II - TINJAUAN PUSTAKA

download II - TINJAUAN PUSTAKA

If you can't read please download the document

Transcript of II - TINJAUAN PUSTAKA

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

21.

Mikroalga Chlorella vulgaris

C. vulgaris adalah tanaman renik yang memiliki kadar klorofil tinggi. Memiliki ukuran yang sama dengan ukuran sel darah manusia. Satu sel C. vulgaris hanya berdiameter sebesar 5 mikron (0.000195 inchi), tetapi terpisahkan dengan baik tanaman ini dengan inti selnya serta bergizi lengkap dan merupakan substansi pembangun kesehatan (Lee dan Rosenbaum, 1987). Klasifikasi C. vulgaris menurut Kabinawa (2006) yaitu :

9 Domain : Eukaryota

Kingdom : Plantae Division Class Order Family Genus : Chlorophyta : Trebouxiophyceae : Chlorellales : Chlorellaceae : Chlorella

9 Species : C. vulgaris

9

Keterangan : N = Nukleus (inti sel)

DB = Dense Body (badan golgi) Gambar 2. C. vulgaris (Sumber : Shikano et al., 1990) Chl = Kloroplas Py = Pirenoid C. vulgaris adalah = Mitokondria uniseluler yang pertama kali digunakan M mikroalga hijau dalam penelitian. C. vulgaris merupakan salah satu spesies mikroalga yang St = Starch (pati) memiliki banyak manfaat, telah diproduksi secara komersial dan digunakan sebagai makanan kesehatan (health food) (Vonshak, 1990). Sel C. vulgaris berukuran antara2 12 m, berbentuk coccus atau bulat. C. vulgaris mengandung kloroplas dan mempunyai dinding yang tipis. C. vulgaris dapat hidup di tanah sebagai kontaminan umum pada air yang tergenang dalam waktu yang lama (Bold dan Wynne, 1985). Struktur sel C. vulgaris terdiri dari sebuah nukleus (inti), dense body (badan golgi), kloroplas, pirenoid, mitokondria dan starch (pati). Struktur sel C. vulgaris dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 3. Struktur sel C. vulgaris Sumber : Bold dan Wynne (1985)

9 Keistimewaan ganggang C. vulgaris yang sudah diketahui adalah kandungan klorofil (hijau daun) unik dan jauh berbeda dengan klorofil pada jasad lainnya; dinding sel yang tersusun dari sellulosa, hemiselulosa dan lignin; kandungan vitamin terutama A (beta karoten); kadar protein di atas 53 persen, tertinggi di banding makhluk hidup lainnya; dan adanya Chlorella Growth Factor (CGF) yang bersifat khusus dan hanya ada di Genus Chlorella (Suhanda, 2007). Menurut Kastono (1992), C. vulgaris dalam keadaan kering mengandung protein sekitar 60%, setara dengan protein daging atau 1,5 kali protein kedelai. Kandungan karbohidratnya sekitar 20%, dan lemaknya 11% dimana asam lemak tak jenuh berbanding asam lemak jenuh sama dengan 4 berbanding 1. Komposisi C. vulgaris ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi C. vulgarisNo. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Protein Karbohidrat Lemak Serat Besi Kalsium Kalium Magnesium Beta-karoten Vitamin A Vitamin B1 Vitamin B2 Vitamin B6 Vitamin B12 Vitamin C Kandungan Gizi 59,8 % 16,7 % 11,6 % 1,5 % 87,9 mg% 187 mg% 1030 mg% 337 mg% 67,5 mg% 37.500 IU / 100 g 1,76 mg% 4,49 mg% 1,61 mg% 58 mcg% 24 mg% Jumlah

16. 17. 18. 19.

Vitamin E Niasin Klorofil CGF (Chlorella Growth Factor)

19,5 mg% 23,9 mg% 2.830 mg% 27,9 %

Sumber : Sertifikat analisis No. 43080157-005 tanggal 22 Agustus 1990 dari Japan Food Research Laboratories untuk Chlorella Midori-No-Sachi Hasil budidaya Yaeyama Shokusan Co.Ltd.

C. vulgaris dalam pertumbuhannya memerlukan medium yang mengandung mineral, nutrien, dan kondisi lingkungan yang sesuai. Faktor utama yang paling penting dalam proses kultivasi mikroalga adalah sebagai berikut : 2.1.1. Faktor Kimia a. Unsur hara Pertumbuhan alga dipengaruhi oleh nitrat dan phosfat. Sebagian besar alga menggunakan NO3 sebagai sumber nitrogen (Mara, 1976). Sebagian besar alga menggunakan phosfat bervariasi antara 8,9 17,8 mg/ptlt dan konsekuensi yang tinggi akan menghambat pertumbuhan (Kataraman, 1969). Limbah organik hampir mengandung unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan alga seperti: S, P dan K sehingga alga dapat tumbuh subur. Tetapi unsur hara disini ada yang berbentuk sebagai kompleks organik sehingga harus dioksidasi terlebih dahulu menjadi bentuk anorganik yang dapat diserap seperti NO2, NH3, SO4 dan lain-lain. Oksidasi ini dilakukan oleh aktivitas simbiosis alga dan bakteri. Oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi pada lapisan aerob diperoleh melalui reaerasi pada permukaan air tetapi sebagian besar diperoleh dari hasil fotosintesis alga yang tumbuh secara alami pada kolam jika terdapat sinar

11 matahari dan nutrien yang cukup. Alga mampu menggunakan karbondioksida sebagai sumber karbon utama untuk sintesis sel baru dan melepaskan oksigen melalui mekanisme fotosintesis (Mara, 1976). C. vulgaris tumbuh pada salinitas 25 ppt C. vulgaris tumbuh lambat pada salinitas 15 ppm, dan hampir tidak tumbuh pada salinitas 0 ppm dan 60 ppm (Hirata et al., 1981). b. Derajat keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) berperan secara langsung dalam kegiatan enzim. Perubahan pH dari keadaan optimalnya akan mengakibatkan penurunan kegiatan enzim dengan nyata, yang selanjutnya akan mempengaruhi pertumbuhan sel (Angka, 1976). Kisaran pH media yang baik seperti yang dikemukakan oleh Round (1973), pH yang berkisar antara 7,0 8,0 cukup baik digunakan dalam kultur alga di laboratorium. Sedangkan menurut pendapat Fogg (1975), C. vulgaris sangat tahan terhadap lingkungan asam pada pH sampai pada pH 2,0. Pencegahan berubahnya pH dalam media kultur alga, perlu ditambahkan EDTA (Ethyl Diamina Tetra Acetat) ke dalam media, karena EDTA dapat berfungsi sebagai bufer sehingga pH menjadi stabil (Round, 1973). c. Karbon dioksida (CO2) Karbon dioksida merupakan unsur yang penting dalam proses fotosintesis. Oleh karena itu tersedianya CO2 dalam jumlah yang cukup dalam media akan mendukung pertumbuhan kultur alga. Ketersediaan CO2 dapat dilakukan dengan menggoyang-goyangkan media atau aerasi (Round, 1973). Dengan aerasi, konsentrasi unsur hara dalam media dapat menyebar rata, selain itu juga dapat

mencegah terjadinya pengendapan sel alga (Fogg, 1975). 2.1.2. Faktor Fisika a. Suhu C. vulgaris tumbuh baik pada suhu 20C, tetapi tumbuh lambat pada suhu 32C. Tumbuh sangat baik sekitar 20 23C (Hirata et al., 1981). C. vulgaris tahan hidup pada kisaran suhu 5 35C, namun suhu optimum bagi pertumbuhannya berkisar antara 23 30C (Sutamiharja, 1975). Beberapa spesies dari C. vulgaris yang mempunyai toleransi terhadap suhu, tumbuh paling baik dan aktif pada suhu 35 40C dan dapat menahan suhu sampai 42C (Sorokin, 1957). b. Cahaya Cahaya merupakan faktor utama yang mempunyai peranan penting untuk pertumbuhan mikroalga sebagai sumber energi dalam fotosintesis. Intensitas cahaya yang baik bagi mikroalga untuk melakukan fotosintesis berkisar antara 2 3 kilo lux. Cahaya matahari yang diperlukan oleh miktoalga dapat diganti dengan lampu TL atau tungsten (Myers, 1962). c. Agitasi Agitasi merupakan variabel penting pada kultur mikroalga. Fungsi agitasi antara lain untuk menghindari sedimentasi dan fotoinhibisi, untuk penyebaran atau sirkulasi nutrien, penyebaran panas, meningkatkan efisiensi penyebaran cahaya pada sel-sel mikroalga (Noue dan Pauw, 1988).

22.

Senyawa Antibakteri C. vulgaris

Senyawa antibakteri adalah zat yang dapat menghambat pertumbuhan

13 mikroba dan dapat digunakan untuk kepentingan pengobatan pada manusia, hewan dan tumbuhan. Antimikroba termasuk ke dalam antimikroba yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri (Schunack et. al., 1990 dalam Efendi, 2006). Organisme di lingkungan perairan harus mempunyai mekanisme pertahanan aktif melawan bakteri dan fungi serta melawan organisme lainnya untuk menjaga agar permukaannya bebas dari epifit, serta lingkungannya bebas dari kompetisi (Michanek, 1979). Mikroalga menghasilkan berbagai komponen yang memiliki aktivitas biologi (bioaktif). Komponen bioaktif ini dapat berupa antibiotik, algisidal, antitoksin, serta bahan aktif untuk industri di dalam farmasi, dan pemacu pertumbuhan (Pyne dan Metting, 1986). Produk ekstraseluler mikroalga dapat berupa senyawa penghambat dan pemacu pertumbuhan. Ketika mikroalga berlimpah di kolam, bakteri patogen dan koliform mati dengan cepat, hal ini membuktikan bahwa mikroalga memproduksi senyawa antibakteri (Fogg, 1975). Ditambahkan oleh Pelczar dan Chan (1988), Bahan antimikrobial diartikan sebagai bahan yang mengganggu pertumbuhan dan metabolisme mikroba. Beberapa digunakan untuk mengobati infeksi (antiinfectif) atau disebut bahan terapeutik. Alga dapat menghasilkan substansi toksik bagi alga itu sendiri karena metabolit yang dihasilkan dan pengakumulasian metabolit tersebut dapat mengakibatkan pertumbuhan eksponensial menjadi stasioner. Substansi toksik ini bersifat autoinhibitor yang dapat dikeluarkan oleh mikroba Nostoc punotiforme, C. vulgaris dan Nitzchia palea dalam kultur tidak murni (Fogg, 1975). Menurut Dwijoseputro (1989), senyawa antibakteri berdasarkan cara

kerjanya memiliki dua sifat, yaitu zat yang hanya menghambat pertumbuhan bakteri dengan tidak membunuhnya (bakteriostatis), sedang yang dapat membunuh bakteri disebut bakterisidal. Wattimena et. al., (1991) menjelaskan bahwa zat antibakteri dikatakan bersifat bakteriostatik bila menunjukkan

penyempitan zona hambatan dan pengurangan kecerahan setelah inkubasi 24 jam. Lay (1994) menjelaskan bahwa bahan antimikrobial yang mampu menghambat atau mematikan berbagai jenis mikroorganisme disebut antimikrobial dengan kisaran luas (broad spectrum antimicrobes). Beberapa kelompok utama bahan antimikroba kimiawi terdiri dari fenol dan persenyawaan fenolat, alkohol, aldehid, halogen, logam berat dan

persenyawaannya,

deterjen

dan kemosterilisator

gas. Kerja antimikroba

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsentrasi atau intensitas antimikrobial yang digunakan, jumlah mikroorganisme, keberadaan bahan organik lain dan pH (Pelczar dan Chan, 1988). Menurut Jawetz et. al., (1996), mekanisme kerja antibakteri dibagi menjadi empat cara yaitu: 1. Penghambatan sintesa dinding sel Bahan antimikroba mengganggu proses sintesa mukopeptida dan

menghambat pembentukan ikatan glukosida pada dinding sel sehingga pembentukan sel baru akan terganggu. 2. Penghambatan fungsi selaput sel Bila integritas tinggi, selaput sitoplasma terganggu dengan adanya bahan antimikroba maka makromolekul dan ion akan lolos dari sel dan terjadilah kerusakan atau kematian sel.

15 3. Penghambatan sintesa protein Penghambatan aktivitas ini menyebabkan kesalahan pembacaan pesan mRNA pada daerah pengenalan ribosom yang mengakibatkan asam amino yang salah dimasukkan ke dalam peptida sehingga menghasilkan protein yang tidak berfungsi. 4. Penghambatan sintesa asam nukleat Bahan antimikroba menghambat secara efektif terhadap sintesa DNA. Semua kuinolon dan fluorokuinolon menghambat sintesa DNA pada bakteri dengan menghambat girase DNA. Rifampin menghambat pertumbuhan bakteri melalui ikatan kuat pada polymerase RNA yang bergantung DNA bakteri.

23.

Tinjauan Umum Bakteri Uji

Bakteri adalah sel prokariot yang khas dan bersifat uniselular. Sel bakteri berbentuk coccus, batang (basil) atau spiral (komma). Umumnya bakteri berdiameter antara 0,5 sampai 1,0 m, panjang 1,5 sampai 2,5 m. Bakteri dibedakan menjadi bakteri gram positif dan gram negatif berdasarkan perbedaan pada komposisi dan struktur dinding selnya (Pelczar dan Chan, 1988). Bakteri gram negatif mempunyai struktur dinding sel yang tipis berkisar 10-15 nm dan berlapis tiga (multi). Komposisi dinding sel bakteri gram negatif ini terdiri dari lipid dan peptidoglikan. Konsentrasi lipid pada dinding sel bakteri gram negatif berkisar antara 11% sampai 22%. Peptidoglikan berada di dalam lapisan kaku sebelah dalam dengan jumlah sekitar 10% dari berat kering sel. Bakteri gram negatif umumnya kurang rentan terhadap penisilin, kurang resisten terhadap gangguan fisik dan persyaratan nutriennya relatif sederhana

(Pelczar dan Chan, 1988). Bakteri gram positif mempunyai struktur dinding sel yang tebal antara 15 sampai 80 m dan berlapis tunggal. Komposisi dinding sel terdiri dari lipid, peptidoglikan dan asam tekoat. Konsentrasi lipid pada dinding sel bakteri gram positif antara 1 sampai 4%. Bakteri gram positif lebih rentan terhadap penisilin dan persyaratan nutriennya relatif rumit pada banyak spesies

(Pelczar dan Chan, 1988).

2.31.Escherischia coli 2.3.11.karakteristik biologi E. coli pada umumnya merupakan mikroba yang secara normal terdapat dalam saluran pencernaan hewan dan manusia berukuran panjang 2,0-6,0 m dan lebar 1,1-1,5 m. Suhu optimum untuk pertumbuhan 10-40oC dengan suhu optimum 37oC (Fardiaz, 1983; Purbowatiningrum dan Mulyani, 2006). Bakteri E. coli berbentuk batang dengan panjang 1-3 m dan lebar 0,4-0,7 m, termasuk golongan bakteri gram negatif, dan beberapa strainnya ada yang berbentuk kapsul. Bakteri ini tumbuh baik pada media yang umum digunakan untuk isolasi kuman enterik. E. coli mampu tumbuh dalam rentang suhu 8-46C dan tumbuh optimum pada suhu 37C. oleh karena tumbuh pada rentang toleransi suhu yang luas, bakteri ini termasuk dalam golongan bakteri euternik (Dwidjoseputro, 1987). Bakteri E. coli juga sering digunakan sebagai indikator dalam kasus pencemaran lingkungan. Keberadaan bakteri E. coli dalam substrat di air merupakan indikator adanya pencemaran bahan organik di lingkungan tersebut.

1711

Sekitar 3 10 (atau sekitar 300 milyar) sel bakteri E. coli terkandung dalam 100 500 gram tinja yang dihasilkan oleh manusia setiap harinya (Suriawiria, 1993). 2.3.12.patogenitas E. coli Bakteri E. coli merupakan bakteri oportunis yang banyak ditemukan di dalam usus besar manusia, akan tetapi dalam kondisi yang tidak normal bakteri ini hanya menyebabkan infeksi pada usus yang selanjutnya dapat menyebabkan diare (Nurwantoro dan Djarijah, 1997).

2.32.Salmonella typhi 2.3.21.karakteristik biologi Genus Salmonella terdapat pada usus manusia, binatang, dan unggas. Berbentuk batang, gram negatif, berukuran 2 sampai 4m x 0,6 m, bergerak (kecuali Salmonella gallinarum dan Salmonella pullorum), mempunyai flagel peritrik. S. typhi bersifat aerob dan anerob fakultatif, suhu optimum untuk pertumbuhannya adalah 37 C dan pH optimum 6-8. S. typhi tumbuh dengan mudah dalam media yang sederhana, tetapi hampir tidak dapat memfermentasikan laktosa dan sukrosa. S. typhi membentuk asam dan kadangkala gas dari fermentasi glukosa dan mannosa. S. typhi tidak menghidrolisis urea dan membentuk H2S. Kuman ini bertahan dari pendinginan dalam waktu yang lama. S. typhi peka terhadap kloramfenikol, tetapi resistan pada beberapa bahan kimia (contoh hijau brilliant, sodium tetrathionat, sodium deoxycholat) yang menghibisi beberapa bakteri usus. Sifat Khusus S. typhi adalah bakteri gram negatif yang termasuk family dari Enterobacteriaceae. Bersifat motil, anaerob fakultatif dan sensitif terhadap

beberapa antibiotik. Ada 107 strain dari mikroorganisme ini yang telah berhasil diisolasi, beberapa diantaranya menunjukkan keanekaragaman karakteristik sistem metabolisme, level virulensi, dan prevalensi dari gen yang mengkode multi drug resistensi. Identifikasi dalam menentukan diagnostik dapat dilakukan dengan menanam pada media Mac Conkey dan EMB (Eosin Metilena Biru) agar, dan bakteri ini sama sekali tidak memfermentasikan laktosa. S. typhi hanya menghasilkan asam tanpa menghasilkan gas saat ditanam di media TSI (Triple Sugar Iron), yang mana media ini sering digunakan untuk membedakan S. typhi dengan Enterobacteraceae lainnya. 2.3.22.patogenitas S. typhi S. typhi adalah penyebab utama dari penyakit yang disebarkan melalui makanan (foodborne diseases). Pada umumnya, serotipe S. typhi menyebabkan penyakit pada organ pencernaan. Penyakit yang disebabkan oleh S. typhi disebut salmonellosis. Ciri-ciri orang yang mengalami salmonellosis adalah diare, keram perut, dan demam dalam waktu 8-72 jam setelah memakan makanan yang terkontaminasi oleh S. typhi. Gejala lainnya adalah demam, sakit kepala, mual dan muntah-muntah. Tiga serotipe utama dari jenis S. enterica adalah S. typhi, S. typhimurium, dan S. enteritidis. S. typhi menyebabkan penyakit demam tifus (Typhoid fever), karena invasi bakteri ke dalam pembuluh darah dan gastroenteritis, yang disebabkan oleh keracunan makanan/intoksikasi. Gejala demam tifus meliputi demam, mual-mual, muntah dan kematian. S. typhi memiliki keunikan hanya menyerang manusia, dan tidak ada inang lain. Infeksi S. typhi dapat berakibat fatal kepada bayi, balita, ibu hamil dan kandungannya serta orang lanjut usia. Hal ini disebabkan karena kekebalan tubuh mereka yang menurun.

19 Kontaminasi S. typhi dapat dicegah dengan mencuci tangan dan menjaga kebersihan makanan yang dikonsumsi (USDA , 2006). Penularan terjadi melalui mulut, yaitu melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi kuman S. typhi. Kuman ini masuk ke dalam tubuh melalui jaringan getah bening faring. Di dalam usus kuman ini melekatkan diri pada sel-sel epitel villi usus. Kuman-kuman ini difagosit oleh leukosit tembereng (polimorf) atau makrofag, lalu memasuki kelenjar getah bening usus dan berkembang biak di tempat itu, kemudian memasuki ductus thoracicus. Akibatnya tejadilah bakteremia dan kuman-kuman tersebut lalu bersarang pada hati, kandung empedu, limpa, sumsum tulang, kelenjar getah bening, paruparu, ginjal dan lain-lain. Pada alat-alat tubuh ini kuman tersebut berkembang biak lebih lanjut. Jadi pada saat terjadi bakteremia mulailah timbul gejala-gejala. Kuman-kuman ini menyerang jaringan misalnya Plaque payeri dan folikel-folikel getah bening usus halus. Kelainan-kelainan pada usus menjadi tukak dan berdarah sehingga mungkin menyebabkan perforasi usus. Kuman-kuman yang lisis mengeluarkan endotoksin yang menimbulkan gejala-gejala toksis misalnya sakit kepala, tidak nafsu makan, demam yang menetap, dan pembengkakan selaput lendir. Masa inkubasi berkisar antara 10 sampai 14 hari. Gambaran yang khas ialah demam yang kurvanya seperti anak tangga, limpa teraba membesar, dan bintik-bintik merah (rose spots) yang hilang jika ditekan dan timbul pada minggu sakit ke-2 dan ke-3. 2.33.Staphylococcus aureus 2.3.31.karakteristik biologi S. aureus merupakan bakteri gram positif, tidak bergerak, tidak berspora dan mampu membentuk kapsul, berbentuk kokus dan tersusun seperti buah anggur.

Ukuran S. aureus berbeda-beda tergantung media pertumbuhannya. Apabila ditumbuhkan pada media agar, S. aureus memiliki diameter 0,5-1,0 mm dengan koloni berwarna kuning (Volk dan Wheeler, 1989 ; Jawetz et. al., 1996). S. aureus merupakan kelompok bakteri gram positif. Dinding sel mengandung dua komponen utama, yaitu peptidoglikan serta asam tekoat yang berkaitan. Metabolisme dengan respirasi dan fermentatif. Merupakan anaerob fakultatif, tumbuh lebih cepat dan lebih banyak dalam keadaan aerob. Kisaram inangnya luas dan banyak galur merupakan patogen potensial

(Pelczar dan Chan, 1988). Menurut Lund et. al. (2000), mikroorganisme ini dapat mengkontaminasi makanan. Pada jumlah yang tinggi dapat menyebabkan infeksi keracunan makanan. Jenis Staphylococcus di laboratorium tumbuh dengan baik dalam kaldu biasa pada suhu 37 oC. Suhu pertumbuhan optimal adalah 35 oC. Pertumbuhan terbaik dan khas adalah pada suasana aerob dan aerob fakultatif. Pada lempeng agar koloni berbentuk bola, diameter 1-2 mm, cembung, buram, mengkilat dengan konsentrasi lunak. Warna khas bakteri ini adalah kuning keemasan. Pada agar miring dapat hidup sampai berbulan-bulan, baik pada lemari es maupun suhu ruangan (Warsa, 1994). 2.3.32.patogenitas S. aureus S. aureus hidup sebagai saprofit di dalam saluran-saluran pengeluaran lendir dari tubuh manusia dan hewan-hewan seperti hidung, mulut dan tenggorokan dan dapat dikeluarkan pada waktu batuk atau bersin. Bakteri ini mampu menghasilkan racun yang disebut enterotoksin, yang akan meracuni tubuh dan menyebabkan gastroenteritis atau radang mukosa usus. Bakteri ini juga sering terdapat pada

21 pori-pori dan permukaan kulit, kelenjar keringat dan saluran usus. Selain dapat menyebabkan intoksikasi, S. aureus juga dapat menyebabkan bermacam-macam infeksi seperti jerawat, bisul, meningitis, osteomielitis, pneumonia dan masitis pada manusia dan hewan (Dwijoseputro, 1987 ; Fardiaz, 1989).

2.34.Bacillus subtilis 2.3.41.karakteristik biologi B. subtilis mempunyai ciri-ciri antara lain berbentuk batang, panjang 4-5 m, lebar 1-1,25 m, bersifat aerob dan memiliki flagel, termasuk golongan bakteri gram positif dan memiliki endospora (Bibiana dan Hastowo, 1992). Genus Bacillus merupakan bakteri basil gram positif pembentuk spora, dapat hidup di lingkungan selama bertahun-tahun, bersifat aerob dan merupakan mikroorganisme saprofit yang lazim berada dalam tanah, air, udara dan tumbuhtumbuhan seperti B. cereus dan B. subtilis yang menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan keracunan makanan (Brooks dan Stephen, 2001). 2.3.42.patogenitas B. subtilis Bacillus substilis merupakan bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia maupun hewan. Bakteri ini umumnya merupakan saprofit yang lazim terdapat dalam tanah, air, udara, dan tumbuh-tumbuhan. B. subtilis dapat tumbuh pada makanan dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan keracunan makanan. B. subtilis juga menyebabkan terjadinya gastroenteritis pada manusia. Gejalanya mual, kejang perut, diare berair, dan muntah-muntah selama

satu hari atau kurang (Holt dan Krieg, 1984 ; Nurwantoro, 1997).

24.

Senyawa Bioaktif

Senyawa bioaktif adalah setiap senyawa atau molekul yang menyebabkan satu atau lebih efek biologis yang dapat diukur baik secara in vitro atau in vivo. Contoh senyawa bioaktif adalah diantaranya, molekul organik kecil (misalnya yang terkandung dalam obat-obatan), mineral, logam, antibiotik, antivirus, antimikroba, anti-inflamasi, antiproliferatif, sitokin, enzim atau protein inhibitor, antihistamin, dan lain sebagainya (Omura, 1992). 2.4.1. Proses Ekstraksi Setiap zat memiliki tingkat kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berlainan. Proses yang secara selektif mengambil zat terlarut dari campuran dengan bantuan pelarut disebut ekstraksi. Teknik ekstraksi didasarkan pada kenyataan bahwa jika suatu zat dapat larut dalam dua lapisan (fase) ke lapisan (fase) lain dengan mengocoknya bersama-sama. Zat terlarut yang diekstraksi dapat berada dalam medium padat atau cair, serta pelarut yang digunakan untuk proses ekstraksi dapat berupa pelarut yang bersifat larut dalam air seperti alkohol, atau tidak larut dalam air seperti heksana dan kloroform. Pemilihan pelarut yang digunakan tergantung antara lain pada sifat kelarutan zat terlarut itu (Brady, 1999). Proses ekstraksi dapat diaplikasikan dalam dua bentuk yaitu ekstraksi padatcair (solid-liquid extraction) dan ekstraksi cair-cair (liquid-liquid extraction). Ekstraksi padat-cair adalah pemisahan satu atau beberapa komponen dari bahan padat yang dapat larut dengan bahan pelarut. Proses ini banyak digunakan secara

23 teknis dalam skala besar di bidang industri bahan alami dan makanan misalnya untuk memperoleh bahan-bahan aktif dari tumbuhan atau hewan untuk keperluan farmasi (Holt dan Krieg, 1984). Sedangkan untuk ekstraksi cair-cair pada umumnya digunakan dalam proses separasi atau pemurnian senyawa dari alam maupun senyawa produk dari suatu reaksi kimia

(Pavia et. al., 1995 dalam Effendi, 2006). Saat proses ekstraksi ini dilakukan pengadukan pada saat maserasi secara terus menerus. Pengadukan ini bertujuan untuk memecah sel pada bagian kloroplas sehingga komponen yang diinginkan dapat keluar, memperbesar kemungkinan tumbukan antara partikel sehingga komponen yang telah keluar dapat terikat dan larut dalam pelarut, dan memperbesar pengikatan komponen dengan pelarut yang digunakan. 2.4.1.1. pelarut metanol Metanol adalah suatu zat cair yang bersifat volatil, mempunyai boiling point (bp 65oC) dan mempunyai titik didih yang lebih rendah dari air. Metanol merupakan pelarut yang beracun dan mampu mengakibatkan kebutaan bahkan kematian. Selain itu, metanol uap dalam jangka waktu yang pendek juga sangat berbahaya bagi kesehatan. Metanol dihasilkan dari reaksi antara gas karbon monoksida dan hidrogen menggunakan katalis zink oksida (ZnO) dan dichromtrioksida (Cr2O3) pada suhu 300-400 oC (Hein, 1993). Nama lain dari metanol adalah metil alkohol, carbinol, dan alkohol kayu. Berat molekulnya 32,04 dengan kandungan atom C sebesar 37,48%; atom H 12,58%; dan atom O sebesar 49,93%. Metanol mempunyai sifat mudah terbakar dengan nyala api kebiru-biruan yang tidak terang, beracun, dalam bentuk murni

mempunyai bau alkohol yang ringan, dan berbau tajam. Dapat dicampur dengan air, etanol, eter, benzene, keton dan banyak pelarut organik lain. Metanol adalah pelarut yang lebih baik dari etanol, dapat melarutkan beberapa garam anorganik, misalnya sodium iodida 43%, kalsium klorida 22%, ammonium nitrat 14%, magnesium sulfat 13%, perak nitrat 4%, ammonium klorida 3,2%, dan sodium klorida 1,4%. Metanol merupakan bahan untuk mengekstraksi hewan maupun minyak pada tumbuh-tumbuhan karena paling reaktif sehingga bisa melarutkan sebagian besar senyawa kimia didalamnya. Selain itu metanol juga pelarut untuk pembuatan beberapa polimer, kolesterol, streptomiein, vitamin, hormone, dan obat-obatan lainnya (Stecher, 1960). 2.4.1.2. pelarut kloroform Senyawa kimia trichloromethane (CHCl3) atau yang biasa disebut kloroform, memiliki ciri-ciri tidak berwarna, rasa sedikit manis, tidak mudah terbakar, berbau sangat menyengat, menyerupai bau ether. Kegunaan utama kloroform dalam industri yaitu untuk melarutkan bahan organik, yodium, dan sulfur. Selain itu kloroform juga dapat digunakan untuk membuat pendingin, sebagai fumigan untuk tanaman gandum, dan sebagai pembersih noda yang kering. Kloroform ditemukan di Jerman pada tahun 1831 dan pada saat yang sama hampir di Perancis dan di Amerika Serikat. Kloroform adalah bahan kimia alami, tetapi sebagian besar kloroform yang ditemukan merupakan buatan manusia. Kloroform adalah anggota dari kelompok bahan kimia yang disebut

"trihalometana" (Wisconsin Dept. of Health Services, 2008). Kloroform (CHCl3) pernah menjadi bahan anestesi populer, tetapi prosedur ini menyakitkan karena uap yang langsung menekan sistem saraf pusat dari

25 pasien. Pada 1847, dokter kebidanan Bathgate James Young Simpson menggunakan kloroform untuk yang pertama kali sebagai anestesi umum selama persalinan. Penggunaan kloroform selama operasi berkembang pesat setelah di Eropa. Di Amerika Serikat, kloroform mulai digantikan oleh eter sebagai obat bius pada awal abad ke-20 atas penemuan toksisitasnya, terutama kecenderungan untuk menyebabkan aritmia jantung fatal analog atau yang disebut "kematian mendadak sniffer". Anestesi dengan Eter lebih banyak digunakan di beberapa negara berkembang karena indeks terapeutik yang tinggi (~ 1,5-2,2) dan harga yang lebih murah. Salah satu mekanisme yang mungkin terjadi jika menggunakan kloroform yaitu meningkatkan pergerakan ion kalium melalui beberapa jenis saluran kalium dalam sel saraf. Kloroform dapat juga dicampur dengan bahan anestesi lain seperti eter untuk membuat campuran C.E., atau eter dan alkohol untuk membuat campuran A.C.E (IPCS, 2004). 2.4.2. Uji Kontrol Negatif Uji kontrol negatif dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh pelarut dalam pembentukan diameter zona hambat. Idealnya pelarut tidak boleh mempunyai pengaruh terhadap bakteri uji. Apabila pelarut memiliki daya hambat terhadap bakteri uji maka akan dikurangi dengan diameter daya hambat ekstrak sampel (Rifai dan Trianto, 2003). Uji kontrol negatif dilakukan tehadap pelarut yang digunakan dalam melarutkan atau mengencerkan ekstrak C. vulgaris yaitu metanol untuk senyawa polar dan kloroform untuk senyawa non polar. 2.4.3. Uji Kontrol Positif Uji kontrol positif bertujuan untuk mengetahui besarnya zona hambat

antibiotik terhadap bakteri uji. Dalam penelitian ini, digunakan antibiotik kloramfenikol karena antibiotik ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri baik dari jenis gram positif maupun gram negatif. Menurut Pelczar dan Chan (1988), antibiotik adalah suatu produk metabolik yang dihasilkan organisme tertentu dalam jumlah kecil yang mempunyai sifat merusak atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Kloramfenikol merupakan antibiotik berspektrum luas yang aktif terhadap banyak bakteri gram positif dan gram negatif. Meskipun relatif tidak beracun pada mamalia bila digunakan secara terapeutik, antibiotik ini dapat menyebabkan beberapa kelainan yang gawat di dalam darah beberapa pasien. Kloramfenikol bergabung dengan subunit-subunit ribosom sehingga mengganggu sintesis protein. 2.4.4. Uji Sensitivitas Antibakteri Sensitivitas antibakteri merupakan cara untuk mengetahui dan mendapatkan produk alam berpotensial sebagai senyawa antibakteri yang mempunyai keemampuan menghambat pertumbuhan dan bahkan mematikan mikroorganisme pada konsentrasi rendah (Fenical dan Paul, 1984). Ditambahkan oleh Taslihan (1993), bahwa uji sensitivitas antibakteri merupakan suatu metode untuk menentukan tingkat kerentanan terhadap zat antibakteri dan untuk mengetahui senyawa murni yang memiliki aktivitas antibakteri. Aktivitas antimikrobia diukur in vitro untuk mengetahui potensi

27 antimikrobia dalam larutan, konsentrasi dalam tubuh dan kepekaan

mikroorganisme terhadap obat (Jawetz et. al., 1993). Suhanda (2007), menambahkan uji sensitivitas bakteri adalah cara mengetahui dan mendapatkan produk alam yang berpotensi sebagai antibakteri serta mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan atau mematikan bakteri pada konsentrasi rendah. Pada teknik ini konsentrasi dari zat antibakteri dibuat bervariasi hingga memberikan hambatan maksimum, semakin besar zona hambat maka kemampuan senyawa antibakteri semakin kuat. Senyawa antibakteri merupakan suatu senyawa yang dapat mengganggu pertumbuhan dan metabolisme mikroba (Pelczar dan Chan, 1988). Menurut Collins (1970), pengujian antibakteri secara laboratoris dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain: 1. Metode Kertas Cakram (paper disc) Metode ini menggunakan kertas cakram (paper disc) atau kertas saring dengan diameter tertentu kemudian dicelupkan dalam larutan uji. Kertas cakram yang telah berisi zat antibakteri dari tiap fraksi diletakkan diatas media agar yang telah diinokulasikan dengan bakteri dan diinkubasi pada suhu kamar. Setelah diinkubasi akan nampak zona bening yang merupakan daerah penghambatan pertumbuhan bakteri di sekitar kertas cakram yang mengindikasikan bahwa fraksi larutan mengandung zat antibakteri. 2. Metode Perforasi Metode ini menggunakan agar cair yang dicampur homogen dengan suspense bakteri kemudian dituang dalam petridish steril dan dibiarkan memadat. Dibuat lubang dengan alat perforator dengan diameter tertentu, kedalam tiap-tiap

lubang dimasukkan larutan uji kemudian diinkubasi pada suhu kamar. 3. Metode Kontak Metode ini dilakukan dengan cara mencampur tiap 1 mL ekstrak dengan 1% media kemudian ditetesi suspensi bakteri lalu dikocok sampai homogen. Setiap satuan waktu tertentu ditanam ke plat agar sampai beberapa kali kemudian diinkubasi pada suhu kamar. Metode ini biasanya dipakai untuk mengetahui pengaruh waktu terhadap pertumbuhan bakteri. Mekanisme metode paper disc plate adalah piringan kertas kecil yang diresapi obat berbeda dalam jumlah tertentu diletakkan pada permukaan agar yang telah diinokulasi. Pada teknik ini konsentrasi dari zat antibakteri dibuat bervariasi hingga memberikan hambatan maksimum (Hugo dan Russell, 1997). Setelah inkubasi dilakukan pengamatan terhadap zona penghambat (daerah jernih) di sekeliling paper disc yang menunjukkan bahwa mikroorganisme dihambat pertumbuhannya oleh obat (Pelczar dan Chan, 1988). Bridson (1998) menjelaskan paper disc adalah kertas saring diameter 6-8 mm yang dibuat secara akurat untuk penyebaran larutan antimikroba. Memiliki kelembaban 2% dan disimpan pada temperatur rendah (2-8 C) untuk mencegah kemungkinan antimikroba terkondensasi oleh udara. 2.4.5. Analisis Senyawa Metabolit Sekunder dengan Skrining Fitokimia Menurut Ramawat dan Merillon (1999), senyawa metabolit sekunder merupakan kandungan biosintetik turunan dari senyawa metabolit primer yang dianggap sebagai produk akhir dari metabolisme primer dan pada umumnya tidak terlibat pada aktivitas metabolisme. Senyawa metabolit sekunder merupakan bahan alam yang terpenting.

29 Selain itu, kandungan senyawa metabolit sekunder sangat variatif baik secara kualitatif maupun kuantitatif pada tiap jenis tumbuhan, hal ini bergantung pada faktor genetis, kondisi pertumbuhan dan tempat dia tumbuh. Senyawa metabolit sekunder juga dapat menggambarkan perbedaan secara kimiawi dari spesiesspesies yang ada berdasarkan pola biosintesis yang umum terdapat dalam hampir tiap spesies yang hidup di bumi ini serta dipengaruhi oleh afinitas kimiawi tiap tumbuhan dan keadaan lingkungan hidup tumbuhan tersebut (Santoso, 2008). Khopkar (2003) menyatakan bahwa manfaat metabolit sekunder adalah sebagai berikut: 1. Sebagai bahan-bahan kimia alami yang bernilai komersial; dan 2. Berperan sebagai proteksi, digunakan tumbuhan untuk melawan penyakit, serangan serangga atau binatang pemangsanya (predator). 2.4.5.1. fenolik Senyawa fenolik merupakan substansi yang mempunyai cincin aromatik dengan satu atau lebih substitusi gugus hidroksil dan alkil. Beberapa senyawa fenolik bersifat antimikroba, seperti senyawa eugenol pada daun sirih yang menghambat dan mematikan pertumbuhan bakteri (Aeromonas hydrophila) pada ikan lele (Clarias sp.) (Agrawal, 1992). 2.4.5.2. flavonoid Flavonoid dalam tumbuhan berfungsi sebagai pengaturan tumbuh, pengaturan fotosintesis, memiliki aktivitas sebagai antibakteri dan antivirus (Robinson 1995 diacu dalam Santoso 2008). 2.4.5.3. saponin

Saponin

merupakan

golongan

senyawa alam

yang

rumit,

yang

mempunyai masa molekul besar, dan kegunaannya luas. Saponin adalah glikosida, yaitu metabolit sekunder yang banyak terdapat di alam, terdiri dari gugus gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin. Senyawa ini bersifat racun bagi binatang berdarah dingin. Oleh karena itu dapat digunakan untuk pembasmi hama tertentu. (Agrawal, 1992). 2.4.5.4. triterpenoid Terpenoid merupakan suatu golongan hidrokarbon yang banyak dihasilkan oleh tumbuhan dan terutama terkandung pada getah dan vakuola selnya. Pada tumbuhan, senyawa-senyawa golongan terpenoid, merupakan metabolit sekunder. Terpenoid dihasilkan pula oleh sejumlah hewan, terutama serangga dan beberapa hewan laut. Di samping sebagai metabolit sekunder, terpenoid merupakan kerangka penyusun sejumlah senyawa penting bagi makhluk hidup. Sebagai contoh, senyawa-senyawa steroid adalah turunan skualena, suatu triterpen; juga karoten dan retinol. Secara kimia, terpenoid umumnya larut dalam lemak dan terdapat di dalam sitoplasma sel tumbuhan (Harborne, 1987). Golongan terpenoid dikenal sebagai senyawa utama pada tanaman yang bersifat sebagai penyusun minyak atsiri. Terpenoid mempunyai rumus dasar (C5H8)n atau dengan satu unit isoprene-2 metil-2, 3 butadiena. Golongan terpenoid bisa ditemukan dalam tanaman paci-paci (Leucas sp.) dan sirih (Piper betle L.) Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan (unit) isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena

11 2 . 3 1A R3

12C

R2

R1

13 14

17D 16

31

10 5

9B

8 7

15

4

6

Gambar 4. Struktur Skualena Sumber: Harborne, 1987 2.4.5.5. steroid Steroid didefinisikan sebagai kelompok senyawa organik bahan alam yang merupakan salah satu metabolit sekunder. Robinson (1991) menunjukkan kerangka dasar karbon steroid sebagai berikut:

Gambar 5. Kerangka dasar karbon steroid di mana R1, R2 dan R3 adalah Substituen. Sumber: Harborne, 1987 Di alam, steroid terdapat dalam jaringan hewan dan tumbuhan. Senyawa ini berasal dari senyawa triterpen. Steroid yang terdapat dalam jaringan hewan berasal dari triterpen lanosterol, sedangkan yang terdapat dalam jaringan tumbuhan berasal dari triterpen sikloartenol. Tahap-tahap awal dari biosintesis steroid adalah sama bagi semua steroid alam, yakni pengubahan asam asetat melalui asam mevalonat dan skualen (suatu triterpen) menjadi lanosterol atau sikoartenol. Kemudian lanosterol atau sikloartenol mengalami beberapa tahap perubahan menjadi steroid (Arifin, 1985). 2.4.5.6. alkaloid

Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan di alam. Hampir seluruh senyawa alkaloid berasal dari tumbuh-tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Semua alkaloid mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan dalam sebagian besar atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik (Sofia, 2006). Hampir semua alkaloid yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan biologis tertentu misalnya kuinin, morfin, nikotin, stiknin yang terkenal dan mempunyai efek fisiologis dan psikologis (Sofia, 2006).