Post on 24-Mar-2018
44
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab II dalam tesis ini menekankan pada tinjauan
pustaka yang dibagi atas 4 (empat) bagian, yaitu:
Bagian pertama, membahas mengenai posisi dominan
yang berisi pengaturan posisi dominan di Uni Eropa
dan Amerika serta pengaturan posisi dominan di
Indonesia.
Bagian kedua, membahas mengenai penyalahgunaan
posisi dominan yang berisi pengaturan
penyalahgunaan posisi dominan di Uni Eropa dan
Amerika serta pengaturan penyalahgunaan posisi
dominan di Indonesia.
Bagian ketiga, membahas mengenai pasar
bersangkutan. Alasan penulis memuat sub-bab sendiri
karena pasar bersangkutan ini sama-sama digunakan
dalam pengaturan posisi dominan dan juga
pengaturan penyalahgunaan posisi dominan.
Bagian keempat, membahas mengenai teori tujuan
hukum menurut Roscoe Pound dan Gustav Radbruch.
Kedua teori ini dianggap relevan untuk membahas
mengenai konsep penyalahgunaan posisi dominan di
Indonesia. Teori Pound digunakan sebagai pisau
45
analisis putusan-putusan KPPU mengenai
penyalahgunaan posisi dominan yang menekankan
pada law is a tool of a social engineering. Hukum
sebagai alat „kontrol sosial‟ yang digunakan untuk
menjaga kepentingan umum dan mencegah praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Selanjutnya hukum sebagai „alat rekayasa sosial‟
digunakan untuk meningkatkan ekonomi nasional,
dan lain sebagainya. Sementara teori Gustav Radbruch
menekankan pada 3 (tiga) tujuan hukum yaitu
kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Ketiga tujuan
hukum ini digunakan untuk menganalis putusan-
putusan KPPU tentang penyalahgunaan posisi
dominan dan dikaitkan atau berdasarkan Pasal 25 UU
No.5 tahun 1999.
A. Posisi Dominan
1. Pengaturan Posisi Dominan di Uni Eropa dan
Amerika Serikat
a) Uni Eropa
UU Antimonopoli mengikuti EU Article 102 ( ex
Article 82) European Community Treaty yang
menggunakan istilah dominan position. Adapun bunyi
Article 102 yaitu
46
“one or more undertakings of a dominant position with
the common market or a substantial part of it shall be
prohibited… such abuse in particular, consist in: (a)
Directly or indirectly imposing unfair purchase or selling
prices or unfair trading conditions; (b) Limiting
production, market or technical development to the
prejudice of consumers; (c) Applying dissimilar conditions
to equivalent transactions with other trading parties,
thereby placing them at a competitive disadvantage; (d)
Making the conclusion of contracts subject to acceptance
by the other parties of supplementary obligations which,
by their nature or according to commercial usage, have
no connection with the subject of such contracts.
Di Uni eropa, dalam kasus continental Can1,
European Commission menyatakan bahwa pelaku
usaha mempunyai posisi dominan apabila mempunyai
kekuatan untuk melakukan tindakan secara
independen, tanpa mempertimbangkan pesaing-
pesaingnya, pembeli-pembelinya atau pemasok-
pemasoknya. Posisi dominan terjadi apabila pelaku
usaha dapat menentukan harga, mengontrol produksi
atau distribusi untuk jumlah produk yang signifikan
karena pelaku usaha tersebut mempunyai pangsa
pasar tertentu atau karena mempunyai pangsa pasar
ditambah dengan adanya kemampuan ilmu teknologi
1Continental Can Co Inc, Re (1972) JO L7/25, (1972) CMLR D11 … 259, 262, 272,
358
47
bahan mentah atau modal tertentu.2 Jadi, menurut
European Commission dalam kasus ini, unsur
terpenting dalam posisi dominan adalah independensi
dan kekuatan untuk menentukan harga. Pelaku usaha
hanya dikatakan mempunyai posisi dominan apabila
tindakan-tindakannya tidak terhambat oleh pesaing-
pesaingnya.3
Kasus lain yang dapat untuk menjelaskan posisi
dominan di eropa ini yaitu putusan ECJ (European
Court of Justice) yang melibatkan Hoffman La Roche v.
Commission of the European Communities) yaitu
“according to the classical test, a dominant position
under Article 102 ( ex Article 82) of the Treaty is „a
position of economic strength enjoyed by an undertaking
which enables it to prevent effective competition being
maintained on the relevant market by affording it the
power to behave to an appreciable extent independently
of its competitors, its customers and ultimately of the
consumers”.
ECJ (European Court of Justice) dalam Hoffmann-
La Roche4 menegaskan bahwa penyalahgunaan (abuse)
2Ibid
3M. Hawin, dkk, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya,
CICODS FH-UGM, Yogyakarta, 2009, hal. 76 4Hoffmann-La Roche & Co AG v. Commission (1979) ECR 461, (1979) 3 CMLR
211
48
posisi dominan menurut Pasal 102 European
Community Treaty merupakan konsep yang objektif
berkaitan dengan tingkah laku pemegang posisi
dominan yang mempengaruhi struktur pasar yang
menyebabkan persaingan dalam pasar tersebut
menjadi lemah.
b) Amerika Serikat
Posisi dominan di Amerika Serika tidak diatur
secara jelas dalam UU Persaingan Usaha Amerika
Serika, yang diatur hanya penyalahgunaan posisi
dominan. Namun meskipun demikian, dari berbagai
literatur yang dibaca penulis. Posisi dominan di
Amerika menekankan istilah market power5. Pelaku
usaha yang mempunyai substantial market power
secara unilateral dapat menaikkan harga produknya di
atas tingkat harga yang kompetitif dalam waktu yang
cukup lama dengan meraih keuntungan. Pelaku usaha
yang tidak mempunyai substantial market power harus
membutuhkan pelaku usaha lain dengan cara
5Market Power atau kekuatan pasar yang dimaksud adalah kemammpuan pelaku usaha untuk meningkatkan harga menjauhi biaya marjinalnya. Kemampuan tersebut didapat melalui penetapan harga yang tinggi tanpa menimbulkan kerugian berarti maupun dengan menekan biaya produksi yang timbul. Pelaku usaha dengan kekuatan pasar yang besar mampu menyerap surplus lebih dibandingkan konsumennya maupun suppliernya pada saat bertransaksi. (Perkara Nomor: 09/KPPU-L/2009, hal.109).
49
membuat perjanjian kolusif (collusive dealing) untuk
melakukan hal yang sama.6
Berbeda dengan pendapat ECJ (European Court
of Justice) yang menekankan faktor independensi,
pengadilan-pengadilan di AS dan Australia
menekankan pada kekuatan untuk mengontrol harga.
Ada beberapa sarjana yang mengatakan bahwa kriteria
independensi yang dipakai oleh ECJ adalah „cacat‟ dan
tidak dapat secara memuaskan membedakan antara
pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dan
yang tidak. Beberapa sarjana ini mengatakan bahwa
ukuran yang lebih baik adalah kemampuan untuk
membatasi output secara substansial dalam pasar.7
Kekuatan untuk membatasi output berarti kekuatan
untuk mengontrol harga. Jadi, beberapa sarjana ini
mengikuti ukuran yang dipakai di AS.
2. Pengaturan Posisi Dominan di Indonesia
Pengaturan posisi dominan di Indonesia
tercantum dalam pasal 1 angka (4) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, yaitu:
6M. Hawin, dkk, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya, CICODS FH-UGM, Yogyakarta, 2009, hal.76 7Ibid
50
“Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu”.
Ketentuan ini menetapkan syarat atau parameter
posisi dominan. Syarat yang dimaksud adalah pelaku
usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau
pelaku usaha mempunyai posisi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya di
pasar yang bersangkutan dalam kaitan pangsa
pasarnya, kemampuan keuangan, kemampuan akses
pada pasokan atau penjualan, dan kemampuan
menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau
jasa tertentu.
Syarat yang ditetapkan oleh Pasal 1 angka (4) UU
No. 5/1999 yang penting adalah bahwa pelaku usaha
yang mempunyai posisi dominan mempunyai posisi
tertinggi diantara pesaingnya dalam kaitan dengan
kemampuan keuangan, kemampuan akses pasa
pasokan atau penjualan, dan kemampuan
menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau
jasa tertentu. Namun ketentuan ini tidak menjelaskan
syarat-syarat tersebut harus dipenuhi oleh suatu
51
pelaku usaha secara kumulatif atau tidak. Artinya,
apakah jika salah satu syarat tersebut dimiliki oleh
pelaku usaha dapat dinyatakan bahwa pelaku usaha
tersebut sudah mempunyai posisi dominan? Dari
pengertian posisi dominan Pasal 1 angka (4) tersebut
dapat diketahui 3 (tiga) unsur penting tersebut
diuraikan dan juga ditafsirkan di bawah ini yaitu8
1. Kemampuan keuangan
Salah satu unsur yang menyatakan bahwa suatu
pelaku usaha mempunyai posisi dominan adalah
apabila pelaku usaha mempunyai keuangan yang lebih
besar (kuat) dibandingkan dengan keuangan pelaku
usaha pesaingnya. Pengertian kemampuan keuangan
suatu pelaku usaha dapat dipahami khususnya
kemampuan ekonomi pelaku usaha tersebut yang
pada pokoknya mempunyai kemungkinan keuangan
artinya kemampuan keuangan yang dimiliki sendiri,
untuk melakukan investasi sejumlah uang tertentu
dan mempunyai akses menjual kepada pasar modal.
Secara sederhana dilihat dari keberadaan pelaku
usaha yang mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi
(besar) dibandingkan dengan pelaku usaha
8Ibid
52
pesaingnya, pelaku usaha yang mempunyai pangsa
pasar yang lebih tinggi akan mempunyai keuangan
yang lebih besar dibandingkan dengan pelaku usaha
pesaingnya. Karena presentase nilai jual atau beli yang
lebih tinggi atas suatu barang atau jasa tertentu
dibandingkan dengan nilai jual atau beli pesaing-
pesaingnya akan menunjukkan ke kemampuan
keuangan yang lebih kuat atau lebih besar. Faktor-
faktor menetapkan pelaku usaha mempunyai
keuangan yang kuat adalah dapat dilihat dari:
a. Modal dasar
b. Cash flow
Pengertian cash flow adalah aliran kas
perusahaan yang secara riil diterima dan
dikeluarkan oleh perusahaan untuk keperluan
operasi, pendanaan, dan investasi.9
Aliran kas yang masuk ke perusahaan disebut
dengan cash in flow, sedangkan aliran kas yang
keluar dari perusahaan dinamai cash out flow.
Aliran kas dapat dibedakan menjadi 3 jenis :
Aliran kas awal (Initial Cash Flow)
merupakan aliran kas yang berkaitan
dengan pengeluaran untuk kegiatan
9http://chellme.blogspot.com/2012/02/cash-flow-adalah.html
53
investasi misalnya; pembelian tanah,
gedung, biaya pendahuluan dan lain
sebagainya. Aliran kas awal dapat
dikatakan aliran kas keluar (cash out
flow).
Aliran kas operasional (Operational Cash
Flow) merupakan aliran kas yang
berkaitan dengan operasional proyek
seperti penjualan, biaya umum, dan
administrasi. Oleh sebab itu aliran kas
operasional merupakan aliran kas masuk
(cash in flow) dan aliran kas keluar (cash
out flow).
Aliran kas akhir (Terminal Cash Flow)
merupakan aliran kas yang berkaitan
dengan nilai sisa proyek (nilai residu)
seperti sisa modal kerja, nilai sisa proyek
yaitu penjualan peralatan proyek.
c. Omzet
Omzet adalah nilai transaksi yang terjadi dalam
hitungan waktu tertentu, misalnya harian,
mingguan, bulanan, tahunan.10
d. Keuntungan
10
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20101116024929AAfHFoI
54
e. Batas kredit dan
f. Akses ke pasar keuangan nasional dan
internasional.
2. Kemampuan Pada Pasokan atau Penjualan
Unsur kemampuan mengatur pasokan atau
penjualan adalah salah satu ciri pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan. Kemampuan ini dapat
dilakukan oleh suatu pelaku usaha jika memiliki
pangsa pasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pangsa pasar pesaing-pesaingnya. Oleh karena itu
penilaian atau penetapan pangsa pasar pelaku usaha
pada pasar bersangkutan sangat penting. Untuk itu,
pengertian pangsa pasar harus dipahami terlebih
dahulu, yaitu persentase nilai jual atau beli barang
atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha
pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender
tertentu.
Jika pangsa pasar pelaku usaha sudah
ditetapkan, mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi
daripada pesaingnya, maka dapat ditentukan apakah
pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar dalam
persentase tertentu dapat melakukan praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat pada pasar
55
yang bersangkutan yaitu melalui kemampuan
pengaturan jumlah pasokan atau penjualan barang
tertentu di pasar yang bersangkutan. Kemampuan
pengaturan pasokan atau penjualan barang atau jasa
tertentu menjadi salah satu bukti bentuk
penyalahgunaan posisi dominan yang dapat dilakukan
oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan
yang mengakibatkan pelaku usaha pesaingnya tidak
dapat bersaing pada pasar yang bersangkutan.
3. Kemampuan Menyesuaikan Pasokan atau
Permintaan
Kemampuan pelaku usaha untuk menyesuaikan
pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu
pada pasar yang bersangkutan menjadi salah satu
unsur dalam pengertian posisi dominan yang
ditetapkan di dalam Pasal 1 angka (4). Pada prinsipnya
kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan
atas suatu barang atau jasa tertentu pada pasar yang
bersangkutan mempunyai kesamaan dengan
kemampuan mengatur pasokan atau penjualan barang
atau jasa tertentu. Pelaku usaha yang mempunyai
posisi dominan mempunyai kemampuan untuk
menyesuaikan pasokan atau permintaan pada pasar
yang bersangkutan. Oleh karena itu, penetapan siapa
56
pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan pada
pasar yang bersangkutan penting untuk dilakukan.
Selanjutnya penulis menyinggung mengenai monopoli.
Secara harafiah, monopoli berasal dari bahasa Yunani
yang terdiri dari kata „monos‟ yang artinya sendiri dan
„polein‟ yang artinya penjual. Sehingga monopoli
diartikan sebagai suatu kondisi di mana hanya ada
satu penjual yang menawarkan suatu barang atau
jasa tertentu. Sedangkan definisi monopoli menurut
UU larangan praktik monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat adalah penguasaan atas produksi
dan/atau pemasaran barang dan/atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau
satu kelompok pelaku usaha.11
Istilah monopoli sering kali dipakai untuk
menunjuk 3 (tiga) titik berat yang berbeda yaitu12:
a. Menggambarkan suatu struktur pasar dalam hal
ini keadaan koleratif permintaan dan
penawaran.
b. Menggambarkan suatu posisi dalam hal ini
monopoli bisa dilakukan oleh lebih dari satu
penjual yang membuat keputusan bersama
tentang produksi dan harga. 11Pasal 1 angka (1) UU No.5 tahun 1999. 12
Siswanto, Arie, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2004, hal. 19
57
c. Menggambarkan kekuatan yang dipegang oleh
penjual untuk menguasai penawaran,
menentukan harga serta memanipulasi harga.
Pada dasarnya monopoli sering kali
dikategorikan sebagai hal yang negatif, akan tetapi
monopoli juga ternyata memiliki manfaat salah
satunya ialah memaksimalkan efisiensi pengelolaan
sumber daya ekonomi tertentu. Hal ini terjadi apabila
sumber daya alam minyak bumi dikelola oleh satu
unit usaha tunggal yang besar, maka ada
kemungkinan terhadap biaya-biaya tertentu akan bisa
dihindari. Adapun jenis-jenis monopoli yaitu13:
1) Monopoli yang terjadi karena memang
dikehendaki oleh Undang-Undang
(monopoly by law).
Jenis monopoli seperti ini, ada dalam
Pasal 33 UUD 1945 yang menghendaki
adanya monopoli Negara untuk menguasai
bumi dan air berikut kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, serta cabang-
cabang produksi yang menguasai hajat
hidup orang banyak.
Selain itu, Undang-Undang juga
memberikan hak istimewa dan
13
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publising, Jawa Timur, 2009 hal. 40-47
58
perlindungan hukum dalam jangka waktu
tertentu terhadap pelaku usaha yang
memenuhi syarat tertentu atas hasil riset
dan inovasi yang dilakukan sebagai hasil
pengembangan terknologi yang
bermanfaat bagi umat manusia.
Pemberian hak-hak ekslusif atas
penemuan baru, baik yang berasal dari
hak atas kekayaan intelektual seperti hak
cipta dan hak atas kekayaan industri
seperti paten, merek, desain produksi,
rahasia dagang, dan lain-lain. Semuanya
itu pada dasarnya merupakan bentuk lain
monopoli yang diakui dan dilindungi oleh
Undang-Undang.
2) Monopoli yang lahir dan tumbuh secara
alamiah karena didukung oleh iklim dan
lingkungan usaha yang sehat (monopoly by
nature).
Seperti yang diuraikan di atas, monopoli
bukanlah merupakan suatu perbuatan
jahat atau terlarang apabila kedudukan
tersebut diperoleh dengan
mempertahankan posisi tersebut melalui
59
kemampuan prediksi dan naluri bisnis
yang professional.
Kemampuan sumber daya manusia yang
professional, kerja keras, dan strategi
bisnis yang tepat dalam mempertahankan
posisinya akan membuat suatu
perusahaan memiliki kinerja yang unggul
(superior skill) sehingga tumbuh secara
cepat dengan menawarkan suatu
kombinasi antara kualitas dan harga
barang atau jasa serta pelayanan
sebagaimana dikehendaki konsumen.
Sehingga perusahaan tersebut dapat
menyediakan keluaran (output) yang lebih
efisien daripada apa yang dihasilkan oleh
perusahaan-perusahaan yang lainnya,
Pada akhirnya, perusahaan ini mampu
mengelola secara tepat 5 (lima) faktor
persaingan yang menentukan kemampuan
laba industri dalam hal ini daya tawar
menawar pemasok, ancaman pendatang
baru, daya tawar menawar pembeli,
ancaman produk atau jasa substitusi, dan
persaingan diantara perusahaan yang ada.
Monopoli alamiah ini juga dapat terjadi
60
bila untuk suatu ukuran pasar akan lebih
efisien bila hanya ada satu pelaku usaha
atau perusahaan yang melayani pasar
tersebut. Perusahaan lain dalam hal ini
perusahaan kedua yang memasuki arena
persaingan akan menderita rugi dan
tersingkir secara alamiah, karena ukuran
pasar yang tidak memungkinkan adanya
pendatang bagi pelaku usaha baru.
3) Monopoli yang diperoleh melalui lisensi
dengan menggunakan mekanisme
kekuasaan (monopoly by license).
Jenis monopoli seperti ini dapat terjadi
oleh karena adanya kolusi antara para
pelaku usaha dengan birokrat pemerintah.
Kehadiran monopoli seperti ini
menimbulkan distorsi ekonomi karena
mengganggu bekerjanya mekanisme pasar
yang efisien.
Berbagai kelompok usaha yang dekat
dengan pusat kekuasaan dalam
pemerintahan pada umumnya memiliki
kecenderungan melakukan perbuatan
yang mencederai semangat persaingan
usaha.
61
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kalau posisi dominan menekankan pada keadaan di
mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang
berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan
pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha
mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di
pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan
keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau
penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan
pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Sementara monopoli menekankan pada penguasaan
atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau
atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha
atau satu kelompok pelaku usaha.
Pelaku usaha posisi dominan dan pelaku usaha
monopoli memiliki kesamaan dalam hal ini
mempunyai dua pengaruh terhadap harga dan sama-
sama dapat menciptakan rintangan masuk pasar bagi
pelaku usaha lain yang mau memasuki pasar
bersangkutan. Pengaruh terhadap harga ini seringkali
atau tidak selalu meningkatkan tingkat harga untuk
memperoleh keuntungan lebih dan menggunakan
diskriminasi harga.
Sementara perbedaannya adalah pelaku usaha yang
memiliki posisi dominan perlu memperhatikan reaksi
62
konsumen sebab mungkin dengan menaikan tingkat
harga kemungkinan akan memicu konsumen pelaku
usaha posisi dominan tersebut untuk beralih ke
pesaingnya. Pelaku usaha yang memiliki posisi
dominan masih memberikan sedikit ruang bagi pelaku
usaha lain untuk berpartisipasi di pasar, sedangkan
pelaku usaha yang monopolis memiliki ruang gerak
yang cukup besar tanpa harus memperhatikan reaksi
konsumen ketika menaikan tingkat harga dan
hambatan yang diciptakan pelaku usaha monopoli
sangat kuat.
B. Penyalahgunaan Posisi Dominan
1. Pengaturan Penyalahgunaan Posisi Dominan di
Uni Eropa dan Amerika Serikat.
a. Uni Eropa
Dasar pelarangan penyalahgunaan posisi
dominan di negara-negara Uni Eropa yaitu EU Article
102 ( ex Article 82) European Community Treaty yang
berjudul Treaty Establishing The European Economic
Community,14 yaitu:
Any abuse by one or more undertakings of a dominant
position within the common market or in a substantial part
14
Ibrahim, Johnny, Hukum Persaingan Usaha Filosofi, Teori, dan Impikasi Penerapannya di Indonesia, Bayumedia Publising, Jawa Timur, 2009 hal. 178
63
of it shall be prohibited as incompatible with the common
market in so far as it may affect trade between Member
States. Such abuse may, in particular, consist in:
(a) directly or indirectly imposing unfair purchase or
selling prices or unfair trading conditions;
(b) limiting production, markets or technical
development to the prejudice of consumers;
(c) applying dissimilar conditions to equivalent
transactions with other trading parties, thereby
placing them at a competitive disadvantage;
(d) making the conclusion of contracts subject to
acceptance by the other parties of supplementary
obligations which, by their nature or according to
commercial usage, have no connection with the
subject of such contracts.
Intinya dari Article 102 ini menyatakan bahwa
pelarangan ini ditujukan pada perusahaan yang
memegang posisi dominan di pasar (market dominance)
dan dengan demikian memiliki kekuatan untuk
mengontrol pasar.15
Hal lain yang menarik dalam pengaturan
penyalahgunaan posisi dominan di Eropa adalah
Pricing Abuses and non- Abuses Pricing.
Pricing Abuses (other than Excessive Pricing)
15
Siswanto, Arie, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2004, hal. 46
64
Pricing Abuses menekankan pada Predatory
Pricing. Predatory Pricing adalah tindakan pelaku
usaha memberikan harga produknya sangat murah
sehingga pesaing-pesaingnya tidak mampu
menyainginya kemudian terpaksa keluar dari pasar.
Setelah pesaing-pesaing tersebut keluar dari pasar,
pelaku usaha tersebut dapat menaikkan harga pada
tingkat monopoli dan dapat menutupi kerugian-
kerugian yang telah dialami.16
Di European Commission dalam kasus AKZO,
menegaskan bahwa harga di atas Average Variable
Cost, asalkan di bawah Average Total Cost yang
ditentukan dengan tujuan untuk menghilangkan
persaingan, tetap dapat dikatakan melanggar.17
Predatory Pricing jarang terjadi karena mungkin
harus ada „pengorbanan‟ terlebih dahulu yang harus
dilakukan oleh pelakunya yakni pengorbanan
penghasilan bersih untuk sementara. Predatory Pricing
dalam arti yang sebenarnya tidak bisa terjadi kecuali
ada pengorbanan kehilangan keuntungan bersih
untuk sementara dengan harapan dapat memperoleh
pendapatan yang lebih besar di masa yang akan
datang. Tindakan ini bertujuan untuk menghalau
16M. Hawin, dkk, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya, CICODS FH-UGM, Yogyakarta, 2009, hal. 90 17
Ibid
65
pesaing dari pasar, kemudian pelakunya akan dapat
menutupi kerugiannya (recoupment) dengan
memperoleh laba yang tinggi karena tidak ada
pesaingnya. Bagi pelaku, pengorbanan kehilangan
keuntungan tersebut merupakan investasi untuk
mendapatkan kuntungan monopolistic di masa
mendatang. Pelaku harus dapat memprediksi bahwa
keuntungan yang akan datang harus melebihi
investasi yang telah dikeluarkan. Jadi, wajar apabila
Predatory Pricing jarang terjadi.
Posisi EU adalah cenderung tidak menggunakan
syarat the Recoupment Test18. dalam kasus AKZO
tersebut di atas, syarat ini tidak disinggung oleh
European Commission. Bahkan penetapan harga di
atas Average Variable Cost asalkan di bawah Average
Total Cost yang dilakukan untuk tujuan
menghilangkan persaingan dapat dikatakan Predatory.
Dalam kasus Tetra Pak II,19 European Court of Justice
juga mengatakan:
18Recoupment Test dipergunakan untuk mengkaji apakah pelaku usaha yang melakukan praktik tersebut telah sukses mencapai tujuannya, yaitu menyingkirkan pesaingnya ke luar pasar dan menghalangi pesaing lainnya masuk ke dalam pasar. Tes ini kemudian juga melihat apakah pelaku usaha predator akan mampu mendapatkan keuntungan yang melebihi keuntungan kompetitif untuk menutupi kerugian yang dideritanya selama menjalankan praktik predatory. (Peraturan KPPU N.6 tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 20 UU NO.5 tahun 1999, hal. 20). 19
Case C – 333/94 P, Tentra Pak International SA v. Commission (1996) ECR I – 5951, (1997) 4 CMLR 662.
66
“[I] would not be appropriate, in the circumstances
of the present case, to require … proof that Tetra
Pak had a realistic chance of recouping its losses. It
must be possible to penalize predatory pricing
whenever there is a risk that competitors will be
eliminated.”20
Dari pernyataan tersebut jelas bahwa Pengadilan
dalam Tentra Pak II tidak mengharuskan the
Recoupment Test dalam Predatory Pricing. Pengadilan
ini menekankan bahwa faktor yang penting dalam
menentukan Predatory Pricing adalah resiko bahwa
pesaing-pesaing akan tergeser.
Posisi hukum antimonopoly Indonesia lebih
cenderung mirip atau mengikuti posisi di EU yang
ketat karena ketentuan Pasal 25 aya (1), secara tidak
langsung melarang Predatory Pricing yang dilakukan
oleh pemegang posisi dominan secara per se dengan
syarat intent atau purpose. Namun KPPU dalam
menangani Predatory Pricing bisa saja bersikap lunak
dengan melihat Pasal 20 yang mensyaratkan adanya
intent untuk menyingkirkan atau mematikan usaha
pesaing dan/atau mensyaratkan bahwa tingkat harga
pelaku harus di bawah Average Cariable cost.
Non-Pricing Abuses
20
Ibid, alinea 44
67
Non-Pricing Abuses ini menekankan pada Tying.
Tying merupakan salah satu strategi penjualan yang
juga berpeluang untuk mengganggu persaingan.
Secara sederhana tying bisa didefenisikan sebagai
penjualan suatu produk dengan syarat bahwa si
pembeli harus juga membeli produk lain yang
sebenarya bisa dibeli oleh pembeli dari penjual lain.
Persyaratan pembelian ini dianggap bersifat ilegal
apabila menggangu persaingan.
Mengenai tying umumnya hukum persaingan
negara-negara menentukan bahwa pada dasarnya
praktik ini tidak dengan sendirinya ilegal. Pengecer
menawarkan satu kantung terigu merek A setengah
harga apabila pembeli juga membeli satu kantung gula
pasir merek A, merupakan contoh dari tying yang
diperbolehkan jika perusahaan A, sebagai produsen
terigu merek A, tidak memegang monopoli, baik di
pasar produk terigu atau pun gula pasir.21
Praktik tying bisa dibenarkan adalah jika si
penjual bisa menunjukkan bahwa tying dilakukan atas
dasar sensitivitas teknologi yang mengharuskan
supaya produk tertentu digunakan untuk menghindari
kerusakan.
21
Siswanto, Arie, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2004, hal. 37
68
Alasan efisiensi terkadang juga merupakan alasan
yang sering kali bisa diterima di pengadilan. Di
Jerman, misalnya, dalam kasus Wirtschaft und
Wettbewerb, pengadilan membolehkan tindakan dua
surat kabar di Stuttgart yang melakukan praktik tying
dengan cara mengharuskan pemasang iklan di salah
satu surat kabar untuk juga beriklan di surat kabar
lainnya.
b. Amerika Serikat
Putusan-Putusan Mahkamah Agung Amerika
Serikat menyatakan bahwa Section 2 Sherman Act22
tidak menyalahkan pemilikan kekuatan monopoli yang
diperoleh secara sah (natural or legal monopoly power)
tetapi melarang tindakan yang menggunakan
kekuatan monopoli (monopolize) dengan melihat pada
purpose dan intent pelaku. Namun, beberapa putusan
telah berbeda dalam menafsirkan kedua istilah
tersebut. Menurut Standart Oil dan American Tobacco,
actual purpose or intent harus ada, yakni pelaku usaha
22Section ini berbunyi: “Every person who shall monopolize, or attempt to monopolize, or combine or conspire with any other person or person, to monopolize any part of the trade or commerce among the several States, or with foreign nations, shall be deemed guilty of a felony, felony, and, on conviction thereof, shall be punished by fine not exceeding $10,000,000 if a corporation, or, if any other person, $350,000, or by imprisonment not exceeding three years, or by both said punishments, in the discretion of the court.”
69
harus mempunyai “positive drive to monopolize”.
Artinya, harus ada praktik-praktik “predatory” yang
menghalangi kemampuan pelaku usaha lain untuk
bersaing. Namun, putusan hakim Hand dalam Alcoa
menunjukkan bahwa bukti actual intent kurang
diperlukan, yang penting adalah bukti adanya
kesengajaan (deliberateness) oleh pemegang kekuatan
monopoli untuk mempertahankan posisi
monopolinya.23
Dalam Alcoa, hal ini ditunjukkan dengan tindakan
aktif Alcoa memperbesar kapasitas produksi
aluminium untuk mengantisipasi permintaan dan
mempertahankan kapasitas produksi yang eksesif
sehingga dapat menghambat pelaku usaha baru
masuk ke pasar. Alcoa dianggap mempunyai tujuan
atau intent terhadap akibat dari tindakan-tindakannya
tersebut. Pengadilan dalam United Shoe mengikuti
Alcoa. United Shoe memperkuat Alcoa dengan
menyatakan bahwa penyalahgunaan kekuatan
monopoli dalam Section 2 Sherman Act cukup dengan
menunjukkan praktik-praktik yang dilakukan dengan
sengaja yang menghambat pesaing masuk ke pasar
walaupun tindakan-tindakan itu sendiri tidak illegal.
23
M. Hawin, dkk, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya, CICODS FH-UGM, Yogyakarta, 2009, hal. 86
70
Namun, pengadilan-pengadilan semenjak tahun
1870an tidak lagi mengikuti pendekatan Alcoa dan
United Shoe membatasi cakupan pelanggaran Section
2 Sherman Act. Jadi telah terjadi perkembangan di
Amerika Serikat. Standart Oil (1911) dan American
Tobacco (1911) mengunakan “teori penyalahgunaan”
(the abuse theory), Alcoa (1945) dan United Shoe (1953)
kemudian meninggalkannya. Selanjutnya mulai tahun
1979, pengadilan kembali menggunakan teori
penyalahgunaan. Artinya, sebagaimana dalam
Standard Oil dan American Tobacco, actual purpose or
intent harus terbukti untuk penyalahgunaan posisi
dominan.24
2. Pengaturan Penyalahgunaan Posisi Dominan di
Indonesia
Sebelum menguraikan pengatuan
penyalahgunaan posisi dominan di Indonesia. Terlebih
dahulu, penulis menjelaskan mengenai pengertian
penyalahgunaan posisi dominan. Istilah
penyalahgunaan posisi dominan terdiri dari kata-kata
penyalahgunaan, posisi, dan dominan. Secara harfiah
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata
24
Ibid
71
“penyalahgunaan” adalah suatu proses, cara,
perbuatan penyalahgunaan atau perbuatan
penyelewengan (penyimpangan atau pengkhianatan),
sedangkan arti kata “posisi” adalah kedudukan (orang
atau barang) sementara arti kata “dominan” adalah
bersifat sangat menentukan karena kekuasaan,
pengaruh, tampak menonjol.25 Oleh karena itu,
penyalahgunaan posisi dominan berarti proses, cara,
perbuatan menyelewengkan kedudukan yang bersifat
sangat menentukan karena memiliki kekuasaan atau
pengaruh (dalam hal kegiatan ekonomi).
Arie Siswanto (2004), menyatakan dalam
bukunya yang berjudul Hukum Persaingan Usaha
bahwa penyalahgunaan posisi dominan ini merupakan
praktik yang memiliki cakupan luas. Ketika seorang
pelaku usaha yang memiliki posisi dominasi ekonomi
melalui kontrak mensyaratkan agar konsumenya tidak
berhubungan dengan pesaingnya, maka ia dianggap
telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan.
Demikian juga apabila pelaku usaha yang memegang
posisi dominan dengan basis “take it or leave it”
membuat penentuan harga di luar kewajaran.26
25
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008. 26
Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2004, hal. 45
72
Istilah penyalahgunaan posisi dominan berasal
dan dialihbahasakan dari bahasa Inggris abuse of
dominant position. Istilah ini merupakan istilah hukum
yang digunakan dan diatur substansinya dalam UU
No. 5 Tahun 1999. Akan tetapi defenisi
penyalahgunaan posisi dominan tidak ditemukan
dalam UU tersebut. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa pembentuk undang-undang menyerahkan
definisi penyalahgunaan posisi dominan kepada
doktrin, kebiasaan (praktik hukum), dan
yurisprudensi yang mencakup uraian definisi,
batasan, unsur-unsur, ciri-ciri dan kriteria yang
mengabstraksikan penyalahgunaan posisi dominan.27
Selanjutnya penulis menguraikan pengaturan
penyalahgunaan posisi dominan di Indonesia. Pelaku
usaha yang memiliki posisi dominan tidak dilarang
oleh UU No. 5/1999, asalkan pencapaian posisi
dominan tersebut dilakukan melalui persaingan usaha
yang sehat atau fair. Yang dilarang oleh UU No.
5/1999 adalah apabila pelaku usaha tersebut
menyalahgunakan posisi dominannya.
Pertanyaannya adalah bagaimana pelaku usaha
melakukan penyalahgunaan posisi dominannya
27
http://budiyana.wordpress.com/2008/01/21/konsepsi-penyalahgunaan-posisi-dominan/
73
sehingga pasar dapat terdistorsi. Bentuk-bentuk
penyalahgunaan posisi dominan atau hambatan-
hambatan persaingan usaha yang dapat dilakukan
oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan
adalah ditetapkan di dalam Pasal 25 ayat 1. Ketentuan
Pasal tersebut menetapkan bahwa pelaku usaha
dilarang menggunakan posisi dominan baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk :
a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan
tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi
konsumen memperoleh barang dan/atau jasa
yang bersaing dari segi harga maupun kualitas;
atau
b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi;
atau
c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi
menjadi pesaing untuk memasuki pasar yang
bersangkutan.
Untuk memahami lebih dalam mengenai isi Pasal 25
ini, maka penulis melakukan penafsiran berdasarkan
Buku Ajar Hukum Persaingan Usaha antara Teks dan
Konteks28, yang menjelaskan mengenai isi Pasal 25
ayat 1 tersebut, yaitu:
28
Lubis, Andi Fahmi (dkk.), Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, Printed in Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 180
74
a. Mencegah atau menghalangi konsumen
Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan
dapat melakukan suatu tindakan untuk mencegah
atau menghalangi konsumen untuk memperoleh
barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi
harga maupun kualitas dengan menetapkan syarat
perdagangan. Syarat utama yang harus dipenuhi oleh
ketentuan Pasal 25 ayat 1 huruf a adalah syarat
perdagangan yang dapat mencegah konsumen
memperoleh barang yang bersaing baik dari segi harga
maupun dari segi kualitas. Dapat disimpulkan bahwa
konsumen telah mempunyai hubungan bisnis dengan
pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan.
Pertanyaannya adalah mengapa pelaku usaha
yang mempunyai posisi dominan dapat mengontrol
konsumen atau pembeli untuk tidak membeli barang
dari pesaingnya? Biasanya konsumen tersebut ada
ketergantungan terhadap pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan. Posisi dominan pelaku
usaha yang dapat mencegah konsumen untuk tidak
memperoleh barang atau jasa dari pesaing pelaku
usaha yang mempunyai posisi dominan adalah sangat
kuat. Dikatakan sangat kuat, karena pelaku usaha
tersebut dapat mengontrol perilaku konsumen
tersebut untuk tidak membeli barang yang bersaing
75
dari pesaing pelaku usaha yang mempunyai posisi
dominan tersebut. Mengapa pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan dapat mengontrol
konsumen/pembeli tersebut? karena pelaku usaha
yang mempunyai posisi dominan menetapkan syarat-
syarat perdagangan di depan, yaitu pada waktu
konsumen/ pembeli mengadakan hubungan bisnis
dengan pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan
tersebut. Hal ini memang agak jarang ditemukan di
dalam aturan hukum persaingan usaha negara lain.
Yang sering terjadi adalah bahwa pelaku usaha posisi
dominan menolak pelaku usaha yang lain (pembeli)
untuk mendapatkan barang dari pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan tersebut (refusal to deal).
b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi
Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan
dapat membatasi pasar. Pengertian membatasi pasar
di dalam ketentuan ini tidak dibatasi. Pengertian
membatasi pasar yang dilakukan oleh pelaku usaha
yang mempunyai posisi dominan sebagai penjual atau
pembeli dapat diartikan dimana pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan mempunyai kemungkinan
besar untuk mendistorsi pasar yang mengakibatkan
pelaku usaha pesaingnya sulit untuk dapat bersaing di
76
pasar yang bersangkutan. Bentuk-bentuk membatasi
pasar dapat dilakukan berupa melakukan hambatan
masuk pasar (entry barrier), mengatur pasokan barang
di pasar atau membatasi peredaran dan/atau
penjualan barang dan/atau jasa di pasar yang
bersangkutan29 dan melakukan jual rugi yang akan
menyingkirkan persaingnya dari pasar.30 Termasuk
melakukan perjanjian tertutup31 dan praktik
diskriminasi32 dapat dikategorikan suatu tindakan
membatasi pasar.
Misalnya definisi diskriminasi tidak ada ditetapkan di
dalam UU No. 5/1999. Secara umum tindakan
diskriminasi dapat diartikan bahwa seseorang atau
pelaku usaha memperlakukan pelaku usaha lain
secara istimewa, dan pihak lain pelaku usaha lain
tidak boleh menikmati keistimewaan tersebut, atau
ditolak. Atau pelaku usaha yang menguasai suatu
fasilitas jaringan teknologi tertentu (essential facilities
doctrine) yang seharusnya dapat dibagikan kepada
pelaku usaha pesaingnya asalkan tidak mengganggu
sistem jaringan teknologi tersebut jika dibagikan
kepada pelaku usaha pesaingnya. Tentu pelaku usaha
29
Pasal 19 huruf c UU No. 5 tahun 1999. 30Ibid., Pasal. 20 31
Ibid., Pasal. 15 32
Ibid., Pasal. 19
77
yang menikmati jaringan teknologi harus membayar
sejumlah uang sebagai ganti rugi penggunaan jaringan
tersebut.
Penyalahgunaan yang lain yang diatur di dalam
25 ayat (1) huruf b adalah membatasi pengembangan
teknologi. Sebenarnya pengembangan teknologi adalah
merupakan hak monopoli pelaku usaha tertentu yang
menemukannya menjadi hak atas kekayaan
intelektual penemunya. Hal ini sejalan dengan
ketentuan Pasal 50 huruf b UU No. 5/1999 yang
mengecualikan hak atas kekayaan intelektual. Oleh
karena itu, pengertian pembatasan pengembangan
teknologi harus diinterpretasikan sebagai upaya
pelaku usaha tertentu terhadap pengembangan
teknologi yang dilakukan oleh pelaku usaha
pesaingnya untuk meningkatkan produksi barang baik
segi kualitas mapun kuantitas.
c. Menghambat pesaing potensial
Bentuk penyalagunaan posisi dominan yang
dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi
dominan adalah menghambat pelaku usaha yang lain
yang berpotensi menjadi pesaing di pasar yang
bersangkutan. Ketentuan ini ada kesamaan dengan
78
larangan Pasal 19 huruf a yang menetapan menolak
dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk
melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar
bersangkutan. Di dalam hukum persaingan usaha
dikenal apa yang disebut dengan pesaing faktual dan
pesaing potensial.33 Pesaing faktual adalah pelaku
usaha-pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha
yang sama di pasar yang bersangkutan. Sedangkan
pesaing potensial adalah pelaku usaha yang
mempunyai potensi yang ingin masuk ke pasar yang
bersangkutan, baik oleh pelaku usaha dalam negeri
maupun pelaku usaha dari luar negeri. Hambatan
masuk pasar bagi pesaing potensial yang dilakukan
oleh perusahaan swasta dan hambatan masuk pasar
oleh karena kebijakan-kebijakan Negara atau
pemerintah.
Hambatan masuk pasar oleh pelaku usaha posisi
dominan swasta adalah penguasaan produk suatu
barang mulai proses produki dari hulu ke hilir hingga
pendistribusian – sehingga perusahaan tersebut
demikian kokoh pada sektor tertentu mengakibatkan
pelaku usaha potensial tidak mampu masu ke pasar
yang bersangkautan. Sedangkan hambatan masuk
33
Silalahi, Udin, Perusahaan Saling Mematikan & Bersekongkol: Bagaimana Cara Memenangkan?, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2007.
79
pasar akibat kebijakan negara atau pemerintah ada
dua, yaitu hambatan masuk pasar secara struktur dan
strategis. Hambatan masuk pasar secara struktur
adalah dalam kaitan sistem paten dan lisensi.
Sementara hambatan masuk pasar secara strategis
adalah kebijakan-kebijakan yang memberikan
perlindungan atau perlakuan khusus bagi pelaku
usaha tertentu, akibatnya pesaing potensial tidak
dapat masuk ke dalam pasar. Jadi, di dalam hukum
persaingan usaha ukuran yang sangat penting adalah
bahwa pesaing potensial bebas keluar masuk ke pasar
yang bersangkutan.
Selain pelaku usaha yang dominan dapat
melakukan penyalahgunaan posisi dominannya
sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 25 ayat 1
tersebut, pelaku usaha tersebut dapat juga melakukan
perilaku yang diskriminatif, baik diskriminasi harga
dan non harga dan jual rugi (predatory pricing).
Peraturan KPPU No.6 tahun 2010 tentang
pedoman pelaksanaan Pasal 25 tentang
penyalahgunaan posisi dominan berdasarkan UU No.5
tahun 1999, menguraikan konsep dasar
penyalahgunaan posisi dominan yaitu pertama,
penentuan posisi dominan, dan kedua, melakukan
tindakan yang bersifat antipersaingan. Konsep dasar
80
ini berawal dari pemikiran bahwa penyalahgunaan
posisi dominan (abuse of dominant position) muncul
ketika pelaku usaha memiliki kekuatan secara
ekonomi yang memungkinkan pelaku usaha yang
bersangkutan untuk beroperasi di pasar tanpa
terpengaruh oleh persaingan dan melakukan tindakan
yang dapat mengurangi persaingan (lessen
competition).
a. Perilaku Eksklusif
PPD biasanya dapat dilihat dari perilaku strategis
perusahaan atau strategic behavior. Strategic behavior
adalah sebuah konsep bagaimana sebuah perusahaan
dapat mengurangi tingkat persaingan yang berasal
dari pesaing yang sudah ada maupun pesaing
potensial yang baru akan bermain di pasar yang pada
dasarnya ditujukan untuk menigkatkan profit
perusahaan. Perilaku ini tidak hanya dipusatkan pada
penetapan harga maupun kualitas secara sederhana.
Namun lebih kompleks lagi mengejar pangsa pasar,
memperlebar kapasitas, hingga mempersempit ruang
gerak pesaing.
Strategic behavior terdiri dari dua tipe yaitu,
dalam bentuk kooperatif maupun non kooperatif.
Strategic behavior kooperatif diciptakan untuk
mengubah kondisi pasar sehingga memudahkan
81
semua perusahaan untuk berkoordinasi dan
membatasi respon pesaingnya. Bentuk Strategic
behavior kooperatif ini mampu meningkatkan profit
semua perusahaan yang bermain di pasar dengan
meminimalisir persaingan. Konsep kedua ini mengacu
pada perilaku kolusif yang dimotori oleh perusahaan
dominan. Perilaku Price Leadership termasuk ke dalam
tipe kedua ini. Sementara Strategic behavior yang
bersifat non kooperatif mengacu pada tindakan pelaku
usaha yang mencoba meningkatkan profit dengan
meningkatkan posisi relatifnya terhadap pesaing.
Pelaku usaha tidak melakukan kerjasama satu sama
lain. Strategic behavior jenis ini biasanya
meningkatkan profit satu perusahaan dan
menurunkan profit perusahaan pesaing.
Perilaku strategis yang termasuk dalam kategori
bersifat non kooperatif ini dapat diistilahkan sebagai
perilaku eksklusif (exclusionary strategic behavior).
Perilaku ekslusif ini merupakan perilaku perusahaan
dominan untuk membatasi atau menyingkirkan
perusahaan pesaingnya, yang terdiri dari dua kategori
yaitu perilaku harga dan perilaku non-harga.
Khusus mengenai perilaku yang menggunakan
instrumen harga, terbagi atas dua jenis yaitu
Predatory pricing dan limit pricing. Dua jenis model ini
82
melibatkan kebijakan perusahaan yang dirancang
untuk membuat pesaing tidak tertarik untuk
berkompetisi di pasar. Perusahaan dominan biasanya
memanfaatkan keunggulan posisinya (baik dalam hal
kemampuan produksi, distribusi, akses kepada
pasokan, maupun keuangan) ketika melakukan
strategi perusahaan dalam mengejar pasar.
1. Predatory Pricing
Predatory Pricing merupakan tindakan dari
sebuah perusahaan dominan yang mengeluarkan
pesaingnya dengan cara menetapkan harga di bawah
biaya produksi. Akan tetapi dalam praktiknya juga
digunakan untuk mencegah pesaing masuk ke pasar.
Begitu semua pesaing telah keluar, maka pelaku
usaha dominan langsung menaikkan harga. Selama
periode praktik predatori ini, pelaku usaha dominan
kehilangan keuntungan dan mengalami kerugian
melebihi kerugian pesaingnya. Pelaku usaha dominan
harus mendapatkan semua permintaan pada tingkat
harga yang rendah. Sehingga dapat memelihara harga
yang rendah. Akan tetapi, pesaing masih bebas
menentukan output guna mengurangi kerugiannya.
Tentu saja, selama periode Predatory Pricing ini,
kerugian pelaku usaha dominan lebih besar dibanding
83
pesaingnya. Dalam periode ini, konsumenlah yang
memperoleh manfaat, konsumen dapat membeli
produk yang murah. Namun setelah periode ini
selesai, ketika harga harga meningkat pada level yang
lebih tinggi (pada harga monopoli), maka konsumen
akan mengalami kerugian.
Andaikata praktik ini berhasil hingga memaksa
pesaing bangkrut, maka dapat dipastikan aset pesaing
secara permanen dapat ditarik keluar dari industri
atau paling tidak dapat dikuasai oleh predator. Jika
tidak, perusahaa lainnya akan masuk dan membeli
aset tersebut dan persaingan kembali tidak dapat
dihindari. Oleh karena itu, strategi yang paling jitu
supaya praktik ini berhasil adalah membuat pesaing
bangkrut dan membeli semua aset pesaing dengan
harga penawaran.
2. Limit Pricing
Strategic behavoir lainnya yang juga termasuk
perilaku penyalahgunaan posisi dominan adalah Limit
Pricing. Konsep sederhana Limit Pricing, potential
entrant percaya bahwa pelaku usaha dominan tidak
mengubah level outputnya setelah ada pemain baru.
Oleh karena itu, pemain baru akan percaya bahwa
total output industri akan sama dengan output pesaing
84
ditambah output incumbent. Pada model ini, dominan
memilih level output dan harga untuk menghilangkan
insentif perusahaan untuk masuk ke pasar. Sehingga
dengan memilih pembatasan produksi, pelaku usaha
dominan mampu mengenakan Limit Pricing pada harga
tinggi, meskipun sebetulnya pelaku usaha dominan
tidak harus berproduksi sebanyak pembatasan
produksi, hal itu dilakukan dalam rangka menghalangi
pesaing masuk, dan memberi ancaman saja dengan
sinyal jika pesaing benar-benar masuk.
b. Dampak PPD terhadap persaingan dan
konsumen.
Adanya PPD di pasar, maka hampir dipastikan
terjadi peningkatan tingkat kosentrasi di suatu
industri yang menjadi indikasi peningkatan market
power pelaku usaha dalam industri tersebut.
Peningkatan market power memberikan keleluasaan
bagi pelaku usaha untuk menetapkan harga (price
maker). Ada tidaknya market power yang dimiliki oleh
pelaku usaha, dapat diindikasikan dengan tingginya
harga jual produk, relatif dengan produk substitusi,
relatif dengan biaya produksi dan tingginya margin
keuntungan pelaku usaha di pasar bersangkutan. Ada
dua jenis dampak dari PPD ini yakni dampak
85
terhadap persaingan dan dampak terhadap
konsumen.
1. Dampak terhadap persaingan
Pada indsutri dimana terdapat pelaku usaha
dominan, tingginya market power perusahaan
dominan relatif terhadap para pesaingnya,
memudahkan pelaku usaha tersebut untuk
menentukan output dan harga tanpa terpengaruh
keputusan pesaing. Terdapat dua bentuk dampak
yang diakibatkan oleh penyalahgunaan posisi
dominan.
Dampak yang pertama muncul sebagai akibat dari
penerapan perilaku strategis yang bersifat kooperatif.
Keputusan pelaku usaha dominan untuk menetapkan
harga tinggi sebagai bentuk penggunaan market power
secara optimum akan menjadi pelindung dan insentif
bagi pesaing-pesaingnya untuk turut menikmati harga
yang tinggi tersebut. Fenomena ini adalah bentuk dari
munculnya price leadership. Price leadership yang
menjelaskan bahwa pelaku usaha dominan
mempunyai kekuatan sebagai price setter (penentu
harga). Harga yang ditetapkan oleh pelaku usaha
dominan kemudian akan diikuti oleh pelaku-pelaku
usaha lainnya sebagai price taker. Kehadiran Price
86
leadership dalam suatu industri menyebabkan pilihan
konsumen untuk menikmati harga yang lebih murah
menjadi terhambat. Indikasi terjadinya Price leadership
adalah tingginya harga produk, serta tingginya margin
keuntungan antar pelaku usaha.
Dampak yang kedua adalah hasil dari perilaku
strategis yang bersifat non kooperatif. Berdasarkan
uraian sebelumnya terlihat bahwa penerapan strategi
ini akan mampu membatasi atau mempersempit ruang
gerak bagi para pemain baru yang akan masuk ke
dalam industri, dan bahkan mampu mengeluarkan
atau membangkrutkan pelaku usaha pesaingnya.
2. Dampak terhadap konsumen
Pada periode Predatory Pricing dimana pelaku
usaha dominan menetapkan harga yang serendah-
rendahnya, tentu saja konsumen mendapatkan
dampak positif yakni terjadi peningkatan consumer
surplus. Akan tetapi setelah periode Predatory Pricing
tersebut berakhir, dan perusahaan dominan telah
berhasil „mengusir‟ pesaingnya keluar dan bersiap
untuk melakukan manuver sebagai monopolis, dapat
dipastikan peningkatan harga oleh perusahaan
dominan akan terjadi karena pesaing menjadi lebih
sedikit dan nyaris tidak memiliki kekuatan. Sehingga
87
consumer loss yang muncul sebagai akibat dari
tingginya harga jual produk dibandingkan dari yang
seharusnya dapat dijangkau lebih murah atau
kuantitas output di pasaran yang jumlahnya lebih
rendah atau sedikit dari yang seharusnya konsumen
dapatkan menjadi naik. Kerugian konsumen lainnya
dengan adanya tindakan PPD ini adalah hilangnya
kesempatan konsumen untuk memperoleh harga yang
lebih rendah, hilagnya kesempatan konsumen untuk
menggunakan layanan yang lebih banyak pada harga
yang sama, kerugian intangible konsumen, serta
terbatasnya alternatif pilihan konsumen.
c. Pembuktian PPD
Pembuktian dugaan PPD, KPPU menggunakan
pendekatan yang dibagi atas 3 (tiga) tahap, yakni:
1. Pendefenisian pasar bersangkutan
2. Pembuktian adanya posisi dominan di pasar
bersangkutan
3. Pembuktian apakah pelaku usaha yang yang
memiliki posisi dominan tersebut telah
melakukan PPD.
88
Adapun bagan proses pembuktian PPD ini yaitu
Bagan
Proses Pembuktian Pasal 2534
34Peraturan KPPU Nomor 6 Tahun 2010, tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 25 Tentang Penyalahunaan Posisi Dominan Berdasarkan UU No.5 tahun 1999, Hal. 20
Acuan: Psl 25 ayat 2 -Pangsa pasar >50% -Pangsa pasar >75%
Produk dan
Geografis
Stop
Dugaan Pelanggaran
Pasal 25
Tahap I: Defenisi Pasar Bersangkutan
Tahap II: Pembuktian Posisi
Dominan
Tahap III: Pembuktian
Penyalahgunaan Posisi Dominan
Psl 25 ayat 1 poin:
A dan/atau B dan/atau C
Dugaan Pelanggaran Psl 25
tidak terpenuhi
Dugaan Pelanggaran
Psl 25 terpenuhi
Tidak
Memenuhi
Memenuhi
Memenuhi
Stop Tidak
Memenuhi
89
Dari bagan di atas, maka penafsiran Pasal 25 ayat (2)
semakin jelas. Karena dari baga tersebut, diketahui
bahwa ketentuan penguasaan pangsa pasar 50%
untuk satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha dan 75% untuk dua atau tiga pelaku usaha
atau satu kelompok pelaku usaha sebagaimana diatur
di dalam Pasal 25 ayat 2 tersebut tidak bersifat
absolut. Secara normatif ketentuan Pasal 25 ayat 2
bersifat per se. Artinya, apabila suatu pelaku usaha
sudah menguasai pangsa pasar 50% untuk satu
pelaku usaha dan 75% untuk dua atau tiga pelaku
usaha, maka penguasaan pangsa pasar tersebut
langsung dilarang. Andaikata pendekatan per se
diterapkan kepada Pasal 25, maka sama dengan
menghambat tujuan UU No. 5/1999, yaitu mendorong
pelaku usaha berkembang berdasarkan persaingan
usaha yang sehat. Akan tetapi di dalam praktiknya
KPPU telah menerapkan ketentuan Pasal 25 ayat
tersebut dengan pendekatan rule of reason. Hal ini
untuk menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 4, Pasal
13, Pasal 17 dan Pasal 18 UU No. 5/1999 yang
menggunakan pendekatan rule of reason dalam
penerapannya. Alasan Pasal 25 harus diterapkan
dengan menggunakan pendekatan rule of reason yaitu
jika Pasal 25 diterapkan dengan pendekatan per se,
90
maka akan membatasi pertumbuhan (perkembangan)
pelaku usaha yang efisien dan inovatif serta kompetitif
di pasar yang bersangkutan.35
Penafsiran serta penerapan seperti ini memang
akan memicu perdebatan diantara KPPU dengan
praktisi hukum yang menginginkan ketentuan Pasal
25 diterapkan sesuai dengan ketentuan Pasal 25
tersebut tanpa perlu menginterpretasikan lebih lanjut.
Akan tetapi harus dilihat prinsip dan tujuan hukum
persaingan usaha, yaitu bukan untuk menghambat
persaingan tetapi untuk mendorong persaingan usaha.
Jadi, pelaku usaha yang dapat bersaing dengan
sehat dan melakukan efisiensi dan inovasi serta dapat
menjadi lebih unggul atau mempunyai posisi dominan
lebih dari pada yang ditetapkan di dalam Pasal 25 ayat
(2) tidak seharusnya dilarang. Sekali lagi pelaku usaha
yang menguasai pangsa pasar lebih dari 50% dan
apabila dua atau tiga pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75%
pangsa pasar, tidak dilarang asalkan pencapaian
tersebut dicapai dengan persaingan usaha yang sehat
atau fair. Sehingga karena ketentuan Pasal 4, 13, 17
35Lubis , Andi Fahmi, Buku Ajar Hk Persaingan Usaha antara Teks dan Konteks, ROV Creative Media , Jakarta, 2009, hal. 170
91
dan Pasal 18 menggunakan pendekatan rule of reason,
maka ketentuan Pasal 25 harus diterapkan dengan
pendekatan rule of reason. Kalau tidak demikian,
maka prinsip ketentuan Pasal 25 bertentangan dengan
ketentuan Pasal 4, 13, 17, dan Pasal 18 UU No.
5/1999.
Sebaliknya, jika suatu pelaku usaha tidak menguasai
pangsa pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha
(monopoli), tetapi dalam praktiknya dapat melakukan
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat. Hal ini dapat terjadi tergantung korelasi
penguasaan pangsa pasar suatu pelaku usaha yang
mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi
dibandingkan dengan sisa pangsa pasar yang dimiliki
oleh pesaing-pesaingnya.
Misalnya, kalau pelaku usaha A mempunyai pangsa
pasar 40% sementara pangsa pasar pesaingnya
tersebar kecil-kecil dikuasai oleh 6 pelaku usaha
dengan penguasaan pangsa pasar masing-masing
10%, yaitu pelaku usaha B menguasai 10%, C10%, D
10%, E 10%, F 10% dan Pelaku usaha G menguasai
10%. Jadi, jika struktur pasar yang demikian, maka
Pelaku usaha A yang mempunyai pangsa pasar 40%
dapat dikatakan sebagai pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan dibandingkan dengan
92
penguasaan pangsa pasar pesaingnya masing-masing
menguasai 10%.36 Dalam hal ini jika pelaku usaha
yang mempunyai pangsa pasar 40% tersebut mau, dia
dapat melakukan persaingan usaha tidak sehat di
pasar yang bersangkutan.
Dengan demikian ketentuan penetapan penguasaan
pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha atau
satu kelompok pelaku usaha dan penguasaan pangsa
pasar lebih dari 75% untuk dua atau tiga pelaku
usaha tidak berlaku mutlak, karena penguasaan
pangsa pasar di bawah 50% untuk pasar monopoli
dan di bawah 75% untuk pasar oligopoli yang
ditetapkan oleh Pasal 25 ayat 2 UU No. 5 dapat
melakukan persaingan usaha tidak sehat, tergantung
berapa sisa pangsa pasar yang dimiliki oleh pesaing-
pesaingnya. Oleh karena itu Heermann mengatakan
bahwa posisi dominan tidak harus berarti pangsa
pasar paling sedikit 50% atau 75%.
Ketentuan Pasal 25 tentang Penyalahgunaan Posisi
Dominan ini dapat dielaborasi dengan beberapa pasal
lain dalam UU Persaingan Usaha37, yakni:
1. Pasal 6
36
Silalahi, Udin, Perusahaan Saling Mematikan & Bersekongkol: Bagaimana Cara Memenangkan?, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2007, hal. 196 37
Peraturan KPPU Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 25 Tentang Penyalahunaan Posisi Dominan Berdasarkan UU No.5 tahun 1999.
93
Perusahaan yang memiliki posisi dominan
mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi
harga di pasar, diantaranya melalui penetapan
kebijakan harga (melalui perjanjian) yang
berbeda untuk barang dan/atau jasa yang sama
atau sejenis (diskriminasi harga).
2. Pasal 15
Perusahaan yang memiliki posisi dominan
memiliki kemampuan untuk melakukan
perjanjian tertutup, dalam hal ini mitra dagang
perusahaan yang bersangkutan tidak memiliki
posisi tawar yang kuat untuk memperoleh
persyaratan perjanjian yang lebih adil dan
proporsional secara ekonomis.
3. Pasal 17
Perusahaan dengan posisi dominan pada
hakekatnya identik dengan memiliki kekuatan
monopoli. Dalam kondisi tersebut potensi
terjadinya praktik monopoli yang menghambat
persaingan usaha sehat sangat mungkin terjadi.
4. Pasal 18
Perusahaan dengan posisi dominan, khususnya
di tingkat hilir memiliki kemampuan untuk
menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
94
pembeli tunggal melalui penetapan syarat-syarat
pembelian tidak wajar kepada supliernya.
5. Pasal 19
Perusahaan dengan posisi dominan pada
hakekatnya memiliki kemampuan untuk
menguasai pasar sehingga dapat melakukan
perilaku seperti diskriminasi, membatasi
peredaran barang atau jasa dan berbagai
perilaku anti persaingan lainnya.
6. Pasal 20
Perusahaan dengan posisi dominan memiliki
kemampuan untuk menetapkan jual rugi atau
harga yang sangat rendah dengan tujuan untuk
menyingkirkan pesaing secara tidak sehat.
7. Pasal 26
Perusahaan dapat melakukan penyalahgunaan
posisi dominan secara tidak langsung, yang
diakibatkan dari rangkap jabatan antar
perusahaan yang bersangkutan.
8. Pasal 27
Perusahaan dapat melakukan penyalahgunaan
posisi dominan secara tidak langsung, yang
95
diakibatkan kepemilikan silang antar
perusahaan yang bersangkutan.
9. Pasal 28
Perusahaan yang memiliki posisi dominan dapat
merupakan perusahaan hasil dari
penggabungan beberapa perusahaan, peleburan
dalam satu kelompok perusahaan dan/atau
pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan
lain.
Elaborasi Pasal 25 tentang penyalahgunaan posisi
dominan ini dengan beberapa Pasal lain yang telah
diuraikan di atas tidak berimplikasi pada penerapan
Pasal oleh KPPU. Artinya, KPPU dapat menerapkan
Pasal 25 sebagai dakwaan tunggal apabila terkait
struktur pasar, ataupun menggunakan pasal lain
(dakwaan berlapis) yang terkait dengan pembuktian
struktur pasar dan perilaku dari terlapor dalam
menyelidiki dugaan penyalahgunaan posisi dominan.38
C. Pasar Bersangkutan
Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan
dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu
atau daerah tertentu oleh pelaku usaha atas barang
38
Ibid
96
dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi
dari barang dan/atau jasa tersebut.39 Pengertian pasar
bersangkutan ini lebih menekankan pada konteks
horizontal yang menjelaskan posisi pelaku usaha
beserta pesaingnya. Hal ini dapat dikategorikan dalam
dua perspektif yaitu pasar berdasarkan produk.terkait
dengan kesamaan atau kesejenisan dan/atau tingkat
substitusinya dan pasar berdasarkan geografis yang
terkait dengan jangkauan dan/atau daerah pemasaran.
Dari definisi pasar bersangkutan di atas, maka
terdapat unsur-unsur penting yang terkandung
didalamnya yaitu:
1. Pasar adalah lembaga ekonomi di mana para
pembeli dan penjual baik secara langsung
maupun tidak langsung dapat melakukan
transaksi perdagangan barang dan/atau jasa.40
2. Jangkauan atau daerah pemasaran
Mengacu pada penetapan pasar bersangkutan
berdasarkan aspek geografis atau daerah
(teritori) yang merupakan lokasi pelaku usaha
melakukan kegiatan usahanya, dan/atau lokasi
ketersediaan atau peredaran produk dan jasa
dan/atau dimana beberapa daerah memiliki
39
Pasal 1 angka (10) UU No.5 tahun 1999. 40
Ibid., Pasal 1 angka (1)
97
kondisi persaingan relatif seragam dan berbeda
dibanding kondisi persaingan dengan daerah
lainnya.
3. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum atau bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
4. Sama atau sejenis atau substitusi.41
Mengacu pada definisi pasar bersangkutan
berdasarkan produk, maka produk bisa
dikategorikan dalam pasar bersangkutan atau
dapat digantikan satu sama lain apabila
menurut konsumen terdapat kesamaan dalam
hal fungsi atau penggunaan, karakter spesifik,
serta perbandingan tingkat harga produk
tersebut dengan harga barang lainnya. Jika
dilihat dari sisi penawaran, barang substitusi
merupakan produk yang potensial dihasilkan
41
Peraturan KPPU Nomor 3 tahun 2009 tentang Pedoman Penerapan Pasal 1 angka 10 Tentang Pasar Bersangkutan Berdasarkan UU No.5 tahun 1999.
98
oleh pelaku usaha yang berpotensi masuk ke
dalam pasar tersebut.
Pendefinisian pasar bersangkutan ini merupakan
salah cara untuk mengidentifikasi seberapa besar
penguasaan produk tertentu dalam pasar tersebut
oleh suatu pelaku usaha. Dalam pasar bersangkutan
yang cakupan terlalu sempit, maka sangat mungkin
pelaku usaha yang menguasai produk tertentu dinilai
menjadi pemegang posisi dominan. Akan tetapi
sebaliknya apabila definisi pasar produk tersebut
cakupannya terlalu luas, maka bisa jadi pelaku usaha
tersebut tidak dinilai sebagai pemegang posisi
dominan. Dalam hal inilah maka pendefinisian pasar
menjadi sangat strategis keberadaannya karena
melalui pendefinisian ini maka berbagai kondisi
faktual di pasar bisa dianalisis dalam perspektif
persaingan.
Seperti yang sudah dijelaskan di sebelumnya, pasar
bersangkutan memiliki dua aspek utama yakni produk
dan geografis (lokasi).42 Pasar produk, terdiri atas (2)
dua bagian yaitu:
1) Pasar produk upstream, yakni pemasok memiliki
susbtitusi terhadap peritel yang akan dipasok
42
Ibid
99
2) Pasar produk downstream, yakni substitusi dari
produk yang ditawarkan oleh peritel kepada
konsumen akhir.
Penentuan pasar bersangkutan tidak selalu
mudah jika dilihat dari prakti selama ini, karena
produk yang satu bisa saja berdekatan dengan produk
yang lain sehingga menimbulkan pertanyaan apakah
keduanya berada dalam pasar produk yang sama atau
tidak. Salah satu contoh menarik tentang hal ini
terjadi di Amerika Serikat dalam kasus U.S.v.E.I. du
Pont de Nemours & Company (1958). Dalam kasus
tersebut, Mahkamah Agung Amerika Serikat
dihadapkan pada persoalan tentang apakah du Pont
memonopoli pasar produk cellophane (sejenis perekat
dari bahan plastik). Jika pasar produk dalam kasus
itu secara konkret diartikan sebagai “pasar produk
cellophane”, du Pont memiliki pangsa pasar sebesar
75%, suatu presentase yang cukup untuk mengatakan
bahwa du Pont memonopoli pasar. Namun,
persoalannya pasar produk bisa sedikit diperluas
bukan hanya terbatas pada pasar produk cellophane,
melainkan juga meliputi produk-produk yang
„berdekatan‟ yang bersama-sama dengan cellophane
bisa digolongkan sebagai produk „alat untuk
mengemas paket‟ (packaging materials), seperti
100
alumunium foil, glasine, dan polyethilene. Jika pasar
produk dalam kasus ini diartikan sebagai pasar
produk „packaging materials‟, du Pont dengan
cellophane-nya hanya menguasai 20% pangsa pasar,
angka presentase yang tidak cukup untuk
mengatakan bahwa perusahaan itu melakukan
monopoli.
Untuk membantu menentukan pasar produk tertentu
yang tidak selalu mudah, konsep yang bisa digunakan
adalah “cross-elasticity demand” atau dapat tidaknya
produk yang satu digantikan oleh produk yang lain.
Jika dua produk bisa saling menggantikan meskipun
secara spesifik berbeda, bisa saja ditetapkan bahwa ke
dua produk tersebut berada dalam produk yang sama.
Konsep inilah yang juga diadopsi oleh Reed,
hakim yang menangani kasus du Pont. Dalam kasus
tersebut Reed mengatakan:
“An element for consideration as to cross elasticity of demand between products is the responsiveness of the sales of one products to price changes of the other. If a slight decrease in the price cellophane causes considerable numbers of customers of other flexible wrappings to switch to cellophane, it would be an indication that a high cross elasticity of demand exist between them; that the product complete in the same market.”43
43Siswanto, Arie, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2004, hal. 37
101
Pasar geografis, terdiri atas 2 (dua) bagian yaitu:
1) Pasar geografis upstream, yakni lokasi atau
daerah peritel memperoleh pasokan.
2) Pasar geografis downstream, yakni peralihan
pembeli antar peritel.
Pasar produk dalam hal ini ialah produk-produk
pesaing dari produk tertentu ditambah dengan produk
lain yang bisa menjadi substitusi dari produk tersebut.
Produk lain menjadi substitusi sebuah produk jika
keberadaan produk lain tersebut membatasi ruang
kenaikan harga dari produk tersebut. Sedangkan
pasar geografis adalah wilayah dimana suatu pelaku
usaha dapat meningkatkan harganya tanpa menarik
masuknya pelaku usaha baru atau tanpa kehilangan
konsumen yang signifikan, yang berpindah ke pelaku
usaha lain di luar wilayah tersebut. Biasanya hal
seperti ini terjadi karena biaya transportasi yang harus
dikeluarkan konsumen tidak signifikan, sehingga tidak
mampu mendorong terjadinya perpindahan konsumsi
produk tersebut. Jika dalam sebuah negara dijual
sebuah produk dengan biaya transportasi yang tidak
signifikan, maka pasar geografis produk tersebut
adalah seluruh wilayah negara tersebut. Di sisi lain,
jika pelaku usaha menjual produk dalam satu wilayah
102
tertentu dan konsumen tidak memiliki akses terhadap
produk dari luar wilayah tersebut, maka juga dapat
disimpulkan bahwa pasar geografis produk tersebut
adalah wilayah tersebut. Apabila batas wilayah pasar
geografis suatu produk tidak dapat ditentukan dengan
mudah, maka penetuan batasan pasar geografis dapat
dilakukan dengan mengidentifikasi apakah kenaikan
harga di suatu daerah secara substansial mampu
mempengaruhi suatu daerah yang lain. Bila demikian,
maka kedua lokasi tersebut berada pada pasar yang
sama.
Pada perkembangan yang terjadi, pendekatan
terhadap elastisitas permintaan dan penawaran dapat
dilakukan melalui analisis preferensi konsumen,
dengan menggunakan dua parameter utama pada
pasar produk sebagai alat pendekatan44yaitu:
a) Faktor harga.
Faktor harga yang dipertimbangkan dalam
menentukan pasar bersangkutan yaitu harga
produk yang mencerminkan harga pasar yang
wajar atau kompetitif.
Proses analisis terhadap harga yang tidak wajar
atau non kompetitif cenderung menghasilkan 44
Peraturan KPPU Nomor 3 tahun 2009 tentang Pedoman Penerapan Pasal 1 angka 10 Tentang Pasar Bersangkutan Berdasarkan UU No.5 tahun 1999.
103
estimasi pasar bersangkutan yang terlalu luas,
Produk-produk yang dianalisis tidak harus
memiliki kesamaan harga, karena variasi harga
dari produk-produk yang dianalisis sangat
mungkin terjadi.
Inti analisis terhadap parameter harga bukan
pada besaran nominal, tapi pada reaksi
konsumen terhadap perubahan harga yang
terjadi pada produk yang dimaksud,
Peningkatan harga (secara hipotetis) harus
hanya terjadi di produk A sementara harga
produk substitusi tidak berubah. Dengan kata
lain, peningkatan harga A tidak boleh memiliki
dampak inflasi, Peningkatan harga harus
diasumsikan berkesinambungan, yaitu
berlangsung lama (non transitory). Fluktuasi
harga jangka pendek dan (cyclical) sebisa
mungkin dikeluarkan (exclude) untuk
menghindari ketidakakuratan dalam pengolahan
dan analisis perubahan harga. Peningkatan
harga hipotetis harus sedikit saja namun
signifikan. Sehingga dengan sedikitnya kenaikan
harga maka respon pembeli hanya berpindah ke
produk yang merupakan substitusi.
b) Faktor karakter dan kegunaan produk
104
Parameter mengenai karakter atau cirri suatu
produk dan kegunaan (fungsi), dalam hal ini
produk dalam suatu pasar tidak harus memiliki
kualitas yang sama. Oleh karena saat ini tingkat
diferensiasi produk sudah sangat tinggi, dimana
produk tertentu memiliki jenjang variasi (range)
yang sangat lebar, baik dari spesifikasi teknis,
harga merk (brand) maupun kemasan
(packaging).
Sepanjang konsumen menentukan bahwa
produk terkait memiliki karakter dan fungsi
yang sama, maka produk-produk tersebut dapat
dikatakan sebagai substitusi satu sama lain
terlepas dari spesifikasi teknis, merk atau
kemasan tertentu yang melekat di produk
produk tersebut. Akan tetapi jika sebaliknya
konsumen menentukan bahwa produk-produk
dimaksud tidak memiliki kesamaan fungsi dan
karakter yang diperlukan, maka produk tersebut
tidak dapat dikategorikan sebagai substitusi,
walaupun terdapat kemiripan atau kesamaan
dalam spesifikasi teknis, merk maupun
kemasan.45
45
Ibid
105
Penggunaan dua parameter tersebut di atas
dapat memberikan informasi yang valid dan
komprehensif mengenai sifat substitusi suatu produk
dengan produk lain, dengan metodologi serta proses
analisis yang lebih sesuai dengan keterbatasan data
serta waktu yang dimiliki oleh KPPU. Penetapan pasar
berdasarkan aspek geografis sangat ditentukan oleh
ketersediaan produk yang menjadi obyek analisa.
Beberapa faktor yang menentukan dalam
ketersediaan produk tersebut adalah sebagai berikut:
1) Kebijakan perusahaan
2) Biaya transportasi
3) Lamanya perjalanan
4) Tarif dan peraturan-peraturan yang
membatasi lalu lintas perdagangan antar
kota/wilayah.
Berbagai faktor tersebut akan menentukan luas
dan cakupan wilayah dari produk yang dijadikan
obyek analisa. Faktor tersebut merupakan salah satu
indikasi langsung mengenai cakupan pasar geografis.
Dalam hal ini, keputusan pimpinan perusahaan akan
sangat menentukan logistik produk terutama untuk
daerah atau wilayah yang dijadikan target pemasaran.
106
Penentuan daerah atau wilayah yang dijadikan
target pemasaran tentunya merupakan bagian dari
strategi yang disesuaikan dengan program dan
rencana strategis perusahaan. Dengan demikian,
strategi wilayah pemasaran yang telah atau akan
ditetapkan oleh manajemen perusahaan, akan
memberikan informasi mengenai luas atau cakupan
geografis dari produk yang dijadikan obyek analisa.
Selain kebijakan perusahaan, indikator mengenai
biaya serta waktu transportasi, tarif dan regulasi
secara langsung mempengaruhi ketersediaan produk
di wilayah tertentu. Dengan kata lain, keempat
parameter tersebut dapat menjadi indikasi mengenai
luas dan cakupan geografis dari produk yang dijadikan
obyek analisa. Secara sederhana, biaya transportasi
yang tinggi serta waktu transportasi yang lama akan
menyulitkan pelaku usaha untuk memperluas wilayah
penjualan produknya.
Dengan demikian, cakupan pasar dalam kondisi
tersebut akan relatif terbatas untuk wilayah produksi
atau pemasaran yang sudah ada (existing). Sebaliknya,
apabila biaya serta waktu transportasi relatif tidak
signifikan, maka ada insentif bagi pelaku usaha untuk
107
melakukan ekspansi pasar mengarah ke wilayah
pemasaran yang lebih luas.46
Hambatan perdagangan berupa tarif dan non-tarif
menjadi batasan bagi penentuan pasar bersangkutan
berdasarkan aspek geografis. Tarif perdagangan
mengakibatkan peningkatan harga produk impor
sehingga menurunkan minat beli konsumen atas
produk tersebut, akibatnya adalah lalu lintas produk
yang masuk dalam satu wilayah (negara) tertentu
menjadi berkurang atau tidak signifikan. Sehingga
dengan makin berkurangnya pasokan produk dalam
satu wilayah cenderung mempersempit cakupan
geografis dari produk yang dijadikan obyek analisa.
D. Teori Tujuan Hukum Menurut Roscoe
Pound dan Gustav Radbruch
1. Teori Roscoe Pound
Roscoe Pound adalah ahli hukum pertama
menganalisis yurisprudensi serta metodologi ilmu-ilmu
sosial. Hingga saat itu, filsafat yang telah dianut
selama berabad-abad dituding telah gagal dalam
menawarkan teori semacam itu, fungsi logika sebagai
sarana berpikir semakin terabaikan dengan usaha-
46
Ibid
108
usaha yang dilakukan oleh Langdell serta para
koleganya dari Jerman. Pound menyatakan bahwa
hukum adalah lembaga terpenting dalam
melaksanakan kontrol sosial. Hukum secara bertahap
telah menggantikan fungsi agama dan moralitas
sebagai instrumen penting untuk mencapai ketertiban
sosial. Menurutnya, kontrol sosial diperlukan untuk
melestarikan peradaban karena fungsi utamanya
adalah mengendalikan "aspek internal atau sifat
manusia", yang dianggapnya sangat diperlukan untuk
menaklukkan aspek eksternal atau lingkungan
fisikal.47
Pound menyatakan bahwa kontrol sosial
diperlukan untuk menguatkan peradaban masyarakat
manusia karena mengendalikan perilaku antisosial
yang bertentangan dengan kaidah-kaidah ketertiban
sosial. Hukum, sebagai mekanisme kontrol sosial,
merupakan fungsi utama dari Negara dan bekerja
melalui penerapan kekuatan yang dilaksanakan secara
sistematis dan teratur oleh agen yang ditunjuk untuk
melakukan fungsi itu. Akan tetapi, Pound
menambahkan bahwa hukum saja tidak cukup, ia
membutuhkan dukungan dari institusi keluarga,
47
http://deffs.blogspot.com/2009/10/teori-hukum-roscoe-pond.html, diakses tanggal 31 Januari 2012
109
pendidikan, moral, dan agama. Hukum adalah sistem
ajaran dengan unsur ideal dan empiris, yang
menggabungkan teori hukum kodrat dan positivistik.
Salah satu pendapat atau uraian Pound
mengatakan bahwa pentingnya melakukan
penyelesaian individual secara ketemu nalar selama
ini lebih sering dikorbankan demi mencapai suatu
tingkat kepastian yang sebetulnya tidak mungkin.
Aliran ini menerima kehadiran peraturan-peraturan
hukum sebagai pedoman yang umum bagi para hakim
yang akan menuntunnya ke arah hasil yang adil,
tetapi mendesak agar dalam batas-batas yang cukup
luas hakim harus bebas untuk mempersoalkan kasus
yang dihadapinya, sehingga bisa memenuhi tuntutan
keadilan di antara pihak-pihak yang bersengketa dan
bertindak sesuai dengan nalar yang umum dari orang
kebiasaan.48
Pound juga mengatakan bahwa hukum kodrati
dari setiap masa pada dasarnya berupa sebuah
hukum kodrati yang "positif", versi ideal dari hukum
positif pada masa dan tempat tertentu, "naturalisasi"
untuk kepentingan kontrol sosial manakala kekuatan
yang ditetapkan oleh masyarakat yang terorganisasi
48
Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Perubahan Sosial, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, Hal. 135
110
tidak lagi dianggap sebagai alat pembenar yang
memadai.
Pound mengakui kekaburan dari ketiga pengertian
dari istilah hukum: hukum sebagai kaidah sosial,
badan hukum sebagai badan yang otoritatif, serta
hukum sebagai proses peradilan. Sehubungan dengan
itu, Pound berusaha menyatukan ketiga pengertian
tersebut ke dalam sebuah definisi. Ia mendefinisikan
hukum dengan fungsi utama dalam melakukan
kontrol sosial. Hukum adalah suatu bentuk khusus
dari kontrol sosial, dilaksanakan melalui badan
khusus berdasarkan ajaran yang otoritatif, serta
diterapkan dalam konteks dan proses hukum serta
administrasi.
Pound pun mengakui bahwa fungsi lain dari
hukum adalah sebagai sarana untuk melakukan
rekayasa sosial (social engineering). Keadilan bukanlah
hubungan sosial yang ideal atau beberapa bentuk
kebajikan. Ia merupakan suatu hal dari "penyesuaian-
penyesuaian hubungan sosial dan penataan perilaku
sehingga tercipta kebaikan, alat yang memuaskan
keinginan manusia untuk memiliki dan mengerjakan
sesuatu, melampaui berbagai kemungkinan terjadinya
ketegangan, inti teorinya terletak pada konsep
"kepentingan". Ia mengatakan bahwa sistem hukum
111
mencapai tujuan ketertiban hukum dengan mengakui
kepentingan-kepentingan tersebut, dengan
menentukan batasan-batasan pengakuan atas
kepentingan-kepentingan tersebut dan aturan hukum
yang dikembangkan serta diterapkan oleh proses
peradilan memiliki dampak positif serta dilaksanakan
melalui prosedur yang berwibawa, juga berusaha
menghormati berbagai kepentingan sesuai dengan
batas-batas yang diakui dan ditetapkan.
Pound mengatakan bahwa kebutuhan akan
adanya kontrol sosial bersumber dari fakta mengenai
kelangkaan. Kelangkaan mendorong kebutuhan untuk
menciptakan sebuah sistem hukum yang mampu
mengklasifikasikan berbagai kepentingan. Ia
menyatakan bahwa hukum tidak melahirkan
kepentingan, melainkan menemukannya dan
menjamin keamanannya. Hukum memilih untuk
berbagai kepentingan yang dibutuhkan untuk
mempertahankan dan mengembangan peradaban.
Pound mengakui adanya tumpang tindih dari berbagai
kelompok kepentingan, yaitu antara kepentingan
individual atau personal dengan kepentingan publik
atau sosial. Semua itu diamankan melalui dan
ditetapkan dengan status “hak hukum”.
112
Pound mengemukakan bahwa ahli hukum
hendaknya lebih mengarahkan penglihatannya kepada
bekerjanya hukum daripada kepada isinya yang
abstrak. Ini juga dimaksudkan dalam rangka untuk
keperluan usaha-usaha perombakan atau
pembaharuan hukum selain itu juga digunakan untuk
pemahaman ilmu hukum.49
Dengan pendekatannya terhadap hukum yang disebut
pendekatan social engineering, Pound ingin
menekankan pentingnya membedakan hukum
sebagaimana tertulis dari paktik hukum. Menurutnya
hukum harus memuat ajaran dan sekaligus ideal yang
mendorong masyarakat ke masa depan yang lebih
baik.50
Jadi Roscoe Pound menekankan pada Law is a
tool of a social engineering.51 Sebagai "alat kontrol
sosial", Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
berusaha menjaga kepentingan umum dan mencegah
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat. Selanjutnya sebagai "alat rekayasa sosial",
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berusaha untuk
49
Ibid., Hal. 23. 50
Ata Ujan, Andre, Membangun Hukum, Membela Keadilan, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2009, Hal. 48 51
http://teorihukum.wordpress.com/2010/07/27/teori-roscoe-pound/, diakses tanggal 31 Januari 2012
113
meningkatkan efisiensi ekonomi nasional,
mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui
pengaturan persaingan usaha yang sehat, dan
berusaha menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam
kegiatan usaha.52
Apabila cita-cita ideal tersebut dapat
dioperasionalkan dalam kehidupan nyata, Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 khususnya pengaturan
mengenai larangan penyalahgunaan posisi dominan
ini akan membawa nilai positif bagi perkembangan
iklim usaha di Indonesia, yang selama ini dapat
dikatakan jauh dari kondisi ideal.53
2. Teori Gustav Radbruch
Pada dasarnya hukum memiliki 3 (tiga) aspek
yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian.54 Gustav
meletakkan nilai keadilan sebagai mahkota dari setiap
tata hukum. Sehingga Radbruch memandang „materi‟
dan „bentuk‟ seperti dua sisi mata dari satu mata
uang. „materi‟ mengisi „bentuk‟, sebaliknya „bentuk‟
melindungi „materi‟. Itulah kira-kira frase yang tepat
52
Usman, Rachmadi, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hal. 8 53Ibid 54
Dwiyatmi, Sri Harini, Bahan kuliah Sosiologi Hukum Magister Ilmu Hukum UKSW, Salatiga, 2010, hal.15 kolom 58-59
114
untuk menggambarkan teori Radbruch tentang hukum
dan keadilan. Nilai keadilan merupakan „materi‟ yang
harus menjadi isi aturan hukum, sedangkan aturan
hukum sebagai „bentuk‟ yang harus melindungi nilai
keadilan.55
Aspek kemanfaatan menunjuk pada tujuan
keadilan yakni memajukan kebaikan dalam diri
manusia. Nilai kebaikan bagi manusia biasanya
berhubungan dengan tiga subjek (yang hendak
dimajukan kebaikannya) yaitu individu, kolektivitas
dan kebudayaan. Jika subjeknya adalah individu,
maka hukum yang disusun untuk tujuan yang bersifat
individualistis ini, tidak hanya mengagungkan individu
dan martabatnya akan tetapi juga memberi
perlindungan khusus seperti dalam konstitusi
Amerika.56 Sementara jika subjeknya adalah Negara,
maka tujuan hukumnya adalah kemajuan Negara
yang menghasilkan sistem hukum kolektif. Sedangkan
jika subjek yang dituju adalah kebudayaan maka
sistem hukum yang diciptakan adalah sistem hukum
55Tanya, Bernard L., Yoan & Markus, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Semarang, 2006.hal. 129 56
Ibid
115
transpersonal. Disini aspek kebudayaan atau hasil
peradaban mendapat perhatian khusus.57
Aspek kepastian menunjuk pada jaminan bahwa
hukum (yang berisi keadilan dan norma-norma yang
memajukan kebaikan) benar-benar berfungsi sebagai
peraturan yang ditaati.
Undang-Undang Persaingan Usaha Indonesia
dibuat dalam rangka untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Hal ini berkaitan dengan demokrasi ekonomi
yang menghendaki adanya kesempatan yang sama
bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam
proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa,
dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien
sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan
bekerjanya ekonomi pasar yang wajar. Ini merupakan
salah satu tujuan hukum dari sisi keadilan yang
dikehendaki oleh Gustav Radbruch sehingga setiap
orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam
situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga
tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan
ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak
terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan
57
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1982, hal. 163
116
oleh negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-
perjanjian internasional.
Tujuan hukum yang dimaksudkan oleh Gustav
Radbruch jika dikaitkan dengan UU Persaingan Usaha
maka bisa dilihat dari Pasal 3 UU No.5 tahun 1999
yang mengatur mengenai tujuan pembentukan UU
Persaingan Usaha Indonesia yaitu:
a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan
efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat;
b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui
pengaturan persaingan usaha yang sehat
sehingga menjamin adanya kepastian
kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku
usaha besar, pelaku usaha menengah, dan
pelaku usaha kecil;
c. mencegah praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan
oleh pelaku usaha; dan
d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam
kegiatan usaha.
Dari rumusan Pasal 3 di atas, jika dilihat dari sisi
kepastian sangat diakomodir karena UU Persaingan
117
usaha ini memberi kepastian kesempatan berusaha
yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha
menengah, dan pelaku usaha kecil. Sementara dari
sisi kemanfaatan, jelas bahwa UU Persaingan usaha
ini menghendaki adanya peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Sehingga dengan UU Persaingan usaha
ini dapat dinikmati oleh semua kalangan baik pelaku
usaha begitu pula dengan masyarakat. Disinilah letak
keadilan yang dimaksudkan oleh Gustav Radbruch.
Undang-Undang Persaingan Usaha Indonesia
tidak bertujuan melindungi persaingan usaha demi
kepentingan persaingan itu sendiri. Oleh karena itu,
ketentuan Pasal 3 tidak hanya terbatas pada tujuan
utama undang-undang antimonopoli, yaitu sistem
persaingan usaha yang bebas dan adil, di mana
terdapat kepastian kesempatan berusaha yang sama
bagi semua pelaku usaha.. Tujuan ini telah ditegaskan
dalam Pasal 3 huruf (b) dan (c) UU No.5 tahun 1999.
Selain itu. Pasal 3 menyebutkan tujuan sekunder UU
Persaingan Usaha yang ingin dicapai melalui sistem
persaingan usaha yang bebas dan adil: kesejahteraan
rakyat dan suatu sistem ekonomi yang efisien (Pasal 3
huruf a dan d UU No.5 tahun 1999). Sehingga
konsekuensi terakhir tujuan kebijakan ekonomi, yaitu
118
penyediaan barang dan jasa yang optimal bagi para
konsumen.
Proses persaingan usaha dapat mencapai tujuan
tersebut dengan cara memaksakan alokasi faktor
dengan cara ekonomis sehingga terwujudlah
penggunaan paling efisien sumber daya yang terbatas,
penyesuaian kapasitas produksi dengan metode
produksi dan struktur permintaan serta penyesuaian
penyediaan barang dan jasa dengan kepentingan
konsumen (fungsi pengatur persaingan usaha), dengan
menjamin pertumbuhan ekonomi yang optimal,
kemajuan teknologi dan tingkat harga yang stabil
(fungsi pendorong persaingan usaha) serta dengan
menyalurkan pendapatan menurut kinerja pasar
berdasarkan produktivitas marginal (fungsi distribusi).
Dengan memberikan jaminan kepastian hukum dan
perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha
atau sekelompok pelaku usaha dalam berusaha maka
pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha dapar
bersaing secara wajar dan sehat, serta tidak
merugikan masyarakat banyak dalam berusaha,
sehingga pada gilirannya penguasaan pasar yang
terjadi timbul secara kompetitif. Di samping itu dalam
rangka menyosong era perdagangan bebas, mesti
menyiapkan dan mengharmonisasikan rambu-rambu
119
hukum yang mengatur hubungan ekonomi dan bisnis
antarbangsa seperti yang sudah disepakati dalam
Final Act Uruguay Round sebagai bagian dari
pembentukan World Trade Organization (WTO). Dengan
demikian dunia internasional juga mempunyai andil
dalam mewujudkan lahirnya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999.58
Dengan demikian UU Persaingan Usaha ini
dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian
hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap
pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah
timbulnya praktik-praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha yang tidak sehat lainnya dengan
harapan dapat menciptakan iklim usaha yang
kondusif, di mana setiap pelaku usaha dapat
bersaingan secara wajar dan sehat. Dengan berbagai
uraian di atas, maka sepertinya aspek kepastian yang
paling ditonjolkan dalam UU Persaingan Usaha ini.
Sehingga tujuan hukum yang dicita-citakan oleh
Gustav Radbruch dalam hal ini kepastian,
kemanfaatan dan keadilan tidak pernah dipenuhi
secara bersamaan karena ketiga tujuan hukum itu
58
Usman, Rachmadi, Hukum persaingan usaha di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hal. X (10)
120
satu sama lain seringkali tidak bersesuaian atau
saling „bertabrakan‟ satu sama lain.
Meskipun demikian, hendaknya implementasi UU
persaingan usaha ini berikut peraturan di bawahnya
dapat selalu berorientasi59 pada ketiga tujuan hukum
yang majemuk itu.60
59
Notohamidjojo, O, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga, 2011, hal. 33-34 60
Notohamidjojo, O, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1967, hal. 79