Post on 05-Mar-2018
6
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Gambaran Umum Ata
Ata merupakan tumbuhan melilit jenis pakis yang dahulunya digunakan
sebagai bahan tali. Seiring dengan banyaknya jenis dan bahan tali sintetik maka kini
peranan ata mulai berkurang. Pada saat ini ata dipakai untuk bahan baku kerajinan
anyam–anyaman. Ditangan pengerajin Bali ata diolah menjadi barang seni yang
mempunyai nilai tinggi dengan kualitas ekspor. Gambar 2.1 merupakan contoh
anyaman ata.
Gambar 2.1 Kerajinan Ata yang Berbentuk Tempat Gelas
2.1.1 Proses Produksi Pembuatan Kerajinan Ata
Proses produksi pada dasarnya merupakan suatu kegiatan konversi bahan
baku (input produksi) menjadi produk (output produksi). Proses produksi yang
dilakukan dalam kegiatan usaha kerajinan ata hanya memerlukan peralatan yang
relatif sederhana karena lebih banyak memanfaatkan keahlian tangan manusia untuk
menciptakan hasil karya yang memiliki nilai seni tinggi. Tahapan yang dilalui dalam
proses produksi kerajinan ata, dapat dilihat pada gambar 2.2 dibawah ini:
7
Secara umum, terdapat 3 tahap penting dalam proses pembuatan kerajinan ata, yaitu
persiapan, penganyaman, pengeringan/pengasapan.
a) Persiapan
Tahap persiapan merupakan tahapan awal untuk membuat kerajinan
ata. Persiapan yang dimaksud adalah penyiapan bahan baku kerajinan.
Apabila bahan baku telah tersedia maka proses pembuatan kerajinan
ata dapat dilakukan.
b) Penganyaman
Setelah bahan baku yang diperlukan tersedia, proses selanjutnya
adalah menganyam bahan baku yang tersedia untuk dibentuk menjadi
produk yang diinginkan. Jenis–jenis produk yang dihasilkan bisa
bermacam–macam sesuai dengan pesanan, namun ada pula bentuk-
bentuk baru yang dihasilkan pengrajin hasil dari keterampilan,
kreativitas dan kemampuan seni dari para pengerajin.
c) Pengeringan/pengasapan
Setelah ata dianyam menjadi bentuk yang diinginkan, selanjutnya
dilakukan tahap pengeringan untuk mengurangi kandungan air yang
terdapat pada ata sehingga produk yang dihasilkan tidak berjamur
Pemesanan / Order
Pembersihan
Penganyaman
Pengeringan/pengasapan
Pengepakan
Persiapan bahan
baku
Pengiriman Barang
Bagian Produksi
Gambar 2.2 Diagram Alir Proses Produksi Kerajinan Ata
Pemasaran / toko
8
ketika diekspor. Proses pengeringan ata dilakukan dengan cara
pengasapan agar warna yang dihasilkan juga lebih bagus. Ata
diletakan di dalam oven lalu diasapi oleh asap yang dihasilkan dari
kompor biomassa. Kurang lebih waktu yang diperlukan dalam proses
ini adalah satu hari.
2.2 Biomassa
Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintetis,
baik berupa produk maupun buangan. Melalui fotosintesis, karbondioksida di udara
ditransformasikan menjadi molekul karbon lain (misalnya gula dan selulosa) dalam
tumbuhan. Energi kimia yang tersimpan dalam tanaman dan hewan akibat memakan
tumbuhan atau hewan lain serta dalam kotorannya dikenal dengan nama bio-energi.
Contoh biomassa antara lain adalah tanaman, pepohonan, rumput, ubi, limbah
pertanian, limbah hutan, limbah perkebunan, tinja dan kotoran ternak. Umumnya
biomassa yang digunakan untuk diambil energinya adalah biomassa yang nilai
ekonomisnya rendah atau merupakan limbah setelah diambil produk primernya tidak
dimanfaatkan kembali.
Kandungan utanma biomassa adalah karbon, oksigen, dan hidrogen. Hal ini
ditunjukkan pada tabel 2.1. tentang ultimate analysis of biomass. Pada tabel tersebut
memperlihatkan komposisi dari 13 biomassa.rumus kimia dari biomassa umumnya
diwakili oleh CxHyOz. Nilai koefisien dari x,y dan z ditentukan oleh masing-masing
biomassa.
9
Tabel 2.1 Ultimate analysis of Biomassa (Raveendran et.al.)(Sumber : Raveendran
dkk.1995,Tercantum dalam Badeau Pierre)
2.2.1 Kacang Tanah
Kacang tanah merupakan tanaman pangan berupa semak yang berasal dari
Amerika Selatan, tepatnya berasal dari Brazilia. Hasil produksin kacang tanah di
Indonesia pada tahun 2013 sebesar 786.868 ton seperti ditunjukkan pada tabel 2.2
(Kementan RI, 2013). Jika berat kulit kacang tanah 20% berat keseluruhan kacang
tanah, maka potensial pembuatan briket 157.373 ton/th. Kadar abu kulit kacang tanah
adalah 5,3%-7,3%. Kadar air pada kulit kacang rata-rata 4,95%-7,75%. Nilai kalor
kulit kacang tanah dalam bentuk bahan baku adalah 4344 kkal/kg (Eko dan
Kusnanda, 2008).
Tabel 2.2. Perkembangan Luas Panen, Produktifitas dan Produksi Kacang Tanah Di indonesia
Tahun 2003-2013.
(sumber: Kementrian Pertanian, Direktorat Budidaya Aneka Kacang dan Umbi, 2013)
10
Tabel 2.3. Hasil Analisa Proksimat dan Ultimate Kacang Tanah
(Sumber:
2.2.2 Kulit Kacang Tanah Sebagai Sumber Energi Alternatif
Sebagai limbah dari hasil produksi, kulit kacang tanah memang sering kali
menimbulkan persoalan tersendiri. Di samping penyimpanannya menghabiskan
ruang-ruang, terbuka proses penghancurannya juga sangat lambat. Jika tidak
mendapat perlakuan segera, dapat menimbulkan gangguan lingkungan. Padahal kulit
kacang sangat potensial bila digunankan sebagai sumber energi alternatif yang murah
bagi masyarakat.
Dari sisi momentum saat ini adalah saat yang paling tepat untuk
mempromosikan kulit kacang sebagai salah satu sumber energi alternatif. Jika ini
dilakukan, bukan saja memberikan pilihan pada masyarakat menyangkut pemenuhan
sumber energi yang murah meriah, tetapi dapat memberikan solusi mengelola kulit
kacang tanah dengan mengedepankan asas manfaat. Momentumnya juga dapat
dikatakan tepat karena masyarakat kini tengah dihadapkan pada pilihan sulit dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Menyusul kenaikan harga bahan
bakar minyak, memaksa masyarakat menyisihkan penghasilannya lebih banyak agar
biaya produksi rumah tangga dapat terpenuhi. Sementara pada saat yang sama,
Property Wt%
Moisture 4.83
Ash 32.3
Volatile Matter 50.9
Fixed Carbon 12.0
Property Wt%
Carbon 32,7
Hydrogen 4.26
Oxygen 25.11
Nitrogen 0.55
Sulpher 0.33
Moisture 4.78
Ash 32.7
Proximate Analysis
Ultimate Analysis
GROSS
CALORIFIC
VALUE (Kcal/Kg)
2960
11
sumber penghasilan masyarakat pada saat ini cenderung tidak ada perubahan. Ini
jelas sangat memberatkan, terutama bagi masyarakat pedesaan yang sangat
menghandalkan minyak tanah sebagai sumber bahan bakar utama mereka.
Memang selain minyak tanah, masih ada sumber energi lain seperti kayu
bakar dan turunannya. Jika menggunakan kayu bakar secara masal maka resiko yang
ditimbulkan pun cukup besar diantaranya yaitu kelestarian hutan mulai terancam.
Demikian pula dengan batu bara yang penggunaannya hanya cocok untuk sistem
pembakaran siklus tertutup pada boiler dan mesin uap sejenisnya sangat rentan
mengancam kesehatan bila digunakan sebagai sumber bahan bakar sistem skala
rumah tangga.
Dengan alasan tersebut, sangat tepat jika kemudian menjadikan kulit kacang
tanah yang notabene masih dianggap limbah dan tersedia melimpah sebagai bahan
bakar alternatif, khususnya bagi masyarakat pedesaan. Caranya, dengan
memodifikasi dalam bentuk kompor biomassa berbahan bakar briket kulit kacang
tanah yang praktis dan murah, sehingga mudah terjangkau oleh masyarakat luas.
Fungsi kompor biomassa kulit kacang tanah, dapat juga sebagai alat substitusi
menggantikan 100% minyak tanah. Namun, dapat juga sebagai komplementasi yang
bisa mengurangi biaya pembelian minyak tanah.
2.3 Pengenalan Sistem Pengeringan
2.3.1 Prinsip Dasar Pengeringan
Pada dasarnya pengeringan adalah suatu proses pemindahan panas dan uap
air secara simultan yang memerlukan energi untuk menguapkan kandungan air yang
dipindahkan dari permukaan bahan yang dikeringkan oleh media pengering yang
biasanya berupa panas. Biasanya proses pengeringan merupakan suatu proses akhir
dari suatu deretan operasi proses dan setelah pengeringan bahan siap untuk disimpan,
dijual, atau diolah kembali.
Berdasarkan sumbernya, faktor yang mempengaruhi pengeringan dibedakan
menjadi 2 yaitu :
12
1. Faktor internal, yaitu faktor yang mempengaruhi pengeringan yang berasal
dari material itu sendiri faktor-faktor tersebut ialah ukuran material dan
kadar awal air material.
2. Faktor eksternal, yaitu faktor yang mempengaruhi pengeringan yang
berasal dari luar material. Faktor-faktor tersebut ialah perbedaan suhu dan
kelembaban antara material dan udara pengering dan kecepatan aliran
udara pengering.
Berdasarkan atas proses kontak antara media pengering dengan bahan yang
akan dikeringkan, maka pengeringan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Pengeringan langsung (Direct drying), disini bahan yangdikeringkan
langsung berhubungan dengan bahan yang dipanaskan.
2. Pengeringan tidak langsung (Indirect drying), udara panas berhubungan
dengan bahan melalui perantara, umumnya berupa dinding – dinding atau
tempat meletakkan bahan. Bahan akan kontak langsung dengan panas
secara konduksi.
Berdasarkan cara pemindahan bahan yang dikeringkan,maka proses
pengeringan dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Pengeringan Kontinyu (Continuous Drying)
Bahan yang dikeringkan dilewatkan pada alat pengering secara
berkesinambungan dengan kapasitas dan kecepatan tetap. Jenis-jenis alat
pengering dengan metode kontinyu antar lain pengering terowongan
(tunnel dryer), pengeringan drum (drum dryer), pengeringan putar (rotary
dryer) dan pengering semprot (spray dryer).
2. Pengeringan Tumpukan (Batch Drying)
Pada proses ini bahan yang dikeringkan ditampung dalam suatu wadah,
kemudian baru dikeringkan. Bahan akan dikeluarkan setelah mencapai
keadaan kering dan kemudian dilanjutkan dengan memasukkan bahan
berikutnya.
Pengeringan merupakan proses penguapan kandungan air dalam bahan dengan waktu
tertentu sesuai dengan kondisi udara di sekitarnya. Pada prinsipnya pengeringan
13
merupakan suatu proses pemindahan panas dan perpindahan massa uap air secara
simultan. Panas sensibel diperlukan untuk menaikkan temperature material yang
dikeringkan, sedangkan panas laten diperlukan untuk menguapkan kandungan air
yang terdapat pada material. Uap air dipindahkan dari permukaan bahan yang
dikeringkan oleh media pengering yang biasanya berupa panas.
Gambar 2.3 T-V diagram (sumber : Yunus, A. Cengel. 1997)
Secara singkat proses yang terjadi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Proses Pemanasan, pada tahap ini terjadi kenaikan temperature substansi
yang dipanaskan sebagai akibat adanya penambahan energi kalor dari
luar. Sekalipun sebenarnya terjadi proses penambahan volume, namun
perubahan volume yang terjadi sangat kecil maka dianggap bahwa
kondisi volume konstan. Adapun energi yang ditambahkan pada proses
ini adalah berupa sensibel heat.
2. Proses perubahan fase, sekalipun pada tahapan ini memerlukan banyak
energi (latent heat), namun seluruh energy yang diterima oleh substansi
tidak menimbulkan perubahan temperature karena dimanfaatkan untuk
terjadinya proses penguapan cairan yang terkandung dalam substansi
yang dipanaskan terjadi perubahan fase dari cair menjadi uap air.
3. Proses pembuangan uap bersamaan dengan udara buang, pada tahap
ini uap air dibuang keluar ruangan pengering bersamaan dengan aliran
udara buang.
Pemanasan T
Perubahan fase
Pembuangan uap
V
14
Pada dasarnya rangkaian proses yang terjadi selama pengeringan meliputi
dua proses sebagai berikut:
• Proses perpindahan massa
• Proses perpindahan panas.
2.4 Perpindahan Massa
Proses pengeringan utamanya ditentukan dari besarnya perpindahan massa
dari material yang dikeringkan ke fluida pengering. Adapun proses perpindahan
massa ini tergantung dari beberapa faktor antara lain:
a) Koefisien perpindahan massa (hm)
Perpindahan massa yang berhubungan dengan proses pengeringan
adalah secara konveksi.
b) Perbedaan konsentrasi air (ΔCA)
antara fluida pengering dan material yang dikeringkan.
Perpindahan massa pada material dapat terjadi secara difusi, yaitu proses
perpindahan massa dari bagian dalam material ke bagian permukaan material dan
dilanjutkan dengan perpindahan massa secara konveksi, yaitu proses perpindahan
massa dari material ke fluida pengering (udara) yang mengalir. Sehingga
perpindahan massa secara konveksi dirumuskan sebagai berikut:
Na = hm.A. (CAS - CA∞) (kmol/s)............................................................(2.1)
Dimana:
hm = Koefisien perpindahan massa konveksi (m/s)
A = Luas penampang material (luas permukaan perpindahan massa(m2).
CAS = Konsentrasi molar air (uap air) di permukaan material (kmol/m3).
CA∞ = Konsentrasi molar uap air di udara pengering (kmol/m3)
15
Laju pengeringan tergantung pada besarnya laju perpindahan massa konveksi
dari permukaan material menuju udara pengering. Laju perpindahan massa konveksi
tergantung pada koefisien perpindahan massa konveksi (hm), dimana besar kecilnya
(hm) tergantung pada temperature rata–rata udara pengering dan kecepatan aliran
fluida (udara) pengering. Makin besar kecepatan dan semakin tinggi temperatur
udarapengering maka semakin besar (hm), semakin besar pula laju perpindahan
massa konveksi
2.5 Perpindahan Panas
Perpindahan panas atau heat transfer adalah ilmu untuk meramalkan energi
atau proses perpindahan energi yang terjadi karena adanya perbedaan temperatur di
antara benda atau material, dimana energi yang berpindah tersebut dinamakan kalor
atau panas (heat). Panas akan berpindah dari medium yang bertemperatur lebih
tinggi ke medium yang temperaturnya lebih rendah. Perpindahan panas ini
berlangsung terus sampai ada kesetimbangan temperatur diantara kedua medium
tersebut. Perpindahan panas dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu
perpindahan panas secara konduksi, konveksi, dan radiasi.
2.5.1 Perpindahan Panas Konduksi
Perpindahan panas konduksi adalah perpindahan panas yang terjadi akibat
adanya perbedaan temperatur antara permukaan yang satu dengan permukaan yang
lain pada suatu media padat atau pada media fluida yang diam.
Konsep yang ada pada konduksi adalah merupakan aktivitas atomik dan
molekuler sehingga peristiwa yang terjadi pada konduksi adalah perpindahan energi
dari partikel yang lebih energetik (molekul lebih berenergi/bertemperatur tinggi)
menuju partikel yang kurang energetik (molekul kurang berenergi/ bertemperatur
lebih rendah).
Untuk kondisi perpindahan panas keadaan steady melalui dinding datar satu
dimensi seperti ditunjukan pada gambar 2.4.
16
Gambar 2.4 Perpindahan panas konduksi pada dinding datar
Sumber : (Incropera, Frank P and DeWitt, David P., 1996)
Persamaan laju konduksi dikenal dengan Hukum Fourier tentang
Konduksi (Fourier Low of Heat Conduction), yang persamaan
matematikanya sebagai berikut:
qkond = dx
dTkA ................................................................................ (2.2)
dimana :
qkond = Laju perpindahan panas konduksi (W)
k = Konduktivitas thermal bahan (W/m.K)
A = Luas penampang tegak lurus terhadap arah aliran panas (m)
dx
dT = Gradien temperatur pada penampang tersebut (K/m)
Tanda negatif (-) diselipkan agar memenuhi Hukum Kedua Termodinamika,
yaitu bahwa panas mengalir dari media yang bertemperatur lebih tinggi menuju
media yang temperaturnya lebih rendah.
2.5.2 Perpindahan Panas konveksi
Perpindahan panas konveksi adalah perpindahan panas yang terjadi akibat
adanya perbedaan temperatur dari suatu permukaan media padat menuju fluida yang
mengalir (bergerak) atau sebaliknya. Suatu fluida memiliki temperatur (T), yang
bergerak dengan kecepatan (u) di atas permukaan media padat (Gambar 2.2).
Temperatur media padat lebih tinggi dari temperatur fluida, maka akan terjadi
perpindahan panas konveksi dari media padat ke fluida yang mengalir.
17
Gambar 2.5 Perpindahan panas konveksi dari permukaan media padat ke fluida yang mengalir
Sumber: (Incropera dan DeWitt, 3rd ed.)
Laju perpindahan panas konveksi adalah merupakan Hukum Newton
tentang pendinginan (Newton’s Law of Cooling) yaitu:
qkonv = h.As.(Ts - T) .......................................................................... (2.3)
dimana :
qkonv = Laju perpindahan panas konveksi (W)
h = Koefisien perpindahan panas konveksi ( W/m2.K)
As = Luas permukaan perpindahan panas (m2)
Ts = Temperatur permukaan (K)
T = Temperatur fluida (K)
Menurut aliran fluidanya, perpindahan panas konveksi dapat diklasifikasikan
menjadi 2 yaitu:
1. Konveksi paksa (forced convection), terjadi bila aliran fluidanya
disebabkan oleh gaya luar seperti : blower, pompa, atau kipas angin.
2. Konveksi alamiah (natural convection), terjadi bila aliran fluidanya
disebabkan oleh efek gaya apungnya (buoyancy forced effect). Pada fluida,
temperatur berbanding terbalik/berlawanan dengan massa jenis (density).
Dimana, makin tinggi temperatur fluida maka semakin rendah massa jenis
fluida tersebut dan sebaliknya makin rendah temperatur maka makin tinggi
massa jenisnya. Fluida dengan temperatur lebih tinggi akan menjadi lebih
ringan karena massa jenisnya mengecil maka akan naik mengapung di atas
fluida yang lebih berat.
18
2.5.3 Perpindahan Panas Radiasi
Proses perpindahan panas secara radiasi (pancaran) adalah suatu proses
perpindahan energi panas yang terjadi dari benda yang bertemperatur tinggi menuju
benda dengan temperatur lebih rendah dengan tanpa melalui suatu medium perantara.
(Kreith 1986).
Pada proses perpindahan energi panas secara radiasi ini semua permukaan pada
temperature tertentu mengemisikan energi dalam bentuk gelombang
elektromagnetik. Proses perpindahan panas secara radiasi dapat pula terjadi pada dua
media yang dibatasi oleh media yang bersuhu lebih dingin daripada keduanya
(Cengel 1997). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perpindahan panas secara radiasi
adalah mekanisme perpindahan panas yang terjadi melalui gelombang
elektromagnetik yang terjadi pada suatu permukaan dengan emisivitas antara nol dan
satu.
Laju perpindahan panas radiasi atau panas yang diemisika oleh permukaan
suatu benda riil (nyata) adalah :
q RADIASI = ε σ Ts4 A..........................................................................(2.4)
Dimana:
q RADIASI = Laju perpindahan panas secara radiasi (Watt)
ε = Emisivitas permukaan benda.
σ = Konstanta Stevan – Boltzmann (5,67 . 10-8
) (W/ )
Ts = Temperatur permukaan benda, selalu dalamabsolut (K)
A = Luas permukaan perpindahan panas radiasi (m2)
Tsur = Temperatur surrounding (K)
Laju perpindahan panas radiasi netto antara permukaan benda yang
bertemperatur lebih tinggi menuju permukaan media yang bertemperatur lebih
rendah atau sebaliknya dinyatakan dengan :
19
q RAD. NETTO = ε A σ (Ts4- Tsur
4) jika Tsur <Ts......................................(2.5)
q RAD. NETTO = ε A σ (Tsur4- Ts
4) jika Tsur >Ts......................................(2.6)
2.6 Udara Pengering
Fluida adalah suatu zat atau substanti yang akan mengalami deformasi secara
berkesinambungan apabila menerima gaya geser walaupun gaya geser yang
diterimanya tersebut sangat kecil. Fluida terdiri dari komposisi molekul–molekul
dalam gerakan konstan.
2.6.1 Aliran Udara Pengeringan
Pada proses pengering ini yang digunakan adalah proses aliran alami
(Natural Flow) yaitu menggunakan cerobong sebagai pengalir udara, sehingga laju
aliran massa (mass flow rate) udara dipengaruhi oleh efek gaya apung (Bouyancy
Force Effect).
Dengan laju aliran massa udara yang alami memungkinkan udara pengering
mencapai temperatur yang lebih tinggi, sehingga udara pengering dapat
mengeringkan dengan lebih efisien. Fungsi aliran udara pengering yaitu:
Sebagai perantara gelombang panas melintasi permukaan luarmaterial,
sehingga yang terkandung pada material terevaporasi.
Membawa uap air yang terevaporasi dari permukaan materialmenuju
cerobong pembuangan udara bercampur uap.
2.7 Kelembaban Udara (Air Humidity)
Material memiliki kemampuan untuk menyerap dan melepaskan kandungan
air. Oleh karena itu penting untuk dapat mengetahui tingkat kelembaban udara
sekitarnya.
Adapun macam – macam kelembaban udara, adalah sebagai berikut:
20
a) Kelembaban Udara Absolut (Absolute Humidity, ω)
Kelembaban udara absolut adalah nilai jumlah kandungan uap air
dalam satu kilogram udara (gr/Kg). Namun nilai kelembaban udara
absolut ini sangat dipengaruhi oleh panas termal udara dan nilainya
tidak mengalami perubahan saat mengalami pemanasan ataupun
pendinginan. Pada temperatur tinggi, udara cenderung menghisap
kelembaban (uap air).
b) Kelembaban Udara Relatif (Relative Humidity, Ф)
Adalah jumlah persentase kandungan uap air yang dihitung atas dasar
udara berkandungan maksimum (udara jenuh). Kelembaban relatif
pada udara jenuh harus selalu 100%. Kelembaban udara relatif akan
menurun bila udara dipanaskan dan meningkat bila udara didinginkan.
Dengan catatan bahwa jumlah kandungan air yang ada pada udara
tidak mengalami perubahan.
2.8 Sistem Pengering Buatan
Sistem pengering buatan berbeda dengan sistem pengering secara alami
(Natural Air Drying). Pada sIstem ini proses pengeringan tidak sepenuhnya
bergantung pada kondisi cuaca. Sirkulasi gerakan dan arah angin yang mengandung
energi panas udara yang mengalir baik proses aliran paksa maupun alami. Bila udara
dalam ruangan terlalu lembab udara tersebut dapat dibuang melalui saluran
pembuangan (damper) untuk kemudian digantikan dengan udara baru yang tidak
terlalu lembab.
Sifat pengering buatan dibuat untuk mendapatkan beberapa nilai positif
yang tidak dapat dicapai oleh sistem pegeringan secara alami, misalnya:
1. Proses pengeringan tidak sepenuhnya bergantung pada panas matahari atau
kondisi musim.
2. Dengan singkatnya proses pengeringan, kapasitas pengeringan dapat
ditingkatkan.
21
3. Proses pengeringan dapat terjadi secara kontinyu dan dapat dilakukan
sewaktu–waktu sesuai keinginan.
4. Bahan yang dikeringkan akan lebih aman dari gangguan luar yang dapat
merusak bahan atau produk seperti : debu, hewan, gangguan cuaca dan lain-
lain.
5. Penggunaan filter udara pada saluran udara masuk memungkinkan bahwa
udara pengeringan benar–benar bersih dari kotaran, debu dan lainnya.
2.9 Stack Effect
Stack efek adalah pergerakan udara ke dan dari cerobong asap, tumpukan
gas buang dan didorong oleh kemampuan mengapung. Apung terjadi karena
perbedaan tekanan antara dalam ruangan dorongan kerapatan udara bebas yang
disebabkan oleh perbedaan suhu dan kelembaban. Hasilnya adalah positif atau
negatif (gaya apung). Semakin besar perbedaan termal dan ketinggian struktur,
semakin besar kekuatan daya apung, dan dengan demikian efek tumpukan yang
disebut sebagai “efek cerobong asap” akan membantu mendorong ventilasi alami dan
infiltrasi.
2.10 Nilai Kalor
Nilai kalor adalah suatu angka yang menyatakan jumlah panas/kalori yang
dihasilkan dari proses pembakaran sejumlah bahan bakar tertentu dengan
udara/oksigen menurut Yelina,dkk (2000). [14]
Nilai kalor dapat dicari dengan menggunakan alat bomb calorimeteruntuk
mengetahui selisih perubahan temperatur dalam proses pembakaran dan data tersebut
dapat dihitung dengan rumus:
..............................................................(2.7)
HHV =
................................................................(2.8)
22
LHV = ..........................................................................(2.9)
Dimana :
HHV = Nilai kalor atas bahan bakar (kal/gr)
C = Nilai kalor standarisasi dari natrium benzoid acid (kal/˚C)
= (T2-T1) selisih antara temperatur akhir dengan temperatur
awal (˚C)
LHV = Nilai kalor bawah bahan bakar (kal/gr)
X = Massa H2O yang terbentuk selama proses pembakaran
persatuan massa bahan bakar (gr H2O/ gr bb)
LH = Panas latent penguapan H2O (kal/gr H2O)
2.11 Kesetimbangan Energi
Kesetimbangan energi yang terjadi pada sistem pengering (alat pengering dan
kompor biomassa) seperti gambar 2.7 dibawah ini:
Gambar 2.6 Sistem Kesetimbangan Energi Pada Sistem Pengering
23
Keterangan :
= Laju energi bahan bakar (kJ/s)
= Laju energi losses pada abu (kJ/s)
= Laju energi losses pada cerobong (kJ/s)
= Laju panas losses pada transmisi dinding kompor (kJ/s)
= Laju panas losses pada transmisi dinding pengering (kJ/s)
= Laju panas losses pada transmisi penghubung kompor dengan ruang
pengering (kJ/s)
Kesetimbangan energi pada sistem pengering:
= + .......................................................................(2.10)
Dimana:
= Laju energi masuk sistem pengering (kJ/s)
= Laju energi tersimpan dalam sistem (kJ/s)
= Laju energi keluar sistem (kJ/s)
Asumsi : = 0, karena sistem steady state
Maka persamaan diatas:
= ............................................................................................(2.11)
= + ............................................,....................(2.12)
= ............................................(2.13)
Laju energi losses pada cerobong:
= ( + ) Cp . Tc ...........................................................(2.14)
Laju energi losses pada abu:
= x LHV .................................................................(2.15)
Laju energi losses pada kopor:
=
=
.................................................................................(2.16)
24
=
=
.................................................................................(2.17)
=
=
.................................................................................(2.18)
Rtotal =
=
.....................................................................................(2.19)
Dimana:
= Laju energi losses pada cerobong (kJ/s)
= Laju energi losses pada abu (kJ/s)
= Laju massa abu (Kg/s)
= Laju masssa fluegas (Kg/s)
= Laju massa air pada ata yang terbuang/menguap (Kg/s)
= kalor jenis pada tekanan kontas(udara)
= Temperatur cerobong (˚C)
A = Luas Penampang (m2 )
R1 = Tahanan termal pada plat besi (k/w)
R2 = Tahanan termal pada glass wool (k/w)
LB = Tebal material glass wool (cm)
LA = Tebal material plat besi (mm)
KB = Konduktifitas termal glass wool (w/m.k)
KA = Konduktifitas termal plat besi (w/m.k)
Tsin = Temperatur dalam dinding (˚C)
Tsout = Temperatur luar dinding (˚C)
25
2.12 Laju Massa Bahan Bakar
Laju massa bahan bakar dapat dihitung menggunakan rumus:
= Laju massa bahan bakar (kg/s)
bb =
..................................................................................................................(2.20)
imana :
mawal = Massa awal bahan bakar (kg)
msisa =Massa sisa bahan bakar (kg)
t = Waktu proses pengeringan (s)
2.13 Performansi Pengeringan
Performansi pengeringan dengan memanfaatkan energi panas dari kompor
biomassa meliputi parameter berikut ini :
a. Energi panas berguna ), yaitu jumlah energi kalor yang digunakan
untuk menguapkan masa air pada material persatuan waktu. Dinyatakan
dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
= = (W) ..................................................................(2.21)
Dimana:
= Laju energi panas berguna (kJ/s)
= Laju Energi penguap (kJ/s)
= Laju massa air pada ata yang terbuang/menguap (kg/s)
= Didapat dari tabel saturated water yang dimana diasumsikan
suhu material yang dipanaskan (kal/gr)
b. Sumber Energi dari bahan bakar yang memasuki rak pengering
secara matematis ditulis dalam persamaan sebagaimana berikut ini:
= bb . HHV (W) ........................................................................(2.22)