Post on 04-May-2018
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
2.1.1 Definisi DM
Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes
(Gustaviani, 2006; PERKENI, 2011).
2.1.2 Diagnosis DM
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan bila ada keluhan khas berupa poliuria, polidipsia, dan penurunan
berat badan. Keluhan yang lain yang dapat dikemukakan penderita adalah lemah
badan, kesemutan, gatal, pandangan kabur, disfungsi ereksi pada pria serta pruritus
vulvae pada wanita (Gustaviani, 2006; PERKENI, 2011).
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara (PERKENI, 2011):
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan
klasik.
6
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75
gram glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan
glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan
tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam
praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
Pada tahun 2009, American Diabetes Association (ADA), European
Association for the Study of Diabetes, dan International Diabetes Federation
merekomendasikan penggunaan HbA1c untuk diagnosis DM. Pada tahun 2010,
ADA merekomendasikan kadar HbA1c diatas 6,5% sebagai diagnosa DM (Herman
dan Cohen, 2012).
2.1.3 Glycosylated Hemoglobin
Glikosilasi dari hemoglobin (HbA1c) pertama kali dikenali pada tahun
1960. Pada tahun 1970, HbA1c pertama kali diajukan sebagai indikator dari
toleransi glukosa dan regulasi glukosa pada diabetes. Sejak tahun 1980-an, HbA1c
telah diterima sebagai indek rata-rata kadar glukosa pada pasien DM, ukuran risiko
dari perkembangan komplikasi DM, dan sebagai ukuran dari kualitas terapi DM.
Konsep sederhana dari penggunaan HbA1c adalah umur dari eritrosit yang konstan,
eritrosit sangat permeabel terhadap glukosa, HbA1c terjadi secara proporsional
langsung terhadap kadar glukosa lingkungan, dan HbA1c memberikan gambaran
kondisi kadar glukosa 120 hari yang lampau (Herman dan Cohen, 2012).
7
Klasifikasi etiologi DM menurut konsensus Perkeni, 2011
Tabel 2.1
Klasifikasi Etiologi DM
Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus
ke defisiensi insulin absolut
Autoimun
Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi mulai yang terutama
dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang
terutama defek insulin disertai
resistensi insulin.
Tipe lain Defek genetik sel beta
Penyakit eksokrin pankreas
Endokrinopati
Karena obat atau zat
Infeksi
Sebab imunologi yang jarang
Sindrom genetik lain yang
berkaitan dengan DM
DM gestasional
HbA1c terbentuk melalui jalur non enzimatik akibat dari hemoglobin yang
normal terpapar oleh kadar glukosa yang tinggi dalam plasma. Pengukuran kadar
HbA1c adalah salah satu metode yang digunakan untuk pemantauan kontrol
glukosa pada pasien dengan DM. Keluaran produksi dari produk-produk glikasi
awal merupakan perubahan akut yang reversibel yang dipengaruhi oleh
hiperglikemia. Produk-produk glikasi ini dibentuk oleh intra dan ekstrasel, sebagai
8
glucose rapidly attaches pada kelompok amino dari protein yang merupakan proses
non enzimatik dari nucleophilic addition, membentuk shiff base adducts. Dalam
hitungan jam, adducts ini mencapai level keseimbangan yang proporsional pada
konsentrasi glukosa plasma dan kemudian mengalami penataan ulang menjadi
bentuk yang lebih stabil dari produk glikasi awal, yang mencapai keseimbangan
dalam periode beberapa minggu. Salah satu protein terglikasi yang dimaksud adalah
HbA1c (Sultanpur dkk, 2010).
Saat molekul hemoglobin terglikosilasi, yaitu suatu penumpukan dari
hemoglobin terglikasi dalam sel darah merah, dapat merefleksikan kadar rata-rata
dari glukosa dimana sel tersebut nantinya dikeluarkan dalam siklus hidupnya.
Penilaian HbA1c dapat menilai efektivitas terapi dengan memonitoring regulasi
glukosa darah dalam jangka panjang. Nilai HbA1c merupakan konsentrasi glukosa
plasma yang proporsional dalam waktu 4 minggu hingga tiga bulan (Sultanpur dkk,
2010).
Hubungan antara HbA1c dengan glukosa dalam plasma sangat komplek.
Kadar HbA1c yang tinggi akan ditemukan pada orang dengan kadar gula yang
tinggi, seperti pada penderita DM. Pada penderita DM dengan kontrol glukosa yang
baik, akan mempunyai kadar HbA1c dalam batas normal. Beberapa penelitian
menjelaskan bahwa HbA1c adalah suatu indek dari kadar rata-rata glukosa plasma
dalam beberapa minggu atau bulan (Sultanpur dkk, 2010). PERKENI (2011),
merekomendasikan pemeriksaan HbA1c dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali
dalam setahun, dengan target terapi adalah kadar HbA1c < 7%.
9
Tabel 2.2
Perkiraan kadar HbA1c dihubungkan dengan kadar Glukosa rata-rata
(Sultanpur dkk, 2010)
Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, DM akan menyebabkan
terjadinya berbagai komplikasi. Komplikasi yang disebabkan oleh DM dapat
berupa komplikasi akut maupun komplikasi kronik. Komplikasi akut dapat berupa
ketoasidosis diabetik, koma hiperosmolar non ketotik dan hipoglikemia, sedangkan
komplikasi kronik dapat berupa mikroangiopati maupun makroangiopati. Adanya
pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang tidak normal adalah dasar terjadinya
komplikasi kronik pada DM. Perubahan terutama terjadi pada endotel pembuluh
darah, sel otot polos pembuluh darah maupun sel mesangial ginjal (Waspadji,
2006). Salah satu komplikasi DM yang jarang dikemukakan adalah gangguan
fungsi kognitif yang dianggap merupakan kombinasi dari komplikasi mikro dan
makrovaskular (Kodl dan Seaquist, 2008).
10
2.2 Fungsi Kognitif
Neurologi perilaku (behavior neurology) mempelajari perilaku manusia
(human behavior) dalam hubungannya dengan kelainan di otak. Perilaku dalam
konteks ini mencakup fungsi bahasa, memori, kalkulasi dan visuospasial yang
bersifat lokal dan spesifik, serta intelegensi dan personalitas yang bersifat
kompleks. Pengertian tentang kognitif masih sukar didefinisikan dengan tepat dan
pengertian yang lebih sesuai dengan behavior neurology adalah sebagai berikut:
kognitif adalah suatu proses dimana semua masukan sensorik (taktil, visual, dan
auditorik) akan diubah, diolah, disimpan, dan selanjutnya digunakan untuk
hubungan interneuron secara sempurna sehingga individu mampu melakukan
penalaran terhadap masukan sensorik tersebut (Wijoto dan Poerwadi, 2011).
Dalam behavioral neurology diterapkan konsep yang mencakup lima
domain kognitif yaitu atensi, bahasa, memori, pengenalan ruang (visuospatial) dan
fungsi eksekutif yang meliputi perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan.
Penilaian gangguan kognitif akan mengacu pada konsep tersebut (Kusumoputro,
2003).
2.2.1 Manifestasi Gangguan Fungsi Kognitif
Manifestasi gangguan fungsi kognitif dapat meliputi gangguan pada
domain-domain kognitif yang meliputi atensi, bahasa, memori, visuospasial dan
fungsi eksekutif.
a. Gangguan Atensi
Atensi adalah kemampuan seseorang untuk memusatkan perhatian terhadap
suatu stimulus spesifik tanpa terganggu oleh stimulus eksternal lainnya. Gangguan
11
atensi terjadi karena penderita gagal atau tidak mampu mempertahankan
konsentrasi sehingga penderita sering mengalihkan perhatian. Penderita biasanya
menyadari akan gangguannya dan dapat menceritakan kesulitannya. Fungsi atensi
dan konsentrasi merupakan peranan dari reticular activating system (RAS) yang
terletak dibatang otak nukleus talamik, pusat asosiasi multimodal yang berada di
prefrontal, serta parietal posterior dan temporal anterior. Pemeriksaan fungsi atensi
perlu dikerjakan di awal pemeriksaan fungsi kognitif, hal ini dikarenakan hasil yang
valid dari pemeriksaan dari fungsi kognitif ditentukan dari fungsi atensi yang baik
(Black dan Strub, 2000).
b. Gangguan Bahasa
Bahasa merupakan dasar dari komunikasi manusia dan merupakan dasar
dari kemampuan kognitif. Selain atensi, kemampuan berbahasa juga harus
ditentukan di awal pemeriksaan fungsi kognitif. Kemampuan berbahasa terdiri dari
beberapa modalitas yaitu bicara spontan, pemahaman, pengulangan, penamaan,
membaca dan menulis, dimana pemeriksaan fungsinya harus dilaksanakan secara
berurutan. Gangguan berbahasa disebut afasia yaitu gangguan berbahasa yang
didapat dimana penderita sebelumnya normal. Gangguan berbahasa merupakan
salah satu gangguan fungsi kognitif yang cukup banyak dijumpai dan relatif mudah
dikenali, sehingga sering menjadi keluhan utama disamping keluhan fisik yang ada.
Ganguan berbahasa dapat terlihat pada pasien dengan kelainan otak fokal maupun
general (Black dan Strub, 2000)
12
c. Gangguan memori
Daya ingat atau memori memungkinkan seseorang untuk menerima dan
menyimpan informasi serta memanggilnya kembali bila diperlukan (recall).
Gangguan dalam proses memori menimbulkan gangguan memori. Berdasarkan
waktu saat informasi diterima dan dipanggil kembali (recall), dikenal istilah
memori segera (immediate memory) dimana interval informasi dan recall hanya
beberapa detik, memori baru (recent memory) dengan interval stimulus-recall
setelah beberapa menit, jam atau beberapa hari dan memori jangka panjang (remote
memory) dimana recall dilakukan bertahun-tahun setelah informasi diterima dan
disimpan (Black dan Strub, 2000).
d. Gangguan Visuospasial
Kemampuan visuospasial adalah kemampuan untuk menggambar atau
membangun bentuk 2 atau 3 dimensi. Kemampuan visuospasial merupakan
kemampuan kognitif non verbal yang memerlukan integritas fungsi lobus
oksipitalis, parietalis dan frontalis. Kerusakan otak ringan ataupun dini dapat
memperlihatkan gangguan fungsi ini. Gangguan dapat berupa kesulitan melakukan
tes-tes yang memerlukan kemampuan konstruksional, dalam kondisi berat dapat
terjadi gangguan mengenal wajah seseorang maupun tersesat di daerah yang sudah
dikenalnya (Black dan Strub, 2000).
e. Gangguan fungsi eksekutif
Fungsi eksekutif adalah dimensi behavior tentang bagaimana perilaku itu
diekspresikan. Secara konseptual fungsi eksekutif memiliki 4 komponen yaitu
kemampuan untuk menentukan tujuan, perencanaan, pelaksanaan rencana untuk
13
mencapai tujuan dan kinerja yang efektif. Fungsi eksekutif yang baik diperlukan
dalam mencapai fungsi sosial yang efektif (Lezak dkk., 2004).
2.2.2 Tahapan Penurunan Fungsi Kognitif
Terdapat tiga tahap penurunan fungsi kognitif, dari yang masih dianggap
normal sampai patologis dan pola ini sebagai suatu spektrum dari ringan sampai
berat, yaitu (1) Mudah lupa (forgetfulness), (2) Mild Cognitive Impairment (MCI),
(3) Demensia (PERDOSSI, 2007).
1. Mudah Lupa (Forgetfulness)
Mudah lupa merupakan keadaan yang sering ditemukan. Dibedakan
mudah lupa ringan (benign senescent forgetfulness) atau yang juga disebut
mudah lupa terkait usia (age associated memory impairment) dan malignant
forgetfulness yang patologis. Pada mudah lupa ringan terjadi gangguan
recall informasi yang telah tersimpan dalam memori, biasanya pasien
mengatasinya dengan melakukan sirkumlokusi dan terbantu dengan
pemberian isyarat. Pada malignant forgetfulness terjadi gangguan pada
proses belajar atau pencatatannya sehingga penderita akan kesulitan dengan
recent memory dan sedikit terganggu dengan remote memory
(Kusumoputro, 2003).
2. Mild Cognitive Impairment (MCI)
Konsep MCI diperuntukkan bagi mereka yang mengalami penurunan
fungsi kognitif namun tidak memenuhi kriteria demensia. Keluhan memori
dikemukakan oleh penderita, keluarga atau dokter keluarganya. Pada MCI
fungsi kognitif global masih baik, aktifitas hidup sehari-hari yang sederhana
14
(activity of daily living, ADL) masih baik, tetapi menunjukkan gangguan
dalam aktifitas hidup sehari-hari yang bersifat lebih kompleks. Pada
pemeriksaan fungsi kognitif yang teliti, menunjukkan penurunan pada
domain memori atau domain lainnya. Namun ganguan fungsi kognitif ini
masih ringan dan belum cukup parah untuk menyebabkan gangguan
keseharian yang komplek (Visser, 2006). Keadaan ini perlu diwaspadai
karena kemungkinan menjadi demensia cukup tinggi yaitu sekitar 12%
pertahun (PERDOSSI, 2007)
3. Demensia
Demensia ditandai adanya gangguan kognitif, fungsional, dan perilaku,
sehingga terjadi gangguan pada pekerjaan, aktivitas harian, dan sosial.
Menurut International Classification of Disease 10th revision (ICD-10)
demensia adalah suatu keadaan perburukan fungsi intelektual meliputi
memori dan proses berpikir, sehingga mengganggu aktivitas kehidupan
sehari. Gangguan memori khas mempengaruhi registrasi, penyimpanan dan
pengambilan informasi. Dalam hal ini harus terdapat gangguan proses
berpikir dan reasoning disamping proses memori. Sedangkan demensia
menurut DSM-IV adalah penurunan fungsi kognitif yang multipel terutama
memori disertai sedikitnya gangguan salah satu fungsi kognitif berikut:
afasia, apraksia, agnosia, serta gangguan dalam melakukan pekerjaannya.
Penurunan funsi kongitif harus berat sampai mengganggu pekerjaan atau
hubungan sosial. Tidak terdapat delirium, meskipun demensia dapat terjadi
bersamaan delirium. Penyebab demensia dapat berhubungan dengan
15
keadaan umum, termasuk penyalahgunaan bahan-bahan atau gabungan dari
faktor-faktor tersebut.
Gangguan fungsi kognitif dapat terjadi karena berbagai proses di otak,
diantaranya gangguan serebrovaskuler, infeksi susunan saraf pusat, gangguan
pernafasan, gangguan metabolik, maupun proses penuaan abnormal (PERDOSSI,
2007). Gangguan fungsi kognitif mungkin juga dapat disebabkan oleh tindakan
bedah intervensi pada penyakit kardiovaskuler, radiasi dan chemoteraphy untuk
kanker, dan pengobatan yang diberikan untuk mengontrol gejala-gejala fisik. Lebih
lanjut, GFK merupakan gejala lanjutan yang sering ditemui dari berbagai penyakit
yang secara langsung mempengaruhi sistem saraf pusat (Mitrushina, 2009)
Deteksi dini GFK sangat penting untuk pencegahan sekunder. Karena
preventif primer dari GFK belum tersedia, identifikasi dini memungkinkan
diagnosis dan terapi, meningkatkan kemampuan fungsional, mencegah komplikasi,
pemantauan masyarakat dan perencanaan kesehatan masyarakat (Mitrushina,
2009).
2.2.3 Pemeriksaan Fungsi Kognitif
Pemeriksaan fungsi kognitif meliputi evaluasi memori, orientasi, bahasa,
kalkulasi, praksis, visuospasial, dan visuoperseptual. Mini Mental State
Examination (MMSE) adalah salah satu screening yang berguna untuk mengetahui
adanya disfungsi kognisi (PERDOSSI, 2007).
1. Mini Mental State Examination (MMSE)
MMSE pertama kali dipublikasikan pada tahun 1975, dan sejak saat itu
telah banyak digunakan dalam pemeriksaan gangguan fungsi kognitif.
16
Pemeriksaan MMSE meliputi beberapa fungsi domain yaitu: orientasi,
registrasi, atensi atau kalkulasi, mengingat kembali, penamaan,
pengulangan, komprehensif, menulis, dan konstruksi. MMSE mempunyai
keterbatasan baik dalam sentifitas maupun spesivitas, dan hanya digunakan
sebagai sarana untuk screening dan bukan sebagai sarana untuk diagnosis.
Penggunaan MMSE harus dikombikasikan dengan metode yang lain.
Dengan cutoff 23, MMSE memiliki nilai sensitivitas sebesar 86% dan
spesivitas sebesar 91% untuk mendeteksi demensia pada komunitas, tetapi
dengan nilai ini tidak sensitif dan tidak dapat mendeteksi adanya MCI. Nilai
yang normal pada MMSE tidak sertamerta menyingkirkan adanya suatu
demensia. MMSE juga mempunyai nilai false positive yang cukup tinggi.
Karena itu penggunaan MMSE harus dikombinasikan dengan metode yang
lain (Mitchell, 2009; Campbell, 2013).
2. Montreal Cognitive Assessment (MoCA)
Pemeriksaan fungsi kognitif lengkap memerlukan banyak waktu dan tidak
semua klinisi dapat mengerjakannya. The Montreal Cognitive Assessment
(MoCA) memerlukan waktu 10-15 menit dalam pengerjaannya. MoCA
mampu menilai domain-domain kognitif seperti memori lambat, kelancaran
berbicara, visuospasial, clock drawing, fungsi eksekutif, kalkulasi,
pemikiran abstrak, bahasa, orientasi, atensi, dan konsentrasi. Skor maksimal
tes ini adalah 30, dimana nilai 26-30 dikatagorikan sebagai normal,
sedangkan skor <26 digolongkan mengalami gangguan kognitif. Pada
subyek yang memiliki masa pendidikan <12 tahun, ditambahkan 1 poin
17
pada skor total. Pada validasi MoCA yang melibatkan 227 partisipan
berbahasa Prancis dan Inggris, didapatkan sensitivitas sebesar 90% dan
spesivitas sebesar 87% dalam mendeteksi MCI dibandingkan dengan
normal (Nasreddine dkk., 2005; Chertkow dkk, 2008).
Pada studi validasi yang dilakukan di Kanada oleh Smith dkk (2007),
dengan nilai cutoff 26, MMSE mempunyai sensitivitas sebesar 17% dan
spesivitas 100% untuk mendeteksi penderita dengan MCI, sedangkan MoCA
mempunyai sensitivitas 83% dan spesivitas 50%. Dalam mendeteksi dementia,
MMSE mempunyai sensitivitas 25% dan spesivitas 100%, sedangkan MoCA
mempunyai sensitivitas 94 % dan spesivitas 50%.
Tes validasi MoCA telah dilakukan di Indonesia, dari hasil penelitian ini
didapatkan nilai kappa total diantara 2 dokter adalah 0,820. Didapatkan bahwa
tes MoCA versi Indonesia (MoCA-Ina) telah valid menurut kaidah validasi
transkultural sehingga dapat digunakan baik oleh dokter ahli saraf maupun
dokter umum (Husein dkk., 2010).
2.3 Gangguan Kognitif pada DM Tipe 2
Pada penderita DM tipe 2 dapat ditemukan gangguan fungsi kognitif. Suatu
studi melaporkan bahwa pada pasien dengan DM mempunyai nilai penurunan
fungsi kognitif yang lebih besar dibandingkan dengan kontrol, yaitu dengan risiko
1,5 terjadinya GFK, dan 1,6 kali lebih besar untuk terjadinya demensia (Cukierman
dkk, 2005). DM tipe 2 telah dihubungkan dengan percepatan penurunan gangguan
fungsi kognitif, dan faktor risiko dari demensia (Kodl dan Seaquist, 2008; Ruis,
18
dkk, 2009). Penyebab pasti terjadinya peningkatan mortalitas dan morbiditas pada
DM masih belum diketahui, tetapi beberapa penelitian menunjukkan adanya
hubungan antara beberapa komplikasi DM dengan derajat hiperglikemi yang diukur
dengan kadar HbA1c (Cukierman-yafee, 2009).
Tabel 2.3
Domain Kognitif yang terganggu pada DM tipe 2
(Kodl dan Seaquist, 2008)
Memori (Memory)
Memori Verbal (Verbal Memory)
Retensi Visual (Visual Retension)
Memori Kerja (Working Memori)
Memori Segera (Immediate Recall)
Memori Lambat (Delayed Recall)
Kecepatan Psikomotor (Psychomotor Speed)
Fungsi Eksekutif (Executive Function)
Kecepatan Memproses Informasi (Processing Speed)
Funsi Motorik Komplek (Complex Motor Function)
Gangguan Verbal (Verbal Fluency)
Atensi (Attention)
Depresi (Depression)
2.3.1 Hubungan Kontrol Gula Darah dan GFK
Kontrol glukosa mempunyai peran dalam menentukan GFK pada pasien
dengan DM tipe 2, walaupun penelitian dalam hal ini masih banyak pertentangan.
Cukierman-Yaffe dkk (2009), melaporkan suatu penelitian terhadap 3000 penderita
DM tipe 2 menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara GFK dengan
derajat hiperglikemia yang diukur dengan menggunakan kadar HbA1c. Yaffe dkk
19
(2012), melakukan penelitian untuk melihat hubungan kontrol gula darah yang
diukur menggunakan kadar HbA1c dengan GFK. Yafee membagi kadar HbA1c
menjadi rendah (HbA1c <7%), sedang (7-8%) dan tinggi (> 8%), didapatkan bahwa
kelompok dengan kadar HbA1c sedang atau tinggi mempunyai nilai yang rendah
pada pemeriksaan The Modified Mini-Mental State Examination (3MS) dan The
Digit Symbol Substitution Test (DSST), dibandingkan dengan kelompok dengan
kadar HbA1c rendah. Nilai yang rendah pada kedua pemeriksaan ini menunjukkan
adanya GFK.
Cukierman-Yaffe dkk (2009), menjelaskan beberapa kemungkinan yang
dapat mendasari terjadinya hal tersebut. Kemungkinan pertama adalah karena
tingginya kadar glukosa berhubungan dengan tingginya prevalensi dari risiko
kardiovaskular dan penyakit serebrovaskular, dan hubungan terjadinya GFK
mungkin melalui penyakit serebrovaskuler. Kemungkinan kedua adalah paparan
kadar glukosa yang tinggi dalam jangka waktu lama mungkin mempercepat
terjadinya GFK. Kemungkinan ketiga adalah tingginya kadar HbA1c
menggambarkan terjadinya penurunan fungsi insulin baik sekresi, aktivasi atau
keduanya. Terdapat banyak reseptor insulin di otak. Beberapa mempunyai peran
dalam transpor glukosa, dan beberapa diperkirakan mempunyai peran dalam proses
kognitif. Beberapa penelitian telah memperkirakan bahwa penurunan fungsi
kognitif merupakan akibat dari penurunan efek insulin di otak.
2.3.2Patofisiologi
Beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan terjadinya hubungan antara
DM dan GFK antara lain: DM merupakan salah satu faktor risiko penyakit
20
serebrovaskuler, hubungan antara GFK dan DM mungkin melalui proses penyakit
serebrovaskular. Depresi terjadi lebih sering pada pasien dengan diabetes dan
secara klinis hal ini cukup susah untuk dibedakan dengan GFK (Cukierman dkk,
2005).
Patofisiologi yang mendasari perkembangan ganguan fungsi kognitif pada
penderita DM belum dapat sepenuhnya dijelaskan. Berbagai hipotesis (seperti
terlihat pada gambar 2.1), dengan bukti pendukung yang ada, menjelaskan berbagai
peran potensial hiperglikemia, penyakit vaskuler, hipoglikemia, resistensi insulin
dan deposisi amiloid dengan kejadian GFK pada penderita DM (Kodl dan Seaquist,
2008).
Gambar 2.1 Mekanisme yang mungkin berperan pada terjadinya GFK pada
penderita DM. Tidak semua mekanisme muncul pada setiap penderita
(Kodl dan Seaquist, 2008).
Hiperglikemia
menginduksi kerusakan
organ target
“penyakit microvaskuler”
Resistensi Insulin “penyakit
makrovaskuler”
serebrovaskular
Hilangnya C-
peptida Hilangnya
alelApoε4
Hipoglikemia
Gangguan fungsi
kognitif
21
Peran Hiperglikemia
Mekanisme hiperglikemia menyebabkan GFK belum jelas. Pada organ yang
lain, hiperglikemia merusak fungsi organ melalui melalui berbagai jalur
mekanisme, seperti aktivasi jalur poliol, peningkatan pembentukan advanced
glycation end products (AGEs), aktivasi diacylglycerol (DAG) dari protein kinase
C (PKC), dan peningkatan pemindahan glukosa dalam jalur hexosamine.
Mekanisme yang sama mungkin terjadi pada otak dan mengiduksi perubahan fungsi
kognitif yang terdeteksi pada penderita DM (Kodl dan Seaquist, 2008).
Pada jalur poliol (Gambar 2.2), enzim aldose reduktase berfungsi
menurunkan toksik aldehyde pada sel untuk menonaktifkan alkohol, tetapi pada
kondisi kadar glukosa dalam darah tinggi, aldose reductase juga menurunkan
glukosa menjadi sorbitol, yang kemudian teroksidasi menjadi fruktosa. Sorbitol dan
fruktosa keduanya tidak terfosforilasi, tetapi bersifat sangat hidrofilik, sehingga
lamban penetrasinya melalui membran lipid bilayer. Akibatnya terjadi akumulasi
poliol intraselular, dan sel akan membengkak, akibat masuknya air ke dalam sel
karena proses osmotik. Sebagai akibat dari proses tersebut akan terjadi
ketidakseimbangan elektrolit dan metabolit yang secara keseluruhan akan
mengakibatkan kerusakan sel. Pada proses penurunan kadar glukosa intraselular
yang tinggi menjadi sorbitol, aldose reductase menggunakan kofaktor
Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate Hidrogenase (NADPH) yang
merupakan kofaktor yang penting untuk regenerasi antioksidan intraselular dan
menurunkan kadar glutathione. Menurunnya kadar NADPH dikenal sebagai
keadaan pseudohipoksia. NADPH juga sangat diperlukan dalam proses pertahanan
22
antioksidan sehingga menurunnya kadar NADPH akan menyebabkan terjadinya
stres oksidatif yang lebih besar (Brownlee,2005; Waspadji, 2006) .
Gambar 2.2 Hiperglikemia meningkatkan perubahan pada jalur poliol
(Brownlee, 2005)
Pada pembentukan AGEs terdapat tiga mekanisme kerusakan sel (Gambar
2.3). Mekanisme pertama, dimana sel endotelial mengalami modifikasi termasuk
protein intraselular. Protein ini mempunyai peranan pada regulasi transkripsi gen.
Mekanisme kedua, prekursor AGEs keluar secara difus dari dalam sel dan merubah
matrik molekul ekstraselular, dan perubahan ini menyebabkan disfungsi selular.
Mekanisme ketiga, prekursor AGEs secara difus keluar dari dalam sel dan merubah
protein yang bersirkulasi dalam darah termasuk albumin. Perubahan protein yang
bersirkulasi akan berikatan dengan reseptor AGEs (RAGEs) dan akan terjadi
aktivasi mitogen activated protein kinase (MAPK) dan transformasi inti dari faktor
transkripsi NF-kB, sehingga terjadi perubahan transkripsi gen target terkait dengan
mekanisme proinflamatori dan molekul perusak jaringan (Brownlee, 2005).
23
Gambar 2. 3 Peningkatan produksi dan konsekuensi patologis AGEs
(Brownlee, 2005)
Peran AGEs dan RAGEs pada perkembangan komplikasi DM pada otak
masih belum jelas. Suatu penelitian pada tikus dengan diabetes yang menunjukkan
gangguan kognitif ditemukan peningkatan RAGEs pada neuron dan sel glia dan
terjadi kerusakan pada substansia alba dan myelin, yang menunjukkan
kemungkinan adanya peran dari RAGEs dalam perkembangan gangguan fungsi
serebral (Toth dkk, 2006)
Hiperglikemia intraselular akan meningkatkan diacyllycerol (DAG)
intraselular, dan selanjutnya akan meningkatkan PKC, terutama PKC-β. Perubahan
ini akan berpengaruh pada sel endotel, menyebabkan terjadinya vasoreaktivitas
melalui keadaan meningkatnya endotelin-1 dan menurunnya e-NOS. Peningkatan
PKC akan menyebabkan proliferasi sel otot polos dan menyebabkan terbentuknya
sitokin serta berbagai faktor pertumbuhan seperti transforming growth factor β
(TGF-β) dan vascular endothelial growth factor (VEGF). Protein kinase C juga
24
akan berpengaruh menurunkan aktifitas dari fibrinolisis (Gambar 2.4). Semua
keadaan tersebut akan menyebabkan perubahan-perubahan yang selanjutnya akan
mengarah kepada angiopati diabetik (Waspadji, 2006).
Gambar 2.4 Peranan hiperglikemia dalam menginduksi PKC
(Brownlee, 2005)
Mekanisme terakhir akibat hiperglikemia adalah terjadinya perubahan pada
jalur hexosamine (Gambar 2.5). Pada kondisi kadar gula yang tinggi pada
intraselular, sebagian besar glukosa ini akan dimetabolisme melalui proses
glikolisis, glukosa akan dirubah menjadi glukosa-6 phospat kemudian menjadi
fruktosa-6 phospat. Fruktosa-6 phospat akan dirubah menjadi glukosamin-6
phospat dengan menggunakan enzim glutamine fructose-6 phosphate
amidotransferase (GFAT) dan selanjutnya menjadi uridine diphosphate (UDP) N-
acetyl glucosamine. Serupa dengan proses phosporilasi dan overmodifikasi oleh
glukosamine yang lain, hal ini sering menyebabkan terjadinya perubahan ekspresi
gen yang patologis. Pada akhirnya kondisi ini akan meningkatkan ekspresi dalam
perubahan transforming growth factor-β1 dan plasminogen activator inhibitor-1
25
(PAI-1), dimana keduanya akan memberikan efek buruk terhadap pembuluh darah
(Brownlee, 2005).
Gambar 2. 5 Hiperglikemia meninkatkan perubahan pada jalur hexosamine
(Brownlee, 2005)
Peran Penyakit Vaskular
Pasien dengan diabetes mempunyai risiko terjadinya stroke trombosis 2
hingga 6 kali, dan penyakit vaskuler telah lama dihipotesiskan mempunyai
kontribusi terhadap GFK. Suatu studi autopsi pada pasien dengan DM yang lama
menunjukkan perubahan yang terkait penyakit vaskuler, seperti degenerasi otak
menyeluruh, pseudocalsinosis, demielinisasi dari nervus kranialis dan medula
spinalis, dan fibrosis saraf. Penebalan pada basal kapiler yang merupakan pertanda
mikroangiopati diabetes, juga ditemukan pada otak penderita dengan DM (Kodl
dan Seaquist, 2008). Pada penderita DM juga ditemukan penurunan aliran darah ke
otak secara global, dimana hal ini serupa dengan yang ditemukan pada pasien
dengan demensia. Diperkirakan bahwa penurunan aliran darah otak, bersama-sama
dengan stimulasidari reseptor thromboxane A2 dapat terjadi pada penderita DM,
26
dimana hal ini berkontribusi pada ketidakmampuan pembuluh darah serebral utuk
melakukan vasodilatasi secara adekuat yang dapat meningkatkan kejadian iskemia.
Iskemia dan hiperglikemia secara bersama-sama mungkin menyebabkan kerusakan
pada otak, dimana hiperglikemia pada kondisi iskemia akan meningkatkan produksi
laktat sehingga menyebabkan asidosis yang akan memperburuk kerusakan pada
otak (Kodl dan Seaquist, 2008).
Peran Hipoglikemia
Pasien dengan DM dapat terjadi kondisi hipoglikemia yang timbul akibat
peningkatan kadar insulin yang kurang tepat atau obat yang meningkatkan produksi
insulin seperti sufonilurea. Hampir semua pasien yang mendapat terapi insulin dan
sebagian besar pasien yang mendapat terapi sulfonilurea pernah mengalami kondisi
hipoglikemia. Episode berulang dari hipoglikemia yang berat telah dikaitkan
sebagai kemungkinan penyebab GFK pada penderita DM. Kondisi hipoglikemia
dapat menyebabkan kerusakan dan kematian sel otak. Oleh karena otak hanya
menyimpan glukosa dalam jumlah yang sedikit, maka fungsi otak sangat tergantung
pada kadar glukosa dalam sirkulasi (Soemadji, 2006). Hipoglikemi mungkin
mempunyai efek terhadap fungsi kognitif, tetapi hanya sedikit bukti yang
mendukung bahwa GFK disebabkan oleh hipoglikemia (Cukierman dkk, 2005).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penderita DM dengan GFK lebih
rentan terhadap kejadian hipoglikemia. Bruce dkk (2009), dengan menggunakan
sampel sebanyak 302 penderita DM pada the Fremantle diabetes study
danPunthakee dkk (2012), pada penelitian ACCORD yang melibatkan 2.956
penderita DM tipe 2, melaporkan bahwa GFK merupakan faktor risiko penting
27
terjadinya hipoglikemia pada penderita DM. Bruce dkk (2009), juga melaporkan
bahwa tidak ada bukti yang mendukung bahwa hipoglikemia menyebabkan
terjadinya GFK. Feinkohl dkk, (2014) pada the Edinburgh Type 2 Study dengan
menggunakan sampel sebesar 831 penderita DM tipe 2 dan dilakukan observasi
selama 4 tahun melaporkan bahwa penderita dengan GFK pada awal penelitian
akan meningkatkan kejadian hipoglikemi sebesar dua kali lipat. Hal ini
dimungkinkan karena penderita dengan GFK kurang dapat mengenali gejala
hipoglikemia, melakukan terapi yang tepat bila hal ini terjadi serta mencegah
terjadinya hipoglikemia dengan memodifikasi terapi diabetes.
Peran Resistensi Insulin
Resistensi insulin diduga dapat menyebabkan terjadinya GFK, hal ini
dikarenakan resistensi insulin lebih banyak ditemukan pada pasien dengan
demensia dibandingkan dengan orang sehat. Mekanisme resistensi insulin
menyebabkan terjadinya GFK masih belum jelas, tetapi telah diduga akibat
peningkatan pembentukan amiloid, selain itu juga diperkirakan bahwa peningkatan
risiko GFK pada resistensi insulin diakibatkan oleh kelainan mikrovaskuler
(Geroldi dkk, 2005).