BAB II-Tinjauan Pustaka

37
BAB I PENDAHULUAN Rinitis adalah masalah klinis yang paling umum terjadi pada pasien dengan alergi. Rinitis secara konsisten berada pada urutan enam penyakit kronis utama di Amerika Serikat. Morbiditas dari rinitis menyebabkan kualitas hidup yang menurun dikarenakan sakit kepala, mudah lelah, gangguan kognisi, dan efek samping obat-obatan. Rinitis alergi dapat menurunkan kualitas hidup, antara lain fungsi fisik, problem bekerja, nyeri badan, vitalitas, fungsi sosial, stabilitas emosi, bahkan kesehatan mental. Rinitis alergi telah menjadi masalah kesehatan global yang ditemukan di seluruh dunia, sedikitnya terdapat 10-25 % populasi dengan prevalensi yang semakin meningkat sehingga berdampak pada kehidupan sosial, kenerja di sekolah serta produktivitas kerja. Diperkirakan biaya yang dihabiskan baik secara 1

description

TEs

Transcript of BAB II-Tinjauan Pustaka

Page 1: BAB II-Tinjauan Pustaka

BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis adalah masalah klinis yang paling umum terjadi pada pasien

dengan alergi. Rinitis secara konsisten berada pada urutan enam penyakit kronis

utama di Amerika Serikat. Morbiditas dari rinitis menyebabkan kualitas hidup

yang menurun dikarenakan sakit kepala, mudah lelah, gangguan kognisi, dan efek

samping obat-obatan. Rinitis alergi dapat menurunkan kualitas hidup, antara lain

fungsi fisik, problem bekerja, nyeri badan, vitalitas, fungsi sosial, stabilitas

emosi, bahkan kesehatan mental.

Rinitis alergi telah menjadi masalah kesehatan global yang ditemukan di

seluruh dunia, sedikitnya terdapat 10-25 % populasi dengan prevalensi yang

semakin meningkat sehingga berdampak pada kehidupan sosial, kenerja di

sekolah serta produktivitas kerja. Diperkirakan biaya yang dihabiskan baik secara

langsung maupun tidak langsung akibat rinitis alergi ini sekitar 5,3 miliar dolar

amerika pertahun.

Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 40 juta orang menderita rinitis

alergi atau sekitar 20% dari populasi. Secara akumulatif prevalensi rinitis alergi

sekitar 15% pada laki-laki dan 14% pada wanita, bervariasi pada tiap negara. Ini

mungkin diakibatkan karena perbedaan geografik, tipe dan potensi alergen.

1

Page 2: BAB II-Tinjauan Pustaka

2

1.1. Latar Belakang

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi

genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat

berperan pada ekspresi rinitis alergi.

Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan

ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti

urtikaria dan gangguan pencernaan1.

Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa

pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis

alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial

(sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau

yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur,

binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.. Faktor resiko untuk

terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang

tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor

resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Riwayat hobi berkebun/rekreasi ke

pegunungan membantu identifikasi untuk terpaparnya serbuk sari.

Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa

faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat

atau merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban yang tinggi2.

Penatalaksanaan tersangka rinitis alergi adalah salah satunya dilakukan

tes alergi3. Keterbatasan persediaan dan tingginya harga dari ekstrak alergen

menjadi masalah utama berhentinya produksi ekstrak alergen di dalam negeri.

Page 3: BAB II-Tinjauan Pustaka

3

Produksi ekstarak alergen di luar negeri masih berjalan, akan tetapi tingginya

biaya pembelian menjadi masalah berikut untuk ketersediaan ekstrak alergen.

Beberapa kuesioner telah dibuat secara standar untuk membantu

menegakkan diagnosis rinitis alergi. ISAAC, ECHRS, ARIA WHO mengeluarkan

kuesioner yang dapat membantu menegakkan diagnosis pada rinitis alergi. Akan

tetapi, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik tetap mengambil peranan

kunci dalam penegakan diagnosis.

1.2. Tujuan

Intervensi dini dan tepat dapat memperbaiki kualitas hidup dan

produktifitas pasien dengan rinitis alergi dan juga dapat meningkatkan

kernampuan akademik penderita rinitis alergi anak serta dapat menurunkan

terjadinya komplikasi pada saluran napas bawah. Tujuan terapi adalah

menghambat proses patofisiologik yang menyebabkan terjadinya inflamasi

kronik alergik. Terapi yang baik didapatkan dari penegakkan diagnosis yang

baik.

Tanpa ketersediaan dari ekstrak alergen, perlu cara tertentu dalam

menegakkan diagnosis rinitis alergi. Diharapkan dari pembahasan makalah ini

akan terbentuk pedoman baku dalam penegakkan diagnosis yang akurat dengan

sensitifitas dan spesifisitas yang baik.

Page 4: BAB II-Tinjauan Pustaka

4

DAFTAR PUSTAKA

1. Shawn N, Milan A, Barton B, David E, Berrylin F, Margaretha C et all.

Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaryngology . Fifty Edition.

Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins ; 2014;396-401.

2. Becker, W., Naumann, H., Pfaltz, C. Ear, Nose, and Throat Disease.

Edisi ke lima. Thieme. New York:2010.

3. Yang- Gi Mie. The Pathiphysiology, Diagnostis and Treatment Of

Allergic Rhinitis. Allergy Asthma Intermoll Reviews. 2010;04

Page 5: BAB II-Tinjauan Pustaka

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan EpidemiologiRhinitis Alergika

Rinitis alergi adalah suatu gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah

pajanan alergen melalui inflamasi mukosa hidung dengan diperantai IgE yang

ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Definisi menurut

WHO ARIA (Allergic Rhinitis and It’s Impact on Asthma) tahun 2001 adalah

kelainan pada hidung dengan gejalabersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat

setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.ARIA,

Sebagian besar penderita asma memiliki rhinitis alergi. Adanya rhinitis

alergi secara signifikan meningkatkan probabilitas asma, tercatat paling tidak

40% pasien dengan rhinitis alergi memiliki atau akan mengidap

asma.thma.WheatlyRinitis alergi mempunyai komorbiditas dan komplikasi seperti

asma, sinusitis, otitis media, polip hidung, infeksi saluran nafas bawah yang dapat

saling memperburuk gejala dengan akibat pengobatan menjadi lama dan mahal. 1

Prevalensi rinitis alergi besarnya 10-25%, dan terus meningkat pada dekade

terakhir, dan menjadi masalah kesehatan dunia yang harus mendapat perhatian.

Rinitis alergi terjadi pada lebih dari 500 juta orang, angka kejadian rinitis

alergi bervariasi, Eropa dan Amerika Utara lebih dari 100 juta orang, Asia Pasifik

lebih dari 150 juta orang, India, Pakistan dan negara sekitarnya lebih dari 100 juta

Page 6: BAB II-Tinjauan Pustaka

6

orang, Amerika Tengah dan Selatan lebih dari 75 juta orang, Afrika lebih dari

30.1 Sedangkan di Indonesia belum ada angka yang pasti walaupun di Jakarta

dilaporkan di satu desa sekitar Jakarta pada kelompok usia kurang dari 14 thn

rinitis alergi sebanyak 10,2%. Sedangkan di Bandung prevalensi rinitis Alergi

perennial pada usia 10 tahun ditemukan cukup tinggi (5,8%).4 Data tersebut

menunjukkan tingginya angka insiden rinitis alergi pada usia sekolah dan

produktif.

Pada beberapa penelitian yang terdapat dalam Allergic Rhinitis and Its

Impact on Asthma (ARIA-WHO 2008) ditemukan angka kejadian rinitis alergi

sebanyak 30% di Australia, New Zealand dan Inggris. Angka kejadian di negara

lainnya yaitu Nigeria (>35%), Paraguay (30-35%), Hongkong (25-30%).1 Angka

kejadian rinitis alergi pada poli klinik rhinologi alergi di RSHS Bandung pada

tahun 2012 tercatat 134 pasien (57 laki-laki dan 77 perempuanm) dengan

kelompok usia 15-24 tahun sebesar 54%, dan paling sedikit kelompok diatas 44

tahun sebesar 11,1%.4

2.2 Klasifikasi Rhinitis Alergika

Secara global belum terdapat kriteria yang disepakati secara luas dan

bersama untuk diagnosis dan klasifikasi rhinitis non infeksi. Klasifikasi rhinitis

secara umum oleh Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA-WHO

2008) dapat dilihat pada tabel 2.1. ARIA Pada masa terdahulu, rhinitis alergi

diklasifikasikan menjadi seasonal yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas

Page 7: BAB II-Tinjauan Pustaka

7

yang dimediasi IgE terhadap aeroalergen seperti serbuk bunga, dan perennial

yang juga merupakan respon hipersensitivitas tipe I terhadap aeroalrgen

lingkungan namun pada kasus ini, alergen seperti tungau, jamur, dan serpihan

kulit binatang dapat menjadi penyebabnya. Jiminez Pada saat ini kelompok kerja

Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA-WHO 2008) membuat

klasifikasi rhinitis alergi menjadi intermiten atau persisten berdasarkan atas

durasinya. Berat ringannya tingkat gejala dapat diklasifikasikan menjadi ringan

(mild) atau sedang-berat (moderate-severe) tergantung dampak terhadap kualitas

hidup.1 Klasifikasi rhinitis secara umum oleh Allergic Rhinitis and Its Impact on

Asthma (ARIA-WHO 2008) dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.1. Klasifikasi Rhinitis menurut ARIA 2008

Infeksius Viral Bakterial Agen infeksi lainnya

AllergikIntermittenPersisten

OkupasionalIntermittenPersisten

Tercetus obatAspirinMedikasi lainnya

HormonalPenyebab lainnya

IritanMakananEmosionalAtrofik

IdiopatikSumber: ARIA

Page 8: BAB II-Tinjauan Pustaka

8

Tabel 2.2. Klasifikasi Rhinitis menurut ARIA 2008

1. Intermiten: bila terdapat gejala: < 4 hari / minggu Atau untuk <4 minggu berturut-turut

2. Persisten: gejala tetap ada Lebih dari 4 hari dalam seminggu Dan lebih dari 4 minggu berturut-turut3. “Ringan”: tidak didapatkannya kriteria berikut

Gangguan tidurGangguan aktivitas sehari-hari, istirahat, dan/atau olahragaGangguan aktivitas di sekolah atau kerjaGejal muncul namun tidak mengganggu

4. Moderat atau parah: terdapat satu atau lebih dari komponen di bawah iniGangguan tidurGangguan aktivitas sehari-hari, istirahat, dan/atau olahragaGangguan aktivitas di sekolah atau kerjaGejal muncul namun dan sangat mengganggu

Sumber: ARIA

2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Rhinitis Alergi

Rhinitis alergika merupakan penyakit multifaktorial yang dicetus oleh

interaksi gen-lingkungan, termasuk alergen inhalan dalam dan luar ruangan.

Adapun faktor-faktor lain yang berperan dalam perkembangan rhinitis alergi

dibahas selanjutnya

2.3.1 Hipotesis Hygiene

Insidensi rhinitis alergi menurun dengan meningkatnya jumlah

saudara,Wang,Okada riwayat tidur bersama dengan saudara yang lebih besar

sebelum anak berusia 5 tahun, paparan terhadap binatang peliharaan

sebelum usia 5 tahun,Ramsay dan riwayat anak dibesarkan pada lingkungan

Page 9: BAB II-Tinjauan Pustaka

9

pertanian atau peternakan tanpa melihat status atopi. Wang,Okada Adapun faktor

risiko rhinitis alergika adalah riwayat alergi pada orangtua. Ramsay

Pada tahun 1989, studi yang dilakukan oleh Strachan menunjukkan bahwa

atopik lebih dominan terjadi pada keturunnan pertama dan anak

tunggal.Borego,Wang Pada dekade yang sama, terjadi penemuan tipe sel limfosit

T-helper(Th), yakni Th1 dan Th2, dan diketahui bahwa sel Th1 berperan

pada infeksi dan autoimunitas (seperti pada penyakit diabetes tipe-1,

penyakit Crohn’s,dan multiple sklerosis), sedangkan sel Th2 lebih besar

memegang peranan pada mekanisme alergi (asma, rhinitis alergik, dan

dermatitis atopik). Bach,Maizels

“Hygiene Hy pothesis” menyatakan bahwa paparan terhadap infeksi pada

awal kehidupan sangat mempengaruhi perkembangan sistem imun pada

anak-anak melalui “nonallergic pathway”, yang menyebabkan menurunnya

risiko terjadinya asma dan penyakit alergi lain. Adanya ketidakseimbangan

antara produksi TH1 dan TH2 diduga sebagai kunci dari patogenesis asma

dan penyakit alergi terkait.Nelson,Ramsay,Wang Sel T helper (Th) merupakan

regulator kunci pada respon tersebut, yang dapat berdiferensiasi menjadi dua

subtype yaitu Th1 dan Th2 yang dikenali dari sitokin yang diproduksinya.

interleukin (IL)-2 adalah sitokin yang bersifat sel T untuk diferensiasi ke

arah Th1, sedangkan IL-4 merupakan sitokin penting dalam diferensiasi Th2

Penentuan fenotip sel T terpolarisasi ke arah Th1 atau Th2 dapat ditentukan

oleh kadar konsentrasi IL-2 atau IL-4.Rosita.Okada,Wang . Walaupun teori ini masih

dalam penelitian yang lebih lanjut, hubungan tersebut dapat menjelaskan

Page 10: BAB II-Tinjauan Pustaka

10

hubungan antara jumlah keluarga yang besar, urutan kelahiran, dan riwayat

anak yang dititipkan pada penitipan anak dengan menurunnya risiko

terjadinya asma dan penyakit alergi lainnya.Nelson

Secara fisiologis, pada kehidupan intrauterin, terjadi polarisasi sel Th2

dengan ekspresi sitokin yang intensif (IL-4, IL-10, leukaemia inhibiting

factor) yang berfungsi sebagai penyeimbang respo Th1 yang bersifat toksik

bagi plasenta. Tercatat ibu dengan riwayat atopik memiliki tingkat

keguguran yang lebih rendah dan kehamilan aterm tanpa komplikasi yang

lebih tinggi. Sebaliknya, plasenta wanita yang mengalami kegugugran

menunjukkan ekspresi sitokin oleh Th2 yang lebih sedikit. Borego Setelah

kelahiran, sebagai akibat dari stimulasi mikroba (patogenik atau saprofit),

terjadi pergesaran respon dari Th2 ke arah respon Th1 yang mengalami

konsolidasi selama paparan suksesif terhadap antigen mikroba, sehingga

berfungsi sebagai proteksi terhadap mikroba dan mencegah reaktivitas

respon Th2 yang menyebabkan proses alergi. Borego,Okada

Braun Fahrländer et al yang dikutip dari Weiss Weiss me nunjukkan bahwa

stimulasi sistem imun bawaan (innate) oleh endotoksin (lipopolisakarida

penyusun sel membran terluar bakteria gram negatif) berperan penting

dalam ontogeni sistem imun normal. Kadar endotoksin berbeda di setiap

lingkungan, namun cenderung lebih tinggi pada daerah pertanian dan

peternakan dengan kotoran mamalia ternak sebagai sumbernya, serta debu

pada rumahdan kotoran di luar rumah. Lipopolisakarida endotoksin dalam

kadar yang rendah merupakan induktor poten IL-12 dan interferon-gamma,

Page 11: BAB II-Tinjauan Pustaka

11

yang merupakan sitokin yang menstimulasi imunitas dimediasi Th1, yang

menurunkan produksi sitokin inflamasi Th2 seperti IL-4,IL-5, dan IL-13.

Wang,Okada Terakhir, lipopolisakarida meningkatkan defensin dan kolektin,

seperti protein surfaktan A pada paru-paru yang meningkatkan

perkembangan respon imun pada paru-paru neonatus. Weiss

Teori hygiene mempostulatkan bahwa peningkatan prevalensi penyakit

alergi dihubungkan dengan penurunan paparan terhadap mikroba, yang

disebut “hipotesis reduksi mikroba”. Dimana meningkatnya angka penyakit

terkait alergi merupakan konsekuensi dari terjadinya eliminasi penyakit

infeksi melalui vaksinasi seperti campak, hepatitis A atau tuberkulosis yang

menurun angkanya secara signifikan pada negara-negara berkembang dan

industri. Borego,Okada

Gambar 21. Konsep keseimbangan toleransi sel limfosit T pada alergi

Page 12: BAB II-Tinjauan Pustaka

12

2.3.2 Pengaruh Obesitas terhadap Alergi

Studi Medical Expenditure Panel Survey oleh Battacharyya dkk,

Battacharyya, di Amerika Serikat pada tahun 2008 dan 2010 berdasar survey

penggunaan pusat kesehatan yang menilai korelasi obesitas ( massa indeks

tubuh > 30 kg/m2) dengan kasus rhinitis alergika dewasa didapatkan total

17.6±0.6 juta kasus rhinitis alergika dewasa (7.7%±0.3%) dan 64.9±1.4

juta jiwa dewasa (29.0%±0.4%) diklasifikasi sebagai obese berdasar massa

indeks tubuh, dengan adjusted odds ratio untuk rhinitis alergika ketika

tersadat obesitas adalah 1.22 (P<.001, 95% confidence interval =1.12–1.33).

Meningkatnya massa indeks tubuh sebagai variabel kontinyu secara

signifikan terkait dengan rhinitis alergika (odds ratio=1.023, P<.001).

Faktor mekanik, hormon estrogen (estradiol bersifat modulator sekresi

IL-4 dari Cd4+ T helper), aktivitas sistem saraf simpatis, dan genetik

kemungkinan menjadi faktor penghubung antara obesitas dan alergi.Raj

Subjek obese dengan atau tanpa sindroma metabolik terkait dengan status

peningkatan inflamasi sistemikWahab termasuk inflamasi saluran nafas

Terdapat laporan postif yang menyatakan peningkatan berat badan akan ikut

meningkatkan inflamasi tipe Th2 pada orang dewasa dan anak diatas usia 5

tahun.Raj Hal yang menarik disampaikan Beuther dkk yang dikutip dari

Rosita Rosita bahwa asma pada obesitas terjadi body mass index cohort akibat

adanya pergeseran keseimbangan T helper 1 ke arah T helper 2, dan

Page 13: BAB II-Tinjauan Pustaka

13

perubahan respon imun di saluran nafas yang pada akhirnya menyebabkan

inflamasi dan hiperresponsitivitas saluran nafas. Boulet

Jaringan adiposa dapat berperan sebagai organ endokrin yang

menghasilkan adipokin, salah satunya leptin dan molekul pro-inflamasi

seperti TNF-alfa, IL-6, TGF -1, CRP.Raj Obesitas terkait dengan

meningkatnya kadar serum leptin dan menurunnya kadar adiponektin. Boulet

Adiponectin memiliki sifat antiinflamasi dan dapat menghambat produksi

serta efek sitokin proinflamasi seperti TNF-alfa dan IL-6, serta dapat

mengekspresikan sitokin antiinflamasi seperti IL-1 receptor antagonist dan

IL-10.Boulet,Raj Akan tetapi, adiponektin juga dapat bersifat proinflammasi

pada keadaan tertentu. Kadar adiponektin berbading terbalik dengan BMI

dan obesitas, serta meningkat dengan penurunan berat badan. Studi

menunjukkan bahwa kadar serum adiponektin yang rendah terkait dengan

meningkatnya prevalensi asma dan risiko asma pada wanita, sedangkan

kadar serum adiponektin yang tinggi berkorelasi dengan keluaran klinis yang

buruk (serangan yang lebih sering, pengunaan medikasi asma yang lebih

sering pada pasien asma pria.Raj

Leptin merupakan produk gen yang diekpresikan pada jaringan adiposa

yang bersifat proinflamasi dan peningkatan kadarnya dalam darah

meningkat. Leptin juga memiliki efek pada respon imun bawaan dan

adaptif. Bukti laboratoris menunjukkan peningkatan kadar leptin berasosiasi

dengan meningkatnya prevalensi asma pada anak laki-laki prepubertas dan

anak perempuan peri- dan postpubertas.Wahab,Raj

Page 14: BAB II-Tinjauan Pustaka

14

Terdapat hubungan yang erat antara derajat serum leptin dan jumlah

lemak tubuh dengan mRNA leptin sel lemak sehingga dapat dinyatakan

bahwa sekresi leptin adalah refleksi dari pembesaran dan peningkatan jumlah

sel lemak. Lebih jauh ekspresi leptin dan derajat ukuran jaringan lemak yang

meningkat dapat dipakai sebagai ukuran dari peningkatan cadangan

trigliserida di jaringan lemak.Raj,Rosita

Penilitan oleh Rosita ddk, Rosita menunjukkan adanya perubahan

keseimbangan sitokin Th1/Th2 pada kelompok yang diinduksi diet tinggi

lemak dibandingkan dengan kelompok diet normal.Konsentrasi interleukin-4

(sitokin Th2) pada kelompok diet tinggi lemak meningkat signifikan

sehingga melampaui konsentrasi Interleukin-2 (sitokin Th1) serum dengan

rasio 2,68 : 0,881.Hal ini menunjukkan adanya peningkatan sekresi

interleukin-4 yang cukup tajam setelah pemberian diet tinggi lemak.

Interleukin-4 adalah sitokin terpenting yang berperan dalam diferensiasi Th2

yang berperan dalam patogenesis rhinitis alergi sesuai teori hygiene.

Obesitas juga dapat mempengaruhi hormon sex yang juga mungkin

mempengaruhi perkembangan dan ekspresi gangguan atopi dan asam.

Dalam hal ini, berbagai studi telah membuktikan adanya korelasi antara

obesitas atau indeks massa tubuh dan atopi lebih dominan pada wanita

terutama pada masa postpubertas. Mekanisme dimana perubahan terkait

obesitas pada profil hormonal dapat menyebabkan asma hinga kini belum

begitu jelas. Adapun diperkirakan, estrogen dapat menstimulasi sekresi

interleukin seperti IL-3 dan IL-4 oelh monosit dan mendukung respon imun

Page 15: BAB II-Tinjauan Pustaka

15

tipe fenotip Th2. Sedangkan progesteron dapat menunjukkan sifat pro-

inflamasi. Studi oleh Viera et al, Viera menunjukkan bahwa obesitas

abdomoinal pada wanita terkait dengan kosentrasi estradiol bebas plasma

yang lebih tinggi, yang merupakan modulator sekresi IL-4 dari sel from T

helper CD4+. Sel mononukleus darah perifer yang diidolasi dari pasien

wanita yang ternsesitisasi oleh alergen tungau debu, ditemukan mensekresi

IL-4 dengan pola dosis-respon ketika estradiol ditambahkan pada media

inkubasi.

2.3.3 Pengaruh Atletik terhadap Alergi

2.3.4 Pengaruh Stress terhadap Alergi

How stress affects those with asthma is relatively well documented (2),

while sound prospective studies on the relationship between stress and

incidence of asthma and other atopic disorders such as rhinitis and dermatitis

are still few and the results are conflicting. A recent study from the UK

reported an association between several psychosocial factors and asthma

hospital admissions, especially among patients with existing asthma (4).

Another longitudinal study found a broken life partnership, but not

unemployment and death of a close person, to be associated with self-

reported incident asthma in 4010 middle-aged Germans (5). Neuroticism has

been conceptualized as a stress-related personality trait and was found to also

be associated with higher risk of asthma in this population. Contrary to these

Page 16: BAB II-Tinjauan Pustaka

16

results, Huovinen and colleagues found no effect of daily stress on incidence

of self-reported asthma among 11 000 younger adults (18 to 45 years) in

Finland. Rod

Recent findings suggest that stress, whether at the individual-

(i.e.,epigenetics, perceived stress), family- (i.e., prenatal maternal stress,

early life exposure or intimate partner violence) or community- (i.e..,

neighborhood violence; neighborhood disadvantage) level influences asthma

and asthma morbidity. Key recent findings regarding how psychosocial

stress may influence asthma through Post Traumatic Stress Disorder (PTSD),

pre-and post-natal maternal/caregiver stress, and community violence and

deprivation are highlighted. Yonas

2.4 Modalitas Terapi pada Rhinitis Alergi

Penanganan rhinitis alergika meliputi edukasi pasien, farmakoterapi, dan

inumoterapi spesifik alergen. Adapun tindakan operatif dapat digunakan sebagai

intervensi adjunctiva pada beberapa kasus tertentu, sedangkan kontrol terhadap

lingkungan hingga saat ini masih menjadi kontrovesi.ARIA,Jimminez Rekomendasi

kelas medikasi menurut The American Academy of Otolaryngology-Head and

Neck Surgery adalah sebagai berikut (Tabel 2.3)

Page 17: BAB II-Tinjauan Pustaka

17

Tabel 2.3. Rekomendasi Kelas Pengobatan

Sumber: The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery

2.4.1 Anti-Histamin Intranasal

Therapy usually starts with oral antihistamines, frequently initiated by the

patient, because a variety of these agents are available over the counter. Later-

generation antihistamines are less sedating than older agents and are just as

effective, so they are preferred.Wellez,Brozek Because of their relatively rapid onset of

action, antihistamines can be used on an as-needed basis. The few head-to-head

trials of nonsedating antihistamines have not shown superiority of any spe cific

agent over another.Wheatly Rekomendasi kelas antihistamin intranasal menurut The

American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery adalah sebagai

berikut (Tabel 2.4)

Tabel 2.4. Rekomendasi Kelas Anti Histamin Intranasl untuk Rhinitis Alergi

Page 18: BAB II-Tinjauan Pustaka

18

Sumber: The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery

2.4.2 Steroid Intranasal

Intranasal glucocorticoids are the most effective pharmacotherapy for

seasonal allergic rhinitis, yet their overall efficacy is moderate. Although the

clinical effects appear within a day, the peak effect in cases of perennial

rhinitis is not reached for several weeks.Bende The superiority of intranasal

glucocorticoids over antihistamines in the treatment of perennial allergic

rhinitis is uncertain.29 There are insufficient data to determine whether the

effectiveness differs among various intranasal glucocorticoids. For the ocular

Page 19: BAB II-Tinjauan Pustaka

19

symptoms of allergy, intranasal glucocorticoids appear to be at least as

effectiveas oral antihistamines.12

2.4.3 Cuci Hidung Saline Hipertonis

2.4.4 Anti-Histamin Oral

Sumber: The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery

2.4.5 Leukitrien Inhibitor

Page 20: BAB II-Tinjauan Pustaka

20

2.4.6 Dekongestan

2.4.7 Imunoterapi

In general population or general practice surveys, a third of children and

almost two thirds of adults report partial or poor relief with pharmacotherapy

for allergic rhinitis.Meltzer,White The next step in treating such patients is allergen

immunotherapy. Although allergen immunotherapy has traditionally been

administered subcutaneously in the United States, rapidly dissolving tablets

for sublingual administration were recently approved for treatment of grass

and ragweed allergy.Maloney,Creticos In subcutaneous immunotherapy, the patient

receives the offending allergen (or allergens) in increasing concentrations,

until a maintenance dose is reached. In sublingual immunotherapy, a fixed

dose of allergen is delivered beginning 12 to 16 weeks before the anticipated

start of the allergy season. In both cases, treatment continues with the

maintenance dose for several years. Immunotherapy down-regulates the

allergic response in an allergen-specific manner by a variety of mechanisms

still being elucidated. In addition to having proven efficacy in controlling

allergic rhinitis, immunotherapy also helps control allergic asthma and

conjunctivitis.Lin With immunotherapy, unlike pharmacotherapy, the effect

persists after the discontinuation of therapy. The positive effects of a 3-year

course of subcutaneous immunotherapy with grass extract were shown to

persist at least 3 years after

Page 21: BAB II-Tinjauan Pustaka

21

therapy was discontinued.Durham A recent study of grass sublingual

immunotherapy in which the allergen was given year-round also showed a

sustained benefit after the discontinuation of treatment.43 A disadvantage of

subcutaneous immunotherapy is that as the dose of allergen is being built up,

injections are required once or twice weekly; for maintenance therapy,

monthly injections can be adequate. If there is improvement in the first year,

injections are generally continued for at least 3 years. Data from randomized

trials are lacking to guide decisions about the duration of therapy.

Subcutaneous immunotherapy carries a risk of systemic reactions, which

occur in 0.1% of injection visits, in rare cases leading to life-threatening

anaphylaxis (1 reaction per 1 million injection visits).Epstein Although

subcutaneous immunotherapy has not been compared with sublingual

immunotherapy in large head-to-head trials, indirect comparisons suggest

that subcutaneous immunotherapy is more effective for symptom relief.45

However, sublingual immunotherapy has a clear advantage in terms of

safety, with very few reports of anaphylactic reactions.46 In contrast to

subcutaneous immunotherapy, sublingual immunotherapy is given at home

after the first dose, but that may not be as great an advantage as anticipated,

because daily treatment is required; adherence to therapy for the

recommended duration is lower with sublingual immunotherapy than with

subcutaneous immunotherapy.Kiel With subcutaneous immunotherapy, the

standard practice in the United States is to administer multiple allergens (on

average, eight allergens simultaneously in a single injection or multiple

Page 22: BAB II-Tinjauan Pustaka

22

injections) because most patients are sensitized and symptomatic on

exposure to multiple allergens.Cox It is not known whether multi-allergen

therapy results in better outcomes than single allergen therapy. Although

some older studies suggest a benefit of multi-allergen immunotherapy, most

trials showing the efficacy of immunotherapy involve a single allergen.Wheatly

2.4.8 Olahraga

Consult with an allergist and /or immunologist prior to starting an exercise

program. The physician may test you to determine what you are allergic to

and to possibly diagnose asthma. The doctor can then effectively treat the

symptoms and recommend activities to do and to avoid. Take all allergy

and asthma medications as prescribed. Breathe through the nose as much as

possible when exercising. The nasal passages act as natural filters and

humidifiers to maintain air at proper temperatures as well as filter out

allergens, pollutants, and irritants. Exercise indoors during extreme

temperatures and when allergen counts are high; pollen counts are usually

highest in the morning and increase again in the afternoon. When exercising

indoors, keep windows and doors closed to reduce allergen exposure; try to

exercise on mats rather than carpeting. When exercising outdoors, avoid

areas that contain high concentrations of allergens and irritants (e.g., fields,

trees, busy roads, factories). Always have your asthma rescue medication on

hand when exercising; you may be instructed to take your medication shortly

before exercise; use as prescribed by your physician. Perform a prolonged

Page 23: BAB II-Tinjauan Pustaka

23

aerobic warm-up and cool-down (15 minutes each) if you have asthma; this

can reduce the chances or severity of exercise-induced asthma. Postpone

exercise if asthma symptoms are not well-controlled of if you have a cold or

respiratory infection. If allergic to insect stings, carry prescribed epinephrine

when exercising outside. Know that some activities such as running,

cycling, and basketball are more likely to cause exercise-induced asthma;

resistance training, baseball, and swimming are less likely. Persons with

exercise-induced anaphylaxis should exercise with a partner and always

carry injectable epinephrine with them. Know the early signs of EIA, so

you can stop exercising before the symptoms progress o the later, more

serious ones.