negara asal wisatawan.
Berdasarkan definisi UNWTO dapat diketahui bahwa pariwisata budaya
merupakan jenis wisata yang berbasis sumber daya budaya berupa atraksi budaya
sebagai daya tarik utama untuk menarik kunjungan wisatawan sehingga
wisatawan akan memperoleh informasi dan pengalaman baru mengenai budaya
dari destinasi yang dikunjunginya.
Untuk daerah Bali, konsepsi pariwisata budaya merupakan kesepakatan dan
pilihan sebagai identitas pariwisata di Bali. Sebagaimana dirumuskan dalam
Seminar Pariwisata Budaya Daerah Bali tahun 1971, pariwisata budaya
merupakan suatu ragam pariwisata yang melestarikan sumber-sumber yang
dimanfaatkannya, yaitu ragam pariwisata yang mengembangkan budaya secara
berkelanjutan (Picard, 2006:188). Konsep pariwisata budaya telah dituangkan
dalam Peraturan Daerah Bali Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan
Budaya Bali, disebutkan bahwa “kepariwisataan yang dikembangkan di Bali
adalah kepariwisataan yang berlandaskan pada kebudayaan Bali yang dijiwai oleh
ajaran Agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana sebagai potensi utama”.
29
Terwujudnya keberhasilan dalam pengembangan pariwisata (termasuk
pariwisata budaya) suatu daerah tergantung dari dua komponen, yakni komponen
penawaran (supply) dan komponen permintaan (demand). Komponen penawaran
meliputi segala sesuatu yang harus ada dan ditawarkan kepada pengunjung.
Menurut Cooper, dkk (1993, dalam Antara, 2011) terdapat empat faktor yang
harus diperhatikan dalam penawaran, antara lain: attraction (atraksi), amenities
(fasilitas), accessibility (aksesibilitas), dan ancillary services (pelayanan
pendukung). Sementara itu, Gunn & Turgut (2002:40-58), mengemukakan lima
komponen pariwisata yang harus dikembangkan oleh pihak tuan rumah sebagai
sisi penawaran pariwisata, antara lain: atraksi wisata, transportasi, pelayanan,
informasi dan promosi.
Berdasarkan kedua pendapat di atas mengenai komponen penawaran
pariwisata, dapat diketahui terdapat beberapa komponen yang memiliki kesamaan
dengan komponen lain. Atas dasar hal tersebut, maka yang dimaksud dengan
komponen penawaran dalam penelitian ini adalah atraksi wisata, fasilitas wisata,
aksesibilitas, pelayanan pendukung serta promosi.
Sedangkan komponen permintaan meliputi besarnya permintaan terhadap
suatu daya tarik wisata oleh wisatawan. Menurut Mathieson & Wall (1982, dalam
Suprapto, 2005:54), permintaan pariwisata terdiri dari tiga jenis utama, meliputi:
permintaan efektif, permintaan tertahan (suppressed demand) dan tidak ada
permintaan (no demand) yakni mereka yang tidak ada dan tidak mau mengadakan
perjalanan. Komponen permintaan dalam penelitian ini adalah jumlah wisatawan
30
baik domestik maupun mancanegara yang menginap di Kota Denpasar pada bulan
saat diselenggarakannya parade ogoh-ogoh.
Dari beberapa konsep pengembangan pariwisata budaya tersebut di atas,
maka yang dimaksud dengan pengembangan pariwisata budaya dalam penelitian
ini adalah segala kegiatan dan usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Kota
Denpasar untuk menarik wisatawan dengan menggunakan tradisi ogoh-ogoh
sebagai atraksi wisata, menyediakan semua sarana dan prasarana serta fasilitas
pendukung untuk memenuhi kebutuhan wisatawan.
2.3 Landasan Teori
Kajian teori dalam penelitian ini dimanfaatkan sebagai tuntunan dalam
pemecahan masalah dan atau sebagai kerangka acuan yang mengarahkan
penelitian. Ada dua teori yang dipakai untuk memecahkan permasalahan dalam
penelitian ini, yaitu teori pariwisata budaya dan teori evaluasi.
2.3.1 Teori Pariwisata Budaya
Pengembangan pariwisata meliputi berbagai bidang, di antaranya
pengembangan wisata alam dan pengembangan wisata budaya yang sama-sama
memiliki daya tarik khusus bagi para wisatawan. Jika suatu destinasi bisa
menggabungkan budaya dan leisure ke dalam produk wisata mereka, maka
pariwisata budaya dapat menjadi objek yang menarik bagi destinasi wisata dengan
fasilitas budaya, situs warisan, pusat seni, museum sejarah dan sumber daya alam
(Marciszewska, 2005:77).
United Nations World Travel Organisation (UNWTO) (dalam Csapo,
2012:205) memberikan definisi pariwisata budaya dari dua perspektif yakni
31
konseptual dan teknis. Adapun definisi pariwisata budaya secara konseptual dapat
dideskripsikan seperti di bawah ini.
The movement of persons to cultural attractions away from their normal
place of residence, with the intention to gather new information and
experiences to satisfy their cultural needs (Conceptual Definition).5
Menyimak definisi pariwisata budaya secara konseptual, maka dalam jenis wisata
ini wisatawan akan memperoleh informasi dan pengalaman baru mengenai
budaya dari destinasi yang dikunjunginya.
Sedangkan secara teknis, batasan mengenai pariwisata budaya dapat
diuraikan sebagai berikut:
All movements of persons to specific cultural attractions, such as heritage
sites, artistic and cultural manifestations, arts and drama outside their
normal place of residence (Technical Definition).6
Dalam definisi pariwisata budaya secara teknis lebih ditekankan pada jenis wisata
yang berbasis sumber daya budaya berupa atraksi budaya yang dimiliki oleh suatu
destinasi yang berbeda dengan negara asal wisatawan.
Berdasarkan definisi UNWTO baik secara konseptual maupun teknis dapat
diketahui bahwa pariwisata budaya merupakan jenis wisata yang berbasis sumber
daya budaya berupa atraksi budaya sebagai daya tarik utama untuk menarik
kunjungan wisatawan sehingga wisatawan akan memperoleh informasi dan
pengalaman baru mengenai budaya dari destinasi yang dikunjunginya.
5 Pariwisata budaya menyangkut pergerakan orang-orang dari tempat tinggal mereka untuk
atraksi budaya yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi dan pengalaman baru untuk
memenuhi kebutuhan budaya mereka (definisi secara konseptual).
6 Pariwisata budaya menyangkut seluruh pergerakan orang-orang untuk atraksi budaya tertentu,
seperti situs warisan, manifestasi seni dan budaya, seni dan drama di luar tempat tinggal
mereka (definisi secara teknis).
32
Untuk daerah Bali, konsepsi pariwisata budaya merupakan kesepakatan dan
pilihan sebagai identitas pariwisata di Bali. Sebagaimana dirumuskan dalam
Seminar Pariwisata Budaya Daerah Bali tahun 1971, pariwisata budaya
merupakan suatu ragam pariwisata yang melestarikan sumber-sumber yang
dimanfaatkannya, yaitu ragam pariwisata yang mengembangkan budaya secara
berkelanjutan (Picard, 2006:188). Konsep pariwisata budaya telah dituangkan
dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 1974 yang kemudian
direvisi dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 1991, dan terakhir
disempurnakan dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012.
Sesuai dengan penjelasan Peraturan Daerah Bali Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Kepariwisataan Budaya Bali, disebutkan bahwa “kepariwisataan yang
dikembangkan di Bali adalah kepariwisataan yang berlandaskan pada kebudayaan
Bali yang dijiwai oleh ajaran Agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana sebagai
potensi utama”.
Kebudayaan paling sedikit mempunyai tiga wujud, yakni berwujud
ide/gagasan, berwujud aktivitas kelakuan yang berpola dan berwujud benda-benda
hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 2004:5). Melalui aspek kebudayaan ideal,
aspek kebudayaan perilaku dan aspek kebudayaan fisik maka simbol dan makna
kebudayaan dapat dihubungkan dengan pariwisata yang dapat memberikan citra
mendalam sekaligus menjadi daya tarik yang saling menumbuhkan pengertian
akan kehidupan kebudayaan masyarakat Bali (Kusuma, dkk, 2014:120). Dengan
demikian, kebudayaan sebagai modal dasar bagi kepariwisataan Bali selain
33
berfungsi memberikan identitas juga berfungsi menjadi daya tarik utama bagi
peningkatan pariwisata Bali (Kusuma, dkk, 2014:119).
Dalam wacana pariwisata budaya, kebudayaan Bali selalu dikaitkan dengan
tiga unsur yang saling berkaitan satu sama lainnya seperti diibaratkan sebuah
pohon yakni bersumber pada Agama Hindu (sebagai akar), mengilhami adat-
istiadat masyarakat dan menjiwai lembaga adat (sebagai batang) serta tertuang
dalam bentuk seni yang bernilai tinggi (sebagai buah). Ini berarti, kebudayaan
sebagai ciri khas identitas Bali merupakan perpaduan yang khas antara upacara
agama, kegiatan adat dan kreativitas seni yang harus tetap dipertahankan,
dipelihara dan dibina (Picard, 2006:269).
Selanjutnya, menurut Picard (2006:168) pariwisata budaya merupakan suatu
ragam pariwisata yang melestarikan sumber-sumber yang dimanfaatkannya, yaitu
ragam pariwisata yang mengembangkan budaya dan berkembang secara
berkelanjutan. Melalui pariwisata budaya masyarakat berpeluang memperkuat
identitas budaya dan para wisatawan dapat memperkaya pengalaman budayanya,
begitu pula sebaliknya kebudayaan merupakan sumber kekayaan pariwisata yang
mampu menjadi daya tarik utama bagi peningkatan pariwisata (Picard, 2006:167-
170). Ini berarti melalui pengembangan pariwisata budaya masyarakat
mempunyai peluang untuk memperkuat identitas budayanya sekaligus
melestarikan tradisi budaya mereka dengan memanfaatkan keuntungan ekonomi
yang diperoleh melalui pertunjukan pariwisata (Picard, 2006:170), sehingga
apabila hubungan antara pariwisata dan kebudayaan dapat berjalan secara
34
harmonis maka pariwisata tidak lagi akan dianggap sebagai perusak budaya,
melainkan sebagai faktor pelestari budaya (Picard, 2006:170).
Pariwisata budaya sangat penting dalam industri pariwisata mengingat adanya
perbedaan sumber daya, fasilitas dan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan
wisata budaya. Pariwisata budaya menggabungkan produk wisata klasik seperti
akomodasi, restoran dan hiburan dengan produk warisan budaya seperti museum,
pertunjukan, galeri dan sebagainya. Keseimbangan antara memanfaatkan dan
menjaga produk budaya sangat penting untuk pengembangan pariwisata budaya
berkelanjutan demi kepentingan wisatawan budaya, pemerintah, sektor swasta dan
masyarakat lokal (Durovic & Lovrentjev, 2014:181).
Dalam mengembangkan pariwisata budaya, sumber daya budaya yang
dipergunakan tentunya memiliki karakteristik tersendiri di antaranya bervariasi
sesuai dengan keunikan destinasi budaya, merupakan buatan manusia bukan
bersifat alami serta memiliki fitur mobilitas (Zhang, 2011:10). Untuk menarik
lebih banyak wisatawan, maka penyedia pariwisata budaya mengembangkan
produk wisata yang unik dengan berfokus pada elemen inti budaya yang
dimilikinya. Produk-produk ini dapat dibentuk untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginan wisatawan.
Salah satu aturan praktis di bidang pariwisata adalah bahwa permintaan
pengunjung tergantung dan didasarkan pada atraksi-atraksi yang menjadi elemen
kunci dari penawaran pariwisata (Puczko, 2005:227). Istilah atraksi wisata
pertama kali diperkenalkan oleh Cohen pada tahun 1972 (Kruczek, 2010:145) dan
sejak itu definisi mengenai atraksi wisata terus berkembang. Atraksi wisata tidak
35
hanya mengenai tempat dengan karakteristik alam dan budaya yang unik, namun
juga mencakup hubungan yang empiris antara wisatawan dengan sikap penduduk
terhadap wisatawan (Goodall,1990; Podemski, 2004; MacCannell, 2002, dalam
Kruczek, 2010:145).
Atraksi wisata mempunyai dua fungsi utama dalam sistem pariwisata, yakni
memberikan daya tarik (entice), memikat (lure) & merangsang (stimulate) minat
untuk berwisata serta memberikan kepuasan bagi pengunjung (Gunn, 1994, dalam
Benckendorff & Pearce, 2003:24). Atraksi wisata juga memiliki peran yang
penting dalam pemasaran pariwisata dan branding destinasi (Zhang, 2014:255).
Atraksi wisata yang baik akan dapat mendatangkan wisatawan sebanyak-
banyaknya, menahan mereka di tempat atraksi dalam waktu yang cukup lama dan
memberi kepuasan kepada wisatawan yang datang berkunjung.
Dalam pariwisata budaya, atraksi budaya merupakan komponen penawaran,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Michalkó & Rátz (2011, dalam Csapo,
2012:206) seperti di bawah ini.
Cultural tourism is such a tourism product in which the motivation of the
tourist (providing the supply side) is getting acquainted with new cultures,
participate in cultural events and visiting cultural attractions and the
demand side’s core element is the peculiar, unique culture of the visited
destination.7
Atraksi budaya memiliki peran penting dalam pariwisata di semua tingkatan,
membawa budaya global dunia ke tempat-tempat yang mendukung identitas lokal.
7 Pariwisata budaya adalah produk pariwisata di mana motivasi wisatawan (memberikan sisi
penawaran) berkenalan dengan budaya baru, berpartisipasi dalam acara-acara kebudayaan dan
mengunjungi atraksi budaya serta inti elemen sisi permintaan adalah dikunjunginya budaya
yang unik di suatu destinasi.
36
Atraksi budaya juga memainkan peran utama dalam kebijakan budaya dan dalam
upaya untuk mempromosikan pengembangan budaya (Richards, 2001:4-5).
Adanya fasilitas dan event budaya menciptakan peluang untuk menarik
banyak orang yang tidak begitu termotivasi terhadap budaya tetapi memiliki
ketertarikan akan budaya (Silberberg, 1994:4). Meningkatkan jumlah festival dan
event budaya merupakan salah satu usaha destinasi untuk dalam bersaing dalam
perkembangan pasar budaya (Robinson & Smith, 2005:5). Dalam
penyelenggaraan event, menurut Krosbacher (2010:69) terdapat beberapa dimensi
yang harus dipenuhi, antara lain: ada tujuan, tema, produk, lokasi, peserta event
dan adanya pihak penyelenggara.
Parade ogoh-ogoh merupakan salah satu event wisata di Kota Denpasar yang
memanfaatkan tradisi lokal sebagai daya tarik wisata. Sebagai salah satu event di
Kota Denpasar, parade ogoh-ogoh dapat dijadikan sebagai media promosi
kepariwisataan di Kota Denpasar. Selain itu pula, melalui penyelenggaran parade
ogoh-ogoh maka masyarakat mempunyai peluang untuk meningkatkan kreativitas,
memperkuat identitas budaya sekaligus melestarikan tradisi ogoh-ogoh. Oleh
karena itu, diperlukan pendekatan dengan menggunakan teori pariwisata budaya
untuk mengetahui implementasi parade ogoh-ogoh sebagai pendukung Denpasar
sebagai kot budaya yang untuk selanjutnya dapat dirumuskan strategi pelaksanaan
parade ogoh-ogoh bagi pengembangan pariwisata budaya di Kota Denpasar ke
depannya.
37
2.3.2 Teori Evaluasi
Teori evaluasi pertama kali dikemukakan oleh Ralph Winfred Tyler (Bapak
Evaluasi) pada awal tahun 1930-an dan berkembang menjadi suatu cabang ilmu
yang mandiri. Tyler mengemukakan definisi dan teori mengenai evaluasi yang
memfokuskan pada penilaian keberhasilan/kegagalan suatu program untuk
mencapai tujuannya, yang dikenal sebagai goal based evaluation model (Wirawan,
2012:5).
Sebagai cabang ilmu pengetahuan yang mandiri, ilmu evaluasi didukung oleh
sejumlah teori. Hue Tsyh Chen (1990, dalam Wirawan, 2012:30-31) berpendapat
bahwa dalam teori evaluasi mengadung unsur-unsur bagaimana memahami objek
evaluasi, bagaimana memberikan nilai terhadap program yang dievaluasi dan
kinerjanya serta bagaimana mengembangkan ilmu pengetahuan dari hasil evaluasi.
Teori mengenai evaluasi juga dikemukakan oleh Stufflebeam & Shikfiled
(2007:15-18) sebagai berikut.
Evaluation is the process of delinieting, obtaining, reporting and applying
descriptive and judgmental information about some objects merit, worth,
probity, feasibility, safety, significance and/or equity.8
Menyimak pendapat Stufflebeam & Shikfiled dapat diketahui bahwa dalam
evaluasi terjadi proses untuk mengumpulkan, menganalisis dan menyajikan
berbagai informasi mengenai objek evaluasi.
Selanjutnya menurut Vendung (2004, dalam Wirawan, 2012:7) yang
dimaksud dengan evaluasi adalah sebagai berikut.
8 Evaluasi adalah proses menguraikan informasi perencanaan, pencapaian, pelaporan, dan
penerapan serta penilaian secara deskriptif tentang kualitas, manfaat, transparansi, kelayakan,
keamanan, signifikansi, dan / atau keadilan suatu objek.
38
Careful retrospective assessment of the merit, worth, and value of
administration, output, and outcome of government intervention, which is
intended to play a role in future, practical situations.9
Definisi evaluasi yang disampaikan oleh Vendung (2004) menunjukkan bahwa
dalam melakukan kegiatan evauasi harus dilakukan secara hati-hati, bertanggung
jawab dan dapat dipertanggungjawabkan sebab informasi dari hasil evaluasi akan
sangat bermanfaat bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif
keputusan ke depannya.
Berdasarkan pendapat Chen, Stufflebeam & Shikfiled dan Vendung dapat
dipahami bahwa teori evaluasi menjelaskan proses bagaimana dan mengapa suatu
objek evaluasi seharusnya bekerja untuk mencapai hasil yang diharapkan, yang
selanjutnya informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam mengambil keputusan mengenai keberlanjutan objek evaluasi.
Untuk mendukung teori yang dikemukakan, para teoritisi mengembangkan
metode/ model evaluasi, salah satunya model evaluasi CIPP yang dikembangkan
oleh Stufflebeam (Wirawan, 2012:57). Evaluasi CIPP merupakan singkatan dari
context (konteks), input (masukan), process (proses) dan product (produk). Model
evaluasi CIPP memfokuskan pada evaluasi dan pengambilan keputusan yakni
informasi hasil evaluasi akan dipergunakan untuk mengambil keputusan yang
memandang program/kegiatan yang dievaluasi sebagai sebuah sistem dan
dilakukan secara bertahap (Arikunto & Cepi, 2010:45; Wirawan, 2012:57).
Berkaitan dengan penelitian ini, seperti halnya yang diungkapkan dalam teori
evaluasi bahwa evaluasi merupakan sebuah proses untuk mengumpulkan,
9 Penilaian yang dilakukan secara hati-hati terhadap kualitas, manfaat dan nilai administrasi,
output dan outcome dari kebijakan pemerintah, yang berperan dalam menentukan
keberlanjutan kedepannya.
39
menganalisis dan menyajikan berbagai informasi mengenai objek evaluasi, yang
selanjutnya informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam mengambil keputusan mengenai keberlanjutan objek evaluasi. Demikian
pula dengan kegiatan parade ogoh-ogoh tentunya juga memiliki berbagai
informasi terkait dengan bagaimana seharusnya pelaksanaannya untuk mencapai
hasil yang diharapkan. Untuk mengetahui kontribusi parade ogoh-ogoh dipakai
pendekatan teori evaluasi yang berfokus pada empat aspek dengan masing-masing
indikator (Mutrofin, 2010:38-44; Arikunto & Cepi, 2010:46-49; dan Wirawan,
2012:57) yang meliputi:
(1) Context (Konteks)
Evaluasi konteks dilaksanakan untuk mengidentifikasi dan menilai
kebutuhan-kebutuhan yang mendasari disusunnya suatu program/kegiatan.
Analisis ini akan membantu dalam merencanakan keputusan, menetapkan
kebutuhan dan merumuskan tujuan kegiatan secara lebih terarah. Dalam
penelitian ini evaluasi konteks didasarkan pada indikator perencanaan, terdiri
dari tujuan kegiatan, dasar pemikiran kegiatan, kekuatan dan kelemahan
kegiatan parade ogoh-ogoh tahun 2014.
(2) Input (Masukan)
Evaluasi input memberikan informasi untuk menentukan bagaimana cara
memanfaatkan sumber daya yang mengarah pada keputusan-keputusan
strategis dan desain agar dapat mencapai tujuan dan sasaran kegiatan. Dalam
penelitian ini evaluasi input didasarkan pada indikator sumber daya, yaitu
anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan kegiatan, waktu yang
40
diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan dan ketersediaan sumber daya
manusia (SDM) pelaksana kegiatan parade ogoh-ogoh tahun 2014.
(3) Process (Proses)
Evaluasi proses mengidentifikasi kekurangan-kekurangan kegiatan dan
memperbaiki implementasinya. Evaluasi proses mengarah pada seberapa jauh
kegiatan sudah terlaksana sesuai dengan rencana. Dalam penelitian ini
evaluasi proses didasarkan pada indikator pelaksanaan yang meliputi tahapan-
tahapan pelaksanaan kegiatan dan hambatan/kendala dalam pelaksanaan
parade ogoh-ogoh tahun 2014.
(4) Product (Produk)
Evaluasi produk mengukur keluaran kegiatan yang mengarah pada hal-hal
yang menunjukkan adanya perubahan setelah pelaksanaan suatu kegiatan.
Dalam penelitian ini evaluasi produk lebih terarah pada hasil yang dicapai
dari dilaksanakannya parade ogoh-ogoh yang ditinjau dari tingkat partisipasi
peserta parade, tingkat kreativitas peserta parade dan kepuasan wisatawan.
2.4 Model Penelitian
Model penelitian menggambarkan langkah-langkah dalam penelitian untuk
memecahkan masalah. Sejalan dengan kebijakan pengembangan pariwisata Bali,
pariwisata budaya juga diprogramkan oleh pemerintah Kota Denpasar
sebagaimana yang tertuang dalam visi Kota Denpasar 2010-2015 yakni “Denpasar
Kreatif Berwawasan Budaya dalam Keseimbangan Menuju Keharmonisan”. Sejak
pencanangan Denpasar sebagai kota berwawasan budaya, berbagai program di
berbagai sektor kehidupan masyarakat dirancang dengan landasan kebudayaan
41
Bali sebagai jati diri, salah satunya penyelenggaraan berbagai event dengan
melibatkan seluruh lapisan masyarakat (Bappeda Kota Denpasar, 2010:18).
Atraksi pawai ogoh-ogoh yang digelar setiap tahunnya sehari menjelang Hari
Raya Nyepi di Kota Denpasar merupakan salah satu ajang kreativitas masyarakat
yang berbasis budaya unggulan Kota Denpasar (Geriya, 2010:15).
Dengan dikembangkannya pariwisata budaya di Kota Denpasar diharapkan
parade ogoh-ogoh dapat menjadi salah satu ikon budaya unggulan di Kota
Denpasar yang dapat menarik minat wisatawan sehingga nantinya secara tidak
langsung dapat meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke Kota Denpasar.
Pawai ogoh-ogoh yang digelar di catus pata Catur Muka ternyata tidak hanya
menarik masyarakat lokal namun juga wisatawan domestik dan mancanegara
yang tengah berlibur di Kota Denpasar. Hanya saja promosi yang selama ini
dilakukan oleh Pemerintah Kota Denpasar terkait parade ogoh-ogoh masih kurang,
terutama infomasi ke pihak pelaku pariwisata khususnya travel agent, sehingga
pihak travel agent cenderung bekerja secara mandiri dalam mempromosikan
parade ogoh-ogoh di Kota Denpasar. Hal ini tentunya harus mendapat perhatian
yang serius dari Pemerintah Kota Denpasar, mengingat selain keterlibatan dari
masyarakat tentunya keterlibatan komponen pariwisata juga diperlukan agar hasil
kreativitas masyarakat ini mampu memberikan nilai tambah bagi perkembangan
kepariwisataan budaya di Kota Denpasar.
Selain itu pula, untuk menjaga kualitas dan entitas penyelenggaraan parade
ogoh-ogoh sebagai salah satu event di Kota Denpasar, tentunya fungsi evaluasi
haruslah berjalan dengan baik agar nilai-nilai yang mendasari penyelenggaraan
42
event dapat dipahami dan diapresiasi dengan baik oleh masyarakat. Akan tetapi,
selama ini dalam penyelenggaraan event di Kota Denpasar belum ada indikator-
indikator yang dijadikan dasar dalam melakukan evaluasi yang mampu
memberikan gambaran dan ukuran tentang efektivitas sebuah event (Bappeda
Kota Denpasar, 2011:25) termasuk parade ogoh-ogoh yang diselenggarakan oleh
Dinas Kebudayaan Kota Denpasar.
Evaluasi terhadap parade ogoh-ogoh selama ini telah dilakukan secara rutin
setiap tahunnya oleh Dinas Kebudayaan Kota Denpasar. Evaluasi yang dilakukan
belum secara menyeluruh karena belum adanya indikator yang dapat dijadikan
sebagai dasar dalam melakukan evaluasi. Mengingat pada penyelenggaraan tahun
2014 muncul kembali protes dari sekaa teruna peserta seleksi dan juga terjadi
penurunan jumlah peserta seleksi, serta terlebih lagi atraksi pawai ogoh-ogoh
merupakan salah satu atraksi budaya di Kota Denpasar yang berbentuk hallmark
event (Mahadewi, 2012:6) yang sudah dimasukkan dalam kalender event
kepariwisataan Kota Denpasar, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap parade
ogoh-ogoh tahun 2014 secara menyeluruh. Melalui evaluasi nantinya akan
diperoleh informasi mengenai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan parade
ogoh-ogoh sehingga dapat disusun rekomendasi terkait pelaksanaan parade ogoh-
ogoh ke depannya sebagai upaya mendukung pengembangan pariwisata budaya di
Kota Denpasar.
Berdasarkan fenomena tersebut diangkat tiga permasalahan dalam penelitian
ini. Permasalahan pertama mengenai implementasi parade ogoh-ogoh sebagai
pendukung Denpasar sebagai kota budaya. Kontribusi parade ogoh-ogoh sebagai
43
pendukung Denpasar dalam mengembangkan pariwisata budaya menjadi
permasalahan kedua dalam penelitian ini. Sedangkan permasalahan ketiga
mengenai strategi pelaksanaan parade ogoh-ogoh untuk pengembangan pariwisata
budaya di Kota Denpasar.
Untuk membantu dalam menjelaskan dan menganalisis permasalahan dalam
penelitian ini, digunakan teori yang relevan dengan permasalahan. Tujuannya
adalah untuk memberikan arahan/bimbingan bagi peneliti dalam membahas
permasalahan yang diangkat pada penelitian ini. Adapun teori yang digunakan
untuk permasalahan pertama dan ketiga adalah teori pariwisata budaya. Untuk
membahas permasalahan kedua digunakan teori evaluasi yang akan dianalisis
dengan menggunakan model evaluasi CIPP.
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi untuk
berbagai pihak khususnya Dinas Kebudayaan Kota Denpasar mengenai
pelaksanaan parade ogoh-ogoh secara menyeluruh. Dengan mengetahui hal ini,
maka Dinas Kebudayaan Kota Denpasar diharapkan mampu berperan secara lebih
aktif, optimal dan tepat sasaran terutama dalam hal pengambilan kebijakan terkait
dengan parade ogoh-ogoh. Adapun kerangka model penelitian dalam penelitian
ini dapat diilustrasikan pada Gambar 2.1 berikut.
44
Gambar 2.1 Kerangka Model Penelitian
Keterangan:
: Hubungan searah
: Hubungan timbal balik
Visi dan Misi Kota Denpasar 2010 - 2015
Konsep:
1. Evaluasi Kegiatan
2. Parade Ogoh-ogoh
3. Pengembangan
Pariwisata Budaya
4.
Simpulan dan Saran
Rekomendasi
Parade Ogoh-ogoh di Kota Denpasar
Pariwisata Budaya
Evaluasi parade ogoh-ogoh
sebagai pendukung
pengembangan pariwisata
budaya di Kota Denpasar
Teori :
1. Teori Evaluasi
2. Teori Pariwisata Budaya
Implementasi parade ogoh-
ogoh sebagai pendukung
Denpasar sebagai kota budaya
Kontribusi parade ogoh-ogoh
sebagai pendukung Denpasar
dalam mengembangkan
pariwisata budaya
Strategi pelaksanaan parade
ogoh-ogoh untuk
pengembangan pariwisata
budaya di Kota Denpasar
Keterlibatan:
1. Pemerintah
2. Masyarakat
3. Swasta