Post on 10-Apr-2019
16
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Strategi IS/IT
Setiap perusahaan tentunya memiliki objektif-objektif bisnisnya masing-
masing. Organisasi IT yang ada di dalam perusahaan tersebut tentunya harus
memiliki tekad untuk mendukung pencapaian tujuan bisnis perusahaan. Broadbent
et al (2005, pp 130) mengatakan:
“...Anda dan organisasi IS Anda membutuhkan strategi IT yang tepat yang
mampu memberitahukan Anda dimana upaya dan sumber daya harus difokuskan.”
Proses formulasi strategi untuk pemanfaatan IS/IT secara efektif memiliki
sifat yang kompleks. Ada beberapa dimensi permasalahan yang harus ditenggarai,
dan oleh sebab itu dibutuhkan kombinasi dari pendekatan- pendekatan dan
perangkat/alat dalam penyusunannya. Strategi IS/IT itu sendiri bertujuan untuk
mencapai tuntutan efisiensi, efektivitas, tujuan-tujuan kompetitif, atau objektif-
objektif yang menghasilkan nilai/value (Ward et al, 2002).
2.1.1. Komponen Perencanaan Dan Formulasi Strategi
Sebuah model yang ditunjukkan pada Gambar 2.1. mengilustrasikan blok-
blok pembentuk dari perencanaan dan formulasi strategi. Blok-blok pembentuk
17
tersebut antara lain input, output, serta aktivitas-aktivitas penting yang
berhubungan dengan kedua hal tersebut.
Gambar 2.1 Model Strategi IS/IT
(Ward et al, 2002, pp 154)
Penjelasan mengenai komponen-komponen input dan output di atas dapat
disimak berikut pada tabel-tabel berikut ini.
18
Tabel 2.1 Komponen Input Dari Perencanaan dan Formulasi Strategi (Ward et al, 2002, pp 153)
Input
Lingkungan Bisnis Internal Strategi bisnis yang berlaku saat ini, tujuan-tujuan, sumber daya, proses-proses, budaya dan nilai-nilai perusahaan.
Lingkungan Bisnis Eksternal
Situasi ekonomi, iklim kompetisi pada industri di mana organisasi kita beroperasi.
Lingkungan IS/IT Internal ara pandang IS/IT terhadap bisnis saat ini, tingkat kematangan dari IS/IT, cakupan bisnis dan kontribusinya, keahlian, sumber daya dan infrastruktur teknologi. Termasuk ke dalam lingkungan ini di antaranya portfolio aplikasi, sistem yang ada saat ini, yang sedang dikembangkan, dan yang belum dikerjakan.
Lingkungan IS/IT Eksternal Tren teknologi dan kesempatan-kesempatan yang hadir karena penggunaan IT oleh pihak lain, khususnya oleh pelanggan, kompetitor, dan supplier.
Tabel 2.2 Komponen Output Dari Perencanaan dan Formulasi Strategi (Ward et al, 2002, pp 154)
Output
Strategi Manajemen IS/IT Elemen-elemen umum dari strategi yang diaplikasikan di keseluruhan organisasi. Jika diperlukan juga mendukung konsistensi kebijakan.
Strategi IS Pada Bisnis agaimana setiap unit atau fungsi akan menghadirkan IS/IT dalam mencapai tujuan-tujuan bisnis. Termasuk di dalamnya ialah portfolio aplikasi yang akan dikembangkan untuk unit bisnis atau model bisnis, yang menjelaskan arsitektur informasi dari setiap unit.
Strategi IT Kebijakan dan strategi untuk pengelolaan sumber daya teknologi dan sumber daya spesialis IT.
19
2.1.2. Dualitas IS/IT
Ward et al (2002) menggambarkan dinamika IT dan konsekuensinya
terhadap bisnis dan strategi IS/IT seperti pada Gambar 2.2 berikut ini:
Gambar 2.2 Pengaruh dan Dampak
(Ward et al, 2002, pp 51)
Pertama-tama gambar tersebut menggambarkan dua sisi dari teknologi,
yang mana teknologi tidak hanya mendukung strategi dari organisasi (panah a),
tetapi teknologi juga bisa mendefinisikan bisnis itu sendiri, karena strategi
mungkin saja tidak bisa berjalan tanpa kehadiran teknologi (panah b).
Dalam lingkungannya, suatu organisasi pastilah tidak seorang diri saja. Ia
pasti memiliki kompetitor, dan merupakan anggota dari dari sistem industri dan
lingkungan bisnis yang lebih luas. Pergerakan-pergerakan para kompetitor,
20
termasuk pendatang baru, akan mempengaruhi dinamika industri. Konsekuensinya
tentunya mempengaruhi organisasi itu sendiri dan juga strategi dari organisasi
tersebut (panah c); Pada saat yang bersamaan penerapan strategi yang dijalankan
oleh suatu organisasi akan mempengaruhi langkah-langkah dari kompetitor
(panah d). Inovasi di bidang teknologi bisa memiliki efek yang disruptif terhadap
industri (panah e), merombak ulang aturan berkompetisi dan bahkan membuat
orang menanyakan ulang konsep dari struktur industri yang ada di saat tersebut.
2.1.3. Dua Jenis Hubungan IT Dengan Bisnis
Informasi dengan bisnis memiliki keterkaitan yang erat, dan manajemen
informasi bisnis bersifat vital dalam mendukung operasi dari proses-proses di
dalam organisasi dan meningkatkan kinerja organisasi (Chaffey et al, 2005).
Tetapi tentunya bentuk hubungan IT dengan bisnis harus bisa dirumuskan
dengan baik agar IT bisa memberikan kontribusi nilai seperti yang diharapkan.
Tetapi dalam kenyataannya sistem informasi yang telah dikembangkan dan
diimplementasikan mungkin saja tidak memenuhi tuntutan dari bisnis. Salah satu
alasannya bisa berupa koordinasi yang kurang baik antara manajemen IS demand
dan manajemen IT supply (Ward et al, 2002).
Benson et al (2004a) mengutarakan dua jenis hubungan perencanaan
antara strategic intentions dari bisnis dengan IT: (1) Strategi, perencanaan dan
aksi-aksi IT menjalankan strategic intentions dari bisnis dan menghasilkan hal-hal
yang memang dibutuhkan, dan (2) IT dapat berinovasi dan menyumbangkan
strategic intentions dari bisnis yang baru sama sekali. Jenis-jenis hubungan ini
dapat disimak pada gambar berikut ini:
21
Gambar 2.3 Praktek-praktek Perencanaan Demand/Supply dan Inovasi
(Benson et al, 2004a, pp 168)
Jenis hubungan yang pertama adalah dasar dari strategic demand/supply
planning. Demand melambangkan apa yang dibutuhkan bisnis dari IT, supply
mendefinisikan bagimana IT akan memenuhi demand tersebut. Jenis hubungan
yang kedua melambangkan inovasi IT terhadap bisnis. Adapun elemen-elemen
dari strategic demand/supply planning dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 2.4 Elemen Dari Perencanaan Strategis Demand/Supply
(Benson et al, 2004a, pp 175)
22
Jenis hubungan yang kedua ialah IT sebagai penggerak inovasi.
Komponen-komponen penting dan perihal-perihal yang perlu dihadirkan pada
penyusunan strategi IS/IT dalam perannya sebagai penggerak inovasi dapat dilihat
pada gambar berikut ini:
Gambar 2.5 Sekumpulan Pertanyaan dan Komponen dari Innovation Planning
(Benson et al, 2004a, pp 190)
2.2. Praktek-praktek New Information Economics (NIE)
Penggunaan IT (use of IT) pastilah memiliki memiliki suatu nilai bagi
kelangsungan bisnis perusahaan. Hal ini terlihat dari investasi-investasi yang
dilakukan perusahaan-perusahaan saat ini di bidang IT, entah itu berupa aplikasi,
komputer baru, atau layanan-layanan IT. Perusahaan-perusahaan tersebut tentunya
menyadari bahwa ada hubungan antara biaya-biaya yang dikeluarkan untuk IT
terhadap kinerja ekonomi mereka.
Pengukuran kontribusi IT dengan metode perhitungan Return On
Investment (ROI) ternyata tidak dapat menggambarkan bagaimana sebenarnya IT
23
memberikan nilai/value terhadap bisnis perusahaan. Stenzel et al (2007, pp 321)
mengutarakan pendapat berikut ini:
“…kalkulasi ROI konvensional tidak dirancang untuk menangkap kompleksitas
yang meningkat dari kehadiran teknologi informasi saat ini dan evolusi yang cepat
dari sumber daya-sumber daya teknologi informasi yang dijalankan secara
strategis.”
Marylin Parker, Robert Benson, dibantu oleh H.E. Trainor
memperkenalkan istilah yang disebut sebagai information economics. Mereka
mendefinisikan nilai/value dari IT bagi organisasi berdasarkan kinerja bisnis yang
mengalami peningkatan, dan mendefinisikan biaya berupa biaya keseluruhan
organisasi, dimana kesemuanya itu mendefinisikan dampak ekonomis yang
sebenarnya berasal dari teknologi informasi (Parker et al, 1988).
Benson et al (2004a) lalu mengembangkan praktek-praktek yang
merupakan pengembangan dari information economics. Praktek-praktek ini
disebut dengan praktek-praktek New Information Economics (NIE). Berikut ini
adalah kelima praktek NIE:
• Praktek NIE 1: Strategic Demand/Supply Planning
• Praktek NIE 2: Inovasi
• Praktek NIE 3: Prioritasisasi
• Praktek NIE 4: Penyelarasan/Alignment
• Praktek NIE 5: Pengukuran Kinerja
24
2.3. Business Value Maturity Model™
Ketidaksinambungan antara IT dan bisnis dapat menjadi batu sandungan
bagi perusahaan dalam upaya mereka mencapai nilai/value yang sebenarnya bisa
dihasilkan oleh IT. Menilik pernyataan yang diutarakan oleh Ward et al (2002, pp
44) berikut ini:
“…ketidakmampuan organisasi-organisasi dalam menyadari nilai/value dari
investasi IS/IT sebagian dikarenakan adanya kekurang selarasan antara bisnis
dengan strategi IS/IT.”
Lutchen (2004, pp 43-44) juga menyatakan pentingnya hubungan antara
IT dengan bisnis. Menurutnya dengan menyandingkan IT dengan strategi bisnis
akan mendorong unit-unit bisnis dan pimpinan-pimpinan di dalam perusahaan
untuk menegosiasikan investasi-investasi IT dengan tujuan mendukung lini-lini
bisnis, produk-produk, atau bisnis regional dengan cara yang sama mereka
menegosiasikan perihal anggaran-anggaran lainnya.
Salah satu cara untuk mengetahui bagaimana posisi IT terhadap bisnis
ialah dengan melakukan assessment dengan suatu model yang dinamakan dengan
Business Value Maturity Model™. Salah satu tujuan dari penggunaan Business
Value Maturity Model™ yaitu untuk membantu organisasi memahami jurang
pemisah antara kontribusi IT terhadap tujuan organisasi (Benson et al, 2004a).
Karakteristik jenjang dari Business Value Maturity Model™ dapat dilihat
pada tabel berikut ini:
25
Tabel 2.3 Business Value Maturity Model™ (Benson et al, 2004a, pp 236)
0 Nonexistent No management processes apply the practice to produce the desired outcomes.
1 Initial/Ad Hoc No formal management processes, but a few managers attempt to apply the practice informally to produce the outcomes.
2 Repeatable But Intuitive
No formal management processes, but the idea is understood and informally applied to produce the desired outcomes.
3 Defined Process Management processes exist to apply the practice, but no companywide standards or enforcement
4 Managed and Measurable
Management proceses are standard practices; executions monitored; outcomes affect the business.
5 Optimized Management processes that apply the practices are central to the company and continuously improved.
Benson et al (2004a) juga mengusulkan suatu bentuk assessment yang
menggunakan Business Value Maturity Model™ yang mengandung elemen-
elemen praktek-praktek NIE, dan menyebutnya dengan istilah Business Value
Assessment. Bentuk dari assessment tersebut dapat dilihat berikut ini:
26
Tabel 2.4 Business Value Assessment (Benson et al, 2004a, pp 243)
Business Value Maturity Model™ High-Level Assessment Form
Praktek NIE
KeteranganPraktek NIE
Instruksi: Pilihlah jenjang yang paling mendekati kenyataan saat ini.
Ran
k 1
s/d
9
Non
exis
tent
Initi
al/A
dHoc
Rep
eata
ble/
Intu
itive
Def
ined
Pro
cess
Man
aged
and
Mea
sura
ble
Opt
imiz
ed P
roce
sses
Demand/ Supply Planning
Explicitly connecting IT strategies and plans to business strategic intentions. Establishing the business strategic demand for IT, and then IT’s strategies and plans for the supply of the necessary IT capabilities.
0 1 2 3 4 5
Innovation Translating IT opportunities into new business strategic intentions and finding new ways for IT to support existing strategic intentions.
0 1 2 3 4 5
Prioritiza-tion
Assessing the business impact of new IT initiatives and prioritizing them according to strategic intentions.
0 1 2 3 4 5
Alignment Assessing the business impact and support of business strategic intentions of the existing IT infrastructure, applications, and services Assessing the quality and service levels for existing IT resources, as input to demand/supply planning
0 1 2 3 4 5
Perform-ance Measure-ment
Measuring IT performance in ways related to the business and its strategic intentions. 0 1 2 3 4 5
27
Strategy-To-Bottom-Line Value Chain
Connecting the processes doing planning, innovation, prioritization, alignment, and performance measurement with themselves and with the other appropriate company processes.
0 1 2 3 4 5
IT Impact Manage-ment
Establishing and achieving IT’s business value proposition. Managing IT based on business value outcomes.
0 1 2 3 4 5
Portfolio Manage-ment
Establishing baseline, business value, and performance information for the entire IT investment.
0 1 2 3 4 5
Culture Manage-ment
Establishing baseline, business value, and performance information for the entire IT investment.
0 1 2 3 4 5
2.4. IT Portfolio
Seiring dengan tuntutan bisnis dari suatu perusahaan, proyek-proyek dan
aset-aset IT yang digunakan oleh perusahaan juga akan semakin bertambah
banyak dan kompleks. Proyek-proyek maupun aset-aset ini bisa saja berkaitan
dengan infrastruktur IT (misalkan pengadaan komputer baru), berkaitan dengan
aplikasi (misalkan implementasi sistem informasi CRM), maupun berkaitan
dengan layanan-layanan IT (misalkan jasa pemeliharaan infrastruktur IT).
Penerapan IT portfolio dan manajemen IT portfolio terhadap proyek-
proyek dan aset-aset IT dapat membantu terciptanya perencanaan strategis IT
yang baik. Salah satu contoh dari tujuan penggunaan IT portfolio dalam
perencanaan strategis IT menurut Stenzel (2007) yaitu untuk menghilangkan aset-
aset yang redundan, dan memberikan pandangan yang jelas mengenai
lebih/kurangnya jumlah lisensi aplikasi software, di mana hal ini dapat
mengurangi biaya-biaya secara langsung maupun menghindari resiko hukum.
28
Dengan penggunaan IT portfolio, investasi yang tumpang tindih dapat terlihat
dengan jelas, sehingga investasi yang redundan dapat dikurangi.
Praktek-praktek NIE pun tidak bisa lepas dari peran IT portfolio karena
portfolio-portfolio adalah fondasi dari praktek-praktek NIE. IT Portfolio pada
praktek NIE akan digunakan sebagai acuan untuk melakukan prioritasisasi,
alignment, perencanaan demand/supply, perencanaan inovasi, dan pengukuran
kinerja (Benson et al, 2004a). Dengan penggunaan IT portfolio, sumber daya yang
ada bisa dioptimalkan untuk proyek-proyek yang memiliki prioritas yang lebih
tinggi, dan oleh sebab itu meminimalisasi resiko berupa penggunaan sumber daya
untuk aktivitas-aktivitas yang benefitnya yang kecil (Hackos, 2007).
Manajemen IT portfolio adalah sebuah perangkat yang dapat membantu
perusahaan selama masa perkembangannya yang pesat maupun saat iklim
ekonomi sedang tidak bersahabat. Manajemen IT portfolio mendukung perbaikan
yang teratur dan mendukung terciptanya konsistensi, keterulangan, dan
akuntabilitas (Maizlish et al, 2005).
2.4.1. Siklus Hidup IT
Maizlish et al (2005) membagi siklus hidup aset IT ke dalam 3 fase, yaitu
fase IT discovery, fase IT project, dan fase IT asset.
Fase IT Discovery
Seringkali disebut sebagai bagian awal yang samar-samar, IT discovery phase
mengambil tempat saat pengkonsepan dan ide-ide muncul dari riset-riset
29
sederhana. Insiatif-insiatif IT yang ada di fase ini bersifat jangka panjang, lebih
beresiko, dan yang lebih memiliki ketidakpastian bila dibandingkan dengan 2 fase
lainnya. Fase ini bisa digunakan perusahaan sebagai lokomotif perubahan dan
pengembangan bisnis. Inisiatif-inisiatif di fase ini dimasukkan ke dalam IT
discovery portfolio.
Fase IT Project
Seringkali disebut sebagai pengembangan produk baru, fase ini ditata dengan
serangkaian tahap-tahap dalam mengelola siklus hidup proyek-proyek. Investasi
di fase ini bisa saja merupakan investasi yang dilakukan untuk memenuhi syarat
kewajiban (tuntutan regulasi, keamanan, standar industri). Investasi di fase ini
dimasukkan ke dalam IT project portfolio.
Fase IT Asset
Fase ini menjelaskan bagian dari siklus hidup IT yang sekarang berada dalam
cakupan operasional dan perawatan. Investasi di fase ini digunakan untuk
menjalankan bisnis. Investasi di fase ini dimasukkan ke dalam IT asset portfolio.
2.4.2. IT SubPortfolio
Maizlish et al (2005) membagi IT portfolio ke dalam beberapa
subportfolio. Pembagian IT portfolio menjadi subportfolio-subportfolio dilakukan
berdasarkan fase-fase siklus hidup IT. Berikut ini adalah subportfolio-subportfolio
tersebut:
30
1. IT discovery portfolio: terdiri atas ide-ide, konsep-konsep, maupun
kesempatan-kesempatan yang berhubungan dengan IT.
2. IT project portfolio: terdiri atas proyek-proyek IT yang ada.
3. IT asset portfolio: terdiri atas investasi IT yang sudah menjadi aset dan
operasional.
2.5. Prioritasisasi Proyek-Proyek IT
Seiring dengan tuntutan bisnis dan perkembangan iklim kompetisi,
sekarang ini perusahaan-perusahaan banyak yang beroperasi di dalam lingkungan
yang kompleks, dalam pengertian ada beberapa program-program maupun
proyek-proyek yang berjalan secara bersamaan. Namun ada kendala umum yang
dihadapi oleh perusahaan-perusahaan ini berkaitan dengan situasi di atas.
Banyak bisnis tidak memiliki pendekatan yang sistematis saat hendak
mengadopsi/menjalankan proyek meskipun sumber daya yang mereka miliki ada
batasannya. Akibatnya timbul masalah seleksi proyek, masalah prioritasisasi, dan
masalah kriteria batas penerimaan (Syrris, 2009).
Salah satu pendekatan sistematis untuk proyek-proyek yang hendak
diadopsi ialah dengan praktek prioritasisasi. Benson et al (2004a, pp 141)
berpendapat:
“Prioritasisasi yang berlandaskan bisnis ialah suatu perangkat guna mengetahui
dampak bottom-line dari proyek-proyek, dan juga untuk menempatkan sumber
daya ke proyek-proyek yang paling bernilai tinggi.”
31
Ward et al (2002) menambahkan bahwa pendekatan prioritasisasi yang
praktis dan konsisten sangat penting artinya jika prioritasisasi ingin
diimplementasikan secara sukses. Salah satu cara untuk melakukan praktek
prioritasisasi ialah dengan mencari tahu hubungan sebab-akibat dari inisiatif IT
dengan strategic intention dari organisasi (Benson et al, 2004a). Dengan
melakukan assessment ini tehadap semua proyek IT, maka kita bisa mendapatkan
perbandingan antara satu insiatif/proyek dengan insiatif/proyek lainnya, dan bisa
diurutkan sesuai dengan nilai/valuenya bagi tujuan strategis bisnis.
Pentingnya suatu proyek untuk bisa memenuhi strategic intention dari
organisasi diutarakan oleh Syrris (2009) yang berpendapat jika suatu proyek yang
sukses tetapi tidak berkontribusi terhadap pencapaian tujuan, sederhananya proyek
tersebut sebenarnya hanya menghabiskan sumber daya saja.
2.6. IT Alignment
Melakukan alignment antara IT dengan terhadap bisnis adalah salah satu
upaya yang bertujuan agar IT dapat menghasilkan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh
bisnis.Ward et al (2002) berpendapat bahwa ada perbedaan antara memiliki hanya
memiliki sebuah strategi IS/IT dengan memiliki strategi IS/IT yang memberikan
kontribusi terhadap penciptaan nilai/value dari bisnis.
Farrell (2003) dalam risetnya menyimpulkan bahwa hasil riset pada
beberapa tahun terakhir menemukan bahwa organisasi-organisasi yang melakukan
alignment antara IT mereka dengan tujuan korporat, memiliki kinerja keuangan
yang lebih baik dibandingkan dengan yang tidak melakukannya. Oleh sebab itu ia
32
berpendapat bahwa kesuksesan melakukan IT alignment terhadap tujuan-tujuan
korporat menjadi isu yang penting.
Konteks mengenai IT alignment ternyata tidak memiliki definisi yang
spesifik. Hasil riset yang dilakukan oleh DeLisi et al (2007) mengkonfirmasikan
bahwa: 1) Tidak ada definisi mengenai IT alignment yang disepakati secara
umum; 2) IT alignment yang optimal sebenarnya merupakan target yang samar-
samar dan tidak ada satu bentuk pasti dalam studi tersebut; dan 3) Dalam
ketidakhadiran IT alignment yang optimal, beberapa CIO mengadopsi
pendekatan-pendekatan yang kreatif yang tampaknya bisa menghasilkan
nilai/value bagi perusahaan-perusahaan tempat mereka bekerja. Ward et al (2004)
sendiri membagi praktek alignment menjadi 3 bagian, yaitu:
1. Strategic Alignment
2. Internal Alignment
3. Functional Alignment
2.6.1. Strategic Alignment
Menitikberatkan pada penyelarasan kumpulan aset-aset IT (aplikasi,
infrastruktur, layanan, dan manajemen) terhadap strategic intentions dari bisnis.
Pertanyaan mendasar yang diajukan untuk penyelarasan jenis ini ialah seberapa
baik portfolio aplikasi, infrastruktur, dan layanan dalam mendukung strategic
intentions bisnis dan kebutuhan dari operasional bisnis. Pada gambar 2.6. terdapat
ilustrasi yang menampilkan portfolio aplikasi yang diselaraskan/aligned dengan
(1) strategic intentions perusahaan, dan (2) proses bisnis perusahaan. Sebagai
33
akibatnya, maka muncullah 6 jenis pengujian di mana masing-masing pengujian
memiliki templatenya masing-masing.
Gambar 2.6 Strategic Alignment: 6 Pengujian
(Benson et al, 2004a, pp 153)
2.6.2. Internal Alignment
Menitikberatkan pada seberapa konsistennya kumpulan aset-aset IT yang
satu dengan yang lain (dari kumpulan aset-aset IT berupa aplikasi, infrastruktur,
layanan, dan manajemen). Akibatnya timbul pertanyaan mengenai seberapa
baiknya infrastruktur IT dan layanan IT dalam mendukung aplikasi. Gambar
berikut ini mengilustrasikan praktek Internal Alignment.
34
Gambar 2.7 IT Internal Alignment: 6 Pengujian
(Benson et al, 2004a, pp 154)
2.6.3. Functional Alignment
Pada prioritasisasi, manajemen menyediakan sumber daya untuk inisiatif-
inisiatif IT yang diusulkan berdasarkan pertimbangan dampak bottom linenya dan
hubungannya ke strategic intentions dari bisnis. Pada banyak perusahaan, sumber
daya IT yang didedikasikan untuk aktivitas yang ada biasanya besarnya jauh
melebihi inisiatif baru yang hendak dikerjakan. Alokasi sumber-sumber daya ini
jarang ditelaah kembali untuk melihat kesinambungan kontribusi terhadap bisnis
(Benson et al, 2004a). Functional alignment melanjutkan pengujian ini dengan
memperhatikan perihal kualitas, service level, intensitas penggunaan, dan
teknologi.
35
2.7. Key Performance Indicator (KPI)
Kapabilitas organisasi IT tentunya memiliki korelasi dengan kinerja
perusahaan di mana organisasi IT tersebut bernaung. Terdapat sebuah korelasi
yang tinggi antara kapabilitas IT dan pertumbuhan profit bisnis. Perusahaan-
perusahaan yang membangun sistem IT dengan kapabilitas tinggi ternyata
bertumbuh lebih cepat daripada perusahaan yang tidak melakukannya, dan
dilakukan sembari meningkatkan pendapatan dan profit mereka (Robb, 2005).
Kapabilitas IT tentunya harus bisa diukur. Ternyata pengukuran memiliki
hubungan erat dengan indikator-indikator. Fiorenzo et al, (2007) menyatakan
bahwa semua perusahaan, semua aktivitas, semua pekerja membutuhkan
indikator-indikator. Indikator mengejawantahkan aktivitas pengukuran secara
mendasar (mengevaluasi seberapa baiknya kita melakukan suatu hal),
mengedukasi (karena apa yang kita ukur pastilah sesuatu yang dianggap penting;
apa yang kita ukur mengindikasikan bagaimana cara kita memberikan nilai/value
kepada pelanggan), dan mengarahkan (masalah-masalah potensial dikenali dengan
adanya beda nilai antara indikator dengan tujuan/target).
Berkaitan dengan pengukuran kinerja yang menggunakan indikator,
Parmenter (2007) berpendapat bahwa terdapat 3 macam pengukuran kinerja, di
antaranya:
1. Key Result Indicator (KRI), yang memberitahu Anda bagaimana
pencapaian kerja Anda berdasarkan suatu perspektif tertentu.
2. Performance Indicator (PI) yang memberitahu Anda apa yang harus Anda
lakukan.
36
3. Key Performance Indicator (KPI) yang memberitahu Anda apa yang harus
Anda lakukan untuk meningkatkan kinerja secara dramatis.
Hubungan antara ketiga model ini bisa diibaratkan seperti penampang
irisan bawang, seperti yang digambarkan pada gambar berikut ini.
Gambar 2.8 Tiga Jenis Pengukuran Kinerja
(Parmenter, 2007, pp 2)
2.7.1. Key Result Indicators (KRI)
Parmenter (2007) mengutarakan bahwa seringkali KRI disalah artikan
sebagai KPI. Beberapa contoh KRI di antaranya:
• Kepuasan pelanggan
• Keuntungan sebelum pajak
• Profitabilitas pelanggan
• Kepuasan karyawan
37
Terdapat karakteristik yang umum dari KRI. Kesemuanya merupakan hasil
dari banyak aksi, dan dapat memberikan gambaran yang jelas apakah arah yang
ditempuh sudah tepat. KRI tidak menginformasikan perihal-perihal yang harus
dilakukan untuk memperbaiki/meningkatkan hasil-hasil tadi. Oleh karena itu
informasi dari KRI tepat untuk para dewan direksi yang tidak terlibat dalam
manajemen keseharian (Parmenter, 2007).
2.7.2. Key Performance Indicators (KPI)
KPI merepresentasikan sekumpulan ukuran yang berfokus pada aspek-
aspek dari kinerja organisasi yang sangat kritis untuk tercapainya sukses masa kini
dan masa mendatang suatu organisasi. Terdapat 7 karakteristik KPI (Parmenter,
2007), yaitu:
1. Pengukurannya non-finansial (tidak diekspresikan dalam bentuk Rupiah,
Dollar, Yen, dan lainnya)
2. Diukur secara berkala (misalkan harian atau bulanan)
3. Ditindaklanjuti oleh CEO dan tim manajemen senior
4. Pemahaman akan pengukuran dan tindakan korektif harus dimengerti oleh
semua staf
5. Mengikatkan setiap tanggung jawab ke individual atau tim tertentu
6. Ada dampak signifikannya (misalkan mempengaruhi sebagian besar dari
CSF (Critical Success Factor) inti dan lebih dari satu perspektif Balanced
Scorecard
7. Ada dampak positifnya (misalkan mempengaruhi semua pengukuran
kinerja lainnya secara positif)
38
2.8. Anggaran IT dan Tata Kelola Biaya IT
Anggaran diciptakan untuk mendukung manajemen fiskal dan
menciptakan kejelasan terhadap pembelanjaan yang akan dilakukan sehingga
target-target finansial bisa dikomunikasikan dengan para shareholder dan
stakeholder. Anggaran perusahaan sendiri adalah bagian dari siklus tahunan
perencanaan bisnis. Anggaran IT adalah subset/bagian dari anggaran korporat
secara keseluruhan. Hal-hal yang terkandung di dalam anggaran IT antara lain
estimasi dari pengeluaran operasional IT dan pengeluaran kapital/capital
expenditure IT (Baschab et al, 2007).
Salah satu fungsi anggaran yaitu untuk menghadirkan kontrol terhadap
pengeluaran selama berjalannya tahun. Manajemen akan membandingkan hasil
aktual(realisasi anggaran) dengan perkiraan anggaran, lalu memberikan perhatian
terhadap selisih anggaran yang mencolok. Selisih anggaran yang besar bisa saja
mengindikasikan adanya permasalahan di dalam operasional atau manajemen,
atau asumsi-asumsi yang digunakan di dalam anggaran ternyata sudah berubah.
Pada kasus apapun, selisih anggaran akan memicu investigasi (Baschab et al,
2007).
2.8.1. Perbedaan Antara Belanja IT Perusahaan Dengan Anggaran
Departemen IT
Menurut Baschab et al (2007), pembelanjaan perusahaan di IT meliputi
elemen-elemen berikut ini:
• Pengeluaran operasional/operational expenses. Ialah jumlah yang
dikeluarkan untuk operasional IT hari per hari di dalam anggaran korporat.
39
• Belanja modal/capital expenses. Biaya akuisisi untuk aset tetap baru dan
proyek jangka panjang
• Layanan IT dan outsourcing. Pengeluaran untuk layanan teknologi
eksternal (konsultasi IT, layanan riset, hosting, dan lainnya)
• LitBang/R&D. Fungsi-fungsi yang berkaitan dengan penciptaan teknologi
(inkubasi produk baru, ekesperimen).
• Produk baru dan teknologi. Biaya pasca litbang untuk implementasi
produk baru dan teknologi baru.
• Gaji dan benefit untuk staf IT
• Aplikasi. Termasuk di dalamnya biaya-biaya implementasi dan
penyempurnaan sistem aplikasi yang menunjang sistem bisnis yang ada
sekarang.
• Perawatan dan administrasi. Biaya untuk fungsi-fungsi yang dijalankan
oleh staf IT dan biaya dasar/baseline cost untuk menjalankan dan merawat
sistem.
Di sisi lain, anggaran operasional bagi departemen IT meliputi:
• Pengeluaran untuk operasional IT. Hal ini tidak termasuk pembelanjaan
IT yang didanai oleh unit bisnis lain.
• Biaya implementasi untuk aplikasi dan teknologi baru (selama mereka
diimplementasikan di departemen IT).
• Pengeluaran departemen IT (misalkan gaji personil dan benefit,
pembelian software, layanan eksternal).
40
• Dukungan terhadap aplikasi seperti biaya penyempurnaan sistem
aplikasi dan biaya untuk dukungan untuk hal tersebut.
• Perawatan dan administrasi: Biaya untuk fungsi-fungsi yang dijalankan
staf IT dan baseline cost untuk menjalankan dan merawat infrastruktur
sistem.
2.8.2. Komponen Utama Dari Anggaran IT
Baschab et al (2007) mengelompokkan komponen-komponen utama dari
anggaran IT pada tabel berikut ini.
Tabel 2.5 Komponen-Komponen Kunci Dari Anggaran IT (Baschab et al, 2007, pp 498)
KOMPONEN ANGGARAN KETERANGAN
Hardware • Termasuk di dalamnya semua pembelanjaan hardware non kapital • Termasuk depresiasi dari aset hardware kapital
Software • Termasuk di dalamnya semua pembelanjaan software non kapital • Termasuk depresiasi dari aset software kapita
Biaya pekerja (personil internal)
• Termasuk di dalamnya gaji dan benefit dari semua personil IT yang tidak termasuk di dalam anggaran kapital
Penyedia layanan eksternal
• Termasuk di dalamnya semua biaya untuk penyedia layanan eksternal, seperti biaya konsultasi, biaya audit security, kontraktor IT
Data dan komunikasi
• Termasuk di dalamnya biaya untuk layanan infrastruktur jaringan, koneksi WAN, manajemen LAN, telpon seluler untuk staf, dan lain-lainnya.
• Bisa juga termasuk biaya dari komunikasi suara
Lain-lain Semua pengeluaran lainnya dimasukan ke dalam kategori ini, seperti pelatihan, biaya perekrutan, biaya legal, dan lain-lain.
41
2.8.3. Pemicu Utama Biaya
Adapun pemicu-pemicu utama menurut Baschab et al (2007) antara lain:
Tabel 2.6 Pemicu Utama Biaya (Baschab et al, 2007, pp 511)
DRIVER KETERANGAN Kompleksitas dari lingkungan infrastruktur
• Kompleksitas infrastruktur meningkatkan biaya support
secara dramatis; hal ini juga memicu biaya tak terduga karena sulitnya mengatur lingkungan yang kompleks.
• Karakteristiknya termasuk hadirnya beberapa platform yang berbeda.
• Menciptakan faktor resiko di dalam anggaran dan biaya untuk merasionalisasi lingkungan tersebut.
Pertumbuhan pendapatan
• Pertumbuhan pendapatan akan menyebabkan peningkatan
biaya untuk mendukung bisnis termasuk penambahan kapasitas server, penambahan biaya untuk dukungan end-user, aplikasi baru untuk dukungan pelanggan, dan lainnya.
• Semakin meningkatnya pendapatan maka semakin tinggi pula tuntutan tyerhadap IT.
Penambahan/pengurangan jumlah karyawan
• Penambahan/pengurangan jumlah end-user akan memiliki
dampak yang signifikan terhadap anggaran IT • Penambahan karyawan akan memicu kebutuhan belanja
PC dan juga file server dan print server, juga termasuk lisensi software.
• Pengurangan karyawan tentunya akan mengurangi tuntutan akan hal-hal di atas.
Iklim bisnis yang sedang tidak kondusif
• Bergantung pada sektor di mana perusahaan berkompetisi,
organisasi akan merasakan akibat dari resesi dalam hal pertumbuhan sales yang semakin kecil, atau bahkan penurunan sales.
• Dalam masa resesi, CIO seharusnya menyiapkan pemotongan anggaran dan pemotongan belanja. Mempersiapkan diri dari jauh-jauh hari dengan memprioritaskan belanja dan proaktif dalam membuat penyesuaian sangat dianjurkan.
Akuisisi
• Akuisisi memicu integrasi IT yang besar jika akuisisi
tersebut hendak digabungkan ke dalam bisnis utama • Akuisisi akan memicu biaya integrasi sistem IT, lisensi-
lisensi end-user, dan standarisasi platform operasional. • Bisa juga termasuk biaya dari komunikasi suara
Lain-lain
• Semua pengeluaran lainnya dimasukan ke dalam kategori
ini, seperti pelatihan, biaya perekrutan, biaya legal, dan lain-lain.
42
2.9. Change Management
Organisasi bisa dijabarkan sebagai sebuah sistem yang kompleks yang
terdiri dari orang-orang, proses-proses, teknologi, bahan-bahan baku,
prosedur/cara kerja, dan struktur. Suatu perubahan yang terjadi di suatu area
dalam organisasi akan menimbulkan riak perubahan pula di sisi sisi lainnya dari
organisasi tersebut.
Harrington et al (2000) berpendapat bahwa ada hal-hal yang harus
diperhatikan dalam melakukan tata kelola perubahan, yaitu:
1. Area resiko dari perubahan strategis/strategic change risk areas
2. Area resiko dari perubahan taktis/tactical change risk areas
2.9.1. Strategic Risk Areas
Dalam kondisi perubahan strategis, hal-hal yang harus diperhatikan, di
antaranya (Harrington et al, 2000):
1. Resilience, yaitu kemampuan dari inidividu dan tim untuk menyerap
perubahan. Hal yang tercakup di dalamnya antara lain kemampuan untuk
menyerap perubahan yang dampaknya signifikan sembari menampilkan
perilaku yang minimum terhadap perubahan kualitas dan produktivitas.
2. Change knowledge, yaitu pengetahuan mengenai konsep-konsep
perubahan itu sendiri. Tercakup di dalamnya ialah pemahaman yang
menyeluruh tentang bagaimana perubahan akan terjadi di organisasi dan
terhadap inidividu di dalamnya.
3. Mengelola sumber daya adaptasi, yaitu perihal di mana keputusan-
keputusan akan perubahan juga memperhatikan/ mempertimbangkan
43
penggunaan yang efisien akan sumber daya adaptasi yang ada. Hal ini
mencakup penyelarasan dari perubahan-perubahan yang ada, baik yang
sedang direncanakan dan yang sedang berjalan, dengan sumber daya yang
tersedia untuk menjalankan perubahan tersebut.
4. Membangun arsitektur implementasi, tencakup di dalamnya
penggunaan kerangka kerja yang terstruktur namun fleksibel yang
menggunakan konsep, teknik, dan perangkat-perangkat yang berkaitan
dengan implementasi perubahan.
2.9.2. Tactical Risk Areas
Dalam kondisi perubahan taktis, hal-hal yang harus diperhatikan di
antaranya (Harrington et al, 2000):
• Komitmen dari sponsor
• Resistansi dari target perubahan
• Penyelarasan secara kultural
• Kemampuan dari agen-agen perubahan yang ada
Komunikasi mutlak dilakukan untuk meningkatkan kemungkinan
suksesnya perubahan-perubahan yang dilakukan. Broadbent (2005) mengusulkan
tiga area di mana komunikasi terhadap perubahan dilakukan secara top-down:
• Mengartikulasikan nilai IT kepada dan direksi dan shareholder organisasi.
• Mengidentifikasi dan melaporkan indikator-indikator nilai/value dari IT
yang berkaitan dengan nilai/value dari bisnis
• Menciptakan pengukuran kinerja IT yang efektif, dan dalam bahasa yang
relevan dengan bisnis.
44
2.10. IT Infrastructure Library (ITIL)
Saat ini penggunaan teknologi informasi sudah menjadi tuntutan umum
bagi hampir semua organisasi. Tidak jarang pula teknologi informasi bisa menjadi
faktor penentu kekompetitifan dari suatu organisasi, asalkan dalam penerapannya
bisa menghindari resiko yang mungkin muncul, ada visinya, dieksekusi dengan
baik, dan bisa direspon dengan cepat (Applegate et al, 2007).
Sistem informasi diharapkan mampu merespon dengan gesit terhadap
kehadiran dari kesempatan-kesempatan bisnis yang baru, untuk
mendemonstrasikan manajemen finansial yang bertanggung jawab, dan
memuaskan pelanggan internal seperti staf dan manajemen maupun pelanggan
eksternal melalui sistem-sistem online. Tingkat pelayanan ini hanya bisa dicapai
melalui komunikasi yang efektif antara IT dengan lini-lini bisnis yang ada
(Pollard et al, 2009).
Kemudian muncul suatu strategi manajemen layanan IT yang dinamakan
sebagai IT Service Management (ITSM), yang mana sistem informasi ditawarkan
kepada pelanggan dalam suatu ikatan kontrak dan kinerjanya dikelola sebagai
sebuah layanan. Pollard et al (2009) juga menyatakan bahwa ITSM memberikan
benefit nyata bagi organisasi IT dengan menjadikannya lebih bersifat adaptif,
fleksibel, efektif secara biaya, dan berorientasi terhadap layanan. ITSM
mendorong perubahan yang fundamental di dalam organsiasi IT termasuk di
antaranya proses-proses di dalamnya, aset-set teknologi, vendor-vendor,
pengerahan personil, dan bagaimana staf IT bisa memahami peran mereka secara
organisasi. Addy (2007) menambahkan bahwa definisi dari IT Service
Management ialah:
45
“IT Service Management adalah penggunaan yang terrencana dan terkendali dari
aset-aset IT (termasuk di dalamnya sistem, infrastruktur, dan peralatan/tool),
orang-orang, dan proses-proses untuk mendukung kebutuhan operasional dari
bisnis secara efisien sembari memastikan bahwa organisasi tetap memiliki
kemampuan untuk bereaksi secara cepat dan efektif terhadap hal-hal yang di luar
perencanaan, situasi yang berubah, dan kebutuhan bisnis baru, dan di sisi lain juga
secara terus menerus mengevaluasi proses-proses tersebut dan kinerjanya guna
mengidentifikasi dan mengimplementasi kesempatan-kesempatan untuk
perbaikan/peningkatan.”
Salah satu kerangka kerja yang cukup umum digunakan dalam manajemen
layanan IT adalah Information Technology Infrastructure Library (ITIL). Menurut
Addy (2007) standar dapat menciptakan pemahaman bersama akan sesuatu hal
yang memungkinkan pihak-pihak yang berbeda untuk menyampaikan sesuatu
dalam sebuah keseragaman. Hal ini memungkinkan sebuah benda menjadi
komoditas sehingga prinsip ekonomi pasar bebas bisa diterapkan dan pengurangan
biaya bisa dicapai untuk barang-barang yang memiliki standar tersebut.
ITIL adalah suatu standar yang pada awalnya dikembangkan untuk
digunakan oleh Pemerintah Inggris. Seiring perkembangannya ITIL bisa menjadi
panduan untuk perbaikan proses bagi para profesional-profesional di bidang IT
dalam membangun fondasi yang kokoh dalam mencapai kesempurnaan
layanan/service excellence sembari memenuhi persyaratan/batasan dari anggaran
dan regulasi. ITIL terdiri dari kumpulan pendekatan-pendekatan yang masuk akal
46
secara umum terhadap manajemen layanan, yaitu mengadaptasi kerangka kerja
bersama atas praktek-praktek yang menyatukan semua area dari semua layanan IT
terhadap satu tujuan yaitu memberikan value/nilai kepada bisnis. Daftar berikut
ini mendefinisikan karakteristik utama dari ITIL (Office of Government
Commerce, 2007):
• Tidak terikat/Non proprietary
Praktek-parktek manajemen layanan ITIL dapat diaplikasikan ke dalam
organisasi IT apapun karena tidak berlandaskan teknologi/platform apapun
atau tipe industri tertentu. ITIL dimiliki oleh Pemerintah Inggris dan tidak
terikat dengan praktek-praktek komersial atau solusi tertentu.
• Tidak bersyarat/Non-prescriptive
ITIL menawarkan praktek-praktek yang matang, kuat, dan teruji oleh
waktu dan memiliki aplikabilitas terhadap semua jenis organsiasi berbasis
layanan. ITIL tetap berlanjut menjadi sesuatu yang memiliki kegunaan dan
tetap relevan baik di sektor publik maupun privat, untuk penyedia layanan
internal dan eksternal, perusahaan besar, menengah, dan kecil, dan di
dalam lingkungan teknis apapun.
• Praktek terbaik/Best practice
Manajemen layanan ITIL merupakan pengejawantahan dari pengalaman
belajar dan pemikiran-pemikiran terkemuka dari penyedia layanan terbaik
di muka bumi ini.
• Praktek yang baik/Good practice
Tidak semua praktek pada ITIL dapat dikategorikan sebagai 'best practice'.
Untuk banyak kasus, perpaduan dari praktek-praktek yang terbaik, praktek
47
yang baik, dan praktek yang umum adalah sesuatu yang memberikan
pengertian dalam perihal ketercapaian/achievability terhadap ITSM.
Semua best practice pada ujung-ujungnya akan menjadi praktek yang
umum, digantikan oleh praktek terbaik yang lebih baru.
Siklus hidup layanan ITIL memiliki 5 elemen yang dapat dilihat pada gambar
berikut ini:
Gambar 2.9 ITIL Service Lifecycle
(Office of Government Commerce, 2007, pp 19)
2.11. IT Governance
Perusahaan-perusahaan mengelola banyak aset seperti orang-orang di
dalamnya, uang, gedung/fasilitas, dan hubungan dengan pelanggan mereka.
48
Selain hal-hal tadi, informasi dan teknologi yang mengumpulkan, menyimpan,
dan menyampaikan informasi juga termasuk aset yang dikelola oleh perusahaan-
perusahaan – dan bisa jadi merupakan aset-aset yang paling membingungkan.
Kebutuhan bisnis terus menerus berubah, sementara sistem, setelah ditempatkan,
biasanya relatif stabil/tidak berubah.
Menurut penelitian Weill et al (2004), perusahaan-perusahaan yang
berkinerja sangat baik mendapatkan hasil balik dari investasi IT mereka lebih
besar 40 persen dibandingkan dengan kompetitor mereka karena perusahaan-
perusahaan ini meraih sukses karena mereka mengimplementasikan IT
governance yang efektif dalam mendukung strategi mereka. Weill et al (2004)
mendefinisikan IT governance sebagai berikut:
“Menentukan kerangka kerja untuk hal-hak pengambilan keputusan dan
akuntabilitas demi mendukung perilaku yang diharapkan dalam perihal
penggunaan IT/use of IT.”
IT Governance Institute (ITGI) di situsnya menyatakan bahwa proses IT
governance bermulai dari menentukan tujuan dari IT perusahaan dan
menyediakan arahan awal. Berikutnya sebuah siklus yang berkelanjutan akan
dijalankan, yaitu: kinerja yang diukur dan dibandingkan dengan tujuan. Dari sini
akan didapatkan hasil berupa perubahan arah dari aktivitas-aktivitas dimana
diperlukan, dan perubahan tujuan jika memang harus dilakukan. Proses IT
governance ini dapat dilihat pada gambar berikut ini:
49
Gambar 2.10 Proses IT Governance menurut ITGI
(IT Governance Institute/ITGI, 2010)
2.12. IT Profit Model
Dalam banyak organisasi, jurang pemisah antara manajemen bisnis dan
manajemen IT bisa menghambat komunikasi dan kerjasama yang efektif. Para
manajer IT cenderung berfokus pada hal-hal yang bersifat detil teknis, dan tidak
bisa dipahami oleh kebanyakan manajer-manajer senior lainnya. Pada kasus
tersebut manajer-manajer IT tidak berbicara dalam bahasa bisnis. Sebagai
akibatnya CEO dan para manajer yang lain berpaling kepada ukuran finansial
dalam melakukan hubungan dengan hal-hal seputar IT (Benson et al, 2004a).
Hal-hal ini sebenarnya bisa dihindari jika para manajer bisnis mengerti
akan peran IT terhadap profitabilitas, dan manajer IT mampu berbicara dengan
bahasa bisnis kepada para manajer-manajer lain tersebut. Di sinilah fungsi IT
Profit Model yang bisa menggambarkan hubungan antara IT dengan profitabilitas
50
perusaahaan. Benson et al (2004b) mengusulkan empat hal yang harus dipenuhi
dalam menyusun IT Profit Model, yaitu:
1. Mengaplikasikan IT Profit Model yang cukup sederhana yang bisa
diterima/dipahami oleh para manajer-manajer bisnis
2. Menyadari bahwa IT terdiri atas beberapa hal yang berlainan, dan tidak
mungkin satu IT Profit Model bisa menjelaskan kesemuanya
3. Bergantunglah kepada manajer-manajer bisnis dalam pengembangan dan
aplikasi IT Profit Model
4. Mengembangkan proyek-proyek yang tepat
Salah satu bentuk hubungan antara IT dengan profitabilitas dapat dilihat
pada gambar berikut ini:
Gambar 2.11 IT Profit Model (Benson et al, 2004b, pp 22)
51
Benson et al (2004b) juga menyatakan bahwa IT Profit Model dapat
dibangun dengan memecah-mecah IT ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil
(misalkan portfolio aplikasi, portfolio proyek, portfolio infrastruktur) dan
mengaplikasikan profit model ke setiap komponen-komponen tersebut.
Pembahasan mengenai IT Profit Model menutup bab II dari tesis ini. Bab
III dari tesis ini akan menjabarkan metodologi penyusunan IS Strategic Planning
untuk CNI Indonesia dan landasan-landasan pemikiran dari metodologi yang
digunakan.