Post on 10-Feb-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
Rinitis adalah masalah klinis yang paling umum terjadi pada pasien
dengan alergi. Rinitis secara konsisten berada pada urutan enam penyakit kronis
utama di Amerika Serikat. Morbiditas dari rinitis menyebabkan kualitas hidup
yang menurun dikarenakan sakit kepala, mudah lelah, gangguan kognisi, dan efek
samping obat-obatan. Rinitis alergi dapat menurunkan kualitas hidup, antara lain
fungsi fisik, problem bekerja, nyeri badan, vitalitas, fungsi sosial, stabilitas
emosi, bahkan kesehatan mental.
Rinitis alergi telah menjadi masalah kesehatan global yang ditemukan di
seluruh dunia, sedikitnya terdapat 10-25 % populasi dengan prevalensi yang
semakin meningkat sehingga berdampak pada kehidupan sosial, kenerja di
sekolah serta produktivitas kerja. Diperkirakan biaya yang dihabiskan baik secara
langsung maupun tidak langsung akibat rinitis alergi ini sekitar 5,3 miliar dolar
amerika pertahun.
Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 40 juta orang menderita rinitis
alergi atau sekitar 20% dari populasi. Secara akumulatif prevalensi rinitis alergi
sekitar 15% pada laki-laki dan 14% pada wanita, bervariasi pada tiap negara. Ini
mungkin diakibatkan karena perbedaan geografik, tipe dan potensi alergen.
1
2
1.1. Latar Belakang
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi.
Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan
ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan1.
Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa
pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis
alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial
(sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau
yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur,
binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.. Faktor resiko untuk
terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang
tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor
resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Riwayat hobi berkebun/rekreasi ke
pegunungan membantu identifikasi untuk terpaparnya serbuk sari.
Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa
faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat
atau merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban yang tinggi2.
Penatalaksanaan tersangka rinitis alergi adalah salah satunya dilakukan
tes alergi3. Keterbatasan persediaan dan tingginya harga dari ekstrak alergen
menjadi masalah utama berhentinya produksi ekstrak alergen di dalam negeri.
3
Produksi ekstarak alergen di luar negeri masih berjalan, akan tetapi tingginya
biaya pembelian menjadi masalah berikut untuk ketersediaan ekstrak alergen.
Beberapa kuesioner telah dibuat secara standar untuk membantu
menegakkan diagnosis rinitis alergi. ISAAC, ECHRS, ARIA WHO mengeluarkan
kuesioner yang dapat membantu menegakkan diagnosis pada rinitis alergi. Akan
tetapi, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik tetap mengambil peranan
kunci dalam penegakan diagnosis.
1.2. Tujuan
Intervensi dini dan tepat dapat memperbaiki kualitas hidup dan
produktifitas pasien dengan rinitis alergi dan juga dapat meningkatkan
kernampuan akademik penderita rinitis alergi anak serta dapat menurunkan
terjadinya komplikasi pada saluran napas bawah. Tujuan terapi adalah
menghambat proses patofisiologik yang menyebabkan terjadinya inflamasi
kronik alergik. Terapi yang baik didapatkan dari penegakkan diagnosis yang
baik.
Tanpa ketersediaan dari ekstrak alergen, perlu cara tertentu dalam
menegakkan diagnosis rinitis alergi. Diharapkan dari pembahasan makalah ini
akan terbentuk pedoman baku dalam penegakkan diagnosis yang akurat dengan
sensitifitas dan spesifisitas yang baik.
4
DAFTAR PUSTAKA
1. Shawn N, Milan A, Barton B, David E, Berrylin F, Margaretha C et all.
Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaryngology . Fifty Edition.
Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins ; 2014;396-401.
2. Becker, W., Naumann, H., Pfaltz, C. Ear, Nose, and Throat Disease.
Edisi ke lima. Thieme. New York:2010.
3. Yang- Gi Mie. The Pathiphysiology, Diagnostis and Treatment Of
Allergic Rhinitis. Allergy Asthma Intermoll Reviews. 2010;04
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan EpidemiologiRhinitis Alergika
Rinitis alergi adalah suatu gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah
pajanan alergen melalui inflamasi mukosa hidung dengan diperantai IgE yang
ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Definisi menurut
WHO ARIA (Allergic Rhinitis and It’s Impact on Asthma) tahun 2001 adalah
kelainan pada hidung dengan gejalabersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.ARIA,
Sebagian besar penderita asma memiliki rhinitis alergi. Adanya rhinitis
alergi secara signifikan meningkatkan probabilitas asma, tercatat paling tidak
40% pasien dengan rhinitis alergi memiliki atau akan mengidap
asma.thma.WheatlyRinitis alergi mempunyai komorbiditas dan komplikasi seperti
asma, sinusitis, otitis media, polip hidung, infeksi saluran nafas bawah yang dapat
saling memperburuk gejala dengan akibat pengobatan menjadi lama dan mahal. 1
Prevalensi rinitis alergi besarnya 10-25%, dan terus meningkat pada dekade
terakhir, dan menjadi masalah kesehatan dunia yang harus mendapat perhatian.
Rinitis alergi terjadi pada lebih dari 500 juta orang, angka kejadian rinitis
alergi bervariasi, Eropa dan Amerika Utara lebih dari 100 juta orang, Asia Pasifik
lebih dari 150 juta orang, India, Pakistan dan negara sekitarnya lebih dari 100 juta
6
orang, Amerika Tengah dan Selatan lebih dari 75 juta orang, Afrika lebih dari
30.1 Sedangkan di Indonesia belum ada angka yang pasti walaupun di Jakarta
dilaporkan di satu desa sekitar Jakarta pada kelompok usia kurang dari 14 thn
rinitis alergi sebanyak 10,2%. Sedangkan di Bandung prevalensi rinitis Alergi
perennial pada usia 10 tahun ditemukan cukup tinggi (5,8%).4 Data tersebut
menunjukkan tingginya angka insiden rinitis alergi pada usia sekolah dan
produktif.
Pada beberapa penelitian yang terdapat dalam Allergic Rhinitis and Its
Impact on Asthma (ARIA-WHO 2008) ditemukan angka kejadian rinitis alergi
sebanyak 30% di Australia, New Zealand dan Inggris. Angka kejadian di negara
lainnya yaitu Nigeria (>35%), Paraguay (30-35%), Hongkong (25-30%).1 Angka
kejadian rinitis alergi pada poli klinik rhinologi alergi di RSHS Bandung pada
tahun 2012 tercatat 134 pasien (57 laki-laki dan 77 perempuanm) dengan
kelompok usia 15-24 tahun sebesar 54%, dan paling sedikit kelompok diatas 44
tahun sebesar 11,1%.4
2.2 Klasifikasi Rhinitis Alergika
Secara global belum terdapat kriteria yang disepakati secara luas dan
bersama untuk diagnosis dan klasifikasi rhinitis non infeksi. Klasifikasi rhinitis
secara umum oleh Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA-WHO
2008) dapat dilihat pada tabel 2.1. ARIA Pada masa terdahulu, rhinitis alergi
diklasifikasikan menjadi seasonal yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas
7
yang dimediasi IgE terhadap aeroalergen seperti serbuk bunga, dan perennial
yang juga merupakan respon hipersensitivitas tipe I terhadap aeroalrgen
lingkungan namun pada kasus ini, alergen seperti tungau, jamur, dan serpihan
kulit binatang dapat menjadi penyebabnya. Jiminez Pada saat ini kelompok kerja
Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA-WHO 2008) membuat
klasifikasi rhinitis alergi menjadi intermiten atau persisten berdasarkan atas
durasinya. Berat ringannya tingkat gejala dapat diklasifikasikan menjadi ringan
(mild) atau sedang-berat (moderate-severe) tergantung dampak terhadap kualitas
hidup.1 Klasifikasi rhinitis secara umum oleh Allergic Rhinitis and Its Impact on
Asthma (ARIA-WHO 2008) dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.1. Klasifikasi Rhinitis menurut ARIA 2008
Infeksius Viral Bakterial Agen infeksi lainnya
AllergikIntermittenPersisten
OkupasionalIntermittenPersisten
Tercetus obatAspirinMedikasi lainnya
HormonalPenyebab lainnya
IritanMakananEmosionalAtrofik
IdiopatikSumber: ARIA
8
Tabel 2.2. Klasifikasi Rhinitis menurut ARIA 2008
1. Intermiten: bila terdapat gejala: < 4 hari / minggu Atau untuk <4 minggu berturut-turut
2. Persisten: gejala tetap ada Lebih dari 4 hari dalam seminggu Dan lebih dari 4 minggu berturut-turut3. “Ringan”: tidak didapatkannya kriteria berikut
Gangguan tidurGangguan aktivitas sehari-hari, istirahat, dan/atau olahragaGangguan aktivitas di sekolah atau kerjaGejal muncul namun tidak mengganggu
4. Moderat atau parah: terdapat satu atau lebih dari komponen di bawah iniGangguan tidurGangguan aktivitas sehari-hari, istirahat, dan/atau olahragaGangguan aktivitas di sekolah atau kerjaGejal muncul namun dan sangat mengganggu
Sumber: ARIA
2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Rhinitis Alergi
Rhinitis alergika merupakan penyakit multifaktorial yang dicetus oleh
interaksi gen-lingkungan, termasuk alergen inhalan dalam dan luar ruangan.
Adapun faktor-faktor lain yang berperan dalam perkembangan rhinitis alergi
dibahas selanjutnya
2.3.1 Hipotesis Hygiene
Insidensi rhinitis alergi menurun dengan meningkatnya jumlah
saudara,Wang,Okada riwayat tidur bersama dengan saudara yang lebih besar
sebelum anak berusia 5 tahun, paparan terhadap binatang peliharaan
sebelum usia 5 tahun,Ramsay dan riwayat anak dibesarkan pada lingkungan
9
pertanian atau peternakan tanpa melihat status atopi. Wang,Okada Adapun faktor
risiko rhinitis alergika adalah riwayat alergi pada orangtua. Ramsay
Pada tahun 1989, studi yang dilakukan oleh Strachan menunjukkan bahwa
atopik lebih dominan terjadi pada keturunnan pertama dan anak
tunggal.Borego,Wang Pada dekade yang sama, terjadi penemuan tipe sel limfosit
T-helper(Th), yakni Th1 dan Th2, dan diketahui bahwa sel Th1 berperan
pada infeksi dan autoimunitas (seperti pada penyakit diabetes tipe-1,
penyakit Crohn’s,dan multiple sklerosis), sedangkan sel Th2 lebih besar
memegang peranan pada mekanisme alergi (asma, rhinitis alergik, dan
dermatitis atopik). Bach,Maizels
“Hygiene Hy pothesis” menyatakan bahwa paparan terhadap infeksi pada
awal kehidupan sangat mempengaruhi perkembangan sistem imun pada
anak-anak melalui “nonallergic pathway”, yang menyebabkan menurunnya
risiko terjadinya asma dan penyakit alergi lain. Adanya ketidakseimbangan
antara produksi TH1 dan TH2 diduga sebagai kunci dari patogenesis asma
dan penyakit alergi terkait.Nelson,Ramsay,Wang Sel T helper (Th) merupakan
regulator kunci pada respon tersebut, yang dapat berdiferensiasi menjadi dua
subtype yaitu Th1 dan Th2 yang dikenali dari sitokin yang diproduksinya.
interleukin (IL)-2 adalah sitokin yang bersifat sel T untuk diferensiasi ke
arah Th1, sedangkan IL-4 merupakan sitokin penting dalam diferensiasi Th2
Penentuan fenotip sel T terpolarisasi ke arah Th1 atau Th2 dapat ditentukan
oleh kadar konsentrasi IL-2 atau IL-4.Rosita.Okada,Wang . Walaupun teori ini masih
dalam penelitian yang lebih lanjut, hubungan tersebut dapat menjelaskan
10
hubungan antara jumlah keluarga yang besar, urutan kelahiran, dan riwayat
anak yang dititipkan pada penitipan anak dengan menurunnya risiko
terjadinya asma dan penyakit alergi lainnya.Nelson
Secara fisiologis, pada kehidupan intrauterin, terjadi polarisasi sel Th2
dengan ekspresi sitokin yang intensif (IL-4, IL-10, leukaemia inhibiting
factor) yang berfungsi sebagai penyeimbang respo Th1 yang bersifat toksik
bagi plasenta. Tercatat ibu dengan riwayat atopik memiliki tingkat
keguguran yang lebih rendah dan kehamilan aterm tanpa komplikasi yang
lebih tinggi. Sebaliknya, plasenta wanita yang mengalami kegugugran
menunjukkan ekspresi sitokin oleh Th2 yang lebih sedikit. Borego Setelah
kelahiran, sebagai akibat dari stimulasi mikroba (patogenik atau saprofit),
terjadi pergesaran respon dari Th2 ke arah respon Th1 yang mengalami
konsolidasi selama paparan suksesif terhadap antigen mikroba, sehingga
berfungsi sebagai proteksi terhadap mikroba dan mencegah reaktivitas
respon Th2 yang menyebabkan proses alergi. Borego,Okada
Braun Fahrländer et al yang dikutip dari Weiss Weiss me nunjukkan bahwa
stimulasi sistem imun bawaan (innate) oleh endotoksin (lipopolisakarida
penyusun sel membran terluar bakteria gram negatif) berperan penting
dalam ontogeni sistem imun normal. Kadar endotoksin berbeda di setiap
lingkungan, namun cenderung lebih tinggi pada daerah pertanian dan
peternakan dengan kotoran mamalia ternak sebagai sumbernya, serta debu
pada rumahdan kotoran di luar rumah. Lipopolisakarida endotoksin dalam
kadar yang rendah merupakan induktor poten IL-12 dan interferon-gamma,
11
yang merupakan sitokin yang menstimulasi imunitas dimediasi Th1, yang
menurunkan produksi sitokin inflamasi Th2 seperti IL-4,IL-5, dan IL-13.
Wang,Okada Terakhir, lipopolisakarida meningkatkan defensin dan kolektin,
seperti protein surfaktan A pada paru-paru yang meningkatkan
perkembangan respon imun pada paru-paru neonatus. Weiss
Teori hygiene mempostulatkan bahwa peningkatan prevalensi penyakit
alergi dihubungkan dengan penurunan paparan terhadap mikroba, yang
disebut “hipotesis reduksi mikroba”. Dimana meningkatnya angka penyakit
terkait alergi merupakan konsekuensi dari terjadinya eliminasi penyakit
infeksi melalui vaksinasi seperti campak, hepatitis A atau tuberkulosis yang
menurun angkanya secara signifikan pada negara-negara berkembang dan
industri. Borego,Okada
Gambar 21. Konsep keseimbangan toleransi sel limfosit T pada alergi
12
2.3.2 Pengaruh Obesitas terhadap Alergi
Studi Medical Expenditure Panel Survey oleh Battacharyya dkk,
Battacharyya, di Amerika Serikat pada tahun 2008 dan 2010 berdasar survey
penggunaan pusat kesehatan yang menilai korelasi obesitas ( massa indeks
tubuh > 30 kg/m2) dengan kasus rhinitis alergika dewasa didapatkan total
17.6±0.6 juta kasus rhinitis alergika dewasa (7.7%±0.3%) dan 64.9±1.4
juta jiwa dewasa (29.0%±0.4%) diklasifikasi sebagai obese berdasar massa
indeks tubuh, dengan adjusted odds ratio untuk rhinitis alergika ketika
tersadat obesitas adalah 1.22 (P<.001, 95% confidence interval =1.12–1.33).
Meningkatnya massa indeks tubuh sebagai variabel kontinyu secara
signifikan terkait dengan rhinitis alergika (odds ratio=1.023, P<.001).
Faktor mekanik, hormon estrogen (estradiol bersifat modulator sekresi
IL-4 dari Cd4+ T helper), aktivitas sistem saraf simpatis, dan genetik
kemungkinan menjadi faktor penghubung antara obesitas dan alergi.Raj
Subjek obese dengan atau tanpa sindroma metabolik terkait dengan status
peningkatan inflamasi sistemikWahab termasuk inflamasi saluran nafas
Terdapat laporan postif yang menyatakan peningkatan berat badan akan ikut
meningkatkan inflamasi tipe Th2 pada orang dewasa dan anak diatas usia 5
tahun.Raj Hal yang menarik disampaikan Beuther dkk yang dikutip dari
Rosita Rosita bahwa asma pada obesitas terjadi body mass index cohort akibat
adanya pergeseran keseimbangan T helper 1 ke arah T helper 2, dan
13
perubahan respon imun di saluran nafas yang pada akhirnya menyebabkan
inflamasi dan hiperresponsitivitas saluran nafas. Boulet
Jaringan adiposa dapat berperan sebagai organ endokrin yang
menghasilkan adipokin, salah satunya leptin dan molekul pro-inflamasi
seperti TNF-alfa, IL-6, TGF -1, CRP.Raj Obesitas terkait dengan
meningkatnya kadar serum leptin dan menurunnya kadar adiponektin. Boulet
Adiponectin memiliki sifat antiinflamasi dan dapat menghambat produksi
serta efek sitokin proinflamasi seperti TNF-alfa dan IL-6, serta dapat
mengekspresikan sitokin antiinflamasi seperti IL-1 receptor antagonist dan
IL-10.Boulet,Raj Akan tetapi, adiponektin juga dapat bersifat proinflammasi
pada keadaan tertentu. Kadar adiponektin berbading terbalik dengan BMI
dan obesitas, serta meningkat dengan penurunan berat badan. Studi
menunjukkan bahwa kadar serum adiponektin yang rendah terkait dengan
meningkatnya prevalensi asma dan risiko asma pada wanita, sedangkan
kadar serum adiponektin yang tinggi berkorelasi dengan keluaran klinis yang
buruk (serangan yang lebih sering, pengunaan medikasi asma yang lebih
sering pada pasien asma pria.Raj
Leptin merupakan produk gen yang diekpresikan pada jaringan adiposa
yang bersifat proinflamasi dan peningkatan kadarnya dalam darah
meningkat. Leptin juga memiliki efek pada respon imun bawaan dan
adaptif. Bukti laboratoris menunjukkan peningkatan kadar leptin berasosiasi
dengan meningkatnya prevalensi asma pada anak laki-laki prepubertas dan
anak perempuan peri- dan postpubertas.Wahab,Raj
14
Terdapat hubungan yang erat antara derajat serum leptin dan jumlah
lemak tubuh dengan mRNA leptin sel lemak sehingga dapat dinyatakan
bahwa sekresi leptin adalah refleksi dari pembesaran dan peningkatan jumlah
sel lemak. Lebih jauh ekspresi leptin dan derajat ukuran jaringan lemak yang
meningkat dapat dipakai sebagai ukuran dari peningkatan cadangan
trigliserida di jaringan lemak.Raj,Rosita
Penilitan oleh Rosita ddk, Rosita menunjukkan adanya perubahan
keseimbangan sitokin Th1/Th2 pada kelompok yang diinduksi diet tinggi
lemak dibandingkan dengan kelompok diet normal.Konsentrasi interleukin-4
(sitokin Th2) pada kelompok diet tinggi lemak meningkat signifikan
sehingga melampaui konsentrasi Interleukin-2 (sitokin Th1) serum dengan
rasio 2,68 : 0,881.Hal ini menunjukkan adanya peningkatan sekresi
interleukin-4 yang cukup tajam setelah pemberian diet tinggi lemak.
Interleukin-4 adalah sitokin terpenting yang berperan dalam diferensiasi Th2
yang berperan dalam patogenesis rhinitis alergi sesuai teori hygiene.
Obesitas juga dapat mempengaruhi hormon sex yang juga mungkin
mempengaruhi perkembangan dan ekspresi gangguan atopi dan asam.
Dalam hal ini, berbagai studi telah membuktikan adanya korelasi antara
obesitas atau indeks massa tubuh dan atopi lebih dominan pada wanita
terutama pada masa postpubertas. Mekanisme dimana perubahan terkait
obesitas pada profil hormonal dapat menyebabkan asma hinga kini belum
begitu jelas. Adapun diperkirakan, estrogen dapat menstimulasi sekresi
interleukin seperti IL-3 dan IL-4 oelh monosit dan mendukung respon imun
15
tipe fenotip Th2. Sedangkan progesteron dapat menunjukkan sifat pro-
inflamasi. Studi oleh Viera et al, Viera menunjukkan bahwa obesitas
abdomoinal pada wanita terkait dengan kosentrasi estradiol bebas plasma
yang lebih tinggi, yang merupakan modulator sekresi IL-4 dari sel from T
helper CD4+. Sel mononukleus darah perifer yang diidolasi dari pasien
wanita yang ternsesitisasi oleh alergen tungau debu, ditemukan mensekresi
IL-4 dengan pola dosis-respon ketika estradiol ditambahkan pada media
inkubasi.
2.3.3 Pengaruh Atletik terhadap Alergi
2.3.4 Pengaruh Stress terhadap Alergi
How stress affects those with asthma is relatively well documented (2),
while sound prospective studies on the relationship between stress and
incidence of asthma and other atopic disorders such as rhinitis and dermatitis
are still few and the results are conflicting. A recent study from the UK
reported an association between several psychosocial factors and asthma
hospital admissions, especially among patients with existing asthma (4).
Another longitudinal study found a broken life partnership, but not
unemployment and death of a close person, to be associated with self-
reported incident asthma in 4010 middle-aged Germans (5). Neuroticism has
been conceptualized as a stress-related personality trait and was found to also
be associated with higher risk of asthma in this population. Contrary to these
16
results, Huovinen and colleagues found no effect of daily stress on incidence
of self-reported asthma among 11 000 younger adults (18 to 45 years) in
Finland. Rod
Recent findings suggest that stress, whether at the individual-
(i.e.,epigenetics, perceived stress), family- (i.e., prenatal maternal stress,
early life exposure or intimate partner violence) or community- (i.e..,
neighborhood violence; neighborhood disadvantage) level influences asthma
and asthma morbidity. Key recent findings regarding how psychosocial
stress may influence asthma through Post Traumatic Stress Disorder (PTSD),
pre-and post-natal maternal/caregiver stress, and community violence and
deprivation are highlighted. Yonas
2.4 Modalitas Terapi pada Rhinitis Alergi
Penanganan rhinitis alergika meliputi edukasi pasien, farmakoterapi, dan
inumoterapi spesifik alergen. Adapun tindakan operatif dapat digunakan sebagai
intervensi adjunctiva pada beberapa kasus tertentu, sedangkan kontrol terhadap
lingkungan hingga saat ini masih menjadi kontrovesi.ARIA,Jimminez Rekomendasi
kelas medikasi menurut The American Academy of Otolaryngology-Head and
Neck Surgery adalah sebagai berikut (Tabel 2.3)
17
Tabel 2.3. Rekomendasi Kelas Pengobatan
Sumber: The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery
2.4.1 Anti-Histamin Intranasal
Therapy usually starts with oral antihistamines, frequently initiated by the
patient, because a variety of these agents are available over the counter. Later-
generation antihistamines are less sedating than older agents and are just as
effective, so they are preferred.Wellez,Brozek Because of their relatively rapid onset of
action, antihistamines can be used on an as-needed basis. The few head-to-head
trials of nonsedating antihistamines have not shown superiority of any spe cific
agent over another.Wheatly Rekomendasi kelas antihistamin intranasal menurut The
American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery adalah sebagai
berikut (Tabel 2.4)
Tabel 2.4. Rekomendasi Kelas Anti Histamin Intranasl untuk Rhinitis Alergi
18
Sumber: The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery
2.4.2 Steroid Intranasal
Intranasal glucocorticoids are the most effective pharmacotherapy for
seasonal allergic rhinitis, yet their overall efficacy is moderate. Although the
clinical effects appear within a day, the peak effect in cases of perennial
rhinitis is not reached for several weeks.Bende The superiority of intranasal
glucocorticoids over antihistamines in the treatment of perennial allergic
rhinitis is uncertain.29 There are insufficient data to determine whether the
effectiveness differs among various intranasal glucocorticoids. For the ocular
19
symptoms of allergy, intranasal glucocorticoids appear to be at least as
effectiveas oral antihistamines.12
2.4.3 Cuci Hidung Saline Hipertonis
2.4.4 Anti-Histamin Oral
Sumber: The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery
2.4.5 Leukitrien Inhibitor
20
2.4.6 Dekongestan
2.4.7 Imunoterapi
In general population or general practice surveys, a third of children and
almost two thirds of adults report partial or poor relief with pharmacotherapy
for allergic rhinitis.Meltzer,White The next step in treating such patients is allergen
immunotherapy. Although allergen immunotherapy has traditionally been
administered subcutaneously in the United States, rapidly dissolving tablets
for sublingual administration were recently approved for treatment of grass
and ragweed allergy.Maloney,Creticos In subcutaneous immunotherapy, the patient
receives the offending allergen (or allergens) in increasing concentrations,
until a maintenance dose is reached. In sublingual immunotherapy, a fixed
dose of allergen is delivered beginning 12 to 16 weeks before the anticipated
start of the allergy season. In both cases, treatment continues with the
maintenance dose for several years. Immunotherapy down-regulates the
allergic response in an allergen-specific manner by a variety of mechanisms
still being elucidated. In addition to having proven efficacy in controlling
allergic rhinitis, immunotherapy also helps control allergic asthma and
conjunctivitis.Lin With immunotherapy, unlike pharmacotherapy, the effect
persists after the discontinuation of therapy. The positive effects of a 3-year
course of subcutaneous immunotherapy with grass extract were shown to
persist at least 3 years after
21
therapy was discontinued.Durham A recent study of grass sublingual
immunotherapy in which the allergen was given year-round also showed a
sustained benefit after the discontinuation of treatment.43 A disadvantage of
subcutaneous immunotherapy is that as the dose of allergen is being built up,
injections are required once or twice weekly; for maintenance therapy,
monthly injections can be adequate. If there is improvement in the first year,
injections are generally continued for at least 3 years. Data from randomized
trials are lacking to guide decisions about the duration of therapy.
Subcutaneous immunotherapy carries a risk of systemic reactions, which
occur in 0.1% of injection visits, in rare cases leading to life-threatening
anaphylaxis (1 reaction per 1 million injection visits).Epstein Although
subcutaneous immunotherapy has not been compared with sublingual
immunotherapy in large head-to-head trials, indirect comparisons suggest
that subcutaneous immunotherapy is more effective for symptom relief.45
However, sublingual immunotherapy has a clear advantage in terms of
safety, with very few reports of anaphylactic reactions.46 In contrast to
subcutaneous immunotherapy, sublingual immunotherapy is given at home
after the first dose, but that may not be as great an advantage as anticipated,
because daily treatment is required; adherence to therapy for the
recommended duration is lower with sublingual immunotherapy than with
subcutaneous immunotherapy.Kiel With subcutaneous immunotherapy, the
standard practice in the United States is to administer multiple allergens (on
average, eight allergens simultaneously in a single injection or multiple
22
injections) because most patients are sensitized and symptomatic on
exposure to multiple allergens.Cox It is not known whether multi-allergen
therapy results in better outcomes than single allergen therapy. Although
some older studies suggest a benefit of multi-allergen immunotherapy, most
trials showing the efficacy of immunotherapy involve a single allergen.Wheatly
2.4.8 Olahraga
Consult with an allergist and /or immunologist prior to starting an exercise
program. The physician may test you to determine what you are allergic to
and to possibly diagnose asthma. The doctor can then effectively treat the
symptoms and recommend activities to do and to avoid. Take all allergy
and asthma medications as prescribed. Breathe through the nose as much as
possible when exercising. The nasal passages act as natural filters and
humidifiers to maintain air at proper temperatures as well as filter out
allergens, pollutants, and irritants. Exercise indoors during extreme
temperatures and when allergen counts are high; pollen counts are usually
highest in the morning and increase again in the afternoon. When exercising
indoors, keep windows and doors closed to reduce allergen exposure; try to
exercise on mats rather than carpeting. When exercising outdoors, avoid
areas that contain high concentrations of allergens and irritants (e.g., fields,
trees, busy roads, factories). Always have your asthma rescue medication on
hand when exercising; you may be instructed to take your medication shortly
before exercise; use as prescribed by your physician. Perform a prolonged
23
aerobic warm-up and cool-down (15 minutes each) if you have asthma; this
can reduce the chances or severity of exercise-induced asthma. Postpone
exercise if asthma symptoms are not well-controlled of if you have a cold or
respiratory infection. If allergic to insect stings, carry prescribed epinephrine
when exercising outside. Know that some activities such as running,
cycling, and basketball are more likely to cause exercise-induced asthma;
resistance training, baseball, and swimming are less likely. Persons with
exercise-induced anaphylaxis should exercise with a partner and always
carry injectable epinephrine with them. Know the early signs of EIA, so
you can stop exercising before the symptoms progress o the later, more
serious ones.