Post on 12-Oct-2020
8
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Iklan
2.1.1 Iklan Sebagai Media Komunikasi Pemasaran
Strategi pemasaran berkaitan dengan komunikasi. Salah satu bentuk komunikasi
suatu perusahaan kepada konsumen untuk memenuhi fungsi pemasaran yaitu dengan
menggunakan iklan. Untuk dapat menjalankan fungsi pemasaran, maka apa yang dimuat
dalam iklan harus memberikan informasi kepada khalayak. Sebuah iklan harus dirancang
sedemikian rupa oleh produsen / copywriter supaya mampu membujuk dan mengarahkan
khalayak untuk mengkonsumsi produk yang telah diiklankan.
Iklan merupakan salah satu bentuk komunikasi massa. Dalam menentukan tujuan
iklan, maka salah satu keputusan yang harus diambil adalah merancang sebuah pesan
yang akan ditampilkan pada iklan. Pesan iklan ini dinyatakan dalam bentuk kata-kata,
gambar, dan/atau suara. Berikut sebagian besar pesan berisi (Liliweri, 2011: 569-570) :
.1 Gaya hidup : pesan iklan yang menghubungkan produk dengan gaya hidup dari
segmen pasar tertentu
2. Emosional : pesan iklan yang membangkitkan perasaan calon konsumen, pesan
menampilkan gambaran mengenai keuntungan psikologis yang dapat diperoleh jika
konsumen memakai produk tersebut.
3. Humoris: pesan iklan yang menampilkan janji dan bukti yang dapat diperoleh jika
target audiens memakai produk ini, gaya pesan yang ditampilkan selalu mengundang
gelak tawa audiens.
9
9
4. Testimonial: pesan iklan yang menampikkan kesaksian dari mereka yang telah
menggunakan suatu produk, orang-orang inilah yang diharapkan dapat menjadi saksi
hidup tentang manfaat penggunaan produk tersebut.
5. Dukungan selebriti: pesan iklan yang menampilkan dukungan seorang selebritis
terkenal, selebriti ini dapat dikatakan sebagai profil atau ikon yang melekat pada produk
tersebut. Pengiklan memakai cara ini demi mempercepat penjualan suatu produk.
6. Daya tarik seksual: pesan iklan yang menampilkan atau menyinggung daya tarik
seksual seginggah dapat mempercepat penjualan produk tertentu. Beberapa iklan seperti
sampo, sabun mandi, pakaian dalam, dan parfum menampilkan perempuan atau laki-laki
dewasa.
7. Komparatif: pesan iklan yang menampilkan janji dan bukti dari produk yang
dibandingkan dengan produk pesaingnya.
8. Demonstrasi produk: pesan iklan yang menampilkan keunggulan utama dari
suatu produk tertentu. Isi pesan berupa penjelasan tentang cara praktis menggunakan
produk tersebut.
2.1.2 Sifat Manipulasi dari Konteks Iklan
Iklan merupakan proses untuk “membujuk” audiens melalui media massa untuk
membeli produk komersial. Pada saat ini tampilan iklan tidak hanya dibuat berdasarkan
struktur ide yang realitas, namun sudah mengalami distorsi secara sadar atau telah
dimanipulasi. Sadar atau tidak setiap hari kita disuguhkan iklan yang telah dimanipulasi
baik secara teknis maupun yang disengaja untuk mempercepat penjualan sebuah produk.
Para pembuat iklan atau perancang iklan selalu memoles pesan supaya lebih enak dibaca,
didengar, dan dipandang.
10
10
Dari segi etika budaya, kebanyakan iklan telah melewati batas-batas wilayah kultural
umat manusia di dunia. Kini kita akan menyaksikan banyak iklan yang mempromosikan
barang-barang yang sama, namun dibuat dengan kultural yang berbeda sesuai dengan
tempat dimana audiens berada. Pada saat ini kita sedang menghadapi iklan-iklan sebagai
“intervensi kedaulatan bangsa” bukan hanya sekedar intervensi kedaulatan bisnis.
Audiensi dibebani oleh pelbagai iklan khas Barat mulai dari makanan, minuman, pakaian
dan perlengkapan rumah tangga hingga ke sarana hiburan, dan olahraga (Liliweri,
2011:583).
Kita dapat menemukan berbagai tempat berbelanja di Indonesia, namun secara tidak
sadar ketika kita melihat iklan komersial suatu perusahaan kita akan digiring untuk
mengkonsumsi produk di perusahaan tersebut. Dari segi etika kultural, iklan-iklan dan
produk tersebut telah melanggar pola-pola budaya konsumerisme lokal yang dalam artian
iklan telah mengubah gaya hidup baru orang-orang di seluruh penjuru dunia. Menurut
para kritikus semua barang yang kita beli karena dipengaruhi oleh iklan , sama dengan
kita telah dimanipulasi oleh iklan, artinya kita tidak terlalu membutuhkan dan tidak
hendak membeli barang-barang yang belum tentu dibutuhkan, namun jika kita membeli
maka manipulasi iklan telah mempengaruhi emosi kita (Liliweri, 2011: 585).
Proses komunikasi yang terjadi pada periklanan dapat digambarkan sebagai berikut:
11
11
Gambar 2.1.1
Skema: Iklan sebagai proses komunikasi
Encoding Decoding
Pesan
Sumber: Boove (1995) dalam Bungin (2001:15)
Gambar diatas mengandung muatan ide seseorang atau kelakuan baik pemesan
iklan (perusahaan pemilik Produk) maupun pencipta iklan (perusahaan periklanan), untuk
memberi citra kepada sebuah produk yang di iklankan. Oleh karena itu ide-ide tersebut
harus di komunikasikan kepada audiens supaya dapat diterima sekaligus sebagai materi
masukan balik. Dalam proses komunikasi tersebut terjadi proses dialektika di mana
individu menciptakan ide yang dikomunikasikan dan audiens memberi respon serta
memberi masukan terhadap ide-ide baru. Dalam proses menuangkan ide ke dalam pesan,
terjadi proses encoding, dimana ide dituangkan dalam bahasa iklan yang menyakinkan
Jika mereka membeli ini
mereka akan lebih produktif
Jika saya beli ini, saya akan
bekerja lebih
Beli ini, dan kamu akan bekerja lebih
produktif
MASUKAN BALIK
12
12
orang. Media kemudian mengambil alih ide itu dan kemudian dikonstruksikan menjadi
bahsa media. Pada tahap initerjadi decoding, karena audiens menangkap bahasa media itu
dan membentuk pengetahuan itu bisa mendorongnya merespon balik iklan tersebut.
Respon ini terdiri dari dua macam, yaitu pemirsa merespon materi iklan dan merespon
pesan iklan. Respon pertama bisa berbentuk reaksi terhadap iklan tersebut, karena
merugikan pihak-pihak tertentu, sedangkan respon kedua bisa merugikan sikap untuk
membeli atau tidak membeli produk. Proses ini terjadi kontinyu seumur iklan tersebut
atau bahkan akan mereproduksi kembali iklan baru dan itu artinya akan lahir kembali
sebuah realitas baru dalam dunia kognisi pemirsa sebagai hasil rekronstruksi.
2.1.3 Konstruksi Citra pada Iklan Televisi
Pencitraan dalam iklan televisi merupakan salah satu strategi dalam mengiklankan
suatu produk. Iklan televisi (TV) merupakan bentuk pencitraan dari sebuah produk
komersial yang disebarluaskan ke masyarakat sehingga masyarakat mendapati informasi
mengenai produk itu dengan maksud agar setelah memperoleh informasi masyarakat akan
mengkonsumsi produk yang diiklankan (Bungin, 2001:68). Iklan TV dibangun atas dasar
kekuatan visualisasi objek dan kekuatan audio visual sehingga iklan TV mampu
mengkonstruksi citra (image) produk yang diiklankan secara objektif (Bungin, 2001:68).
Dalam membangun citra produk melihat pada kekuatan visual yang mampu menarik
pemirsa. Citra yang dibangun dalam iklan amat tergantung pada banyak faktor, terutama
adalah faktor konstruksi sosial itu sendiri, yaitu bagaimana seorang copywriter (penyusun
naskah iklan) mengkonstruksi kesadaran individu serta membentuk pengetahuan tentang
realitas baru dan membawanya ke dalam hiper-realitas, sedangkan audiens tetap
merasakan bahwa realitas itu di alami dalam dunia rasionalnya. Pencitraan yang
dikonstruksi ini sangat penting dalam mengendalikan kemauan copywriter atau produsen.
13
13
Pencitraan dalam iklan televisi disesuaikan dengan kedekatan jenis objek iklan yang
diiklankan. Pada beberapa iklan yang menonjol dalam pencitraan, diperoleh beberapa
kategorisasi penggunaan dalam iklan televisi, sebagai berikut (Bungin:2001) :
1. Citra perempuan. Citra perempuan dalam iklan digambarkan sebagai citra
pilar, citra pigura, citra pinggan dan citra pergaulan. Dalam banyak iklan
terjadi penekanan terhadap pentingnya perempuan untuk selalu tampil
memikat dengan mempertegas sifat kewanitaannya secara biologis, seperti
waktu mestruasi (iklan-iklan pembalut wanita), memiliki rambut yang
panjang (iklan shampo), dan lainnya. Pencitraan perempuan semacam ini
ditekankan untuk menebar isu “natural anomy” bahwa umur perempuan,
ketuaan perempuan sebagai momok yang tidak bisa dihindari dalam
kehidupan perempuan. Citra pilar dalam pencitraan perempuan lebih
ditekankan bahwa perempuan sebagai sosok tulang punggung utama keluarga.
Citra pinggan dalam pencitraan perempuan digambarkan sebagai perempuan
tidak bisa lepas dari dapur karena dapur adalah dunia perempuan. Terakhir
pencitraan perempuan dengan memberi kesan bahwa perempuan memiliki
citra pergaulan. Citra ini ditandai dengan pergulatan perempuan untuk masuk
dalam kelas-kelas tertentu yang lebih tingga di masyarakatnya, perenmpuan
digambarkan sebagai maklhuk yang anggun dan menawan.
2. Citra maskulin. Iklan juga mempertontonkan serta menunjukkan kejantanan
otot laki-laki, ketangkasan, kekuasaan, keberanian, keteguhan hati dan lain-
lain. Citra maskulin merupakan stereotyp laki-laki dalam realitas nyata. Untuk
menggambarkan realitas tersebut, maka iklan mereproduksinya kedalam
realitas media tanpa memandang bahwa digambarkan itu sesuatu yang nyata
atau sekedar memproduksi itu dalam realitas media yang penuh dengan
kepalsuan
14
14
3. Citra kemewahan dan eksklusif. Kemewahan dan eksklusif adalah realitas
yang diidamkan oleh banyak orang dalam kehidupan masyarakat.
4. Citra kelas sosial. Dalam pencitraan kelas sosial, iklan berusaha menunjukkan
bagaimana seharusnya kehidupan kelas sosial yang bergengsi, modern,
identik dengan diskotik, pesta-pora, dan penuh dengan hiruk-pikuk musik.
5. Citra kenikmatan. Kenikmatan adalah bagian terbesar dari dunia kemewahan
dan kelas sosial yang tinggi, karena itu kenikmatan adalah simbol sosial yang
tinggi. Dalam iklan televisi, kenikmatan dapat memindahkan seseorang dari
kelas sosial tertentu ke kelas sosial yang ada diatasnya.
6. Citra manfaat. Umumnya audiens sangat mempertimbangkan faktor manfaat
sebagai hal utama dalam memutuskan perilaku pembelian, karena itu manfaat
menjadi nilai dalam keputusan seseorang.
7. Citra persahabatan. Citra persahabatan ditampilkan pada sebuah iklan,
sebagai jalan keluar terhadap banyaknya problem rendah diri yang terjadi di
kalangan remaja, terutama pada kalangan remaja perempuan. Citra
persahabatan menjadi strategi yang strategis untuk solusi pemirsa dalam
menghadapi persoalan intern remaja.
8. Citra seksisme dan seksualitas. Dalam realitas sosial sehari-hari seksisme dan
seksualitas merupakan hal yang amat menarik dibicarakan karena hal ini
menjadi bagian kehidupan individu yang disembunyikan atau bahkan tabu
utnuk dibicarakan. Citra seksisme dan seksualitas dianggap sangat menarik
karena selain sebagai konteks hiburan, citra seksisme dan seksualitas ini dapat
menggugah kembali pengalaman pribadi pemirsa yang indah di waktu yang
lampau.
15
15
Jadi, pencitraan iklan televisi merupakan bagian yang sangat penting dalam konstruksi
iklan televisi atas realitas sosial. Ketika iklan televisi melakukan pencitraan terhadap
produk tertentu maka nilai ekonomis sebuah iklan akan menjadi pertimbangan utama.
2.1.4 Iklan Sebagai Representasi Nilai-Nilai Kekeluargaan
Iklan telah menjadi bagian penting dari masyarakat industri kapitalis yang
mempunyai kekuatan besar dan sangat sulit untuk dihindarkan. Iklan diklaim memiliki
pengaruh besar pada khalayak. Sebuah produk media audio visual seperti iklan, mampu
menembus batas-batas kelas serta menjangkau khalayak lebih luas. Dan khalayak
merupakan entitas pasif dalam menerima pengaruh media massa, dalam artian masyarakat
tidak bisa menolak kedatangan iklan. Iklan menyediakan gambaran tentang realitas, dan
sekaligus mendefinisikan keinginan dan kemauan individu maupun kelompok. Iklan
mendefinisikan bagaimana pria yang maskulin, apa itu gaya, bagaimana seharusnya
menjadi wanita yang feminim, serta apa itu selera yang bagus dan berkelas, bukan sebagai
sebuah kemungkinan atau saran, melainkan sebagai sebuah tujuan yang diinginkan dan
tidak bisa untuk dipertanyakan (Noviani, 2002:49).
Dalam sebuah iklan, konstruksi realitas sosial yang dibangun oleh copywriter dan
tidak lain hanya untuk kepentingan kapitalistik semata. Realitas sosial nilai-nilai
kekeluargaan dikonstruksi sedemikian rupa untuk membangun kesan emosional kepada
audiens dan untuk membangun citra sebuah produk dimata konsumen. Dengan demikian
dapat dikatan bahwa iklan adalah sebuah cermin yang memantulkan kembali realitas-
realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Berbagai pengaruh psikologis yang bersifat
individu dari iklan lambat laun akan mengendap dibenak audiens dan menjadi perilaku
audiens. Perilaku masyarakat umum ini pada gilirannya membentuk suatu sistem, nilai,
gaya hidup, maupun standar kebudayaan tertentu, termasuk mempengaruhi standar moral,
etika, maupun estetika (Widyatama, 2007:164).
16
16
Dalam membentuk konstruksi iklan atas realitas sosial, terdapat lima tahapan
penting, yaitu (Bungin, 2008:135-164)
1. Tahap menyiapkan materi konstruksi iklan
Pada tahap ini, dilakukan persiapan materi yang akan dimuat pada iklan.
Persiapan materi ini dilakukan oleh perusahaan yang akan memasang
iklan (klien) , visualizer, copywriter, maupun agen iklan.
2. Tahap sebaran konstruksi
Pada tahap ini, konstruksi iklan televisi atas realitas sosial dilakukan
melalui strategi iklan. Metode semiotik digunakan sebagai model strategi
3. Tahap pembentukan konstruksi
Pada tahap ini, copywriter mempersiapkan pesan dan konstruksi image
apa yang ingin dibangung dalam sebuah iklan. Konstruksi image
dibangung melalui simbol-simbol kelas sosial, budaya populer,
seperti kualitas, kemewahan, cita rasa, kemudahan, kenikmatan,
serta simbol budaya populer dan kelas sosial lainnya
4. Tahap konfirmasi
Konstruksi iklan televisi tidak bisa lepas dari peran faktor lain diluar
konstruksi sosial itu, karena konfirmasi dibutuhkan individu untuk
memperkuat keputusannya tentang suatu pengetahuan yang diperoleh
dari iklan televisi.
5. Tahap perilaku konsumen
17
17
Keputusan konsumen untuk sebuah produk adalah akumulasi dari
pengetahuan kebutuhan, serta pertimbangan. Dan juga termasuk
pengetahuan yang didapat dari iklan televisi.
2.1.5 Iklan Sebagai Pewaris Sosial dan Pendorong Kohesi Sosial
Selain bersifat membujuk dan memberikan informasi kepada khalayak, iklan juga
berfungsi sebagai seorang pendidik, baik yang menyangkut pendidikan formal maupun
informal yang mencoba meneruskan atau mewariskan suatu ilmu pengetahuan, nilai,
norma, etika, pranata dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Iklan dapat melakukakan
transmisi budaya yang bisa memperkuat kesepakatan nilai-nilai sosial yang ada dalam
masyarakat. Iklan juga berperan untuk memperkenalkan ide-ide perubahan serta
membentuk sikap dan perilaku audience. Sebagai contohnya, jika suatu iklan
menanyangkan konsep keluarga dan terdapat unsur nilai-nilai kekeluargaan di dalamnya,
secara tidak langsung iklan tersebut telah berfungsi mewariskan ide dan gagasan tentang
konsep keluarga dan nilai-nilai kekeluargaan. Konsep keluarga dan nilai-nilai
kekeluargaan merupakan cerminan realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Artinya
masyarakat akan menanggapi apa yang ditampilkan dalam iklan merupakan cermin
realitas masyarakat sebenarnya. Iklan memiliki peran pewarisan sosial dari satu generasi
ke generasi selanjutnya dan secara tidak langsung kita sedang melaksanakan proses
pewarisan atau menstransfer ide itu kedalam benak kita.
Iklan juga dapat merangsang masyarakat untuk memikirkan bagaimana kehidupan
sosial yang baik dan benar. Ketika masyarakat meononton iklan yang memuat konsep
nilai-nilai kekeluargaan secara tidak langsung mendorong kohesi sosial. Kohesi sosial
dapat diartikan sebagai penyatuan. Namun disisi lain, iklan juga menciptakan peluang
permusuhan dan konflik dimasyarakat akibat tayangan iklan yang tidak sesuai dengan
budaya yang ada di masyarakat.
18
18
2.2 Keluarga
2.2.1 Keluarga dan Norma Sosial dalam Masyarakat
Menurut Khairuddin (1997: 6) keluarga adalah susunan orang-orang yang
disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah atau adopsi. Pertalian antara suami dan
isteri adalah perkawinan dan hubungan antara orang tua dan anak biasanya adalah darah,
kadangkala adopsi. Dari ikatan perkawinan tersebut lahirlah keturunan yang secara hukum
menjadi tanggung jawab suami dan istri atau ibu dan bapak dalam membina dan
mengembangkan mereka. Sering kita menganggap bahwa suatu keluarga yang cukup
sandang, cukup pangan, dan cukup papan adalah keluarga yang sejahtera. Kehidupan
sejahtera bagi suatu keluarga dapat dikatakan jika keluarga tersebut telah memenuhi
kebutuhan ekonominya. Termasuk dalam pengertian ini jika keluarga dapat memberi
pangan terhadap kebutuhan keluarganya. Dengan pengertian kebutuhan pangan yang
mendekati persyaratan empat sehat lima sempurna. Di samping kebutuhan ekonomi,
kebutuhan anggota keluarga yang lain adalah sandang yang melindungi badan dari terik
matahari dan angin. Keluarga yang telah memenuhi kebutuhan demikian sudah dapat
dikatakan mereka itu hidup sejahtera (Algeirs Rachim dkk, 1988: 8)
Kehidupan bermasyarakat pun adalah kebutuhan yang perlu dipenuhi juga
kesejahteraan akan dirasakan kalau kebutuhan keluarga tersebut dalam keadaan rukun
dengan tetangga sebelah, mereka harus saling bantu-membantu dan bergotong-royong
dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Beribadah secara bersama adalah juga
kebutuhan yang perlu dipenuhi sebagai keluarga sejahtera. Pada dasarnya keluarga
mempunyai fungsi-fungsi pokok yaitu fungsi biologis antara lain melahirkan anak, fungsi
afeksi yaitu hubungan kasih sayang dan fungsi sosialisasi yaitu interaksi sosial dalam
keluarga tentang pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dalam
masyarakat dalam rangka perkembangannya (Khairuddin, 1997).
19
19
Salah satu definisi masyarakat yang pada awalnya adalah a union of families,
artinya kurang lebih masyarakat merupakan gabungan atau kumpulan dari keluarga-
keluarga (Koenjaningrat, 1986:144). Dalam kehidupan sosial, tentu saja keluarga tidak
terlepas dari kondisi-kondisi yang ada dalam masyarakat tersebut. Baik norma-norma
maupun nilai-nilai yang berlaku. Karena pada dasarnya norma dan nilai yang berlaku
adalah bersifat kolektif dan mengikat, sehingga keluarga harus dapat menyesuaikan diri
dengan aturan-aturan yang berlaku tersebut. Kebahagiaan dan kemakmuran akan tetap ada
dalam masyarakat jika saja semua orang bertindak ‘benar’ sebagai anggota masyarakat.
2.2.2 Keluarga Harmonis
Menurut Gunarsa (2004:209) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan keluarga
harmonis adalah bilamana seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh
berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan menerima seluruh keadaan dan keberadaan
dirinya (eksistensi, aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental dan sosial. Keluarga
adalah unit kelompok sosial terkecil dalam masyarakat. Sebagai unit terkecil dalam
masyarakat, keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan karena itu perlu ada kepala
keluarga sebagai tokoh penting yang mengemudikan perjalanan hidup keluarga yang
diasuh dan dibinanya. Karena keluarga sendiri terdiri dari beberapa orang, maka terjadi
interaksi antar pribadi, dan itu berpengaruh terhadap keadaan harmonis dan tidak
harmonisnya pada salah seorang anggota keluarga, yang selanjutnya berpengaruh pula
terhadap pribadi-pribadi lain dalam keluarga.
Qaimi (2002: 14) berpendapat bahwa keluarga harmonis merupakan keluarga
yang penuh dengan ketenangan, ketentraman, kasih sayang, keturunan dan kelangsungan
generasi masyarakat, belas-kasih dan pengorbanan, saling melengkapi, dan
menyempurnakan, serta saling membantu dan bekerja sama. Selain itu, Drajat juga
berpendapat bahwa keluarga yang harmonis atau keluarga bahagia adalah apabila kedua
20
20
pasangan tersebut menghormati, saling menerima, saling menghargai, saling
mempercayai, dan saling mencintai (Drajat, 1975:9).
Sedangkan menurut Shochib (1998: 19) keluarga seimbang adalah keluarga yang
ditandai oleh keharmonisan hubungan (relasi) antara ayah dengan ibu, ayah dengan anak,
serta ibu dengan anak. Orang tua harus bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Di dalam
keluarga harus saling menghormati dan salin memberi tanpa harus diminta. Jika anak
melakukan kesalahan, orang tua harus segera menertibkan karena dalam keluarga terdapat
aturan-aturan dan harapanharapan yang harus dipenuhi anggota keluarga.
2.2.3 Nilai-Nilai Kekeluargaan
Kekeluargaan merupakan sebuah nilai atau asas yang telah secara turun temurun
diperkenalkan pada bangsa Indonesia. Tidak hanya itu, bangsa Indonesia juga
menganggap asas kekeluargaan adalah sesuatu yang harus diterapkan. Hal itu karena asas
kekeluargaan merupakan salah satu perwujudan pengalaman Pancasila, terutama sila ke
empat yang berbunyi “Kerayakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan”. Sikap kekeluargaan memiliki makna sebagai perilaku
yang menunjukkan sebuah manifestasi yang cenderung didasari rasa familiar yang tinggi
dengan wujud responsible yang mempertimbangkan hubungan keakraban sebagai
kedekatan keluarga kepada orang lain, sehingga dengan manifestasi tingkah lakunya ini
menimbulkan keakraban rasa dekat seperti layaknya keluarga yang memiliki hubungan
darah. Nilai-nilai kekeluargaan merupakan suatu sistem, sikap dan kepercayaan, yang
secara sadar atau tidak dapat mempersatukan anggota keluarga. Nilai-nilai kekeluargaan
juga merupakan norma dan peraturan yang terdapat dalam lingkungan keluarga. Nilai-
nilai kekeluargaan yang ada dalam masyarakat Indonesia meliputi: nilai cinta dan kasih
sayang, saling mengasihi, saling melindungi, rasa tanggung jawab, toleransi
(https://asminkarris.wordpress.com/2014/08/14/materi-ppkn-8-smp-kurikulum-2013/ di
21
21
akeses pada tanggal 28 Juni 2018 pada pukul 23.01). Sikap kekeluargaan bukan hanya
didasarkan oleh ikatan darah, namun sikap kekeluargaan sudah ada dalam masyarakat
Indonesia sejak dulu. Dengan begitu, semua orang dalam keanggotaan akan mempunyai
rasa kesadaran akan pentingnya kepentingan umum diatas kepentingan pribadi. Menurut
Mubarok (2016:2) ciri hidup kekeluargaan adalah adanya ikatan emosionil yang alami,
konstan dan sering mendalam dalam dinamika hubungan solidaritas, dimana dalam
keadaan normal terdapat rasa saling ketergantungan, saling membutuhkan, serta saling
membela.
2.3 Representasi
Untuk menggambarkan ekspresi hubungan iklan dengan realitas, konsep representasi
sering digunakan. Representasi dapat diartikan sebagai sebuah tanda untuk sesuatu atau
seseorang. Sebuah tanda yang tidak sama dengan realitas yang direpresentasikan tapi
dihubungkan dan mendasarkan diri pada realitas tersebut. Jadi, representasi mendasarkan
diri pada realitas yang menjadi referensinya.
Menurut Stuart Hall dalam Wibowo (2013:148) ada dua proses representasi. Pertama,
representasi mental, yaitu konsep tentang ‘sesuatu’ yang ada dikepala kita masing-masing
(peta konseptual), representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak. Kedua
‘bahasa’ yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada
dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam ‘bahasa’ yang lazim, supaya kita dapat
menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dari simbol-simbol
tertentu.
Representasi dapat dikatakan sebagai sebuah makna yang telah diproduksi. Setelah
diproduksi, makna tersebut dapat ditukarkan ke antar anggota masyarakat. Untuk
memproduksi sebuah makna agar makna tersebut dapat ditukarkan ke masyarakat lainnya,
diperlukan tiga hal yang harus dimiliki diantaranya bahasa, pikiran, dan action. Dengan
22
22
begitu, cara kita yang ingin menjelaskan ke masyarakat lain dapat terwujud dengan baik
tanpa ada hambatan. Bahasa yang ingin kita lontarkan ke masyarakat lainnya harus jelas
dan sama-sama paham dengan bahasa tersebut.
Melalui representasi, suatu makna diproduksi dan dipertukarkan antar anggota
masyarakat. Dapat dikatakan bahwa, melalui representasi yang singkat adalah salah satu
cara memproduksi makna. Berdasarkan hal tersebut, maka representasi merupakan salah
satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep
yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan
berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi
pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam
‘bahasa’ yang sama dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.
Tabel 2.3
Tiga Proses dalam Representasi
Pertama Realitas
(Dalam bahasa tulis, seperti dokumen wawancara transkrip dan sebagainya.
Dalam televisi seperti perilaku, make up, pakaian, ucapan, gerak-gerik dan
sebagainya
Kedua Representasi
(Elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata,
proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan sebagainya. Dalam TV seperti
kamera, musik, tata cahaya, dan lain-lain) Elemen-elemen tersebut
ditransmisikan ke dalam kode representasional yang memasukkan di
antaranya bagaimana objek digambarkan (karakter, narasi setting, dialog,
dan lain-lain
Ketiga Ideologi
Semua elemen diorganisasikan dalam koherensi dan kode-kode ideologi,
seperti individualisme liberalisme, sosialisme, patriaki, ras, kelas,
materialisme, dan sebagainya.
23
23
Sumber: John Fiske, Television Culture, London, Routledge, 1987, hal 5-6 dalam
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi:Aplikasi Praktis Bagi Penelitian
dan Skripsi Komunikasi, Jakarta, 2013.
Menurut John Fiske (Eriyanto, 2011 dalam Wibowo:2013), saat menampilkan
objek , peristiwa, gagasan, kelompok, atau seseorang paling tidak ada tiga proses dalam
merepresentasikannya yaitu :
1. Pada level pertama yaitu peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas.
Dalam bahasa gambar (terutama televisi) umumnya berhubungan dengan aspek
seperti penampilan (appearance), riasan (make up), perilaku (behaviour), pakaian
(dress), lingkungan (environment), ucapan (speech), sikap tubuh (gesture),
ekspresi (expression). Pada level ini, realitas selalu siap ditandakan, ketika suatu
peristiwa dianggap dan dikonstruksikan sebagai realitas.
2. Pada level kedua yaitu cara pandang sesuatu sebagai realitas. Dalam level ini,
bagaimana suatu realitas digambarkan. Dalam bahasa tulis, alat teknis tersebut
adalah kata, kalimat atau proposisi, grafik, dan sebagainya. Dalam bahasa
gambar/televisi, alat itu berupa kamera (camera), musik (music), suara (sound),
narasi (narrative), karakter (character), dialog (dialogue), konflik (conflict),
pencahayaan (lighting), editing dan pemeran (casting). Pemakaian kata-kata,
kalimat, atau proposisi tertentu dapat membawa makna tertentu ketika diterima
oleh khalayak.
3. Pada level ketiga, bagaimana peristiwa tersebut diorganisir ke dalam konvensi-
konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi
dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas sosial,
atau kepercayaan dominan yang ada di masyarakat.
24
24
Pada konsep representasi,citra-citra atau tanda-tanda dikonseptualisasikan sebagai
representasi realitas yang dinilai kejujurannya, reliabilitasnya, dan juga ketepatannya.
Representasi realitas di dalam iklan sendiri sering dianggap sebagai representasi yang
cenderung mendistorsi. Di satu sisi, iklan merujuk pada realitas sosial. Sedangkan di sisi
lain, iklan juga memperkuat persepsi realitas dan mempengaruhi cara menghadapi realitas.
Dengan kata lain, representasi realitas oleh iklan tidak mengemukakan realitas dengan apa
adanya, namun dengan sebuah perspektif baru (Noviani, 2002:62)
Sebelum menjelaskan, apa dan bagaimana yang ada dipikiran kita diolah terlebih
dahulu agar tidak terjadi keselahan baru menjelaskannya dengan satu bahasa yang sama
agar saling memahami. Tanpa kehadiran action, terkadang khalayak juga tidak memahami
apa yang telah kita bicarakan. Action sangat membantu seseorang untuk menjelaskan ke
masyarakat lain dengan tujuan bila hanya bahasa dan pikiran saja yang dimiliki seseorang
untuk merepresentasikan sebuah makna, maka apa yang kita maksud tidak akan sampai
atau terwujud. Menurut Burton dalam Junaedi (2007:65), ada beberapa unsur dalam
representasi yang lahir dari teks media massa yang meliputi:
a) Stereotipe, adalah suatu proses terhadap apa yang sering direkam atau
digambarkan secara negatif.
b) Identitas, dengan identitas dapat membuat sebuah berita atau laporang yang
terperinci dengan pemahaman yang kita miliki untuk kelompok yang akan
direpresentasikan. Dengan begitu, pemahaman dapat dilakukan untuk meliput dan
mencari tahu menyangkut siap mereka, berasal darimana mereka, bagaimana
mereka dilihat dari sudut pandang orang lain. Pemahaman ini menyangkut siapa
mereka, nilai apa yang dianutnya dan bagaimana mereka dilihat oleh orang lain
dari berbagai sudut pandang.
25
25
c) Pembedaan, pembedaan yang dimaksud mengenai tentang pembedaan antar
kelompok sosial.
d) Naturalisasi, yakni bagaimana cara representasi yang telah dibuat sedemikian
mungkin untuk merancang dan menetapkan dengan cara menjaganya agar terlihat
natural selamanya tanpa ada perubahan apapun. Strategi representasi yang
dirancang untuk mendesain dan menetapkan difference, serta untuk menjaganya
agar terlihat seperti alami.
e) Ideologi, representasi merupakan jembatan atau hubungan dengan ideologi.
Karena representasi, dianggap sebagai kendaraan untuk mengirim ideologi-
ideologi dengan tujuan untuk membangun dan memperluas hubungan sosialnya.
2.3.1 Representasi dalam Iklan
Periklanan merupakan suatu kegiatan promosi yang ada berbagai artinya dapat
dilihat, didengar, dan ditonton dimana saja. Iklan memiliki fungsi utama menyampaikan
informasi tentang produk kepada massa (nonpersonal). Ia menjadi penyampai informasi
yang sangat terstruktur, yang menggunakan elemen-elemen verbal maupun non-verbal
(Wright dalam Liliweri, 2011).
Sebuah iklan memerlukan ide-ide dan konsep kreatif agar pesan persuasif tersebut
dapat diterima khalayak. Dalam produksi iklan, ada perhatian yang obsesif dan ada hasrat
untuk membuat setiap detail terlihat benar dan riil. Proses produksi iklan selalu diwarnai
dengan tipifikasi dan idealisasi. Menurut Marchand, tidak ada iklan yang ingin
menangkap kehidupan seperti apa adanya, tapi selalu ada maksud untuk memotret ideal-
ideal sosial, dan merepresentasikan sebagai sesuatu yang normatif, seperti kebahagiaan,
kepuasan (seperti dikutip Nawiroh Vera, Semiotika dalam Riset Komunikasi, 2014 dalam
Noviani, 2002)
26
26
Rosisster dan Percy (seperti dikutip Limantoro, 2006 dalam Pratami, 2010) dalam
sebuah konsep kreatif iklan terdapat unsur-unsur yang saling mendukung (h.11). Unsur-
unsur yang terdapat pada iklan televisi tersebut terdiri dari:
a. Unsur heard words, yaitu kata-kata yang terdengar dalam iklan yang ditayangkan
yang membuat pemirsasemakin mengerti tentang maksud pesan iklan yang
ditayangkan.
b. Unsur colour, yaitu komposisi atau keserasian warna gambar serta pengaturan
cahaya yang terdapat dalam tampilan tayangan iklan.
c. Unsur music, yaitu musik atau audio yang terdapat dalam tayangan iklan,
termasuk iringan lagu yang ditayangkan.
d. Unsur picture, yaitu gambar atau tayangan iklan yang meliputi objek yang
digunakan, model yang digunakan, dan adegan yang ditampilkan.
e. Unsur seen words, yaitu kata-kata yang terlihat oada tayangan iklan yang dapat
mempengaruhi citra produk dalam benak pemirsa.
f. Unsur movement, yaitu gerakan yang ada atau terlihat pada tayangan iklan yang
dapat mempengaruhi emosi seseorang untuk larut didalamnya.
2.4 Semiotika
Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semion yang berarti
tanda. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk pada adanya hal
lain. Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang
mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai
tanda. Tanda-tanda (sign) adalah basis atau dasar dari seluruh komunikasi (Littlejohn
1996 dalam sobur, 2013). Semiotika merupakan suatu ilmu yang mengkaji / menganalisis
27
27
tentang tanda. Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial, memahami
dunia sebagai suatu sistem hubungan yang memiliki unit dasar dengan ‘tanda’. Ahli
semiotika, Umberto Eco menyebut Tanda sebagai suatu kebohongan dan dalam Tanda ada
sesuatu yang tersembunyi dibaliknya dan bukan merupakan Tanda itu sendiri. Tanda-
tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di
tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia (Sobur, 2013:15). Semiotika-atau
dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signifi) dalam hal ini
tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai
berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi
sistem terstruktur dari tanda (Barthes, 1988:179 dalam Sobur, 2013:15)
Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah
hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu tanda (Littlejohn, 1996 dalam Sobur,
2013). Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berhubungan
dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk non-verbal, teori-teori yang
menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda
disusun (Sobur, 2013). John Fiske (Fiske, 2016:44) mengemukakan semiotika mempunyai
tiga bidang studi utama yakni:
1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda,
cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-
tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi
manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.
2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara
berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat aatau
28
28
budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk
mentransmisikannya.
3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Hal ini tergantung pada penggunaan
kode-kode dan tanda-tanda tersebut untuk keberadaannya dan bentuknya sendiri.
Menurut Charles Morris, kajian semiotika pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam
tiga cabang penyelidikan (Branches of inquiry) yakni sintatik, sematik, dan pragmantik
(Wibowo, 2013):
1. Sintaktik (syntactis) atau sintaksis (syntax): suatu cabang penyelidikan semiotika
mengkaji hubungan-hubungan formal diantara satu tanda-tanda yang lain. Dengan
begitu hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang
mengendalikan tuturan dan interpretasi, pengertian sintaktik kurang lebih adalah
semacam gramatika.
2. Semantik (semantic): suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari
hubungan diantara tanda-tanda sebelum digunakan dalam tuturan tertentu.
3. Pragmantik (pragmatics): suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari
hubungan diantara tanda-tanda interpreter-interpreter atau para pemakainnya-
pemakaian tanda-tanda. Pragmatik secara khusus berurusan dengan aspek-aspek
komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan.
Ada dua pendekatan penting terhadap tanda-tanda yang biasanya menjadi rujukan
para ahli (Berger, 2000:11-22 dalam Sobur, 2013:31). Pertama, adalah pendekatan yang
didasarkan pada pandangan Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan kedua adalah
pendekatan Charles Sanders Pierce (1839-1914) (Sobur, 2013:31-34).
Menurut Sasussure, tanda merupakan objek fisik dengan suatu makna yang digunakan
untuk istilah, sebuah tanda teridir atas penanda dan petanda. Penanda adalah citra tanda
29
29
seperti yang kita persepsi tulisan di atas kertas atau suara di udara, petanda adalah sebuah
konsep mental yang diacukan petanda. Konsep mental ini secara umum sama pada semua
anggota kebudayaan yang sama yang menggunakan bahasa yang sama pula (Fiske,
2011:65).
Gambar 2.4.1
Bagan Semiotika Ferdinand De Saussure
Tanda
Tersusun Atas Realitas eksternal
Penanda plus Petanda
(aspek fisik) (aspek mental)
Sumber: John Fiske, 2007, Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar
Paling Komprehensif, Yogyakarta
Aspek fisik adalah segala sesuatu yang dapat dipersepsi atau dicercap dengan
memakai indera kita. Aspek mental adalah segala gambaran yang berkembang dalam
pikiran kita berkaitan dengan aspek fisik yang tercercap melalui alat indera tadi. Ketika
kita mendengar sebutan kata “Mobil”, maka konsep tentang “Mobil” muncul di benak
kita. Bagi Saussure, makna tanda bersifat arbiter (semena-mena), tergantung bagaimana
kelompok pemakai tanda dengan artian bagaimana kelompok menyepakati maknanya.
Dengan demikian, menurut Saussure, makna tanda bergantung konvensi (kesepakatan)
kelompok budaya pemakai suatu tanda.
30
30
Pierce, yang biasanya dipandang sebagai pendiri semiotika Amerika menjelaskan
modelnya secara sederhana:
“Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam
beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjuk pada seseorang, yakni, menciptakan di
benak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau barangkali suatu tanda yang lebih
berkembang. Tanda yang diciptakannya saya namakan interpretant dari tanda pertama.
Tanda itu menunjukkan sesuatu, yakni objeknya” (dalam Zeman, 1977 dalam Fiske,
2016:46)
Ketiga istilah pierce dapat dimodelkan seperti pada gambar berikut:
Gambar 2.4.2
Unsur Makna dari Pierce
Sign
(tanda)
Interpretant Object
(penafsir) (objek)
Sumber: John Fiske, 2016, Pengantar Ilmu Komunikasi, Yogyakarta: Buku
Litera.
Tanda, versi Pierce, menyerupai konsep penanda bagi Saussure. Sementara objek
adalah sesuatu yang dirujuk oleh tanda (yang ada diluar tanda dan diluar pikiran pemakai
31
31
tanda). Interpretan, yang dimaksud disini, adalah pikiran dari pemakai tanda. Ketiga unsur
ini merupakan sisi-sisi dari proses tertandaan yang selalu ada dan saling terkait satu sama
lain. Tanda tidak pernah berfungsi tanpa terhubung dengan intrepretan dan objek. Objek
tidak pernah terkomunikasikan tanpa adanya tanda (representamen) dan keterlibatan
interpretant. Sesuatu menjadi intrepretant manakala berinteraksi dengan tanda dan
terhubung oleh objek (Fiske, 2011:63).
Berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan
symbol (simbol) (Sobur, 2013:41-42).
1. Ikon merupakan tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya
bersifak bersamaan bentuk antara alamiah misalnya foto, lukisan, miniatur,
peta dll. Atau dengan kara lain, ikon merupakan hubungan antara tanda dan
objek atau acuan yang bersifat kemiripan.
2. Indeks merupakan tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara
tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau
tanda yang langsung mengacu pada kenyataan, misalnya asap merupakan
akibat adanya api, sebagai akibat, asap dipakai sebagai tanda adanya api
(faktor sebab) , dengan demikian ada asap berarti ada api. Tanda dapat pula
mengacu ke denotatum melalui konvensi. Tanda seperti itu adalah tanda
konvensional yang biasa disebut simbol.
3. Simbol merupakan tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara
penanda dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbitrer atau
semena, hubungannya berdasarkan konvensi (perjanjian) dalam masyarakat
atau dengan kata lain simbol adalah tanda yang maknanya tersusun melalui
konvensi anggota masyarakat pemakai tanda.
32
32
Kategori dan pembedaan trikotomis yang dibuat oleh (Pierce 1986 dalam kris
Budiman, 2005:53) mengenai tanda mau tidak mau merupakan pintu masuk yang tak
terelakkan bagi hampir setiap kategori tanda yang muncul lebih kemudian dan menjadi
sumber bagi salah satu tradisi utama di dalam semiotika. Pierce mengembangkan seluruh
klasifikasinya berdasarkan tiga kategori universal berikut:
1. Kepertamaan (firstness) adalah mode berada (mode of being) sebagaimana
adanya, positif, dan tidak mengacu kepada sesuatu yang lain. Dia adalah
kategori dan perasaan yang tak terefleksikan (unreflected feeling), semata-
mata potential, bebas, dan langsung; kualitas yang tak terbedakan
(undifferentiated quality) dan tak-tergantung.
2. Kekeduaan (secondness) mencakup relasi yang pertama dengan yang kedua.
Ia merupakan kategori perbandingan (comparison), faktisitas (faciticty),
tindakan, realitas, dan pengalaman ruang dan waktu.
3. Keketigaan (thirdness) menghantar yang kedua ke dalam hubungannya
dengan yang ketiga. Ia adalah kategori mediasi, kebiasaan (habit), ingatan,
kontinuitas, sintesism komunikasi (semiosis), representasi, dan tanda-tanda.
2.5 Semiologi Roland Barthes
Roland Barthes lahir pada tahun 1915 dari keluarga menengah Protestan di
Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat
daya Perancis. Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang
getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Roland Barthes
merupakan salah seorang pengikut Saussurean, dia berpandang bahwa sebuah sistem
tanda yang mencerminkan pandangan dari suatu masyarakat tertentu dalam kurun waktu
tertentu. Barthes menggunakan istilah konotasi dan denotasi dalam menguraikan sebuah
33
33
persoalan tanda. Denotasi merupakan makna paling nyata dari tanda dan bersifat
langsung, sedangkan konotasi merupakan maknya yang paling subjektif atau
intersubjektif. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan
perasasan atau emosi, serta nilai-nilai kebudayaan dari orang yang menerima tanda
tersebut. Sebuah penyataan, secara konotatif bisa bermakna tertentu bagi orang Jawa
(misal:kasar) sementara bagi orang Bali, maknanya beda lagi (misal:standar saja). Sebuah
foto wajah dengan teknik pengambilan gambar low angle, secara konotatif bisa bermakna
“kewibawaan”, “kekuasaan”, dsb. Bagi Barthes, dalam semiologi level pemaknaan yang
penting adalah level konotatif, atau level yang lebih tinggi lagi yakni level mitologis
(mitos).
Dalam istilah Roland Barthes, semiotika diartikan sebagai semua sistem tanda,
entah apapun subtansi yang bisa ditemukan dalam ritus, protocol, dan totonan
sekurangnya merupakan sisitem signifikasi (pertandaan), kalau bukan meruapakan bahasa.
Barthes mengungkapkan pendapatnya bahwa tanda dan teks tidak hanya memiliki arti
tunggal, namun memiliki pemaknaan yang luas, dimana dalam proses pemaknaan itu
sendiri terdapat banyak variabel yang terlibat, diantaranya pemahaman subyek tentang
tanda atau teks, budaya, lingkungan, pengalaman pribadi. Dalam menganalisa sebuah
tanda, Barthes memerlukan tiga tahapan. Yang pertama tahap denotatif. Yaitu mencatat
semua tanda yang ada seperti apa adanya misalnya gambar seseorang yang lagi merokok,
pada tahap ini yang dilakukan hanyalah mencatat informasi data yang disampaikan.
Denotasi lebih mengacu pada anggapan umum, makna jelas dari suatu tanda yang tesirat.
Kedua, tahap konotasi yaitu membaca tanda yang tersirat. Pada tahap ini dipakai untuk
menjelaskan salah sati dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua.
Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung saat tanda bertemu dengan perasaan
atau emosi penggunanya dan nilai kulturalnya. Ketiga, tahap ideology atau mitos, yaitu
bagaimana memahami apa yang menjadi pandangan hidup yang berlaku di masyarakat
34
34
dan merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan masyarakat, dan berguna untuk
mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Jika konotasi adalah pemaknaan tatanan
kedua dari penanda, mitos merupakan pemaknaan tatanan kedua dari petanda (Fiske,
2016;102)
Model Barthes ini, mempunyai keunggulan dalam ranah mitos. Teori Barthes
tentang mitos dimaksudkan untuk meneliti budaya media seperti iklan. Iklan mengambil
bentuk sistem mitos karena iklan menggunakan sistem tanda tingkat pertama
(gambar,musik, kata-kata, dan gerak-gerik) sebagai landasan untuk pembentukan sistem
semiotik tingkat dua .Barthes mengatakan bahwa mitos bukanlah pembicaraan atau wicara
yang sembarangan, bahasa membutuhkan kondisi-kondisi khusus untuk menjadi mitos.
Tetapi yang harus ditetapkan secara tegas adalah bahwa pada awalnya mitos, adalah suatu
pesan. Hal ini memungkinkan kita untuk memahami bahwa mitos tidak mungkin
merupakan suatu objek, konsep, atau gagasan. Mitos merupakan mode pertandaan (a
mode of signification), suatu bentuk (a form), kemudian, kita mesti menerapkan kepada
bentuk ini batas-batas historis, kondisi-kondisi penggunaan, dan memperkenalkan kembali
masyarakat ke dalamnya: namun pertama-tama kita harus mendeskripsikannya sebagai
suatu bentuk (Barthes, 1972-1979:295)
Dalam rangka mengaitkan antara konsep penanda-petanda dan makna denotatif-
konotatif, Barthes mengembangkan model pemaknaan seperti tampak dalam gambar
berikut:
35
35
Gambar 2.5 Pemaknaan 2 Tahap Roland Barthes
First order Second order
Tingkat pertama tingkat kedua
Reality sign culture
Realitas tanda kebudayaan
Bentuk
Konten
Sumber: John Fiske John Fiske, 2016, Pengantar Ilmu Komunikasi, Yogyakarta:
Buku Litera.
Melalui bagan seperti diatas yang dikutip oleh Fiske menjelaskan signifikansi
tahap pertama merupakan hubungan antara penanda dan pertanda di dalam sebuah tanda
terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya dengan denotasi yang merupakan makna
sebenarnya dari tanda itu sendiri, sedangkan konotasi adalah istilah yang digunakan
Barthes untuk menunjukkan signifikansi tahap kedua. Hal ini memberi gambaran interaksi
yang terjadi ketika tanda dipertemukan dengan perasaan atau emosi dari pembaca tanda
serta nilai-nilai kebudayaannya pada signifikansi tahap kedua yang berhubungan dengan
isi, tanda bekerja melalui mitos (myth) (Fiske, 2016:102).
Denotation
denotasi
Signifier
penanda
Signified
menandakan
connotation
konotasi
myth
mitos
36
36
2.6 Pendekatan Semiotik sebagai Jalan untuk Memahami Iklan
Manusia sebagai salah satu pelaku semiotik, dimana setiap hari kita lihat tanda
ada dimana-mana. Tanda merupakan hasil dari kebudayaan manusia. Kata adalah tanda,
demikian pula dengan gerak isyarat, bendera, logo, iklan, film, gambar, karikatur dan
sebagainya. Tugas utama penelitian semiotik adalah mengamati terhadap gejalan di
sekelilingnya melalui berbagai “tanda” yang dilihatnya. Tanda sebenarnya merupakan
sebuah konsep yang dibentuk manusia yang memiliki sejumlah fungsi, tujuan, sebutan
dan keinginan. Tanda tersebut sebagai hasil dari kebudayaan manusia yang menjadi
sistem tanda yang digunakan sebagai parameter di kehidupannya.
Dalam iklan yang mempunyai berbagai aspek-aspek komunikasi seperti pesan
menjadi unsur utama dalam mengkomunikasikan keinginan pembuat iklan. Iklan adalah
sebuah ajang permainan tanda, yang selalu bermain pada tiga elemen tanda yang saling
mendukung, yaitu objek, konteks, dan teks. Penanda dan petanda merupakan konsep
mental untuk membagi realitas dan mengkategorikannya sehingga kita bisa memaknai
dan memahami realitas yang ada pada iklan. Pada dasarnya lambang yang digunakan
dalam iklan terdiri dari dua jenis, yaitu lambang verbal dan lambang nonverbal. Lambang
verbal adalah bahasa yang kita kenal, sedangkan lambang nonverbal adalah bentuk dan
warna yang disajikan dalam iklan yang tidak secara khusus meniru rupa atas bentuk
realitas. Menurut Asa Berger (2000) dalam (Sobur, 2013:117), ada hal-hal yang perlu
dipertimbangkan untuk menganalisis iklan yaitu:
1. Penanda dan Petanda
2. Gambar, indeks, dan simbol
3. Fenomena sosiologis
4. Sifat daya tarik yang dibuat untuk menjual produk
37
37
5. Desain dari iklan
6. Publikasi yang ditemukan di dalam iklan dan khayalan yang diharapkan oleh
publikasi tersebut.
Fungsi tanda dalam iklan yang disebut commodity-sign ini berorientasi pada
penjualan produk atau objek dan menjadi pembawa pesan promosi dengan kata lain iklan
sombolik secara ekonomi tidak hanya sekedar memfasilitasi sirkulasi komoditi melalui
persuasi tapi komoditi ini dikodekan sebagai sebuah tanda psycho-ideologis yang
diharapkan, yang dihubungkan dengan identitas, orientasi, maupun tujuan hidup
(Noviani, 2002:28).
Dalam iklan terdapat banyak tanda, setiap orang pasti tidak sama dalam
memaknai tanda itu sendiri. Tanda-tanda yang ada termasuk berbagai sistem tanda yang
bekerja sama dengan baik dalam rangka mencapai efek yang diharapkan oleh pembuat
iklan, terutama dalam visual dan audio. Audio dan visualisasi pada iklan berfungsi untuk
memberikan kesan lebih hidup. Teknik pengambilan gambar dan kamera yang dilakukan
mempunyai tujuan memberikan makna yang berbeda-beda. Terdapat pula unsur yang
tidak boleh dilupakan seperti teknik pencahayaan (lighting), penggunaan warna, special
effect,sound effect, dan sebagainya. Hasil akhir upaya pengiklan diharapkan oleh
pembuatnya menjadi konvensi baru dikalangan khalayak sasaran (Berger, 2000: 33-34)
Dalam iklan ada beberapa tanda yang mempunyai dimensi visual yang sangat
penting untuk mengetahui dan mengerti variasi aspek visual tanda agar suatu sistem tanda
yang terkonstruksi antar simbol visual dan audio dapat dimaknai oleh audiens,
diantaranya adalah (Berger, 2000: 39-42):
1. Penggunaan warna. Perbedaan warna menimbulkan perbedaan-perbedaan
emosi. Seperti warna merah yang dapat berkonotasi dengan kekuatan,
38
38
adrenalin, gairah, enerjik, cinta. Hijau yang berkonotasi kedamaian,
kesuburan, harmoni. Biru, lambang suasana damai, menenangkan, lembut,
setia, aman, tanpa emosi. Kuning, melambangkan kejelasan, terbuka. Putih,
yang melambangkan kesucian, kemurnian, bersih, damai. Hitam yang
melambangkan kekuatan, kekuasaan, elegan, menantang, dapat juga
melambangkan kesusahan, kesedihan, kebencian, kematian. (Liliweri, 2011:
1041)
2. Ukuran. Ketika kita berbicara mengenai ukuran, perhatian kita tidak hanya
pada dimensi yang diberikan, tapi juga pada unsur keterkaitan antara tanda
dan sistem tanda.
3. Ruang lingkup. Hubungan antara unsur-unsur dalam sistem tanda semacam
periklanan.
4. Kontras. Kontras digunakan untuk “ketelitian” persepsi, dan karenanya
menimbulkan “tampilan”.
5. Bentuk. Bentuk memainkan peran penting dalam memunculkan arti dalam
iklan.
6. Detail. Detail adalah sebuah tanda dari sejumlah manfaat, atau tepatnya
merupakan sebuah simbol.
Di dalam iklan televisi, terdapat daftar yang memuat hal penting tentang
pengambilan gambar, yang berfungsi sebagai penanda dan apa yang biasanya ditandai
pada tiap pengambilan gambar seperti teknik pengambilan gambar di bawah ini:
39
39
Tabel 2.6.1
Kategori Makna Teknik Pengambilan Gambar:
Teknik Pengambilan Batasan Makna
Close Up Hanya bagian wajah Keintiman
Medium Shot Bagian pinggang keatas Hubungan perorangan
Long Shot Setting dan karakter Lingkup jarak
Full Shot Seluruh tubuh Hubungan sosial
Sumber: Berger, 2000 dalam birowo, 2004:48
Sedangkan untuk tambahan shot dasar ada beberapa teknik pengambilan gambar
yang bisa digunakan:
1) Extreme Close Up (ECU/XCU) : pengambilan gambar yang terlihat sangat detail
seperti hidung pemeran atau bibir atau ujung tumit dari sepatu.
2) Big Close Up (BCU) : shot yang menampilkan bagian tertentu dari tubuh manusia.
Obyek mengisi seluruh layar dan jelas sekali detailnya.
3) Medium Close Up (MCU) : hampir sama dengan MS, jika objeknya orang dan
diambil dari dada keatas.
4) Medium Shot (MS) : pengambilan dari jarak sedang, jika objeknya orang maka yang
terlihat hanya separuh badannya saja. Disini objek menjadi lebih besar dan lebih
dominan, objek manusia dinampakkan dari atas pinggang sampai diatas kepala, latar
belakang masih kelihatan sebanding dengan objek utama.
5) Knee Shot (KS) : pengambilan gambar objek dari kepala hingga lutut.
40
40
6) Medium Long Shot (MLS) : gambar diambil dari jarak yang wajar sehingga jika
misalnya terdapat 3 objek maka seluruhnya akan terlihat. Bila objeknya satu orang
maka tampak dari kepala sampai lutut.
7) Extreme Long Shot (XLS) : gambar diambil dari jarak yang sangat jauh,
mengahsilkan bidang pandangan yang sangat luas. Kamera mengambil keseluruhan
pemandangan. Objek utama dan objek lainnya nampak sangat kecil dalam
hubungannya dengan latar belakang.
8) One Shot (IS) : pengambilan gambar satu objek.
9) Two Shot (2S) : pengambilan gambar dua orang.
10) Three Shot (3S) : pengambilan gambar tiga orang.
11) Group Shot (4S) : pengambilan gambar diatas 3 orang / pengambilan gambar
sekelompok orang.
12) Over the Shoulder Shot (OS) : Shot dimana objek utama menghadap kamera, dengan
bingkai disamping kiri atau kanan , nampak bahu sebagian kepala objek lain sebagai
lawan bicara.
13) Establising Shot (ES) : pengambilan gambar dengan kamera statis atau dinamis,
biasanya dalam posisi Extreme Long Shot (ELS) yang menampilkan keseluruhan atau
objek.
Sedangkan cara kerja kamera dan teknik penyuntingan dapat dipaparkan dengan
cara yang sama:
41
41
Tabel 2.6.2
Kategori Makna teknik Penyuntingan dan Kerja Kamera
Teknik Pengambilan Batasan Makna
Fade in Gambar kelihatan pada
layar kosong
Permulaan
Fade out Gambar di layar menjadi
hilang
Penutupan
Cut Pindah dari gambar satu ke
layar lain
Kebersambungan, menarik
Wipe Gambar terhapus dari layar Penentuan kesimpulan
Till Down Kamera diarahkan kebawah Kekuasaan, kewibawaan
Till Up Kamera diarahkan keatas Kelemahan, pengecilan
Zoom In Focallength ditarik kedalam Observasi,fokus
Sumber : Berger, 2000:34
Untuk memperjelas makna visualiassi gambar pada iklan ada elemen-elemen
penting yang perlu diketahui dalam pengambilan gambar yaitu pengambilan gambar yang
dapat menandakan sesuatu. Pengambilan gambar terhadap suatu objek dapat dilakukan
dengan cara:
1) Bird Eye View
Teknik pengambilan gambar yang dilakukan dengan ketinggian kamera berada
di atas ketinggian objek. Hasilnya akan terlihat lingkungan yang luas dan benda-
benda lain tampak kecil dan berserakan.
2) High Angle
Sudut pengambilan dari atas objek sehingga mengesankan objek menjadi terlihat
kecil. Teknik ini memiliki kesan dramastis yaitu nilai “kerdil”
42
42
3) Low Angle
Sudut pengambilan dari atah bawah objek sehingga mengesankan objek jadi
terlihat besar. Teknik ini memiliki kesan dramastis yaitu nilai agung /
prominance, berwibawa, kuat, dominan
4) Eye Level
Sudut pengambilan gambar sejajar dengan objek. Hasilnya memperlihatkan
tangkapan pandangan mata seseorang. Teknik ini tidak memiliki kesan dramastin
melainkan kesan wajar.
5) Frog Eye
Sudut pengambilan gambar dengan ketinggian kamera sejajar dengan alas/dasar
kedudukan objek atau lebih rendah. Hasilnya akan tampak seolah-olah mata
penonton mewakili mata katak.
Sedangkan elemen audio dalam iklan di televisi adalah monolog maupun dialog
percakapan yang terjadi antara talent dalam iklan, jingle lagu/musik yang mengiringi
pada iklan, biasanya berisi pesan yang disampaikan tentang produk yang di iklankan dan
efek suara atau Sound Effect serta Voice Over yaitu teks yang dibaca oleh seorang narator
sepanjang iklan.
Sedangkan Lighting merupakan tata cahaya yang dilakukan untuk membuat
situasi yang diinginkan dapat tercapai. Jenis-jenis lighting berdasarkan penempatannya
(Semedhi, 2011: 72-73)
a. Key Light: Key Ligth merupakan sumber cahaya utama, dengan intensitas paling
besar
43
43
b. Fill light: Fill light merupakan cahaya penyeimbang untuk mengurangi bayangan
dari objek yang mendapat cahaya dari key light
c. Back light: Back light merupakan cahaya yang ditempatkan di atas objek,
mengarah ke pundak atau rambut, untuk memberikesan 3 dimensi pada gambar
d. Background light: Background ligth merupakan cahaya yang diarahkan ke latar
belakang atau dinding belakang objek, untuk menghilangkan cahaya yang jatuh
di latar belakang.
Dalam proses pembuatan iklan memilih warna untuk merepresentisan sesuatu
juga sangat penting karena warna mempunyai pengaruh terhadap emosi dan asosiasinya
terhadap macam-macam pengalaman, maka setiap warna mempunyai arti perlambangan
dan makna. Dalam aktivitas manusia, warna membangkitkan kekuatan perasaan untuk
bangkit atau pasif, baik dalam penggunaan interior maupun untuk berpakaian, adapun
makna dari macam-macam warna yaitu :
a) Merah : cinta, nafsu, kekuasaan, berani, primitif, menarik, bahaya, dosa,
pengorbanan, vitalitas.
b) Merah jingga : semangat, tenaga, kekuatan, pesat, hebat, gairah.
c) Jingga : hangat, semangat muda, ekstremis, menarik.
d) Kuning jingga : kebahagiaan, penghormatan, kegembiraan, optimisme, terbuka.
e) Kuning : cerah, bijaksana, terang, bahagia, hangat, pengecut,
pengkhianatan, keceriaan
f) Kuning hijau : persahabatan, muda, kehangatan, baru, gelisah, berseri.
g) Hijau muda : kurang pengalaman, tumbuh, cemburu, iri hati, kaya, segar
44
44
h) Hijau biru : tenang, santai, diam, lembut, setia, kepercayaan.
i) Biru : damai, setia, konservatif, pasif, terhormat, depresi, lembut,
menahan diri.
j) Biru ungu : spiritual, kelelahan, hebat, kesuraman, kematangan, sederhana,
rendah hati, tenang.
k) Ungu : misteri, kuat, supremasi, formal, melankolis, pendiam, agung.
l) Merah ungu : tekanan, intrik, drama, terpencil, penggerak, teka-teki.
m) Coklat : hangat, tenang, alami, bersahabat, kebersamaan, tenang, rendah
hati.
n) Hitam : kuat, duka cita, resmi, kematian, keahlian, tidak menentu.
o) Abu-abu : tenang, kesederhanaan.
p) Putih : harapan, murni, suci, lugu, bersih, spiritual, pemaaf, cinta,
terang
Sumber: Marian L. David, Design in Dress (1988:135) dalam Sulasmi (2001: 37-38).