Post on 31-Mar-2019
6
BAB II
LANDASAN TEORITIS
II.1 Konsep Dasar Perpajakan
II.1.1 Pengertian Pajak
Banyak pakar yang mengemukakan pendapatnya unruk memberikan definisi
menurut pandangannya masing-masing tentang arti / definisi pajak. Menurut pendapat
Soemitro seperti yang dikutip oleh Mardiasmo (2004) “pajak adalah iuran rakyat kepada
kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat
jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum” (h. 1). Selain itu mengacu pada pendapat
Andriani seperti yang dikutip oleh Waluyo dan Ilyas (2000) bahwa “pajak adalah iuran
kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi – kembali, yang langsung
dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan” (h. 2)
Definisi pajak juga diungkapkan oleh Soemahamidjaja seperti yang dikutip oleh Suandy
(2000) bahwa pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh
penguasa berdasarkan norma – norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-
barang dan jasa – jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum (h. 7). Resmi
(2005) juga mengungkapkan bahwa definisi “pajak menurut Feldmann adalah prestasi
yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma
yangditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata
digunakan untuk menutup pengeluaran – pengeluaran umum” (h. 1).
7
Dari setiap pendapat tersebut menyatakan bahwa pajak sifatnya dapat dipaksakan
sehingga memiliki arti apabila utang pajak tidak dibayar, maka utang pajak tersebut
dapat ditagih dengan kekerasan seperti surat teguran, surat paksa, surat sita, dan
dilakukannya sandera terhadap wajib pajak. Dengan demikian menimbulkan ciri-ciri
tertentu yang melekat pada pengertian pajak. Menurut pendapat Suandy E. (2000) ciri –
ciri tersebut yaitu:
a. Pajak merupakan peralihan kekayaan dari orang / badan ke pemerintah.
b. Pajak dipungut berdasarkan / dengan kekuatan undang – undang serta aturan
pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan.
c. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi
langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah.
d. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah.
e. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran – pengeluaran pemerintah, yang bila
dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai
public investment.
f. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari
pemerintah.
g. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung (h. 8).
8
II.1.2 Fungsi Pajak
Dalam perekonomian negara republik Indonesia pajak memiliki kedudukan
tersendiri dan memiliki fungsinya sendiri . Menurut Ilyas dan Burton (2004) fungsi
pajak tersebut dibagi menjadi 4 fungsi, yaitu 2 fungsi utama (budgeter dan regulerend)
dan 2 fungsi tambahan (demokrasi dan distribusi) dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Fungsi Budgeter (Fungsi Anggaran)
Adalah fungsi yang letaknya di sektor publik yaitu fungsi untuk
mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-
undang berlaku yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai
pengeluaran – pengeluaran negara, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran
pembangunan dan bila ada sisa (surplus) akan digunakan sebagai tabungan
pemerintah untuk investasi pemerintah.
b. Fungsi Regulerend ( Fungsi Mengatur )
Adalah fungsi bahwa pajak – pajak tersebut akan digunakan sebagai suatu
alat untuk mencapai tujuan – tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang
keuangan. Fungsi ini umumnya dapat dilihat di dalam sektor swasta.
c. Fungsi Demokrasi
Adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan atau wujud
sistem gotong-royong, termasuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan
demi kemaslahatan manusia. Fungsi demokrasi pada masa sekarang ini
sering dikaitkan dengan hak seseorang apabila akan memperoleh pelayanan
dari pemerintah. Apabila seseorang telah melakukan kewajibannya
membayar pajak kepada negara sesuai ketentuan yang berlaku, maka ia
mempunyai hak pula untuk mendapatkan pelayanan yang baik, pembayar
9
pajak bisa melakukan protes (complaint) terhadap pemerintah dengan
mengatakan bahwa ia telah membayar pajak.
d. Fungsi Distribusi
Merupakan fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan dan
keadilan dalam masyarakat. Hal ini dapat terlihat misalnya dengan adanya
tarif progresif yang mengenakan pajak lebih besar kepada masyarakat yang
mempunyai penghasilan besar dan pajak yang lebih kecil kepada masyarakat
yang mempunyai penghasilan lebih kecil (h. 9).
Fungsi pajak yang ketiga dan keempat seringkali disebut sebagai fungsi tambahan
karena kedua fungsi tersebut bukan merupakan tujuan utama dalam pemungutan pajak.
Akan tetapi dengan perkembangan masyarakat modern fungsi ketiga dan keempat
menjadi fungsi yang juga sangat penting, tidak dapat dipisahkan, dalam rangka
kemaslahatan manusia serta keseimbangan dalam mewujudkan hak dan kewajiban
masyarakat.
II.1.3 Subjek dan Objek Pajak Penghasilan
Subjek pajak adalah siapa yang dikenakan pajak. Menurut Undang – undang no.
17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan, subjek pajak untuk jenis pajak penghasilan
terbagi atas :
a. 1) Orang pribadi atau perseorangan; merupakan subjek pajak yang bertempat
tinggal di Indonesia maupun apabila mereka tinggal di Indonesia.
2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak; atas timbulnya warisan maka munculah kewajiban pajak subjektif.
Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi dimulai pada saat
10
timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut yaitu pada saat meninggalnya
pewaris, sehingga pemenuhan kewajiban perpajakannya melekat pada
warisan tersebut. Kewajiban pajak subjektif warisan berakhir pada saat
warisan dibagi kepada ahli waris, dan sejak saat itu kewajiban perpajakannya
beralih kepada ahli waris.
b. Badan; merupakan sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha.
Namun ada pula unit tertentu dari badan pemerintah yang dengan kriteria
tertentu tidak termasuk dalam golongan yang tidak termasuk dalam subjek
pajak, kriterianya yaitu :
a. Dibentuk berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
b. Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD.
c. Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran
Pemerintah Pusat atau Daerah.
d. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
c. Bentuk Usaha Tetap; bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang
tidak tinggal / berada di Indonesia tidak lebih dari 183 ( seratus delapan
puluh tiga ) hari dalam jangka waktu 12 ( dua belas ) bulan atau badan yang
tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Subjek pajak dalam negeri menjadi wajib pajak apabila telah menerima atau
memperoleh penghasilan. Sedangkan subjek pajak luar negeri sekaligus menjadi wajib
pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di
Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan kata lain,
11
wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif
dan objektif.
Kewajiban setiap subjek pajak untuk memenuhi segala peraturan dan ketetapan
perpajakan dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat
untuk bertempat tinggal di Indonesia dan pemenuhan kewajibannya akan berakhir pada
saat meninggal dunia atau menginggalkan Indonesia untuk selama – lamanya.
Sedangkan kewajiban subjektif badan dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi
bertempat kedudukan di Indonesia.
Objek pajak adalah apa yang dikenakan pajak dan menurut Undang – undang
no.17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan, objek pajaknya adalah penghasilan yang
merupakan setiap tambahan kemampuan ekonomi yang diterima atau diperoleh Wajib
pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan
nama dan dalam bentuk apapun. Penggolongan yang lebih rinci tentang penghasilan
menurut pasal 4 Undang – undang no.17 tahun 2000 yaitu sebagai berikut:
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
bonus, gratifikas, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan,
3. Laba usaha.
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
12
a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
b. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota.
c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, atau pengambil alihan usaha.
d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antar pihak –
pihak yang bersangkutan.
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang.
7. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi.
8. Royalti
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
13
12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
14. Premi asuransi.
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari angootanya yang terdiri
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak.
Selain itu penghasilan yang berupa bunga deposito dan tabungan lainnya,
penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari
pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya,
pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah (tarif yang dikenakan adalah
tarif final). Sedangkan yang menjadi Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap menurut pasal 5
Undang undang no.17 tahun 2000 adalah:
a. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari
harta yang dimiliki atau dikuasai.
b. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang
dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia.
c. Penghasilan sebagaimana dalam pasal 26 (dividen, bunga, royalti, imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, hadiah dan penghargaan, pensiun dan
pembayaran berkala lainnya) yang diterima atau diperoleh kantor pusat,
sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta
atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
14
II.1.4 Biaya – Biaya Pengurang (Biaya Fiskal) dalam Pajak Penghasilan
Secara umum menurut ketetapan perpajakan biaya fiskal adalah biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, sehingga untuk dapat dibebankan
sebagai biaya maka pengeluaran – pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan
langsung dengan usaha atau kegiatan mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan sebagai objek pajak. Hal inilah yang menjadi perbedaan terhadap
pengakuan biaya menurut standar akuntansi dan menurut peraturan perpajakan, sehingga
dilakukan koreksi fiskal yang fungsinya untuk menentukan kembali biaya – biaya mana
saja yang memang layak untuk dijadikan biaya dan yang bukan menjadi biaya menurut
peraturan perpajakan. Menurut pasal 6 Undang- undang no 17 tahun 2000 dijabarkan
jenis – jenis biaya fiskal yaitu:
a. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk
biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa.
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 ( satu ) tahun.
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.
d. Kerugian karena pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan.
e. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing.
f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
g. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan.
15
h. Piutang yang nyata – nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan rugi laba komersial.
2. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara atau adanya perjanjian tertulis
mengenai penghapusan piutang.
3. Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus.
4. Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut
dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Di samping itu menurut Setiawan (2004) terdapat pula biaya yang bukan merupakan
pengurang penghasilan bruto selain yang tercantum dalam Pasal 9 ayat 1 UU PPh yaitu
didasarkan pada Peraturan Pemerintah yaitu PP no. 138 tahun 2000 yang ditetapkan
tanggal 21 Desember 2000, biaya-biaya tersebut yaitu:
• Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat final.
• Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memlihara penghasilan yangbukan
merupakan objek pajak (h. 15).
II.1.5 Tarif Pajak
Tarif pajak merupakan unsur penting dalam perpajakan yang menentukan rasa
keadilan dalam pemungutan pajak bagi setiap wajib pajak. Tarif pajak khususnya untuk
tarif pajak penghasilan tercantum dalam Undang – undang no 17 tahun 2000 pasal 17.
16
Dalam perpajakan dikenal berbagai macam jenis tarif perpajakan dan menurut Ilyas dan
Burton (2004) ada enam jenis tarif pajak yaitu:
Tarif Progresif ( Meningkat )
Tarif progresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin
besar bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga semakin besar.
Tarif jenis ini adalah jenis tarif yang disahkan oleh Direktorat Jendral Pajak
dan sampai saat ini digunakan sebagai penghitung besarnya pajak yang
digunakan, tarif yang ditetapkan untuk wajib pajak badan adalah:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak 0 - Rp 50.000.000,00 10%
Rp 50.000.000,00 - Rp 100.000.000,00 15%
Diatas Rp 100.000.000,00 30%
Tabel 2.1
Tarif Degresif
Tarif degresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin
kecil bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak semakin besar.
Sekalipun persentasenya semakin kecil, tidak berarti jumlah pajak yang
terutang menjadi kecil, tetapi bisa menjadi besar karena jumlah yang
dijadikan dasar pengenaan pajaknya juga semakin besar. Namun pada
dasarnya tarif ini tidak pernah dipergunakan dalam praktik perundang –
undangan perpajakan.
Tarif Proporsional
17
Tarif proporsional adalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan
persentase tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar
pengenaan pajak. Dengan demikian semakin besar jumlah yang dijadikan
dasar pengenaan pajak, akan semakin besar pula jumlah pajak terutang ( yang
harus dibayar ).Tarif ini biasa diterapkan untuk Pajak Pertambahan Nilai
sebesar 10% seperti yang tercantum dalam Undang – undang No.18 tahun
2000, Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 0.5% seperti yang tercantum dalam
Undang – undang no.12 tahun 1994 dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan sebesar 5% seperti yang tercantum Undang – undang no.21 tahun
2000. Karena tarif proporsional hanya menggunakan satu tarif maka sering
disebut tarif tunggal.
Tarif Tetap
Merupakan tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tanpa
memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Tarif jenis ini
diterapkan dalam Bea Materai yang tarifnya sebesar Rp 3000 dan Rp 6000.
Tarif Advalorem
Adalah suatu tarif dengan persentase tertentu yang dikenakan pada harga atau
nilai suatu barang.
Tarif Spesifik
Tarif spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis
barang tertentu atau suatu satuan jenis barang tertentu (h. 25).
18
II.1.6 Tarif Penyusutan
Menurut Undang-undang no.17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan,
penyusutan adalah pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan yang digunakan untuk
pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud kecuali
tanah yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan , menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun dilakukan dalam bagian-
bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.
Metode penyusutan yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jendral Pajak adalah
penyusutan dengan metode garis lurus dan metode menurun ganda.
Tarif penyusutan dan golongan objek penyusutan yang ditentukan menurut masa
manfaatnya telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perpajakan dalam pasal 11
Undang-undang no.17 tahun 2000 sebagai berikut:
Kelompok Harta
Masa
Manfaat Tarif Penyusutan
Berwujud Garis Lurus Menurun Ganda
I. Bukan Bangunan
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5 % 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25 % 12.50%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%
II. Bukan Bangunan
Permanen 20 tahun 5%
Tidak Permanen 10 tahun 10%
Tabel 2.2
19
II.2 Pemungutan Pajak
II.2.1 Teori dan Asas Pemungutan Pajak
Dalam pemungutan pajak terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau
memberikan justifikasi pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Teori -
teori yang mendukung pemungutan pajak tersebut seperti yang diuraikan oleh
Mardiasmo (2004) dijabarkan sebagai berikut:
1. Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak – hak rakyatnya.
Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu
premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.
2. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan
(misalnya perlindungan ) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan
seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus
dibayar sesuai dengan daya pikul masing – masing orang. Untuk mengukur
daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan yaitu :
Unsur Objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang
dimiliki oleh seseorang.
Unsur Subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang
harus dipenuhi.
4. Teori Bakti
20
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan
negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu
menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
5. Teori Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya
memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat
untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkannya
kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih
diutamakan (h.3)
Sedangkan menurut Adam Smith seperti yang dikutip oleh Waluyo dan Ilyas
(2000) menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada :
1. Equality
Pemungutan pajak harus bersifat final, adil, dan merata, yaitu dikenakan
kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar
pajak atau ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima.
Adil dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang untuk
pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang
diterima.
2. Certainty
Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang – wenang. Oleh karena itu
wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang,
kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran.
3. Convenience
21
Kapan wajib pajak itu jarus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat –
saat yang tidak menyulitkan wajib pajak; sebagai contoh pada saat wajib
pajak memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan ini disebut Pay as You
Earn.
4. Economy
Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban
pajak bagi wajib pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula
beban yang dipikul wajib pajak (h.5).
Yurisdiksi pemungutan pajak merupakan salah satu cara pemungutan pajak yang
didasarkan pada tempat tinggal seseorang atau berdasarkan kebangsaan seseorang atau
berdasarkan sumber dimana penghasilan diperoleh. Yurisdiksi adalah batas kewenangan
yang dapat dilakukan oleh negara dalam memungut pajak terhadap warga negaranya,
agar pemungutannya tidak menjadi berulang – ulang yang bisa memberatkan orang yang
dikenakan pajak, menurut Ilyas dan Burton terdapat tiga asas yaitu :
1. Asas Tempat Tinggal
Merupakan suatu asas pemungutan pajak berdasarkan tempat tinggal atau
domisili seseorang. Suatu negara hanya dapat memungut pajak terhadap
semua orang yang bertempat tinggal atau berdomisili di negara yang
bersangkutan atas seluruh penghasilan di manapun diperoleh, tanpa
memperhatikan apakah orang yang bertempat tinggal tersebut warga
negaranya atau warga negara asing.
2. Asas Kebangsaan
Merupakan suatu asas pemungutan pajak yang didasarkan pada kebangsaan
suatu negara. Suatu negara akan memungut pajak kepada setiap orang yang
22
mempunyai kebangsaan atas negara yang bersangkutan sekalipun orang
tersebut tidak bertempat tinggal di negara yang bersangkutan.
3. Asas Sumber
Merupakan suatu asas pemungutan pajak yang didasarkan pada sumber atau
tempat penghasilan berada. Apabila suatu sumber penghasilan berada di
suatu negara maka negara tersebut berhak memungut pajak kepada setiap
orang yang memperoleh penghasilan dari tempat atau sumber penghasilan
tersebut berada (h. 15).
II.2.2 Hukum Pajak Materiil dan Hukum Pajak Formal
Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah ( fiscus ) selaku pemungut
pajak dengan wajib pajak. Menurut Mardiasmo (2004) apabila memperhatikan
materinya, hukum pajak dibedakan menjadi :
1. Hukum pajak materiil
Hukum pajak ini memuat norma – norma yang menerangkan keadaan
perbuatan, peristiwa hukum yang dikenakan pajak ( objek pajak ), siapa yang
dikenakan pajak ( subjek pajak ), berapa besarnya pajak yang dikenakan
(tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan
hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak. Sebagai contoh :
Undang – undang pajak penghasilan.
2. Hukum pajak formal
Memuat bentuk / tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi
kenyataan ( cara melaksanakan hukum pajak materiil ), hukum pajak formal
ini memuat, antara lain :
23
a. Tata cara penyelenggaraan ( prosedur ) penetapan suatu utang pajak.
b. Hak – hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap wajib pajak
mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang dapat menimbulkan
utang pajak.
c. Kewajiban wajib pajak sebagai contoh penyelenggaraan pembukuan /
pencatatan dan hak – hak wajib pajak mengajukan keberatan dan
banding (h. 5).
II.2.3 Cara Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2004) ada beberapa cara yang digunakan oleh pemerintah
untuk melakukan pemungutan atas pajak yang terutang wajib pajak kepada negara yaitu:
1. Stelsel Pajak; pemungutan pajak dengan menggunakan stelsel dilakukan
dengan 3 stelsel :
a. Stelsel Nyata ( riel stelsel )
Pengenaan pajak didasarkan pada objek ( penghasilan yang nyata )
sehingga pemungutannya baru dapat dilakukann pada akhir tahun pajak,
yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata
mempunyai kelebihan atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini
adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya
adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode ( setelah
penghasilan riil diketahui ).
b. Stelsel Anggapan ( fictieve stelsel )
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh
undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama
24
dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat
ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.
Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan,
tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya
adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang
sesungguhnya.
c. Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel
anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu
anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan
keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih
besar dari pada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus
menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta
kembali.
2. Sistem Pemungutan Pajak
a. Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada
pemerintah ( fiskus ) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh wajib pajak. Ciri – cirinya :
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
fiskus.
Wajib pajak bersifat pasif.
Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh
fiskus.
25
b. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-
cirinya :
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
wajib pajak sendiri.
Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang.
Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c. With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
pihak ketiga ( bukan fiskus dan bukan wajaib pajak yang bersangkutan )
untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri – cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada
pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.
II.2.4 Perlawanan Terhadap Pajak
Pada dasarnya negara mengharapkan bahwa dalam pelaksanaan pemenuhan
kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak dari proses awal hingga proses yang terakhir
dapat berjalan tanpa adanya hambatan dan tidak terjadi suatu indikasi bahwa Wajib
Pajak melakukan penyelewengan dalam proses pelaksanaan kewajibannya tersebut.
Namun apa yang diharapkan pemerintah tidak dapat dicapai sepenuhnya, hal ini
dikarenakan masih kurangnya kesadaran dan tanggung jawab yang tinggi setiap Wajib
Pajak terhadap kewajiban perpajakannya sehingga menjadi hambatan bagi pemerintah
26
untuk melakukan pemungutan pajak secara maksimal. Menurut Suandy (2000)
hambatan pemungutan pajak tersebut dapat dikelompokkan menjadi :
a. Perlawanan Pasif
Perlawanan pajak secara pasif berkaitan erat dengan keadaan sosial ekonomi
masyarakat di negara yang bersangkutan. Pada umumnya masyarakat tidak
melakukan suatu upaya yang sistematis dalam rangka menghambat penerimaan
negara, tetapi lebih dikarenakan oleh kebiasaan – kebiasaan yang berlaku
dalam masyarakat tersebut, hal ini biasanya disebabkan karena :
Perkembangan intelektual dan moral masyarakat
Sistem perpajakan yang mungkin sulit dipahami masyarakat
Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik
b. Perlawanan Aktif
Perlawanan pajak secara aktif ini merupakan serangkaian usaha yang dilakukan
oleh wajib pajak untuk tidak membayar pajak atau mengurangi jumlah pajak
yang seharusnya dibayar. Bentuk – bentuk perlawanan aktif antara lain :
Tax Avoidance; adalah usaha pengurangan secara legal yang dilakukan
dengan cara memanfaatkan ketentuan – ketentuan dibidang perpajakan
secara optimal seperti, pengecualian dan potongan – potongan yang
diperkenankan maupun hal – hal yang belum diatur dan kelemahan-
kelemahan yang ada dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
Tax Evansion; merupakan pengurangan pajak yang dilakukan dengan
melanggar peraturan perpajakan seperti memberikan data palsu atau
menyembunyikan data. Dengan demikian penggelapan pajak dapat
dikenakan sanksi pidana (h. 16).
27
II.3 Konsep Dasar Pajak Penghasilan Badan
II.3.1 Pengertian dan Penggolongan Subjek Pajak Badan
Menurut Undang – undang no.17 tahun 2000, Badan adalah sekumpulan orang
atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha atau tidak melakukan
usaha. Wajib pajak badan, menurut Suandy (2000) dapat terbagi atas:
• Perseroan terbatas
• Perseroan Komanditer
• Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha milik negara dengan nama
dan dalam bentuk apapun.
• Persekutuan
• Firma
• Kongsi
• Koperasi
• Yayasan
• Organisasi massa, organisasi sosial politik
• Lembaga
• Dana pensiun
II.3.2 Penghitungan Pajak Penghasilan dengan Pembukuan
Menurut Undang – undang no.17 tahun 2000 pembukuan adalah suatu proses
pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkna data dan informasi
keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah
28
harga perolehan dan penyerahan barang / jasa yang ditutup dengan menyusun laporan
keuangan berupa neraca dan Laporan Rugi Laba pada setiap tahun pajak berakhir.
Kewajiban pembukuan yang diselenggarakan menurut Resmi (2005) “ dilakukan oleh
wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan di Indonesia
dan wajib pajak badan di Indonesia” (h. 50). Pembukuan yang dilakukan oleh wajib
pajak harus disimpan selama 10 tahun.
Menurut Mardiasmo (2004) untuk wajib pajak badan besarnya PKP dihitung
dengan cara penghasilan bruto dikurangi dengan biaya yang diperkenankan oleh
Undang-undang no.17 tahun 2000 dengan rumus sebagai berikut:
PKP = Penghasilan Bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh
Pajak Terutang = Tarif pajak x PKP (h. 46)
II.3.3 Koreksi atas Laporan Keuangan
Perbedaan dalam penyusunan laporan keuangan menurut standar akuntansi dan
peraturan perpajakan menyebabkan timbulnya perbedaan terhadap hasil laba akhir yang
merupakan penghasilan kena pajak, sehingga dilakukan koreksi atas penyusunan laporan
tersebut.
Dilakukannya koreksi karena adanya perbedaan-perbedaan, perbedaan yang
diperoleh merupakan perbedaan angka yang bersifat permanen dan sementara yang lebih
sering disebut sebagai beda tetap dan beda waktu. Menurut Gunadi (2000) “perbedaan
permanen terjadi karena administrasi pajak menghitung laba fiskal berbeda dengan laba
pembukuan tanpa koreksi di kemudian hari, yang menyebabkan adanya perbedaan laba
total selama masa eksistensi perusahaan yang dihitung menurut ketentuan perpajakan
29
dan akuntansi. Sedangkan perbedaan yang sementara (waktu) terjadi karena adanya
ketidaksamaan saat pengakuan penghasilan dan beban oleh administrasi pajak dan
akuntan, beda karena waktu menyebabkan perhitungan pajak atas jumlah laba yang
berbeda dengan laba menurut pembukuan, namun perbedaan itu akan terkoreksi secara
otomatis di kemudian hari” (h. 202).
II.4 PAJAK PENGHASILAN ( PPh ) pasal 23
II.4.1 Pengertian Pajak PPh Pasal 23
Pajak penghasilan pasal 23, selanjutnya disebut PPh pasal 23, merupakan pajak
yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri
(orang pribadi maupun badan) dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal,
penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan pasal 21. PPh pasal 23 ini dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah
atau Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnnya.
II.4.2 Pemotong PPh pasal 23
Menurut Resmi (2005) pemotong PPh Pasal 23 terdiri dari:
1. Badan Pemerintah;
2. Subjek Pajak badan dalam negeri;
3. Penyelenggara kegiatan;
4. Bentuk usaha tetap;
5. Perwakilan perusahaan di luar negeri lainnya;
30
6. Orang pribadi sebagai Wajib pajak dalam negeri tertentu, yang ditunjukkan oleh
Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23,
yaitu:
• Akuntan,arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah, kecuali
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah camat, pengacara, dan
konsultan yang melakukan pekerjaan bebas;
• Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan,
atas pembayaran berupa sewa (h. 255).
II.4.3 Dasar Pemotongan PPh Pasal 23 dan Tarif PPh pasal 23
Pemotongan/pemungutan pajak didasarkan pada jumlah penghasilan bruto yang
diperoleh. Menurut Resmi (2005) terdapat beberapa jenis penghasilan yang termasuk
dalam ketentuan PPh pasal 23 sebagai berikut:
a. dividen,
b. bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang,
c. royalti,
d. hadiah dan penghargaan,
e. bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi,
Dasar pemotongan/pemungutan pajak adalah penghasilan neto untuk penghasilan
sebagai berikut:
a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong PPh pasal 21 (h. 258).
31
Jenis penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 berdasarkan perkiraan penghasilan neto
beserta tarif perkiraan penghasilan neto, sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak Nomor: Kep-305/PJ/2001 tanggal 18 April 2001 dan berlaku efektif tanggal 1 Mei
2001 dapat dilihat pada Tabel berikut ini:
No. Keterangan Perkiraan Penghasilan Neto
a. Jasa Profesi b. Jasa konsultan, kecuali konsultan konstruksi c. Jasa Akuntan dan Pembukuan d. Jasa Penilai
1
e. Jasa Aktuaris
50% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
2 a. Jasa teknik dan jasa manajemen b. Jasa perancang/design: • Jasa perancang interior dan perancang pertamanan • Jasa perancang mesin dan jasa perancang peralatan • Jasa perancang alat transportasi/kendaraan • Jasa perancang iklan/logo • Jasa perancang alat kemasan c. Jasa instalasi/pemasangan: • Jasa instalasi/pemasangan mesin dan jasa/instalasi pemasangan
peralatan • Jasa instalasi/pemasangan listrik/telepon/air/gas/TV/kabel d. Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan: • Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan mesin dan jasa
perawatan/pemeliharaan/perbaikan peralatan • Perawatan/pemeliharaan/perbaikan alat-alat transportasi/kendaraan • Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan e. Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak dan
gas bumi (migas) kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap f. Jasa penunjang di bidang penambangan migas g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang selain migas h. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara i. Jasa penebangan hutan, termasuk land clearing j. Jasa pengolahan/pembuangan limbah k. Jasa maklon l. Jasa recruitment/penyediaan tenaga kerja
40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
32
m. Jasa perantara n. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga o. Jasa kustodion/penyimpanan/penitipan, tidak termasuk sewa gedung
yang telah di kenakan pajak p. Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum q. Jasa pengisian sulih suara (dubbing) dan/atau mixing film r. Jasa pemanfaatan informasi di bidang teknologi, termasuk jasa
Internet s. Jasa sehubung dengan software komputer, termasuk perawatan/
pemeliharaan/perbaikan 3 Jasa pelaksanaan konstruksi 13,33% dari
jumlah bruto tidak termasuk PPN
a Jasa perencanaan konstruksi 4 b. Jasa pengawasan konstruksi
26,67% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
a. Jasa pembasmi hama dan jasa pembersihan b. Jasa catering
5
c. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada APBN/APBD
10% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
6 Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat
20% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
7 Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan yang telah dikenakan PPh bersifat final berdasarkan PP No. 29 Tahun 1996, dan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan pengggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat.
40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
(h. 258)
Tabel 2.3
II.5 Perencanaan Pajak
II.5.1 Pengertian Perencanaan Pajak
Suatu bentuk perencanaan pajak (tax planning) atau manajemen pajak merupakan
suatu bentuk penghematan atas perpajakan, semakin baik suatu perencanaan perpajakan
dibuat oleh perusahaan maka akan mengakibatkan besarnya pajak terhutang yang harus
33
dibayar juga semakin efisien, namun semua bentuk perencanaan tersebut harus tetap
berada dalam bingkai peraturan perpajakan Indonesia. Menurut Lumbantoruan seperti
yang dikutip oleh Suandy (2001) “ Manajemen Pajak adalah sarana untuk memenuhi
kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan
serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan” (h.6).
Definisi tax planning juga diungkapkan berbeda oleh Crumbley, Friedman, dan
Andres yang dikutip oleh Suandy (2001) yaitu “tax planning is the systematic analysis of
deffering tax options aimed at the minimization of tax liability in current and future tax
periods” (h. 7). Perencanaan perpajakan pada umumnya selalu dimulai dengan
meyakinkan apakah suatu transaksi atau fenomena terkena pajak.
Kalau fenomena tersebut terkena pajak, apakah dapat diupayakan untuk
dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya, selanjutnya apakah pembayaran pajak
yang dimaksud dapat ditunda pembayarannya, dan lain sebagainya. Zain (2004)
“menyatakan bahwa tax planning adalah proses pengendalian tindakan agar terhindar
dari konsekuensi pengenaan pajak yang tidak dikehendaki, namun masih berada dalam
lingkup yang legal menurut peraturan” (h. 49).
II.5.2 Tahapan Perencanaan Pajak
Dalam arus globalisasi dan tingkat persaingan yang semakin tajam seorang
manajer dalam membuat suatu perencanaan pajak sebagaimana strategi perencanaan
perusahaan secara keseluruhan (global company strategy) juga harus memperhitungkan
adanya kegiatan yang bersifat lokal maupun internasional, maka agar tax planning dapat
berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka rencana itu seharusnya dilakukan melalui
34
berbagai urutan. Menurut Suandy (2001) tahapan yang yang dilakukan dalam membuat
pajak yaitu:
1) Menganalisis informasi yang ada
Hal ini hanya bisa dilakukan dengan mempertimbangkan masing – masing
elemen dari pajak baik secara sendiri – sendiri maupun secara total pajak
yang harus dapat dirumuskan sebagai tax planning yang paling efisien.
Penting juga untuk memperhitungkan kemungkinan besarnya penghasilan
dari suatu proyek dan pengeluaran – pengeluaran lain di luar pajak yang
mungkin terjadi.
2) Membuat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak (design
of one or more possible tax plans).
Penentuan model yang akan digunakan untuk penyusunan rencana besarnya
pajak terutang dapat menggunakan berbagai pertimbangan yaitu:
a) Pemilihan bentuk transaksi operasi atau hubungan internasional.
b) Pemilihan negara asing sebagai tempat melakukan investasi atau menjadi
residen dari negara tersebut.
c) Penggunaan satu atau lebih negara tambahan
II.5.3 Perusahaan Sebagai Pemungut Pajak
Berdasarkan pernyataan Suandy (2001) “selain sebagai wajib pajak, perusahaan
juga dapat berperan sebagai pemungut pajak terhadap pihak ketiga. Masalah yang sering
kali timbul adalah pihak yang bersangkutan tidak bersedia dipotong pajaknya. Apabila
perusahaan tidak memotong withholding tax, maka perusahaan akan menanggung
akbatnya jika dilakukan pemerikasaan oleh fiskus karena perusahaan akan dikenakan
35
kewajiban untuk membayar withholding tax dimaksud ditambah denda bunga atas
keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak” (h 132).
Untuk mengatasinya, perusahaan sebaiknya memark up nilai transaksi yang
dilakukan dengan perhitungan tertentu supaya nilai tersebut sudah termasuk pajak,
karena jika perusahaan hanya membayar PPh pasal 23 tersebut, maka PPh yang dibayar
oleh perusahaan tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
II.5.3 Pelaksanaan Perencanaan Pajak
Sistem perpajakan menganut prinsip substansi dalam bentuk formal. Walaupun
perusahaan telah memenuhi kewajiban perpajakan secara formal tetapi kalau ternyata
substansi menunjukkan lain atau motivasi rekayasa tidak sesuai dengan jiwa dari
ketentuan perpajakan, maka administrasi pajak (fiskus) dapat menganggap bahwa wajib
pajak kurang patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.. Apabila terjadi
perbedaan interpretasi fakta perpajakan, lembaga peradilan pajak (Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak) yang akan memutuskan.
Menurut Suandy (2001) terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam suatu
perencaan pajak yaitu:
1) Tidak melanggar ketentuan perpajakan
Bila suatu perencanaan pajak dipaksakan dengan melanggar ketentuan
perpajakan ( tax planning ), bagi wajib pajak merupakan risiko pajak yang
sangat berbahaya dan malah mengancam keberhasilan perencanaan pajak
tersebut.
2) Secara bisnis masuk akal
36
Karena perencanaan pajak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
perencanaan menyeluruh (global strategy) perusahaan baik jangka panjang
maupun jangka pendek. Oleh karena itu, perencanaan pajak yang tidak
masuk akal akan memperlemah perencanaan itu sendiri.
3) Bukti – bukti pendukung memadai
Suatu perencanaan pajak yang baik harus disertai dengan data – data yang
mendukung misalnya dukungan perjanjian (agreement), faktur (invoice), dan
juga perlakuan akuntansinya (akuntansi treatment) (h. 10).
II.5.4 Tahapan Penyusunan Perencanaan Pajak
Dalam membuat suatu perencanaan pajak yang tepat dibutuhkan ketepatan
perhitungan baik secara strategis maupun perhitungannnya. Menurut Suandy (2001) agar
tax planning dapat berhasil maka harus dilalui beberapa tahap yaitu :
1. Menganalisis informasi yang ada.
2. Membuat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak.
3. Mengevaluasi pelaksanaan rencana pajak
4. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak
5. Memuktahirkan rencana pajak.