Post on 01-Aug-2020
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penelitian yang Relevan
Untuk membedakan penelitian yang berjudul “Relasi intertekstual Aspek-
Aspek Religiusitas Novel Dalam Mihrab Cinta Karya Habiburrahman El-Shirazy dan
Novel Syahadat Cinta Karya Taufiqurrahman Al-Azizy” dengan penelitian yang telah
ada sebelumnya, maka penulis meninjau penelitian mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Purwokerto.
Skripsi berjudul “Kajian Aspek Religiusitas dalam Novel Cinta Suci Zahrana
Karya Habiburahman El Shirazy” oleh Slamet Riyanto, NIM 0801040043, tahun
2012. Adapun hasil penelitiannya, sebagai berikut.
Penelitian tersebut bertujuan untuk membuktikan adanya aspek religiusitas
yang terkandung dalam novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburahman El Shirazy.
Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah deskriptif analisis
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif dan analisis yang
berupa kata-kata tertulis dan bukan angka. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan religi yang menitikberatkan pada tujuan sastra sebagai salah satu media
yang dapat mengantarkan seseorang untuk mencapai pengalaman religius. Kerangka
filosofis yang digunakan adalah kerangka pemikiran religi yang berdasarkan pada
ajaan islam yakni Al Quran dan Al Hadits. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburahman El Shirazy, memiliki aspek
religiusitas yang meliputi takwa, ikhlas, khauf dan raja‟, tawakal, syukur, dan taubat.
5
Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013
6
Berdasarkan pemaparan penelitian terdahulu tersebut, ditemukan persamaan
dan perbedaan dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Persamaannya terdapat
pada bidang kajian yakni mengenai kajian tentang karya sastra yang mengandung
aspek religi. Sedangkan perbedaannya terdapat pada sumber data dan aspek
religiusitas yang dikaji. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa dua
novel yakni Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy dan novel
Syahadat Cinta karya Taufiqurrahman Al-Azizy. Aspek religiusitas yang akan dikaji
dalam penelitian ini meliputi aspek ideologis, ritualistik, eksperiensial, intelektual, dan
konsekuensial.
B. Religiusitas Sastra
Kata religiusitas artinya bersifat religi, bersifat keagamaan yang bersangkut
paut dengan religi. Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2008: 1286) Religi
ialah kepercayaan akan adanya Tuhan.
Menurut Purwadi (2002: 29) secara bahasa, ada yang mengatakan bahwa
istilah religi itu berhubungan dengan kata religare, kata dari bahasa latin yang
mengikat, sehinggga religius berarti ikatan atau pengikat. Berhubungan dengan religi,
pada dasarnya manusia mengikat diri kepada Tuhan. Pada pokoknya religi adalah
penyerahan diri kepada Tuhan, dalam keyakinan bahwa manusia tergantung dari
Tuhan, bahwa Tuhanlah yang merupakan keselamatan sejati bagi manusia, bahwa
manusia dengan kekuatannya sendiri tidak mampu untuk memperoleh keselamatan
dan karenanya ia menyelamatkan diri.
Pada awal mula segala sastra adalah religius. Istilah religius membawa
konotasi pada makna agama. Religius dan agama memang erat berkaitan,
Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013
7
berdampingan, bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan, namun sebenarnya
keduanya menyarankan pada makna yang berbeda. Agama lebih menunjukkan pada
kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religiusitas
di pihak lain, melihat aspek yang di lubuk hati, riak getaran nurani pribadi, totalitas
kedalaman pribadi manusia. Dengan demikian, keduanya jelas memiliki makna yang
berbeda, meskipun saling berhubungan. Religius bersifat mengatasi lebih dalam dan
lebih luas dari agama yang tampak formal dan resmi (Nurgiyantoro, 2007: 326).
Kesusastraan menjadi religius jika didalamnya mempersoalkan dimensi
kemanusiaan dalam kaitannya dengan dimensi transendental. Kesusastraan religius
selalu membicarakan persoalan kemanusiaan yang bersifat profan dan ditopang nilai
kerohanian, yang berpuncak kepada Tuhan melalui lubuk hati terdalam
kemanusiaannya. Para penyair dan sastrawan yang mempunyai semangat religius
menyadari bahwa gejala-gejala yang tampak oleh mata dan pikiran ini (realitas alam
dan budaya) hanyalah ungkapan lahir atau simbol dari suatu kenyataan yang lebih
hakiki. Gejala lahiriah ini adalah amanat (ayat) Tuhan yang harus dibaca dan dihayati
secara mendalam, sebab tidak ada suatu realitaspun jika ia tidak ilahiah. Selain itu
karya sastra dapat dikatakan religius sebab di dalamnya mengandung moralitas.
Menghadapi karya sastra demikian pembaca sastra sering mengasumsikan bahwa
moralitas di dalamnya selaras dengan moralitas pengarang. Tuntutan pembaca seperti
itu amatlah wajar sebab pembaca yang baik tentu akan menilai-nilai kesungguhan
dalam karya itu, di samping kesungguhan moralitas yang sedang ditawarkan
pengarang (Wachid, 2002: 177-179).
Sastra yang religius memiliki karakteristik jelas yang membedakannya dengan
sastra yang lain, hal ini tidak lepas dari dasar (Islam) itu sendiri yang bersifat
Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013
8
ketuhanan dan sekaligus kemanusiaan. Akidah dan akhlak adalah karakteristik utama
dari sastra yang bernuansa Islam yang menjadi dasar dari semua tema genre sastra
bernuansa Islam. Dengan kata lain para sastrawan muslim mempunyai kewajiban
menjaga prinsip akidah dan akhlak di dalam proses penciptaan karya-karya sastra
mereka. Prinsip ini harus ditempatkan pada segala situasi dan kondisi karena
sastrawan yang sejati hidup dalam masyarakat yang harus selalu diarahkan ke jalan
Islam (Manshur, 2011: 166).
Para sastrawan yang mempunyai semangat religius menyadari bahwa gejala-
gejala yang tampak oleh mata dan pikiran (realitas alam dan realitas budaya) hanyalah
ungkapan lahir atau simbol dari suatu kenyataan yang lebih hakiki. Gejala lahiriah ini
adalah alamat (ayat) Tuhan yang harus dibaca dan dihayati secara mendalam. Hal ini
merupakan penjabaran dari Laa illallah illallah (Wachid, 2002: 178). Namun,
meskipun karya sastra religius Islam bermuatan pesan moral, sastrawan tetap
mempunyai kebebasan kreatif dalam pencarian bentuk seni, yang sejalan dengan
hakikat serta sistem kesusastraan, yakni indah dan bermafaat (dulce et utile).
C. Aspek-Aspek Religiusitas
Menurut R. Stark dan C.Y. Glock dalam Ancok dan Suroso (2008:80)
religiusitas (religiousity) meliputi lima dimensi (aspek) yaitu keyakinan beragama
(beliefs), praktik keagamaan (practice), rasa keberagamaan (feelings), pengetahuan
agama (knowledge), dan konsekuensi (effect) dari keempat dimensi tersebut.
Penjelasan singkat dari kelima aspek menurut Glock tersebut adalah sebagai
berikut:
Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013
9
a. Keyakinan beragama (beliefs) adalah kepercayaan atas doktrin teologis, seperti
percaya terhadap Tuhan, malaikat, hari akhirat, surga, neraka, takdir, dan lain-
lain. Ancok dan Suroso (2008: 77) menyatakan bahwa orang berpegang teguh
pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin
tersebut.
b. Praktik keagamaan (practice) merupakan dimensi yang berkaitan dengan
seperangkat perilaku yang dapat menunjukkan seberapa besar komitmen
seseorang terhadap ajaran agama yang diyakininya.
c. Rasa/pengalaman keberagamaan (feelings) adalah dimensi yang berkaitan dengan
pengalaman keberagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi dan sensasi-
sensasi yang dialami oleh seseorang yang beragama.
d. Pengetahuan agama (knowledge) merupakan dimensi yang mencakup informasi
yang dimiliki seseorang mengenai keyakinannya.
e. Konsekuensi keberagamaan (effect) merupakan dimensi yang mengacu pada
identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan
pengetahuan seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut hemat penulis, rumusan Glock dan Stark tersebut mempunyai
kesesuaian dengan pokok ajaran Islam, walaupun tidak sepenuhnya sama. Aspek
keyakinan beragama dapat disejajarkan dengan akidah, aspek praktek keagamaan
dapat disejajarkan dengan syariah, dan aspek pengalaman dapat disejajarkan dengan
akhlak.
Aspek religiusitas dalam Islam merupakan inti atau pokok ajaran Islam itu
sendiri. Menurut Basyir (2002:65-72) aspek ajaran Islam ada empat yaitu aspek
Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013
10
akidah (keyakinan), Ibadah (Praktik agama, ritual formal), akhlak (pengalaman dari
akidah dan syariah), dan muamalat (kemasyarakatan).
Penjelasan dari aspek akidah, ibadah, akhlak, dan muamalat tersebut sebagai
berikut:
1. Akidah
Bidang akidah berpokok pada rukun iman, yaitu ajaran tentang keyakinan
kepada kitab Allah, keyakinan kepada rasul Allah, keyakinan kepada hari
(kiamat), dan keyakinan kepada qadha dan qadar.
Dalam bidang akidah, akal tidak diberi kesempatan untuk menambah hal
yang bermaktub dalam Al Quran dan sunah Rasul, sebab bila dalam bidang ini
akal diberi kesempatan menambah hal baru, pasti akan terjadi penyelewengan
dari yang digariskan Al Quran dan sunah Rasul.
2. Ibadah
Yang dimaksud ibadah di sini bukan ibadah sebagai pengabdian
menyeluruh dalam kehidupan manusia kepada Allah. Tetapi ibadah yang khusus
merupakan upacara pengabdian yang bersifat ritual yang telah diperintahkan dan
diatur cara pelaksanaannya dalam Al Quran atau sunah Rasul, seperti: solat,
puasa, zakat, haji, dan sebagainya (rukun Islam).
3. Akhlak
Bidang akhlak merupakan aspek ajaran Islam yang sangat penting
peranannya dalam perjalanan kehidupan manusia, sebab akhlak memberi norma
baik dan buruk , dan menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk tidak selalu
tercapai persesuaiannya antara seseorang dengan orang lain, antara satu kelompok
dengan kelompok lain.
Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013
11
Anwar (2010: 90) menjelaskan mengenai akhlak terpuji dalam hal ini adalah
akhlak kepada Allah sebagai perwujudan nilai moral sebagai berikut:
a. Mentauhidkan Allah
Tauhid adalah pengakuan bahwa Allah SWT satu-satunya yang memiliki sifat
rububiyyah dan uluhiyyah, serta kesempurnaan nama dan sifat (Anwar, 2010: 90).
b. Berbaik sangka (Husnu zhann)
Berbaik sangka terhadap keputusan Allah SWT merupakan salah satu akhlak
terpuji kepada-Nya. Di antara ciri akhlak terpuji ini adalah ketaatan yang sungguh-
sungguh kepada-Nya.
c. Zikrullah
Mengingat Allah (zikrullah) adalah asas dari setiap ibadah kepada Allah SWT,
karena merupakan pertanda hubungan antara hamba dan pencipta pada setiap saat
dan tempat.
d. Tawakal
Hakikat tawakal adalah menyerahkan segala sesuatu kepada Allah „Azza wa jalla,
membersihkannya dari ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki kawasan-kawasan
hukum dan ketentuan. Dengan demikian, apa yang telah dikehendaki Allah SWT
untuk seorang hamba, maka ia akan memperolehnya. Sebaliknya, apa yang tidak
dikehendaki Allah SWT untuk hambanya, maka ia pasti tidak akan
memperolehnya.
Menurut Ilyas (2009: 17) akhlak terhadap Allah meliputi: takwa, cinta, dan
ridha, ikhlas, khauf dan raja’, tawakal, syukur, muraqabah, dan taubat. Penjelasan
terperinci dari masing-masing akhlak tersebut adalah sebagai berikut:
Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013
12
a. Takwa
Definisi takwa yang paling populer adalah “memelihara diri dari siksaan
Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala Larangan-
Nya.” (Ilyas, 2009: 17).
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Suryana (2008: 117) bahwa takwa
adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah.
Razak (2010: 298) menjelaskan dalam pengertian umum takwa ialah sikap
mental orang-orang mukmin dan kepatuhannya dalam melaksanakan perintah-
perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya atas dasar kecintaan semata.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka penulis menyimpulkan
bahwa takwa adalah suatu bentuk pendekatan diri seorang mukmin kepada Allah,
melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan Allah
SWT.
b. Cinta dan Ridha
Menurut Ilyas (2009: 24) cinta adalah kesadaran diri, perasaan jiwa, dan
dorongan hati yang menyebabkan seseorang terpaut hatinya kepada apa yang
dicintainya dengan penuh semangat dan rasa kasih sayang.
Sejalan dengan cinta, seorang muslim haruslah bersikap ridha dengan
segala aturan dan keputusan Allah. Hal itu berarti dia harus dapat menerima
dengan sepenuh hati, tanpa penolakan sedikitpun, segala sesuatu yang dating dari
Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perintah, larangan ataupun petunjuk-petunjuk
lainnya (Ilyas, 2009: 28).
Suryana (2008: 55) mengemukakan bahwa ridha adalah tidak menentang
terhadap qadha dan qadar Allah, melainkan menerima dengan senang hati, oleh
Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013
13
karena itu seorang yang ridha akan merasa senang dan nikmat ketika mereka
menerima musibah sebagaimana sewaktu mereka menerima nikmat Allah SWT.
c. Ikhlas
Menurut Ilyas (2009: 28-29) secara etimologis ikhlas (bahasa Arab)
berakar dari kata khalasha dengan arti bersih, jernih, murni, tidak bercampur.
Setelah dibentuk menjadi kata ikhlas berarti membersihkan atau memurnikan.
Secara terminologis yang dimaksud dengan ikhlas adalah amal semata-mata
mengharapkan ridha Allah SWT (Ibid).
Dengan demikian, berdasarkan pendapat-pendapat tentang ikhlas yang
telah dikemukakan tersebut, penulis dapat menyimpulkan ikhlas adalah suatu
kesediaan berbuat tanpa pamrih dan setulus hati yang dilakukan oleh seseorang
karena keyakinannya pada Allah dan hanya semata-mata mengharapkan ridlo
Allah.
d. Khauf’ dan Raja’
Salah satu akhlak yang menunjukkan aspek religiusitas adalah khauf. Khauf
adalah semua rasa takut yang bersumber dari rasa takut kepada Allah (Ilyas,
2009: 38). Lebih lanjut Ilyas, khauf adalah kegalauan hati membayangkan sesuatu
yang tidak disukai yang akan menimpanya, atau membayangkan hilangnya
sesuatu yang disukainya. Jadi, khauf yang dimaksud disini adalah rasa takut
kepada Allah bukan kepada makhluk.
Raja‟ atau harap adalah memautkan hati kepada sesuatu yang disukai pada
masa yang akan datang. Raja’ harus didahului oleh usaha yang sungguh-
sungguh. Harapan tanpa usaha namanya angan-angan kosong.
Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013
14
Khauf dan raja‟ adalah sepasang sikap batin yang harus dimiliki secara
seimbang oleh setiap muslim. Apabila salah satu dominan dari yang lainnya maka
akan melahirkan pribadi yang tidak seimbang. Dominasi khauf menyebabkan
sikap pesimis dan putus asa, sementara dominasi raja‟ menyebabkan seseorang
lalai dan lupa diri serta merasa aman dari azab Allah. Sikap yang pertama adalah
sikap orang kafir dan yang kedua adalah sikap orang yang merugi.
e. Tawakal
Tawakal adalah membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada
selain Allah dan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada-Nya (Ilyas,
2009:44).
Suryana (2008:55) mengemukakan bahwa tawakal adalah menyerah kepada
qadha dan qadar Allah.
Sikap tawakal haruslah dimulai dengan kesungguhan, apabila kalau hanya
berpasrah diri dan menunggu nasib atas apa yang akan terjadi tanpa melakukan
usaha, maka hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesalahpahaman yang fatal
dalam mengartikan tawakal.
f. Syukur
Syukur ialah memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah
dilakukannya. Syukurnya seorang hamba berkisar atas tiga hal, yaitu: mengakui
nikmat dalam batin, membicarakannya secara lahir, dan menjadikannya sebagai
sarana untuk taat kepada Allah (Ilyas, 2009: 50).
Jadi syukur itu adalah berkaitan dengan hati, lisan, dan anggota badan. Hati
untuk ma‟rifah dan mahabbah, lisan untuk menyebut nama Allah, dan seluruh
Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013
15
anggota badan untuk menggunakan nikmat yang diterima sebagai sarana untuk
menjalankan ketaatan kepada Allah dan menahan diri dari maksiat kepada-Nya.
g. Muraqabah
Menurut Ilyas (2009: 54) muraqabah berakar dari kata raqaba yang berarti
menjaga, mengawal, menanti, dan mengamati. Semua pengertian kata raqaba
tersebut disimpulkan dalam satu kata yaitu pengawasan, karena apabila seseorang
mengawasi sesuatu dia akan mengamati, menantikan, menjaga, dan
mengawalnya. Dengan demikian muraqabah juga bisa diartikan dengan
pengawasan.
h. Taubat
Taubat berasal dari kata taba yang berarti kembali. Orang yang bertaubat
kepada Allah SWT adalah orang yang kembali dari sesuatu menuju sesuatu,
misalnya kembali dari sifat-sifat yang tercela menuju sifat-sifat yang terpuji,
kembali dari larangan Allah menuju perintah-Nya (Ilyas, 2009: 57). Taubat
adalah meminta ampun yang tidak membawa kembali kepada dosa lagi. Taubat
merupakan bentuk cinta kepada Allah dan orang yang mencintai Allah akan
senantiasa mengadakan hubungan dan kontemplasi tentang Allah.
Apabila seorang muslim melakukan kesalahan atau kemaksiatan dia wajib
segera taubat kepada Allah SWT. Yang dimaksud kesalahan atau kemaksiatan di
sini adalah semua perbuatan yang melanggar ketentuan syariat Islam, baik dalam
bentuk meninggalkan kewajiban atau melanggar larangan, baik yang termasuk
dosa kecil atau dosa besar.
Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013
16
4. Muamalat (Kemasyarakatan)
Bidang muamalat ini mencakup pengaturan pergaulan hidup manusia di
atas bumi. Misalnya, bagaimana pengaturan tentang benda, tentang perjanjian,
tentang ketatanegaraan, tentang perjanjian, dan sebagainya.
Dalam bidang muamalat ini pada umumnya Al Quran memberikan
pedoman secara garis besar, sunah Rasul memberikan penjelasannya baik berupa
pedoman umum ataupun pedoman khusus yang diperlukan pada masa itu.
Tujuannya adalah untuk menanggapi perkembangan kehidupan umat manusia,
yang tidak pernah berhenti saat itu, Islam memberikan kesempatan kepada jiwa
ketentuan yang telah termaktub dalam Al Quran dan sunah Rasul.
Religius dapat dimiliki oleh pribadi beragama dan non agama. Oleh
karena itu, penulis perlu menggarisbawahi bahwa penelitian ini berkaitan dengan
religius pribadi beragama, yaitu Islam.
Keberagamaan dalam Islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ritual
saja, tapi juga dalam aktivitas-aktivitas lainnya. Sebagai sistem yang menyeluruh,
Islam mendorong pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh (kaffah).
Aspek-aspek religiusitas menurut Ridwan (2001: 89-90) adalah sebagai berikut.
1. Aspek ideologis adalah seperangkat kepercayaan (belief) yang memberikan
premis eksistensial untuk menjelaskan Tuhan, alam, manusia, dan hubungan
diantara mereka. Kepercayaan ini dapat berupa makna yang menjelaskan tujuan
Tuhan dan peranan manusia dalam mencapai tujuan itu.
2. Aspek ritualistik adalah aspek pelaksanaan ritual atau ibadah yang dianjurkan
oleh agama dan atau dilaksanakan oleh para pengikutnya. Aspek ini meliputi
Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013
17
pedoman-pedoman pokok pelaksanaan ritual dan pelaksanaan ritual tersebut
dalam kehidupan sehari-hari.
3. Aspek eksperiensial adalah bagian keagamaan yang bersifat afektif, yakni
keterlibatan emosional dan sentimental pada pelaksanaan ajaran agama. Inilah
perasaan keagamaan (religious feeling) yang dapat bergerak dalam empat tingkat:
konfirmatif, yaitu merasakan kehadiran Tuhan atau apa saja yang diamatinya;
responsif yaitu merasa bahwa Tuhan menjawab kehendak atau keluhannya;
eskatik yaitu merasakan hubungan yang akrab penuh cinta dengan Tuhan; dan
partisipasif yaitu merasa menjadi kawan setia, kekasih, atau wali Tuhan dengan
menyertai Tuhan dalam menyertai karya illahiah.
4. Aspek intelektual adalah pengetahuan agama apa yang tengah atau harus
diketahui orang tentang ajaran-ajaran agamanya. Seberapa jauh tingkat melek
agama (religious literacy) para pengikut agama yang diteliti; atau tingkat
ketertarikan mereka untuk mempelajari agamanya.
5. Aspek konsekuensial, disebut juga aspek sosial. Aspek ini merupakan
implementasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama sehingga dapat menjelaskan
efek ajaran agama, seperti etos kerja, kepedulian, persaudaraan, dan lain
sebagainya.
D. Hubungan Intertekstualitas
Penelitian interteks merupakan usaha pemahaman sastra sebagai sebuah
“presupposition”, yakni sebuah perkiraan bahwa sebuah teks baru mengandung teks
sebelumnya. Hal demikian juga diakui oleh Roland Barthes, bahwa dalam diri
Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013
18
pengarang sesungguhnya telah penuh teks-teks lain, dalam dirinya penuh lapis-lapis
teks lain yang sewaktu-waktu dapat keluar dalam karyanya. Jika yang terungkap
dalam karyanya banyak memuat teks lain, memang akan kehilangan orisinalitasnya
(Endraswara, 2008: 133).
Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks
(lengkapnya: teks kesastraan), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan
tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti
ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan., (gaya) bahasa, dan lain-lain di antara teks
yang dikaji. Karya intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya tulis, ia
tidak mungkin lahirdari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua
konversi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks
kesastraan yang ditulis sebelumnya (Nurgiyantoro, 2007: 50).
Karya sastra apapun jenisnya yang lahir dari tangan kreatif pengarang, pada
dasarnya selalu berada di tengah-tengah konteks atau tradisi kebudayaan. Dengan kata
lain, bagaimana pun karya sastra tidak akan lahir dari situasi kekosongan budaya.
Dalam hal ini, budaya tidak hanya berarti teks-teks kesastraan yang telah ada
sebelumnya, tetapi juga seluruh konvensi, atau tradisi yang mengelilinginya. Karena
tidak lahir dari situasi kosong budaya itulah, dipastikan karya sastra memiliki
hubungan erat dengan karya-karya lainnya. Hubungan itu harus dihubungkan secara
lebih luas karena hubungan itu tidak hanya dapat berupa persamaan (penegasan,
pengukuhan, penerusan), tetapi juga perbedaan (penyimpangan atau penolakan).
Keadaan inilah yang membuktikan bahwa karya sastra memiliki hubungan
intertekstualitas dengan karya sastra lain.
Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013
19
Menurut Suwondo (2003:137), karya sastra baru bermakna penuh (lebih
bermakna) setelah dihubungkan dengan karya sastra lain karena, pada hakikatnya,
karya sastra merupakan respon (serapan, olahan, mosaik, kutipan, tranformasi)
terhadap apa yang telah ada dalam karya sastra lain. Respon dari teks hipogram yang
dapat berupa kata, frase, atau kalimat, bentuk, gagasan, dan sejenisnya itu di dalam
teks tranformatif diolah secara kreatif sehingga kita (pembaca) sering tidak ingat lagi
apa hipogramnya. Perlu diketahui bahwa intertekstualitas bukanlah sekedar fenomena
yang berkaitan dengan pengidentifikasian kehadiran teks dengan kata lain, melainkan
juga dengan masalah interpretasi. Dikatakan demikian, karena kehadiran teks lain
dalam suatu teks akan memberikan suatu corak atau warna tertentu pada teks itu.
Interpretasi yang digunakan, berkaitan dengan pernyataan mengapa teks lain diserap,
dan apakah pengarang menerima, menegaskan, menentang, ataukah menolak. Di
sinilah kemudian muncul maksud atau idiologi tertentu berkenaan dengan teks yang
ditulisnya. Jika ditinjau lebih jauh lagi, beberapa pertanyaan itu sesungguhnya
berhubungan dengan proses resepsi (penerimaan) teks, yaitu bagi seorang (pengarang)
memerlukan teks. Oleh sebab itu, intertekstualitas pada dasarnya identik dengan teori
resepsi sastra, yaitu teori yang menanggapi respon pembaca.
Prinsip intertekstualitas pertama kali dikenal para peneliti Perancis dan
bersumber pada aliran strukturalisme Perancis yang dipengaruhi oleh para filsuf
Jaques Derrida. Pemikiran intertekstualitas ini kemudian dikembangkan oleh Julia
Kristeva melalui tulisannya “research for smanalysis”. Dalam tulisannya, Kristeva
mengatakan bahwa “setiap teks itu merupakan mosaik, kutipan-kutipan penyerapan,
dan transformasi teks-teks lain”. Dalam intertekstualitas Kristeva, setiap sastra harus
dibaca dan dihubungkan dengan latar belakang teks-teks lain karena tidak ada sebuah
teks yang benar-benar mandiri, dalam arti bahwa dalam penciptaan dan
pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks lain sebagai contoh dan
kerangka. Prinsip ini tidak menerangkan bahwa teks yang baru hanya mencontoh teks
lain atau mematuhi kerangka teks yang lebih dahulu ada, tetapi dalam arti setiap teks
baru memungkinkan terjadinya peresapan dan transformasi dari teks yang terdahulu.
Prinsip mosaik dari Kristeva adalah “setiap teks mengambil hal-hal yang bagus
dari teks lain berdasarkan tanggapan-tanggapannya dan diolah kembali dalam
karyanya atau teks yang ditulis oleh sastrawan kemudian”. Dengan demikian, prinsip
Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013
20
mosaik mengandalkan teks lain sebagai pecahan-pecahan keramik, marmer, batu, atau
gelas yang berwarna-warni dan kemudian diambil atau (diserap), serta ditata atau
dikombinasikan ke dalam ciptaan yang baru (ditransformasikan) berdasarkan rasa
keindahan sang seniman. Teori mosaik ini secara implisit menyatakan bahwa,
sastrawan itu memperoleh gagasan menciptakan karya setelah membaca, melihat,
meresapi, menyerap, dan kemudian memindahkan atau mengutip bagian-bagian
tertentu dari teks yang dibaca, didengar, dan diresapinya ke dalam karyanya, baik
secara sadar maupun tidak sadar.
Sedangkan, prinsip intertekstualitas adalah mempunyai fokus ganda, yaitu
meminta perhatian kita tentang pentingnya teks terdahulu sebab tuntutan otonomi teks
adalah menyesuaikan gagasan dan membimbing kita untuk mempertimbangkan teks
terdahulu sebagai penyumbang kode yang memungkinkan lahirnya berbagai efek
signifikasi (membawa makna atau lebih jauh pada fokus makna). Dengan demikian
konsep intertekstuaitas begitu sentral bagi setiap komunitas deskripsi semiotik
signifikasi sastra. Namun, terbukti sedikit sulit menerapkannya walaupun sudah diberi
contoh oleh Riffaterre (1978) dalam bukunya”Semiotics Of Poetry”.
Menurut Riffatere, teks tertentu yang menjadi latar penciptaan teks baru itu
disebut hipogram. Selain itu, teks yang menyerap (mentransformasikan) hipogram
disebut teks transformasi. Hubungan antara teks yang terdahulu dengan teks yang
kemudian ada disebut hubungan intertekstual. Intertekstual adalah fenomena resepsi
pengarang terhadap teks-teks yang pernah dibacanya dan dilibatkan dalam ciptaannya.
Hipogram ada dua macam, yakni hipogram potensial dan hipogram aktual
(Riffatere, 1978: 23). Hipogram potensial tidak eksplisit dalam teks, tetapi dapat
diabstraksikan dari teks. Hipogram potensial merupakan potensi sistem tanda pada
Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013
21
teks sehingga makna teks dapat dipahami sendiri, tanpa mengacu pada teks yang
sudah ada sebelumnya. Hipogram potensial adalah matrik yang merupakan inti dari
teks atau kata kunci, yang dapat berupa kata, frase, klausa, atau kalimat sederhana
(Pradopo, 2003: 13).
Hipogram aktual adalah teks nyata yang dapat berupa kata, frase, kalimat,
peribahasa, atau seluruh teks yang menjadi latar penciptaan teks baru sehingga
signifikasi teks harus ditemukan dengan mengacu pada teks lain atau teks yang sudah
ada sebelumnya. Teks dalam pengertian umum bukan hanya teks tertulis atau teks
lisan, tetapi juga adat-istiadat, kebudayaan, agama, dan bahkan alam semesta ini
adalah teks (Pradopo, 2003:132). Oleh karena itu, hipogram yang menjadi latar
penciptaan teks baru itu, bukan hanya teks tertulis atau teks lisan, tetapi juga dapat
berupa adat istiadat, kebudayaan, agama, bahkan dunia ini.
Tokoh pertama yang memperkenalkan konsep intertekstualitas ialah Mikhail
Bakhtin pada tahun 1926 dan sering disebut dengan sebutan Bakhtin Sahaja. Pada
awalnya Bakhtin menggunakan konsep dialog, sebagaimana telah diuraikan dalam
bukunya “The Dialogic Imagination” (1981). Bakhtin berpendapat bahwa semua
karya sastra dihasilkan berdasarkan pada dialog antara teks dengan teks lain. Dengan
perkataan lain, teori ini memperlihatkan hubungan antara teks dengan teks yang lain.
Pokok utama menurut Bakhtin dalam setiap karya itu berlaku dialog yang
menghubungkan antara teks dalam (unsur intrinsik) dengan teks luar (unsur ekstrinsik)
yang ada dalam karya sastra yang bersangkutan. Apa yang dimaksud unsur intrinsik
ialah aspek yang berkaitan dengan pembinaan sebuah karya sastra seperti estetika,
imaginasi, dan ilusi. Sementara unsur ekstrinsik merupakan teks sosial yang paling
erat kaitannya dengan pengalaman pengarang, ideologi, sejarah, moral, budaya, dan
Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013
22
sebagainya. Konsep dialog yang dimaksud Bakhtin adalah masuknya unsur-unsur luar
(ekstrinsik) dalam karya sastra. Pengarang mempunyai objek, tema, atau pemikiran
yang akan disampaikan dalam tulisannya. Namun, semuanya hanya bisa diolah
menjadi karya sastra dengan bantuan unsur-unsur luar. Bagi Bakhtin unsur luar ialah
apa saja yang dapat memberi sumbangan kepada pembaca sebuah karya sastra (Noor,
2006: 106).
Dalam keterangan yang lain, konsep dialog terjadi melalui pembacaan dan
pengalaman yang dialami oleh pengarang. Pengarang biasanya banyak membaca, oleh
karena itu, akan mempengaruhi daya kreativitasnya. Sewaktu membaca, pengarang
akan menemukan peristiwa, latar, gaya bahasa, cerita, dan berbagai aspek yang
terdapat di dalam cerita.
Secara tidak langsung Bakhtin memahami konsep dialog dengan penguasaan
pada pendekatan yang dikenali sebagai strukturalisme. Pendekatan strukturalisme
yang pada saat itu telah menguasai bidang sastra di Rusia. Di Barat menganggap
sebuah karya sastra mempunyai struktur yang berdiri sendiri, mandiri bahkan
mengutamakan kesatuan dan kesempurnaan. Komponen-komponen dalam membina
sebuah karya sastra.
Pada dasarnya teori dialog ini dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu yang
berlaku dalam diri pengarang, dalam teks itu sendiri, dan dalam diri khalayak atau
pembaca. Pengarang dalam proses penulisan atau proses mengarang akan senantiasa
melakukan dialog dengan teks lain. Sementara itu, sebuah teks juga akan berdialog
dengan teks asing atau teks yang pernah dihasilkan dan mengakibatkan berlakunya,
perubahan, penentangan, perluasan, dan sebagainya. Bagi pihak pembaca, teks sastra
akan selalu dihubungkan dengan teks-teks yang lain yang pernah dibaca.
Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013
23
Julia Kreteva kemudian menjadi tokoh yang mengambangkan teori Bakhtin ini.
Melalui bukunya Semiotike, Kristeva telah menjelaskan dan memperluas teori Bakhtin
ini melalui tulisan-tulisannya dalam bahasa Perancis dan kemudian diterjemahkan
dalam bahasa Inggris dengan judul “Desire In Languange: A Semiotic Aproach to
Literature and Art”.
Relasi Intertekstual Aspek..., Deni Asra, FKIP UMP, 2013