Post on 20-Oct-2020
25
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Birokrasi Weberian
Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat yang
kehadirannya tidak bisa dihindari dalam konsep negara modern. Hadirnya
birokrasi sebagai konsekuensi logis dari tugas utama negara (pemerintahan) untuk
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Negara dituntut
untuk terlibat secara langsung dalam memproduksi barang dan jasa yang
diperlukan oleh rakyatnya (public goods and services), baik dalam keadaan
tertentu negara memutuskan apa yang yang terbaik bagi rakyatnya. Untuk itu
negara membangun sistem administrasi yang bertujuan untuk melayani
kepentingan rakyat yang disebut sebagai birokrasi.38
Perkembangan dan pertumbuhan masyarakat yang secara dinamis disertai
dengan peningkatan taraf hidup dan pendidikan masyarakat ditambah dengan
berkembangnya kemajuan di bidang teknologi dan informasi menjadikan
peningkatan proses pemberdayaan lingkungan masyarakat menjadi penting. Oleh
karena itu pelayanan bagian dari sektor publik juga diharpakan mengikuti
perubahan yang terjadi secara cepat dan dinamis sebagaimana di masyarakat.39
Keberhasilan pembangunan ekonomi, sosial dan politik di negara
manapun tergantung pada kualitas dan efektifitas aparatur birokrasi. Oleh sebab
itu, karena merekalah yang mejadi pelaksana kebijakan dari suatu negara atau
38. Eko Prasojo, Dkk. “Mengurai Benang Kusut Birokrasi” Upaya Memperbaiki Centang-
Perenang Rekrutmen PNS. (Depok, PIRAMEDIA. Cetakan pertama 1 Agustus 2006). Halm 76 39. Habibuddin Siregar, “Analisi Kinerja Aparatur Biorkrasi”. Vol, 1. No, 1. Juni 2011. Halm 51
26
pemerintah.40 Tuntutan masyarakat terhadap pelayan publik terus meningkat
seiring dengan meningkatnya dinamika masyarakat dan perkembangan jaman,
kondisi ini perlu di imbangin dengan kualitas aparatur birokrasi yang baik, peka
dan tanggap dalam menangkap aspirasi masyarakat. Untuk mendukung,
mempercepat dari pembangunan negara dan daerah dibutuhkanlah posisi birokrasi
dan aparatur sipil negara yang netral dan profesional dalam menjalankannya. 41
Posisi birokrasi dan aparatur sipil negara sebagai pelayan sektor publik
haruslah menciptakan suatu sistem pelayanan yang lebih efektif dan efisien dan
melahirkan kebijakan publik yang rasional dan demokratis secara profesional.
Profesionalisme birokrasi dan netralnya aparatur sipil negara tersebut
menggambarkan bahwa tugas utama dari birokrasi adalah mengabdi atau
memberikan pelayan kepada masyarakat dalam menjalankan tugas dan fungsi
demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan dari negara.
Secara konsep, menurut Weber birokrasi adalah organisasi yang ditunjukan untuk
memaksimumkan efisien dalam organisasi yang memiliki spesialisasi tugas-tugas,
hierarki otoritas badan perudang-undangan, sistem pelaporan yang baik untuk
memudahkan dalam tanggung jawab serta anggota memiliki keahlian khusus
dalam menjalankan tugasnya.42
Dalam terminologi ilmu politik model birokrasi Weber tersebut
menganggap sebuah birokrasi sebagai sebuah organisasi kolektif terdiri dari
40 Rudi Kinandung, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Birokrasi Pemerintah”. Vol,
1. No, 1. Juni 2012. Halm 35 41. Marzuki, M. Ag. Dkk. Artikel, “Model Birokrasi Pemerintahan Era Otonomi Daerah”. Halm 4.
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132001803/penelitian/28.+Model+Birokrasi+Pemerintah+Era+Ot
onomi+Daerah.pdf. Di akses pada tgl 1 juni 2018
42. Data Wardana & Geovani Meiwanda, “Reformasi Birokrasi Menuju Indonesia Baru, Bersih
dan Bermartabat”. Vol, III. No, 1. April 2017. Halm 331.
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132001803/penelitian/28.+Model+Birokrasi+Pemerintah+Era+Otonomi+Daerah.pdfhttp://staffnew.uny.ac.id/upload/132001803/penelitian/28.+Model+Birokrasi+Pemerintah+Era+Otonomi+Daerah.pdf
27
pejabat-pejabat yang secara jelas dan pasti dalam menjalankan tugas dan fungsi
berdasarkan kewenangan serta penggaruh dari pejabat tersebut dapat dirasakan
oleh seluruh anggota organisasi. Karena pada pada hakekatnya birokrasi
mengadung implikasi pengorganisasian yang tertib, tertata dan teratur dalam
hubungan kerja yang secara berjenjang serta aturan prosedur dalam garis tatanan
organisasi.43 Weber mengutarakan bahwa ada tiga otoritas kewenangan yang
dimiliki oleh seseorang dalam organisasi birokrasi. Pertama, otoritas rasional.
Kedua, otoritas tradisonal, dan ketiga otoritas kharismatik.
Netralitas dari fungsi birokrasi pemerintanhan dalam konsepnya weber
dikenal dengan konservatif, menurut weber birokrasi dibentuk atas dasar netral
dan tanpa adanya gangguan dari yang dapat merusak birokrasi dari kekuatan
politik, artinya birokrasi pemerintah diposisikan sebagai kekuatan yang netral
dalam sebuah negara yang berkerja sesuai dengan aturan yang berlaku dalam
bidangnya. Netralitas birokrasi secara esensial menjadi menjadi penting dalam
memenuhi hajat hidup orang banyak tanpa memihak terhadap kelompok terentu.
Artinya siapapun yang memerintah dalam sebuah negara birokrasi tetap
memberikan pelayan pada sektor publik secara efektif dan efisien.44
Birokrasi weberian menekankan aparatur birokrasi untuk menjalankan
prosedur yang telah ditetapkan, dengan begitu akan tercipnya kesinambungan
secara kelembagaan yang mengarah pada birokrasi ideal. Pandangan dari
pendapat Weber tersebut melahirkan pegawai birokrasi bekerja atas dasar aturan
43. Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu politik”. (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan
keempat, Oktober 2010). Halm 64 44. M. Adian Firnas, “Politik dan Birokrasi: Masalah Netralitas Birokrasi di Indonesia Era Reformasi”. Vol, 06. No, 01. Juni 2016. Halm 165
28
yang berlaku, juga melahirkan pegawai birokrasi yang bekerja tanpa adanya
intervensi dari pengaruh kekuasaan. Untuk itulah proses pengisian jabatan
pegawai birokrasi dilakukan atas dasar kemampuan yang dimilikinya, bukan atas
dasar kekeluargaan maupun pilihan politik.
Konsep netralitas birokrasi selain dari pandangan Weber ialah merujuk
pada huruf f pasal 2 UU No. 5 tahun 2014 secara eksplisit menyatakan bahwa
tidak berpihak kepada segala bentuk pengaruh manapun dan tidak kepada
kepentingan siapapun yang nantinya dapat mengganggung proses pelayan publik
yang diakibatkan konflik kepentingan ASN. Netralitas birokrasi berdasarkan apa
yang ada pada undang-undang tersebut dapat diartikan bahwa aparatur sipil
negara tidak boleh berperan secara langsung maupun secara tidak langsung dalam
kegiatan partai politik ataupun pada hal-hal yang berkaitan dengan politik praktis,
penekankan terhadap ASN ini menjadikan ASN fokus pada tanggung jawab yang
berkaitan dengan pelayanan publik secara luas dan merata. Secara umum dapat
digambarkan bahwa ciri model utama netralitas politik birokrasi ialah aparatur
sipil negara independen, non ideologi partai politik ataupun berafilisasi dengan
kepentingan politik, serta bebas dari intevensi dari berbagai kelompok.45
Untuk dapat melihat birokrasi secara netral, ada beberapa standar yang
sudah ditentukan dan disepakati secara umum dengan mengacu kepada kerangka
teorinya Weberian maupun undang-undang yang membahas tentang birokrasi.
Birokrasi yang netral: Pertama, birokrasi tidak menjadi alat bagi kelompok
kekuatan politik serta pengaruh apapun yang dapat merusak sakralnya birokrasi.
45. Firman Bagus Budiono, “Netralitas Aparatur Sipil Negara pada Pilkada Kabupaten Lamongan Tahun 2015”.
29
Dengan begitu usaha untuk menciptakan tatakelola birokrasi yang ideal dapat
dicapai dan diwujudkan. Kedua, tidak ada usaha dari pemerintah untuk
memasukan orang-orang partai politik dalam jajaran stuktural birokrasi. Selain itu
juga anggota birokrat tidak terikat secara politik dengan kelompok politik
manapun. Ini dimaksudkan sebagai solusi dalam menciptkan sumber saya
manusia yang profesional dalam bekerja tanpa pengaruh dan tekanan dari
kepentingan kelompok tertentu yang dapat menghambat proses bekerjanya
birokrasi. Ketiga, sistem kenaikan jabatan tidak dapat di intervensi oleh
kepentingan politik, ini menunjukan bahwa merit sistem diterapkan secara efektif
dengan mengacu kepada kualitas serta kompentensi aparatur birokrasi. Dimana
hal tersebut menjadi efektik ketika seluruh elemen dalam birokrasi melakukan
standar prosedur dengan azas-azas pemerintahan yang baik sehingga dapat
terwujudnya tatakelola pemerintahan yang baik good governance. Keempat,
birokrasi merupakan alat negara untuk memberikan pelayan kepada sektor publik,
dengan itu kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Salah satu cara yang untuk
mewujudkan hal tersebut ialah dengan proses pertanggung jawaban seluruh
perangkat birokrasi dalam menggunakan anggaran ataupun menggunakan sumber
daya yang lain. Dengan begitu akan lahir satu kesatuan yang baik dari hilir sampai
ke hulur tentang sistem pengelolaan dan sistem kerja birokrasi, hal mana maksud
dari ini semua adalah proses untuk mewujudkan tata kelola birokrasi ideal.46
Dalam hubungan hukum antara negara dengan aparatur sipil negara, telah
ditegaskan ketentuan pembatas antara perilaku aparatur sipil negara yang berkerja
46. Liane Irma Veronsia Leleng, dkk “Netralitas Aparatur Sipil Negara Pada Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah Tahun 2015”. (Studi di Kecamatan Tatapan Kabupaten
Minahasa Selatan). Vol, 1. No, 1. Tahun 2018.
30
dalam instansi pemerintah. Hubungan ini disebut dengan hubungan dinas publik.
Inti dari hubungan dinas publik tersebut adalah kewajiban bagi aparatur sipil
negara yang bersangkutan untuk tunduk dan patuh terhadap perintah maupun
larangan. Patuh dan tuntuk atas segala perintah dan larangan ini sebagai wujud
nyata dari jabatan yang diemban sebagai aparatur birokrasi. Dengan begitu akan
menciptakan kondisi yang positif dalam tataran birokrasi.
Dalam penerapan hubungan publik ini berkaitan langsung dengan
pengangkatan aparatur sipil negara (pemerintah) yang dikenal dengan teori
contract sui generis, dalam teori ini menekankan apsek khusus bagi aparatur sipil
negara untuk mengedepankan aspek kualifikasi kompetensi dalam proses
pengangkatan dan netral dalam melaksanakan fungsi dan tanggung jawab sebagai
pelayan publik. Artinya konsep merit sistem dalam pengangkatan aparatur
birokrasi merupakan poin utama, dengan begitu upaya menciptakan SDM yang
baik dapat berjalan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan jaman. 47
Secara konseptual, merit sistem berpijak pada human capital management
yang didasarkan pada kombinasi aspek pengetahuan, keterampilan dan
kemampuan aparatur sipil negara untuk menghasilkan pelayanan publik yang
efektif dan efisien. Lebih lanjut dalam konsideran UU ASN sebagaimana
ditegaskan pada pasal 51 menyatakan manajemen ASN diselenggarakan
berdasarkan merit sistem, yaitu kebijakan yang berdasarkan pada kualifikasi,
kompetensi dan kinerja secara adil dan wajar tanpa menbedakan latar belakang,
47. Sri Hartini, Setiajeng Kandarsih & Tedi Sudrajat, “Kebijakan Netralitas Politik Pegawai Negeri Sipil dalam Pemilukada” (Studi di Jawa Tengah). Vol, 1. No, 3. Tahun 2014. Halm 540
31
ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau
kondisi kecacatan.
Konsep ini sebagai jawaban bagaimana aparatur sipil negara mempunyai
kompetensi sesuai dengan jabatan yang di emban dalam posisi kerjanya pada
instansi pemerintahan. Dengan adanya konsep merit sistem sesuai dengan
pembentukan asas-asas dari netralitas. Dengan melihat secara objektif dalam
proses pengangkatan aparatur sipil negara dan tidak terpengaruh pada
kepentingan kelompok dalam rangka mewujudkan profesionalisme kerja aparatur
sipil negara, adanya aspek tersebut dapat meminimalisir terjadinya intervensi
dalam proses pengangkatan dan penempatan aparatur sipil negara dalam
menduduki jabatan publik.48
Dari deskripsi tentang birokrasi serta pentingnya netralitas birokrasi yang
dikemukakan tersebut, baik dari perspektif teori dan undang-undang khususnya
terkait dengan eksistensi anggota/birokratnya dalam kehidupan organisasi.49
Sangat jelas bahwa peranannya merupakan sesuatu yang tidak mungkin
dilepaskan dari tujuan-tujuan akhir suatu negara, yaitu terwujudnya kesejahteraan
masyarakat. Secara umum, birokrasi merupakan keseluruhan organisasi
pemerintah yang menjalankan tugas-tugas negara dalam berbagai unit organisasi
pemerintah untuk mewujudkan pelayanan yang efektif dan efisien.
Birokrasi pemerintah dapat dibedakan dalam tiga ketegori, yaitu: (1)
Birokrasi pemerintahan umum, yaitu rangkaian organisasi pemerintahan yang
48. Tedi Sudrajat & Sri Hartini, “Rekonstruksi Hukum Atas Pola Penanganan Pelanggaran Asas Nertalitas Pegawai Negeri Sipil”. Vol, 29. No, 3. Oktober 2017. Halm 447 49. Tatang Sudrajat, “Netralitas PNS Dan Masa Depan Demokrasi Dalam Pilkada Serentak
2015”.Vol, XII. No, 3. Desember 2015. Halm 353
32
menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban
dan keamanan. (2) Birokrasi pembangunan, yaitu organisasi pemerintahan yang
menjalankan salah satu bidang di sektor yang khusus guna mencapai tujuan
pembangunan. (3) Birokrasi pelayanan, yaitu unit organisasi pemerintahan yang
pada hakikatnya berhubungan langsung dengan masyarakat, yang dimana fungsi
utamanya adalan pelayanan sektor publik.50
Bila dilihat dari konsepsi dasar tentang birokrasi sebagaimana yang
dikemukanan oleh penggagas awal dari terbentuknya birokrasi, baik dalam
pengertian yang rasional, patologi birokrasi maupun birokrasi yang bersifat netral,
maka sebernanya dari awal perdebatan tentang birokrasi merupakan konsensus
untuk bagaimana menempatkan birokrasi sebagai penghubung antara negara
dengan masyarakat, agar dapat terjalin jalinan yang kondusif dalam pelaksanaan
dan perwujudan cita-cita negara dan amanat kostitusi, yaitu memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam domain masyarakat terdapat berbagai kepentingan khusus yang
membawa kepentingan para profesi dari berbagai latar belakang, sedangkan
negara mewakili kepentingan umum. Sebagai konsekuensi logis tersebut,
birokrasi sebagai sarana perwujudan yang menghubungkan antara negara dan
masyarakat dalam tatanan kehidupan sosial, sehingga akan terbentuknya satu
kesatuan yang utuh dalam sistem pemerintahan yang baik.
Intisari dari teori maupun naskah akademik dari undang-undang birokrasi
yang menekankan pentingnya netralitas dari birokrasi, karena dengan netralnya
50. Syamsul Ma’arif, “Posisi Strategis Birokrasi Dalam Transformasi Government ke
Governance”. Vol, 4. No, 2. Juli-Desember 2013. Halm 112
33
birokrasi dapat menjadi jembatan dari berbagai kepentingan, sehingga dengan itu
tidak terjadi ketimpangan dan diskriminasi diantara berbagai tujuan tersebut
dalam mencapai kepentingan serta kemajuan negara.
Perjalanan antara birokrasi dan demokrasi merupakan dua sisi yang
berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan, karena dalam upaya mencapai sebuah tujuan
demokrasi yang ideal dibutuhkan birokrasi didalamnya yang dapat menciptakan
pelayan sektor publik yang baik untuk dapat mensingkronasi berbagai
kepentingan dalam penyelenggaraan pemerintah, hal ini juga seringkali birokrasi
dapat pula menjadi penghambat dalam menciptakan birokrasi karena menurunnya
kualitas dari birokrasi yang nantinya berpengaruh secara luas pada pelayanan
sektor publik.
Terdapat beberapa karakter utama dalam melihat dan memahami proses
perjalanan sebuah birokrasi. Diantaranya, Pertama, domain dalam wilayah
kemandirian birokrasi yang masih berada pada kategori rendah namun pada
wilayah yang lain adalah demokrasi yang dijalani masih ada pada wilayah yang
lebih rendah, maka birokrasi diletakkan sebagai instrumen dari penguasan serta
keberpihkan dalam politik serta memobilisasi masa dalam mendapatkan
keuntungan secara pribadi maupun kelompok dalam kegiatan politik. Dalam
sejarah birokrasi di Indonesia diawal kemerdekaan sempai pada awal reformasi,
kondisi birokrasi Indonesia mengalami posisi yang buruk karena birokrasi tidak
sepenuhnya menjalankan fungsi secara semestinya, tetapi birokrasi dijalankan
dengan orientasi untuk kelompok-kelompok tertentu.
34
Kedua, dalam wilayah kemandirian birokrasi untuk mengelola sumber
daya masih berada pada kategori menengah, hal ini menunjukan belum adanya
perubahan pengelolaan birokrasi secara signifikan, pada wilayah yang lain
demokrasi juga masih belum mapan untuk menciptakan sebuah sistem yang ideal.
Perjalanan birokrasi sebagai penghubung kepentingan publik masih jauh dari
kenyataan, justru sebaliknya birokrasi bekerja untuk rezim, akhirnya melahirkan
sistem sentralistik.
Ketiga, tingkat kemandirian birokrasi yang tinggi dan orientasi sudah
berubah, yakni tingkat kerja yang efektif dan efisien serta kualitas pelayanan
sektor publik yang baik. Sedangkan karakter birokrasi ini dapat dilihat sejak masa
transisi demokrasi pada tahun 1998 sampai saat ini.51 Untuk mendukung
terciptanya penyelenggaran pemerintah maupun untuk merubah sistem kerja
birokrasi yang kaku dan pasif perlu dilakukan reformasi birokrasi yang
berorientasi untuk membentuk aparatur sipil negara yang kompoten dan
profesional menuju tata pemerintahan yang baik. Upaya secara serius ini agar
dapat dilihat dan rasakan oleh seluruh masyarakat tentang eksitensi birokrasi
sebagai pelayan masyarakat.
Perkembangan birokrasi modern di berbagai negara telah menjadikan satu
diskusrsus yang menyedot perhatian masyarakat dunia, dimana fungsi birokrasi
sebagai pelayan publik menjadi satu indikator dari kemajuan suatu negara.
Indonesia maupun negara-negara di dunia menitikberatkan birokrasi sebagai pilar
penting dalam pelaksanaan program pembangunan pemerintah.
51. Firman Bagus Budiono, “Netralitas Aparatur Sipil Negara pada Pilkada Kabupaten Lamongan Tahun 2015”.
35
Seiring berjalannya waktu, proses pelaksanaan birokrasi pemerintahan,
baik pemerintahan pusat dan pemerintah daerah di Indonesia melahirkan jenis
model birokrasi yang cenderung kaku dan bersifat sentralistik, sehingga
membentuk budaya patologi birokrasi. Keadaan ini di perparah dengan kondisi
birokrat yang cenderung mengedepankan nilai-nilai primordial dalam proses
pelayanan sektor publik, dan akibatnya pelayanan publik tidak sesuai dengan
filosofi birokrasi dan asas dari good governance.52
Menurut Mustopadidjaja,53 pengalaman dalam pelayanan birokrasi di
Indonesia masih berjalan stagnan, bahwa birokrasi tidak senantiasa dapat
menyelenggarakan tugas fungsinya secara otomatis dan independen serta
manghasilkan kinerjan yang signifikan, sehingga berimplikasi pada pelayan yang
efektif dan efisien. Kondisi itu terlihat dari hasil kajian Bapennas yang
menujunkan bahwa diantara permasalahan birokrasi di Indonesia adalah tingkat
penyalahguaan wewenang dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme.
Untuk itu perlu permbenahan secara serius yang mengarah pada reformasi
birokrasi. Dalam meningkatkan kualitas pelayan publik yang sesuai dengan
kebutuhan dan harapan masyarakat, instansi pemerinatahan sebagai
penyelenggaran pelayanan harus berpedoman pada Undang-undang No. 25 Tahun
2009 tentang pelayanan publik. Dalam pasal 2 UU tersebut pelayanan publik
52. Jaelan Usman, “Manajemen Birokrasi Profesional Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik”.
Vol, 1. No, 2. Oktober 2011. Halm 104 53 Adam Idris, ( Jurnal Paradigma) “Bingkai Reformasi Birokrasi Indonesia”. Vol, 2. No, 3.
Desember 2013. Halm 355
36
dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara
masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik.54
Reformasi bermakna perubahan tampa merusak. Dengan demikian proses
reformasi bukan proses yang radikal dalam merubah tata kelembagaan birokrasi
mupun budaya birokrasi. Reformasi birokrasi berdasarkan teori weberian adalah
upaya strategis dalam menata kembali birokrasi yang sesuai dengan prinsip-
prinsip good governance.
Reformasi birokrasi bertujuan menciptakan birokrasi dan pemerintah yang
profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas dan bersih dari korupsi,
kolusi dan nepotisme serta mampu melayani publik secara netral, sejahtera
maupun memegang teguh nilai dasar dan kode etik aparatur negara, dengan hasil
akhir, yakni terwujudnya pemerintah yang bersih dan bebas KKN, meningkatnya
kualitas pelayanan kepada masyarakat dan meningkatnya kapasitas dan
akuntabilitas kinerja birokrasi.55
2.2 Birokrasi dan Politik
Birokrasi merupakan alat pemerintah yang dapat mempermudah pelayanan
pada sektor publik, dengan adanya birokrasi pelayanan dapat dilakukan lebih
mudah sekaligus memberikan jaminan kesejahteraan pada masyarakat. Secara
singkatnya birokrasi sebuah lembaga yang menjadi kepenjangan tangan dari
negara dalam melaksanakan kebijakan publik yang dapat menampung seluruh
54 Henny Juliani, “Perubahan Perilaku Aparatur Sebagai Model Dalam Mewujudkan Reformasi
Birokrasi yang Berkualitas”. Vol, 2. No, 1. Maret 2019. Halm 124 55 Muhtar, ( Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial) “Efek Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Terhadap Kepuasan Penerima Layanan pada PSPA Satria, PSMP
Antasena dan BBRSBD Prof Dr Soeharso”. Jurnal PKS Vol, 13. No, 4 desember 214. Halm 377.
https://ejournal.kemsos.go.id/index.php/jpks/article/view/1299/708
37
aspirasi dan kebutuhan masyarakat secara luas. Untuk itu, dengan adanya
birokrasi harus mampu melayani publik secara proposional dan profesional.
Birokrasi harus terus memacu kemapuan diri dan tetap bersikap profesional,
mengenyampingkan hal itu membuat birokrasi akan jatuh dalam praktek patologi
sehingga akan terjemurus dalam korupsi, kolusi dan nepotisme.56
Dalam konsep paradigma politik dan birokrasi menurut padangan Graham
Allison yang di ulas oleh Frederickson dalam bukunya The Public Administration
Theory Primer57 menegaskan bahwa peran ganda birokrasi dan politik, dimana
kedua sistem ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, proses dari
pembuatan kebijakan bersifat politik, sedangkan pelaksanaan kebijkan
dilaksanakan oleh birokrasi, inilah yang menyebabkan bahwa birokrasi dan politik
tidak dapat dipisahkan namun berjalan secara beriringan satu dengan yang lain.
Paradigma politik birokrasi menjelaskan bahwa tindakan-tindakan
pemerintah merupakan hasil bergaining dari hasil tawar-menawar diantara
elemen-elemen organisasi dalam pemerintah. Pandangan yang menjelaskan posisi
antara politik birokrasi merupakan kedua hal dihasilkan dari proses tawar-
menawar yang dilakukan oleh pemerintah, karena hal ini dapat diartikan sebagai
kesatuan dari kerjasama dua sistem untuk dapat melahirkan sebuah kebijakan
yang nantinya dapat di implementasikan dalam kehidupan sosial. Birokrasi
sebagai jembatan penghubung diantara masyarakat, swasta dengan pemerintah.
Menurut Guys Peters sumber kekuasaan penting yang dimiliki oleh birokrasi;
personifikasi negara, penguasaan informasi dan keahlian, decesion making,
56. Dida Daniarsyah, (Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi) “Bureaucratic Political And Neutrality
Of Bureaucracy In Indonesia”. Vol, 2. No, 2. Desember 2015. Halm 86 57 Ibid, 87
38
dukugan politik, status sosial yang tinggi dan kelembagaan yang bersifat
permanen. Inilah alasan utama mengapa birokrasi dijadikan sebagai sistem yang
menghubungkan masyarakat dan pemerintah.
Didalam bukunya Politics and Administration, Goodnow berpendapat
bahwa ada dua fungsi pokok pemerintahan yang berbeda satu dengan yang
lainnya. Dua fungsi pokok tersebut ialah politik dan administrasi politik menurut
Goodnow harus melakukan kebijakan-kebijakan atau melahirkan keinginan, serta
kepentingan negara.58 Sementara administrasi diartikan sebagai suatu yang harus
berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan. Adanya pemisahan kekuasaan
tersebut memberikkan dasar perbedaan bahkan perdebatan mengenai divisi kerja
dalam proses kebijakan antara pihak politik dan administratif selalu terjadi setelah
terbentuknya manejemen publik Pemisahan politik dan administrasi ini bertujuan
untuk sebagai pemisahan tugas struktural yang berkaitan dengan rekomendasi
kebijakan, regulasi dan kontrol, kepemilikan,dan distribusi dan sebagainya.59
Munculnya respon terhadap pemisahan antara birokrasi lama yang
menggabungkan pekerjaan kebijakan dari implementasinnya di sebuah sistem
administrasi dalam ruang lingkup yang besar merupakan antitesis yang baru
dalam pengeloalaan birokrasi pemerintahan modern. Sehingga diyakini bahwa
pihak administrasi yang saling berjauhan harus fokus pada implementasi
kebijakan dari pada terlibat dalam proses pengambilan keputusan, maupun pada
proses perluasan kekuasaan. Birokrasi memiliki peranan yang pokok menjalakan
58 Wayu Eko Yudiatmaja, ( Jurnal Ilmu Administrasi Negara FISIP UMRAH). “Politisasi
Briokrasi: Pola Hubungan Politik dan Birokrasi di Indonesia”. Halm 11 59. Mashur Hasan Bisri, “Kontrol Politik Birokrasi Dalam Kebijakan Publik”. Vol, 2. No, 2.
Oktober 2017. Halm 122
39
seluruh kebutuhan masyarakat, yang nantinya akan berpengaruh pada kondisi
sebuah Negara ataupun daerah.
Menurut Miftah Thoha, lembaga birokrasi di Indonesia dalam ini
pemerintah sering kali melahirkan kerajaan terhadap pejabat, nantinya akan
mengara kepada akumulasi ekonomi dan akumulasi kekuasaan60, nantinya pejabat
tersebut akan memamerkan kekuasaan yang disusun secara susunan dari atas ke
bawah berdasarkan tugas dan fungsi dari masing-masing pejabat. Politik dan
birokrasi pemerintah keduanya berbeda akan tetapi tidak bisa dipisahkan,
kehadiran politik dalam birokrasi tidak bisa bisa dihindari (karena hidup dalam
satu atap yang sama). Oleh karena itu perlu ada korelasi secara kelembagaan
politik dalam birokrasi, maupun sebaliknya.61
Praktek pemerintah dijelaskan Toha, hampir semua negara dimanapun
melihat bahwa perbuatan yang selalu dilakukan oleh pemerintah dijalankan secara
langsung dengan menggunakan tenaga birokrasi adalah upaya terbaik dalam
menciptakan fungsi tertentu dan menetapkan peraturan yang diikuti oleh seluruh
pihak, birokrasi pemerintah menjadi bagian dalam menbawa perubahan
pembangunan.
Dalam teori politik dan birokrasi bahwa dalam keadaan dan kondisi
apapun birokrasi akan selalu berjalan beriringan dengan politik bahkan pada
kategori yang lebih rendah. Karena birokrasi menjadi bagian utama pemerintah
dalam mewujudkn proses kebijakan dari hasil produk politik. Pada sisi yang lain
60 Miftah Thoha, “Birokrasi Pemerintahan dan Kekuasaan di Indonesia”. (Yogyakarta, Matapena
Institute. Cetakan ke 1 September 2012) Halm 55 61. Mifta Thoha, “Birokrasi Politik di Indonesia” (Jakarta, Rajawali Pers, Cetakan ke 7 Februari
2010). Halm 27
40
pejabat birokrasi memiliki hasrat untuk mendapatkan dan mempertahankan posisi
kekuasaan dalam jabatan publik. Perjalanan panjang birokrasi pemerintah tidak
bisa lepas dari proses dan kegiatan politik, jika telusuri secara mendalam bahwa
pada setiap gugusan masyarakat yang membentuk suatu tatanan pemerintah tidak
bisa lepas dari aspek politik. Tidak akan mungkin memisahkan birokrasi dari
pengaruh politik atau sistem politik di suatu negara, termasuk Indonesia.62
2.3 Netralitas Birokrasi di Indonesia
Netralitas dalam administrasi negara atau pemerintahan sangat sulit
diwujudkan. Netralitas yang baik memang tidak boleh memihak di antara pro dan
kontra. Akan tetapi, sebenarnya ialah netralitas adalah memihak yang sesuai
kebenaran dengan pertimbangan yang ilmiah dan suara hati nurani serta tanggung
jawab yang sesuai dengan azas netralitas dan profesionalime. Dalam sistem
pemerintahan yang demokratis seperti saat ini, kehadiran partai politik tidak bisa
dihindari, termasuk dalam tatanan sistem birokrasi pemerintahan. Birokrasi suatu
sistem yang menekankan pada aspek kompetensi serta profesionaslime dalam
mengemban tugas dan fungsi sebagai pelayan publik secara optimal.63
Seiring dengan berbagai perubahan yang terjadi didalam sistem politik
Indonesia, politik Indonesia berubah secara drastis dengan munculnya berbagai
partai politik dengan idiologi yang berbeda-beda. Dalam kaitannya dengan
netralitas birokrasi, Indonesia menganut sistem netralitas birokrasi weberian. Oleh
karena itu partai politik sebagai alat untuk mencapai kekuasaan politik harus
62. Dida Daniarsyah, (Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi) “Bureaucratic Political And Neutrality
Of Bureaucracy In Indonesia”. Vol, 2. No, 2. Desember 2015. Halm 93 63. Mifta Thoha, Artikel “Netralitas Administrasi Negara”.
https://media.neliti.com/media/publications/52338-ID-kultur-birokrasi-patrimonialisme-dalam-
p.pdf. Di akses pada tgl 9 Juli 2018
https://media.neliti.com/media/publications/52338-ID-kultur-birokrasi-patrimonialisme-dalam-p.pdfhttps://media.neliti.com/media/publications/52338-ID-kultur-birokrasi-patrimonialisme-dalam-p.pdf
41
bebas dari birokrasi. Untuk itu dikeluarkan peraturan yang menegaskan bahwa
PNS/ASN tidak boleh terlibat menjadi anggota partai politik maupun terlibat
dalam politik praktis. Hal ini dapat di lihat dari UU No, 5 Tahun 2014 Tentang
ASN. Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri
Sipil, Surat Edaran MENPAN No. B/71/M.SM.00.00/2017, Surat Edaran Komisi
Aparatur Sipil Negara No. B-2900/KASN/11/2017 dan UU No. 10 Tahun 2016
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Beberapa standar aturan yang telah ditetapkan untuk menjaga aparatur
sipil negara (birokrasi) untuk tetap mengedepakan aspek netralitas dan
profesionalisme dalam jabatan publik belum sepenuhnya berimplikasi positif
terhadap prakter politik yang dilakukan oleh aparatur birokrasi. Tentu ini menjadi
paradoks dengan cita-cita luhur untuk membentuk aparatur birokrasi yang ideal
dan bertintegritas.
Banyaknya perangkat peraturan yang mengarah kepada terwujudnya
aparatur birokrasi yang profesional dan untuk mewujudkan good governace
merupakan wajah baru terhadap proses perjalan birokrasi di Indonesia. Namun,
produk hukum tersebut bukanlah jaminan bahwa proses perubahan untuk
mengikat aparatur birokrasi tetap independen. Persoalan lain adalah lemahnya
peneggakkan hukum bagi yang melanggar menjadi salah satu tantangan dalam
mewujudkan netralitas birokrasi di Indonesia. Hal ini juga menjadi salah satu
tantangan dalam mewujudkan sistem peradilan yang sehat di Indonesia.
Birokrasi sesuai dengan kedudukannya dalam penyelenggaraan kegiatan
pemerintahan dan pembangunan, menguasai informasi serta dukungan sumber
42
daya yang tidak di miliki oleh pihak lain. Birokrasi memegang peran penting
dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan berbagi kebijakan publik, serta
dalam evaluasinya. Dalam posisi yang strategis tersebut, adalah logis apabila ada
setiap perkembangan politik selalu terdapat kemungkinan dan upaya untuk
mengintervensi birokrasi dalam politik praktis serta menarik birokrasi untuk
masuk dalam partai politik tertentu.
Perilaku birokrasi berkembang dalam pengaruh politik seperti itu dan
menjadi tidak netral, maka birokrasi seharusnya mengemban misi menegakkan
“kuaslitas, efisiensi, dan efektivitas pelayanan secara netral dan optimal kepada
masyarakat” besar kemungkinan akan berorientasi pada kepentingan partai atau
kelompok tertentu yang mempunyai kesamaan pandangan politik. Sehingga
terjadi pergeseran keberpihakan dari “kepentingan publik” ke pengabdian pada
pihak penguasa atau partai yang berkuasa.64
Reformasi birokrasi merupakan langkah dalam mewujudkan pembaharuan
disegala bidang kehidupan masyarakat, dengan tujuan terbangunnya pemerintahan
yang demokratis serta dihormati dalam sistem penegakkan hukum dalam rangkat
tertibnya kehidupan sosial. Reformasi tersebut merupakan titik awal dari sebuah
proses demokratisasi yang tumbuh dan berkembang kepada: peningkatan
keterlibatan masyarakat dalam segala bidang, mulai dari sistem penegakkan
supremasi hukum, pemberatasan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme,
penghormatan atas hak-hak orang lain (tidak diskriminasi). Proses pembaharuan
64. Eko Prasojo, Dkk. “Mengurai Benang Kusut Birokrasi” Upaya Memperbaiki Centang-
Perenang Rekrutmen PNS. (Depok, PIRAMEDIA. Cetakan pertama 1 Agustus 2006). Halm 70
dan 71
43
tersebut searah dengan perubahan dari pekembangan paradigma pemerintahan dan
pembagungan global dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis.65
2.3.1 Netralitas Pasif
Dalam perkembangan awal konsep birokrasi, netralitas dan
profesionalisme birokrasi sudah sering dibicarakan para pakar. Polemik
dalam pembicaraan tersebut adalah netralitas dan profesionalisme
birokrasi dalam tataran konsep, tetapi fakta yang terjadi dilapangan ialah
banyaknya aparatur sipil negara (birokrasi) yang tidak menerapkan asas-
asas netralitas, apalagi dalam konteks penyelenggaraan rezim pemilu dan
rezim pilkada. Bertitik tolak dari persoalan tersebut menjadikan birokrasi
sebagai magnet rebutan oleh berbagai pihak khusunya aktor politik
maupun partai politik untuk memperluas serta mempertahankan
kekuasaan.66
Dalam perjalanan kelembagaan sistem birokrasi serta posisi
aparatur birokrasi paskah reformasi yang diharapkan membawa perubahan
yang positif, nyatanya tidak demikian. Dimana posisi birokrasi dalam
berpolitik semakin “menjadi-jadi” ditengah tuntutan untuk mereformasi
birokrasi dalam sistem kelembagaan maupun reformasi budaya aparatur
birokrasi. Dalam penyelenggaran pilkada serentak pertama tahun 2015
sampai dengan pilkada serentak jilid ketiga tahun 2018 ini budaya
politisasi birokrasi belumlah berkurang. Berkaitan dengan hal tersebut,
65. M. Adian Firnas, “Politik dan Birokrasi: Masalah Netralitas Birokrasi di Indonesia Era
Reformasi”. Vol, 06. No, 01. Juni 2016. Halm 170 66. I Wayan Wesna Astara, (Jurnal Administrasi Publik) “Dinamika Birokrasi dan Perlunya
Reformasi Birokrasi Lingkungan”. Halm 25
44
tidak berlebihan dikatakan bahwa kegagalan upaya untuk mewujudkan
birokrasi yang netral dan profesional akan sulit serta berimplikasi terhadap
pelayanan sektor publik demi kemajuan setra kesejahteraan rakyat maupun
terhadap proses penyelenggaraan demokrasi di tingkat lokal.67
Dalam posisi diametral yang lebih luas, politisasi birokrasi ini
nyatanya berpengaruh negatif secara signifikan dalam tatalaksana
kelembagaan yang menuju konsep good governance.
Birokrasi yang kaku serta pasif dalam agenda penyelenggaraan
politik memberikan diskursus yang menarik. Yaitu sulitnya aparatur
birokrasi mengembangkan serta merespos perkembangan jaman dalam
segala aspek kehidupan masyarakat. Perlu dijelaskan ialah, pasif dalam
pengertian disini adalah aturan yang diberikan oleh negara terhadap
aparatur birokrasi sehingga memberikan dampak yang nyata dalam kinerja
birokrasi ataupun dalam peoses perkembangan birokrasi dalam berpolitik.
Sebagai konsekuensinya dari konsep netralitas pasif adalah adalah
perubahan sikap serta perilaku apartur birokrasi dalam menghadapi
dinamika politik yang terjadi, dimana aparatur birokrasi terlibat secara
dalam praktek politik. Hal mana netralitas pasif bagi aparatur birokrasi
telah menghilangkan hak warna negara dalam konteks sosial untuk
mengekpresikan pilihan politik di muka umum. Adanya konsep netral
pasif mereduksi nilai-nilai dari birokrasi dalam dalam praktek demokrasi,
67 Rosmala Dewi, (Jurnal Ilmu Sosial) “Membangun Birokrasi Yang Profesional”. Vol 5. No, 1. April 2012. Halm 45. http://ojs.uma.ac.id/index.php/perspektif/article/view/106
45
baik secara lokal maupun nasional. yang berorientasi tehadap kekuasaan
bukan lagi sebagai pelayanan sektor publik.68
Demokrasi dan Pilkada tidak seharusnya mereduksi atau
menghilangkan makna keterlibatan aparatur birokrasi dalam agenda
tersebut, tetapi lebih memberikan ruang serta menjamin keterlibatan
aparatur birokrasi sebagai alat negara untuk mengotrol, serta memberikan
pendidikan politik ala negara terhadap masyarakat dalam kondolidasi
demokrasi lokal maupun secara nasional. Dengan hal tersebut birokrasi
yang bersifat kaku dan pasit dapat menjadi birokrasi yang netral aktif
sebagai alat negara dalam mewujudkan demokrasi yang sehat dan damai.
2.3.2 Netralitas Aktif
Pilkada merupakan konsolidasi demokrasi di tingkal lokal, yang
dimana dalam proses penyelenggaraanya selalu melahirkan konflik, tidak
terkecuali proses keterlibatan aparatur sipil negara. Dalam teori birokrasi
Weberian menempatkan aparatur sipil negara (birokrasi) sebagai
personifikasi yang harus bebas dari kepentingan kelompok maupun
golongan, dalam Undang-undang yang mengatur tentang aparatur sipil
negara juga membahas antara relasi biorkrasi dengan politik, yang secara
umum menenkankan aparatur birokrasi harus netral, serta bebas dari
intervensi politik.69
Dalam dimensi sebagai penyelenggaran publik aparatur birokrasi
menempatkan diri sebagai penyelenggara publik dan sebagai
68. Bambang Utoyo Sutiyoso, “Birokrasi dan Pembangunan Perkotaan”. Vol, 4. No, 1. Januari-Juni
2013. Halm 4. 69. Asep Sumaryana, “Birokrasi dan Pelayanan Publik”. Vol, 7. No, 2. Juli 2005. Halm 135.
46
penyelenggara politik. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa aparatur sipil
negara (birokrasi) harus diberikan ruang oleh negara untuk terlibat secara
netral aktif dalam kegiatan politik, sebagai konseskuensinya adalah
aparatur birokrasi mampu menjadi garda terdepan dalam merumuskan
kebijakan, pelaksanakan kebijakan serta pengotralan kembali dari
kebijakan politik tersebut.70
Dalam konteks yang lebih umum, ketatnya aturan yang
diberlakukan oleh negara terhadap sikap politik dari aparatur birokrasi
yang bersifat pasif memberikan dampak yang begitu nyata dalam prospek
kelembagaan. Sejauh dalam penyelenggaran demokrasi lokal poit utama
yang menjadi pokok persoalan adalah sikap politik dari aparatur birokrasi,
maka dari itu perlu konsep yang visioner tentang arah birokrasi serta
aparatur birokrasi dalam urusan sosial politik. Sebagai jawaban umum
ialah negara memberikan ruang terhadap aparatur birokrasi untuk terlibat
secara netral aktif dalam politik.
Salah satu masalah utama dalam pelaksanaan Pilkada adalah netral
dan pasifnya birokasi, kalau dicermati secara mendalam adalah birokrasi
menjadi poros vital dalam pelaksaan Pilkada sebagai pengadministrasian
hak dan kewajiban rakyat, tetapi disisi yang lain birokrasi direduksi dalam
Pilkada.71 Pangkal titik tolak tersebut menjadikan kesimpulan bahwa
netralitas aktif bagi aparatur birokrasi dalam pelaksanaan Pilkada maupun
70 Purwo Santoso, “Politik Netral Aktif” Reformulasi Peran Birokrasi Dalam Seleksi Kepala
Daerah dan Kepala Pemerintahan. https://www.academia.edu/3748620/POLITIK_NETRAL-
AKTIF_Reformulasi_Peran_Birokrasi_dalam_Seleksi_Kepala_Daerah_dan_Kepala_Pemerintaha
n 71 Ibdi, 4
47
agenda politik yang lain. Dampak dari terlibat netral aktif tersebut ialah
lahirnya masyarakat yang cerdas secara politik untuk memilih kepala
daerah, baik dalam skala provinsi maupun kabupaten kota.
2.4 Desain Tata Kelola Birokrasi dan Netralitas Birokrasi
Bergulirnya era reformasi dimulai pada tahun 1998 telah memicu
munculnya tuntutan perbaikan terhadap kualitas pelayanan publik yang
dilakukan oleh birokrasi pemerintah. Tuntuntan ini tidaklah mengherangkan
mengingat terjadinya sentralisasi kekuasaan oleh rezim orde baru pada saat
itu. Era reformasi tidak lepas dari semangat untuk mewujudkan
penyelenggaraan pemerintahan yang berdasarkan prinsip-prinsip good
governance. Wujudnya adalah memastikan masyarakat memperoleh
pelayanan dari penyelenggaran negara, baik itu yang menyangkut hak
ekonomi, sosial-politik maupun budaya sebagaimana diamanatkan oleh UUD
1945.
Implementasi untuk mewujudkan prinsip dari good governance
ditunjang melalui penerapan atas otonomi daerah dimana disebutkan bahwa
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan yang diarahakan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan
peran serta masyarakat.72
72. Meita Istianda & Darmanto, “Pelayanan Birokrasi di Era Reformasi , Bagaimana
Seharusnya?”. Vol 9. No, 2. Juli 2009. Halm 124.
48
Eko Prasojo dan Teguh Kurniawan dalam papernya yang berjudul
Reformasi Birokrasi dan Good Governance: Best Practiced Dari Sejumlah
Daerah,73 melihat bagaimana pengaruh reformasi birokrasi dalam
pembagunan sebuah negara ataupun daerah adalah dari sisi politik yang kuat
dimana birokrasi bermain didalamnya untuk memainkan fungsinya secara baik
dan sesuai perintah. Melihat kesuksesan yang diterapkan di beberapa daerah
dengan sistem good governance menunjukan daerah tersebut bisa bergerak
lebih baik sejarah jauh dalam pembangunan, sehingga terjadi penggerakan
secara simultan dengan yang diperoleh daerah tersebut. Ini menunjukan bahwa
reformasi birokrasi sangat nyata dan dibutuhkan dalam negara maupun daerah.
Karena laju kendali dari sistem penyelenggaraan publik tergantung bagaimana
individu terbaik duduk dan mengelolanya.74
Good governance berkaitan langsung dengan manajemen strategis
untuk mengukur dan menilai suatu keberhasilan dari tatakelola pemerintahan.
Keberhasilan dari pemerintah pusat dan daerah dapat diukur dari
kebijakannya, di dalamnya termasuk gaya kepemimpinan dan kemampuan
dalam mempercepat dan mendorong peran serta msyarakat, swasta dan
lembaga-lembaga non pemerintahan sebagai salah satu unsur dari good
governance.
73. Eko Prasojo & Teguh Kurniawan, “Reformasi_Birokrasi_dan_Good_governance” . www.academia.edu/download/30485229/reformasibirokrasi_dan_goodgovernance_ep_tk_reviseed
.pdf 74. Yulizar D Sanrego & Reza Muhammad, “Analisa Perbandingan Model Birokrasi Indonesia:
Model Modern David Osborne, Tad Gaebler dan Pendekatan Konsep Islam Perspektif Umer
Chapra”. Vol 1. No, 1. 2013.
49
Kinerja pemerintah dalam reformasi birokrasi dari hasil sejumlah
penelitian menunjukan kesimpulan yang hampir sama: sebagian kecil berhasil
dan sisanya tidak berjalan sama sekali. Satu catatan penting dari hasil hasil
penelitian tersebur adalah bahwa sebagian besar dari daerah yang di pimpin
oleh individu yang reformis mampun menunjukan perubahan birokrasi yang
lebih baik. Ini artinya seorang pemimpin mampu membuat kemajuan dari
daerah yang di pimpinnya, karena keberhasilan tesebut bukan hanya pada
kinerja birokrasi tetapi juga pada pemimpin yang berani dan tegas dalam
melakukan kebijakan serta mampu memamfaatkan sumberdaya secara
maksimal.
Efektivitas merupakan kondisi dalam memilih tujuan yang tepat dan
melakukanya secara cepat. Inilah peran pemimpin dalam mengatur dan
mengola negara maupun daerah untuk kemajuan. Adapun tujuan penting
untuk menilai efektivitas adalah akuntabilitas serta profesionalisme birokrasi
dalam memberikan pelayan atau melaksanakan pembangunan.75
Sebuah rancangan besar terkait dengan desain mengenai program
pembangunan aparatur dan reformasi birokrasi yang diakomodir dan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) 2005-2025.76 Dalam dokumen tersebut
menyebutkan bahwa arah kebijakan dan strategi nasional dilakukan melalui
reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan
mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Tujuan utama dari dari desain tersebut
secara eksplisit menyatakan akan menciptakan aparatur yang bersih, profesional
75. Bilal Dewansyah, “Kampanye Deliberatif Dalam Desain Pilkada Serentak: Sebuah Gagasan
Perubahan”. Vol, 4. No, 1. April 2015. Halm 25 76Bappenas, https://www.bappenas.go.id/files/1814/2057/0437/RPJP_2005-2025.pdf. Halm 18
https://www.bappenas.go.id/files/1814/2057/0437/RPJP_2005-2025.pdf
50
dan beritengritas serta hal-hal yang besifat positif. Dengan begitu konsep good
governace dapat diwujudkan secara cepat dan tepat dengan kompetensi dari
aparatur birokrasi.
Pelayanan secara cepat dan tepat terhadap masyarakat, kelembagaan dan
birokrasi merupakan satu paket penting yang berkaitan langsung dengan isue
penting yang berhubungan langsung dengan efisiensi dan efektivitas. Konsep
governance secara sederhana merujuk pada proses pembuatan keputusan dan
proses pengimplementasian keputusan tersebut. Dalam bahasa UNDP, “good
governance is the manner in which power is exercised by the society in the
management of various levels of government, of the country’s social, cultural,
political and economic resources”. Lebih lanjut, menurut Pierre dan Petters good
governance “should have devise means of accomodating more continous forms of
participation while still being able to supply the needed direction to society”.
Good governance ini menurut Asian Development Bank juga berkaitan dengan
langsung terhadap upaya realisasi akuntabilitas dan transparansi pemerintahan.77
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Bertelseman Transformation
Index (BTI) tahun 2005 yang meneliti tentang indeks ekonomi politik
(political and economic transformation index-PETI) serta kinerja manajemen
pemerintahn (manajement perfomance index-MPI) yang dilakukan di 119
negara, Indonesia menempati peringkat ke-60 dalam MPI dan urutan ke-53
dalam PETI bahkan beberapa negara-negara Afrika menempati rangking yang
lebih baik dari Indonesia.
77. Siti Zuhro, (Jurnal Penelitian Politik) “Good Governance dan Reformasi Birokrasi di
Indonesia”. Vol, 7. No, 1. 2010. Hal 6.
ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/issue/download/65/61
51
Hasil dari penelitian tersebut memberikan kesimpulan bahwa adanya
demokrasi konstitusional di suatu negara tidak menjamin adanya suatu
kebijakan yang sesuai dengan harapan maupun kebutuhan masyarakat.
Bahkan di beberapa negara kebijakan yang baik (good policies) dibuat dalam
koridor demokrasi yang akuntabel. Ini menandakan bahwa dengan
menerapkan tata pemerintahan yang baik, tidak bisa dengan mudah
memberikan kualitas pelayanan yang baik sesuai dengan harapan maupun
kebutuhan masyarakat.78
Maka dari itu reformasi birokrasi difokuskan untuk menghasilkan
kelembagaan yang efektif, ketatalaksanaan yang ringkas dan sumber daya
yang manusia bermutu serta profesional. Secara bersamaan, pelaksanaan
reformasi birokrasi harus diperkuat dengan landasan kebijakan yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dan diperluas pelaksanaannya pada instansi
pemerintahan pusat maupun daerah. Sehingga adanya partisipasi masyarakat
sipil berjalan dengan semestinya untuk dapat terlibat dalam penyelenggaraan
publik.
Reformasi birokrasi bukan proses yang berlangsung di dalam ruang
hampa, keberhasilan implementasinya bergantung kepada reformasi dalam
sektor-sektor yang berkaitan dengan pelayanan publik, terutama pada sektor
hukum, ekonomi, dan administrasi publik. Pembenahan dalam sektor politik
diperlukan untuk menjamin konsistensi dan keberlanjutan politik dari
pengambilan kebijakan. Sedangkan pembenahan disektor hukum adalah untuk
78. Novy Setia Yunus & Mi’rojul Huda, (jurnal the Politics) “Membangun Karakter Kepemimpinan
dan Optimisme Daerah Dalam Reformasi Birokrasi di Indonesia”. Vol, 2. No, 2. Juli 2016. Halm
297.
52
menyediakan perangkat hukum yang diperlukan dalam rangka reformasi
birokrasi, terutama yang berkaitan pemberantasan korupsi, kolusi dan
nepotisme. Reformasi birokrasi akan dapat menjadi syarat pemberatasan
korupsi bila terwujud badan peradilan dan sistem peradilan independen,
didukung dengan keterbukaan dan sistem yang efektif .79
79. Dian Arlupi Utami, (Makalah Seminar Nasional. Sub Tema: Birokrasi dan Road Map MDGs
2015 di Indonesia). “Reformasi Birokrasi Dalam Rangka Pencapaian MDGs di Indonesia”.
http://repository.ut.ac.id/2433/1/fisip201207.pdf. Di akses pada tgl 9 Juli 2018
http://repository.ut.ac.id/2433/1/fisip201207.pdf