Post on 12-Mar-2019
13
BAB II
IBU TIRI DAN KEPRIBADIAN ANAK
A. Ibu Tiri Dalam Keluarga
1. Pengertian Keluarga
Dalam setiap masyarakat manusia, pasti akan dijumpai keluarga.
Keluarga merupakan kelompok sosial kecil yang terdiri dari suami, istri
beserta anak-anaknya yang belum menikah. Keluarga, lazimnya juga
disebut rumah tangga, yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat
sebagai wadah dan proses pergaulan hidup.1 Keluarga merupakan
kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia
belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan
interaksi dengan kelompoknya.2 Keluarga mempunyai peranan penting
untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani anak serta
menciptakan kesehatan jasmani dan rohani yang baik.3
Keluarga merupakan kelembagaan (institusi) primer yang sangat
penting dalam kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun
masyarakat. 4 Sebenarnya keluarga mempunyai fungsi yang tidak hanya
terbatas selaku penerus keturunan saja. Dalam bidang pendidikan,
keluarga merupakan sumber pendidikan utama, karena segala pengetahuan
dan kecerdasan intelektual manusia diperoleh pertama-tama dari orang tua
dan anggota keluarganya.5 Lima ciri khas yang dimiliki keluarga, yaitu (1)
adanya hubungan berpasangan antara kedua jenis kelamin; (2) adanya
1Soerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga tentang Hal Ikhwal Keluarga, Remaja dan
Anak, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm.1. 2W.A.Gerungan, Psikologi Sosial, PT.al-Maarif, Bandung, 1978, hlm. 180 3Ramayulis, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, Kalam Mulia, Jakarta, 1990,
hlm. 79 4Tarya J.Sugarda, “Kata Sambutan Dosen Sosiologi Keluarga Program Pasca Sarjana
UNPAD”, dalam Hendi Suhendi dan Ramdani Wahyu, Pengantar Studi Sosiologi Keluarga, Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm. 5.
5NY.Singgih D.Gunarsa, Psikologi Keluarga, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1986, hlm. 1
14
perkawinan yang mengokohkan hubungan tersebut; (3) pengakuan
terhadap keturunan, (4) kehidupan ekonomi bersama; dan (5) kehidupan
berumah tangga.6
Menurut Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun bahwa tata cara
kehidupan keluarga akan memberikan suatu sikap serta perkembangan
kepribadian anak yang tertentu pula. Dalam hubungan ini Moeljono
Notosoedirdjo dan Latipun meninjau tiga jenis tata cara kehidupan
keluarga, yaitu tata cara kehidupan keluarga yang (1) demokratis, (2)
membiarkan dan (3) otoriter. Anak yang dibesarkan dalam susunan
keluarga yang demokratis, membuat anak mudah bergaul, aktif dan ramah
tamah. Anak belajar menerima pandangan-pandangan orang lain, belajar
dengan bebas mengemukakan pandangannya sendiri dan mengemukakan
alasan-alasannya. Hal ini bukan berarti bahwa anak bebas melakukan
segala-galanya, bimbingan kepada anak tentu harus diberikan. Anak yang
mempunyai sikap agresif atau dominasi, kadang-kadang tampak tetapi hal
ini kelak akan mudah hilang bila dia dibesarkan dalam keluarga yang
demokratis. Anak lebih mudah melakukan kontrol terhadap sifat-sifatnya
yang tak disukai oleh masyarakat. Anak yang dibesarkan dalam. susunan
keluarga yang demokratis merasakan akan kehangatan pergaulan.7
Adapun keluarga yang sering membiarkan tindakan anak, maka
anak yang dibesarkan dalam keluarga yang demikian ini akan membuat
anak tidak aktif dalam kehidupan sosial, dan dapat dikatakan anak menarik
diri dari kehidupan sosial. Perkembangan fisik anak yang dibesarkan
dalam keluarga ini menunjukkan terhambat. Anak mengalami banyak
frustrasi dan mempunyai kecenderungan untuk mudah membenci
seseorang. Dalam lingkungan keluarga anak tidak menunjukkan
agresivitasnya tetapi dalam pergaulan sosialnya kelak anak banyak
6Syahrin Harahap, Islam Dinamis Menegakkan Nilai-Nilai Ajaran al-Qur’an Dalam
Kehidupan Modern di Indonesia, PT.Tiara Wacana, Yogyakarta, 1997, hlm. 35. 7Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun, Kesehatan Mental Konsep dan Penerapan,
Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2002, hlm. 175.
15
mendapatkan kesukaran. Dalam kehidupan sosialnya, anak tidak dapat
mengendalikan agresivitasnya dan selalu mengambil sikap ingin menang
dan benar, tidak seperti halnya dengan anak yang dibesarkan dalam
susunan keluarga yang demokratis. Hal ini terjadi karena anak tidak dapat
mendapatkan tingkat interaksi sosial yang baik di keluarganya. Sedangkan
anak yang dibesarkan dalam keluarga yang otoriter, biasanya akan bersifat
tenang, tidak melawan, tidak agresif dan mempunyai tingkah laku yang
baik. Anak akan selalu berusaha menyesuaikan pendiriannya dengan
kehendak orang lain (yang berkuasa, orang tua). Dengan demikian
kreativitas anak akan berkurang, daya fantasinya kurang, dengan demikian
mengurangi kemampuan anak untuk berpikir abstrak. Sementara itu, pada
keluarga yang demokratis anak dapat melakukan banyak eksplorasi. 8
Tipe kepemimpinan orang tua yang otoriter, meski tidak disukai
oleh kebanyakan orang, karena menganggap dirinya sebagai orang tua
paling berkuasa, paling mengetahui dalam segala hal, tetapi dalam etnik
keluarga tertentu masih terlihat dipraktikkan. Dalam praktiknya tipe
kepemimpinan orang tua yang otoriter cenderung ingin menguasai anak.
Perintahnya hars selalu dituruti dan tidak boleh dibantah. Anak kurang
diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan dalam bentuk
penjelasan, pandangan, pendapat atau saran-saran. Tanpa melihat
kepentingan pribadi anak, yang penting instruksi orang tua harus dituruti.
Tipe kepemimpinan orang tua yang otoriter selain ada keuntungannya,
juga ada kelemahannya. Anak yang selalu taat perintah adalah di antara
keuntungannya. Sedangkan kelemahannya adalah kehidupan anak statis,
hanya menunggu perintah, kurang kreatif, pasif, miskin inisiatif, tidak
percaya diri, dan sebagainya. 9
8Ibid, hlm. 176 9Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua & Anak Dalam Keluarga,
Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm. 70.
16
Dari tiga jenis tersebut di atas Baldwin yang dikutip Moeljono
Notosoedirdjo dan Latipun mengatakan bahwa lingkungan keluarga yang
demokratis merupakan tata cara yang terbaik bagi anak untuk memberikan
kemampuan menyesuaikan diri. Namun demikian, tata cara susunan
keluarga ini kenyataannya tidak terbagi secara tajam berdasarkan ciri-ciri
keluarga dalam tiga jenis tersebut. Yang terbanyak ialah campuran dari
tiga jenis tersebut, dan dalam hal yang demikian ini akan ditentukan oleh
mana yang paling menonjol atau yang paling kuat yang ada dalam
susunan suatu keluarga.10
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa peranan
keluarga sangat besar pengaruhnya dalam mewarnai perilaku anak, karena
itu keluarga merupakan benteng utama dalam membangung pribadi anak.
2. Peran Ibu Tiri Dalam Keluarga
Seorang anak yang dibesarkan, dipelihara dan dididik dalam
rumah tangga yang aman tenteram, penuh dengan kasih sayang akan
tumbuh dengan baik dan pribadinya akan terbina dengan baik pula.
Namun bagaima dengan anak dibesarkan oleh ibu tiri.11 Inilah masalah
menarik ketika masalah keluarga menyangkut soal ibu tiri, karena macam-
macam ceritera dan legenda tentang ibu tiri yang ganas-jahat dijumpai
pada hampir setiap bangsa di dunia. Ceritera-ceritera itu memberikan
gambaran tentang penderitaan dan kesengsaraan yang harus dialami oleh
anak tiri, serta penampilan kekejaman ibu-ibu tiri dalam menyiksa dan
menyakiti anak tirinya. Bahkan tidak jarang ibu-ibu ini berusaha dengan
segala macam daya dan akal untuk menyingkirkan dan membunuh, anak
tirinya. Maka perumpamaan yang menyatakan bahwa ibu-ibu tiri itu suka
"menggodog anak tirinya dalam kuali panjang" yang sangat populer di
tengah masyarakat, memang mendekati realitas nyata. Hal ini
10Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun, op. cit, hlm. 176 11Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental, Bulan Bintang,
Jakarta, 1975, hlm. 68
17
menunjukkan, bahwa dalam kenyataannya ibu tiri itu sering menyebabkan
azab sengsara kepada anak-anak tirinya.
Ceritera-ceritera sihir dan dongeng-dongeng yang sangat terkenal
tentang ibu tiri yang ganas-jahat, sangat digemari oleh anak-anak di
seluruh dunia: antara lain ialah: Klenting Kuning, Bawang Merah dan
Bawang Putih, Panji Semirang atau Galuh Candrakirana, Puteri Salju
(Snow White), Cinderella, dan lain-lain. Relasi yang sangat buruk terutama
sekali dijumpai di antara ibu tiri dengan anak tiri perempuan. Pada banyak
ceritera klasik dikisahkan, bahwa anak-anak tiri itu hampir selalu
menderita azab-sengsara; dan oleh rasa putus asa melakukan usaha bunuh
diri karena tidak tahan lagi menanggung dera siksaan dari ibu tirinya.
Dalam cerita lain dikisahkan. bahwa anak tiri (seorang gadis) harus
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang paling kotor dan paling hina, diberi
pakaian yang paling buruk; bahkan sering mukanya dicoreng-coreng agar
kelihatan sangat jelek. Dimaki-maki serta diperhinakan setiap hari.12
Dalam hubungannya ibu tiri dengan anak tiri, bahwa anak tiri
adalah anak yang dibawa serta dalam perkawinan baru, maka ia menjadi
anak tiri bagi sang suami atau sang istri. Yang menimbulkan problem
adalah ketika anak itu dibawa hidup dalam rumah tangga baru ini beserta
ibu tiri dan bapak kandungnya. Dalam keadaan demikian, bagi mereka
berdua hal ini tidak menimbulkan masalah, tetapi jika mereka
mendapatkan anak lain timbul problem terutama jika anak tiri ini adalah
anak dari suami. Sang istri lebih cemburu, karena ia selalu berhadapan
dengan anak-anak di dalam segala keadaan. Di sini timbul hasut, dengki
dan perbuatan yang tidak baik. Kemungkinan anak tiri tersiksa jiwa dan
perasaan, karena diskriminasi yang diterima dari ibu tirinya.13
Dari sini muncul konflik antara ibu tiri dengan anak tiri, dan
konflik akan terus berkepanjangan jika motif utama semua tingkah
12Kartini Kartono, Psikologi Wanita Mengenal Wanita Sebagai Ibu & Nenek, jilid 2,
Mandar Maju, Bandung, 1992, hlm. 279 – 280. 13Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam, Anak Kandung, Anak
Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina, CV Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1995, hlm. 75 – 76.
18
keganasan ibu tiri ini terutama ialah: iri hati dan dengki. Khususnya ibu
tiri tersebut sama sekali tidak menghendaki suaminya memberikan kasih-
sayang kepada anaknya sendiri. Sebab ia ingin memonopoli suaminya,
Ibu-ibu tiri itu selalu saja berusaha dengan cara-cara yang licik untuk
menyingkirkan dan menyisihkan anak tirinya; dan selanjutnya
mengangkangi semua hak prerogatif yang menjadi milik anak tirinya
untuk diri sendiri.
Kesimpulannya ialah, apakah seorang wanita itu kelak menjadi
seorang ibu tiri yang baik ataukah menjadi seorang ibu tiri yang ganas,
tidak hanya tergantung pada konstitusi psikis wanita itu sendiri, akan
tetapi juga dipengaruhi oleh semua faktor lingkungan sosialnya. Karena
itu ibu tiri bukan satu fenomena yang terisolasi atau berdiri sendiri. Akan
tetapi gejala ibu tiri itu hendaknya difahami secara psikologis dalam
relasinya dengan lingkungan dan keluarganya; yaitu dengan ayah. nenek-
kakek, ibu, atau ibunya yang sudah meninggal, kakak-kakak, adik dan lain
sebagainya.
B. Anak Dalam Keluarga
1. Perkembangan Anak
Menurut Elisabeth B. Hurlock, Istilah perkembangan berarti
serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses
kematangan dan pengalaman.14 Selanjutnya Elisabeth B. Hurlock dengan
mengutip perkataan Van den Daele menyatakan:
Perkembangan berarti perubahan secara kualitatif, ini berarti bahwa perkembangan bukan sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang atau peningkatan kemampuan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks. Pada dasarnya ada dua proses perkembangan yang saling bertentangan yang terjadi secara
14Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, Suautu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan, edisi kelima, alih bahasa, Istiwidayanti, Soedjarwo, Erlangga, Jakarta, tth, hlm. 2
19
serempak selama kehidupan, yaitu pertumbuhan atau evolusi dan kemunduran atau involusi.15
Menurut Andi Mappiare sebagaimana mengutip Elizabeth
B.Hurlock bahwa jika dibagi berdasarkan bentuk-bentuk perkembangan
dan pola-pola perilaku yang nampak khas bagi usia-usia tertentu, maka
rentangan kehidupan terdiri atas sebelas masa yaitu :
Prenatal : Saat konsepsi sampai lahir.
Masa neonatal : Lahir sampai akhir minggu kedua setelah lahir.
Masa bayi : Akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
Masa kanak-kanak awal : Dua tahun sampai enam tahun.
Masa kanak-kanak akhir : Enam tahun sampai sepuluh atau sebelas tahun.
Pubertas/preadolescence : Sepuluh atau dua belas tahun sampai tiga belas
atau empat belas tahun
Masa remaja awal : Tiga belas atau empat belas tahun sampai tujuh
belas tahun.
Masa remaja akhir :Tujuh belas tahun sampai Dua puluh satu tahun.
Masa dewasa awal : Dua puluh satu tahun sampai empat puluh tahun.
Masa setengah baya : Empat puluh sampai enam puluh tahun
Masa tua : Enam puluh tahun sampai meninggal dunia.16
Dalam pembagian rentangan usia menurut Hurlock di atas, terlihat
jelas masa kanak-kanak awal: dua tahun sampai enam tahun, dan masa
kanak-kanak akhir: enam tahun sampai sepuluh atau sebelas tahun
Y. Byl yang dikutip Abu Ahmadi membagi fase anak sebagai
berikut:
a. Fase bayi 0,0 - 0,2.
b. Fase tetek 0,2 - 1,0.
c. Fase pencoba 1,0 - 4,0.
d. Fase menentang 2,0 - 4,0.
15Ibid, hlm. 2 16Andi Mappiare, Psikologi Remaja, Surabaya: Usaha Nasional, 1982, hlm. 24 –25.
Penjelasan yang lebih rinci dapat dilihat Elisabeth B. Hurlock, op. cit, hlm. 27, 51, 75, 107, 145, 183, 205, dan seterusnya.
20
e. Fase bermain 4,0 - 7,0.
f. Fase sekolah 7,0 - 12,0.
g. Fase pueral 11,0 - 14,0.
h. Fase pubertas 15,0 - 18,0.17
Dengan melihat pembagian yang berbeda-beda antara ahli satu
dengan lainnya, Asnely mengambil kesimpulan dengan melakukan
pembagian:
1. Fase pranatal;
2. fase awal masa kanak-kanak, umur 0-5 tahun;
3. fase akhir masa kanak-kanak, umur 6-12 tahun;
4. fase remaja dan dewasa, umur 13-18 tahun.18
Pembagian perkembangan ke dalam masa-masa perkembangan
hanyalah untuk memudahkan mempelajari dan memahami jiwa anak-
anak. Walaupun perkembangan itu dibagi-bagi ke dalam masa-masa
perkembangan, namun tetap merupakan kesatuan yang hanya dapat
dipahami dalam hubungan keseluruhan.19
Dalam perspektif Islam, perjalanan hidup manusia dibagi menjadi
empat priode:20
a. Periode Kandungan
Periode kandungan ialah suatu periode di ketika manusia
masih berada di dalam kandungan ibunya. 21
b. Periode Thufulah (kanak-kanak)
Periode ini dimulai semenjak seseorang lahir ke dunia. Dengan
lahirnya itu, maka telah sempurnalah sifat kemanusiaannya, karena ia
telah terpisah dari tubuh ibunya. Namun demikian, kemampuan
17Abu Ahmadi, Psikologi Belajar, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm. 47 18Asnelly Ilyas, Mendambakan Anak Saleh, Al-Bayan, Bandung, 1997, hlm. 48. 19Zulkifli, Psikologi Perkembangan, CV Remaja Karya, Bandung, 1986, hlm. 23. 20Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, Jilid 2, PT Dhana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995,
hlm. 1. 21Zahri Hamid, Peribadatan Dalam Agama Islam, PT al-Ma'arif, Bandung, 1980,
hlm. 23
21
akalnya belum ada, kemudian berkembang sedikit demi sedikit.
Periode ini berlangsung sampai seseorang mencapai masa tamyiz.22
c. Periode Tamyiz.
Dalam masa ini seseorang mempunyai kemampuan berbuat
tidak penuh. Perbuatannya ada kalanya berhubungan dengan hak
Allah atau dengan hak manusia.23
Periode tamyiz dimulai dari seseorang mampu membedakan
antara sesuatu yang baik dengan yang buruk dan antara sesuatu yang
bermanfaat dengan yang madlarat. Pada periode ini kemampuan akal
seseorang belum sempurna, karena periode ini adalah masa mulai dan
semakin bersinarnya cahaya kemampuan akal seseorang. Karena itu
daya fikirnya masih dangkal, yakni masih terbatas pada hal-hal yang
nampak saja.24 Sedangkan berakhirnya periode tamyiz, yaitu apabila
seseorang telah mencapai masa baligh.
d. Periode Baligh
Dalam masa ini dimana seseorang telah mencapai
kedewasaannya, ia mempunyai kemampuan berbuat sepenuhnya, baik
yang berhubungan dengan ibadat ataupun muamalat. Dalam masa
inilah, ia menjadi mukallaf yang sebenarnya.25
2. Karakteristik Anak Pada Setiap Perkembangan
Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak,
tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Dalam
keluarga, umumnya anak ada dalam hubungan interaksi yang intim.
Segala sesuatu yang diperbuat anak mempengaruhi keluarganya dan
sebaliknya. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah-laku,
watak, moral dan pendidikan kepada anak. Pengalaman interaksi di dalam
22Zakiah Daradjat, op. cit, hlm. 1-2. 23Hanafie, Ushul Fiqh, Bina Grafika, Jakarta, 2001, hlm. 26 24Zakiah Daradjat. op. cit, hlm. 2-3 25Hanafie, op. cit, hlm. 27
22
keluarga akan menentukan pula pola tingkah-laku anak terhadap orang
lain dalam masyarakat.26
Sebenarnya sejak anak masih dalam kandungan telah banyak
pengaruh-pengaruh yang di dapat dari orang tuanya. Misalnya situasi
kejiwaan orang tua (terutama ibu) bila mengalami kesulitan, kekecewaan,
ketakutan, penyesalan, terhadap kehamilan tentu saja memberi pengaruh.
Juga kesehatan tubuh, gizi makanan ibu akan memberi pengaruh terhadap
bayi tentu saja mengakibatkan kurangnya perhatian, pemeliharaan, kasih
sayang. Padahal segala perlakuan sikap sekitar itu akan memberi andil
terhadap pembentukan pribadi anak, bila bayi sering mengalami
kekurangan, kekecewaan, tak terpenuhinya kebutuhan secara wajar tentu
saja akan memberi pengaruh yang tidak sedikit dalam penyesuaian
selanjutnya. Pada masa anak sangat sensitif apa yang dirasakan orang
tuanya. Dengan kedatangan kelahiran adiknya sering perhatian orang tua
berkurang, hal ini akan dirasakan oleh anak dan mempengaruhi
perkembangan.27
Seirama dengan perkembangan ini, anak tersebut membutuhkan
beberapa hal yang sering dilupakan oleh orang tua. Kebutuhan ini
mencakup rasa aman, dihargai, disayangi, dan menyatakan diri. Rasa
aman ini dimaksudkan rasa aman secara material dan mental. Aman
secara material berarti orang tuanya memberikan kebutuhannya seperti
pakaian, makanan dan lainnya. Aman secara mental berarti harus
memberikan perlindungan emosional, menjauhkan ketegangan-
ketegangan, membantu dalam menyelesaikan problem mental
emosional.28
Pada tulisan ini sesuai dengan tema skripsi bahwa penulis hanya
akan mengetengahkan fase ketiga dari perkembangan anak yaitu fase
26A.L.S. Soesilo, dalam Kartini Kartono (penyunting), Seri Psikologi Terapan 1,
Peranan Keluarga Memandu Anak, CV Rajawali, Jakarta, 1985, hlm. 19. 27Siti Sundari, Kesehatan Mental Dalam Kehidupan, Rineka Cipta, Jakarta, 2005,
hlm. 65 28B. Simanjuntak dan I.L. Pasaribu, Pengantar Pesikologi Perkembangan, CV
Tarsito, Bandung, 1984, hlm. 282.
23
akhir masa kanak-kanak. Fase ini adalah permulaan anak bersekolah yang
berkisar antara umur 5 sampai 12 tahun. Pada fase ini pendidikan anak
tidak hanya terfokus pada keluarga, tetapi lebih luas lagi yaitu
mempersiapkan anak untuk mengikuti kewajiban bersekolah.
Yang menjadi fokus pembahasan pada pasal ini adalah
perkembangan anak dari aspek jasmani, intelektual, dan akhlak
Banyak ahli menganggap masa ini sebagai masa tenang, dimana
apa yang telah terjadi dan dipupuk pada masa-masa sebelumnya akan
berlangsung terus untuk masa-masa selanjutnya.29
1. Perkembangan Jasmani
Anak umur 5-7 tahun perkembangan jasmaninya cepat,
badannya bertambah tinggi, meski beratnya berkurang sehingga ia
kelihatan lebih tinggi dan kurus dari masa-masa sebelumnya, tampak
sekali terlihat pada wajahnya.30 Menurut FJ.Monks, A.M.P.Knoers,
dan Siti Rahayu Haditomo bahwa sampai umur 12 tahun anak
bertambah panjang 5 sampai 6 cm tiap tahunnya. Sampai umur 10
tahun dapat dilihat bahwa anak laki-laki agak lebih besar sedikit
daripada anak wanita, sesudah itu maka wanita lebih unggul dalam
panjang badan, tetapi sesudah 15 tahun anak laki-laki mengejarnya
dan tetap unggul daripada anak wanita.31
Kekuatan badan dan tangan anak laki-laki bertambah cepat
pada umur 6-12 tahun. Dalam masa ini juga ada perubahan dalam sifat
dan frekuensi motorik kasar dan halus. Ternyata bahwa kecakapan-
kecakapan motorik ini mulai disesuaikan dengan keleluasaan
lingkungan. Gerakan motorik sekarang makin tergantung dari aturan
formal atau yang telah ditetapkan.32
29Singgih D. Gunarsa dan Ny. Y. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak
dan Remaja, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, hlm. 13. 30Asnelly Ilyas, op. cit, hlm. 57 31FJ.Monks, A.M.P.Knoers, Siti Rahayu Haditomo. Psikologi Perkembangan
Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, hlm. 177
32Ibid
24
Bermain merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak
terhadap pekerjaan-pekerjaannya di masa, datang, sebab dengan
bermain, anak dididik dalam berbagai segi seperti jasmani, akal-
perasaan, dan sosial-kemasyarakatan. Kemudian bermain dapat
menguatkan otot-otot tubuh anak dan melatih panca inderanya untuk
mengetahui hubungan sesuatu dengan yang lainnya. Pada fase ini anak
juga cenderung berpindah dari permainan sandiwara kepada
permainan sesungguhnya seperti bola kaki, bulu tangkis, dan lain-lain.
2. Perkembangan Intelektual, Fantasi, dan Perasaan.
Dalam keadaan normal, pikiran anak pada masa ini
berkembang secara berangsur-angsur dan tenang. Anak betul-betul
berada dalam stadium belajar. Di samping keluarga, sekolah
memberikan pengaruh yang sistematis terhadap pembentukan akal-
budi anak. Pengetahuannya bertambah secara pesat. Banyak
ketrampilan mulai dikuasainya, dan kebiasaan-kebiasaan tertentu
mulai dikembangkannya. Dari keadaan egosentris anak memasuki
dunia objektivitas dan dunia pikiran orang lain. Hasrat untuk
mengetahui realitas benda dan peristiwa-peristiwa mendorong anak
untuk meneliti dan melakukan eksperimen.
Kartini Kartono menjelaskan:
Minat anak pada periode tersebut terutama sekali tercurah pada segala sesuatu yang dinamis bergerak. Anak pada usia ini sangat aktif dan dinamis. Segala sesuatu yang aktif dan bergerak akan sangat menarik minat perhatian anak. Lagi pula minatnya banyak tertuju pada macam-macam aktivitas. Dan semakin banyak dia berbuat, makin bergunalah aktivitas tersebut bagi proses pengembangan kepribadiannya.33
Tentang ingatan anak pada usia ini, ia juga menjelaskan:
Ingatan anak pada usia ini mencapai intensitas paling besar dan paling kuat. Daya menghafal dan memorisasi (dengan sengaja memasukkan dan melekatkan pengetahuan dalam.
33Kartini Kartono, Psikologi Anak, Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm. 138
25
ingatan) adalah paling kuat. Dan anak mampu memuat jumlah materi ingatan paling banyak.34
. 3. Perkembangan akhlak
Konsep moral pada akhir masa kanak-kanak sudah jauh
berbeda, tidak lagi sesempit pada masa sebelumnya. Menurut Piaget,
anak usia 5-12 tahun konsepnya tentang keadilan sudah berubah.
Pengertian yang kaku tentang benar dan salah yang dipelajari dari
orang-tua menjadi berubah. Anak mulai memperhitungkan keadaan
khusus di sekitar pelanggaran moral. Relativisme moral meringankan
nilai moral yang kaku. Misalnya bagi anak umur 5 tahun berbohong
selalu buruk, sedang anak yang lebih besar sadar bahwa dalam
beberapa situasi berbohong dibenarkan dan tidak selalu buruk.35
Elizabeth B. Hurlock mengatakan bahwa anak yang masih
berada pada fase awal masa kanak-kanak melakukan pelanggaran
disebabkan ketidaktahuan terhadap peraturan. Dengan meningkatnya
usia anak, ia cenderung lebih banyak melanggar peraturan-peraturan
di rumah dan di sekolah ketimbang perilakunya waktu ia masih lebih
muda. Pelanggaran di rumah sebagian, karena anak ingin menegakkan
kemandiriannya, dan sebagian lagi karena anak sering menganggap
peraturan tidak adil, terutama apabila berbeda dengan peraturan-
peraturan rumah yang diharapkan dipatuhi oleh semua teman.
Meningkatnya. pelanggaran di sekolah disebabkan oleh kenyataan
bahwa anak yang lebih besar tidak lagi menyenangi sekolah seperti
ketika masih kecil, dan tidak lagi menyukai guru seperti ketika masih
duduk di kelas yang lebih rendah. Menjelang akhir masa kanak-kanak
pelanggaran semakin berkurang. Menurunnya pelanggaran adalah
karena adanya kematangan fisik dan psikhis, tetapi lebih sering karena
kurangnya tenaga yang merupakan ciri pertumbuhan pesat yang
34Ibid 35Elisabeth B. Hurlock, op. cit, hlm. 163
26
mengiringi bagian awal dari masa puber. Banyak anak prapuber yang
sama sekali tidak mempunyai tenaga untuk nakal.36
Dari uraian di atas, tentang perkembangan akhlak anak pada
akhir masa kanak-kanak, jelaslah bahwa anak berusaha untuk
menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial di sekitarnya yang
apabila terjadi sesuatu pelanggaran akan mengakibatkan adanya
sanksi. Sebagai salah satu usaha untuk mengatasi pelanggaran,
diterapkan suatu disiplin yang disesuaikan dengan tingkat
perkembangan anak. Di samping itu, orang-tua perlu memberikan
pengertian tentang nilai-nilai kepada anak, dan membiasakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pada saatnya anak perlu diberi
ganjaran seperti pujian atas perlakuannya melaksanakan nilai-nilai
tersebut, yang sudah barang tentu pujian tersebut disesuaikan dengan
tingkat perkembangan anak.
Dengan demikian nyatalah bahwa perkembangan anak pada
fase ini baik perkembangan jasmani, intelektual, fantasi maupun
perasaan dan akhlak sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak
pada fase-fase berikutnya.
C. Kepribadian
1. Pengertian Kepribadian
Setiap orang dikenali dengan identitas masing-masing, tetapi
pengenalan kita terhadap seseorang sering tidak utuh sehingga "siapa dia"
yang sebenarnya sesungguhnya tidak dikenali. Ada seorang isteri yang
sudah hidup serumah dengan suaminya selama belasan tahun, tetapi tetap
belum mengenali suaminya secara utuh, dan kemudian pada usia
perkawinannya yang ke-20 ia dibuat kaget setelah mengenal "siapa"
sebenarnya suaminya itu. Siapa dia seutuhnya dari seseorang itulah yang
biasanya disebut sebagai kepribadian, atau syahshiyyah, atau personality.
Manusia sebagai makhluk yang berfikir dan merasa memang bisa
36Ibid, hlm. 163 – 164.
27
dibentuk kepribadiannya melalui proses pendidikan, atau tepatnya, bahwa
corak perjalanan hidup seseorang sangat besar peranannya dalam
membentuk kepribadiannya.37
Kepribadian38 merupakan terjemahan dari personality (Inggris),
persoonlijkheid (Belanda); personnalita (Prancis); personlichkeit
(Jerman); personalita (Itali); dan personalidad (Spanyol).39 Akar kata
masing-masing sebutan itu berasal dari kata Latin "persona" yang berarti
“kedok” atau "topeng", yaitu tutup muka yang sering dipakai oleh pemain
panggung, yang maksudnya untuk menggambarkan perilaku, watak atau
pribadi seseorang. Hal itu dilakukan karena terdapat ciri-ciri yang khas
yag hanya dimiliki oleh seseorang tersebut baik dalam arti kepribadian
yang baik, ataupun yang kurang baik. Misalnya untuk membawakan
kepribadian yang angkara murka, serakah dan sebagainya sering
ditopengkan dengan gambar raksasa, sedangkan untuk perilaku yang baik,
budiluhur, suka menolong, berani berkorban dan sebagainya ditopengkan
dengan seorang ksatria, dan sebagainya.40
Dengan demikian “topeng” yang dimaksud di atas yaitu topeng
yang dipakai oleh aktor drama atau sandiwara. Atau juga dari kata Latin
"personare" yang berarti to sound through (suara tembus). Dalam bahasa
Arab kontemporer, kepribadian ekuivalen dengan istilah syakhshiyyah.
Term syakhshiyyah bukan satu-satunya term yang dipergunakan untuk
menunjukkan makna personality. Ronald Alan Nicholson sebagaimana
dikutip Abdul Mujib misalnya, menyebut dua istilah yang menjadi
sinonimnya, yaitu al-huwiyyah dan al-dzatiyyah. Sementara dalam
37Achmad Mubarok, Psikologi Qur'ani, Pustaka Firdaus, Jakarta, hlm.82. 38Istilah "kepribadian" dalam beberapa literatur memiliki ragam makna dan
pendekatan. Sebagian psikolog ada yang menyebutnya dengan (1) personality (kepribadian) sendiri, sedang ilmu yang membahasnya disebut dengan The psychology of personality, atau theory of personality; (2) character (watak atau perangai), sedang ilmu yang membicarakannya disebut dengan the psychology of character atau characterologi; (3) type (tipe), sedang ilmu yang membahasnya disebut dengan typologi. Lihat Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1988, hlm. 1.
39Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 17
40Agus Sujanto, Halem Lubis dan Taufik Hadi, Psikologi Kepribadian, Bumi Aksara, Jakarta, 2004, hlm. 10
28
leksikologi bahasa Arab, dikenal juga istilah nafsiyyah yang berasal dari
kata nafs, istilah aniyyah (ada yang menyebut iniyyah) dari kata "ana",
dan istilah khuluqiyyah atau akhlaq. Istilah yang terakhir ini (akhlak) lebih
banyak ditemukan di dalam literatur Islam klasik.41
Adapun kata personality berasal dari kata "person" yang secara
bahasa memiliki arti: (1) an individual human being (sosok manusia
sebagai individu); (2) a common individual (individu secara umum); (3) a
living human body (orang yang hidup); (4) self (pribadi); (5) personal
existence or identity (eksistensi atau identitas pribadi); dan (6) distinctive
personal character (kekhususan karakter individu). Atau personality: (1)
Existence as a person (eksistensi sebagai orang); (2) The assemblage of
qualities, physical, mental, and moral, that set one apart from others
(kumpulan dari kualitas, phisik, mental, dan moral, yang menetapkan satu
terlepas dari orang yang lain); (3) Distinctive individuality, as, he is a man
of strong personality (Ciri khas yang membedakan, sebab ia adalah suatu
orang berprinsip kepribadian yang kuat); (4) A too intimate or offensive
remark about a person, as, don't indulge in personalities (Seorang teman
karib atau komentar yang menyerang tentang seseorang, jangan menurut
kesenangan diri kepribadian).42
Sedangkan dalam bahasa Arab, pengertian etimologis kepribadian
dapat dilihat dari pengertian term-term padanannya, seperti huwiyah,
aniyyah, dzatiyyah, nafsiyyah, khuluqiyyah, dan syakhshiyyah sendiri.
Masing-masing term ini meskipun memiliki kemiripan makna dengan kata
syakhsiyyah, tetapi memiliki keunikan tersendiri.43
Pengertian kepribadian dari sudut terminologi memiliki banyak
definisi, karena hal itu berkaitan dengan konsep-konsep empiris dan
41Abdul Mujib, op. cit, hlm. 18. 42Edward N. Teall, A.M. and C. Ralph Taylor A.M. (Editors), Webster's New
American Dictionary, Book, Inc, New York, 1958, hlm. 722. 43Masing-masing istilah itu jika disebut secara bersamaan maka masing-masing
istilah memiliki makna tersendiri, sesuai dengan spesifikasi masing-masing istilah. Namun apabila disebut salah satunya maka istilah yang disebut itu mewakili istilah yang lain.
29
filosofis tertentu yang merupakan bagian dari teori kepribadian. Konsep-
konsep empiris dan filosofis di sini meliputi dasar-dasar pemikiran
mengenai wawasan, landasan, fungsi-fungsi, tujuan, ruang lingkup, dan
metodologi yang dipakai perumus. Oleh sebab itu, tidak satu pun definisi
yang subtantif kepribadian dapat diberlakukan secara umum, sebab
masing-masing definisi dilatarbelakangi oleh konsep-konsep empiris dan
filosofis yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, tidak berkelebihan jika
Gordon W Allport (1897 – 1967) dalam studi kepustakaannya
menemukan sejumlah 50 definisi mengenai kepribadian yang berbeda-
beda yang digolongkan ke dalam sejumlah kategori.44
Dengan meminjam definisi Allport, kepribadian secara sederhana
dapat dirumuskan dengan definisi "what a man really is" (manusia
sebagaimana adanya). Maksudnya, manusia sebagaimana sunnah atau
kodratnya, yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Akan tetapi definisi itu oleh
Allport dianggap terlalu singkat untuk dapat digunakan, maka sampailah
ia pada definisi yang lebih terkenal berikut ini:
Kepribadian adalah organisasi yang dinamis dalam diri individu yang terdiri dari sistem-sistem psiko-fisik yang menentukan cara penyesuaian diri yang khas (unik) dari individu tersebut terhadap lingkungannya.45 Kata dinamis menunjukkan bahwa kepribadian bisa berubah-ubah,
dan antar berbagai komponen kepribadian (yaitu sistem-sistem psikofisik)
terdapat hubungan yang erat. Hubungan-hubungan itu terorganisir
sedemikian rupa sehingga secara bersama-sama mempengaruhi pola
perilakunya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.
44Menurut Allport definisi kepribadian dapat digolongkan menjadi tujuh macam,
yaitu; (1) arti etimologi dan sejarah timbulnya pengertian itu; (2) arti-arti teologis; (3) arti-arti filosofis; (4) arti-arti yuridis; (5) arti-arti sosiologis; (6) arti-arti lahiriah; dan (7) arti-arti psikologis. Sedangkan Sarlito Wirawan Sarwono mengategorikan definisi-definisi kepribadian dengan: (1) definisi anekawarna; (2) definisi integratif dan konfiguratif yang menekankan pada pengorganisasian sifat-sifat yang ada pada pribadi seseorang; (3) definisi hierarki; dan (4) definisi penyesuaian diri. Calvin S. Hall dan Gadner Lindzey, Teori-teori Sifat dan Behavioristik, jilid 3, Terj. Yustinus, judul asli, Theories of Personality, Kanisius, Yogyakarta,1993, hlm. 24. (selanjutnya disebut Hall dan Lindzey, Sifat). Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi, Bulan Bintang, Jakarta,1982, hlm. 87.
45Hall dan Lindzey, Sifat, op.cit., hlm. 24.
30
Definisi yang luas dapat berpijak pada struktur kepribadian, yaitu
integrasi sistem kalbu, akal, dan hawa nafsu manusia yang menimbulkan
tingkah laku." Definisi ini sebagai bandingan dengan definisi yang
dikemukakan oleh para psikolog Psikoanalitik seperti Sigmund Freud46
dan Carl Gustav Jung.47
Dalam diri manusia terdapat elemen jasmani sebagai struktur
biologis kepribadiannya dan elemen ruhani sebagai struktur psikologis
kepribadiannya. Sinergi kedua elemen ini disebut dengan nafsani yang
merupakan struktur psikopisik kepribadian manusia. Struktur Nafsani
memiliki tiga daya, yaitu (1) qalbu yang memiliki fitrah ketuhanan
(ilahiyah) sebagai aspek supra-kesadaran manusia yang berfungsi sebagai
daya emosi (rasa); (2) akal yang memiliki fitrah kemanusiaan (insaniah}
sebagai aspek kesadaran manusia yang berfungsi sebagai daya kognisi
(cipta); dan (3) nafsu yang memiliki fitrah kehewanan (hayawaniyyah)
sebagai aspek pra atau bawah-kesadaran manusia yang berfungsi sebagai
daya konasi (karsa), Ketiga komponen fitrah nafsani ini berintegrasi untuk
mewujudkan suatu tingkah laku.
Jadi, dari sudut tingkatannya maka kepribadian itu merupakan
integrasi dari aspek-aspek supra-kesadaran (ketuhanan), kesadaran
(kemanusiaan), dan pra-atau bawah kesadaran (kebinatangan). Sedang
dari sudut fungsinya, kepribadian merupakan integrasi dari daya-daya
emosi, kognisi, dan konasi, yang terwujud dalam tingkah laku luar
(berjalan, berbicara, dan sebagainya) maupun tingkah laku dalam (pikiran,
perasaan, dan sebagainya).
46Kepribadian adalah "integrasi dari id, ego, dan super ego". J.P. Chaplin, Kamus
Lengkap Psikologi, Terj. Kartini Kartono, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1981, hlm. 362. 47Kepribadian adalah "integrasi dari ego, ketidaksadaran pribadi, ketidaksadaran
kolektif, kompleks-kompleks, arkhetip-arkhetip (archetypes), persona, dan anima." Ibid. .
31
2. Teori-Teori Kepribadian dan Pembentukannya
Memang agak aneh bahwa untuk menjelaskan keunikan individu,
para ahli belum memperoleh suatu pendekatan yang disepakati bersama.
Penelitian-penelitian sudah lama dan banyak sekali dilakukan. Hasil yang
diperoleh adalah banyaknya teori kepribadian yang ditawarkan. Tetapi
harus dikatakan bahwa tidak ada satu teoripun yang sempurna. Clifford T.
Morgan dkk (1986), memberi alasan bahwa kita tidak akan mampu
menguji semua teori yang disajikan secara menyeluruh. Itulah sebabnya
Sarlito Wirawan Sarwono menegaskan bahwa kepribadian adalah sebuah
konsep yang sangat sukar dimengerti dalam psikologi, meskipun istilah ini
digunakan sehari-hari.48
Ternyata dalam setiap teori kepribadian jelas terlihat bahwa ahli
yang bersangkutan menaruh perhatian khusus pada satu aspek atau
beberapa aspek kepribadian saja, maka teori-teori yang ada dapat
dipandang saling melengkapi dan bisa berguna pada tuntutan situasi-
situasi yang berlainan. Teori-teori kepribadian di antaranya:
a Teori Pendekatan Tipologis dan "Trait"
Teori kepribadian yang bersifat tipologis maupun "trait" lebih
menaruh perhatian pada ciri-ciri umum dari perilaku seseorang sehingga
bisa dikelompokkan dalam klasifikasi tertentu. Selain itu, pendekatan ini
memang lebih menekankan pada usaha-usaha untuk mendeskripsikan
kepribadian serta meramalkan perilaku dan kurang memperhatikan segi
proses serta perkembangannya.
Pendekatan tipologis sudah pernah dilakukan oleh Hipocrates
(460-377 SM), Bapak Ilmu Kedokteran, pada abad ke IV SM. la
mendasarkan tipologinya pada cairan-cairan tubuh yang mempengaruhi
temperamen seseorang. la membagi kepribadian menjadi empat tipe
menurut nama cairan yang mempengaruhinya, yaitu;
(1) Melankolik dipengaruhi oleh empedu hitam (murung, depresif)
48Sarlito Wirawan Sarwono, op. cit, hlm. 87
32
(b) Sanguinis dipengaruhi oleh darah (gembira, optimistik)
(c) Kholerik dipengaruhi oleh empedu kuning (mudah marah)
(d) Phlegmatik dipengaruhi oleh cairan lendir (tenang, lamban, tidak
mudah dirangsang)
Pada tahun 1935 seorang ahli bernama Kretchmer
mengemukakan teori kepribadian yang didasarkan pada bentuk tubuh
seseorang. Mereka yang berbentuk tubuh gemuk dan bulat digolongkan
sebagai Endomorph yaitu orang-orang yang mudah bergaul, periang,
dan santai. Sedangkan orang-orang yang tinggi kurus digolongkan
sebagai Ectomorph yang sangat serius, senang menyendiri, selalu
menjaga jarak dengan orang lain, dan amat perasa. Kemudian orang-
orang yang berbadan tegap dan atletis digolongkan sebagai Mesomorph,
agak cerewet, agresif, dan sangat aktif secara fisik.49
Tipologi Kretschmer (1925)
Pendekatan ini populer cukup lama, tetapi saat ini sudah tidak
digunakan lagi. Pendekatan tipologis yang saat ini banyak digunakan
adalah tipologi Introvert-Ekstrovert yang mula-mula dikembangkan oleh
Carl Gustav Jung (1875-1961) lalu dilanjutkan oleh H.J. Eyesenck. C.G.
Jung pada tahun 1921 menerbitkan bukunya Psychological Types.
Dalam buku ini ia mengatakan bahwa kepribadian manusia dapat dibagi
menjadi dua kecenderungan ekstrim berdasarkan reaksi individu
terhadap pengalamannya.
Pada kutub ekstrim pertama adalah kecenderungan introversi,
yaitu menarik diri dan tenggelam dalam pengalaman-pengalaman
batinnya sendiri. Orang yang mempunyai kecenderungan ini biasanya
tertutup, tidak terlalu memperhatikan orang lain, dan agak pendiam.
Kutub ekstrim yang lain adalah ekstroversi yaitu membuka dm dalam
49Irwanto dkk, Psikologi Umum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hlm. 229 –
230.
33
kontak dengan orang-orang, peristiwa-peristiwa, dan benda-benda di
sekitarnya.
Jung menambah 4 fungsi psikis yang mempengaruhi tipologinya,
yaitu sensasi dan intuisi sebagai faktor yang mempengaruhi bagaimana
individu mencerna informasi dari lingkungannya, serta berpikir dan
merasa sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi pertimbangan-
pertimbangannya dalam menghadapi pengalaman.
Bila keempat fungsi psikis tersebut kita gabungkan ke dalam
kategori ektroversi-inrroversi, maka akan terdapat delapan tipologi
kepribadian. Kalau tipologi Jung nampaknya terkotak-kotak secara
kaku, maka E.J. Eysenck beranggapan bahwa ektroversi-introversi
merupakan dua kutub dalam satu skala. Kebanyakan orang akan berada
di tengah-tengah skala itu, hanya sedikit orang-orang yang benar-benar
ekstrovert atau introvert.
Eysenck juga menambahkan dua dimensi baru yaitu stability
(keajegan) dan instability (ketakajegan) atau neurotisme. Jika kedua
dimensi ini digabungkan maka akan terbentuk suatu salib-sumbu (sistem
bidang ordinat) yang memiliki empat kuadran (bidang). Dalam tiap-tiap
bidang terdapat ciri-ciri kepribadian tertentu. Karena pendekatan seperti
ini Eysenck dianggap menjalankan pendekatan tipologis dan 'trait'
sekaligus.50
Pendekatan yang didasarkan pada trait juga berusaha
mendiskripsikan kepribadian. Suatu trait adalah karakteristik individu
yang sifatnya secara relatif tetap dan konsisten serta berbeda dari orang
yang satu dengan yang lainnya. Teoritisi yang melakukan pendekatan
salah satunya adalah Gordon W. Allport.
Cattell telah melakukan berbagai penelitian untuk menemukan
ciri-ciri dalam kepribadian manusia. Untuk memperoleh semua traits
yang ia pelajari Cattell menggunakan tiga sumber daya, yaitu: life
record data (L-data); question-nairre data (Q-data); dan objective test
50Agus Sujanto, op. cit, hlm. 24.
34
data (OT-data) dan semua data tersebut kemudian dianalisis
menggunakan metode statistik yang amat kompleks seperti analisis
faktorial dan multivariat.
Semua data yang terkumpul disebutnya sebagai personality
sphere yang terdiri dari berbagai traits. Beberapa trait hanya dimiliki
oleh orang-orang tertentu. Traits seperti ini, disebut source traits,
membedakan antara individu yang satu dengan yang lainnya. Source
traits tadi dalam perilaku sehari-hari tercermin dalam perilaku-perilaku
yang nampaknya sama dengan orang-orang lain, ini yang disebut
sebagai surface traits.
Pada tahun 1936, Allport dan Odbert mendaftar 17.953 kata
dalam bahasa Inggris yang digunakan untuk melukiskan perilaku
manusia. Setelah dikurangi oleh kata-kata yang mempunyai arti
tumpang tindih, tinggal 171 kata. Setiap kata dalam daftar ini dianggap
dapat mewakili suatu trait. Kemudian Allport berusaha
mengelompokkan trait itu ke dalam tiga kategori besar.
Ada traits yang amat dominan sehingga hampir semua perilaku
manusia dapat ditelusuri kembali ke arah traits ini. Traits yang sangat
luas cakupannya tetapi sangat berpengaruh ini disebut cardinal traits
dan biasanya diberi istilah mengikuti nama dari seorang tokoh sejarah,
seperti: Christlike; Machiavellian, Nixonian dsb.
Kategori kedua adalah central traits, suatu ciri-ciri kepribadian
yang cukup menonjol tetapi tidak seluas cardinal traits. Istilah yang
digunakan untuk melukiskan traits ini sama dengan yang dipakai dalam
suatu surat rekomendasi yang baik atau yang dipakai seorang rater
dalam menilai tingkah laku seseorang. Menurut Allport, jarang ada
orang yang memiliki lebih dari 12 central traits.51
Kategori terakhir adalah secondary traits, ciri-ciri yang hanya
berpengaruh pada situasi-situasi yang amat terbatas, seperti: "senang
cokelat", "suka mobil Jepang", dan sebagainya. Pada umumnya,
51Irwanto, dkk, op. cit, hlm.
35
pendekatan tipologis dan trait dikritik karena secara metodologis
diragukan reliabilitas pengambilan istilah-sitilah yang dipakai untuk
melukiskan trait. Selain itu pertanyaan filosofis timbul. Apakah
kepribadian kita sama dengan sejumlah trait yang kita miliki? Ada ahli
yang mengajukan 5 trait, tetapi ada juga yang lebih dari 20.
b Teori psikodinamika
Teori kepribadian yang bersifat psikodinamik berasal dari para
ahli yang sangat dipengaruhi oleh Sigmund Freud (1856-1939),
Bapak Psikoanalisis yang amat terkenal. Teori psikologi Freud
didasarkan atas keyakinannya bahwa dalam diri manusia terdapat suatu
energi psikis yang sangat dinamik. Sebagaimana hukum konservasi
energi, Freud juga beranggapan bahwa energi psikis bersifat kekal, tidak
bisa dihilangkan, dan bila dihambat akan mencari saluran lain.
Energi psikis inilah yang mendorong individu untuk bertingkah
laku. Menurut psikoanalisis energi psikis itu bersumber pada fungsi
psikis yang berbeda, yaitu: Id; Ego; dan Superego. Id merupakan bagian
yang paling primitif dalam kepribadian. Id merupakan sumber energi
utama yang memungkinkan manusia untuk bertahan hidup. Dorongan-
dorongan biologis dasar seperti untuk makan, minum dan seksual adalah
bagian dari Id Freud juga beranggapan bahwa agresivitas merupakan
suatu dorongan biologis, oleh karena itu ada dalam Id.
Karena agresivitas mengancam kelangsungan hidup organisme,
sedang dorongan-dorongan lain justru bermaksud menjamin
kelangsungan hidupnya, maka Freud beranggapan bahwa dalam Id
terdapat dua jenis energi yang bertentangan yaitu instink kehidupan dan
instink kematian. Instink kehidupan ini disebut libido. Kedua macam
instink ini sangat mempengaruhi kehidupan individu.52
Dorongan-dorongan dalam Id selalu ingin segera dipuaskan, dan
dalam pemuasannya Id selalu berusaha untuk menghindari
52Agus Sujanto, op. cit, hlm. 59 – 60
36
pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan. Cara pemuasan
dorongan seperti ini disebut menuruti suatu prinsip kesenangan. Ada
dua cara pemuasan. Pertama pemuasan dilakukan lewat refleks-refleks
yang memang sudah ada sejak anak dilahirkan (refleks menghisap,
misalnya). Melalui refleks-refleks ini ketegangan yang timbul karena
munculnya dorongan atau kebutuhan dapat diturunkan (dikurangi).
Kedua, dengan cara menyajikan gambaran mental tentang objek yang
diinginkan. Ini disebut proses primer, dan pengalaman yang diperoleh
disebut wish-fulfillment (pemenuhan harapan).
Semakin anak berkembang proses primer bukan merupakan
sarana yang memuaskan untuk memenuhi kebutuhan dan mengurangi
tegangan. Dorongan untuk mendapat objek kebutuhan yang sebenarnya
makin kuat. Oleh karena itu, individu harus secara realistis berhubungan
dengan lingkungan. la harus dapat membedakan objek imajiner dengan
objek yang sebenarnya dalam lingkungan. Kebutuhan ini menghasilkan
suatu sumber energi psikis baru yang disebut Ego.
Ego adalah bagian "eksekutif" dari kepribadian. la berfungsi
secara logis/rasional berdasarkan prinsip kenyataan (reality principle)
dan proses sekunder yaitu suatu proses logis untuk melihat pada
kenyataan (reality testing) dalam usahanya menemukan cara pemuasan
dorongan Id secara realistis. Fungsi Ego ini berguna untuk menyaring
dorongan-dorongan yang ingin dipuaskan oleh Id berdasarkan
kenyataan.53
Pendidikan oleh orang tua maupun masyarakat atau lembaga
pendidikan formal pada tahap-tahap perkembangan selanjutnya
membantu individu mengembangkan sumber energi yang lain, yaitu
Superego. Pada bagian ini terdapat nilai-nilai moral, yang memberikan
batasan baik dan buruk. Nilai-nilai yang ada dalam Superego mewakili
nilai-nilai ideal. Oleh karena itu. Superego selalu berorientasi pada
kesempurnaan. Cita-cita dirinya pun diarahkan pada nilai-nilai ideal itu
53E. Koswara, Teori-Teori Kepribadian, PT Eresco, Bandung, 1991, hlm. 32 - 33
37
sehingga setiap orang memiliki suatu gambaran tentang dirinya yang
paling ideal (Ego ideal). Hadiah atau hukuman yang diterima
sehubungan dengan nilai-nilai ideal itu akan membentuk dalam dirinya
suara hati (concience). Inilah yang menyebabkan seorang bila
melanggar nilai-nilai tersebut akan timbul rasa bersalah.54
Bersama-sama dengan ego, superego mengatur dan
mengarahkan tingkah laku manusia yang bermaksud memuaskan
dorongan-dorongan dari Id, yaitu melalui aturan-aturan dalam
masyarakat, agama, atau keyakinan-keyakinan tertentu mengenai
perilaku yang baik dan buruk.
Selain membagi struktur kepribadian manusia berdasarkan
sumber energi psikisnya, Freud juga membagi aktivitas mental individu
dalam beberapa tingkatan berdasarkan sejauh mana individu menyadari
gejala-gejala psikis yang timbul.
Pertama adalah tingkat sadar atau kesadaran (conscious level).
Pada tingkat ini aktivitas mental bisa kita sadari setiap saat seperti
berpikir, dan persepsi. Sebagian dari Ego dan Superego kita selalu
berada pada tingkatan ini. Kedua adalah tingkat prasadar (preconsious
level), di mana kita bisa menyadari gejala-gejala psikis yang timbul
hanya bila kita memperhatikannya. Gejala-gejala seperti itu adalah
memori, pengetahuan-pengetahuan yang telah dipelajari, dan lain-lain.
Sebagian besar ego dan superego berada dalam tingkatan ini, yaitu
pengetahuan yang telah kita simpan dalam memori dan norma-norma
moral yang tidak kita butuhkan dalam situasi sehari-hari.55
Struktur kesadaran menurut Freud
Ketiga adalah tingkat tidak disadari (unconscious level), di mana
timbulnya gejala-gejala psikis sama sekali tidak kita sadari, sulit untuk
54Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1999, hlm. 53 - 55, 55Agus Sujanto, op. cit, hlm. 61 - 63
38
dijelaskan. Gejala-gejala seperti itu misalnya dorongan-dorongan moral,
pengalaman-pengalaman yang memalukan, harapan-harapan yang
irasional, dorongan-dorongan seksual yang tidak sesuai dengan norma-
norma masyarakat, dan lain-lain. Kecuali dalam situasi khusus, misalnya
dalam rangka suatu konseling atau psikoterapi, atau usaha-usaha yang
benar-benar diarahkan untuk mencari gejala-gejala seperti itu, maka kita
tidak menyadarinya. Dari tingkat inilah dorongan-dorongan Id kita
bermuara.
Tingkatan tak disadari ini merupakan objek studi utama
psikoanalisis. Ini dikatakan oleh Freud sendiri pada tahun 1942:
"Psikoanalisa bertujuan tak lebih untuk mencapai dan dapat
mengungkap kehidupan mental yang tidak disadari". Freud yakin bahwa
banyak perilaku manusia yang didorong oleh bagian ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, teori Freud mengalami
banyak perubahan, baik oleh dirinya sendiri, maupun oleh para
pengikutnya seperti: Alfred Adier; Karen Homey; Erich Fromm, dan
lain-lain. Perubahan penting yang dilakukannya sendiri adalah mengenai
konsep libido. Pada mulanya Freud beranggapan bahwa libido ini
berasal dari dorongan seksual semata. Tetapi akhirnya Freud sendiri
beranggapan bahwa libido merupakan dorongan kehidupan yang jauh
lebih luas daripada dorongan-dorongan seksual.
Para pengikut Freud, seperti Karen Homey dan Erich Fromm,
menekankan pentingnya pengaruh lingkungan sosial terhadap
perkembangan kepribadian individu. Hal ini tidak disinggung secara
luas oleh Freud, bahkan ada kesan bahwa ia lebih mengandalkan pada
dorongan-dorongan yang bersifat biologis.56
Teori psikoanalisis Freud mempunyai dampak yang luar biasa
terhadap ilmu pengetahuan. Meskipun demikian banyak kritik
dilontarkan karena ia juga memakai metode instrospeksi, yang sulit
dibuktikan kebenarannya secara empiris, dan observasinya dilakukan
56Irwanto, op. cit, hlm. 241