Post on 11-Jan-2020
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stres Akademik
1. Pengertian Stres Akademik
Desmita (2009) mengungkapkan bahwa stres akademik adalah ketegangan
emosional yang muncul dari peristiwa-peristiwa kehidupan di sekolah dan
perasaan terancamnya keselamatan atau harga diri siswa, sehingga
memunculkan reaksi-reaksi fisik, psikologis, dan tingkah laku yang
berdampak pada penyesuaian psikologi dan prestasi akademik. Menurut
Govarest dan Gregoire (2004) stres akademik erat kaitannya dengan
kehidupan akademik yang dialami pelajar tergantung situasi dan keadaan
dimana individu mencari ilmu. Lin dan Chen (2009) menambahkan bahwa
stres akademik bersumber dari interaksi antara guru dengan siswa, kecemasan
terkait hasil belajar yang diperoleh, ujian atau tes yang akan dihadapi, proses
belajar dalam kelompok, pengaruh teman sebaya dalam proses akademik,
kemampuan dalam memanajemen waktu, serta persepsi individu terkait
kemampuan belajarnya yang mempengaruhi kinerja akademik yang
ditampilkan.
Lebih lanjut Heiman dan Kariv (2005) menyatakan bahwa stres akademik
adalah stres yang disebabkan academic stressor dalam proses belajar dan
berhubungan dengan kegiatan belajar. Munculnya academic stressor tersebut
berasal dari persepsi individu terhadap banyaknya pengetahuan yang harus
12
dikuasi dan ketidakcukupan waktu untuk melakukan hal tersebut (Carverth
dalam Misra & McKean, 2000).
Stres akademik juga dapat didefinisikan sebagai stres yang berhubungan
dengan pendidikan yang meliputi sekolah, kurikulum guru, metode ulangan
dan penilaian (Nanwani, 2009). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
Feldt dan Updegraff (2013), stres akademik ialah stres yang terjadi pada
mahasiswa akibat gagalnya mengembangkan efektifitas koping untuk
memenuhi tuntutan akademik maupun sosial. Gagalnya efektifitas koping
dapat disebabkan kurangnya penyesuaian diri terhadap tuntutan akademiknya
(Cristyani, Mustami’ah & Sulistiani, 2010).
Selanjutnya Liao (2011) menyatakan bahwa stres akademik dapat muncul
karena adanya tuntutan akademik, kesulitan untuk mengimbangi tuntutan
akademik dan gagal untuk berpretasi yang tidak sesuai dengan harapan.
Menurut Gusniarti (2002) stres akademik yang dialami siswa merupakan hasil
persepsi yang subjektif terhadap adanya ketidaksesuaian antara tuntutan
lingkungan dengan sumber daya aktual yang dimiliki siswa.
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa stres
akademik merupakan ketegangan emosional yang muncul dari peristiwa-
peristiwa kehidupan di sekolah dan perasaan terancamnya keselamatan atau
harga diri siswa, sehingga memunculkan reaksi-reaksi fisik, psikologis, dan
tingkah laku yang berdampak pada penyesuaian psikologi dan prestasi
akademik.
13
2. Aspek- Aspek Stres Akademik
Aspek-aspek stres akademik menurut Robotham (2008) ada empat, yaitu :
kognitif, afektif, fisiologis dan perilaku.
a. Kognitif
Aspek kognitif meliputi kondisi stres disebabkan kesulitan
memusatkan perhatian dalam proses belajar dan memiliki pikiran negatif
terhadap diri sendiri dari lingkungan sekitarnya. Seperti, kebingungan,
tidak mampu berkonsentrasi serta performansi pengumpulan tugas-tugas
yang buruk, mudah lupa dan munculya pikiran yang tidak biasa.
b. Afektif
Aspek afektif meliputi perasaan yang negatif dan percaya diri yang
rendah akibat stres. Seperti kecemasan, ketakutan, mudah marah, sedih
yang mendalam, tertekan, merasa ragu-ragu, merasa malu, kemampuan
atau potensi yang dimiliki rendah, sehingga merasa tidak mampu untuk
memenuhi tuntutan akademik.
c. Fisiologis
Aspek fisiologis meliputi respon fisiologis akibat stres yang biasanya
terjadi adalah merasa sakit pada tubuh dan kebugaran fisik menurun.
Seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, nafsu makan menghilang, tidur
tidak nyenyak, bermimpi buruk dan peningkatan produksi keringat. Secara
fisik kondisi stres muncul dengan muka memerah, pucat, badan terasa
lemah, merasa tidak sehat, jantung bedebar-debar, gemetar, sakit perut,
pusing, badan kaku dan berkeringat dingin.
14
d. Perilaku
Aspek perilaku meliputi berperilaku negatif dan mulai menghindari
orang-orang disekitarnya (antisosial). Seperti mudah menyalahkan orang
lain, mencari kesalahan orang lain, bersikap acuh, penundaan tugas dan
mulai terlibat dalam kegiatan mencari kesenangan secara berlebihandan
berisiko.
Selanjutnya aspek-aspek stres akademik menurut Hardjana (1994) dibagi
menjadi empat, yaitu :
a. Fisik
Berdasarkan aspek fisik individu mengalami sakit kepala, pening,
tidur tidak teratur, insomnia, bangun tidur terlalu awal, sakit pinggang,
diare atau sembeilit saat akan mengahadapi ujian, otot tegang terutama
pada leher dan bahu, tekanan darah tinggi, kelelahan serta berkeringat
yang berlebihan saat akan presentasi di depan kelas.
b. Emosional
Berdasarkan aspek emosional individu akan menunjukkan perilaku
yang sering gelisah atau cemas mengenai masa depan, sedih karena takut
gagal mempertahankan prestasi yang telah dicapai, mood sering berubah-
ubah, agresif, terlalu peka atau sensitif, mudah tersinggung dan musah
marah ketika adayang menegur kesalahannya.
c. Interlektual
Berdasarkan aspek intelektual individu sulit berkonsentrasi dalam
belajar, sulit membuat keputusan, mudah lupa, pikiran menjadi kacau saat
15
mempunyai masalah, daya ingat menurun, mutu kerja rendah dan
kehilangan sense of humor yang sehat.
d. Interpersonal
Berdasarkan aspek interpersonal individu kehilangan kepercayaan
kepada orang lain sehingga tidak mau terlibat dalam kelompok, mudah
menyalahkan orang lain, agresi verbal, tidak mau bergaul dengan orang
lain.
Berdasarkan berbagai penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-
aspek dari stres akademik menurut Robotham (2008) adalah kognitif, afektif,
fisiologis, perilaku dan menurut Hardjana (1994) adalah emotional,
kecemasan, intelektual, dan interpesonal. Berdasarkan kedua teori yang telah
dipaparkan sebelumnya maka peneliti memilih untuk menggunakan aspek-
aspek stres akademik yang dikemukakan oleh Robotham (2008) yaitu kognitif
, afektif (emotional), fisiologis, perilaku untuk menungkap stres akademik
pada santri pondok pesantren, karena menurut peneliti dibandingkan teori lain
aspek stres akademik yang dikemukakan Robotham (2008) sudah lengkap dan
mencakup aspek-aspek stres akademik yang juga dikemukakan oleh ahli
lainya.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Stres Akademik
Terdapat faktor-faktor yang mampu mereduksi stres, yaitu:
a. Ridha dengan ketentuan Allah.
Menurut Munnajid (2012) menyatakan bahwa jika seorang individu
memiliki masalah, tuntutan, dan tekanan (stres) akan menganggap bahwa
16
hal tersbut adalah ujian dari Allah yang akan menjadikan hamba-Nya
menjadi lebih tabah, matang dalam kehidupan, dan akan ada hikmah
disetiap ujian yang datang.
b. Bersyukur
Menurut Munnajid (2012) seseorang yang memahami akan nikmat
yang terlah diberikan, kemudian selalu mengingat dan mensyukurinya
dapat menghilangkan perasaan sedih, duka cita dan stres yang dialami.
Hal ini terjadi karena individu yang bersyukur telah memiliki persepsi
bahwa prosentase stresor yang ada tidak sebanding dengan kenikmatan
yang telah diterima, individu dapat menerima stresor dengan sabar, ridha,
dan pasrah, sehingga individu akan merasa ringan dari himpititan dan
beban yang diterimanya. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh
Leguminosa, Nashori dan Rachmawati (2017) menyatakan bahwa
pelatihan kebersyukuran dapat meurunkan stres kerja guru.
c. Berpikir positif
Elfiky (2009) menyatajan bahwa proses berpikir berkaiatan erat
dengan konsentrasi, perasaan, sikap, dan perilaku. Berpikir positif dapat
dideskripsikan sebagai suatu cara berpikir yang lebih menekankan pada
sudut pandang dan emosi yang positif, baik terhadap diri sendiri, orang
lain maupun situasi yang dihadapi. Brissette dkk. (dalam
dwitantyanov,2010) mengemukakan bahwa dengan berpikir positif dapat
membuat individu mampu bertahan dalam situasi yang rawan distres.
17
d. Dzikir
Witmer (dalam Safaria & Saputra, 2009) mengatakan bahwa
penggunaan praktik-praktik religius dan keyakinan spiritual merupakan
tindakan coping untuk memberikan dampak yang positif untuk mengatasi
stres. Asdie (dalam Innayati, 2005) mengemukakan bahwa dzikir
merupakan salah satu cara olah batin yang dapat digunakan untuk
mereduksi gangguan-gangguan psikologis seperti seperti psikosomatik dan
stres.
Selanjutnya Davidson dan Coper (dalam Kusuma, 2008) menjabarkan
beberapa faktor yang memengaruhi stres akademik antara lain:
a. Faktor Internal
Faktor internal yang memengaruhi stres akademik bersumber dari
dalam diri atau pribadi individu seperti kepribadian seperti beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa stres negatif berkorelasi dengan
harga diri, locus of control, dan efikasi diri yaitu sumber stres yang
dialami mahasiswa termasuk keinginan mencapai prestasi, dan
penyelesaian terhadap beberapa beban tugas akademik (Greenberg dalam
Mulya & Indrawati, 2016).
b. Faktor eksternal
Faktor ekstarnal yang memengaruhi munculnya stres akademik pada
individu seperti faktor lingkungan rumah, lingkungan belajar dan
lingkungan masyarakat. Academic stress disinyalir karena dampak
tuntutan dari rutinitas belajar dalam dunia perkuliahan, tuntutan untuk
18
berpikir lebih tinggi dan kritis, kehidupan yang mandiri, serta berperan
serta dalam kehidupan sosial bermasyarakat (Hicks & Heastie, 2008).
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan faktor-faktor
yang mereduksi stres menurut Brissette dkk. (dalam Dwitantyanov,2010)
adalah berpikir positif, sedangkan menurut Munnajid (2012) dan Rachmawati
dkk. (2017) adalah bersyukur, dan menurut Asdie (dalam Innayati, 2005)
adalah dzikir. Sedangkan menurut Davison dan Coper (dalam Kusuma, 2008)
faktor yang memengaruhi stres adalah faktor internal berupa kepribadian,
locus of control, dan efikasi diri dan faktor eksternal seperti faktor lingkungan
rumah, lingkungan belajar dan lingkungan masyarakat.
Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan faktor-faktor yang dapat
mereduksi stres akademik yang dikemukakan Al-Munajid (2012) dan
Rachmawati dkk. (2017) yaitu bersyukur. Menurut Salim (2015) syukur
merupakan sebuah bentuk emosi atau perasaan, yang kemudian berkembang
menjadi suatu sikap, sifat moral yang baik, kebiasaan, sifat kepribadian, dan
akhirnya akan mempengaruhi seseorang menanggapi atau bereaksi terhadap
sesuatu atau situasi. Schwarz (dalam Rohmah, 2013) menyebutkan bahwa
tidak besyukur itu dapat memunculkan kedengkian, banyak mengeluh, dan
memunculkan banyak ketimpangan pada dirinya bahkan dapat menyebabkan
stres.
19
B. Rasa Syukur
1. Pengertian Rasa Syukur
Rasa syukur adalah sebagai suatu bentuk perasaan berterimakasih dan
apresiasi individu yang bersifat menyenangkan atas respon penerimaan diri
terhadap apa yang diperoleh, serta memberikan manfaat positif dari seseorang
atau suatu peristiwa yang memberikan kedamaian (Peterson dan Seligman,
2004). Seligman (2010) mendefinisikan gratitude atau kebersyukuran sebagai
suatu perasaan berterimakasih dan menyenangkan atas respon penerimaan
hadiah atau nikmat, dimana hadiah atau nikmat tersebut memberikan manfaat
dari seseorang atau suatu kejadian yang memberikan kedamaiaan.
The Oxford English Dictionary (1989) mendefinisikan syukur sebagai
kualitas atau kondisi berterimakasih, apresiasi dari sebuah keinginan untuk
membalas kebaikan. Kata gratitude diambil dari akar latin gratia, yang berarti
kelembutan, kebaikan hati, atau berterima kasih. Semua kata yang terbentuk
dari akar Latin ini berhubungan dengan kebaikan, kedermawanan, pemberian,
keindahan dari memberi dan menerima, atau mendapatkan sesuatu tanpa
tujuan apapun (Emmons & McCullough, 2003).
Menurut Emmons & McCullough (2003) menunjukkan bahwa
kebersyukuran merupakan sebuah bentuk emosi atau perasaan, yang kemudian
berkembang menjadi suatu sikap, sifat moral yang baik, kebiasaan, sifat
kepribadian, dan akhirnya akan mempengaruhi seseorang menanggapi atau
bereaksi terhadap sesuatu atau situasi. Sedangkan Wood dkk. (2009)
20
beranggapan bahwa menyatakan kebersyukuran adalah sebagai bentuk ciri
pribadi yang positif, mempresentasikan hidup menjadi lebih positif.
Berdasarkan beberapa pengetian di atas dapat disimpulkan bahwa rasa
syukur adalah suatu bentuk perasaan berterimakasih dan apresiasi individu
yang bersifat menyenangkan atas respon penerimaan diri terhadap apa yang
diperoleh, serta memberikan manfaat positif dari seseorang atau suatu
peristiwa yang memberikan kedamaian.
2. Aspek-Aspek Rasa Syukur
Menurut Watkins dkk (2003), individu yang bersyukur memiliki aspek-
aspek yaitu:
a. Lack of a Sense of Deprivation (LOSD)
Aspek ini mengungkapkan rasa syukur yang melimpah dan tak
kekurangan dalam kehidupan. Individu yang bersyukur tidak akan merasa
kekurangan dalam kehdupannya. Dinyatakan positif apabila individu
bersyukur harus memiliki rasa kelimpahan.
b. Appreciation for Others (AO)
Aspek ini mengungkapkan rasa senang terhadap orang lain. Invidu
yang bersyukur akan menghargai kontribusi orang lain untuk kesejateraan
mereka. Teori syukur telah menekankan pentingnya menghubungkan
sumber manfaat bagi orang lain.
c. Simple Appreciation (SA)
Aspek ini mengungkapkan rasa senang atas hal-hal yang sederhana.
Individu yang bersyukur akan ditandai dengan kecenderungan untuk
21
menghargai kesenangan sederhana. Kesenangan sederhana mengacu pada
kesenangan dalam hidup yang tersedia bagi kebanyakan orang. Individu
yang menghargai kesenangan sederhana harus lebih rentan mengalami
menfaat yang subjektif lebih sering dalam kehidupan keseharian mereka.
d. Experiencing and Expressing (EE)
Aspek ini mengungkapkan bahwa orang bersykur seharusnya
menyadari, mengakui mengekspresikan rasa terimakasih.
McCullough, Emmons dan Tsang (2002), mengungkapkan aspek-aspek
rasa syukur terdiri dari empat, yaitu :
a. Intensitas (Intensity)
Aspek ini menjelaskan bahwa seseorang yang bersyukur ketika
mengalami peristiwa positif akan semakin menambah perilaku dari rasa
syukur.
b. Frekuensi (Frequency)
Aspek ini menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki
kecenderungan bersyukur akan merasakan perasaan bersyukur setiap
harinya dan rasa syukur dapat diperoleh dari peristiwa-peristiwa sederhana
atau tindakan kebaikan dan kesopanan.
c. Rentang (Span)
Aspek ini menjelaskan bahwa banyaknya peristiwa kehidupan yang
terjadi pada seseorang yang dapat disyukuri pada waktu tertentu. Misalnya
merasa bersyukur atas keluarga, pekerjaan, kesehatan, dan kehidupan itu
sendiri dengan berbagai manfaat lainnya.
22
d. Keterikatan (Density)
Aspek ini menjelaskan bahwa orang-orang yang mengalami
perasaan bersyukur terhadap sesuatu hal yang positif akan mengingat
orang yang dianggap telah membuatnya bersyukur, termasuk orang tua,
keluarga, dan teman.
Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa aspek-aspek syukur
menurut Watkins, dkk (2003) adalah Lack of a Sense of Deprivation (LOSD),
Appreciation for Others (AO), Simple Appreciation (SA), Experiencing and
Expressing (EE) dan aspek-aspek syukur menurut McCullough, Emmons &
Tsang (2002) adalah Intensitas (Intencity), Frekuensi (Frequency), Rentang
(Span) dan Keterikatan (Density).
C. Hubungan Antara Rasa Syukur dengan Stres Akademik Pada Santri
Pondok Pesantren An-Nur
Sarafino (2008) berpendapat tubuh manusia berusaha mengatasi berbagai
tuntutan dalam kehidupan dengan menciptakan keseimbangan antara tuntutan
eksternal, kebutuhan nilai-nilai internal dan kemampuan lingkungan untuk
memberikan dukungan. Hasil dari interaksi tersebut akan menghasilkan peresepsi
terhadap stres. Menurut Nurmaliyah (2014) seseorang yang sedang berada dalam
kondisi stres, seringkali mengalami kesulitan mengendalikan perilakunya karena
pikiran dan perasaannya terpusat pada stres yang dialaminya. Demikian pula
dengan stres akademik yang dialami siswa di sekolah. Beberapa kasus yang
dialami siswa di sekolah merupakan reaksi dari beban pikiran, dan perasaan siswa
23
atas masalah yang dipersepsi negatif, sehingga siswa tidak mampu menyampaikan
pendapat, mengumpulkan informasi dari orang lain, dan bertingkah laku positif.
Sarafino dan Folkman (dalam Anastasia, 2012) mengemukakan bahwa
positive reappraisal dapat membantu kognitif seorang individu agar tidak mudah
menyerah pada stresor yang ada. Dalam hal ini kebersyukuran mampu mendorong
kognitif seseorang untuk menginterpretasikan kejadian-kejadian yang dialami
secara lebih positif dan hal tersebut akan meminimalisir munculnya stres (Wood
dkk. 2007). Emmons & McCullough (2003) juga menambahkan bahwa syukur itu
membahagiakan, membuat perasaan nyaman, dan bahkan dapat menurunkan
tekanan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Nasir dan Muhith (2010) kadar stres yang dialami individu dalam
suatu peristiwa bergantung pada bagaimana individu tersebut bereaksi terhadap
stres. Hal ini juga dipengaruhi oleh persepsi individu terhadap stresor yang
muncul. Dalam hal ini bersyukur terbukti efektif untuk menurunkan stres karena
kebersyukuran memainkan peranan penting terkait dengan bagaimana seseorang
mempersepsikan suatu kejadian (Fitch-Martin, 2015). Hal ini sejalan dengan
pendapat Emmons & McCullough (2003) yang menyatakan bahwa
kebersyukuran mampu menjadi sebuah bentuk emosi atau perasaan, yang
kemudian berkembang menjadi suatu sikap, sifat moral yang baik, kebiasaan, sifat
kepribadian dan akhirnya memengaruhi seseorang menanggapi atau bereaksi
terhadap sesuatu atau situasi. Wood dkk. (2009) menambahkan bahwa
kebersyukuran adalah bentuk ciri pribadi yang positif, mempresentasikan hidup
menjadi lebih positif. Bersyukur membuat seseorang mendapatkan keuntungan
24
secara emosi dan interpersonal. Jika seseorang melihat dan merasakan penderitaan
sebagai sesuatu yang positif, maka ia akan bisa meningkatkan kemampuan coping
barunya baik secara sadar maupun tidak, sehingga dapat memicu timbulnya
pemaknaan terhadap diri yang akan membawa hidupnya ke arah yang lebih positif
dan mampu menurunkan tingkat stres yang dialami (Mc Millen dalam Krause,
2006).
Hasil riset McCullough dan Emmons (2002) menunjukkan bahwa rasa syukur
mempengaruhi kesejahteraan fisik dan psikologis. Salah satunya adalah saat orang
yang mendokumentasikan rasa syukurnya secara mingguan, mereka
merasa hidupnya lebih baik dan lebih optimis dalam menghadapi hari-hari
berikutnya. Hasil yang lain, hanya dalam dua bulan, orang yang membuat daftar
syukur lebih mengalami kemajuan dalam mencapai sasaran dan tujuan pribadi
(akademis, hubungan interpersonal, kesehatan). Orang yang bersyukur dilaporkan
memiliki tingkatan yang lebih tinggi dalam emosi positif, kepuasan hidup,
vitalitas, optimisme, dan lebih rendah dalam tingkat stres.
Emmons dan Stern (2013) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa orang
yang bersyukur lebih efektif dalam mengatasi stres sehari-hari, memiliki resilien
yang tinggi dalam menghadapi stres, lebih cepat sembuh dari penyakit, serta lebih
menikmati kesehatan fisik. Individu yang mampu menyadari, mengakui dan
mengekspresikan rasa senang atas hal-hal sederhana yang dirasakan akan dapat
menurunkan stres yang dialami, hal ini dikarenakan ketika individu tersebut
mengalami stres, akan mengeluarkan hormon adrenalin yang mempengaruhi
tekanan darah dan mengakibatkan jantung berdebar keras. Pada saat tubuh
25
maupun pikiran merasakan hal yang menyenangkan, tubuh akan melepaskan
hormon adrenalin dan secara otomatis tercipta efek antiadrenalin dan
menghambat kerja hormon adrenalin dalam aliran darah, sehingga ketegangan
mereda dan tekanan darah menurun (Simanungkalit & Pasaribu, 2007). Berg
(dalam Simanungkit & Pasaribu, 2007) menambahkan bahwa jika seorang
individu bisa hidup dengan menyadari, mengakui, dan mengungkapkan rasa
senang, hal tersebut akan membuat tingkat hormon stres di dalam tubuh
berukurang sekaligus meningkatkan imunitas sehingga kekebalan tubuh akan
bertambah dan tubuh lebih segar. Hal ini sejalan dengan pendapat Emmons dan
Crumpler (Fitch-Martin, 2015) menyatakan bahwa, individu yang memiliki rasa
syukur tinggi cenderung mampu mengatasi stres dengan lebih baik dan
memperlihatkan fungsi fisik dan psikologis yang lebih positif.
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
kebersyukuran mempengaruhi stres. Syukur mampu menambah kekuatan
keyakinan diri pada seseorang serta mampu membuat perasaan nyaman, dan dapat
menurunkan tekanan dalam kehidupan sehari-hari baik akademik maupun non
akademik.
26
D. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif
antara rasa syukur dengan stres akademik pada santri pondok pesantren. Hal ini
berarti, semakin tinggi rasa syukur pada santri pondok pesantren maka semakin
rendah stres akademik yang dialami santri pondok pesantren. Sebaliknya semakin
rendah rasa syukur pada santri pondok pesantren maka semakin tinggi stres
akademik yang dialami santri pondok pesantren.