Post on 18-Jun-2019
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mutu Pendidikan
Sallis (2006), mengemukakan bahwa mutu
adalah konsep yang absolut dan relatif. Mutu yang
absolut adalah mutu yang mempunyai idealisme tinggi
dan berstandar tinggi yang harus dipenuhi, dengan
sifat produk bergengsi yang tinggi. Sedangkan mutu
relatif adalah suatu alat yang sudah ditetapkan dan
harus memenuhi standar yang telah ditetapkan.
Definisi pendidikan menurut undang-undang RI
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional atau Sisdiknas, pasal 1 (ayat 1 dan 4), bahwa
“pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, akhlak mulia, pengendalian diri, kecer-
dasan, keperibadian, serta keterampilan yang diperlu-
kan untuk dirinya, masyarakat, bangsa dan juga
negara.” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
mutu berkaitan dengan usaha secara sadar yang
dilakukan untuk mencapai tujuan melalui proses
kegiatan dengan melibatkan orang lain yang berkom-
peten di bidangnya.
12
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpul-
kan bahwa mutu pendidikan merupakan konsep yang
dirancang berdasarkan standar yang telah ditetapkan
dan dilaksanakan secara aktif untuk membentuk
manusia terdidik dan berkarakter yang dikembangkan
sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.
2.1.1 Pengertian Mutu
Pengertian mutu memiliki konotasi yang
beragam tergantung orang yang memakainya. Kata
mutu diambil dari bahasa latin “Qualis” yang artinya
what kind of (tergantung dengan kata apa yang
mengikutinya). Pengertian mutu sendiri menurut
Deming ialah kesesuaian dengan kebutuhan.
Sedangkan menurut Hafid (2011) pengertian
mutu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu segi normatif
dan segi deskriptif. Dalam arti normatif, mutu diten-
tukan berdasarkan pertimbangan instrinsik dan
ekstrinsik. Sedangkan berdasarkan kriteria intrinsik,
mutu pendidikan merupakan produk pendidikan yakni
“manusia yang terdidik” sesuai standar ideal. Berda-
sarkan kriteria ekstrinsik, pendidikan merupakan
instrumen untuk mendidik tenaga kerja yang terlatih.
Adapun dalam arti deksriptif, mutu ditentukan berda-
sarkan keadaan senyatanya misalnya hasil tes prestasi
belajar. Dengan demikian, mutu pendidikan adalah
derajat keunggulan dalam pengelolaan pendidikan
secara efektif dan efisien untuk melahirkan keung-
13
gulan akademis dan ekstra kurikuler pada peserta
didik yang dinyatakan lulus untuk satu jenjang pen-
didikan atau menyelesaikan pembelajaran tertentu.
Hal tersebut selaras dengan pendapat Danim
(2007), bahwa mutu mengandung makna derajad
keunggulan sesuatu produk atau hasil kerja, baik
berupa barang dan jasa. Dalam dunia pendidikan
barang dan jasa berpengaruh dan mempunyai makna
bagi kelangsungan program sekolah. Pendapat terse-
but menunjukkan bahwa untuk mencapai mutu di-
butuhkan pengelolaan sumber daya secara maksimal
termasuk kualitas sarana dan prasarana yang dapat
digunakan.
Sementara itu menurut Sallis (2006), bahwa
mutu adalah sebuah filosofis dan metodologis yang
membantu institusi untuk merencanakan perubahan
dan mengatur agenda dalam menghadapi tekanan
eksternal yang berlebihan. Mutu pendidikan dapat
dilihat dari proses dan hasil yang dicapai. Semakin
ada perubahan yang bersifat positif dari hasil usaha
yang diprogramkan maka semakin baik hasil yang
dicapai dan ujungnya dapat menghadapi persaingan
yang muncul dikemudian hari.
Mutu sekolah tidak akan tercapai apabila
pengelolaan sekolah tidak didukung oleh berbagai
faktor yang dapat mendorong meningkatkannya.
Dalam upaya meningkatkan mutu sekolah dibutuhkan
manajemen yang tepat sesuai dengan kebutuhan. Hal
14
tersebut dapat dilakukan melalui pelaksanaan Mana-
jemen Berbasis Sekolah yang mencakup peran
stakeholder yang ada di sekolah, yakni peran kepala
sekolah, guru, dan komite sekolah.
2.1.2 Indikator Mutu
Kriteria yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur
mutu pendidikan adalah mencakup beberapa kompo-
nen. Menurut Nurhasan (1994) dan Zamroni (2007)
terdapat 5 aspek, yakni: (a) hasil akhir pendidikan,
(b) hasil langsung pendidikan, (c) proses pendidikan,
(d) instrument input atau alat interaksi dengan siswa,
dan (e) raw input atau siswa dengan lingkungan.
Hasil akhir pendidikan mengarah pada peroleh-
an prestasi yang dicapai sekolah dalam kurun waktu
tertentu. Perolehan prestasi yang dicapai dapat berupa
hasil tes kemampuan akademis dan non akademis.
Sedangkan hasil langsung pendidikan dipakai sebagai
tolok ukur mutu pendidikan di suatu lembaga pendi-
dikan. Hasil langsung pendidikan ini dapat berupa tes
tertulis, daftar cek, anekdot, skala rating, dan skala
sikap.
Dalam proses pendidikan yang bermutu terlibat
berbagai input. Seperti bahan ajar (yang mendukung
keterampilan kognitif, afektif, dan psikomotor), meto-
dologi (yang bervariasi sesuai kompetensi inovasi dan
kreatifitas guru), sarana sekolah, dukungan adminis-
trasi, sarana prasarana, dan sumber daya lainnya,
15
serta penciptaan suasana kondusif. Berbagai input dan
proses selalu mengacu pada mutu hasil output yang
akan dicapai.
Adapun instrumental input, yaitu merupakan
alat berinteraksi dengan raw input (siswa) seperti guru
yang harus memiliki komitmen tinggi, total, dan
memiliki kesadaran untuk berubah lebih maju,
menguasai model dan metode mengajar yang tepat,
kreatif dengan ide dan gagasan baru, membangun
kinerja dan tingkat disiplin tinggi, mempunyai sikap
positif dan antusias terhadap siswa, bahwa mereka
mau diajar dan mau belajar. Pemenuhan sarana dan
prasarana belajar harus tersedia dalam kondisi layak
pakai, tersedianya sumber dan media belajar, bervari-
asi dan sesuai kebutuhan. Di samping itu juga pem-
biayaan yang terkontrol dengan adanya pembukuan
yang jelas, kurikulum yang memuat materi pokok
sesuai lingkungan dan tujuan pembelajaran, mempu-
nyai karakteristik tertentu.
Raw input dan lingkungan yaitu siswa itu sen-
diri. Dukungan orang tua terhadap keberlangsungan
proses pendidikan, yang dalam hal ini memiliki kepe-
dulian terhadap penyelenggaraan pendidikan dengan
selalu berupaya mengingatkan dan peduli pada proses
kegiatan belajar baik di sekolah maupun di rumah.
Dilihat dari lima komponen tersebut di atas
nampak selaras dengan Standar Nasional Pendidikan
yang ditetapkan pemerintah yang mencakup 8 standar
16
pengelolaan pendidikan, berkaitan dengan komponen
hasil akhir dan hasil langsung yang merupakan
implementasi dari standar penilaian dan standar
kompetensi kelulusan. Sedangkan komponen proses
pendidikan merupakan implementasi dari standar isi,
standar proses, dan standar sarana prasarana.
Instrumen input merupakan implementasi dari standar
tenaga kependidikan, standar pembiayaan, dan
standar pengelolaan dan raw input merupakan imple-
mentasi dari standar proses.
Menurut Direktorat TK dan SD dalam Bafadal
(2003) terdapat lima komponen yang menentukan
mutu pendidikan, yaitu:
(1) Kegiatan belajar mengajar; (2) Manajemen yang
efektif dan efisien; (3) Buku dan sarana belajar
yang memadai dan selalu dalam kondisi siap pakai; (4) Fisik dan penampilan sekolah yang baik;
dan (5) Partisipasi aktif masyarakat. Keterkaitan
lima komponen tersebut tepat kiranya diterapkan
sebagai tolok ukur suatu program dalam usaha meningkatkan mutu sekolah.
Kegiatan belajar mengajar harus dilaksanakan
sesuai ketentuan yang berlaku dan secara berkelan-
jutan. Hal tersebut dimulai dari persiapan, pelaksa-
naan, dan dilakukan evaluasi sebagai langkah untuk
mengukur kemampuan dan melakukan tindak lanjut
yang tepat. Kegiatan belajar mengajar berkaitan
dengan standar proses, standar pendidik dan tenaga
kependidikan, dan standar pengelolaan.
17
Manajemen yang efektif dan efisien diperlukan
dalam usaha mencapai tujuan. Efektivitas dan efisi-
ensi dalam manajemen pengelolaan berkaitan dengan
ketersediaan waktu dan biaya yang dapat mencakup
keseluruhan proses kegiatan yang berkaitan dengan
usaha untuk mencapai tujuan. Manajemen yang
efektif dan efisien berkaitan dengan standar isi,
standar pengelolaan, dan standar pembiayaan.
Kondisi sarana dan sumber belajar harus diprio-
ritaskan keberadaannya dan disesuaikan dengan ke-
butuhan. Hal tersebut dapat mendorong meningkat-
kan minat siswa dan kemudahan bagi guru dan siswa
dalam mencapai prestasi atau hasil yang diharapkan.
Sarana dan sumber belajar berkaitan dengan standar
proses, standar sarana dan prasarana, dan standar
penilaian.
Kondisi fisik dan penampilan sekolah secara
keseluruhan sangat berpengaruh terhadap penilaian
pendidikan. Kondisi fisik dan penampilan menunjuk-
kan eksistensi dan profesionalisme pengelola pendi-
dikan termasuk kelengkapan fisik. Kondisi fisik dan
penampilanan berkaitan dengan standar sarana prasa-
rana dan standar pengelolaan.
2.2 Peningkatan Mutu Pendidikan
Peningkatan mutu pendidikan mencakup
peningkatan mutu sekolah yang didukung oleh
manajemen yang tepat yang implementasinya bersifat
18
efektif dan efisien. Peningkatan mutu sekolah tidak
lepas dari bagaimana upaya meraih prestasi suatu
sekolah yang didukung oleh berbagai macam sarana
kebutuhan. Hasil prestasi dapat diukur melalui ber-
bagai macam kegiatan, yaitu kegiatan lomba akade-
mik, non akademik, dan hasil Ujian. Prestasi belajar
ditunjukkan adanya perubahan mental dan sikap
siswa dalam menghadapi situasi di lingkungannya,
selaras dengan pendapat Dimyati dan Mudjiono (2010:
4-5), prestasi belajar adalah suatu pencapaian tujuan
pengajaran yang ditunjukkan dengan peningkatan
kemampuan mental siswa.
Untuk mencapai tujuan pengajaran dibutuhkan
sarana dan prasarana yang memadai sesuai dengan
kebutuhan. Hal tersebut selaras dengan pendapat Gie
(2002: 33) yang menyatakan bahwa belajar yang baik
hendaknya tersedia fasilitas belajar yang memadai
antara lain tempat belajar, alat, waktu dan lain-lain.
Dengan tersedianya fasilitas yang memadai diharap-
kan siswa akan memperoleh hasil yang baik. Prestasi
sekolah yang baik berpengaruh pada mutu sekolah.
Sedangkan sekolah yang bermutu identik dengan
sekolah yang mampu berfungsi sebagai wadah proses
edukasi, wadah proses sosialisasi, dan proses trans-
formasi sehingga mampu mengantarkan siswa menjadi
manusia terdidik, memiliki kedewasaan mental sosial,
memiliki kemampuan IPTEK, dan berbudaya.
19
Sedangkan Danim (2007) berpendapat bahwa
untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah
menyarankan dengan melibatkan lima faktor dominan,
yaitu kepemimpinan kepala sekolah, siswa, guru,
kurikulum, dan jaringan kerjasama.
Kepala sekolah sebagai pelaksana EMASLIM
dituntut mempunyai visi dan memahami visi, misi,
profesional, tekun dan tabah, mampu memberikan
pelayanan optimal, dan disiplin tinggi. Sedangkan
siswa merupakan input yang berperan meningkatkan
kualitas mutu pendidikan dengan menekankan siswa
sebagai subjek pembelajar sehingga kompetensi
individual secara maksimal dapat digali dan dikem-
bangkan. Dalam usaha meningkatkan mutu pendi-
dikan, guru dituntut mampu terlibat aktif dan mak-
simal sehingga tertantang untuk meningkatkan kom-
petensi dan profesionalisme kerjanya sehingga mem-
punyai andil kuat dalam meningkatkan mutu sekolah.
Kurikulum hendaknya terus berkembang secara
dinamis sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan
zaman sehingga tujuan dapat tercapai secara maksi-
mal. Sedangkan jaringan kerjasama sangat dibutuh-
kan, tidak terbatas pada lingkungan setempat melain-
kan dengan organisasi lain dan bersifat luas sehingga
diharapkan keluaran dapat terserap dalam dunia
kerja.
Dari 5 komponen tersebut menunjukkan bahwa
terdapat keterkaitan antar komponen dalam pening-
20
katan mutu yang sesuai dengan 8 standar nasional
pendidikan. Di samping itu peningkatan mutu pendi-
dikan dapat dilihat dari mutu siswa dalam hal kreati-
vitas, nilai, dan out put; mutu guru yang meliputi
kemampuan mengajar, kompetensi akademik, motivasi
kerja, dan melakukan pengembangan kurikulum;
mutu pembelajaran yang mengarah pada perbaikan
proses belajar di kelas dan di luar kelas; mutu belajar
siswa melalui pelaksanaan perbaikan berkesinam-
bungan dalam berbagai aspek pendidikan; dan mutu
manajerial yang menjadi bagian dari pelaksanaan
EMASLIM di sekolah.
Djauzak (1996) mengenai peningkatan mutu,
adalah kemampuan sekolah dalam pengelolaan secara
operasional dan efisien terhadap komponen-komponen
yang ada di sekolah sehingga menghasilkan nilai
tambah terhadap komponen tersebut menurut norma/
standar yang berlaku. Standar pendidikan yang ber-
laku yang ditetapkan oleh pemerintah yakni Standar
Nasional Pendidikan digunakan sebagai standar yang
harus terpenuhi dalam mengelola pendidikan di
sekolah dengan menggunakan model manajemen yang
sesuai dengan kebutuhan sekolah. Sementara menu-
rut pandangan Zamroni (2007), peningkatan mutu
sangat berkaitan dengan target yang akan dicapai,
proses untuk mencapai, dan faktor-faktor yang terkait.
Dalam peningkatan mutu aspek proses sangat berpe-
ran dalam mencapai kualitas hasil.
21
2.3 Strategi Peningkatan Mutu dan MBS
2.3.1 Strategi Peningkatan Mutu
Pada saat ini mutu pendidikan tidak hanya
dapat dilihat dari prestasi yang dicapai, tetapi bagai-
mana prestasi tersebut dapat dibandingkan dengan
standar yang telah ditetapkan, seperti yang tertuang
pada UU No 20 Tahun 2003 pasal 23 tentang Sistem
Pendidikan Nasional; PP 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan; dan Permendikbud No
23 Tahun 2013 tentang Standar Pelayanan Minimal
Pendidikan.
Mutu pendidikan berkaitan erat dengan imple-
mentasi MBS di sekolah. Implementasi MBS akan
berbeda antara sekolah satu dengan sekolah lain dan
antara sekolah di daerah satu dengan sekolah di
daerah lain. Namun demikian implementasi MBS akan
berhasil apabila bertolak dari strategi yang mengacu
pada prinsip-prinsip dan karakteristik MBS.
Menurut Slamet P.H dalam Syaifudin (2007)
bahwa strategi utama yang perlu ditempuh dalam
implementasi MBS adalah sebagai berikut:
a. Menyosialisasikan konsep MBS;
b. Melakukan analisis situasi;
c. Merumuskan program tahunan yang akan
dicapai melalui pelaksanaan MBS;
d. Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang dilibatkan untuk mencapai MBS;
e. Menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi
melalui analisis SWOT;
22
f. Memiliki langkah-langkah pemecahan masalah
atau tantangan;
g. Membuat rencana jangka pendek, menegah,
dan jangka panjang;
h. Melaksanakan program untuk merealisasikan rencana jangka pendek MBS;
i. Melakukan pemantauan dan evaluasi hasil
proses MBS.
Strategi seperti tersebut di atas dapat ditunjang
dengan iklim sekolah yang kondusif, sehingga dapat
terlaksana kegiatan pembelajaran yang tertib, aman,
dan menyenangkan. Iklim sekolah juga akan mendo-
rong terwujudnya proses pembelajaran efektif yang
lebih menekankan pada learning to now, learning to do,
Learning to be, dan learning to life together.
Strategi peningkatan mutu pendidikan di seko-
lah dalam implementasinya tidak lepas dari mana-
jemen peningkatan mutu sekolah. Berkaitan dengan
hal tersebut, Usman (2002) mengatakan bahwa mana-
jemen peningkatan mutu, terkandung upaya:
(a) pengendalian proses yang berlangsung di
sekolah baik kurikuler maupun administrasi, (b) melibatkan proses diagnose, dan (c) memerlukan
partisipasi semua pihak, kepala sekolah, guru, staf
administrasi, peserta didik, orang tua, dan pakar.
Lebih lanjut dikatakan oleh Usman (2002), bahwa
manajemen peningkatan mutu memiliki prinsip:
(1) peningkatan mutu harus dlaksanakan di
sekolah, (2) peningkatan mutu dapat dilaksankan
dengan adanya kepemimpinan yang baik, (3) pe-ningkatan mutu harus didasarka atas data dan
fakta baik bersifat kualitatif maupaun kuantitatif,
23
(4) peningkatan mutu harus memberdayakan dan
melibatkan semua unsur yang ada di sekolah, (5) peningkatan mutu memiliki tujuan bahwa se-
kolah dapat memberikan kepuasan kepada peserta
didik, orang tua dan masyarakat.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa manajemen peningkatan mutu
pendidikan mencakup perencanaan, pelibatan dan
pemberdayaan, pengendalian, analisis data dan fakta
yang berkaitan dengan berbagai macam kegiatan yang
dilaksanakan. Perencanaan berupa program yang
dilaksananakan dengan memberdayakan sumberdaya
yang dimiliki sebagai pengendali seluruh kegiatan
sehingga dapat menunjukkan data sesuai fakta di
lapangan.
Strategi diperlukan oleh suatu lembaga organi-
sasi sekolah untuk dapat meningkatkan mutu, seperti
lembaga organisasi sekolah sangat memerlukan stra-
tegi yang tepat guna peningkatan kualitas organisasi
sekolahnya. Sekolah juga perlu melakukan analisis
untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan atau
kekurangan di internal lembaganya untuk memahami
peluang dan ancaman eksternalnya, sehingga lembaga
dapat melakukan antisipasi terhadap perubahan-
perubahan yang mungkin terjadi. Strategi dapat
dikembangkan sesuai visi misi sekolah sebagai suatu
organisasi. Keberhasilan diperoleh melalui berbagai
macam cara salah satunya adalah dengan member-
dayakan sumberdaya yang dimiliki. Hal tersebut
24
selaras dengan pendapat Sanjaya (2006), bahwa stra-
tegi adalah metode yang digunakan untuk memperoleh
kesuksesan atau keberhasilan dalam mencapai tuju-
an.
Pada kenyataannya ketepatan pemilihan strategi
dalam rangka peningkatan mutu sekolah akan berim-
bas pada peningkatan mutu pendidikan secara umum.
Melalui pengelolaan manajemen yang tepat pelaksana-
an strategi diharapkan dapat mencapai tujuan secara
efektif, efisien, dan dapat mengarahkan suatu lembaga
dalam mencapai target yang diharapkan. Target men-
jadi patokan atau ukuran keberhasilan suatu lembaga.
Apabila target lembaga telah tercapai, maka mutu
lembaga tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk mendapatkan strategi yang tepat, lembaga
pendidikan memerlukan pengenalan dan penguasaan
terhadap berbagai informasi lingkungan strategisnya
yang senantiasa berubah.
Manajemen pendidikan di sekolah yang efektif,
efisien, dan berkualitas dapat menghasilkan keluaran
yang berkualitas pula. Hal tersebut selaras dengan
hasil penelitian Balitbang Depdiknas (1991) yang
menunjukkan bahwa manajemen sekolah merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendi-
dikan. Sedangkan menurut pendapat Danang (2010),
manajemen sekolah secara langsung akan mempenga-
ruhi dan menentukan efektif tidaknya kurikulum,
berbagai peralatan belajar, waktu mengajar, dan
proses pembelajaran.
25
Kondisi demikian didukung terselengaranya
sistem pendidikan nasional yakni berdasarkan BSNP-
SNP Permendiknas RI No.19 Tahun 2007 tentang
Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendi-
dikan Dasar dan Menengah yang pengelolaannya
meliputi delapan standar, yakni: (1) standar isi yang
mencakup pengembangan kurikulum sesuai dengan
analisis kebutuhan, pelaksanaan kegiatan ektrakuri-
kuler, dan bimbingan; (2) standar proses berkaitan
dengan kompetensi guru dan profesionalisme dalam
kegiatan pembelajaran; (3) standar sarana prasarana
berkaitan dengan alat dan kondisi lingkungan sekolah
secara umum; (4) standar tenaga kependidikan, ber-
kaitan dengan jumlah pendidik dan kualifikasi pendi-
dikan; (5) standar pengelolaan, berkaitan dengan
pengelolaan akademik dan non akademik; (6) standar
kompetensi lulusan, berkaitan dengan hasil keluaran
(output); (7) standar penilaian, berkaitan dengan
profesionalisme guru dalam bidang penilaian; dan
(8) standar pembiayaan, berkaitan dengan penggunaan
anggaran keuangan.
Selanjutnya Mulyana (2009), berpendapat bahwa
manajemen atau pengelolaan merupakan komponen
integral dan tidak dapat dipisahkan dari proses
pendidikan secara keseluruhan. Dengan alasan tanpa
manajemen tidak mungkin tujuan dan mutu pendi-
dikan dapat tercapai optimal, efektif, dan efisien.
Dalam rangka inilah maka tumbuh kesadaran akan
pentingnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), yang
26
memberikan kewenangan penuh terhadap stakeholder
di sekoklah dalam mengatur pendidikan dan pengajar-
an, merencanakan, mengorganisasi, mengawasi, mem-
pertanggungjawabkan, mengatur, serta melaksanakan
pengembangan sumberdaya dan sarana prasarana
guna membantu pelaksanaan pembelajaran yang
sesuai dengan tujuan sekolah. Dalam praktiknya
manajemen pendidikan pada umumnya meliputi
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),
penggerakan (actuating), dan pengawasan (controlling),
Kurniadin dan Machali (2012).
Perencanaan adalah proses kegiaatan yang
menyiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang
akan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu
(Kurniadin dan Machali, 2012). Pengorganisasian
adalah proses membagi kerja ke dalam tugas yang
lebih kecil, memberikan tugas kepada orang yang
mempunyai keahlian dibidanngnya dan mengalokasi-
kan sumber daya, serta mengoordinasikannya dalam
rangka efektivitas pencapaian tujuan organisasi
(Fattah, 2004). Sedangkan penggerakan merupakan
upaya untuk menggerakkan tenaga kerja serta menda-
yagunakan fasilitas yang ada untuk melaksanakan
pekerjaan secara bersama (Kurniadain dan Machali,
2012). Adapun pengawasan merupakan proses penga-
matan dan pengukuran suatu kegiatan operasional
dan hasil yang dicapai dibandingkan dengan standar
yang telah ditetapkan sebelumnya yang terlihat dalam
rencana (Kurniadin dan Machali, 2012 ).
27
Upaya peningkatan mutu pendidikan dimulai
dengan melakukan penyusunan program sesuai
dengan manajemen yang dilaksanakan di sekolah,
pemberdayaan peran dan kompetensi stakeholder di
sekolah, dan pengembangan sumber belajar untuk
mencapai tujuan. Dengan melihat manajemen pendi-
dikan sebagai alat untuk mencapai tujuan, maka hal
tersebut selaras dengan tujuan dan manfaat mana-
jemen pendidikan menurut Kurniadin dan Machali
(2012), yaitu:
(1) Terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif,
dan menyenangkan (PAIKEM); (2) Terciptanya
peserta didik yang aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keaga-
maan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara; (3) Ter-
penuhinya salah satu dari empat kompetensi
tenaga pendidik dan kependidikan; (4) Tercapainya
tujuan pendidikan secara efektif dan efisien; (5) Terbekalinya tenaga pendidikan dengan teori
tentang proses dan tugas administrasi pendidikan;
dan (6) Teratasinya masalah mutu pendidikan. Tujuan tersebut akan tercapai apabila sekolah
mampu memberdayakan peran stakeholder di
sekolah secara maksimal, yakni: pemberdayaan peran kepala sekolah, pemberdayaan peran guru,
dan pemberdayaan peran komite sekolah sekolah.
Berbagai upaya telah banyak dilakukan untuk
peningkatan mutu sekolah, namun sejauh ini hasilnya
belum menggembirakan, karena pusat upaya pening-
katan masih bermuara di luar sekolah. Oleh sebab itu
usaha peningkatan mutu pendidikan haruslah dapat
diletakkan kembali ke tempat yang semestinya, yaitu
28
di sekolah. Dalam upaya meningkatkan mutu pendi-
dikan, sekolah dikembangkan menjadi suatu sistem
yang mandiri, melibatkan semua personil yang di
dalam prosesnya menuntut komitmen bersama terha-
dap mutu pendidikan.
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang
sejalan dengan paradigma desentraliasi dalam peme-
rintahan. Strategi yang diharapkan agar penerapan
MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendi-
dikan adalah:
1. Menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat
menerapkan MBS, yakni peningkatan kapasitas
dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk
masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk
memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi
kebijakan yang mengiringi penerapan kebijakan
MBS. ”An essential point is that schools and
teachers will need capacity building if school–based
management is to work”. Demikian De grouwe
menegaskan;
2. Membangun budaya sekolah (school culture) yang
demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk
membiasakan sekolah untuk membuat laporan
pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model
memajangkan RAPBS di papan pengumuman seko-
lah yang dilakukan oleh Managing Basic Education
(MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif.
Juga membuat laporan secara insidental berupa
29
booklet, leaflet, atau poster tentang rencana
kegiatan sekolah. Akan lebih serasi apabila kepala
sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat tampil
bersama dalam media tersebut;
3. Pemerintah pusat lebih memainkan peran moni-
toring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah
pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan
kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan
evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk
pelaksanaan block grant yang diterima sekolah;
4. Mengembangkan model program pemberdayaan
sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatih-
an MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pem-
berian informasi kepada sekolah. Model pember-
dayaan sekolah berupa pendampingan atau fasili-
tasi dinilai lebih memberikan hasil yang nyata
dibandingkan dengan pola-pola lama berupa pena-
taran MBS.
2.3.2 Manajemen Berbasis Sekolah
MBS sebagai suatu model implementasi kebijak-
an desentralisasi pendidikan merupakan suatu konsep
inovatif, utamanya berkaitan dengan pengelolaan
manajemen. Dalam konteks manajemen pendidikan
menurut MBS berpusat pada sumber daya yang
tersedia di sekolah itu sendiri. Dengan demikian, akan
terjadi perubahan paradigma manajemen sekolah yang
semula diatur oleh birokrasi di luar sekolah dan
30
bersifat terpusat menuju pengelolaan mandiri yang
berbasis pada potensi internal sekolah.
Otonomi dengan azas desentralisasi, peningkat-
an mutu pendidikan menuntut partisipasi dan pem-
berdayaan seluruh komponen pendidikan. Hal terse-
but selaras dengan pendapat Mulyasa (2003), yang
menyatakan bahwa: peningkatan mutu pendidikan
memerlukan elemen-elemen pendukung seperti kepala
sekolah, guru, masyarakat, dan komite sekolah. Pen-
dapat tersebut diperkuat oleh Zainuddin (2008), yang
menyatakan bahwa: pada prinsipnya MBS bertujuan
untuk memberdayakan sekolah dalam menetapkan
berbagai kebijakan internal sekolah yang mengarah
pada peningkatan mutu dan kinerja sekolah secara
keseluruhan.
Terdapat tiga pilar dalam MBS, yakni mana-
jemen kepala sekolah, pembelajaran PAKEM, dan
peranserta. Manajemen sekolah menjadi tanggung
jawab bersama stakeholder yang ada di sekolah
dengan kepala sekolah sebagai pemimpin dan penang-
gungjawab sistem. Kegiatan pembelajaran menjadi
tanggung jawab guru dan dikembangkan sesuai
dengan karakteristik siswa, dan didukung komite
sekolah sebagai mediator sekaligus evaluator berlang-
sungnya pendidikan di sekolah.
Peran penting dalam MBS tidak hanya oleh
Kepala Sekolah dengan 5 kompetensi kepala sekolah
dan sebagai EMASLIM, sebagai pemimpin yang harus
31
memiliki tanggung jawab untuk mengajar, mempe-
ngaruhi semua yang terlibat dalam kegiatan pendidik-
an, dan meningkatkan mutu organisasi sekolah untuk
mencapai tujuan. Tetapi guru dan komite sekolah juga
memilliki peran penting didalamya.
Guru sebagai ujung tombak kegiatan pembela-
jaran, tenaga profesional, pembaharu, juga dituntut
menguasi empat kompetensi yang harus dimaksimal-
kan, sehingga pembelajaran berbasis PAKEM terlaksa-
na dengan baik sebagai usaha peningkatan mutu
sekolah. Komite dituntut mampu berperan aktif seba-
gai mitra kerja kepala sekolah dengan melaksanakan
evaluasi, member masukan, saran, dan menggalang
dana masyarakat demi untuk mencapai mutu sekolah.
MBS sebagai langkah dalam meningkatkan
mutu sekolah harus dapat dipertangungjawabkan baik
secara konsep operasional, anggaran, maupun hasil
yang dicapai. Akuntabilitas dalam pelaksanaan MBS di
sekolah sangat bergantung pada pemberdayaan peran
dan kompetensi masing-masing stakeholder di sekolah
sebagai pelaksana program yang meliputi kepala
sekolah, guru, dan komite sekolah.
Botha (2007) dalam penelitiannya tentang parti-
sipasi stakeholders dalam MBS di Afrika Selatan: “Will
need to see democracy as the cornerstone of all
activities”. Merupakan prinsip foundamental dari
demokrasi dimana stakeholder terlibat dalam proses
penentuan kebijakan dengan hak untuk tidak setuju
32
dengan lainnya. Banyak sekolah di Afrika Selatan,
terutama sekolah yang disebut black school, memiliki
pemikiran dan pemahaman yang masih tradisional
dan terlalu birokratis dalam proses partisipasi
stakeholders dalam MBS.
Dari kondisi tersebut disebutkan terdapat tujuh
alasan yang menyebabkan terbatasnya partisipasi
stakeholders, yakni:
1) A lack of accountability: dalam MBS sekolah mengambil tanggungjawab yang lebih dan
menggunakan sumber daya yang ada lebih
efisien untuk mencapai tujuan akhi;
2) A lack of financial control and financial management: MBS membutuhkan sekolah
untuk menangani keuangan mereka sendiri
secara bertanggungjawab;
3) Weack leadership: MBS melibatkan bentuk
kepemimpinan yang kuat;
4) A lack of initiation and innovation: MBS mengharuskan semua pemangku kepentingan
terlibat untuk menunjukkan inisiatif dan
untuk menjadi inovatif;
5) Economical reasons: stakeholder dalam MBS huarus dapat melakukan perjalanan ke seko-
lah secara teratur untuk memberikan kontri-
busi signifikan terhadap proses MBS;
6) Conficts between the school management team and tehe school governing body: MBS yang
efektif mengharuskan lembaga untuk berbagi
kekuasaan, tanggungjawab, dan bekeja sama;
7) Illiteracy and a lack of respect among stakeholders: para pemangku kepentingan
perlu memiliki tingkat kompetensi dan ke-terampilan literasi tertentu untuk dapat mem-
berikan kontribusi positif bagi proses MBS.
33
Implementasi MBS akan berjalan efektif dan
efisien apabila didukungoleh sumber daya manusia
yang profesional untuk mencapai mutu sekolah.
Strategi peningkatan mutu dalam MBS diawali
dengan merencanakan program berkelanjutan; me-
ningkatkan pemberdayaan peranserta dan peningkat-
an kompetensi stakeholder; melakukan analisis dan
evaluasi secara transparan dan akuntabel. Penekanan
strategi peningkatan mutu melalui MBS di SDN
Ngimbrang Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung
terdapat pada pemberdayaan peran serta stakeholder
di sekolah dan peningkatan kompetensi stakeholder di
sekolah yang meliputi kepala sekolah, guru, dan
komite sekolah.
2.4 Peran Stakeholder dalam Peningkatan
Mutu di Sekolah
Peningkatan mutu sekolah bergantung pada
peranserta stakeholder di sekolah yang meliputi,
kepala sekolah, guru, dan komite sekolah. Hal terse-
but sesuai dengan konsep pendekatan peningkatan
mutu pendidikan menurut Mulyasa (2003) yaitu
dengan konsep School Based Management atau
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yakni dengan
menuntut peranserta stakeholder. Peran stakeholder
yang utama dalam MBS adalah peran kepala sekolah,
guru, dan komite sekolah. Hal tersebut dapat dipa-
hami mengingat kepala sekolah, guru, dan komite
34
sekolah secara langsung memiliki tugas sebagai
pelaksana manajemen di sekolah, yakni merencana-
kan program, melaksanakan program, dan melakukan
evaluasi dan tindaklanjut hasil evaluasi. Berkaitan
dengan peningkatan mutu sekolah, maka peran kepala
sekolah, guru, dan komite sekolah menjadi kunci
mencapai tujuan sekolah.
2.4.1 Peran Kepala Sekolah
Fattah (2004: 11) menyatakan bahwa ”Mana-
jemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai terjemahan dari
School Based Management, adalah suatu pendekatan
politik yang bertujuan untuk meredesain pengelolaan
sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepa-
la sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam upaya perbaikan kerja yang mencakup guru,
siswa, orang tua siswa, dan masyarakat”. MBS mem-
berikan keleluasaan terhadap sekolah dalam menge-
lola pendidikan di sekolah, sehingga kepala sekolah
selaku pemimpin organisasi sekolah berperan besar di
dalam mengendalikan manajemen di sekolah yang
dipimpinnya.
Kepala sekolah dalam melaksanakan MBS
mempunyai peran penting sebagaimana tugas dalam
EMASLIM, yakni sebagai educator, manajer, adminis-
trator, supervisor, leader, innovator, dan motivator.
Selain hal tersebut kepala sekolah dituntut mampu
melaksanakan 5 kompetensi kepala sekolah, yaitu:
35
kompetensi manajer, kewirausahaan, supervise, kepri-
badian, dan sosial.
Implementasi MBS di sekolah dilaksanakan
secara efektif dan efisien yang menuntut kepala seko-
lah memiliki pengetahuan kepemimpinan, perencana-
an, dan pandangan yang luas tentang sekolah dan
pendidikan. Wibawa kepala sekolah harus ditumbuh-
kembangkan dengan meningkatkan sikap kepedulian,
semangat belajar, disipllin kerja, keteladanan, dan
hubungan manusiawi sebagai modal mewujudkan
iklim kerja yang kondusif. Lebih lanjut kepala sekolah
dituntut mampu melakukan fungsinya sebagai
manajer sekolah dalam meningkatkan proses belajar
mengajar dengan melakukan supervise kelas, membi-
na, dan memberi saran positif kepada guru.
Kepala sekolah sebagai motor penggerak ditun-
tut mampu memiliki sikap profesional, kooperatif,
loyal, dan komitmen tinggi terhadap lingkungan dan
perubahan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Wahjosumijo
(2002), yang menyatakan bahwa kepala sekolah ada-
lah seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas
untuk memimpin suatu sekolah dimana diselenggara-
kan proses belajar mengajar, atau tempat dimana
terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran
dan murid yang menerima pelajaran.
Mulyasa (2003) menyatakan bahwa kepala
sekolah merupakan komponen pendidikan. Sebagai
36
komponen pendidikan kepala sekolah dituntut memi-
liki keterampilan sebagai manajer yang mampu
menyusun program, mengorganisasi, memberdayakan,
dan mendayagunakan sumber daya sekolah secara
optimal dan profesional, dituntut memiliki berbagai
potensi yang dapat dikembangkan secara optimal.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa
kepala sekolah bertanggung jawab atas pengelolaan
dan peningkatan mutu pelayanan sekolah, pengelola-
an kegiatan sekolah, pembinaan menyeluruh, pember-
dayaan dan pemerataan kesempatan tenaga kependi-
dikan, optimalisasi dan pendayagunaan sumber daya.
Menurut Nurcholis (2003), strategi penerapan
manajemen berbasis sekolah akan berhasil jika kepe-
mimpinan sekolah kuat, sehingga mampu menggerak-
kan dan mendayagunakan setiap sumber daya sekolah
secara efektif. Kepala sekolah menjadi sumber inspi-
rasi atas pembangunan dan pengembangan sekolah
secara umum, dituntut berperan aktif sebagai
designer, motivator, dan fasilitator. Secara nyata dapat
dikatakan maju dan berkembangnya suatu sekolah
sangat bergantung pada sikap profesionalisme yang
dimiliki kepala sekolah, yakni merencanakan program,
mengelola dan meningkatkan mutu pelayanan seko-
lah, mengelola program supervisi dan melaksanakan
evaluasi untuk peningkatan mutu sekolah, dan
mampu mengelola program kewirausahaan untuk
dapat mengembangkan sekolah yang dipimpinnya.
37
2.4.2 Peran Serta Guru
Dalam rangka melaksanakan MBS di sekolah
secara efektif dan efisien, guru dituntut mampu
berkreasi dalam meningkatkan manajemen kelas.
Guru merupakan teladan dan panutan langsung bagi
peserta didik di kelas dan di lingkungan sekolah, oleh
karenanya guru perlu menyiapkan diri dengan segala
kewajiban, baik manajemen maupun isi keluasan
materi pembelajaran. Kreativitas dan daya cipta guru
dalam melaksanakan MBS perlu terus didorong dan di
kembangkan untuk mencapai mutu yang diharapkan.
Peranserta guru dalam pelaksanaan MBS sangat
penting, seperti yang dirumuskan dalam Proyek
Pengembangan Pendidikan Guru, yaitu: menguasai
materi pelajaran, memahami teori pendidikan, mampu
mengelola kelas, menguasai strategi pembelajaran,
memahami teori interaksi belajar mengajar, mampu
memilih dan menggunakan alat-alat pembelajaran,
mampu melaksanakan penilaian, mampu melaksana-
kan bimbingan konseling, mampu melaksanakan
administrasi kelas, dan mampu melaksanakan pene-
litian sederhana.
Sementara itu menurut Depdiknas (2005) peran
serta guru dalam pelaksanaan MBS diharapkan
mampu meningkatkan kualitas belajar siswa, menye-
lenggarakan pembelajaran yang efektif dan menyedia-
kan program pengembangan yang diperlukan siswa,
serta berperan serta dalam memotivasi siswa.
38
Kompetensi guru menjadi hal penting dalam
menentukan keberhasilan MBS (Permendiknas No. 16
Tahun 2007). Dengan demikian profesi guru dalam
penerapan MBS di sekolah tidak hanya menyampaikan
ilmu kepada siswa, melainkan guru harus mampu
melaksanakan tugas keprofesionalannya dengan ber-
pedoman pada empat kompetensi yang harus dimiliki
guru, yakni: (1) kompetensi paedagogik; (2) Kompe-
tensi professional; (3) Kompetensi kepribadian, dan
(4) Kompetensi sosial.
Kompetensi Pedagogik menuntut guru mampu
melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan berbasis
Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan
(PAKEM). Pembelajaran aktif menuntut reaksi positif
guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran dengan
memberikan keleluasaan yang terkontrol terhadap
siswa untuk menemukan dan membangun konsep
materi pelajaran. Pembelajaran kreatif menuntut guru
menguasai dan menerapkan berbagai macam model
dan metode pembelajaran sehingga siswa tidak menga-
lami kejenuhan dalam kegiatan pembelajaran.
Sedangkan pembelajaran efektif menuntut guru
mampu memanfaatkan ketersediaan waktu dengan
baik untuk dapat menyelesaikan kegiatan dengan
mempertimbangkan kemampuan individual siswa,
tingkat kerumitan materi pelajaran, dan kondisi serta
kebutuhan siswa secara umum. Pembelajaran yang
menyenangkan membutuhkan kemampuan guru
dalam membuat variasi kegiatan pembelajaran
39
menggunakan berbagai model dan metode sehingga
siswa tidak merasa terbebani.
Selaras dengan penjelasan mengenai PAKEM
tersebut di atas guru juga dituntut memiliki kemam-
puan mengelola pembelajaran, yaitu: (1) Menguasai
ilmu pendidikan dan keguruan yang meliputi: psiko-
logi pendidikan, teknologi pendidikan, metodologi
pendidikan, media pendidikan, evaluasi pendidikan,
penelitian pendidikan; (2) Menguasai kurikulum, meli-
puti: menganalisis kurikulum, melaksanakan pem-
belajaran dengan menggunakan metode, kegiatan, dan
alat bantu pembelajaran, menyusun program per-
baikan; (3) Menguasai didaktik metodik umum yang
meliputi: mampu menggunakan metode yang bervari-
asi secara tepat, mampu mendorong peserta didik
bertanya, mampu membuat alat peraga sederhana;
(4) Menguasai pengelolaan kelas, meliputi : menguasai
pengelolaan fisik kelas, menguasai pengelolaan pem-
belajaran, menguasai pengelolaan dan pemanfaatan
pajangan kelas; ( 5) Mampu melaksanakan monitoring
dan evaluasi peserta didik, meliputi: mampu menyu-
sun instrumen penilaian, mampu menilai hasil karya
peserta didik; (6) Mampu mengembangkan dan
aktualisasi diri, mampu bekerja dan bertindak secara
mandiri, mampu berprakarsa, kreatif, dan inovatif,
mampu meningkatkan kemampuan melalui berbagai
kegiatan.
Kompetensi Profesional, guru harus mampu
dalam hal penguasaan materi pelajaran secara luas
40
dan mendalam. Indikatornya adalah: (1) Memiliki
bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme; (2) Me-
miliki tanggung jawab atas pelaksanaan keprofesio-
nalan; (3) Memiliki kualifikasi akademik dan latar
belakang pendidikan sesuai bidang tugas; (4) memiliki
kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas.
Kompetensi Kepribadian adalah kemampuan
guru yang meliputi sikap mantap, berakhlak mulia,
arif, dan berwibawa serta menjadi teladan bagi peser-
ta didik. Indikatornya adalah: (1) bertindak sesuai
dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan
nasional Indonesia; (2) menampilkan diri sebagai
pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi
peserta didik dan masyarakat; (3) Menampilkan diri
sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan
berwibawa; (4) menunjukkan etos kerja, tanggung-
jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan
mempunyai rasa percaya diri; (5) menjunjung tinggi
kode etik profesi guru.
Kompetensi Sosial dimaksudkan mampu ber-
komunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien
dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali,
dan masyarakat sekitar. Indikatornya antara lain:
(1) Bersikap inklusif, bertindak obyektif, tidak diskri-
minatif karena pertimbangan jenis klamin, agama, ras,
kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial
ekonomi; (2) mampu berkomunikasi secara efektif,
empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga
kependik, orang tua, dan masyarakat; (3) mampu
41
beradaptasi di tempat tugas, di seluruh wilayah
Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial
budaya; (4) mampu berkomunikasi dengan komunitas
profesi dan profesi lain secara lisan maupun tertulis.
Implementasi MBS akan berjalan dengan efektif dan
efisien apabila didukung oleh sumber daya manusia
yang professional di bidangnya.
Arikunto (2005) menyatakan, kesiapan guru
dalam melaksanakan MBS, bahwa guru idaman
memiliki persyaratan yang dirumuskan dalam Proyek
Pengembangan Pendidikan Guru (P3G), yakni:
Menguasai materi pelajaran, memahami teori pen-
didikan, menguasai teori interaksi belajar menga-
jar, mampu memilih dan menggunakan alat-alat pembelajaran, mampu melaksanakan penilaian,
mampu melaksanakan administrasi kelas, dan
mampu melaksanakan penelitian sederhana.
Kebutuhan sekolah yang terus berkembang
menuntut guru mampu mengembangkan kurikulum,
mampu mengembangkan dan melaksanakan pembela-
jaran aktif kreatif efektif dan menyenangkan (PAKEM),
mampu melakukan komunikasi efektif secara lisan
dan tertulis, mampu meningkatkan kompetensi diri
sehingga siswa dapat mengembangkan kompetensi
secara maksimal dan menghasilkan output yang
berkualitas.
Pola pembelajaran dalam MBS, peran dan tugas
guru tidak sekedar menyampaikan atau memindahkan
ilmu pengetahuan kepada siswa, melainkan guru
42
dituntut mampu malaksanakan melalui kegiatan
pembelajaran. Depdikbud (1996) menyatakan bahwa
kinerja guru merupakan peranan dan tugas guru.
Peranan yang dimaksud adalah:
1) Tugas professional, meliputi: mendidik, menga-
jar, melatih siswa untuk membentuk kepri-
badian, kecerdasan, dan keterampilan siswa secara optimal. Guru bertugas mengubah dan
membentuk manusia seutuhnya;
2) Tugas manusiawi, yakni tugas membina siswa dalam rangka meningkatkan martabat dan
citranya agar dapat menempatkan dirinya se-
cara keseluruhan kemanusiaannya bagi kepen-tingan dan cita – citanya;
3) Tugas kemasyarakatan, yakni tugas membim-
bing siswa menjadi warga negara yang baik
sesuai dengan pancasila dan uud 1945. Guru bertugas mencetak masa depan dan pengerak
kemajuan.
Pada intinya untuk mencapai mutu sekolah,
guru professional dituntut mampu melaksanakan dan
mengembangkan empat kompetensi secara maksimal.
2.4.3 Peranserta Komite Sekolah
Pentingnya masyarakat dalam pelaksanaan MBS
di sekolah ditegaskan dalam UU Sisdiknas tentang
peran serta masyarakat dalam pendidikan yang meli-
puti peranserta perseorangan, kelompok, keluarga,
organisasi profesi, pengusaha dan organisasi kemasya-
rakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu layanan pendidikan, bahkan disebutkan pula
bahwa masyarakat dapat berperanserta sebagai
43
sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Dengan demikian masyarakat memiliki andil besar
dalam pelaksanaan pendidikan dimana penyeleng-
garaan pendidikan merupakan tanggung jawab bersa-
ma antara pemerintah, orang tua, dan masyarakat.
Komite sekolah dibentuk dimaksudkan agar
terdapat suatu organisasi masyarakat sekolah yang
mempunyai komitmen, loyalitas, dan kepedulian ter-
hadap peningkatan kualitas pendidikan di sekolah.
Komite sekolah yang dibentuk dapat dikembangkan
secara khas dan berakar dari budaya, demografis,
ekologis, nilai kesepakatan, serta kepercayaan yang
dibangun sesuai dengan potensi masyarakat setempat
(Haryadi, et al., 2006). Dengan demikian diharapkan
komite sekolah mampu mengembangkan konsep yang
berorientasi pada pengguna, berbagi kewenangan, dan
kemitraan yang difokuskan pada peningkatan mutu
pelayanan pendidikan di sekolah, sesuai dengan
tujuan dibentuknya komite sekolah sebagai organisasi
masyarakat sekolah. Tujuan dibentuknya komite
sekolah (Haryadi, et al., 2006) yaitu:
(1) mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan
prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan
pendidikan: (2) meningkatkan tanggung jawab dan
peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan; (3) menciptakan
suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan
demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.
44
Dalam pelaksanaan MBS komite sekolah mem-
punyai peran sebagai pemberi pertimbangan, pendu-
kung, dan sebagai mediator antara pemerintah dengan
masyarakat di sekolah. Depdiknas (2004:23) merinci
peran Komite Sekolah, yakni:
1. Memberi pertimbangan (advisory agency) dalam
penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendi-dikan di satuan pendidikan;
2. Pendukung layanan pendidikan (supporting agency), baik berwujud finansian, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendi-
dikan di satuan pendidikan;
3. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka
transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan;
4. Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan
masyarakat di satuan pendidikan.
Hal tersebut dibangun dalam rangka untuk
mengantisipasi terjadinya miskomunikasi antara
sekolah dengan lingkungan sekolah sehingga terjalin
keseimbangan program sekolah dengan kebutuhan
masyarakat di sekolah. Lebih lanjut ditegaskan dalam
Depdiknas (2004:24), dalam menjalankan perannya
komite sekolah mempunyai beberapa fungsi, yakni:
1) mendorong tumbuhnya perhatian dan komit-men masyarakat terhadap penyelenggaraan
pendidikan yang bermutu;
2) melakukan kerjasama dengan masyarakat dan
pemerintah berkaitan dengan penyelenngaraan pendidikan yang bermutu;
3) menampung dan menganalisis aspirasi, ide,
tuntutan, dan berbagai kebutuhan pndidikan yang diajukan oleh masyarakat;
45
4) memberikan masukan, pertimbangan, dan re-
komendasi kepada satuan pendidikan menge-nai: (a) kebijakan dan program pendidikan,
(b) rencana anggaran pendidikan dan belanja
sekolah, (c) kriteria kinerja satuan pendidikan, (d) kriteria tenaga kependidikan, (e) kriteria
fasillitas pendidikan, (f) hal-hal lain yang
terkait dengan pendidikan;
5) mendorong orang tua siswa dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan guna
mendukung peningkatan mutu pendidikan dan
pemerataan pendidikan;
6) menggalang dana masyarakat dalam rangka
pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di
satuan pendidikan;
7) melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap
kebijakan, program;
8) penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
Dalam pelaksanaan peningkatan mutu melalui
MBS, Komite sekolah mempunyai tugas dan wewenang
yakni berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, evaluasi program pendidikan, memberi-
kan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan, memberikan pertimbangan dalam penen-
tuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan; membe-
rikan sumbangan pemikiran, dana, dan tenaga dalam
penyelenggaraan pendidikan dan melakukan kontrol
terhadap transparansi dan akuntabilitas penyeleng-
garaan dan keluaran.
Melihat besarnya peran komite sekolah sebagai
mitra kerja kepala sekolah maka komite sekolah
dituntut mempunyai komitmen dan loyalitas serta
46
peduli terhadap peningkatan kualitas pendidikan di
sekolah sehingga mutu pendidikan dapat dicapai.
Konsep pendekatan peningkatan mutu pendi-
dikan yang sesuai dengan paradigma tersebut di atas
adalah konsep School Based Management atau
Manajemen Berbasis Sekolah yang menuntut peran
serta stake holder untuk mencapai mutu pendidikan.
Gambaran mengenai peran serta stake holder untuk
mencapai mutu pendidikan melalui MBS menurut
Mulyasa (2003) seperti pada Gambar 2.1.
47
Gambar 2.1 Peran serta kepala sekolah, guru, komite sekolah
dalam pencapaian peningkatan mutu melalui MBS (Mulyasa, 2003)
Dari skema tersebut di atas dapat dilihat bahwa
untuk mencapai mutu pendidikan dibutuhkan peran
serta kepala sekolah, guru, masyarakat, dan komite
sekolah. Masing-masing peran saling mendukung
KEPALA SEKOLAH : -mengelola & meningkatkan mutu pelayanan sekolah -mengelola program supervisi untuk peningkatan mutu sekolah -mengelola program kewirausahaan
GURU : -pengembangan kurikulum -pelaksanaan kegiatan pembelajaran
MASYARAKAT : -partisipasi dalam perencanaan,pelaksanaan,pengawasan, evaluasi program pendidikan -memberikan dukungan sumber daya dalam
penyelenggaraan pendidikan
KOMITE SEKOLAH : -pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan -memberikan sumbangan pemikiran, dana, dan tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan -melakukan kontrol terhadap transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan -merupakan penghubung antara sekolah dengan masyarakat dan pemerintah
MBS
Pening-katan Kualitas Pendi-dikan
48
sesuai tugas dan fungsinya sehingga kualitas pendi-
dikan dapat tercapai.
Strategi peningkatan mutu pendidikan melalui
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat dijelaskan
bahwa program perencanaan, pelaksanaan, evaluasi,
pengawasan, dan tindaklanjut dilakukan oleh sekolah
itu sendiri sehingga untuk mencapai mutu sekolah
menyesuaikan kebutuhan dan kondisi di lingkungan
setempat.
2.5 Dukungan dan Hambatan
Pelaksanaan pendidikan di sekolah senantiasa
mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, di
antaranya dari pemerintah, praktisi pendidikan, dan
masyarakat pada umumnya. Dukungan dari pemerin-
tah berupa bantuan-bantuan anggaran dan bantuan
yang berupa fisik dan prasarana alat bantu mengajar,
serta panduan-panduan yang digunakan sebagai
acuan penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan.
Dukungan dari praktisi pendidikan, dibuktikan
dengan hasil analisis tentang penyelenggaraan pendi-
dikan yang ditindaklanjuti dengan perencanaan
program peningkatan kompetensi, pelaksanaan
program peningkatan mutu, dan dilakukan evaluasi
sebagai bahan reverensi dan pengembangan keilmuan.
Sementara dukungan dari masyarakat berkaitan
dengan adanya partisipasi aktif dewan pendidikan,
komite sekolah dan masyarakat di lingkungan sekolah.
49
Banyaknya kebijakan yang sering berubah
bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempe-
ngaruhi rendahnya mutu pendidikan dalam pelaksa-
naan MBS di sekolah. Terdapat beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi pelaksanaan MBS dalam rangka
peningkatan mutu sekolah, yaitu: (1) rendahnya
kualitas professional guru selaku tenaga pendidik,
sebagai pelaksana kegiatan pembelajaran di sekolah;
(2) kurangnya sarana prasarana pendidikan yang
dapat digunakan dalam melaksanakan kegiatan pem-
belajaran; (3) kurangnya perhatian/partisipasi masya-
rakat yang dapat menyebabkan kendala dalam menca-
pai mutu sekolah. (4) kurangnya ketersediaan anggar-
an. (Hambatan dalam pelaksanaan pendidikan; 27 Maret
2013, diunggah tgl 18 Januari 2014).
Rendahnya kualitas professional guru dapat
disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya kurang
disiplin terhadap tanggung jawab pekerjaannya
dengan hanya sekedar memenuhi kewajiban tanpa
memperhatikan tingkat kompetensi individu siswa dan
tujuan sekolah yang hendak dicapai; rendahnya minat
guru untuk membaca, mencermati, memahami pandu-
an literatur-literatur yang dapat mendukung profesi-
onalisme; rendahnya minat guru untuk melakukan
penelitian sebagai pemecahan masalah yang dihadapi
dalam kegiatan pembelajaran; faktor jarak tempuh
yang harus diatasi oleh sebagian guru yang berdomisili
di tempat yang jauh dari sekolah sehingga memer-
lukan waktu lebih lama untuk melakukan perjalanan
50
ke sekolah; dan kondisi lingkungan sekolah yang
kurang kondusif. Hal-hal tersebut meyebabkan
rendahnya mutu pendidikan di sekolah, mengingat
guru tidak memiliki semangat dan tidak tertantang
untuk mengembangkan potensi yang dimiliki.
Sarana prasarana yang digunakan sebagai alat
pendukung pelaksanaan kegiatan pembelajaran
kurang terpenuhi. Faktor penyebabnya diantaranya
adalah: peran serta masyarakat di lingkungan sekolah
rendah sehingga kurang mendukung terselenggaranya
pendidikan yang bermutu; lemahnya jaringan komuni-
kasi antar lembaga organisasi menyebabkan lingkung-
an tidak mengetahui kebutuhan sekolah; lambatnya
bantuan-bantuan yang diberikan pihak pemerintah
untuk mencukupi kebutuhan sarana dan prasarana
sekolah; dan adanya batasan-batasan penggunaan
anggaran yang diberikan oleh pemerintah sehingga
sekolah tidak dapat mengembangkan sesuai kebu-
tuhan.
Kurangnya partisipasi masyarakat di lingkungan
sekolah tentu sangat mempengaruhi mutu sekolah
karena tanpa pengawasan, keikutsertaan masyarakat
di lingkungan sekolah, masukan-masukan dari luar
sekolah, dan evaluasi eksternal mengakibatkan seko-
lah tidak mengetahui apa yang dibutuhkan oleh ling-
kungan. Sedangkan minimnya anggaran yang disedia-
kan pemerintah merupakan sisi lain akibat dari
kurang adanya dukungan kebijakan pemerintah.
51
Kebijakan pemerintah meliputi banyak hal ter-
masuk penilaian. Penilaian yang dilaksanakan terha-
dap sekolah sering menjadi beban bagi kepala sekolah,
guru, dan tenaga kependidikan. Penilaian terhadap
sekolah meliputi penilaian internal dan penilaian
eksternal. Penilaian internal dilakukan oleh intern
tenaga kependidikan di sekolah, sedangkan penilaian
eksternal diantaranya adalah akreditasi sekolah dan
Monitoring Evaluasi kinerja kepala sekolah (ME) yang
dilaksanakan dalam kurun waktu empat sampai lima
tahun sekali.
Penilaian menjadi hambatan bagi sekolah
utamanya sekolah yang tidak memberdayakan peran
serta stakeholder secara optimal, seperti tidak ter-
penuhinya jumlah guru, tidak dimilikinya sarana
prasarana yang memadahi, kurang disiplin, tidak
kondusif, tidak ada inovasi dan motivasi, dan tidak
melaksanakan manajemen pengelolaan sekolah secara
transparan dan akuntabel.