Post on 27-Jun-2020
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecemasan Siswa dalam Menghadapi Ulangan Harian
1. Pengertian Kecemasan Siswa dalam Menghadapi Ulangan Harian
Kecemasan merupakan tipe gangguan yang spesifik. Hal ini berupa
emosi yang berimplikasi secara berat melalui batas penuhdari psikopatologi
yang telah dieksplor secara umum dan alamiah, yaitu secara biologis dan
secara psikologis. Kecemasan adalah tahapan mood yang negatif dan secara
karakteristik gejala-gejalanya berupa ketegangan fisik dan ketakutan akan
sesuatu yang akan terjadi di masa mendatang. Pada manusia, kecemasan
bisa menjadi sensasi yang subjektif dari suatu kesulitan, sekumpulan
perilaku-perilaku tersebut berupa terlihat khawatir dan cemas atau gelisah,
atau respons fisiologis yang murni dari otak dan refleksi dari peningkatan
detak jantung dan ketegangan otot (American Psychological Association
dalam Barlow dan Durand, 2012).
Kecemasan juga diasosiasikan dengan sirkuit otak yang spesifik dan
sistem neurotransmitter. Level kekosongan dari gamma-aminobutyric acid
(GABA), bagian dari sistem GABA-benzodiazepine, diasosiasikan dengan
peningkatan kecemasan, walaupun hubungan tersebut tidak terjadi secara
langsung. Sistem noradrenergic juga berimplikasi pada kecemasan. Bukti
dari penelitian dasar ilmiah terhadap hewan, sebaik hasil penelitian
kecemasan secara normal pada manusia, telah menghasilkan bahwa sistem
22
serotonergic neurotransmitter juga ikut berpengaruh atau berperan dalam
membuat seseorang menjadi cemas (Lesch, et. al; Maier; Stein, Schork, dan
Gelernter dalam Barlow dan Durand, 2012).
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, penelitian tentang
kecemasan pada manusia lebih memberikan perhatian pada peran dari
corticotropin-releasing factor (CRF) atau sistem pusat dari pengekspresian
kecemasan (dan depresi) dan kumpulan genetik-genetik yang meningkatkan
kemungkinan bahwa sistem ini akan “menyala” sewaktu-waktu kecemasan
tersebut muncul (Heim dan Nemeroff; Khan, King, Abelson, dan Liberzon;
Ladd, et. al.; Smoller, Yamaki, Fagerress, Sullivan, Kent, dan Coplan dalam
Barlow dan Durand, 2012).
Hal ini dikarenakan corticotropin-releasing factor (CRF)
mengaktivasi hypothalamic-pituitary-adrenocorticalaxis (HPA) yang
merupakan bagian dari sistemcorticotropin-releasing factor (CRF) dan
sistemcorticotropin-releasing factor (CRF) ini telah secara luas berefek
pada area otak yang berimplikasi pada kecemasan, termasuk bagian otak
yang mengelola emosi, yaitu sistem limbik dan secara partikuler, yaitu
hipokampus dan amygdala; inti locus dalam batang otak; korteks
prefrontal; dan sistem dopaminergic neurotransmitter. Sistem
corticotropin-releasing factor (CRF) ini juga berhubungan langsung
dengan sistem GABA-benzodiazepine dan serotonergic serta sistem
noradenergic neurotransmitter (Barlow dan Durand, 2012).
23
Barlow dan Durand (2012) menyatakan kecemasan adalah keadaan
suasana hati yang yang ditandai dengan keadaan jasmaniah, seperti
ketegangan fisik, dan kekhawatiran tentang masa depan. Long (dalam
Barlow dan Durand, 2012) menyatakan bahwa kecemasan adalah respon
psikologis terhadap stres yang mengandung komponen fisiologi.
Kecemasan berupa perasaan takut atau tidak tenang berasal dari sumber
yang tidak dikenali. Hal ini terjadi saat seseorang merasa terancam secara
fisik maupun psikologis.
Pendapat lain dari pakar Kendall dan Hammen (1998) menyatakan
bahwa kecemasan yang ada dalam diri individu membuatnya dapat berkerja
dengan lebih baik. Rasa tekanan yang diperoleh dari rasa cemas tersebut
membuat individu mampu bekerja lebih baik. Atau sebaliknya, yaitu
kegiatan yang tidak menyenangkan dapat menimbulkan kekhawatiran,
keprihatinan, dan rasa takut. Menurut Barlow dan Durand (2012),
kecemasan adalah keadaan suasana hati yang ditandai oleh efek negatif dan
gejala-gejala ketegangan jasmaniah ketika seseorang mengantisipasi
kemungkinan datangnya bahaya di masa yang akan datang.
Kecemasan menurut Freud (dalam Spielberger, 2010) didefinisikan
sebagai “sesuatu yang dirasakan”, dengan beberapa tahapan emosional,
yang termasuk di dalamnya adalah pikiran akan ketakutan terhadap
sesuatu yang akan terjadi, ketegangan, perasaan gelisah atau gugup, dan
kekhawatiran yang diiringi oleh rangsangan fisiologis. Konsisten dengan
perspektif evolusi Darwin, Freud (dalam Spielberger, 2010) menemukan
24
pada hasil observasinya bahwa kecemasan beradaptasi dengan perilaku
yang memotivasi untuk membantu individu tersebut dalam mengatasi
situasi yang mengancam dirinya. Kecemasan mempunyai prevalensi di
setiap gangguan psikiatri.
Dalam mengukur kecemasan, Cattell (dalam Spielberger, 2010)
menggarisbawahi pentingnya membedakan bentuk kecemasan, yaitu
sebagai state anxiety atau trait anxiety. Perbedaan state anxiety atau trait
anxiety adalah state anxiety sebagai kecemasan yang sementara atau
muncul ketika ada stimulus yang membuat rasa cemas dan trait anxiety
merupakan kecemasan yang sudah menjadi kekonsistenan dari atribut
kepribadian individu tersebut.
State anxiety digambarkan dengan pengalaman dari perasaan
ketidaknyamanan ketika berkonfrontasi dengan situasi yang spesifik,
permintaan, atau beberapa objek atau kondisi. State anxiety muncul ketika
individu berada dalam situasi kurang nyaman atau sedang dalam uji
mental dari beberapa tipe ancaman atau gangguan. Ketika objek atau
situasi muncul, kecemasan akan muncul. Ketika stimulus menghilang,
maka individu tidak lagi merasakan kecemasan. Trait anxiety digambarkan
sebagai karakteristik kepribadian bukan sebagai perasaan cemas yang
sementara. Trait anxiety terjadi ketika stimulus berupa ancaman atau
gangguan muncul dengan intensitas, durasi, atau jarak yang lama. Individu
dengan trait anxiety yang tinggi mempunyai intensitas state anxiety lebih
25
tinggi daripada situasi yang spesifik dari seseorang pada umumnya
(Ratherford dalam Spielberger, 2010).
State anxiety dan trait anxiety adalah konsep yang diaplikasikan
yang terjadi dalam gangguan psikiatri, terutama gangguan kecemasan.
Generalized anxiety disorder atau GAD adalah gangguan kecemasan yang
dialami oleh individu dengan beberapa situasi yang berbeda selama 2 tahun.
GAD merepresentasikan manifestasi klinis dari trait anxiety (Ratherford
dalam Spielberger, 2010).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah
emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan kekhawatiran,
keprihatinan, dan rasa takut, disertai gejala fisiologis berupa kontraksi otot
lambung dan organ pencernaan lain, sekresi getah lambung yang berlebih,
denyut jantung lebih cepat, otot tegang, dan kelenjar keringat aktif karena
menganggap sesuatu yang buruk akan datang padanya berdasarkan
pendapat Barlow dan Durand (2012) mengenai teori tentang kecemasan.
Bandura (dalam Barlow dan Durand, 2012) mengatakan teori
behavioris melihat kecemasan merupakan suatu produk dari awal
pengkondisian klasik, atau bentuk-bentuk lainnya dari proses pembelajaran.
Apabila kecemasan terjadi dalam proses pembelajaran di sekolah, seperti
mengerjakan ulangan, tugas-tugas sekolah, maka siswa-siswa tersebut akan
khawatir pada ulangan selanjutnya yang akan diujikan gurunya walaupun
nilai A atau B sudah diraih oleh siswa-siswa tersebut. Sensasi dari
“kemampuan mengontrol kesenangan” secara umum dikembangkan sejak
26
dini sebagai fungsi dari penyemangat dalam proses belajar dan faktor-faktor
lingkungan yang secara tidak langsung merusak perilaku atau membuat
trauma siswa-siswa tersebut. Hal-hal yang merusak perilaku atau membuat
trauma siswa-siswa tersebut kemudian mengarah pada kecemasan yang
lebih sering muncul saat pengkondisian klasik terjadi, yaitu pada saat
ulangan.
Menurut Witherington (1952), penyebab munculnya rasa takut yang
berubah menjadi rasa cemas adalah pemberian ulangan di sekolah. Sebagai
contoh, ketika ulangan di sekolah diselenggarakan, para siswa sibuk untuk
belajar agar mendapatkan nilai yang baik. Beberapa siswa yang mempunyai
kemampuan kognitif yang baik mampu untuk menyerap pelajaran dengan
baik. Siswa dengan kemampuan kognitif kurang baik tetap berusaha belajar
semaksimal mungkin dengan kompetensi yang dimiliki. Aktivitas seperti
ini mengabaikan proses dan perilaku siswa selama melakukan pembelajaran
di sekolah.
Berdasarkan konsep kecemasan oleh Barlow dan Durand (2012),
pendapat Witherington (1952), dan Cattell (dalam Spielberger, 2010),
maka pemberian ulangan atau ujian menimbulkan kecemasan pada siswa.
Cattell (dalam Spielberger, 2010) menjelaskan state anxiety muncul ketika
ada stimulus yang membuat rasa cemas dan sifatnya adalah sementara.
Dalam penelitian ini, stimulus yang dimaksud adalah ulangan harian.
Witherington (1952) mengungkapkan bahwa munculnya kecemasan
disebabkan oleh pemberian ulangan atau ujian karena siswa berada pada
27
posisi yang kurang pasti, yaitu antara rasa aman dan kurang aman terhadap
hasil ulangannya apakah baik atau kurang baik nilanya. Barlow dan Durand
(2012) mengungkapkan kecemasan berupa perasaan takut atau tidak tenang
berasal dari sumber yang tidak dikenali. Pada penelitian ini, pemberian
ulangan harian membuat siswa berada dalam kondisi yang tidak pasti
sehingga merasa terancam secara fisik maupun psikologis sesuai dengan
pendapat Barlow dan Durand (2012) mengenai konsep kecemasan.
Kecemasan siswa dalam menghadapi ulangan termasuk dalam
state anxiety karena kecemasan yang muncul bersifat sementara. State
anxiety muncul ketika individu berada dalam situasi kurang nyaman atau
sedang dalam uji mental dari beberapa tipe ancaman atau gangguan.
Ketika objek atau situasi muncul, kecemasan akan muncul. Ketika
stimulus menghilang, maka individu tidak lagi merasakan kecemasan
(Ratherford dalam Spielberger, 2010). Stimulus berupa ulangan harian ini
membuat siswa merasa cemas. Ketika siswa sudah selesai dalam
menghadapi ulangan harian, maka kecemasan ini akan menghilang sesuai
dengan pendapat Ratherford (dalam Spielberger, 2010) mengenai
kemunculan state anxiety.
Dalam Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan dalam Bab I tentang ketentuan Umum pasal 1 ayat 19
dikemukakan bahwa ulangan adalah proses yang dilakukan untuk
mengukur pencapaian kompetensi para peserta didik secara berkelanjutan
dalam proses pembelajaran untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil
28
belajar peserta didik. Diperkuat dengan peraturan Menteri Pendidikan
Nasional nomor 20 tahun 2007 tanggal 11 Juni 2007 tentang Standar
Penilaian Pendidikan, yaitu : (a) Ulangan adalah proses yang dilakukan
untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan
dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan, melakukan
perbaikan pembelajaran, dan menentukan keberhasilan belajar peserta
didik; (b) Ulangan harian adalah kegiatan yang dilakukan secara periodik
untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah
menyelesaikan satu Kompetensi Dasar (KD) atau lebih; (c) Ulangan tengah
semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur
pencapaian kompetensi peserta didik setelah melaksanakan 8 – 9 minggu
kegiatan pembelajaran.
Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang
merepresentasikan seluruh Kompetensi Dasar pada periode tersebut; (d)
Ulangan akhir semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik
untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester.
Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan semua
Kompetensi Dasar pada semester tersebut; (e) Ulangan kenaikan kelas
adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik di akhir semester genap
untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester
genap pada satuan pendidikan yang menggunakan sistem paket. Cakupan
ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan Kompetensi
Dasar pada semester tersebut.
29
Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti ingin mengkaji tentang
kecemasan dalam menghadapi ulangan harian sesuai dengan pembahasan
Barlow dan Durand (2012), Witherington (1952), dan Ratherford (dalam
Spielberger, 2010) mengenai kecemasan dalam menghadapi ulangan atau
tugas di sekolah.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas mengenai kecemasan siswa
dalam menghadapi ulangan harian adalah sebagai berikut. Kecemasan
siswa dalam menghadapi ulangan harian adalah suatu emosi yang tidak
menyenangkan yang ditandai dengan kekhawatiran, keprihatinan, dan rasa
takut yang disebabkan oleh kegiatan yang sifatnya periodik untuk mencapai
atau memenuhi Kompetensi Dasar (KD). Dalam hal ini, peneliti ingin
mengkaji kecemasan yang timbul pada diri siswa saat menghadapi ulangan,
yaitu ulangan harian. Ulangan harian yang sifatnya berkala menimbulkan
kecemasan pada diri siswa karena adanya trauma dari ulangan-ulangan
harian sebelumnya yang akan berulang ketika menghadapi ulangan harian
berikutnya. Sesuai dengan yang diungkapkan Bandura (dalam Barlow dan
Durand, 2012), hal-hal yang merusak perilaku atau membuat trauma
siswa-siswi tersebut kemudian mengarah pada kecemasan yang lebih sering
muncul saat pengkondisian klasik terjadi, yaitu pada saat ulangan.
Pengkondisian klasik ini terjadi secara berulang sehingga menimbulkan
kecemasan saat ulangan harian.
30
2. Aspek - Aspek Kecemasan Siswa dalam Menghadapi Ulangan Harian
Maher (dalam Barlow dan Durand, 2012) menjelaskan reaksi yang
muncul akibat kecemasan ada tiga hal, yaitu reaksi emosional (reaksi yang
berupa perasaan takut yang kuat dan dalam keadaan sadar), reaksi kognitif
(perasaan takut yang disadari dan meluas serta mengganggu kemampuan
individu untuk berpikir jernih, memecahkan masalah, dan memenuhi tuntutan
dari lingkungannya). Wujud dari reaksi kognitif adalah kebingungan (sulit
konsentrasi dan sulit mengingat sesuatu) dan reaksi fisiologis (sistem syaraf
otonom bertindak sebagai pengontrol otot dan kelenjar dalam tubuh manusia.
Ketika otak menangkap rasa takut, syaraf simpatik mempersiapkan tubuh
untuk situasi siaga, yaitu lari atau menghindari situasi yang menakutkan
tersebut. Reaksi fisik yang ditimbulkan antara lain kontraksi otot lambung
dan organ pencernaan lain, sekresi getah lambung yang berlebih, denyut
jantung lebih cepat, otot tegang, kelenjar keringat aktif, dan sebagainya.
Barlow dan Durand (2012) membagi aspek kecemasan menjadi
empat komponen, yaitu :
1. Emosi subjektif (subjective emotional) adalah reaksi psikologi seseorang
dalam bertindak, biasanya muncul pada diri remaja yang menyangkut
dengan ujian yang akan diikuti, kekurangan uang, rendahnya prestasi,
dan sebagainya. Emosi subjektif meliputi perasaan tegang dan ketakutan.
2. Komponen kognitif (cognitive component) adalah komponen yang
tersusun atas dasar pengetahuan dan informasi yang dimiliki seseorang
31
tentang objek sikapnya, meliputi pikiran khawatir dan tidak mampu
dalam menghadapi persoalan.
3. Respon fisiologis (physiological responses) adalah respon sistem syaraf
otonom terhadap rasa takut dan rasa cemas yang menimbulkan aktivitas
involunter pada tubuh yang termasuk mekanisme pertahanan diri.
Respon fisiologis meliputi naiknya tekanan darah dan denyut jantung,
keluar keringat dingin, sesak napas, diare, mual, ketegangan otot, mulut
kering, dan seringnya buang air kecil.
4. Respon perilaku (behavioral responses) adalah setiap tingkah laku yang
merupakan tanggapan atau balasan terhadap rangsangan atau stimulus.
Respon perilaku meliputi perilaku menghindar dari sesuatu yang
menegangkan, menurunnya pelaksanaan tugas, dan meningkatnya
respon yang mengejutkan.
Menurut Kendal dan Hammen (1998), aspek-aspek kecemasan
antara lain adalah sebagai berikut :
1. Genetic, meliputi reaksi biologis, endokrinologi, faktor neurotransmiter,
anatomi otak, dan fungsi perkembangan otak.
2. Perilaku. Perilaku terbentuk dari pengalaman akan kecemasan yang
menekankan pada proses yang dialami sebelumnya yang kemudian
dimunculkan sebagai bentuk dari respon cemas. Perilaku seseorang
terhadap kejadian yang dihadapi sebelumnya telah dipelajari. Misalnya,
dengan hukum teori belajar seperti classical conditioning, modelling,
dan operant conditioning.
32
3. Kognitif. Kognitif adalah kecemasan yang muncul dikarenakan individu
melihat permasalahan atau kejadian sebagai hasil dari kesalahan.
Seseorang yang cemas diakibatkan dari cara berpikir tentang sesuatu
yang negatif akan terjadi pada dirinya dan melihat permasalahan atau
kejadian tersebut sebagai hal yang menganggu.
Menurut DSM-IV (American Psychological Association dalam
Barlow dan Durand, 2012), kriteria diagnostik gangguan kecemasan secara
umum, yaitu :
1. Kecemasan berlebihan dan rasa khawatir (ekspektaksi berlebihan
terhadap sesuatu) terjadi beberapa hari, setidaknya kurang lebih selama
enam bulan dari serangkaian kejadian atau aktivitas (seperti performansi
kerja atau performansi siswa di sekolah).
2. Individu menemukan kesulitan dalam mengontrol kekhawatirannya.
3. Kecemasan dan rasa khawatir diasosiasikan setidaknya tiga atau lebih
dari enam gejala-gejala di bawah ini (sekurang-kurangnya beberapa
gejala direpresentasikan dalam beberapa hari dan tidak lebih dari enam
bulan) (catatan : hanya satu kejadian yang terjadi pada anak-anak) :
a. Kurang mampu bersikap tenang atau merasa di ujung tanduk
(hidupnya seperti telah berakhir)
b. Sangat mudah lelah atau letih
c. Susah berkonsentrasi atau pikiran seketika kabur atau kosong
d. Sangat rentan dan sensitif terhadap rangsangan
e. Ketegangan otot
33
f. Gangguan tidur (sangat sulit untuk tidur nyenyak atau tenang atau
waktu tidur yang kurang memuaskan)
4. Fokus dari kecemasan dan khawatir tidak berbatasan dengan gangguan
Axis I; yang dalam hal ini kecemasan dari rasa khawatir itu; serangan
panik tidak selalu muncul (seperti dalam gangguan rasa panik), menjadi
malu atau kurang percaya diri dalam area publik (seperti dalam social
phobia), sangat jauh dari rumah (keluarga) atau hubungan dekat lainnya
(seperti dalam gangguan kecemasan karena perpisahan), permasalahan
berat badan (seperti dalam anorexia nervosa), atau mempunyai penyakit
yang serius (seperti hypochondriasis), dan bukan merupakan bagian dari
post traumatic stress disorder (PTSD).
5. Kecemasan, rasa khawatir, atau gejala-gejala fisik lainnya secara klinis
signifikan terhadap keadaan yang berbahaya atau perusakan secara
sosial, pekerjaan, atau wilayah-wilayah fungsional penting lainnya.
6. Gangguan ini tidak langsung berefek fisiologis atau substantif (Contoh :
perawatan medis atau kecanduan) atau dalam kondisi medis secara
umum (contoh : hyperthyroidism) dan tidak terjadi secara eksklusif;
reaksi gejala tidak lama seperti gangguan mood, gangguan psikotik, atau
gangguan perkembangan operatif.
Berdasarkan pemaparan aspek-aspek kecemasan tersebut di atas, menurut
Kendall dan Hammen (1998) aspek-aspek kecemasan adalah genetik,
perilaku, dan kognitif. Sedangkan menurut Barlow dan Durand (2012),
aspek-aspek kecemasan adalah emosi subjektif, komponen kognitif, respon
34
fisiologis, dan respon perilaku. Dalam hal ini, peneliti mengkaitkan
munculnya kecemasan pada siswa dengan ulangan harian yang
diselenggarakan oleh sekolah. Berdasarkan pada pemaparan di atas
mengenai proses terjadinya kecemasan dan aspek-aspek kecemasan,
ulangan harian yang diselenggarakan di sekolah mempunyai kontribusi
dalam memunculkan kecemasan pada siswa. Peneliti memilih aspek-aspek
kecemasan emosi subjektif, komponen kognitif, respon fisiologis, dan
respon perilaku sesuai dengan konsep teori kecemasan yang diungkapkan
oleh Barlow dan Durand (2012).
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Siswa dalam Menghadapi
Ulangan Harian
Kesici & Erdogan (2009) mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi
kecemasan siswa dalam menghadapi ujian adalah motivasi belajar, regulasi diri
dalam belajar, dan efikasi diri. Penjelasan dari faktor-faktor yang mempengaruhi
kecemasan siswa dalam menghadapi ujian adalah sebagai berikut :
a. Motivasi belajar adalah keyakinan dalam diri siswa untuk meraih
kesuksesannya sehingga mengurangi kecemasannya dalam menjalankan tes
atau ujian (Kesici & Erdogan, 2009).
b. Regulasi diri dalam belajar adalah asumsi yang membangun dan potensi untuk
mengontrol asumsi, tujuan, kriteria, atau standar dari asumsi tersebut; sebagai
mediator dari asumsi (aktivitas regulasi diri adalah mediator antara diri pribadi
atau individu secara personal dan prestasi) (Kesici & Erdogan, 2009).
35
c. Efikasi diri adalah keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya dalam
melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu
(Gardner dalam Mezei, 2008).
Peneliti memilih regulasi diri dalam belajar dan motivasi belajar sebagai
faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan siswa dalam menghadapi ulangan
harian karena sesuai dengan hasil penelitian Kesici & Erdogan (2009), yaitu ada
hubungan antara regulasi diri dalam belajar dan motivasi belajar terhadap
kecemasan siswa dalam menghadapi ujian atau tes. Selain itu, hasil penelitian
Loong (2013) dan Bembenutty (2008) juga mengungkapkan bahwa ada hubungan
antara regulasi diri dalam belajar dan kecemasan siswa dalam menghadapi ujian.
Hasil penelitian Suardana & Simarmata (2013) dan Agustiar & Asmi (2010)
mengungkapkan bahwa ada hubungan antara motivasi belajar dan kecemasan
siswa dalam menghadapi ujian. Dengan demikian, peneliti memilih regulasi diri
dalam belajar dan motivasi belajar sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi
kecemasan siswa dalam menghadapi ujian berdasarkan hasil penelitian Kesici &
Erdogan (2009), Loong (2013) dan Bembenutty (2008), dan Suardana &
Simarmata (2013) dan Agustiar & Asmi (2010).
B. Regulasi Diri dalam Belajar
1. Pengertian Regulasi Diri dalam Belajar
Teori self-regulated merupakan salah satu teori penting atau merupakan
ciri yang menonjol dari teori kognitif sosial yang merupakan ide utama dari
Albert Bandura (Bandura, 1986). Bandura secara resmi meluncurkan social
36
cognitive theories dengan buku berjudul “Social Foundations of Thought and
Action : A Social Cognitive Theory” (Brown dan Madeliene dalam Latifah,
2010).
Bandura (1986) mengatakan sistem regulasi diri menjembatani
pengaruh-pengaruh eksternal dengan kemampuan atau kapasitas yang dimiliki
manusia sebagai dasar untuk melakukan perilaku yang bertujuan, sehingga
memungkinkan manusia memiliki kontrol individual terhadap pikiran,
perasaan, motivasi, dan perilakunya.
Menurut Zimmerman (1989), regulasi diri dapat diartikan sebagai
pengarahan atau pengaturan diri dalam berperilaku. Sedangkan, regulasi diri
dalam belajar dapat diartikan sebagai mengatur atau mengarahkan diri dalam
belajar. Penggunaan strategi belajar oleh pelajar yang menerapkan regulasi diri
dalam belajar tidak hanya bergantung pada pengetahuan mereka mengenai
strategi, tetapi juga berdasar pada proses pengambilan keputusan metakognitif
dan hasil kinerja mereka.
Zimmerman & Martinez-Ponz (1990) mengusulkan suatu formulasi untuk
menjelaskan self-regulated learning berdasarkan teori kognitif sosial dari
Bandura. Bandura mengatakan bahwa usaha pelajar untuk meregulasi diri
dalam belajar melibatkan tiga determinasi, yaitu proses personal pelajar,
lingkungan, dan perilaku.
Zimmerman (dalam Schunk dan Zimmerman, 1998) mengungkapkan
bahwa pembelajaran sebagai proses multidimensional yang melibatkan
seseorang secara personal (kognitif dan emosional), behavioral, dan komponen
37
kontekstual. Agar seseorang master di bidangnya dalam hal kemampuan
akademik, seorang pembelajar perlu merubah perilakunya dengan
mengaplikasikan strategi kognitif ke dalam suatu tugas dalam penempatanyang
relevan secara kontekstual. Hal ini memerlukan usaha yang berulang dalam
belajar karena menjadi seorang master diperlukan di dalamnya koordinasi dari
komponen personal, behavioral, dan lingkungan, yang tiap-tiap komponen
tersebut terpisah secara dinamis seperti bergabungnya suatu interaksi yang
aktif. Pembelajar yang mempunyai regulasi diri harus secara konstan
melakukan penilaian keefektivitasan mereka sendiri agar membuahkan hasil,
yaitu mendapatkan macam-macam perubahan kondisi secara interpersonal,
kontekstual, dan intrapersonal.
Schunk dan Zimmerman (1998) menjelaskan bahwa pembelajaran
akademik adalah aktivitas proaktif, termasuk di dalamnya motivasi untuk
inisiatif diri dan proses behavioral sebaik proses metakognitif. Sebagai contoh,
siswa dengan regulasi diri berhasil melalui keseluruhan proses
pembelajarannya dengan baik dibandingkan dengan teman-temannya. Siswa
tersebut menciptakan tujuan pembelajaran dari awal, keakuratan dari
memonitor diri terhadap perilaku mereka, dan kemudian membuat dirinya
menjadi sumber daya utama dalam pemikirannya yang strategis. Proses
tersebut di atas dan proses menginisiatifkan diri ini membuat para siswa
mampu mengontrol dirinya lebih baik selama proses pembelajaran
berlangsung. Schunk dan Zimmerman (2008) mengatakan bahwa regulasi diri
dalam belajar adalah adalah suatu proses dalam diri seorang pembelajar yang
38
dengan sendirinya mengaktivasi dan menopang kognisi, afeksi, dan perilaku
yang secara sistematis berorientasi pada pencapaian tujuan pembelajaran.
Eggen dan Kauchak (dalam Alsa, 2005) mengatakan belajar berdasarkan
regulasi diri merupakan proses penggunaan pemikiran dan tindakan oleh
individu untuk mencapai tujuan belajar yang maksimal.
Schunk (2012) mengatakan bahwa regulasi diri dalam situasi-situasi
pembelajaran mengharuskan siswa memiliki pilihan-pilihan tentang apa yang
akan mereka kerjakan dan bagaimana mereka mengerjakannya. Belajar
merupakan satu hal yang terpenting dalam pencapaian prestasi. Bagi individu
yang melakukan upaya belajar berdasar regulasi diri adalah individu yang
merencanakan, mengorganisasi, dan mengukur diri selama proses belajar
berlangsung.
Menurut Loong (2013), regulasi diri dalam belajar didefinisikan sebagai
kemampuan siswa untuk dapat aktif secara metakognitif, motivasional, dan
behavioral dalam proses belajar mereka sendiri, yang ketiga unsur tersebut
terlibat dalam kemandirian belajar siswa tersebut untuk meraih prestasi
akademiknya. Marini & Boruchovitch, (2014) mengungkapkan bahwa regulasi
diri dalam belajar adalah suatu proses ketika siswa melakukan perencanaan,
mencatat dan melakukan pengawasan, dan melakukan pengaturan cara
belajarnya sendiri yang mengacu pada pola pikir, perasaan, dan tindakan yang
telah direncanakan dan disesuaikan untuk meningkatkan motivasi dan
pembelajaran.
39
Menurut Zimmerman (dalam Mega, Ronconi, & De Beni, 2014),
model-model dari regulasi diri dalam belajar telah dikemukakan untuk
menjelaskan bagaimana siswa-siswa menjadi pembelajar yang visioner dengan
cara meregulasi diri melalui cara belajar mereka dan performansi mereka.
Walaupun di dalam teori ini memperlihatkan prespektif berbeda dalam belajar
berdasar regulasi diri, kebanyakan orang membahas pandangan yang sama
bahwa seorang pembelajar dengan regulasi diri akan secara aktif membangun
atau membentuk pengetahuan kemudian menggunakan bermacam-macam
strategi kognitif dan metakognitifnya untuk mengontrol dan meregulasi
kegiatan akademisnya.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
regulasi diri dalam belajar adalah kemampuan seseorang untuk aktif secara
metakognitif, motivasional, dan behavioral dalam melakukan perencanaan,
pencatatan dan melakukan pengawasan, melakukan pengaturan cara belajar,
dan pengevaluasian diri sesuai dengan pendapat Loong (2013) dan Marini &
Boruchovitch (2014) mengenai regulasi diri dalam belajar dan kaitannya
dengan aspek-aspek regulasi diri dalam belajar.
2. Aspek-aspek Regulasi Diri dalam Belajar
Menurut Alsa (2005), aspek-aspek regulasi diri dalam belajar adalah
metakognitif dan perilaku. Penjelasan aspek-aspek regulasi diri dalam belajar
adalah sebagai berikut :
1. Metakognitif terdiri atas dua sub-aspek, yaitu pengetahuan metakognisi dan
regulasi metakognitif. Menurut Engle (dalam Alsa, 2005), metakognitif
40
merupakan suatu kesadaran dan kontrol terhadap perilaku untuk
memberikan perhatian khusus pada suatu hal, atau dengan kata lain berpikir
tentang suatu pemikiran. Menurut Chen (dalam Alsa, 2005), metakognitif
berkaitan dengan kesadaran, pengetahuan, dan pengontrolan terhadap
kognitif. Alsa (2005) menjelaskan bahwa metakognisi membantu seseorang
untuk melakukan regulasi. Penjelasan sub-aspek metakognitif adalah
sebagai berikut (Flavel, 1987) :
a. Pengetahuan metakognisi adalah pengetahuan seseorang tentang
kemampuan kognitif yang ia miliki. Pengetahuan metakognitif dibagi
menjadi tiga, yaitu pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan
pengetahuan kondisional. Pengetahuan deklaratif adalah pengetahuan
tentang diri dan pengetahuan tentang strategi. Pengetahuan prosedural
adalah pengetahuan tentang bagaimana menggunakan strategi.
Pengetahuan kondisional adalah pengetahuan mengenai kapan dan
mengapa suatu strategi digunakan.
b. Regulasi metakognitif adalah proses yang berhubungan dengan
mekanisme regulasi diri. Regulasi metakognitif terdiri atas perencanaan,
penetapan tujuan, pemantauan arah belajar dan pemahaman belajar,
penemuan dan perbaikan kesalahan, dan menemukan cara yang lebih baik
untuk problem solving dalam belajar. Perencanaan adalah menetapkan
hasil belajar dan menganalisis pelajaran yang akan diambil. Penetapan
tujuan adalah penetapan tujuan belajar atau hasil belajar dan kemudian
memantau efektivitas strategi belajar yang digunakan serta memberi
41
reaksi terhadap evaluasi yang dilaksanakan (Zimmerman, 1989).
Pemantauan adalah membantu pelajar untuk memfokuskan perhatiannya
sehingga dapat membedakan efektivitas kinerja. Penemuan dan perbaikan
kesalahan adalah proses untuk memiliki tujuan belajar yang adaptif dan
persisten dalam usaha mencapai tujuan serta memodifikasi pemakaian
strategi untuk merespon peningkatan tugas. Cara yang lebih baik untuk
problem solving dalam belajar adalah proses menemukan solusi untuk
pemecahan permasalahan dalam kesukaran belajar dari hasil evaluasi
strategi belajar yang ada.
2. Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia sendiri, baik yang
diamati secara langsung maupun tidak langsung (Notoatmodjo, 2003).
Perilaku terdiri atas dua dimensi, yaitu strategi kognitif dan strategi
pengelolaan sumber daya. Penjelasan dimensi-dimensi perilaku adalah
sebagai berikut :
a. Strategi kognitif terdiri atas pengulangan belajar, organisasi,
elaborasi, dan berpikir kritis. Pengulangan belajar merupakan usaha
individu untuk mempelajari kembali materi yang sudah dipelajari.
Strategi ini meliputi memorisasi pelajaran dengan cara repetisi
(pengulangan materi secara mendalam) atau resitasi (surface
learning) (Wolters, Pintrich, & Karabenick, 2003). Elaborasi
(Wolters, Pintrich, & Karabenick, 2003) merupakan strategi belajar
yang menunjukkan satu pendekatan belajar yang lebih mendalam
melalui usaha meringkas bahan, menghapal pelajaran dengan
42
menggunakan kalimat sendiri, dan sebagainya. Organisasi (Andre &
Vialle, 1998) adalah usaha individu untuk mengatur dan
memodifikasi catatan pelajaran agar mudah dipahami sehingga dapat
mendukung aktivitas belajarnya. Organisasi melibatkan proses yang
lebih mendalam melalui pemakaian taktik mencatat ulang, membuat
diagram, menggarisbawahi, atau mengembangkan peta konsep (mind
map) untuk mengorganisasi pelajaran dengan berbagai cara. Alsa
(2005) menjelaskan berpikir kritis adalah cara berpikir analitis dan
belajar secara mendalam yang terdapat pada belajar berdasar regulasi
diri sebagai upaya untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap
pelajaran.
b. Strategi pengelolaan sumber daya adalah mengenali dan
menggunakan sumber daya alam maupun lingkungan secara kritis
(Lee, 2002). Pintrich & De Groot (1990) mengungkapkan strategi ini
terdiri atas pengelolaan lingkungan belajar dan waktu belajar,
regulasi usaha, belajar kelompok, dan mencari bantuan belajar.
Pengelolaan lingkungan belajar dan waktu belajar adalah pengelolaan
lingkungan fisik dan sosial, yaitu mengelola lingkungan belajar,
mencari, dan mengatur lingkungan dan suasana belajar agar tanpa
gangguan lingkungan serta pengelolaan waktu dengan membuat
jadwal aktivitas belajar dan rencana lamanya waktu belajar. Regulasi
usaha adalah kondisi tidak larut dengan kegagalan dan tetap berusaha
untuk komitmen pada pencapaian tujuan sekalipun ada hambatan.
43
Belajar kelompok adalah belajar dengan rekan-rekan sesama pelajar.
Mencari bantuan belajar adalah bertanya kepada guru, teman
kelompok belajar, orangtua ketika siswa menghadapi kesukaran
belajar. Karakteristik siswa tersebut adalah siswa yang proaktif,
mempunyai motivasi berprestasi, berorientasi pada tugas, dan
memiliki pengetahuan lebih banyak daripada siswa lain.
Menurut Marini & Boruchovitch (2014), aspek-aspek regulasi diri dalam
belajar adalah perencanaan, performansi, dan evaluasi diri. Penjelasan
aspek-aspek regulasi diri dalam belajar adalah sebagai berikut :
1. Perencanaan mengedepankan suatu proses dari pengetahuan yang paling
utama dan keyakinan dalam menginisiasi sesuatu yang mempengaruhi
pembelajaran subjek, seperti pengalaman subjek dalam menetapkan tujuan
pembelajaran dan menerapkan rencana strategis untuk mencapai
prestasinya.
2. Performansi berhubungan dengan apa yang terjadi selama proses
pembelajaran. Hal-hal yang berkaitan dengan performansi adalah proses
pembelajaran dan stimulasi. Proses pembelajaran yang menstimulasi
eksekusi atau evaluasi dari suatu tugas, berkaitan dengan meningkatnya
perhatian dan memonitor diri sendiri.
3. Evaluasi diri berhubungan dengan tindakan yang dilakukan setelah tugas
terselesaikan yang memberikan manfaat, yaitu memberi kesempatan kepada
individu untuk mengulang kembali petunjuk-petunjuk dan keputusan yang
telah diambil.
44
Berdasarkan penjelasan aspek-aspek regulasi diri dalam belajar yang telah
disebutkan di atas, maka aspek-aspek yang dipilih peneliti adalah metakognitif dan
perilaku yang bersumber dari penelitian Alsa (2005) karena sesuai dengan
pemaparan definisi regulasi diri dan belajar menurut Schunk dan Zimmerman
(2008).
C. Motivasi Belajar
1. Pengertian Motivasi Belajar
Motivasi atau “dorongan” menempatkan organisme ke dalam suatu
tindakan. Motivasi tersebut “memaksa” individu untuk melakukan sesuatu agar
terjadinya suatu tindakan, untuk mencoba, dan untuk menyuruh atau mengarah
pada kesuksesan (apabila kesuksesan itu telah direncanakan sebelumnya oleh
seorang eksperimenter atau setidaknya sebagai suatu kemungkinan) (Bugelski
dalam Bandura, 1986).
Menurut Santrock (2007), motivasi adalah proses yang memberi semangat,
arah, dan kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang memiliki motivasi adalah
perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama. Dalam kegiatan belajar,
motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri
siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari
kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan
yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai.
Bugelski (1956) telah menjelaskan bahwa motivasi banyak bercerita tentang
menstimulasi, dan mungkin beberapa hal yang memberikan semangat pada
45
seseorang, dan apabila proses belajar lebih banyak mengenai mengasosiasikan
stimulus dengan respons, maka motivasi ini diperlukan dalam proses
pembelajaran.
Menurut Masnur, Saliwangi, dan Hasan (1987), motivasi belajar berarti
stimulus belajar yang menggerakkan individu untuk melakukan proses
pembelajaran. Motivasi belajar menunjukkan adanya kekuatan atau daya
pendorongnya. Sedangkan,tingkah laku atau tindakan adalah sebagai akibat atau
operasional dariadanya motivasi. Motivasi belajar mendorong individu untuk
merubah tingkah laku sebagai upaya untuk pengoptimalan potensi dirinya.
Menurut Padil dan Supriyatno (2007), motivasi belajar adalah kekuatan diri
dalam individu yang menggerakkan individu untuk belajar sebagai bentuk
perubahan tingkah laku dan pengoptimalan potensi. Motivasi belajar dibedakan
menjadi dorongan untuk belajar dan kebutuhan untuk belajar. Dorongan belajar
adalah keadaan ketidakseimbangan dalam diri individu karena pengaruh dari
dalam dan dari luar individu yang mengerahkan pemikiran dan usahanya ketika
proses pembelajaran berlangsung dalam rangka mencapai keseimbangan
kembali atau adaptasi. Kebutuhan untuk belajar adalah dorongan yang telah
ditentukan secara personal, sosial, dan kultur selama proses pembelajaran
berlangsung. Kebutuhan manusia yang penting adalah kebutuhan untuk bersama
orang lain, kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan bebas dari rasa takut,
kebutuhan bebas dari rasa bersalah, kebutuhan untuk turut serta dalam
pengambilan keputusan mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut
46
dirinya, kebutuhan untuk melalui proses pembelajaran, kebutuhan akan kepastian
ekonomi, dan kebutuhan akan terintegrasinya sikap, keyakinan dan nilai-nilai.
Hanrahan (dalam Riaz, Rambli, Salleh, & Mushtaq, 2010) mengungkapkan
bahwa proses belajar itu mencapai titik optimal tergantung dari lingkungan
belajar siswa tersebut berada. Lingkungan belajar yang kondusif akan menunjang
proses belajar-mengajar. Selain itu, motivasi juga ikut berperan di dalamnya.
Pembelajaran akan berlangsung dengan lancar apabila siswa sudah
mengkondisikan dirinya untuk siap belajar, yang dalam hal ini siswa berusaha
untuk memotivasi dirinya agar mau belajar. Motivasi seperti ini berasal dari
dalam diri siswa, yang kemudian dikenal dengan nama motivasi intrinsik.
Apabila dibandingkan antara siswa yang belajar dengan memunculkan
motivasi intrinsik dan siswa yang belajar dengan menggunakan motivasi
ekstrinsik, hasil yang maksimal akan dicapai oleh siswa yang belajar dengan
memunculkan motivasi intrinsik. Hal ini disebabkan siswa tersebut belajar atas
kemauan sendiri dan atas dasar ingin mencari tahu sendiri hal-hal yang belum
diketahuinya. Siswa merasakan manfaat dari belajar sesuatu karena dia
terpuaskan oleh hal-hal yang akhirnya diketahuinya setelah melakukan proses
pembelajaran (Hanrahan dalam Riaz, Rambli, Salleh, & Mushtaq, 2010).
Selain itu, siswa yang memunculkan motivasi intrinsik ini mempunyai
kesadaran yang tinggi untuk melakukan proses pembelajaran. Siswa yang belajar
dengan menggunakan motivasi ekstrinsik melakukan proses pembelajaran
dengan mengandalkan penghargaan atau reward terlebih dahulu atau takut
dengan sanksi atau hukuman yang akan diberikan. Ada proses keterpaksaan
47
dalam melakukan pembelajaran sehingga hasil belajar menjadi kurang maksimal
dan siswa belajar karena adanya motivasi ekstrinsik. Apabila motivasi hilang,
maka siswa belajar dengan suasana kurang kondusif dan proses pembelajaran
berjalan kurang lancar (Riaz, Rambli, Salleh, & Mushtaq, 2010).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi
belajar adalah suatu dorongan atau kebutuhan untuk merubah tingkah laku dalam
rangka pengoptimalan potensi diri selama proses pembelajaran.
2. Aspek-aspek Motivasi Belajar
Menurut Pintrich, Smith, Garcia, dan Mc Keachie dalam Lynch (2010),
motivasi belajar mempunyai tujuan intrinsik yang di dalamnya terdapat motivasi
intrinsik. Motivasi intrinsik dalam hal pembelajaran berkembang dari
aspek-aspek minat, rasa ingin tahu, dan haus akan pengetahuan. Penjelasan dari
aspek-aspek motivasi belajar adalah sebagai berikut :
a. Minat adalah suatu proses yang tetap untuk memperhatikan dan memfokuskan
diri pada sesuatu dengan perasaan senang dan puas. Minat individu terhadap
proses pembelajaran diperlukan dalam aktivitas belajar, baik di sekolah
maupun di rumah. Apabila individu sudah mempunyai minat terhadap proses
pembelajaran, dia akan menemukan strategi pembelajaran yang tepat,
misalnya dengan metode pengulangan. Individu termotivasi untuk mengulangi
kembali materi pembelajaran tersebut (Pintrich, Smith, Garcia, dan Mc
Keachie dalam Lynch, 2010).
b. Rasa ingin tahu adalah dorongan untuk tahu hal-hal baru dengan cara
mengamati atau mempelajari proses untuk penelitian ilmiah. Rasa ingin tahu
48
individu terhadap proses pembelajaran menumbuhkan minat dan haus akan
pengetahuan. Rasa ingin tahu ini memunculkan sikap untuk mengorganisasi
kegiatan belajarnya (Pintrich, Smith, Garcia, dan Mc Keachie dalam Lynch,
2010).
c. Haus akan pengetahuan yang dimaksud di sini adalah individu dengan rasa
ingin tahu yang besar dan terus merasa dirinya kurang serta ingin menambah
pengetahuan dengan menggali lebih dalam materi yang telah didapatkannya.
Hal ini berhubungan dengan sikap berpikir kritis yang didapatkan individu
selama masa pencarian sumber belajar untuk mendapatkan informasi terkait
proses pembelajarannya (Pintrich, Smith, Garcia, dan Mc Keachie dalam
Lynch, 2010).
Menurut Bernard (dalam Rahayu, Karyanto, & Probosari, 2012), komponen
motivasi adalah motivasi internal dan motivasi eksternal. Motivasi internal atau
motivasi intrinsik lebih mempengaruhi hasil belajar yang dalam hal ini berkaitan
dengan motivasi belajar (Eymur dan Geban dalam Rahayu, Karyanto, &
Probosari, 2012). Motivasi internal atau intrinsik dilandasi oleh kemerdekaan
pribadi (otonomi) dan kompetensi. Penjelasan dari aspek-aspek motivasi belajar
adalah sebagai berikut :
a. Kemerdekaan pribadi atau otonomi dalam proses pembelajaran merupakan
usaha seseorang untuk memperbaiki hasil belajarnya dan kemudian
mengembangkan kemampuan belajarnya dengan membuat skala prioritas
terhadap kepentingan yang berhubungan dengan proses pembelajaran. Aspek
otonomi dalam motivasi intrinsik atau internal ini mempengaruhi kemampuan
49
kognitif seseorang dalam mencapai hasil belajar karena berhubungan dengan
perilaku belajarnya (Weiner dalam Rahayu, Karyanto, & Probosari, 2012).
b. Kompetensi berkaitan erat dengan prestasi akademik dan pencapaian hasil
belajar. Penelitian Broussard (dalam Rahayu, Karyanto, & Probosari, 2012)
mengatakan bahwa kegagalan pencapaian hasil belajar disebabkan oleh
lemahnya motivasi intrinsik dalam belajar. Kompetensi dapat berkontribusi
lebih apabila dibandingkan dengan kemampuan inteligensi dalam penentuan
hasil belajar. Jika seorang pembelajar dengan kemampuan inteligensia rendah
berada dalam proses pembelajaran,makadia dapat mencapai hasil belajar yang
relatif lebih baik karena mempunyai kompetensi atau keahlian dalam bidang
tersebut (Nasution dalam Rahayu, Karyanto, & Probosari, 2012).
Menurut Reinholt (dalam Riaz, Rambli, Salleh, & Mushtaq, 2010),
motivasi belajar dikembangkan dari motivasi intrinsik karena proses
pembelajaran akan berhasil apabila seseorang telah siap dan mampu untuk
menghadapi proses pembelajaran. Motivasi intrinsik merefleksikan aktivitas
yang didasari pada kehendak pribadi sesuai dengan tujuan awalnya. Dimensi dari
motivasi intrinsik ini berupa sesuatu yang dirasakan individu ketika ingin
melaksanakan aktivitas belajarnya, yaitu sikap, keahlian, dan minat (Reinholt
dalam Riaz, Rambli, Salleh, & Mushtaq, 2010). Penjelasan dimensi dari motivasi
intrinsik adalah sebagai berikut :
a. Sikap dalam hal ini berkaitan erat dengan pencapaian tujuan hasil belajar,
yaitu bagaimana individu perlu menyikapi apa saja yang diperlukan selama
proses pembelajarannya.
50
b. Keahlian individu dalam menemukan strategi belajar apa yang digunakan
atau mengelola sumber-sumber belajar di sekitarnya berhubungan erat dengan
lingkungan tempat individu itu berinteraksi. Ketika lingkungan sekitar
mendukung individu untuk mensukseskan proses pembelajarannya, maka
keahlian individu tersebut dapat digunakan secara maksimal dan semakin
terasah (Weller dalam Riaz, Rambli, Salleh, & Mushtaq, 2010).
c. Minat individu terhadap pelajaran apa yang dihadapi selama proses
pembelajaran berlangsung berpengaruh terhadap motivasi belajarnya. Individu
yang cenderung berminat terhadap suatu pelajaran belum tentu nilainya baik
karena berusaha untuk memahami ilmunya dan tidak mengejar nilai.
Sebaliknya, individu yang cenderung kurang berminat terhadap suatu
pelajaran berusaha belajar dan mengejar nilai untuk mendapatkan prestasi
belajar yang baik (Zimmerman, 1986).
Berdasarkan pemaparan aspek-aspek motivasi belajar di atas, maka aspek-aspek
motivasi belajar bersifat intrinsik. Peneliti memilih aspek minat, rasa ingin tahu,
dan haus akan pengetahuan oleh Pintrich, Smith, Garcia, dan Mc Keachie (dalam
Lynch, 2010) sebagai aspek-aspek dalam motivasi belajar karena sesuai dengan
konsep motivasi belajar yang dikemukakan oleh Santrock (2007) dan motivasi
belajar yang bersifat intrinsik oleh Reinholt (dalam Riaz, Rambli, Salleh, &
Mushtaq, 2010).
51
D. Hubungan antara Regulasi Diri dalam Belajar dengan Kecemasan Siswa
dalam Menghadapi Ulangan Harian
Barlow dan Durand (2012) menyatakan kecemasan adalah keadaan suasana
hati yang yang ditandai dengan keadaan jasmaniah, seperti ketegangan fisik, dan
kekhawatiran tentang masa depan. Kecemasan berupa perasaan takut atau tidak
tenang berasal dari sumber yang tidak dikenali. Hal ini terjadi saat seseorang
merasa terancam secara fisik maupun psikologis. Aspek-aspek kecemasan adalah
emosi subjektif, komponen kognitif, respon fisiologis, dan respon perilaku (Barlow
dan Durand, 2012).
Cattell (dalam Spielberger, 2010) menjelaskan state anxiety muncul ketika
ada stimulus yang membuat rasa cemas dan sifatnya adalah sementara. Dalam
penelitian ini, stimulus yang dimaksud adalah ulangan harian. Witherington
(1952) mengungkapkan bahwa munculnya kecemasan disebabkan oleh pemberian
ulangan atau ujian karena siswa berada pada posisi yang kurang pasti, yaitu antara
rasa aman dan kurang aman terhadap hasil ulangannya apakah baik atau kurang
baik nilanya. Barlow dan Durand (2012) mengungkapkan bahwa kecemasan
berupa perasaan takut atau tidak tenang berasal dari sumber yang tidak dikenali.
Pada penelitian ini, pemberian ulangan harian membuat siswa berada dalam
kondisi yang tidak pasti sehingga merasa terancam secara fisik maupun psikologis
sesuai dengan pendapat Barlow dan Durand (2012) mengenai konsep kecemasan.
Kecemasan siswa dalam menghadapi ulangan termasuk dalam state
anxiety karena kecemasan yang muncul bersifat sementara. State anxiety muncul
ketika individu berada dalam situasi kurang nyaman atau sedang dalam uji mental
52
dari beberapa tipe ancaman atau gangguan. Ketika objek atau situasi muncul,
kecemasan akan muncul. Ketika stimulus menghilang, maka individu tidak lagi
merasakan kecemasan (Ratherford dalam Spielberger, 2010). Stimulus berupa
ulangan harian ini membuat siswa merasa cemas. Ketika siswa sudah selesai
dalam menghadapi ulangan harian, maka kecemasan ini akan menghilang sesuai
dengan pendapat Ratherford (dalam Spielberger, 2010) mengenai kemunculan
state anxiety.
Kesici & Erdogan (2009) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kecemasan siswa dalam menghadapi ulangan salah satunya adalah
regulasi diri dalam belajar. Hasil penelitian Bembenutty (2008) mengungkapkan
bahwa terdapat hubungan antara regulasi diri dalam belajar dan kecemasan siswa
dalam menghadapi ujian. Loong (2013) juga mengungkapkan hal serupa, yaitu
hasil penelitiannya menyebutkan bahwa ada korelasi antara regulasi diri dalam
belajar dan kecemasan siswa dalam menghadapi ujian.
Regulasi diri dalam belajar secara tidak langsung mempengaruhi tingkat
kecemasan siswa, yang dalam hal ini pengkondisian klasik saat terjadinya ulangan.
Kecemasan berhubungan dengan regulasi diri individu dan berpengaruh terhadap
performansi belajarnya. Kecemasan dengan intensitas wajar dapat dianggap
memiliki nilai positif sebagai motivasi. Namun, apabila intensitasnya tinggi dan
bersifat negatif dapat menimbulkan kerugian dan dapat mengganggu keadaan fisik
dan psikis individu yang bersangkutan (Sudrajat dalam Agustiar & Asmi, 2013).
Pentingnya peran regulasi diri dalam belajar dalam menanggulangi
kecemasan siswa dalam menghadapi ujian atau ulangan dapat dilihat dari hasil
53
penelitian Bembenutty (2008), yaitu ada hubungan antara regulasi diri dalam
belajar dan kecemasan dalam menghadapi ujian. Bembenutty (2008) menjelaskan
bahwa regulasi diri dalam belajar mengacu pada proses untuk mengontrol agar
kognitif dan perilaku dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan.
Aspek-aspek regulasi diri dalam belajar adalah metakognisi dan perilaku.
Alsa (2005) mengungkapkan bahwa metakognisi membantu seseorang untuk
melakukan regulasi, yaitu dengan cara memberikan perhatian khusus terhadap
suatu hal.
Dalam mengatasi kecemasan siswa ketika menghadapi ulangan, siswa
dengan regulasi diri dalam belajar yang baik akan mampu mengurangi tingkat
kecemasannya ketika menghadapi ulangan. Ketika seorang siswa mempunyai
pengetahuan metakognitif yang baik, yaitu individu mengetahui tentang
kemampuan kognitif yang ia miliki, maka individu tersebut akan berusaha untuk
meningkatkan performansi belajarnya dengan melakukan evaluasi terhadap dirinya
dengan menggunakan pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan
pengetahuan kondisional (Flavel, 1987). Dengan melakukan evaluasi pembelajaran
ini, individu mempersiapkan dirinya untuk menghadapi
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi selama proses pembelajaran berlangsung.
Salah satu sub-aspek regulasi diri dalam belajar, yaitu pengetahuan
metakognitif dapat mengurangi munculnya salah satu aspek kecemasan, yaitu
komponen kognitif. Individu mempunyai pengetahuan dan informasi yang dimiliki
seseorang tentang objek sikapnya, dalam hal ini adalah ujian atau ulangan (Barlow
dan Durand, 2012). Individu yang memiliki pengetahuan kognitif terhadap dirinya,
54
yaitu pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan
kondisional, maka individu mengetahui sejauh mana dirinya akan mengevaluasi
proses pembelajarannya dengan menggunakan strategi belajar yang efektif dan
efisien. Hal ini membawa dampak bagi siswa, ketika akan menghadapi ulangan
atau ujian, aspek kecemasan emosi subjektif dan komponen kognitif tidak lagi
muncul karena individu sudah siap menghadapi ujian dengan pengetahuan kognitif
yang ia miliki. Ketika individu sudah merasa siap untuk menghadapi ujian, maka
perasaan khawatir dan tidak mampu dalam menghadapi persoalan tidak akan
muncul saat itu.
Regulasi metakognitif dapat membantu mengurangi munculnya
aspek-aspek kecemasan, yaitu aspek emosi subjektif dan aspek komponen kognitif.
Regulasi metakognitif terdiri atas perencanaan, penetapan tujuan, pemantauan arah
belajar dan pemahaman belajar, penemuan dan perbaikan kesalahan, dan
menemukan cara yang lebih baik untuk problem solving dalam belajar
(Zimmerman, 1989).
Dengan adanya perencanaan, penetapan tujuan, pemantauan arah belajar
dan pemahaman belajar, penemuan dan perbaikan kesalahan, dan menemukan cara
yang lebih baik untuk problem solving dalam belajar yang diterapkan siswa selama
proses pembelajarannya, maka kekhawatiran akan ketidaksiapan siswa dalam
menghadapi ulangan akan berkurang. Hasil penelitian Bembenutty (2008) adalah
ada hubungan antara regulasi diri dalam belajar dan kecemasan siswa dalam
menghadapi ujian. Sejalan dengan hasil penelitian Bembenutty (2008), siswa yang
menerapkan regulasi diri dalam belajar akan melakukan perencanaan, penetapan
55
tujuan, pemantauan arah belajar dan pemahaman belajar, penemuan dan perbaikan
kesalahan, dan menemukan cara yang lebih baik untuk problem solving dalam
belajar. Hal ini bertujuan untuk mempersiapkan diri siswa ketika akan menghadapi
salah satu tantangan dalam belajar, yaitu ujian atau ulangan. Siswa berusaha untuk
meningkatkan performansi belajarnya dengan mengurangi kekurangannya selama
proses pembelajaran berlangsung.
Berkaitan dengan regulasi metakognitif, aspek kecemasan emosi subjektif
dan komponen kognitif dapat hilang atau berkurang intensitasnya karena siswa
sudah merasa siap untuk menghadapi ulangan. Pikiran khawatir, merasa tidak
mampu menghadapi persoalan, rasa tegang, dan ketakutan yang merupakan reaksi
psikologi seseorang dalam bertindak, biasanya muncul pada diri remaja yang
menyangkut dengan ujian yang akan diikuti, akan berkurang karena siswa sudah
siap ketika akan menghadapi ulangan. Sebelum proses pembelajaran dimulai, siswa
sudah melakukan perencanaan belajar, menetapkan tujuan, sehingga dapat
melakukan pemantauan arah belajar, sehingga mampu memahami materi
pembelajaran yang disampaikan (Flavel, 1987). Siswa akan menemukan kelebihan
dan kurangan pada dirinya dan melakukan perbaikan kesalahan, dan menemukan
cara yang lebih baik untuk problem solving dalam belajar.
Salah satu aspek regulasi diri dalam belajar, yaitu perilaku akan mengurangi
munculnya salah satu aspek kecemasan, yaitu respon fisiologis. Perilaku terdiri atas
dua dimensi, yaitu strategi kognitif dan strategi pengelolaan sumber daya (Alsa,
2005). Siswa yang mempunyai strategi kognitif yang baik, akan melakukan
pengulangan belajar, organisasi, elaborasi, dan berpikir kritis. Pengulangan belajar
56
merupakan usaha individu untuk mempelajari kembali materi yang sudah
dipelajari. Strategi ini meliputi memorisasi pelajaran dengan cara repetisi
(pengulangan materi secara mendalam) atau resitasi (surface learning) (Wolters,
Pintrich, & Karabenick, 2003). Elaborasi (Wolters, Pintrich, & Karabenick, 2003)
merupakan strategi belajar yang menunjukkan satu pendekatan belajar yang lebih
mendalam melalui usaha meringkas bahan, menghapal pelajaran dengan
menggunakan kalimat sendiri, dan sebagainya. Organisasi menurut Andre & Vialle
(1998) adalah usaha individu untuk mengatur dan memodifikasi catatan pelajaran
agar mudah dipahami sehingga dapat mendukung aktivitas belajarnya. Organisasi
melibatkan proses yang lebih mendalam melalui pemakaian taktik mencatat ulang,
membuat diagram, menggarisbawahi, atau mengembangkan peta konsep (mind
map) untuk mengorganisasi pelajaran dengan berbagai cara. Alsa (2005)
menjelaskan berpikir kritis adalah cara berpikir analitis dan belajar secara
mendalam yang terdapat pada belajar berdasar regulasi diri sebagai upaya untuk
meningkatkan pemahaman siswa terhadap pelajaran.
Ketika akan menghadapi ulangan atau ujian, maka siswa berusaha belajar
dengan cara mengulang-ulang kembali materi pembelajaran secara repetisi atau
secara resitasi. Siswa juga melakukan organisasi, elaborasi, dan berpikir kritis.
Siswa merasa siap dalam menghadapi ulangan atau ujian karena sudah membekali
dirinya dengan materi pembelajaran yang telah dipelajari sebelumnya. Siswa juga
melakukan elaborasi dengan cara meringkas bahan, menghapal pelajaran dengan
menggunakan kalimat sendiri, dan sebagainya. Siswa berusaha menggunakan
taktik mencatat ulang, membuat diagram, menggarisbawahi, atau mengembangkan
57
peta konsep (mind map) untuk mengorganisasi pelajaran dengan berbagai cara.
Alsa (2005) menjelaskan berpikir kritis adalah cara berpikir analitis dan belajar
secara mendalam yang terdapat pada belajar berdasar regulasi diri sebagai upaya
untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap pelajaran. Ketika siswa berusaha
untuk berpikir kritis, maka siswa berusaha memahami kekurangan dan kelebihan
dirinya dalam mata pelajaran yang akan diujiankan sehingga bisa melakukan
antisipasi untuk mengatasi kekurangan dirinya dalam menghadapi ulangan atau
ujian, contohnya ketika merasa cemas dalam menghadapi ujian.
Ketika siswa sudah siap, maka tubuh merespon positif terhadap hal ini
sehingga respon fisiologis tidak akan muncul. Kecemasan muncul karena mood
yang negatif dan secara karakteristik gejala-gejalanya berupa ketegangan fisik dan
ketakutan akan sesuatu yang akan terjadi di masa mendatang (American
Psychological Association dalam Barlow dan Durand, 2012). Pada manusia,
kecemasan bisa menjadi sensasi yang subjektif dari suatu kesulitan, sekumpulan
perilaku-perilaku tersebut berupa terlihat khawatir dan cemas atau gelisah, atau
respons fisiologis yang murni dari otak dan refleksi dari peningkatan detak jantung
dan ketegangan otot. Siswa sudah membekali dirinya dengan mengulang materi
pelajaran yang ada sehingga muncul mood yang positif dalam dirinya. Kesulitan
yang muncul selama siswa menghadapi ulangan atau ujian akan dihadapi dengan
respon positif karena dirinya sudah siap untuk menjawab soal-soal ulangan yang
ada sehingga respon fisiologis tidak akan muncul, seperti meningkatnya denyut
jantung, keluarnya keringat dingin, sesak napas, dan sebagainya. Tubuh merespon
58
positif sehingga pikiran negatif berkurang. Tubuh terasa rileks sehingga
ketegangan otot juga berkurang.
Aspek perilaku dapat mengurangi munculnya salah satu aspek kecemasan,
yaitu respon perilaku. Salah satu sub-aspek perilaku adalah strategi pengelolaan
sumber daya. Strategi pengelolaan sumber daya adalah mengenali dan
menggunakan sumber daya alam maupun lingkungan secara kritis (Lee, 2002).
Pintrich & De Groot (1990) mengungkapkan strategi ini terdiri atas pengelolaan
lingkungan belajar dan waktu belajar, regulasi usaha, belajar kelompok, dan
mencari bantuan belajar. Siswa berusaha untuk mengelola lingkungan belajar dan
waktu belajarnya. Pengelolaan lingkungan belajar dan waktu belajar adalah
pengelolaan lingkungan fisik dan sosial, yaitu mengelola lingkungan belajar,
mencari, dan mengatur lingkungan dan suasana belajar agar tanpa gangguan
lingkungan serta pengelolaan waktu dengan membuat jadwal aktivitas belajar dan
rencana lamanya waktu belajar. Dengan melakukan pengelolaan lingkungan belajar
dan waktu belajar, siswa belajar untuk mempunyai pola pikir yang teratur. Siswa
berusaha untuk memanajemen dirinya agar mendapatkan lingkungan belajar yang
nyaman dan pintar dalam mengelola waktu belajarnya dengan membuat jadwal
aktivitas belajar dan rencana lamanya waktu belajar. Aspek kecemasan, yaitu
respon perilaku dapat berkurang intensitas kemunculannya karena siswa berusaha
untuk memanajemen dirinya agar mampu mengelola proses pembelajarannya
dengan baik sehingga perasaan untuk menghindar dari sesuatu yang menegangkan,
menurunnya pelaksanaan tugas, dan meningkatnya respon yang mengejutkan dapat
teratasi dengan baik.
59
Regulasi usaha adalah kondisi tidak larut dengan kegagalan dan tetap
berusaha untuk komitmen pada pencapaian tujuan sekalipun ada hambatan
(Pintrich & De Groot, 1990). Dengan adanya regulasi usaha, siswa berusaha tetap
komitmen pada pencapaian tujuan sehingga walaupun menemukan hambatan
dalam belajar akan tetap maju terus sehingga tujuan awal tercapai. Dengan adanya
regulasi usaha ini, aspek kecemasan respon perilaku (menghindar dari sesuatu yang
menegangkan dan menurunnya pelaksanaan tugas) dapat teratasi dengan baik
karena siswa tetap berusaha untuk komitmen pada tujuan pembelajaran yang ada
walaupun terdapat hambatan belajar selama proses berlangsung.
Belajar kelompok adalah belajar dengan rekan-rekan sesama pelajar.
Mencari bantuan belajar adalah bertanya kepada guru, teman kelompok belajar,
orangtua ketika siswa menghadapi kesukaran belajar. Karakteristik siswa tersebut
adalah siswa yang proaktif, mempunyai motivasi berprestasi, berorientasi pada
tugas, dan memiliki pengetahuan lebih banyak daripada siswa lain (Pintrich & De
Groot, 1990). Siswa melakukan belajar kelompok dan mencari bantuan belajar
ketika menemukan kesulitan dalam memahami materi pembelajaran sehingga
kecemasan-kecemasan yang muncul akan berkurang. Aspek kecemasan, yaitu
respon perilaku (menghindar dari sesuatu yang menegangkan dan menurunnya
pelaksanaan tugas), tidak akan muncul karena siswa berusaha untuk tetap
komitmen dalam melaksanakan tugasnya di sekolah dengan cara mencari bantuan
belajar dan belajar kelompok.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
antara regulasi diri dalam belajar dan kecemasan siswa dalam menghadapi ujian
60
berdasarkan hasil penelitian Loong (2013) dan Bembenutty (2008) serta penjelasan
mengenai keterkaitan antaraspek, yaitu aspek-aspek regulasi diri dalam belajar dan
aspek-aspek kecemasan siswa dalam menghadapi ulangan harian yang telah
dipaparkan di atas. Siswa yang mempunyai regulasi diri dalam belajar yang tinggi
akan mempunyai tingkat kecemasan yang rendah. Sebaliknya, apabila siswa yang
mempunyai regulasi diri dalam belajar yang rendah, maka akan mempunyai tingkat
kecemasan yang tinggi.
E. Hubungan antara Motivasi Belajar dengan Kecemasan Siswa dalam
Menghadapi Ulangan Harian
Kesici & Erdogan (2009) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kecemasan siswa dalam menghadapi ujian salah satunya adalah
motivasi belajar. Hasil penelitian Suardana & Simarmata (2013) menyebutkan
bahwa ada korelasi negatif yang signifikan antara motivasi belajar dan kecemasan
siswa menghadapi Ujian Nasional. Agustiar & Asmi (2010) juga mengungkapkan
hal serupa, yaitu ada korelasi antara motivasi belajar dan kecemasan siswa ketika
menghadapi ujian.
Bugelski (1956) menjelaskan bahwa proses belajar lebih banyak mengenai
asosiasi stimulus dan respon, sedangkan motivasi diperlukan sesesorang agar
proses pembelajaran berjalan lancar. Menurut Santrock (2007), motivasi adalah
proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Dalam kegiatan
belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri
siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari
61
kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang
dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai.
Motivasi belajar mempunyai tujuan intrinsik yang di dalamnya terdapat
motivasi intrinsik. Motivasi intrinsik dalam hal pembelajaran berkembang dari
aspek-aspek minat, rasa ingin tahu, dan haus akan pengetahuan. Aspek-aspek
motivasi belajar bersifat intrinsik dan berkembang dari aspek minat, rasa ingin
tahu, dan haus akan pengetahuan (Pintrich, Smith, Garcia, dan Mc Keachie dalam
Lynch, 2010).
Aspek motivasi belajar yang pertama adalah minat. Aspek-aspek
kecemasan siswa dalam menghadapi ujian dapat hilang atau berkurang intensitas
kemunculannya dengan adanya aspek minat ini. Aspek-aspek motivasi belajar yang
bersifat intrinsik berkaitan dengan diri individu tersebut seperti meraih kesuksesan,
menumbuhkan minat, dan harga diri (Brophy dalam Marini & Boruchovitch,
2014). Siswa yang mempunyai minat terhadap proses pembelajaran akan
memperhatikan dan memfokuskan diri pada sesuatu dengan perasaan senang dan
puas (Pintrich, Smith, Garcia, dan Mc Keachie dalam Lynch, 2010). Siswa
berusaha untuk melakukan segala sesuatu dengan perasaan senang sehingga fokus
selama proses pembelajaran berlangsung. Kekhawatiran, perasaan tegang, perasaan
tidak mampu untuk menghadapi persoalan akan hilang karena mood yang tercipta
adalah positif sehingga emosi subjektif dan komponen kognitif ini akan hilang atau
berkurang.
Aspek motivasi belajar yang kedua adalah rasa ingin tahu. Siswa dengan
rasa ingin tahu yang besar akan mendorong dirinya untuk tahu hal-hal baru dengan
62
cara mengamati atau mempelajari proses untuk penelitian ilmiah. Rasa ingin tahu
individu terhadap proses pembelajaran menumbuhkan minat dan haus akan
pengetahuan. Rasa ingin tahu ini memunculkan sikap untuk mengorganisasi
kegiatan belajarnya (Pintrich, Smith, Garcia, dan Mc Keachie dalam Lynch, 2010).
Aspek-aspek kecemasan, yaitu emosi subjektif dan komponen kognitif akan
berkurang kemunculannya karena siswa berusaha untuk mengorganisasi kegiatan
belajarnya. Siswa sudah siap ketika menghadapi ulangan atau ujian karena siswa
mencari tahu materi yang akan diujiankan kemudian melakukan persiapan untuk
menghadapi ujian dengan mengamati dan mempelajari proses selama pembelajaran
berlangsung. Siswa belajar untuk menjadi pengamat yang baik di kelas sehingga
dapat mengatasi kemunculan aspek-aspek kecemasan, yaitu emosi subjektif dan
komponen kognitif.
Aspek motivasi belajar yang bersifat intrinsik yang ketiga adalah haus akan
pengetahuan. Rasa haus akan pengetahuan berhubungan dengan sikap berpikir
kritis yang didapatkan individu selama masa pencarian sumber belajar untuk
mendapatkan informasi terkait proses pembelajarannya (Pintrich, Smith, Garcia,
dan Mc Keachie dalam Lynch, 2010). Siswa yang mempunyai pemikiran kritis
akan mencari dan menggali informasi yang berhubungan dengan materi
pembelajarannya secara mendalam dan mendetail. Siswa berusaha untuk mencari
kelemahan dan kelebihan dalam dirinya sehingga mudah untuk mendapatkan
informasi yang terkait proses pembelajarannya. Siswa berpikir positif sehingga
memunculkan mood yang positif. Aspek kecemasan respon perilaku, yaitu
menurunnya pelaksanaan tugas dan munculnya respon yang mengejutkan akan
63
berkurang karena siswa berusaha untuk memanajemen dirinya untuk memfokuskan
dirinya pada penggalian informasi pembelajaran yang secara kritis dan mendalam
berdasarkan rasa haus akan pengetahuannya tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
antara motivasi belajar dan kecemasan menghadapi ulangan berdasarkan hasil
penelitian Suardana & Simarmata (2013) yang menyebutkan bahwa ada korelasi
negatif yang signifikan antara motivasi belajar dan kecemasan siswa menghadapi
Ujian Nasional. Agustiar & Asmi (2010) juga mengungkapkan hal serupa. Hasil
penelitiannya adalah ada korelasi antara motivasi belajar dan kecemasan siswa
dalam menghadapi ujian. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara
motivasi belajar dan kecemasan siswa dalam menghadapi ujian berdasarkan
pendapat Kesici & Erdogan (2009) mengenai salah satu faktor yang mempengaruhi
kecemasan siswa dalam menghadapi tes, hasil penelitian Suardana & Simarmata
(2013), dan hasil penelitian Agustiar & Asmi (2010) serta penjelasan keterkaitan
antaraspek, yaitu aspek motivasi belajar dan kecemasan siswa dalam menghadapi
ujian. Siswa yang mempunyai motivasi belajar yang tinggi, maka kecemasan
menghadapi ulangan harian akan menurun atau berkurang. Sebaliknya, apabila
siswa yang mempunyai motivasi belajar yang rendah, maka kecemasan
menghadapi ulangan harian akan tinggi atau mengalami peningkatan.
64
F. Hubungan Antara Regulasi Diri dalam Belajar dan Motivasi Belajar
dengan Kecemasan Siswa dalam Menghadapi Ulangan Harian
Bandura (dalam Barlow dan Durand, 2012) mengatakan teori behavioris
melihat kecemasan merupakan suatu produk dari awal pengkondisian klasik, atau
bentuk-bentuk lainnya dari proses pembelajaran. Apabila kecemasan terjadi dalam
proses pembelajaran di sekolah, seperti mengerjakan ulangan, tugas-tugas sekolah,
maka siswa-siswa tersebut akan khawatir pada ulangan selanjutnya yang akan
diujikan gurunya, walaupun nilai A atau B sudah diraih oleh siswa-siswa tersebut.
Hal-hal yang merusak perilaku atau membuat trauma siswa-siswa tersebut
kemudian mengarah pada kecemasan yang lebih sering muncul saat pengkondisian
klasik terjadi, yaitu pada saat ulangan.
Ketika proses pengkondisian klasik ini sudah terjadi, individu, yang dalam
hal ini seorang siswa, berusaha belajar dari pengalaman bagaimana untuk
menyikapi hal tersebut agar tidak terjadi kecemasan kembali. Pada teori kognisi
sosial oleh Bandura (1986), dijelaskan bahwa manusia cukup fleksibel dan mampu
mempelajari berbagai sikap, kemampuan, dan perilaku, serta cukup banyak dari
pembelajaran tersebut yang merupakan hasil dari pengalaman tidak langsung.
Walaupun manusia dapat dan memang belajar dari pengalaman langsung, banyak
dari apa yang mereka pelajari didapatkan dengan mengobservasi orang lain.
Bandura (1986) menyatakan bahwa “Apabila pengetahuan dapat diperoleh hanya
melalui akibat dari tindakan seseorang, proses kognitif dan perkembangan sosial
akan sangat terbelakang, dan juga akan menjadi sangat melelahkan”.
65
Ketika individu sudah mengalami kecemasan, individu berusaha untuk
mengatur dan mengontrol dirinya dengan menggunakan pengalaman yang telah
dipelajari sebelumnya. Dalam perspektif kognitif sosial, individu dipandang
berkemampuan proaktif dan mengatur diri daripada sebatas mampu berperilaku
reaktif dan dikontrol oleh kekuatan biologis atau lingkungan. Selain itu, individu
juga dipahami memiliki self-beliefs yang memungkinkan mereka berlatih
mengukur pengendalian atas pikiran, perasaan, dan tindakan mereka. Bandura
(1986) memperlihatkan bahwa individu membuat dan mengembangkan persepsi
diri atas kemampuan yang menjadi instrumen pada tujuan yang mereka kejar dan
pada kontrol yang mereka latih atas lingkungannya (Pajares dan Schunk, 2001).
Teori kognitif sosial mengakui kontribusi sosial baik terhadap cara
manusia berpikir dan bertindak, maupun pentingnya proses kognitif terhadap
motivasi, emosi, dan tindakan. Teori Bandura ini memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap pemahaman mengenai bagaimana klien belajar cara berpikir
dan berperilaku, baik secara positif maupun secara negatif. Teori kognitif sosial ini
juga menjelaskan secara rinci berbagai proses konsep kognitif, seperti regulasi diri
dan efikasi diri.
Apabila dihubungkan dengan penelitian ini, secara langsung maupun
tidak langsung berusaha meregulasi dirinya dan memotivasi dirinya agar tidak
kembali pada pengalaman emosional, yaitu mengalami kecemasan. Individu
dipandang berkemampuan proaktif dan mengatur diri daripada sebatas mampu
berperilaku reaktif dan dikontrol oleh kekuatan biologis atau lingkungan, yang
dalam hal ini adalah kecemasan. Selain itu, individu juga dipahami
66
memiliki self-beliefs yang memungkinkan mereka berlatih mengukur pengendalian
atas pikiran, perasaan, dan tindakan mereka (Bandura, 1986).
Dalam mengatasi kecemasan siswa ketika menghadapi ulangan, siswa
dengan regulasi diri dalam belajar dan motivasi belajar yang baik akan mampu
mengurangi tingkat kecemasannya ketika menghadapi ulangan. Ketika seorang
siswa mempunyai pengetahuan metakognitif dan minat yang baik terhadap suatu
pembelajaran, maka individu tersebut akan berusaha untuk meningkatkan
performansi belajarnya dengan melakukan evaluasi terhadap dirinya dengan
menggunakan pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan
kondisional (Flavel, 1987) untuk meraih kesuksesan, menumbuhkan minat, dan
harga diri (Brophy dalam Marini & Boruchovitch, 2014). Siswa yang mempunyai
minat terhadap proses pembelajaran akan memperhatikan dan memfokuskan diri
pada sesuatu dengan perasaan senang dan puas (Pintrich, Smith, Garcia, dan Mc
Keachie dalam Lynch, 2010). Selain itu, dengan melakukan evaluasi pembelajaran
ini, individu mempersiapkan dirinya untuk menghadapi
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi selama proses pembelajaran berlangsung.
Siswa berusaha untuk melakukan segala sesuatu dengan perasaan senang sehingga
fokus selama proses pembelajaran berlangsung. Kekhawatiran, perasaan tegang,
perasaan tidak mampu untuk menghadapi persoalan akan hilang karena mood yang
tercipta adalah positif sehingga aspek-aspek kecemasan emosi subjektif dan
komponen kognitif ini akan hilang atau berkurang.
Sub-aspek regulasi diri dalam belajar dan motivasi belajar yang lain adalah
pengetahuan metakognitif dan rasa ingin tahu. Aspek pengetahuan metakognitif
67
dan rasa ingin tahu ini dapat mengurangi munculnya aspek-aspek kecemasan, yaitu
komponen kognitif dan emosi subjektif. Individu yang memiliki pengetahuan
kognitif terhadap dirinya, yaitu pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural,
dan pengetahuan kondisional, maka individu akan mengetahui sejauh mana dirinya
mengevaluasi proses pembelajarannya dengan menggunakan strategi belajar yang
efektif dan efisien. Selain itu, rasa ingin tahu individu terhadap proses
pembelajaran memunculkan sikap untuk mengorganisasi kegiatan belajarnya
(Pintrich, Smith, Garcia, dan Mc Keachie dalam Lynch, 2010). Aspek-aspek
kecemasan, yaitu emosi subjektif dan komponen kognitif akan berkurang
kemunculannya karena siswa berusaha untuk mengorganisasi kegiatan belajarnya.
Siswa sudah siap ketika menghadapi ulangan atau ujian karena siswa mencari tahu
materi yang akan diujiankan kemudian melakukan persiapan untuk menghadapi
ujian dengan mengamati dan mempelajari proses selama pembelajaran
berlangsung.
Hal ini membawa dampak bagi siswa, ketika akan menghadapi ulangan atau
ujian, aspek kecemasan emosi subjektif dan komponen kognitif tidak lagi muncul
karena individu sudah siap menghadapi ujian dengan pengetahuan kognitif yang ia
miliki. Ketika individu sudah merasa siap untuk menghadapi ujian, maka perasaan
khawatir dan tidak mampu dalam menghadapi persoalan tidak akan muncul saat itu
(Barlow dan Durand, 2012). Siswa dengan rasa ingin tahu yang besar akan
mendorong dirinya untuk tahu hal-hal baru dengan cara mengamati atau
mempelajari proses untuk penelitian ilmiah. Siswa belajar untuk menjadi pengamat
68
yang baik di kelas sehingga dapat mengatasi kemunculan aspek-aspek kecemasan,
yaitu emosi subjektif dan komponen kognitif.
Sub-aspek regulasi diri dalam belajar dan motivasi belajar yang lain adalah
regulasi metakognitif dan haus akan pengetahuan. Regulasi metakognitif dapat
membantu mengurangi munculnya aspek-aspek kecemasan, yaitu aspek emosi
subjektif dan aspek komponen kognitif. Aspek haus akan pengetahuan akan
mengurangi aspek kecemasan, yaitu respon perilaku. Regulasi metakognitif terdiri
atas perencanaan, penetapan tujuan, pemantauan arah belajar dan pemahaman
belajar, penemuan dan perbaikan kesalahan, dan menemukan cara yang lebih baik
untuk problem solving dalam belajar (Zimmerman, 1989). Dengan adanya
perencanaan, penetapan tujuan, pemantauan arah belajar dan pemahaman belajar,
penemuan dan perbaikan kesalahan, dan menemukan cara yang lebih baik untuk
problem solving dalam belajar yang diterapkan siswa selama proses
pembelajarannya, maka kekhawatiran akan ketidaksiapan siswa dalam menghadapi
ulangan akan berkurang. Rasa haus akan pengetahuan berhubungan dengan sikap
berpikir kritis yang didapatkan individu selama masa pencarian sumber belajar
untuk mendapatkan informasi terkait proses pembelajarannya (Pintrich, Smith,
Garcia, dan Mc Keachie dalam Lynch, 2010). Siswa yang mempunyai pemikiran
kritis akan mencari dan menggali informasi yang berhubungan dengan materi
pembelajarannya secara mendalam dan mendetail. Siswa berusaha untuk mencari
kelemahan dan kelebihan dalam dirinya sehingga mudah untuk mendapatkan
informasi yang terkait proses pembelajarannya. Siswa berpikir positif sehingga
memunculkan mood yang positif karena siswa berusaha untuk memanajemen
69
dirinya untuk memfokuskan dirinya pada penggalian informasi pembelajaran
secara kritis dan mendalam serta melakukan perencanaan, penetapan tujuan,
pemantauan arah belajar dan pemahaman belajar, penemuan dan perbaikan
kesalahan, dan menemukan cara yang lebih baik untuk problem solving.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
factor-faktor yang mempengaruhi kecemasan saat menghadapi ulangan adalah
regulasi diri dalam belajar dan motivasi belajar. Hal ini berdasarkan pada penelitian
Kesici & Erdogan (2009) yang mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kecemasan siswa dalam menghadapi ulangan adalah motivasi
belajar dan regulasi diri dalam belajar. Hasil penelitian Kesici & Erdogan (2009)
mengungkapkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi diri
dalam belajar dan keyakinan untuk memotivasi diri terhadap kecemasan mahasiswa
menghadapi tes atau ujian.
G. Landasan Teori
Barlow dan Durand (2012) menyatakan kecemasan adalah keadaan suasana hati
yang yang ditandai dengan keadaan jasmaniah, seperti ketegangan fisik, dan
kekhawatiran tentang masa depan. Kecemasan berupa perasaan takut atau tidak
tenang berasal dari sumber yang tidak dikenali. Hal ini terjadi saat seseorang
merasa terancam secara fisik maupun psikologis. Aspek-aspek kecemasan adalah
emosi subjektif, komponen kognitif, respon fisiologis, dan respon perilaku (Barlow
dan Durand, 2012).
70
Cattell (dalam Spielberger, 2010) menjelaskan state anxiety muncul ketika ada
stimulus yang membuat rasa cemas dan sifatnya adalah sementara. Dalam
penelitian ini, stimulus yang dimaksud adalah ulangan harian. Witherington
(1952) mengungkapkan bahwa munculnya kecemasan disebabkan oleh pemberian
ulangan atau ujian karena siswa berada pada posisi yang kurang pasti, yaitu antara
rasa aman dan kurang aman terhadap hasil ulangannya apakah baik atau kurang
baik nilanya. Barlow dan Durand (2012) mengungkapkan bahwa kecemasan
berupa perasaan takut atau tidak tenang berasal dari sumber yang tidak dikenali.
Pada penelitian ini, pemberian ulangan harian membuat siswa berada dalam
kondisi yang tidak pasti sehingga merasa terancam secara fisik maupun psikologis
sesuai dengan pendapat Barlow dan Durand (2012) mengenai konsep kecemasan.
Bandura (dalam Barlow dan Durand, 2012) mengatakan teori behavioris
melihat kecemasan merupakan suatu produk dari awal pengkondisian klasik, atau
bentuk-bentuk lainnya dari proses pembelajaran. Apabila kecemasan terjadi dalam
proses pembelajaran di sekolah, seperti mengerjakan ulangan, tugas-tugas sekolah,
maka siswa-siswa tersebut akan khawatir pada ulangan selanjutnya yang akan
diujikan gurunya, walaupun nilai A atau B sudah diraih oleh siswa-siswa tersebut.
Hal-hal yang merusak perilaku atau membuat trauma siswa-siswa tersebut
kemudian mengarah pada kecemasan yang lebih sering muncul saat pengkondisian
klasik terjadi, yaitu pada saat ulangan.
Ketika proses pengkondisian klasik ini sudah terjadi, individu, yang
dalam hal ini seorang siswa, berusaha belajar dari pengalaman bagaimana untuk
menyikapi hal tersebut agar tidak terjadi kecemasan kembali. Pada teori kognisi
71
sosial oleh Bandura (1986), dijelaskan bahwa manusia cukup fleksibel dan mampu
mempelajari berbagai sikap, kemampuan, dan perilaku, serta cukup banyak dari
pembelajaran tersebut yang merupakan hasil dari pengalaman tidak langsung.
Walaupun manusia dapat dan memang belajar dari pengalaman langsung, banyak
dari apa yang mereka pelajari didapatkan dengan mengobservasi orang lain.
Bandura (1986) menyatakan bahwa “Apabila pengetahuan dapat diperoleh hanya
melalui akibat dari tindakan seseorang, proses kognitif dan perkembangan sosial
akan sangat terbelakang, dan juga akan menjadi sangat melelahkan”.
Ketika individu sudah mengalami kecemasan, individu berusaha untuk
mengatur dan mengontrol dirinya dengan menggunakan pengalaman yang telah
dipelajari sebelumnya. Dalam perspektif kognitif sosial, individu dipandang
berkemampuan proaktif dan mengatur diri daripada sebatas mampu berperilaku
reaktif dan dikontrol oleh kekuatan biologis atau lingkungan. Selain itu, individu
juga dipahami memiliki self-beliefs yang memungkinkan mereka berlatih
mengukur pengendalian atas pikiran, perasaan, dan tindakan mereka. Bandura
(1986) memperlihatkan bahwa individu membuat dan mengembangkan persepsi
diri atas kemampuan yang menjadi instrumen pada tujuan yang mereka kejar dan
pada kontrol yang mereka latih atas lingkungannya (Pajares dan Schunk, 2001).
Teori kognitif sosial mengakui kontribusi sosial baik terhadap cara
manusia berpikir dan bertindak, maupun pentingnya proses kognitif terhadap
motivasi, emosi, dan tindakan. Teori Bandura (1986) ini memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap pemahaman mengenai bagaimana klien belajar cara
berpikir dan berperilaku, baik secara positif maupun secara negatif. Teori kognitif
72
sosial ini juga menjelaskan secara rinci berbagai proses konsep kognitif, seperti
regulasi diri dan efikasi diri.
Apabila dihubungkan dengan penelitian ini, secara langsung maupun
tidak langsung, siswa berusaha meregulasi dirinya dan memotivasi dirinya agar
tidak kembali pada pengalaman emosional, yaitu mengalami kecemasan. Individu,
yang dalam hal ini siswa di sekolah, dipandang berkemampuan proaktif dan
mengatur dirinya, daripada sebatas mampu berperilaku reaktif dan dikontrol oleh
kekuatan biologis atau lingkungan, yang dalam hal ini adalah kecemasan. Selain
itu, individu juga dipahami memiliki self-beliefs yang memungkinkan mereka
berlatih mengukur pengendalian atas pikiran, perasaan, dan tindakan mereka
(Bandura, 1986).
Dalam mengatasi kecemasan siswa ketika menghadapi ulangan, siswa
dengan regulasi diri dalam belajar dan motivasi belajar yang baik akan mampu
mengurangi tingkat kecemasannya ketika menghadapi ulangan. Ketika seorang
siswa mempunyai pengetahuan metakognitif dan minat yang baik terhadap suatu
pembelajaran, maka individu tersebut akan berusaha untuk meningkatkan
performansi belajarnya dengan melakukan evaluasi terhadap dirinya dengan
menggunakan pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan
kondisional (Flavel, 1987) untuk meraih kesuksesan, menumbuhkan minat, dan
harga diri (Brophy dalam Marini & Boruchovitch, 2014). Siswa yang mempunyai
minat terhadap proses pembelajaran akan memperhatikan dan memfokuskan diri
pada sesuatu dengan perasaan senang dan puas (Pintrich, Smith, Garcia, dan Mc
Keachie dalam Lynch, 2010). Selain itu, dengan melakukan evaluasi pembelajaran
73
ini, individu mempersiapkan dirinya untuk menghadapi
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi selama proses pembelajaran berlangsung.
Siswa berusaha untuk melakukan segala sesuatu dengan perasaan senang sehingga
fokus selama proses pembelajaran berlangsung. Kekhawatiran, perasaan tegang,
perasaan tidak mampu untuk menghadapi persoalan akan hilang karena mood yang
tercipta adalah positif sehingga aspek-aspek kecemasan emosi subjektif dan
komponen kognitif ini akan hilang atau berkurang.
Sub-aspek regulasi diri dalam belajar dan motivasi belajar yang lain adalah
pengetahuan metakognitif dan rasa ingin tahu. Aspek pengetahuan metakognitif
dan rasa ingin tahu ini dapat mengurangi munculnya aspek-aspek kecemasan, yaitu
komponen kognitif dan emosi subjektif. Individu yang memiliki pengetahuan
kognitif terhadap dirinya, yaitu pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural,
dan pengetahuan kondisional, maka individu akan mengetahui sejauh mana dirinya
mengevaluasi proses pembelajarannya dengan menggunakan strategi belajar yang
efektif dan efisien. Selain itu, rasa ingin tahu individu terhadap proses
pembelajaran memunculkan sikap untuk mengorganisasi kegiatan belajarnya
(Pintrich, Smith, Garcia, dan Mc Keachie dalam Lynch, 2010). Aspek-aspek
kecemasan, yaitu emosi subjektif dan komponen kognitif akan berkurang
kemunculannya karena siswa berusaha untuk mengorganisasi kegiatan belajarnya.
Siswa sudah siap ketika menghadapi ulangan atau ujian karena siswa mencari tahu
materi yang akan diujiankan kemudian melakukan persiapan untuk menghadapi
ujian dengan mengamati dan mempelajari proses selama pembelajaran
berlangsung.
74
Hal ini membawa dampak bagi siswa, ketika akan menghadapi ulangan atau
ujian, aspek kecemasan emosi subjektif dan komponen kognitif tidak lagi muncul
karena individu sudah siap menghadapi ujian dengan pengetahuan kognitif yang ia
miliki. Ketika individu sudah merasa siap untuk menghadapi ujian, maka perasaan
khawatir dan tidak mampu dalam menghadapi persoalan tidak akan muncul saat itu
(Barlow dan Durand, 2012). Siswa dengan rasa ingin tahu yang besar akan
mendorong dirinya untuk tahu hal-hal baru dengan cara mengamati atau
mempelajari proses untuk penelitian ilmiah. Siswa belajar untuk menjadi pengamat
yang baik di kelas sehingga dapat mengatasi kemunculan aspek-aspek kecemasan,
yaitu emosi subjektif dan komponen kognitif.
Sub-aspek regulasi diri dalam belajar dan motivasi belajar yang lain adalah
regulasi metakognitif dan haus akan pengetahuan. Regulasi metakognitif dapat
membantu mengurangi munculnya aspek-aspek kecemasan, yaitu aspek emosi
subjektif dan aspek komponen kognitif. Aspek haus akan pengetahuan akan
mengurangi aspek kecemasan, yaitu respon perilaku. Regulasi metakognitif terdiri
atas perencanaan, penetapan tujuan, pemantauan arah belajar dan pemahaman
belajar, penemuan dan perbaikan kesalahan, dan menemukan cara yang lebih baik
untuk problem solving dalam belajar (Zimmerman, 1989). Dengan adanya
perencanaan, penetapan tujuan, pemantauan arah belajar dan pemahaman belajar,
penemuan dan perbaikan kesalahan, dan menemukan cara yang lebih baik untuk
problem solving dalam belajar yang diterapkan siswa selama proses
pembelajarannya, maka kekhawatiran akan ketidaksiapan siswa dalam menghadapi
ulangan akan berkurang. Rasa haus akan pengetahuan berhubungan dengan sikap
75
berpikir kritis yang didapatkan individu selama masa pencarian sumber belajar
untuk mendapatkan informasi terkait proses pembelajarannya (Pintrich, Smith,
Garcia, dan Mc Keachie dalam Lynch, 2010). Siswa yang mempunyai pemikiran
kritis akan mencari dan menggali informasi yang berhubungan dengan materi
pembelajarannya secara mendalam dan mendetail. Siswa berusaha untuk mencari
kelemahan dan kelebihan dalam dirinya sehingga mudah untuk mendapatkan
informasi yang terkait proses pembelajarannya. Siswa berpikir positif sehingga
memunculkan mood yang positif karena siswa berusaha untuk memanajemen
dirinya untuk memfokuskan dirinya pada penggalian informasi pembelajaran
secara kritis dan mendalam serta melakukan perencanaan, penetapan tujuan,
pemantauan arah belajar dan pemahaman belajar, penemuan dan perbaikan
kesalahan, dan menemukan cara yang lebih baik untuk problem solving.
Barlow dan Durand (2012) menyatakan kecemasan adalah keadaan suasana
hati yang yang ditandai dengan keadaan jasmaniah, seperti ketegangan fisik, dan
kekhawatiran tentang masa depan. Kecemasan berupa perasaan takut atau tidak
tenang berasal dari sumber yang tidak dikenali. Hal ini terjadi saat seseorang
merasa terancam secara fisik maupun psikologis. Aspek-aspek kecemasan adalah
emosi subjektif, komponen kognitif, respon fisiologis, dan respon perilaku (Barlow
dan Durand, 2012).
Cattell (dalam Spielberger, 2010) menjelaskan state anxiety muncul ketika
ada stimulus yang membuat rasa cemas dan sifatnya adalah sementara. Dalam
penelitian ini, stimulus yang dimaksud adalah ulangan harian. Witherington
(1952) mengungkapkan bahwa munculnya kecemasan disebabkan oleh pemberian
76
ulangan atau ujian karena siswa berada pada posisi yang kurang pasti, yaitu antara
rasa aman dan kurang aman terhadap hasil ulangannya apakah baik atau kurang
baik nilanya. Barlow dan Durand (2012) mengungkapkan bahwa kecemasan
berupa perasaan takut atau tidak tenang berasal dari sumber yang tidak dikenali.
Pada penelitian ini, pemberian ulangan harian membuat siswa berada dalam
kondisi yang tidak pasti sehingga merasa terancam secara fisik maupun psikologis
sesuai dengan pendapat Barlow dan Durand (2012) mengenai konsep kecemasan.
Kecemasan siswa dalam menghadapi ulangan termasuk dalam state
anxiety karena kecemasan yang muncul bersifat sementara. State anxiety muncul
ketika individu berada dalam situasi kurang nyaman atau sedang dalam uji mental
dari beberapa tipe ancaman atau gangguan. Ketika objek atau situasi muncul,
kecemasan akan muncul. Ketika stimulus menghilang, maka individu tidak lagi
merasakan kecemasan (Ratherford dalam Spielberger, 2010). Stimulus berupa
ulangan harian ini membuat siswa merasa cemas. Ketika siswa sudah selesai
dalam menghadapi ulangan harian, maka kecemasan ini akan menghilang sesuai
dengan pendapat Ratherford (dalam Spielberger, 2010) mengenai kemunculan
state anxiety.
Kesici & Erdogan (2009) mengungkapkan faktor-faktor yang
mempengaruhi kecemasan siswa dalam menghadapi ujian adalah motivasi belajar
dan regulasi diri dalam belajar. Kesici & Erdogan (2009) mengungkapkan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi diri dalam belajardan
keyakinan untuk memotivasi diri terhadap kecemasan mahasiswa menghadapi tes
atau tugas.
77
Faktor yang mempengaruhi kecemasan siswa dalam menghadapi ujian
adalah regulasi diri dalam belajar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Bembenutty (2008) yang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara
regulasi diri dalam belajar dengan kecemasan siswa dalam menghadapi tes atau
ujian. Regulasi diri dalam belajar adalah suatu proses dalam diri seorang
pembelajar yang dengan sendirinya mengaktivasi dan menopang kognisi, afeksi,
dan perilaku yang secara sistematis berorientasi pada pencapaian tujuan
pembelajaran (Schunk dan Zimmerman, 2008). Aspek-aspek regulasi diri dalam
belajar adalah metakognisi dan perilaku (Alsa, 2005).
Faktor lain yang mempengaruhi kecemasan siswa dalam menghadapi ujian
adalah motivasi belajar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Suardana &
Simarmata (2013) yang menyebutkan bahwa ada korelasi negatif yang signifikan
antara motivasi belajar dan kecemasan siswa menghadapi Ujian Nasional. Agustiar
& Asmi (2010) juga mengungkapkan hal serupa. Hasil penelitiannya adalah ada
korelasi antara motivasi belajar dan kecemasan siswa dalam menghadapi ujian.
Menurut Santrock (2007), motivasi adalah proses yang memberi semangat,
arah, dan kegigihan perilaku. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan
sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan
kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan
memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh
subjek belajar itu dapat tercapai.
Motivasi belajar mempunyai tujuan intrinsik yang di dalamnya terdapat
motivasi intrinsik. Motivasi intrinsik dalam berkembang dari aspek-aspek minat,
78
rasa ingin tahu, dan haus akan pengetahuan. Aspek-aspek motivasi belajar bersifat
intrinsik dan berkembang dari aspek minat, rasa ingin tahu, dan haus akan
pengetahuan (Pintrich, Smith, Garcia, dan Mc Keachie dalam Lynch, 2010).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hubungan antarvariabel adalah
ada hubungan antara regulasi diri dalam belajar dan motivasi belajar terhadap
kecemasan siswa dalam menghadapi ulangan harian. Variabel independen dan
variabel dependen adalah sebagai berikut. Regulasi diri dalam belajar dan motivasi
belajar sebagai variabel independen dan variabel dependen adalah kecemasan siswa
dalam menghadapi ulangan harian. Hubungan antarvariabel tersebut akan
diperjelas dengan kerangka teori sebagai berikut :
79
Gambar 1.1. Kerangka Teori
Keterangan gambar :
1. Menunjukkan hubungan antara regulasi diri dalam belajar dengan kecemasan
siswa dalam menghadapi ulangan harian.
2. Menunjukkan hubungan antara motivasi belajar dengan kecemasan siswa
dalam menghadapi ulangan harian.
3. Menunjukkan hubungan antara regulasi diri dalam belajar dan motivasi belajar
dengan kecemasan siswa dalam menghadapi ulangan harian.
Motivasi Belajar
(X2)
1. Minat
2. Rasa Ingin Tahu
3. Haus akan Pengetahuan
Regulasi Diri dalam Belajar
(X1)
1. Metakognitif
2. Perilaku
2
3
1
Kecemasan Siswa dalam Menghadapi
Ulangan Harian (Y)
1. Emosi Subjektif
2. Komponen Kognitif
3. Respon Fisiologis
4. Respon Perilaku
80
H. Hipotesis
Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Ada hubungan negatif antara regulasi diri dalam belajar dan kecemasan siswa
menghadapi ulangan harian.
Semakin tinggi regulasi diri dalam belajar, maka semakin rendah kecemasan
siswa menghadapi ulangan harian. Sebaliknya, apabila regulasi diri dalam
belajar semakin rendah, maka kecemasan siswa menghadapi ulangan harian
semakin tinggi.
2. Ada hubungan negatif antara motivasi belajar dan kecemasan siswa menghadapi
ulangan harian.
Semakin tinggi motivasi belajar, maka semakin rendah kecemasan siswa
menghadapi ulangan harian. Sebaliknya, apabila motivasi belajar semakin
rendah, maka kecemasan siswa menghadapi ulangan harian semakin tinggi.
3. Ada hubungan antara regulasi diri dalam belajar dan motivasi belajar dengan
kecemasan siswa menghadapi ulangan harian.
Semakin tinggi regulasi diri dalam belajar dan motivasi belajar, maka semakin
rendah kecemasan siswa menghadapi ulangan harian. Sebaliknya, apabila
semakin rendah regulasi diri dalam belajar dan motivasi belajar, maka semakin
tinggi kecemasan siswa menghadapi ulangan harian.