Post on 11-Feb-2018
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. PENDAHULUAN
Ada dua segmen yang penulis uraikan dalam bagian ini. Pertama, penulis
akan mengelaborasi pandangan Clifford Geertz dan Mircea Eliade tentang defenisi agama
dan simbol. Penulis menambahkan teori Mircea Eliade, karena akan sangat membantu
memahami teori yang dimaksud oleh Clifford Geertz.
Di segmen yang kedua penulis juga mengelaborasi konsep tentang ritus
kurban atau ritual pengurbanan secara umum dalam masyrakat primitive, ritual
pengurbanan anak (child sacrifice), ritual pengurbanan di Israel, dan teori kurban kambing
hitam.
Kedua segemen di atas menjadi landasan teori bagi penulis untuk mencari
makna dan ide yang terdapat di dalam Perjamuan Kudus.
12
B. AGAMA, KEBUDAYAAN DAN SIMBOL
1. TEORI CLIFFORD GEERTZ
Dalam Buku “The Interpretation of Cultures,” Clifford Geertz1 mengatakan
bahwa kunci utama untuk mememahami makna kebudayaan adalah ide tentang makna.
Berhadapan dengan makna, Geertz memulainya dengan sebuah paradigma. Paradigma
adalah simbol-simbol sakral yang berfungsi untuk mensintesiskan suatu etos bangsa
(nada, ciri, dan kualitas kehidupan mereka, moralnya, estetis dan suasana hati mereka)
dengan pandangan dunia (world view) yaitu gagasan yang paling komprehensif mengenai
tatanan.2 Dalam kepercayaan dan praktik religius, etos suatu kelompok secara intelektual
dan masuk akal akan dijelaskan dengan melukisnya sebagai suatu cara hidup yang secara
ideal disesuaikan dengan permasalahan aktual yang dipaparkan pandangan dunia itu.
Dengan mengutip pernyataan Max Weber, Geertz mengatakan manusia
adalah hewan yang terkurung dalam jaring-jaring makna (significance) yang dipintalnya
sendiri. Untuk menjelaskan ini, maka metode yang dipakai adalah metode “Thick
Description” (lukisan mendalam) untuk menemukan makna dari setiap peristiwa ataupun
perilaku manusia. Oleh karena itu, secara etnografi tugas utama bukan hanya sebatas
1Clifford Geertz lahir di San Fransisco, California, paada tahun 1929. Setelah meyelesaikan
pendidikan menengah, dia masuk Antioch College, Ohio dan pada tahun 1950 meraih gelar B.A di
bidang filsafat dari Antioch College. Dan kemudian melanjutkan studi di bagian Antropologi di
Universitas Harvard. Studi lapangan menjadi pijakan dasar dalam riset-riset antropologi di Inggris dan
Amerika pada waktu itu. Geertz dalam menyelesaikan risetnya, Indonesia adalah lokasi yang dia pilih
sebagai tempat penelitiannya. Geertz melakukan penelitian di dua lokasi di Indonesia yakni, di Jawa dan
Bali. Dari dua daerah penelitannya, Geertz menghasilkan karya-karya besar dalam menyelesaikan gelar
doktornya di bidang antropologi. Beberapa karya Geertz dari hasil penelitiannya di Indonesia antara lain,
The Religion of Java (1960) yang berisikan bagaimana pengaruh kebudayaan Jawa, Islam, Hindu dan
kepercayaan asli lokal masyarakat Jawa dalam membentuk agama dan budaya Jawa. (Tulisan ini sangat
popular karena Geertz membagi 3 agama Jawa itu dengan istilah yang ia pakai, (Abangan, Priyai dan
Kiyai) , Agricutural Revolution (1963) yang berisikan masalah lingkungan dan ekonomi masyarakat
Indonesia serta tantangan dan peluangnya di era pasca-kolonial, Pedllers and Princes (1963) yang
berisikan perbandingan kehidupan ekonomi di Jawa dan Bali, The Sosial History of an Indonesia Town
(1965) yang berisi kondisi masyarakat Mojokuto di Jawa Timur, Islam Observed (1968) berisikan
perbandingan agama Islam di dalam budaya yang berbeda yakni antara Indonesia dan Maroko, The
Interpretation of Cultures (1973) dan Local Knowledge (1983). Semua hasil karya ini bersumber dari
penelitiannya terhadap agama dan kebudayaan yang ada di Indonesia secara khusus di Bali dan Jawa. Lih.
Daniel L. Pals, Seven Teories of Religion, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011), 329-331 2 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama,…, 4.
13
mendeskripsikan atau melukiskan struktur suku-suku primitif atau bagian-bagian ritual
(contohnya; Puasa bagi muslim di bulan Ramadhan), akan tetapi menemukan apa yang
sesungguhnya berada di balik perbuatan itu, apa makna yang ada di balik seluruh
kehidupan, pemikiran ritual, struktur dan kepercayaan manusia itu sendiri.
Kebudayaan itu secara sosial terdiri dari struktur-struktur makna dalam
terma-terma berupa sekumpulan simbol yang dengannya masyarakat melakukan suatu
tindakan, mereka dapat hidup di dalamnya ataupun menerima celaan atas makna tersebut
dan kemudian menghilangkannya. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang fisik, sekalipun
memang terdapat hal objektif di dalamnya. Kebudayaan digambarkan sebagai pola
makna-makna (a pattern of meanings)atau ide-ide yang termuat di dalam simbol, yang
dengannya masyarakat menjalani pengetahuan mereka (kognisi) tentang kehidupan dan
mengekspresikan kesadaran itu melalui simbol-simbol itu.
Agama sebagai sistem kebudayaan artinya simbol/tindakan simbolik yang
mampu menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah
hilang dalam diri seseorang dengan cara membentuk konsepsi tentang sebuah tatanan
umum eksistensi dan melekatkan konsepsi ini kepada pancaran-pancaran faktual dan pada
akhirnya perasaan dan motivasi itu akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik.3
Berikut ini penjelasan detil defenisi agama menurut Clifford Geertz:
Pertama, simbol atau sistem simbol adalah segala sesuatu yang memberikan
seseorang ide-ide. Simbol mengacu pada setiap objek, tindakan, peristiwa, sifat atau
hubungan yang dapat berperan sebagai wahana sebuah konsep dan konsep ini adalah
makna simbol. Simbol-simbol ini memiliki kekuatan yang bersumber dari etos dan world
view masyarakatnya. Simbol melibatkan emosi individu, gairah keterlibatan dan
3 Geertz, Religion as Cultural,…, 90.
14
kebersamaan sebab sebuah simbol selalu menyertakan sebuah kenangan. Simbol tersebut
teraba, tercerap, umum dan konkret. Simbol-simbol tersebut sangat dihargai ataupun yang
dibenci (ditakuti) oleh masyarakat, dilukiskan dalam pandangan dunia mereka,
disimbolisasikan dalam agama dan pada gilirannya terungkap dalam keseluruhan kualitas
kehidupan mereka. Misalnya, lingkaran doa untuk pemeluk Budhisme, sebuah peristiwa
seperti penyaliban, satu ritual seperti palang Mitzvah, perbuatan tanpa kata-kata, perasaan
kasihan dan kekhusyukan. Lembaran Taurat yang memberikan ide tentang firman Tuhan
kepada orang Yahudi, penampilan pendeta di rumah sakit yang menyebabkan orang sakit
ingat pada Tuhan.
Simbol atau sistem simbol memiliki kekuatan dalam menyangga nilai-nilai
sosial untuk merumuskan dunia tempat nilai-nilai itu atau sebaliknya kekuatan-kekuatan
yang melawan perwujudan nilai-nilai tersebut. Agama melukiskan kekuatan imajinasi
manusia untuk membangun sebuah gambaran kenyataan. Di dalam gambaran tersebut,
Geertz mengutip Max Weber yang mengatakan, “peristiwa-peristiwa itu tidak hanya
terjadi di sana, melainkan peristiwa-peristiwa tersebut mempunyai sebuah makna dan
terjadi karena sebuah makna. Jenis simbol atau sistem simbol yang dipandang masyarakat
sebagai sesutu yang sakral sangat bervariasi misalnya, ritus inisiasi di antara orang-orang
Australia, cerita-cerita filosofis di antara orang-orang Maori, kisah-kisah heroik di pentas
wayang di Jawa, dan ritus-ritus keji kurban manusia di antara orang-orang Aztec. Semua
pola-pola ini bagi masyarakat menjelaskan apa yang mereka ketahui tentang kehidupan.
Sistem simbol adalah media bagi manusia dalam memaknai sesuatu,
memproduksi dan mengubah makna. Lewat simbol-simbol (bahasa, benda, wacana,
gambar, dan peristiwa), kita dapat mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita
tentang sesuatu. Makna sangat tergantung dari cara kita mempresentasikannya. Dengan
15
membedah simbol-simbol yang ada, maka akan terlihat jelas proses pemaknaan, penilaian
dan pembelokan tanda yang diberikan pada sesuatu tersebut.”4Karena dalam kebudayaan
terdapat bermacam-macam sikap, kesadaran dan juga bentuk-bentuk pengetahuan yang
berbeda-beda, maka di sana juga terdapat sistem kebudayaan yang berbeda untuk
mewakili semua itu. Melalui simbol, dan adat istiadat, Geertz menemukan pengaruh
agama berada di setiap celah dan sudut kehidupan masyarakat.
Sebuah sistem simbol dapat memberikan ide kepada seseorang. Ide tersebut
akan membuat seseorang merasakan atau melakukan sesuatu, termotivasi untuk tujuan
tertentu yang dibimbing oleh seperangkat nilaitentang apa yang penting, apa yang baik
dan buruk, apa yang benar dan salah bagi dirinya. Ide dan makna dari simbol-simbol
tersebut bukan murni bersifat privasi, akan tetapi milik umum. Simbol atau unsur-unsur
simbolis merupakan rumusan-rumusan yang kelihatan dari pandangan dan abstraksi
pengalaman yang ditetapkan dalam bentuk yang dapat diindrai, perwujudan konkret dari
gagasan, sikap, keputusan, kerinduan ataupun keyakinan. Itulah sebabnya mengapa
simbol seringkali melibatkan emosi individu, gairah keterlibatan, kebersamaan, bahkan
menyertakan kenangan. Simbol terbuka terhadap berbagai arti, tetapi simbol tidak dapat
dimutlakan secara universal. Oleh karena itu, setiap kelompok masyarakat memiliki
simbolnya masing-masing.
Simbol keagamaan adalah suci dan bersifat normatif serta mempunyai
kekuatan besar. Kekuatan itu bersumber dari etos (ethos) dan pandangan hidup (world
view) yang keduanya merupakan unsur paling hakiki bagi eksisitensi manusia. Etos suatu
bangsa adalah sifat, watak dan kualitas kehidupan mereka. Hal ini merupakan sikap
mendasar dalam diri manusia terhadap dunia yang direfleksikan dalam kehidupan.
4Fauzi Fasri,Piere Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol,(Yogyakarta: Jalasutra, 2014), 21
16
Pandangan dunia mereka adalah gambaran tentang kenyataan apa adanya, konsep mereka
tentang alam, diri, dan masyarakat yang mengandung gagasan-gagasan mereka yang
paling komprehensif mengenai tatanan.
Etos secara intelektual dibuat masuk akal dengan diperlihatkannya sebuah
cara hidup yang tersirat oleh masalah-masalah aktual yang dilukiskan dalam pandangan
dunia itu. Pandangan dunia yang dibuat secara emosional itu diterima sebagai sebuah
gambaran tentang masalah-masalah aktual dari cara hidup, dan cara hidup tersebut adalah
suatu ekspresi yang otentik. Pembuktian atas hubungan yang bermakna antara nilai-nilai
yang dianut suatu bangsa dan tatanan eksistensi yang di dalamnya bangsa itu
menemukan dirinya, adalah unsur yang paling hakiki di dalam sebuah agama.5
Bagaimanapun macamnya agama itu, ia adalah sesuatu yang lebih dirasakan implisit
untuk memperbincangkan kumpulan makna umum. Dengan kumpulan makna umum itu,
masing-masing individu menafsirkan pengalamannya dengan mengatur tingkah lakunya.
Makna yang tersimpan dalam simbol-simbol religius biasanya dikaitkan
dengan mitos, (entah dirasakan oleh mereka yang tergetar dengan simbol tersebut,
ringkasan pandangan dunia tentang simbol tersebut, ataupun kualitas kehidupan
emosional apa yang ditopangnya). Simbol-simbol sakral tersebut menghubungkan
ontologi dengan kosmologi, estetika dengan moralitas. Artinya, simbol-simbol suci ini
terjalin dalam simbol-simbol lainnya yang digunakan manusia dalam kehidupan nyata
sehari-hari. Sistem simbol ini merupakan sumber informasi ekstrinsik yang membentuk
iklim dunia dengan menarik si penyembah ke seperangkat disposisi-disposisi khusus yang
memberi suatu ciri tetap pada arus kualitas pengalamannya.
5 Clifford Geertz, Kebudyaan dan Agama, (Yogyakarta Kanisius, 1992), 51
17
Simbol dalam tindakan religius manusia adalah salah satu media untuk
mendekatkan diri pada yang transenden.6 Manusia menyebut yang Ilahi dengan berbagai
nama dan menghampirinya dengan berbagai macam cara. Perilaku religius kemudian
berkembang mewujud dalam simbolisme berupa hari ibadah, tata cara ibadah, tempat
ibadah. Tiap agama memiliki dan mengembangkan simbolisnya. Perangkat simbol itu
makin bertambah dengan perintah dan larangan, pengakuan dan peraturan, dogma dan
doktrin. Ada agama yang membakukan hal-hal tersebut menjadi tertulis dan menganggap
tulisan ini kitab suci, tetapi ada yang memelihara tradisi lisan, sehingga tidak mempunyai
kitab yang dianggap suci.7
Ketergantungan manusia terhadap simbol atau sistim simbol menunjukan
kelemahan manusia yang tidak dapat mengatasi salah satu aspek pengalaman di dalam
dirinya berupa kecemasan yang paling mengerikan. Simbol memberi ketenangan pada
manusia. Manusia merasa lepas dan bebas dari berbagai gangguan terhadap dirinya baik
yang datang dari dalam dirinya sendiri maupun yang dari luar.
Yang membentuk suatu sistem religius adalah serangkaian simbol sakral
yang terjalin menjadi sebuah keseluruhan tertentu. Bagi mereka yang ambil bagian di
dalamnya, sistem religius itu tampaknya mengantarai pengetahuan sejati dan pengetahuan
tentang kondisi-kondisi hakiki. Semua simbol sakral bagi manusia adalah hidup secara
realistis. Akan tetapi, simbol-simbol sakral yang dipentaskan tidak hanya memiliki nilai
positif melainkan juga nilai negatif. Simbol-simbol tidak hanya menunjuk ke arah adanya
kebaikan, melainkan juga adanya kejahatan atau bahkan ke arah konflik di antara
keduanya.
6 Andar Ismail, Agama Bundar dan Agama Lonjong, (Jakarta; BPK-GM, 2000), 108
7 Ibid
18
Dari penjelasan di atas, jelas yang dimaksud oleh Geertz dengan agama
sebagai sistem kebudayaan adalah suatu konsep atau pola makna yang dituliskan secara
historis dan diejawentahkan dalam simbol-simbol, dan menjadi sarana bagi manusia untuk
menyampaikan, mengabadikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang sikap-
sikap mereka terhadap hidup.8 Jadi minat dan penelitiannya adalah makna yang
diejawentahkan dalam simbol dan konsep yang terungkap dalam simbol tersebut.
Menafsir suatu agama adalah menafsir kebudayaannya. Melakukan penafsiran terhadap
kebudayaan manusia berarti melakukan penafsiran terhadap sistem simbol dan bentuk
simbolnya.
Kedua, simbol tersebut menciptakan perasaan/ suasana hati (moods) dan
motivasi yang kuat, meresap, dan tahan lama dalam diri manusia….” Rasa mempunyai
dua arti pokok yakni, “perasaan” (feeling) dan makna (meaning). Sebagai perasaan, rasa
adalah salah satu dari panca indra yakni melihat, mendengar, berbicara, membaui, dan
merasakan. Di dalam diri manusia terdapat tiga segi yang mengandung “perasaan”
sehingga pandangan tentang kelima indra tersebut terpisah-pisah. Pencecapan oleh lidah,
sentuhan oleh badan, dan perasaan emosional di dalam “hati” seperti kesedihan dan
kebahagiaan.9 Sebagai makna, rasa diterapkan dalam kata-kata di sebuah surat, puisi dan
bahkan dalam percakapan biasa. Rasa juga diterapkan pada tingkah laku manusia pada
umumnya, untuk menunjukan muatan implisit, “perasaan” konotatif dari gerakan (tari,
gerak-gerik tata krama, dsb). Dalam arti semantik, rasa juga berarti “makna terakhir”
yakni makna terdalam yang dicapai orang dengan usaha mistis dan yang kejelasannya
menjernihkan dengan ambiguisitas dari kehidupan duniawi. Tidak jarang juga rasa bisa
8 Band. F.W. Dillistonee , The Power of Simbols, (Yogyakarta: Kanisius, 2002),116
9 Cita rasa sebuah pisang adalah rasanya, suatu firasat adalah rasa, kesakitan adalah suatu
rasa dan rasa juga adalah nafsu.
19
diartikan sama dengan kehidupan. Apa saja yang hidup memiliki rasa dan apa saja yang
memiliki rasa itu hidup.10
Agama menyebabkan seseorang merasakan atau melakukan sesuatu dengan
motivasi dan tujuan tertentu yang dibimbing oleh seperangkat nilai tentang apa yang
penting, apa yang baik dan apa yang buruk. Contoh konkrit yang dijelaskan oleh Geertz
misalnya adalah Pendeta Budha tidak akan memakan daging yang disuguhkan di salah
satu steak di Amerika, karena hal itu hanya akan memperlemah perjuangannya untuk
mencapai kelahiran kembali. Motivasinya di sini adalah moral, memilih yang baik dari
pada dosa (hal yang buruk). Sama halnya orang Yahudi yang ingin mengunjungi
Yerusalem dan Muslim yang ingin naik haji ke Mekkah. Mereka sama-sama akan
mempersiapkan segala sesuatu untuk mewujudkan impian mereka, untuk mendapatkan
pengalaman religius mereka di tempat yang sakral itu.
Perasaan ini agak sulit dijelaskan, didefenisikan dan dikendalikan. Kekuatan
perasaan ini tidak datang begitu saja dan bukanlah hal yang sepele. Perasaan tersebut
muncul karena agama memiliki peran yang amat penting, membentuk konsep-konsep
tentang tatanan seluruh eksistensi. Agama mencoba memberi “penjelasan hidup-mati”
tentang dunia. Maksud agama bukan ditujukan untuk menyatakan kepada kita tentang
persoalan hidup sehari-hari, melainkan terpusat pada makna final (ultimate meaning),
suatu tujuan yang pasti bagi dunia. Jika agama kacau, maka yang terjadi adalah chaos
dalam seluruh tatanan kehidupan.
Yang dimaksud Geertz dengan chaos adalah situasi/keadaan yang
mengancam dan menggoncang eksistensi manusia yang melampaui batas kemampuan
analitis, batas kemampuan menanggung derita dan batas titik moralnya. Adapun hal itu
10
Geertz, Kebudyaan dan Agama,…, 61
20
adalah, kebingungan, ketegasan etis, penderitaan yang keras, dan berlangsung cukup lama.
Semua ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi setiap agama. Dengan tantangan-
tantangan ini, setiap agama betapapun “primitifnya”, jika ingin bertahan harus mampu
memberikan solusinya. Agama akan memperlihatkan jati dirinya ketika manusia secara
intelektual menghadapi masalah yang tidak bisa dimengerti sepenuhnya, atau secara
emosional menghadapi penderitaan yang tidak bisa dihindari, atau secara moral
menemukan kejahatan di mana-mana yang tidak bisa diterima.
Konsepsi tentang dunia dengan serangkaian motivasi dan dorongan yang
diarahkan oleh moral yang ideal inilah yang menjadi inti agama. Agama membentuk
sebuah tatanan kehidupan dan sekaligus memiliki posisi istimewa dalam tatanan tersebut.
Agama membantu orang menanggung “situasi-situasi tekanan emosional” dengan
“membuka jalan keluar dari situasi yang bersifat empiris dengan ritus dan kepercayaan ke
dalam wilayah supranatural. Melampaui karirnya, agama barangkali telah mengganggu
manusia sama banyaknya dengan kegembiraan yang diberikannya bagi manusia,
mendorong manusia ke dalam konfrontasi terang-terangandengan berhadapan muka
terhadap fakta bahwa mereka lahir untuk mengalami kesulitan. Selanjutnya, dalam
sekejap agama dapat mencegah manusia dari konfrontasi dengan memproyeksikan mereka
ke dalam sejenis “dunia anak-anak”.
Dalam agama, chaos dilihat sebagai sebuah tantangan sekaligus sebagai
peluang.Artinya, agama memberi makna bukan soal bagaimana mencegah penderitaan
melainkan bagaimana menderita, bagaimana menjadikan kesakitan jasmani, rasa
kehilangan, kekalahan, atau perenungan yang menyedihkanatas kesengsaraan orang-orang
lain sebagai sesuatu yang dapat dipikul, ditanggung dan diderita.Agama di satu sisi
menanamkan kekuatan sumber-sumber simbolis kita untuk merumuskan gagasan-gagasan
21
analitis dalam sebuah konsep otoritatif tentang bentuk menyeluruh dari kenyataan.
Sementara di sisi yang lain, simbol atau sistem simbol keagamaan menanamkan sumber-
sumber kekuatan bagi manusia untuk mengungkapkan emosi-emosi yakni, gerak hati,
sentimen-sentimen, nafsu-nafsu, afeksi-afeksi, perasaan, di dalam suatu konsep yang
serupa tentang suasana umum, serta sifat yang melekat pada suasana tersebut. Simbol-
simbol religius menyediakan sebuah jaminan kosmis tidak hanya bagi kemampuan
manusia untuk memahami dunia, melainkan juga memberi presisi pada perasaan mereka,
yakni sebuah defenisi bagi emosi-emosi manusia yang memungkinkan manusia
menanggung dunia ini dengan muram atau penuh dengan sukacita, dengan murung
ataupun dengan keangkuhan.11
Simbolisme menghubungkan manusia dalam ruang lingkup realitas yang
lebih luas, yakni meneguhkan dan juga mengingkari. Artinya melalui agama, manusia
diteguhkan atau sekurang-kurangnya mengakui bahwa ketidaktahuan, penyakit dan
ketidakadilan pada tataran manusia adalah sesuatu hal yang tidak dapat dihindari.
Sementara bersamaan dengan itu agama mengingkari bahwa irrasionalitas-irrasionalitas
ini adalah cirikhas dunia secara menyeluruh.
Ketiga, simbol menimbulkan perasaan semacam aura faktualitas. Dalam
beragama, mau tidak mau manusia akan selalu mempertanyakan, bagaimana sesuatu yang
irrasional dapat dipercaya? Bagaimana mungkin sesuatu yang irrasional (sesuatu yang
masih sama-samar) tentang kekacauan yang dialami manusia bisa sampai pada tahap
menjadi sebuah “kepercayaan” yang sifatnya lebih mantap tentang tatanan yang
fundamental? Untuk menjawab hal ini, Geertz memulai sebuah pendekatan dengan sebuah
pengakuan bahwa kepercayaan religius tidak semata-mata terdiri dari pengalaman sehari-
11
Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama,…,23
22
hari manusia, karena kalau hanya demikian, maka manusia menjadi agnostis-agnostis.
Kebingungan, penyakit, dan paradoks moral merupakan salah satu hal yang mendorong
manusia ke arah kepercayaan akan ilah-ilah, setan-setan, roh-roh, prinsip-prinsip totemis
atau buah rohani dari kanibalisme.
Melihat kenyataan dan pengalaman hidup sehari-hari dari perspektif religius
jauh lebih tajam dan dalam daripada melihat, mengenali dan memahaminya dari
perspektif rasionalitas (akal sehat, ilmiah atau estetis). Melihat dunia secara rasionalitas
(akal sehat) adalah menerima dunia, objek-objeknya dan proses-prosesnya begitu saja
sebagaimana adanya. Sebaliknya perspektif religius bergerak melampaui kenyataan
kehidupan sehari-hari ke kenyataan yang lebih luas yakni menerima dan mengimaninya.
Perspektif religius mempersoalkan kenyataan-kenyataan hidup sehari-hari tidak keluar
dari skeptisme yang terlembaga dengan melenyapkan apa yang diandaikan begitu saja dari
dunia ini ke dalam pusaran-pusaran hipotesis-hipotesis yang yang mentak, melainkan
mempersoalkannya untuk mengantarnya kepada kebenaran-kebenaran yang lebih luas
yang nonhipotesis.
Pengambilan jarak, komitmen, perjumpaan, serta mengimani sesuatu
kenyataan hidup sehari-hari, perspektif religius menghasilkan faktualitas. Dengan
membuat bayang-bayang dan ilusi, perhatian perspektif religius pada fakta (rasionalitas),
semakin mendalam dan berusaha menciptakan sebuah pancaran (aura) faktualitas.
Sehingga dari faktualitas (yang sungguh nyata) inilah perspektif religius bersandar dan
kegiatan-kegiatan simbolis dari agama sebagai sistem kultural dibaktikan untuk
menghasilkan, mengintensifkan perspektif religius. Oleh karena itu mau tidak mau
perspektif religius ini seringkali akan bertentangan dengan pengalaman sekular.
23
Konsep perasaan semacam aura faktual” yang dimaksud oleh Geertz di sini
adalah suatu perasaan yang sulit untuk digambarkan, tetapi orang menyadari akan adanya
perasaan tersebut. Bagi Geertz “aura faktual semacam ini, berhubungan dengan
psikologis manusia. Yakni sebuah perasaan, situasi hati manusia yang bertemu,
bersentuhan dan menyatu dengan sebuah “kekuatan” yang berasal dari luar dirinya
sendiri, kekuatan metafisik, kekuatan Ilahi. Kekuatan itu sangat besar dan mampu
memengaruhi dirinya sendiri.
Barangkali istilah yang dipakai William James “semacam pengalaman
mistik”, dapat menolong kita memahami aura factual ini. Pengalaman mistik menurut
William James adalah pengalaman religius pribadi yang berakar dan berpusat pada
keadaan kesadaran mistis. Setidaknya ada empat cirikhas yang menggambarkan keadaan
misitis. Pertama, pengalaman ini sulit diungkapkan dengan kata-kata, tidak ada uraian
manapun yang memadai untuk mengisahkannya dalam kata-kata, alih-alih dianggap
intelek, keadaan kesadaran mistis lebih merupakan situasi keadaan perasaan. Kedua,
pengalaman ini menghasilkan pengetahuan. Dalam situasi seperti ini seseorang
mendapatkan wawasan tentang kebenaran yang dalam yang tidak dapat digali dalam ranah
kemampuan intelektual yang bersifat diskursif. Pengalaman ini membawa perasaan
tentang adanya sebuah kekuatan yang melampaui waktu dan tempat. Ketiga, tidak ada
perpanjangan waktu dalam pengalaman ini dalam arti perasaan ini tidak bertahan lama,
dan keempat biasanya mengurangi segala keinginaan dan pada akhirnya ada suatu daya
yang luar biasa yang menguasai dirinya.12
12
William James, Perjumpaan dengan Tuhan, Ragam Pengalaman Religius Manusia,
(Bandung : PT. Mizan Pustaka), 515-516
24
Dalam desertasi Tony Tampake,13
dengan mengutip pendapat Dorothee
Soelle, ia mengubungkan pengalaman mistis itudenganmystical sensibility, yaitu suatu
pengalaman seseorang yang dengan sadar dan mengakui bahwa pengalaman sehari-
harinya adalah sebuah pengalaman kehadiran dan perjumpaan dengan Tuhan. Ada
beberapa situasi kehidupan yang menimbulkan mystical sensibility yang Soelle sebut
dengnthe places of mystical experiencesyaitu, alam (nature), penderitaan (suffering),
perjamuan suci (holy communion) dan kegembiraan (joy).14
Baik William James maupun
Dorothee Soelle mengakui bahwa pengalaman mistik selalu berkaitan dengan hubungan
antara manusia dengan Tuhan secara langsung dan vital dalam pengalaman nyata dari
kehidupan hidup sehari-hari. Pengalaman itu terjadi di dalam suasana hati dan perasaan
manusia tetapi menjadi sumber pengetahuan yang dianggap benar karena dapat
mempengaruhi pola dan tindakan manusia.
Menurut Geertz pengalaman dan perasaan unik inilah yang pada akhirnya
mengantar manusia pada ritus. Dalam ritus, tingkah laku dikeramatkan, kepercayaan
terhadap konsep-konsep religius dibenarkan dan kepercayaan sebagai tujuan religius
terbukti agaknya berhasil. Di dalam semacam bentuk seremonial, suasana-suasana hati
dan motivasi-motivasi yang ditimbulkan oleh simbol-simbol dari resitasi sebuah mitos,
ramalan atau dekorasi sebuah makam, dan konsep-konsep umum tentang tata eksistensi
yang dirumuskan simbol-simbol itu olehi manusia, bertemu dan saling memperkuat satu
dengan yang lain. Dalam ritus dunia sebagaimana dihayati dan dunia sebagaimana
dibayangkan melebur dalam pengantara seperangkat simbol, menjadi dunia yang sama
dan menghasilkan perubahan yang aneh. Dalam ritus tidak peduli betapa otomatis atau
13
Tony Tampake, Redefenisi Sosial dan Rekonstruksi Identitas Pasca Konflik Poso
(desertasi) , (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2014), 79 14
Dorothee Soelle, The Silent Cry: Mysticim and Resistance, ( Minneapolis: Fortress Press,
2001), 17-22
25
kelihatannya sangat konvensional, mencakup perpaduan simbolis dari etos dan
pandangan dunia. Di dalam sebuah ritus ada sederetan panjang suasana-suasana hati dan
motivasi-motivasi manusia bertemu dengan konsep-konsep metafisis-metafisis. Ritustidak
saja hanya menyimpan makna-makna metafisis religius, tetapi juga makna dan nilai
politis.15
Dalam ritus keagamaan kumpulan makna atas mitos, cerita-cerita dan
kepercayaan-kepercayaan lain selalu diperhatikan. Dengan melaksanakan sebuah ritus
keagamaan, ada penerimaan otoritas yang mendasari perspektif religius tersebut.16
Dengan
membangkitkan serangkaian suasana-suasana hati dan motivasi-motivasi dan
mendefenisikan suatu gambaran tentang tatanan dunia dengan seperangkat simbol-simbol
ritus, akan membuat model untuk dan model dari segi kepercayaan religius dan
perubahan-perubahan satu sama lain.
Jadi yang dimaksud Geertz dengan “aura faktual” adalah suasana hati,
perasaan terdalam dari hati, jiwa dan bahkan pikiran orang-orang beragama. Perasaan itu
seolah-oleh bertemu, bersentuhaan dan bahkan menyatu dengan sebuah kekuatan
metafisik, kekuatan ilahi, kekuatan supernatural. Perasaan ini sangat kuat dan mampu
mempengaruhi totalitas eksistensi manusia secara khusus orang-orang beragama.
Pengalaman itulah yang membuat agama mampu membentuk suatu tatanan kehidupan
manusia sekaligus memiliki pososi istimewa dalam tatanan tersebut.17
Hal yang membedakan agama dengan sistem kebudayaan adalah simbol-
simbol agama yang menyatakan kepada kita bahwa terdapat sesuatu “yang benar-benar
15
Geertz, Kebudayaan dan Agama,…, 34 16
Yang dimaksud oleh Geertz dengan otoritas adalah sebuah “kekuatan atau kekuasaan”.
Dalam agama primitif, otoritas terdapat dalam kekuatan-kekuatan persuasive dari cerita-cerita tradisional,
dalam agama-agama mistis otoitas terdapat dalam perintah apodiktis tentang pengalaman adi-indrawi,
dalam agama-agama kharismatis otoritasterdapat dalam daya tarik hipnotis dari seorang pribadi yang luar
biasa. Lih. Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama,…, 30 17
Daniel L Pals, Seven Theories of Religion, (Jogyakarta: IRCiCoD, 2011), 344
26
real”, yakni sesuatu yang dianggap oleh manusia lebih penting dari apapun. Dalam ritual
keagamaan, manusia dimasuki oleh desakan realitas real ini. Perasaan dan motivasi
seseorang dalam ritual keagamaan sama persis dengan pandangan hidupnya. Kedua hal ini
saling mendukung dan memberi kekuatan.Geertz memberi contoh, misalkan seseorang
mengatakan bahwa, “saya harus melakukan ini karena merasakan…” (Perasaan tersebut
mengatakan bahwa pandangan hidup saya ini adalah pandangan yang benar dan tidak
dapat diragukan lagi). Satu penyatuan simbolis antara pandangan hidup dengan etos akan
terlihat dalam ritual. Apapun yang dilakukan oleh seseorang akan selalu selaras dengan
gambaran dunia yang teraktualisasi dalam pikirannya. Salah satu contoh penyatuan etos
dan pandangan dunia ini bisa dilihat dalam upacara masyarakat Bali, misalnya
pertarungan antara Rangda dan Barong.18
Oleh karena simbol keagamaan berfungsi mensintesiskan etos suatu
kelompok masyarakat dengan pandangan hidup mereka, maka tidak heran jika cara hidup
dan pandangan hidup mereka saling melengkapi. Ada kongruensi (kesesuaian) antara gaya
hidup dan tatanan universal yang terungkap dalam simbol, ada “integrasi” dunia
sebagaimana dihayati dengan dunia sebagaimana dibayangkan. Sehingga pada akhirnya
simbol-simbol keagamaan terus menghasilkan dan memperkuat keyakinan beragama.
18
Rangda dan Barong dua tokoh mitologi yang besar dalam mayarakat Bali. Rangda adalah
tokoh yang menggambarkan satanis, sementara Barong adalah suatu gambaran yang jenaka. Perkelahian
antara Rangda dan Barong tidak pernah berakhir. Dalam pandangan masyarakat Bali, perkelahian antara
Rangda dan Barong adalah simbol perkelahian antara yang jahat dan yang jenaka (baik) yang tidak pernah
berakhir dalam dunia ini. Di dalam dunia ini akan selalu ada konfrontasi antara yang baik dan yang jahat,
antara yang kejam dan jenaka. Pertunjukan ini bukanlah pertarungan biasa, tapi sebuah ritual yang tetap
harus dilaksanakan berulang-ulang. Muatan drama dan emosi yang dilibatkan didalam kerumunan orang
yang melakukan upacara tersebut seolah-olah membawa segala sesuatu ke dalam kondisi chaos. Meskipun
pertarungan ini diakhiri tanpa kemenangan yang mutlak dari satu pihak, akan tetapi yang terpenting dalam
pertunjukan ini adalah dapat menggugah sikap dan perasaan orang Bali bahwa pertarungan antara yang
jahat dan yang baik dalam dunia itu akan tetap ada dan terus terjadi. Tidak hanya menggugah, akan tetapi
pertarungan ini akan menjadi sebuah kekuatan yang dapat memotitivasi masyarakat Bali sendiri. Lihat
Daniel L Pals, Seven Teories,…, 345
27
Dengan demikian memahami arti dan makna tindakan-tindakan simbolis dari
orang-orang yang melakukannya berarti menjelaskan “struktur-struktur konseptual” yang
dinyatakan oleh tindakan-tindakan ritual tersebut, tindakan-tindakan mereka, objek-objek
atau peristiwa-peristiwa apa yang mereka pandang sebagai “yang suci” atau “keramat”
dan metode yang dipakai untuk melestarikan dan memperkuat rasa atau kesadaran akan
kesucian/kekeramatan tersebut.
Keempat, “…suasana hati dan motivasi itu tampak dalam tindakan secara
khas realistis.”
Disposisi-disposisi yang disebabkan oleh ritus-ritus religius mempunyai
dampak yang penting dari sudut pandang manusia, karena disposisi-disposisi itu
memantul kembali dan mewarnai konsep individu tentang dunia sebagai fakta yang murni.
Agama menarik secara sosiologis bukan seperti apa yang diyakini oleh kaum positivisme
yang hanya menggambarkan tatanan sosial, lebih daripda itu agama membentuk tatanan
sosial, seperti lingkungan, kekuasaan, politis, kesejahteraan, kewajiban hukum, afeksi
personal dan rasa keindahan.
Dengan cara sedemikian rupa agama seringkali secara radikal mengganti
keseluruhan pandangan yang diberikan oleh akal sehat, sehingga gerak hati dan motivasi
yang ditimbulkan oleh praktik religius pada dirinya tampak amat praktis. Sifat prasangka
yang diberikan agama kepada kehidupan biasa, bisa saja berbeda-beda menurut agama
yang dianutnya, menurut disposisi-disposisi khusus yang ditimbulkan dalam diri orang
yang percaya, dengan konsep-konsep tatanan kosmis khusus yang telah ia terima. Pada
taraf-taraf agama “besar,” agama kadang-kadang memaksakan sampai pada titik
kefanatikan. Akan tetapi pada taraf-taraf kerakyatan dan kesukuan yang paling sederhana,
di mana individualistis tradisi-tradisi agama telah melarut dalam tipe-tipe tetap seperti
animisme, totemisme, shamanisme, pemujaan kepada leluhur, agama seringkal dianggap
aneh karena tidak jelas.
28
Kekhususan dampak sistem religius atas sistem-sistem sosial memberikan
penilaian umum atas nilai agama entah dalam istilah-istilah moral ataupun fungsionalnya.
Jenis suasana-suasana hati dan motivasi-motivasi yang mencirikan seseorang yang baru
datang dari sebuah upacara kurban manusia dari Aztec agak berbeda dengan suasana hati
dan motivasi orang yang baru saja membuka topeng Kachina-nya. Bahkan dalam
masyarakat yang sama, apa yang dipelajari orang tentang pola hakiki kehidupan dari
sebuah upacara sihir dan dari sebuah acara makan bersama akan memiliki efek yang agak
bermacam-macam pada fungsi sosial dan psikologisnya.
Pentingnya agama terletak pada seseorang atau kelompok untuk berperilaku
dengan jelas terhadap dunia, diri sendiri atau hubungan di antara keduanyaa sebagaimana
yang terdapat dalam sumber konsep atau tatanaan sosial pada umumnya. Dan itulah model
dari segi agama itu sendiri, sementara pada waktu yang sama, model untuk segi agama itu
adalah akar dari disposisi-disposisi mental. Dari fungsi-fungsi kultural inilah pada
akhirnya fungsi sosial dan psikologi agama itu mengalir.
Konsep-konsep religius dapat memberi bentuk dan makna yang luas
melampaui konteks metafisis bagi serangkaian pengalaman yang bersifat intelektual,
emosional dan moral.19
Konsep-konsep tentang tatanan kosmis, seperangkat kepercayaan
religius, hubungan-hubungan sosial dan peristiwa-peristiwa psikologi yang duniawi, akan
membuat semua ini dapat dipahami. Tetapi lebih dari sekadar keterangan, kepercayan-
kepercayaan religius merupakan sebuah mistar lengkung (template), yang tidak hanya
19
Misalnya orang Kristen melihat bahwa gerakan Nazi dihadapan latarbelakang dosa (The
Fall) yang meskipun dalam arti biasanya gerakan itu tidak menjelaskannya demikian, akan tetapi
menempatkan gerakan itu dalam suatu arti oral, kognitif, bahkan afektif. Seorang Azande melihat
ambruknya lumbung padi yang menimpa sahabat atau kerabat dihadapan latarbelakang suatu pandangan
yang konkret dan agak khusus tentang ilmu sihir dan kemudian akan melakukan pencegahan dilema-dilema
filosofis dan psikologi dari inderteminisme tersebut. Seorang Jawa menemukan konsep rasa dan makna
dalam melihat fenomena koreografis, cita-rasa, emosional dan politis dalam terang yang baru dalam sebuah
pementasan seni wayang. Lihat. Geertz, Kebudayaan dan Agama,…, 47
29
sekadar menafsir proses sosial dan psikologi dalam arti-arti kosmis yang bersifat filosofis
dan tidak religius, akan tetapi kepercayaan-kepercayaan tersebut membentuk semua
proses itu.
Agama menjadi wadah untuk menetapkan makna.20
Agama tidak hanya
memberi interpretasi atas kenyataan, tetapi pada waktu yang sama mempengaruhi
kenyataan itu. Agama sebagai wadah yang berusaha memasukkan pengalaman hidup
sehari-hari ke dalam makna-makna yang tersedia. Selanjutnya, makna-makna tersebut
mengarahkan dan mempengaruhi kehidupan seseorang dan menghubungkan individu
dengan kelompok sosial yang lebih luas.21
Agama sebagai sistem kebudayaan menjadi
salah sumber kekuatan dan jalan keluar atas chaos yang seringkali dihadapi oleh setiap
manusia. Kekuatan yang diberikan agama terhadap manusia yang terancam oleh chaos
yang mengerikan dan menakutkan itu dapat diterima, dijalani dan diderita. Kebuntuan
secara intelektual, tekanan emosional yang tidak dapat ditanggung oleh manusia, dengan
beragama hal semacam itu mendapatkan jalan keluarnya. Kegembiraan yang diberikan
agama kepada manusia berbanding sama dengan chaos yang mengancam eksistensi
manusia itu.
Akhirnya Geertz sampai pada satu kesimpulan bahwa studi antropologis-
sosiologis tentang agama memiliki dua tahap operasi. Pertama suatu analisa atas sistem
makna-makna dalam simbol-simbol. Kedua mengaitkan sistem-sistem ini pada struktur
sosial dan proses-proses psikologinya. Mendiskusikan peranan pemujaan leluhur dalam
suksesi politis yang ajek, peranan upacara-upacara kurban dalam mendefenisikan
kewajiban-kewajiban hubungan kekerabatan, peranan pemujaan roh dalam praktk-praktek
pertanian, peranan ilahi dalam mengencangkan kontrol sosial atau peranan ritus-ritus
20
Clifford Geertz, “Religion and as a cultural Sistem” in M Banton (ed), Antopological
Approaches to the Study of Religion, (London:Tavistock, 1966), 40 21
Bernad Raho, Agama dalam Perspektif,…, 80
30
inisiasi dalam mendorong kedewasaan pribadidengan sebuah analisa teoritis atas tindakan-
tindakkan simbolik tersebut, dan membandingkannya dengan sofistikasi yang ada pada
tindakan sosial dan psikologi yang kita miliki sekarang ini, maka secara efektif kita akan
menguasai segi-segi kehidupan sosial-psikologi yang di dalamnya agama memainkan
sebuah peranan yang penting.
2. TEORI MIRCEA ELIADE: HAKEKAT YANG PROFAN DAN SAKRAL
Dalam buku “The Sacred and The Profane,” Mircea Eliade22
menjelaskan
bahwa langkah utama untuk memahami agama terlebih dahulu harus memahami
kehidupan/sejarah masyarakat arkais (kuno) yang hidup di zaman pra-sejarah atau
masyarakat tribal dengan kebudayaan terbelakang dari kehidupan saat ini, yang sehari-
hari mereka mengajarkan pekerjaan secara alami, seperti berburu, memancing dan
bercocok tanam.23
Yang ditemukan dari masyarakat ini adalah adanya pemisahan antara
wilayah yang sakral dan wilayah yang profan. Yang profan adalah bidang kehidupan
sehari-hari, yang dilakukan secara teratur. Sedangkan yang sakral adalah wilayah yang
supernatural, sesuatu yang ekstraordinasi, tidak mudah dilupakan dan teramat penting.
Yang profan itu mudah hilang dan terlupakan, hanya bayangan. Sebaliknya, yang sakral
itu abadi, penuh substansi dan realitas. Yang profan adalah tempat di mana manusia
22
Mircea Eliade, lahir di Burcharest, Rumania 9 Maret 1907, anak seorang pegawai
kemiliteran Rumania. Di usia yang masih belia (18 tahun) Eliade merayakan penerbitan artikelnya yang ke
seratus. Ia banyak menulis cerita fiksi yang pada akhirnya cerita-cerita ini banyak mempengaruhi jalan
pendidikannya. Di Universitas Burcharest dan Italia, ia banyak mempelajari pikiran mistis Platonis dari
tokoh-tokoh renaisans Italia, selanjutnya Ia juga dipengaruhi oleh pikiran-pikiran spiritualitas Hindu. Pada
tahun 1928, ia pergi ke India untuk belajar Yoga di Himalaya. Tiga tahun menetap di India, kembali ke
Rumania untuk menjalani wajib militernya seraya menuliskan novel fiksi yang berjudul Maytryi (1933).
Pada tahun 1936 Eliade menyelesaikan doktoralnya dengan judul Yoga: A Essay on Origins of Indian
Mystical Theology. Pada tahun 1940 kembali ia menerbitkan buku yang berjudulPattern in Comparative
Religion yang menjelaskan fungsi simbol dalam agama dan The Myth of Eternal Return yang
menerangkan konsep historis, sakralitas waktu dan perbedaan antara agama kuno dengan pemikiran
modern. Lihat Daniel L Pals, Seven Teories,…, 227-229 23
Daniel L Pals, Seven Theories,…, 233
31
berbuat salah, mengalami perubahan dan terkadang dipenuhi chaos. Yang sakral adalah
tempat di mana keteraturan dan kesempurnaan berada, tempat di mana berdiamnya roh
para leluhur, para ksatria dan dewa-dewi.24
Agama dalam pengertian Eliade adalah terpusat dan berasal dari yang sakral,
yang terlihat sebagai sesuatu yang luar biasa, substansial, agung, amat nyata. Agama
bukan hanya sekedar hal yang dilihat oleh kacamata sosial,25
akan tetapi jauh mendekati
pandangan Taylor dan Frazer yang telah lebih dahulu mendefenisikan agama sebagai
kepercayaan terhadap kekuatan supernatural.26
Agama dalam pandangan Eliade juga
membawa kita pada pandangan Rudolf Otto (berkebangsaan Jerman) tentang The Ide of
Holy (bhs Jerman: Das Hellege) yang menggunakan konsep yang sakral tetapi bukan
dalam konteks sosial dan kebutuhannya. Rudolf Otto dalam penjelasanya tentang yang
sakral mengatakan bahwa, ada suatu masa dalam kehidupan manusia pernah merasakan
suatu hal yang luar biasa dan sangat kuat. Mereka sangat terpukau oleh suatu realitas
yang sama sekali berbeda dengan diri mereka sendiri, hal itu adalah sesuatu yang
misterius, mengagumkan, dahsyat, dan teramat indah. Pengalaman itu disebut dengan
“Pengalaman Yang Suci” yaitu, suatu perjumpaan dengan yang sakral.
Dalam istilah Latin, Otto menyebut yang sakral itu dengan mysterium, yang
terdiri dari iremendum et fascinans, yaitu sesuatu yang misterius bersamaan dengan yang
sangat agung sekaligus menakutkan. Nama lain yang ia berikan adalah perasaan tentang
The Numinious (Latin: Numen, artinya spirit atau realitas keilahian). Ketika seseorang
24
Ibid,.234 25
Di sinilah salah satu letak perbedan agama menurut Eliade dan Durkheim. Menurut
pandangan Durkheim, bahwa agama itu adalahmasalah- masalah dalam konteks sosial masyarakat dan
kebutuhannya. Menurut Durkheim Yang Sakral adalah masalah sosial yang berkaitan dengan individu,
sedangkan yang profan adalah sebaliknya, hanya yang berkaitan dengan urusanindividu-idividu saja.Yang
sakral memang kelihatan sebagai sesuatu yang gaib, namun sebenarnya dia adalah bagian permukaan dari
hal yang lebih dalam lagi. 26
Daniel L Pals, Seven Teories,…, 234
32
mengalami perjumpaan dengan The Numinous, ia akan merasakan dirinya bagaikan tidak
ada, hanya sekedar kabut dan debu. Pertemuan dengan The Numinious ini sangat menarik
dan unik dan oleh karenanya tidak bisa direduksi. Perasaan ini berbeda dengan perasaan
ketika berjumpa dengan hal-hal indah dan menakjubkan. Dalam perasaan berjumpa
dengan The Numinious ini pada akhirnya membawa kita kepada titik emosi terdalam
dalam hati, dan itulah yang disebut agama.
Dari sinilah konsep Eliade tentang yang Sakral dipengaruhi oleh Otto. Eliade
mengatakan bahwa, dalam perjumpan dengan yang sakral, seseorang merasa disentuh
oleh sesuatu yang nir-duniawi. Ia seolah-olah menyentuh satu realitas yang belum pernah
dirasakan sebelumnya. Sebuah dimensi dari eksisitensi yang maha kuat, terasa berbeda
dan merupakan realitas abadi yang tiada tandingnya. Yang sakral tersebut sama dengan
satu kekuatan, dan ia sama dengan realitas. Kekuatan yang sakral dipenuhi oleh “Yang
Ada”. Ia adalah realitas, abadi dan dahsyat. Itulah sebabnya mengapa manusia punya
hasrat ingin bersatu dengan Realitas ini untuk meraih kekuatannya.27
Yang sakral itu
bukan hanya sekadar Tuhan yang umumnya dipahami oleh orang Kristen-Yahudi
ataupun Muslim, akan tetapi bisa berarti kekuatan dewa-dewi, arwah para leluhur atau
kekuatan Brahman. Yang sakral itu absolut dan amat penting bagi kelangsungan
eksistensi alam karena akan selalu mempengaruhi jalan hidup mereka.
Tugas utama agama adalah memahami yang sakral itu, agar manusia bisa
menemukan dan merasakan serta membawa keluar dari alam dan situasi sejarahnya, lalu
menempatkan pada suatu kualitas yang berbeda, dunia yang sama sekali lain, yang sangat
transenden dan suci.28
Bagaimanapun tersembunyi dan samarnya yang sakral, isinya
27
Mircea Eliade, The Sacred and The The Profane: he Nature f Religion, (New York:
Harcout, Brace World,1956), 12-13 28
Mircea Eliade, Authobiography, volume II, 1937-1960: Exille’s Odyssey, (Chicago:
Chicago University Press, 1988), 188-189
33
tetap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pikiran dan aktivitas manusia. Tidak
ada manusia yang bisa hidup tanpanya, ketika mata dibuka untuk melihat keberadaannya,
ternyata yang sakral berada dalam segala penjuru.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana menemukan yang sakral
dalam pengalaman yang normal? Menurut Eliade, penyelesaiannya adalah terdapat di
dalam “pengalaman tidak langsung” (indirect experience) terhadap bahasa, simbol dan
mitos.29
Dalam buku yang berjudul Patterns in Comparative Religions, Eliade
mengeksplorasi tentang simbol-simbol religus. Satu hal yang ditekankan bahwa apa saja
dalam kehidupan ini yang bersifat biasa-biasa saja adalah bagian dari Yang Profan. Dia
ada hanya untuk dirinya sendiri. Tapi dalam waktu –waktu tertentu, hal-hal profan dapat
ditransformasikan menjadi yang sakral.30
Sebuah benda, seekor binatang, nyala api, bunga yang merekah, sebuah batu
bahkan seorang manusia bisa saja menjadi tanda yang sakral asal manusia menemukan
dan meyakininya. Jadi seluruh objek simbolik memiliki karakter ganda, sebagai dirinya
sendiri dan bisa berubah menjadi sesuatu yang baru, sesuatu yang beda dengan
sebelumnya. Sebuah batu di satu sisi ia menjadi dirinya sebagai batu biasa, tetapi pada
saat yang bersamaan ia bisa menjadi suci. Misalnya, Ka‟abah bagi orang Muslim, disatu
sisi ia hanyalah seonggok batu biasa, tetapi karena hierophani,31
Ka‟abah tersebut
menjadi sakral. Ia tidak hanya sekedar batu biasa, tetapi di dalamnya terkandung yang
sakral. Ia menjadi berubah menjadi sakral karena yang sakral atau hierophani tersebut
telah masuk di dalamnya. Batu yang tadinya adalah biasa-biasa saja (natural) karena
29
Daniel L Pals, Seven Teories,…, 241 30
Mircea Eliade, Patterns In Comprative Religion, (New York: Meridian Books, 1963), 11 31
Hierophani artinya manifestasi dari yang Kudus atau Yang Sakral. Tipe Hierophany
yang lain adalah theophany (dari bahasa Yunani theos artinya Tuhan ) Lih. Daniel L. Pals, Seven
Teories,…, 254-255
34
hierophani yang masuk di dalamnya, berubah menjadi sesuatu yang sakral
(supernatural).
Proses masuknya yang supernatural ke dalam yang natural disebut dengan
“dialektika yang sakral”. Sebuah objekpada dasarnya terbatas, tetapi dengan sifatnya
yang lain akan mampu memperlihatkan pada orang beriman kehadiran yang sakral yang
dimiliki oleh objek tersebut. Persoalan adalah bagaimana hal yang profan dan sakral ini
yang pada satu sisi bertentangan, tetapi pada sisi yang lain mampu bekerja secara
bersama? Bagaimana yang profan (natural) sekaligus bisa menjadi yang sakral
(supernatural)? Eliade menjawabnya bahwa hal itu bisa terjadi, sebab dalam beberapa
hal, rasio manusia tidak bertanggungjawab atas proses pertukaran tersebut. Simbol-
simbol yang mewujudkan diri dalam imajinasi-imajinasi manusia biasanya muncul dalam
ide-ide kontradiksi. Kemudian mengikat seluruh aspek pribadi, emosi, keinginan, dan
aspek-aspek bawah sadar lain manusia. Sebagaimana dalam pribadi manusia hasrat-
hasrat yang kontradiktif dapat berkumpul, impian dan fantasi yang tidak logis bisa saja
terjadi, maka dalam pengalaman religius hal-hal yang berlawanan itu (yang sakral dan
yang profan) juga bisa bertemu.32
Dalam perjalanan intuisi dan imajinasi religius, hal-hal
yang profan dapat berubah menjadi yang sakral, yang natural menjadi yang supernatural.
Fungsi sebuah simbol adalah mengubah suatu objek atau tindakan menjadi
sesuatu yang lain di mata pengalaman profan.33
Aneka ungkapan pengalaman manusia
dilukiskan dengan sangat mendalam melalui simbol dan penciptan simbol. Melalui
bentuk-bentuk simbol, manusia menanggapi hierophani-hierophani, tidak hanya sekedar
dengan berusaha menghasilkan refleksi atau cerminan dari apa yang dilihat dan didengar,
akan tetapi dengan menghubungkan dirinya pada apa yang menciptakan manifestasi itu.
32
Daniel L Pals, Seven Teories,…, 243 33
Mircea Eliade, Patterns,…, 445
35
Dengan kata lain, kegiatan simbolik itu tidak bersifat univok, tetapi bersifat multivalen,
dan mengungkapkan segi-segi barang suci yang bervariasi.
Peranan penting yang dimainkan oleh simbolisme dalam pengalaman religius
manusia bukan karena perubahan hierophani-hierophani menjadi simbol, atau karena
simbol mendukung hierophani dan mengambil tempatnya, tetapi pertama-tema karena
simbol mampu meneruskan hierophani dan bahkan kadangkala menjadi hierophani itu
sendiri. Saat hierophani masuk dan mendiami sebuah simbol, maka simbol yang profan
bisa berubah menjadi sesuatu yang sakral, simbol yang sebelumnya natural bisa berubah
menjadi sesuatu yang supernatural.
Selain karena hierophani, sebuah simbol bisa menjadi sesuatu yang sakral
disebabkan oleh “mitos” mengenai simbol tersebut. Menurut Eliade, masyarakat Arkhais
memandang mitos sebagai sesuatu yang memiliki hubungan “dengan yang di atas” serta
mitos-mitos yang lainnya untuk membentuk satu framework sebuah simbol.
Berfungsinya sebuah simbol karena terkait dengan simbol dan mitos-mitos yang lainnya,
sehingga dunia berada dalam suatu sistem yang terkait dan bukan sebuah dunia yang
chaos. Simbol menyatakan suatu realitas suci atau kosmologis yang tidak dapat
dinyatakan oleh manifestasi yang lainnya.34
Setiap manusia mula-mula dibenamkan dalam dunia profan, tetapi
simbolisme menciptakan solidaritas tetap antara manusia dan kudus.35
Dengan demikian
simbol adalah sebuah bahasa yang menghapus batas-batas manusia di dalam kosmis,
sehingga manusia tidak merupakan fragmen saja, tetapi dengan membuat jati dirinya
yang terdalam serta status sosialnya jelas dan membuat dirinya menjadi irama alam,
34
Ibid., 446 35
Ibid., 41
36
mengintegrasikan dirinya ke dalam kesatuan yang lebih besar, masyarakat dan alam
semesta.
Dalam buku The History of Religion:Essay in Methodology,36
Eliade
menjelaskan ciri-ciri simbol yang mutivalen dan metaempiris, yaitu: menunjuk jauh lebih
daripada dirinya sendiri kepada yang kudus, dunia realitas tertinggi, hidup yang lebih
mendalam, dan lebih misterius. Sebuah simbol selalu berhubungan dengan pengalaman
manusia aktif. Ia selalu tertuju kepada suatu realitas atau situasi yang melibatkan
manusia, hanya dengan demikian simbol memberi arti atau makna dalam eksistensi
manusia. Melalui simbol keagamaan yang autentik manusia dibebaskan dari isolasinya,
subjektifitas dan pamrih dirinya dibawa masuk ke dalam sikap terbuka kepada Roh dan
pada akhirnya memiliki kemampuan untuk mendekati yang universal.37
Eliade mengacu pada dua fungsi simbolisme keagamaan, yakni pemaduan
dan pendamaian.38
Artinya simbol keagamaan memungkinkan manusia untuk
menentukan kesatuan tertentu di dunia dan pada saat yang sama membuka diri kepada
tujuan hidup sebagai bagian integral dunia. Salah satu contoh simbolisme keagamaan
yang mampu menjawab kebutuhan ini misalnya terdapat dalam agama Kristen. Agama
Kristen memberikan simbol-simbol yang hidup, baik mengenai keutuhan, perpaduan
berbagai unsur di dalam suatu sintesis yang hidup, maupun mengenai pendamaian,
pendobrakan, pertentangan antara dua kekuatan yang berlawanan.39
Pengalaman manusia mengenai dunia organis pertama-tama adalah
pengalaman bertemu dengan aneka macam unsur yang membutuhkan suatu pusat
integrasi (perpaduan). Misalnya, pengalaman bermasyarakat, hubungan antarpribadi,
36
Mircea Eliade dan J.M Kitagawa (eds), The History of Religion:Essay in Methodology,
(Chicago: Chicago University Press, 1959), 103 37
Ibid., 103 38
F.W. Dillistone, The Power Of,…, 144. 39
Ibid., 145
37
bersifat ambigu dan ambivalen, (cita dan benci, persahabatan dan persaingan
kepercayaan dan kecurigaan) serta membutuhkan ikatan pendamaian. Melalui simbol
Kristus yang menjelma, disalibkan, dan dibangkitkan, kedua kebutuhan ini telah dipenuhi
secara memadai.40
Jadi baik yang profan dan yang sakral itu berada satu di dalam dunia yang
sama. Yang profanebisa saja dianggap biasa, tetapi pada waktu yang supernatural
(hierophani) masuk ke dalamnyaia berubah menjadi sesuatu yang sakral. Demikian
halnya yang terjadi dengan simbol-simbol religius. Seseorang yang memasuki dunia yang
sakral/supernatural (yangmysterium) merasa disentuh sesuatu yang nir-duniawi, sebuah
realitas yang belum pernah dirasakan sebelumnya, berdimensi eksistensi yang kuat,
abadi dan tiada tandingnya.
C. TEORI PENGURBANAN
1. Ritual Pengurbanan
Upacara kurban merupakan akta pemberian persembahan berupa makanan,
minuman atau binatang sebagai konsumsi bagi suatu makhluk supernatural.41
Merupakan suatu proses pertukaran antara manusia dan makhluk adikodrati; manusia
pengurban memberikan barang-barangnya dan penerima ilahi bereaksi. Ini adalah bentuk
komunikasi nonverbal karena mencakup pertukaran barang dan jasa pada taraf religius,
yang meliputi persembahan, persekutuan dan silih. Ketika memberi kurban sebagai
persembahan dalam bentuknya yang paling sederhana dewa/dewi diberi suatu hadiah
baik sebagai ucapan syukur maupun balas jasa atas semua hal. Persembahan itu berupa
hasil ternak pertama, buah-buahan hasil pertama, sebelum seseorang mengambil
40
Ibid 41
Maria Susai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995),214
38
keuntungan bagi dirinya. Bagian dari persembahan akan diberikan kepada dewa/dewi
dan sebagian akan dimakan oleh manusia (peserta ibadah).
Unsur yang paling biasa dalam upacara kurban adalah membangun
komunikasi antara dewa dan manusia.42
Sebagai tindakan religius, upacara kurban harus
melalui penyucian, perubahan keadaan moral orang-orang yang melaksanakannya atau
benda-benda tertentu yang dimaksud. Menurut Hubert dan Mauss, setiap upacara kurban
selalu mengimplikasikan secara tidak langsung suatu penyucian, karena dengan itulah
sesuatu benda berubah dari status profan ke status suci; tindakan dan hadiah berpindah
dari wilayah umum menuju wilayah religius.43
Kurban menyebabkan terjadinya
komunikasi antara yang kudus dengan yang profan, sementara imam berlaku sebagai
pelaksana kurban atau wakil dari para dewa.
Menurut beberapa orang, persembahan meliputi suatu perjanjian (do ut
es)”saya memberi supaya engkaupun memberi.” Dalam catatanHarry Sawyer, di
masyarakat Afrika tidak menerima persembahan merupakan suatu hal buruk dan lebih
buruk lagi kalau tidak sering memberi hadiah yang lebih besar sebagai balasan.
Penolakan terhadap hadiah berarti bahwa orang itu tidak sungguh-sungguh diterima, dan
sebagai balasan tuan rumah mesti memberi sang tamu hadiah yang lebih besar, yang
dikenal sebagai penerimaan salam itu.44
Secara antropologi sosial upacara kurban persembahan secara tidak langsung
mengimplikasikan suatu pertukaran barang dan jasa, yang muncul dari kehendak ataupun
kewajiban suatu masyarakat. Persembahan-persembahan dilakukan dengan pengharapan
akan ada balasan yang diterima. Jommo Kenyatta mengatakan,”bangsa Kikuyu berdoa
kepada Tuhan mereka yang Maha Tinggi-Mwene-Nyaga, dengan mengharapkan bahwa
42
H. Hubert dan M. Mauss,Sacrifice: It’s Nature and Function (terj),(London 1964), 13 43
ibid 44
Harry Sawyer, Sacrifice, dalam Maria Susai Dhavamony,Fenomenologi, …, 75
39
doa-doa mereka akan dijawab dengan senang hati sebagai balasan atas hadiah yang telah
diberikan dan bahwa doa-doa kepada leluhur diatur juga oleh hukum hutang balas
budi.”45
Dalam masyarakat primitif kurban yang paling berharga yang
dipersembahkan kepada dewa adalah darah. Mengapa? Karena darah menyatakan
kehidupan. Dalam arti yang sepenuhnya darah melambangkan kehidupan seseorang.
Sehingga ada dua signifikansi darah dalam upacara kurban. Pertama, darah menciptakan
ikatan baru antara para peserta dalam ibadah tersebut. Kedua, kurban darah yang dibuat
untuk para dewa dan roh-roh leluhur, menghidupkan kembali objek untuk siapa
persembahan itu dilakukan.46
Darah juga dipercaya memberikan dasar yang memadai
untuk menjembatani jurang yang disebabkan oleh karena kesalahan.47
Dalam upacara kurban, manusia harus menyadari bahwa dewa dapat dan
boleh melakukan apa saja yang diinginkannyadan si pengurban tidak mempunyai
kekuatan. Inilah sikap religius para peserta dalam upacara kurban. Dengan demikian
dalam upacara kurban tidak ada pemikiran tentang pertukaran barang dan jasa begitu saja
atas dasar mekanisme dan perjanjian.
Ada beberapa konsep pengorbanan berdasarkan disiplin ilmu antropologi,
sosiologi, psikology dan teologi. Secara antropology,Nancy Jay mengatakan
bahwa,“ritual pengorbanan merupakan simbol kebersamaan dalam sebuah
masyarakat.Bagi individu yang memakan kurban dalam ritual pengorbanan tersebut,
dinyatakan sebagai bagian dari masyarakat tersebut”.48
Daging yang dimakan bersama
45
Ibid., 215 46
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi,..., 217 47
Harry Sawyerr,Sacrifice,..., 77 48
Nancy Jay, Throughout Your Generations Forever: Sacrifice, Religion, and
Paternitydalam Jeffrey CarterUnderstanding,…,370-371.
40
dalam ritual pengurbanan akan menguatkan identitas keluarga besar yang penting bagi
posisi sosial dan tindakan politik.49
.
Secara sosiologis ritual pengorbanan adalah sebuah tindakan dalam
masyarakat yang dipenuhi dengan simbol-simbol.Viktor Turner mengartikan simbol
sebagai sesuatu yang memiliki banyak makna, baik itu makna sosial (ideologi, moral,
normatif) maupun individual (emosi, panca indra, dan keinginan).50
Pengorbanan yang
dilakukan di Afrika misalnya, merupakan sebuah kurban bagi raja dan dewa-dewa.
Kurban yang diberikan selalu berupa hewan. Ritual pengorbanan tersebut dilakukan
sebagai jalan untuk manusia dan dewa-dewa bertemu serta berkomunikasi satu dengan
yang lain.
Secara psikologi ritual pengurbanan di dalam sebuah komunitas berawal dari
keinginan dan kerinduan jiwa masing-masing individu untuk memberikan kurban
persembahan kepada dewa demi tercapainya sebuah keharmonisan sosial dalam
komunitas, secara khusus bagi setiap individu. Pengorbanan merupakan sebuah proses
simbolik dalam sebuah masyarakat yang di dalamnya terdapat kepentingan pribadi dan
kepentingan kelompok untuk mencapai sesuatu yang ideal didalam hidup ini.
Secara teologi, ritual pengorbanan merupakan hal yang penting bagi sebuah
agama. Dalam setiap ritual pengorbanan, terjadi proses pembunuhan terhadap hewan
yang akan dikurbankan. Hewan yang terbaik dari alam itulah yang dipilih. Menurut
Robert J Daly, “pengorbanan dalam tradisi Kristen-Yahudi kuno memilik dua trend,
yakni sebuah proses spiritualisasi antara manusia dengan pencipta (Tuhan) yang
memiliki status tertinggi dari manusia, dan trend institusional yang menciptakan
hubungan sosial di antara masyarakat (gereja) yang dikendalikan oleh seorang imam.
49
Robert B. Coote, Demi Membela Revolusi, (Jakarta: BPKM, 2011), 148 50
ViktorTurner,Sacrifice as Quintessential Process: Prophylaxis or Abandonment?dalam
Jeffrey Carter Understanding,…,292-294.
41
Robert J Daly mengemukakan bahwa di kalangan Kristen-Yahudi kuno terdapat
perbedaan makna dari setiap pengorbanan yang diberikan. Meskipun demikian, ritual
pengorbanan yang dilakukan adalah sebuah bentuk penyerahan diri dan tanda ketaatan
cinta.”51
2. Ritual Pengurbanan Anak (Child Sacrifice)
Dalam ritul pengurbanan, tidak hanya binatang yang menjadi kurban
persembahan, akan tetapi ada kalanya manusia juga bisa menjadi kurban kepada para
dewa ataupun Tuhan. Di daerah Virginia ritual pengorbanan anak oleh suku Indian.
Kurban anak yang mereka berikan akan mendamaikan relasi mereka dengan dewa.
Dengan mengurbankan seorang anak, dewa tidak akan marah sehingga menjauhkan
mereka dari penyakit, kelaparan, serta peperangan.52
Menurut Edward A Westermarck,
pengorbanan anak merupakan upaya manusia untuk mempengaruhi dewa mencegah
munculnya kematian, dengan mempersembahkan sebuah kehidupan yang berbeda.
Pengorbanan dengan mengorbankan manusia secara esensial untuk menggantikan hidup
dengan kehidupan. Pengorbanan manusia secara esensialnya adalah salah satu metode
asuransi jiwa.53
Hal yang sama dalam penelitian yang dilakukan oleh Valerio Valeri
terhadap model pengorbanan yang dilakukan oleh masyarakat di Hawai. Hasil akhir
penelitian Valerio menyimpulkan bahwa pengorbanan manusia adalah rangkaian lengkap
dari sebuah ritual yang mempersembahkan hewan, tumbuhan, atau komponen-komponen
simbol lain yang memiliki nilai.54
51
Robert J Daly, The Power of Sarifice in Ancient Judaism and Christianity, dalam Jeffrey
Carter, Undersanding,…, 343 52
Edward A. Westermarck, The origin and development of Moral Ideas, dalam Jeffrey
Carter,Undestanding,…,112 53
Ibid., 101 54
Valerio Valeri, Kingship and Sacrifice In Ancien Hawai dalam Jeffrey, Understanding,…,
317-318
42
Ritual pengorbanan manusia nampaknya salah satu ritual keagamaan yang
tidak berperikemanusiaan. Tetapi untuk diketahui di dalam masyarakat Israel kuno
praktek pengorbanan manusia pernah dilakukan. Dalam sebuah essay yang berjudul The
Death and Ressurection of the beloved Son, Jon D. Levenson55
mengatakan, “praktek
pengorbanan anak dalam sejarah Israel kuno adalah sebuah fakta. Meskipun di kemudian
hari praktek ini telah “ditransformasikan” ke dalam berbagai praktek-praktek yang lain
dan “disublimasikan” ke dalam berbagai jenis narasi yang berbeda. Penulis Kristen mula-
mula bahkan telah mengadopsi gagasan ini dengan baik dan digunakan untuk memahami
Yesus.56
Dalam tradisi negara-negara Timur Dekat Kuno, pengorbanan anak adalah
sebuah pengorbanan yang paling berharga bagi para dewa. Ini terbukti dengan penemuan
arkaelog di beberapa kuburan Fenesia yang berisi tulang anak-anak yang sudah dibakar.57
Para dewa memerintahkan manusia untuk mempersembahkan tidak saja hanya binatang,
tumbuhan bahkan anak manusia. Menurut Karen Amstrong, dalam pagan manusia
mempersembahkan anak pertamanya (laki-laki) kepada dewa untuk menambah kekuatan
dewa sehingga manusia semakin diberkati, dan doa-doanya dikabulkan. Dalam bukunya
”Sejarah Tuhan,” Karen Amstrong mengatakan:
55
Jon D Levenson lahir- besar dalam Jewish Studi Scholar dan mengikuti sekolah Militer di
Wheeling, Virginia Barat. Dia menerima gelar B.A di bidang bahasa Inggris dari Universits Harvard pda
tahun 1971. Pada tahun 1975 Ia meraih gelar doktornya di departemen Near Easten Languages aand
Civilizations di Universitaas Harvard. Ia mengajar Studi Agama dan Biblika selama enam tahun di
Universitas Wellesley. Antara tahun 1982 dan 1988 ia mengajar di Unversitas Chicago sebagai
Proffessor Alkitab Ibrani di Divinity School dan merangkap sebagai anggota Commite and General
Humanities Studies di Universitas tersebut. Sekarang Levenson menjadi Profesor di bidang study Yahudi.
Dalam pekerjaannya ia banyak mengkaji teks-teks Biblika, Literatur Second Temple Judaism, Madras
Rabbinic,Meieva Commentaries and philosophy Kontemporer. Ia juga banyak menulis tematema teologis
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan literal dan pemahaman teology dari Alkitab Ibrani. Dia juga
tertarik di bidang relasi Kristen-Yahudi mula-mula dan modern serta Teology Yahudi modern. Lihat. Jon
D. Leveson, From The Death and Resurrection of the Beloved Son, dalamJeffrey Carter, Understanding
Religious Sacrifice,…,421 56
Ibid 57
Ibid
43
Pengurbanan manusia merupakan hal yang lazim di dunia pagan. Kejam
namun logis dan rasionalis. Sekalipun kaum monoteistik pada dasarnya
menolak mitos tetangga pagan mereka, mitos-mitos itu ternyata masuk
kembali ke dalam keimanan mereka pada masa berikutnya. Festival ibadah
dan ritual yang ada di Israel hampir semua diadopsi dari festival peribadatan
paganisme. Jikalau dalam paganisme, darah binatang memungkinkan
manusia dibenarkan dan didamaikan dengan dewa, tidak akan mungkin
mengalami kematian, dan menerima penebusan dosa, apalagi darah Yesus.58
Praktek pengorbanan manusia di dalam sejarah Israel kuno adalah sesuatu
hal yang tidak bisa disembunyikan. Dalam beberapa teks Alkitab, tersirat gagasan-
gagasan teologis di mana orang Israel masih menghidupi pemahaman bahwa Allah
menginginkan Israel untuk mempersembahkan hidup manusia kepadaNya.59
Secara
explicit dalam Keluaran 22: 29b,“Yang Sulung dari Anakmu laki-laki haruslah kau
persembahkan kepada-Ku”. Kisah Abraham yang mempersembahkan Ishak (Kejadian
22), kisah Yeftha yang bernazar untuk mempersembahkan anak perempuannya dan
Mesha yang mengorbankan anaknya laki-laki setidaknya menjadi bukti atas gagasan
ini.60
Dalam Akitab praktek pengorbanan anak terkesan terdapat di dalam
sumber E.61
Kendati sumber E memberikan keterangan yang terkadang agak kotradiksi,
namun hal ini layak untuk diperhatikan. Dalam masyarakat Palestina pengorbanan anak
laki-laki dan perempuan yang mengerikan dan menjijikkkan itu memang dilakukan.
Kendati pengorbanan anak merupakan upacara kejam dan bertentangan dengan tujuan
pengorbanan di dalam kultus nenek moyang orang Israel, tetapi kisah Abraham yang
58
Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, (Bandung: Mizan, 2009), 46 59
ibid 60
Dengan mengutip argument Vaux dan Mosca, Levenso mengatakan bahwa anak yang
lahir pertama itu adalah persembahan yang paling berharga. Jon D Levenson, From The Death,…, 431 61
Robert B. Coote, Demi Membela Revolusi,…, 149-152
44
mengorbankan anaknya Ishak (meski pada akhirnya Allah menggantinya dengan seekor
binatang pengganti) dan Yerobeam yang berada dalam tekanan sosial rela
mempersembahkan anaknya yang sulung sebagai kurban bakaran di atas tembok pagar
tembok pertahanan Yehuda, sehingga musuh yang mengepung (Raja Moab dan pasukan
tentaranya) menjadi gusar dan meninggalkan tempat itu. Dua kisah ini tidak bisa
diabaikan dan dilupakan begitu saja.
Kisah Raja Manasye yang mengorbankan anaknya yang pertama kepada
dewa Molokh (2 Raja-Raja 21), kendati sangat dikecam keras oleh para nabi, tetapi
sesungguhnya Raja Manasye melakukananya bukan tanpa alasan yang kuat. Merry
Kristina Rungkat dalam analisanya mengatakan:
Ritual pengorbanan yang dilakukan oleh raja Manasye adalah sebuah
tindakan untuk perdamaian. Sesungguhnya anak yang dikurbankan Manasye
ke dalam api bagi dewa Molokh merupakan anak perdamaian. Kurban yang
diberikan kepada Molokh akan mendatangkan kesuburan bagi tanah,
tumbuhan, hewan, (tidak akan ada kelaparan) bahkan dalam
perkembangbiakan penduduk. Kesuburan dari berbagai segi kehidupan
tersebut menghadirkan kedamaian di tengah-tengah umat.62
Dari beberapa keterangan di atas, jelas dalam kasus-kasus dan situasi
tertentu, praktek pengorbanan anak telah dilakukan di Israel. Pengorbanan anak tidak
hanya dilakukan di Yerusalem (2 Raj 16:3) tetapi di tempat-tempat suci di desa (Yeremia
57:1-10, 2Raj 17:16-17; 23:10 Yeremia7:30-32 dan Mikha 6:6). Bahkan di Palestina
sebuah tugu sering didirikan untuk menghormati anak yang dikurbankan itu.63
Anak
yang dikurbankan biasanya anak sulung, tetapi tidak selalu.64
62
Merry Kristina Rungkat dan John Titaley,Pengorbanan Anak Dalam II Raja-raja 21:6
Menurut Prespektif Teori Pengorbanan dalam Jurnal WASKITA, 82 63
Robert B. Coote, Demi Membela Revolusi,…, 152 64
Di Kartago, pembunuhan anak di dalam upacara tertentu, dilakukan digunakan untuk
mengendalikan populasi karena pembunuhan anak hampir berfungsi secara universal dan lebih disukai
daripada aborsi. Lihat Jon D Levenson, The Death,…,dalam Jeffrey, Understanding,…, 425
45
Dugaan atas pengorbanan anak di Israel sebagai bagian bagian dari praktek
kultus Yahwe bukan tapa alasan yang kuat. Hal ini didasari pada pemahaman bahwa
Allah adalah sumber kehidupan menuntut kehidupan sebagai imbalannya. Apa yang
diberikan manusia kepada Allah di dalam pengorbanan pada akhirnya akan
dikembalikan, dihidupkan kembali dan bahkan sesuatu yang lebih besar akan terjadi.65
“Generasi” berikutnya akan menerima/menuai pahala setelah melakukan pengurbanan
yang besar itu. Manusia memberi kurban untuk menciptakan ikatan yang kuat dengan
Allah. Oleh karena itu, mereka yang berpartisipasi dalam ritual, misalnya paskah
tahunan atau penyunatan akan memperoleh/memiliki relasi yang khusus dengan yang
ilahi.Perayaan Paskah tahunan yang dirayakan oleh orang Kristen sesungguhnya adalah
salah satu upaya untuk menghidupkan kembali peristiwa di Mesir di mana seluruh anak-
anak sulung orang Israel diselamatkan dan oleh karena itulah dalam sejarah Israel
mengorbankan sesuatu “yang sulung” menjadi perintah untuk penebusan.66
Pertanyaan adalah bagaimana memahami sikap seorang Ayah mau
mempersembahkan putra pertama kesayangannya kepada Allah? Jawaban Levenson
menunjukkan pada sebuah “theological ideal”. Semua yang lahir pertama (binatang,
buah, ataupun manusia) berasal dari Allah. Allah memiliki pernyataan yang kuat bahwa
setiap yang lahir pertama, dapat dan mungkin dengan sebuah alasan yang tidak diketahui
oleh manusia, mau tidak mau apa yang sudah diberi Allah harus dikembalikan. Untuk
semua yang telah diciptakan oleh Allah, keinginan Allah dalam kasus-kasus tertentu atau
dalam waktu-waktu tertentu, ini harus dipenuhi. Ini adalah sebuah yang ideal, salah satu
hukum, tetapi bukan kode yang mengikat, sebuah penerapan implementasi yang diikuti.67
65
Jon D Levenson, From The Death,…, dalam Jeffry Carter, Understanding,…, 423 66
Ibid 67
Jon D Levenson, From the Death,…, dalam Jeffry Carter, Understanding,…, 424
46
Mempersembahkan seekor binatang pengganti, (misalnya seekor domba)
tidak dapat menggantikan seorang anak yang dipersembahkan oleh ayahnya. Levenson
mengatakan, “however that this animal substitute is not strictly speaking a replacement
for the child. … the animal substitutes is in fact worthless. Substituting an animal for a
child was clearly not obligated, it was allowed, with the knowledge that God’s claim to
the child remained”( bagaimanapun juga binatang pengganti tidak dapat menggantikan
seorang anak. … “binatang pengganti pada kenyataannya tidak berharga. Mengorbankan
seekor binatang untuk mengganti pengorbanan anak jelas sangat tidak
diwajibkan/keharusan, ini hanya diizinkan, dengan pemahaman bahwa tuntutan Allah
terhadap anak senantiasa harus dikenang/diingat).68
Penentangan yang dilakukan oleh para nabi terhadap prakte pengurbanan
anka (child sacrifice) kelihatannya disebabkan oleh pengetahuan para nabi yang semakin
berkembang. Para nabi kemudian memahami Allah dengan pengetahuan yang
berkembang dan memperhatikan aspek kemanusian (humanity aspecs) kurban (anak)
yang dipersembahkan. Sebagaimana Melvin Jay Glatt katakan dalam tulisan Moshe
Moskowitz, “there is a humanizing grace to the whole strange episode if we permit
ourselves to return to that world of dreams, imagination, and fanciful speculation that
the ancient Rabbis wove in the face of such perplexities… that God of Israelities a God
compassionate and gracious.”69
Itulah sebabnya mengapa kemudian dalam kultus
Yahwe pengurbanan manusia adalah sesuatu hal yang sangat dilarang keras.70
68
Ibid., 422 69
Moshe Moskowitz, Towards A Rehumanization of The Akedah and Other Sacrifices
(Jurnal), (Associate Professor of Hebraic StudiesRutger University, 2001), 290, 70
Hal ini disebabkan karenaKultus Yahwe direkonstruksi/dibangun agar penyembahnya
melakukan dan meyakini bahwa Yahwe adalah Allah yang paling tinggi di antara allah-allah yang lain
disekeliling mereka.Yahwe direkonstruksi sebagai Tuhan yang penuh cinta kasih, pembela umatnya yang
berperang melawan musuh-musuh Israel. Oleh karena itu tidak heran jika dalam kultus Yahwe, disusun
berbagai aturan dan praktek-praktek keagamaan “yang lebih baik” yang bilamana dilakukan oleh para
47
3. Piacular Sacrifice
Istilah piacular sacrifice adalah jenis dan makna ritual kurban yang dipakai
oleh Evan-Pitchard71
di masyarakat Nuer-Afrika. Kurban dalam masyarakat Nuer terdiri
dari dua jenis, yakni kurban pribadi dan kolektif. Kurban kolektif bisa dikatakan tidak
terlalu agamis. Kurban ini berkaitan dengan ritual-ritual „pintu gerbang kehidupan”
seperti pemakaman dan perkawinan. Tujuannya adalah mensakralkan peristiwa-peristiwa
sosial dan hubungan-hubungan baru yang muncul dari kehidupan sosial, seperti
pernikahan. Upacara-upacara tersebut bertujuan untuk meresmikan dan mengesahkan
secara keagamaan saja.
Berbeda dengan ritual kolektif, ritual kurban individual jauh lebih kelihatan
religius, misalnya mengorbankan sapi pada waktu-waktu tertentu. Pengorbanan seperti
ini dihormati dalam masyarakat Nuer. Ada empat tahap yang harus dilalui oleh seseorang
saat memberi kurban, yaitu:72
(1) presentation, menyediakan kurban khusus yang hendak
dipersembahkan kepada Tuhan, (2) consecration, pengudusan kurban dengan
mengusapkan debu di punggung kurban, (3) invocation, penyampaian doa kepada Tuhan
dalam pengertian apa maksud dan tujuan diberikannya kurban tersebut dan, (4) killing the
animal, penyembelihan bintang kurban biasanya dengan menusukan tombak, darah akan
mengalir ke tanah dan dipahami bahwa itu sudah diterima oleh Tuhan sementara
pengikutnya akan membawa pada kemakmuran, sementara jika mengabaikannya akan membawa
malapetaka. Lihat Morton Smith, Demi Nama Tuhan, (Jakarta: BPK-GM, 2010), 16 71
Evan Pitchard dilahirkan pada tahun 1902 sebagai anak kedua dari pasangan pendeta
Inggris, Rev John Evans-Pitchard dan Dorothea. Ia menyelesaikan study di Wincester College, Oxford
Unversity di bidang sejarah. Pada tahun 1923, ia masuk di London School of Economics di bidang
Antropology. Evan-Pitchard menggeluti bidang riset penelitian anthropology dengan daerah penelitian di
Afrika. Hasil penelitin ini, kara-karya besar Pitchard tertuang dalam berbagai buku misalnya Wictcraft,
Oracles, and Magic among the Azande (1937) kemudian pada tahun 1940 berhasil menerbitkan buku The
Nuer: A Description of in Modess of Livelihood and Political Instiutions of a Nilotic people, The Sanusi of
Cyrenaica(sebuah hasil riet ordo Sufi Islam di Libia), Kindship and Mariage among the Nuer dan Nuer
Religion, kedua buku ini berisikan tentang situasi agama dan masyarakat Nuer di Sudan, Afrika. Lihat.
Daniel L, Pals, Seven Teories,…, 281-285 72
Evan Pitchard, The Meaning Sacrifice,…, dalam Jeffrey Carter, Understanding
Religious,…, 190
48
dagingnya boleh dimakan. Memakan daging binatang kurban menunjukkan masyarakat
telah terlibat dalam suatu aksi dan solidaritas sosial bersama dengan Tuhan.73
Dalam pemahaman masyarakat Nuer kurban yang diberi oleh pengurban
sesungguhnya adalah pengganti dirinya sendiri. Artinya ketika salah seorang memberi
seekor sapi misalnya, maka sapi tersebut adalah identifikasi dirinya sendiri. Dengan kata
lain yang dikurbankan itu sesungguhnya adalah diri pemberi kurban itu sendiri. Sehingga
dalam upacara persembahan kurban kepada Tuhan, seseorang dianggap “menampilkan
kematiannya” sendiri melalui persembahannya.
Melalui upacara kurban setidaknya ada dua tujuan penting yang hendak
dicapai oleh si pemberi kurban, yakni (1) berkomunikasi atau bertemu dengan Tuhan.
Binatang kurban menjadi mediator yang menghubungkan Allah dan manusia. Dalam
pertemuan itu manusia meminta berkat dan menyampaikan permohonan-permohonan
yang lain yang mendatangkan kesejahteraan bagi dirinya. Dan (2) untuk mencegah
penyakit (prophylactic ) dan melindung dari segala kemalangan/bahaya (apotropaic).74
Kemalangan dan penyakit yang dialami oleh masyarakat Nuer berasal dari roh-roh/ilah-
ilah lain yang senantisa menggoda manusia. Roh/ilah itu memiliki kekuatan untuk
menjauhkan manusia dari Tuhan dan selanjutnya mendatangkan kemalangan/penyakit.
Oleh karena itu, melalui kurban orang berharap akan terlindungi dari berbagai
kemalangan dan penyakit, sekaligus mengusir roh /ilah jahat tersebut.
4. Ritual Kurban Di Israel
Ritual kurban adalah ritual utama dalam kultus Yahwe di Israel. Kultus
Yahwe adalah sebuah kultus yang direkonstruksi oleh nabi dan raja-raja di Israel
(terutama Daud). Secara sosiologis-politik ritual kurban dalam kultus Yahwe di Israel
73
Ibid.,191 74
Ibid., 192-193
49
mempunyai beberapa tujuan. Pertama, untuk membangun kekuatan kerajaan Daud.75
Kedua, untuk mempertegas identitas bangsa Israel ditengah-tengah peradaban bangsa
dan ilah-ilah lain yang ada disekitar merekakhususnya bangsa Mesir/Kanaan.76
Ketiga,
mentransformasi dan mensublimasi ritual –ritual paganisme yang sangat kuat
mempengaruhi orang-orang Israel.77
Menurut Luis Berkhof, ada lima teori pengurbanan dalam memahami ibadah
kurban di Israel, yaitu:78
1. The gift theory melihat kurban sebagai hadiah-hadiah atau pemberian kepada dewa
untuk memelihara hubungan yang baik dan mendapat perlindungan.
2. The sacramental-communion theory. Latar belakang teori ini adalah pemujaan
terhadap totem. Warga komunitas ibadah bertemu pada waktu untuk menyembelih
binatang totem untuk dimakan bersama sebagai tanda persekutuan mereka dengan ilahi
sekaligus menerima khasiat ilahi dari totem itu.
3. The homage-theory.Kurban sejatinya adalah ungkapan penghormatan dan
ketergantungan. Manusia mendekatkan diri kepada TUHAN bukan karena perasaan
bersalah melainkan karena merasa bergantung pada dan menunjukkan hormat kepada
TUHAN.
4. The simbol-theory. Di sini kurban dipahami sebagai simbol pemulihan relasi dengan
TUHAN yang terganggu. Kehadiran darah binatang kurban yang merupakan simbol
kehidupan adalah untuk memulihkan kembali relasi itu.
75
William W Hallo, The Origins of the Sacrificial Cult….. dalam Patric De Miller JR,
(edited), Ancient Israelite Religoin, (Philadelpia: Fortress Press, 1987), 6-7 76
Morthon Smith (terj), Demi Nama Tuhan, (Jakarta: BPK-GM, 2010), 16-70 77
Lih. Karen Amstrong, Sejarah Tuhan,…, 46 danArnold Toynbee, Sejarah Umat
Manusia,…, 452 78
Luis Berkhof, Sistematic Theology, (London: The Banner Of Truth Trust, 1949), 362-363
50
5. The piacular theory.Ritus kurban dipahami sebagai sebuah akta penebusan. Binatang
kurban yang disembelih berperan sebagai penebusan yang menggantikan atau menutupi
dosa dari pemberi kurban. Pemaknaan ini mengakomodir semua praktek kurban, baik
yang ditemukan dalam ibadah Israel maupun ibadah di berbagai agama manusia.
Ada berbagai macam jenis dan hukum ritual pengurbanan dalam kultus
Yahwe di Israel.79
Segala sesuatu yang dimakan dan diminum oleh manusia untuk
pemenuhan dirinya sendiri bisa dijadikan bahan untuk pengurbanan, baik persembahan
berdarah maupun tidak berdarah. Manusia mencari persekutuan dengan Tuhan lewat
persembahan-persembahannya. Israel memberi kurban dan membuat berbagai aturan
tentang ritus pengurbanan semata-mata untuk dapat bersekutu dengan Allah.
Persembahan biasanya mewakili orang yang mempersembahkan, dan dalam persembahan
(kurban) kebebasan dan penyerahan kepada Tuhan diungkapkan. Dengan menerima
persembahan, Tuhan memasuki hubungan yang erat dengan orang yang memberi
persembahan.
Musa selama memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir telah menetapkan
berbagai aturan tata pemberian korban kepada Allah. Hal utama dan terpenting dalam
kurban persembahan adalah kurban harus sempurna, tidak bercacat, jantan dan yang
sulung.80
Kurban harus dipersembahkan oleh seorang imam yang sudah memenuhi
syarat,81
darah binatang kurban disembelih dihadapan Allah dan manusia. Darahnya
diperuntukan untuk Allah sedangkan daging, kulit dan kotorannya harus dibakar habis dan
orang yang membakarnya harus pulang untuk mencuci pakainnya sampai bersih (Immat
16:27-8). Jika syarat-syarat tersebut sudah dilaksanakan, maka kurban itu dinyatakan
79
Untuk lebih jelas bisa dilihat di Kitab Imamat 1:1-7:38 80
Gordon J Wenham, The Book of Leviticus, (Michigan: Grand Rapids, 1985), 55 81
Dalam Ibrani 5:1. Syarat menjadi Imam adalah:1). seorang di antara saudaranya, 2). Dia
diurapi oleh Allah, 3). Ia mengatasnamai saudara-saudarnya dalam urusan dengan Allah, dan4).
Mempersembahkan kurban syukur dan pengampunan dosa
51
layak. Semua atribut dan ritus kurban di PL adalah mengandung makna penebusan
ataupun pendamaian. Oleh karena itu seluruh sistem pengorbanan yang telah ditentukan
dalam ritus kurban di Israel diberikan kepada manusia sebagai salah satu cara untuk
mendekatkan diri mereka kepada Allah.
Walaupun bangsa Israel tidak dapat mengambil hati Allah hanya dengan
pemberian mereka ataupun kurban persembahan yang mereka beri. Akan tetapi kurban-
kurban yang diberikan manusia kepada Tuhan bertujuan untuk mendekatkan diri mereka
kepada Allah. Manusia tidak dapat bertemu secara langsung kepada Allah, karena
manusia adalah orang berdosa. Allah adalah Kudus, dan manusia tidak dapat memberi
persembahan yang cukup untuk membersihkan dosa-dosanya. Tidak ada seorangpun yang
wajahnya kotor dapat bertemu dengan Tuhan. Lalu pertanyaannya adalah bagaimana
manusia yang penuh dengan dosa dapat mendekati Allah?
Jawabannya adalah manusia harus memberi korban. Ketika manusia
datang ke hadirat Allah, dia harus mempersembahkan sebuah kehidupan kepada Allah. Ini
penting untuk memahami apa yang dipersembahkan bukan sesuatu yang sudah mati,
tetapi dengan kehidupan yakni darah. Hal ini sesuai dengan apa yang diyakini orang
Israel, sebagaimana dalam Kitab Imamat bahwa darah adalah kudus, karena kehidupan itu
kudus maka darah sejajar dengan dengan kehidupan. Tetapi karena manusia tidak mampu
mempersembahkan hidupnya (dengan darahnya), itulah sebabnya digantikan dengan
mengorbankan kehidupan binatang. Hidup manusia sebagai pendosa sudah hilang, dan
seharusnya dihukum mati. Tetapi Allah mengizinkan manusia untuk membawa sebuah
kehidupan lain (yakni binatang yang terbaik) dan mempersembahkannya saat ia datang
beribadah. Itulah sebanya manusia mempersembahkan kurban kepada Allah sebagai salah
satu cara untuk bertemu dan berdamai dengan Allah.
52
Secara religius, tujuan utama dilaksanakannya ritual pengurbanan dalam
tradisi Israel adalah sebagai “atonement” yakni proses rekonsiliasi,
pendamai/mendamaikan manusia manusia yang penuh dosa terhadap Allah yang Maha
Kudus. Oleh karena itu dalam Alkitab ritual persembahan kurban yang paling banyak
dilakukan adalah persembahan kurban penghapusan dosa. Sehingga penumpangan tangan
dari si pendosa ke atas binatang yang akan disembelih (Imamat 1:4;16;21-22) jelas
menunjukan pemindahan dosa dari pelaku kepada binatang yang dikurbankan.
Ibadah kurban dalam Perjanjian Lama yang digariskan oleh Musa tidak
sekadar bermakna perayaan dan simbol, tetapi juga spiritual. Ritus pengurbanan berdarah
itu berkarakter nubuatan dan merupakan Injil yang dikemas dalam HukumTaurat.
Menurut Berkhof, “ritus-ritus itu didesain untuk membayang-bayangkan vicarious
suffering Yesus Kristus dan kematiannya sebagai penebus dosa manusia.”82
Hal yang
sama juga dikatakan oleh Rayland, “hampir seluruh terma kunci sistem pengorbanan
dalam Perjanjian Lama digunakan untuk mendeskripsikan kehidupan, kematian dan
kebangkitan Tuhan Yesus sebagai kurban di dalam Perjanjian Baru.83
Sehingga untuk
memahami makna pengorbanan Kristus kita perlu memahami sistim ritual pengurbanan
di dalam Perjanjian Lama.
5. Kurban Kambing Hitam
Rene Girard,84
dalam tulisannya From Violence and the sacred,
mengatakan,“Violence is the heart and the secret soul of the sacred, the violence
82
Luis Berkhof, Sistematic Theology dikutip oleh, Ebenhaizer Nuban Timo, Allah menahan
Diri, tetapi Pantang berdiam Diri, (Jakarta: BPK-GM, 2015), 298 83
Father Ray Rayland, Blood on the Altar dalam Jurnal The Catholic Answer Bulan
Juli/Agustus 2009 84
Rene Girard adalah seorang teoritisi dan kritikus literal kebudayaan. Lahir di Avignon,
Prancis . Dia belajar tentang sejarah abad-abad Pertengahan di Universitas Ecole de Charters di Paris. Pada
tahun 1947 ia masuk di Universitas Indiana di USA dan meraih gelar doctor pada tahun 1950. Tulisan dan
penelitian-penelitian Girard fokus pada literatur perbandingan yang mendalam untuk memahami agama
dan kebudayaan. Lihat Jeffrey Carter, Understanding,…, 239
53
associated with ritual killing is the key to the origin of sacred.”85
Untuk memahami
pernyataan ini, Girard menjelaskan bahwa komunitas/masyarakat itu biasanya sangat
rawan dengan krisis dan konflik. Hal ini disebabkan oleh rivalitas “mimetic desire”
(keinginan untuk selalu meniru) yang ada di dalam diri manusia yang sewaktu-waktu
bisa menyulut balas dendam dan kekerasan. Manusia itu saling bersaing dalam
menghasratkan sesuatu. Model yang ditiru sekaligus menjadi rival terbakar oleh amarah
yang membutakan rivalitas dan pada akhirnya meletus dalam kekerasan. Rivalitas itulah
yang memotivasi manusia untuk bertindak, sehingga kekerasan dengan multi
wajahseringkali terjadi. Kekerasan nampaknya sebagai sesuatu yang pantas ditiru,
sebagai tanda hidup yang berhasil. Akal budi dan kehendak baik tidak dapat menjamin
kehidupan bersama, sehingga yang terjadi semua melawan semua (all against all).
Hidup damai hanya bisa terlaksana jika agresi timbal balik ini secara tiba-tiba bersatu dan
bersama-sama meluap pada satu musuh saja (all against one).
Masyarakat akan menjadi harmonis jika ada satu objek yang menjadi
kambing hitam, dikurbankan dan dibunuh sebagai luapan kekerasan seluruh kelompok.
Terbunuhnya kambing hitam akan meredakan kekerasan yang ada. Pembunuhan terhadap
kambing hitam menjadi sesuatu yang sakral karena telah menciptakan sebuah tatanan
sosial yang harmonis. Kambing hitam adalah sesuatu yang kelihatannya terkutuk tetapi
sekaligus menyelamatkan, menakutkan tetapi juga menarik-mempesona, melahirkan
yang tabu sekaligus juga menciptakan tatanan sosial yang baru.
Menurut Rene Girard dalam upacara kurban sebenarnya yang terjadi adalah
pengosongan kekerasan kolektif atau “mekanisme kambing hitam” (scapegoating).86
Ritus kurban dengan memakai mekanisme kambing hitam berfungsi untuk
85
Ibid.,239-241 86
J.B Banawiratma, SJ, Kristologi dan Allah Tritunggal, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), 49
54
menundukkan kekerasan yang ada di dalam masyarakat dan menjaga supaya kekerasan
itu tidak liar. Kambing hitam berfungsi untuk mengalihkan kekerasaan dan kekacauan
yang ada di dalam masyarakat agar tidak menghancurkan dan mengacaukan tatanan
masyarakat. Akan tetapi kurban itu hanya akan berfungsi mengalihkan kekerasan jikalau
melaluinya diadakan penipuan atau disembunyikan di balik alasan religius-teologis..
Kalau tidak kurban tidak bisa efektif dan kekerasan akan merajalela.87
Jadi tindakan
kekerasan itu disembunyikan dalam rangka bakti suci.
Setelah kekerasan itu teralihkan pada kambing hitam, maka terjadilah hidup
damai sehingga masyarakat harmonis kembali dari kekacauan itu. Agresi timbal balik
intern diluapkan keluar untuk menghindari kehancuran hidup bersama. Kekerasan yang
dilakukan terhadap kambing hitam disebut kekerasan yang suci. Meski kekerasan itu
buruk (bad violence), akan tetapi bad violence ini akan berubah menjadi good violence
(kekerasan yang baik) bilamana kekacauan telah berhenti dan keadaan menjadi aman
karena kambing hitam telah dikorbankan.
Ketika mekanisme kurban kambing hitam telah bekerja, dan komunitas
terselamatkan, maka komunitas tersebut akan menyadari dan memahami bahwa kurban
tersebut adalah penyelamat. Melalui bad violence dan good violence, kurban menjadi
sebuah yang misteri, memiliki kekuatan yang dahsyat, secara potensial berbahaya akan
tetapi murah hati (potentially dangerous but generous), transendent tetapi menjadi dekat,
singkat kata menjadi kudus. Girard menyimpulkan bahwa kurban(kambing hitam) bagi
masyarakat adalah makhluk ilahi yang memiliki kekuatan untuk disembah, bagaikan
leluhur yang terus melindungi, memberi, memberkati, dan juga menghukum.88
87
Sindhunata, Kambing Hitam Teori Rene Girard, (Jakarta: Gramedia, 2006), 112 88
Rene Girard, From Violence and Sacred,…, dalam Jeffry Carter, Understanding,…, 240