Post on 13-Mar-2019
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Dalam bab ini dipaparkan referensi-referensi yang menjadi acuan dalam
penelitian. Referensi-referensi tersebut dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama
fokus pada Ubud dan kepariwisataanya, sedangkan pada bagian kedua fokus pada
isu-isu kepariwisataan yang terjadi di Bali. Pada tiap-tiap poin pembahasan
dipaparkan critical review penelitian sebelumnya selanjutnya disandingkan dengan
penelitian dengan tiga alasan. Alasan pertama, agar state of the art penelitian
terdahulu terlihat perbedaan dan persamaannya jika dibandingkan dengan penelitian
ini. Alasan kedua, melihat adanya relevansi penelitian terdahulu dengan penelitian
ini lewat poin critical review. Alasan ketiga, membagi referensi-referensi dengan
penggolongan khusus sekaligus bertujuan menunjukkan kebaruan penelitian dan
menghindari adanya isu-isu plagiat terhadap penelitian ini.
Pada bagian pertama, dibahas beberapa penelitian terdahulu yang fokus
pada kepariwisataan di Ubud dan implikasinya. Adapun penelitian tersebut adalah
penelitian Pemayun (2014), Sukawati (2006), Sudipa (2014), dan MacRae (1997).
Referensi-referensi tersebut ditautkan dengan beberapa buku bacaan yang terkait
dengan perkembangan kepariwisataan dan industri perhotelan di Ubud, seperti Bali
Benteng Terbuka (Nordholt, 2010), Bali, Pariwisata Budaya dan Budaya
Pariwisata (Picard, 1992), Harmoni Budaya dan Kuasa (Sugianto, 2013), Ubud
12
13
Bergerak (Sukawati, 2004), Kembang Rampai Desa Ubud (Sukawati, 2006), dan
Dinamika Ruang Pariwisata Bali (Sukawati, 2009).
Praktik investor dalam industri perhotelan di Ubud sebagai fenomena juga
menggunakan referensi-referensi berupa buku cetak bernapaskan ilmu kajian
budaya. Buku-buku tersebut adalah Dunia yang Dilipat (Piliang, 2004), Teori dan
Praktik Cultural Studies (Barker, 2000), Menelanjangi Globalisasi (Petras, 2014),
Teori Sosial Post Modern (Ritzer, 2003). Buku-buku tersebut disortir dari
banyaknya literatur yang ada tentang ilmu kajian budaya untuk mengkaji topik
praktik investor dalam industri perhotelan di Ubud.
Selain sumber bacaan di atas yang bertemakan ilmu kajian budaya, beberapa
jurnal ilmiah dan penelitian-penelitian terdahulu terkait dengan pariwisata juga
diapresiasi dan dimasukan dalam penelitian. Jurnal-jurnal tersebut antara lain
Global Alliances in Tourism and Hospitality (Crotts dkk., 2000), Hotel Investment
Handbook (Rushmore, 2010). Selanjutnya, diulas penelitian terdahulu yang fokus
tentang Ubud, yakni penelitian Pemayun.
Pada penelitian Pemayun (2014) tampak suatu realitas pergeseran gaya
hidup yang terjadi karena praktik sewa tanah di Ubud. Pemayun menganalisis
bahwa kepariwisataan di kawasan tersebut menyebabkan tanah menjadi suatu aset
yang berharga dan telah dikomersialisasikan karena sangat erat terkait dengan
hukum permintaan dan pertumbuhan fasilitas kepariwisataan di Ubud. Alih fungsi
lahan terjadi akibat perluasan pariwisata yang menyebabkan masyarakat sekitar
menyewakan tanah untuk memperoleh modal finansial. Peningkatan finansial
sebagai tambahan modal menyebabkan meningkatnya taraf pendidikan keluarga
14
para pemilik tanah. Lewat modal tersebut mereka mampu menyekolahkan anak atau
keluarganya pada jenjang yang lebih tinggi. Pada sektor keagamaan, mereka pun
meningkat. Hal itu terjadi karena mereka mampu membiayai ritual keagamaan
keluarga dan yang terpenting, yaitu terjadinya perubahan gaya hidup masyarakat
lokal di Ubud.
Penelitian Pemayun membuka jalan untuk penelitian ini hingga
menginspirasi adanya topik investor dalam industri perhotelan di Ubud. Adanya
peluang investor untuk masuk ke rentang proses pergeseran gaya hidup yang terjadi
secara parsial ini belum dikaji secara mendalam dan menarik untuk diangkat.
Indikasi bahwa para investor yang bergulat untuk memanfaatkan celah pergeseran
pola hidup partial masyarakat Ubud sebagai salah salah satu faktor yang
berpengaruh pada proses investasi yang dilakukan para investor perhotelan. Hak itu
digali lebih dalam untuk melengkapi penelitian Pemayun sekaligus merupakan
keunggulan penelitian ini.
Penelitian Sukawati (2006) berjudul “Perubahan Spasial Desa Adat di
Ubud, Gianyar, Bali dalam Era Globalisasi: Sebuah Kajian Budaya”. Dalam
penelitian itu diwacanakan terjadinya perubahan spasial karena tuntutan
kepentingan kepariwisataan semakin kompleks di desa adat Ubud. Sukawati secara
kritis melihat adanya fenomena global modern, pariwisata menyejahterakan
masyarakat lokal sekaligus mengubah gaya pandang dan orientasi secara parsial
terhadap tata ruang, dan hakikat guna tanah palemahan, pawongan, dan
parahyangan menjadi lebih untuk kepentingan konsumen dengan kata lain telah
dikomodifikasi. Sukawati memaparkan bahwa pariwisata mengubah kelompok
15
banjar yang tidak lagi relevan pada era modernisasi pariwisata. Disamping itu, juga
dipaparkan bahwa kawasan Ubud terkenal memiliki kebudayaan yang tinggi,
memiliki lahan pertanian irigasi yang baik dan dipadu kekayaan seni menjadi modal
untuk menyejahterakan penduduk lokal. Masuknya pariwisata, dapat meningkatkan
pendapatan desa setempat yang selanjutnya menyeimbangkan konsep tri hita
karana lewat kerja sama dengan para stakeholders.
Poin penelitian Sukawati berbeda dengan penelitian ini, terutama pada sudut
pandang dan tinjauan kritis. Sukawati secara kritis membahas fakta perubahan tata
ruang yang terjadi di Ubud, tetapi tidak menyinggung bahwa ada pihak, baik yang
secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi terhadap perubahan
kepariwisataan tersebut, yakni investor. Sebaliknya dalam penelitian ini, investor
menjadi subjek yang diulas secara mendalam. Harapan adanya temuan tentang
praktik investor dalam industri perhotelan berupaya memperkaya penelitian
Sukawati sebagai suatu apresiasi terhadap penelitiannya.
Masih pada seputar kawasan Ubud dan fenomena kepariwisataan yang
terjadi, penelitian Sudipa semakin memperjelas fenomena kepariwisataan di
kawasan tersebut. Fenomena kemiskinan di tengah gemerlap pariwisata di Ubud,
rupanya menarik perhatian Sudipa (2014). Artinya fenomena itu diangkat ke dalam
penelitiannya. Sudipa melatarbelakangi penelitiannya pada realitas pariwisata yang
ternyata tidak mampu menyejahterakan semua lapisan masyarakat di Ubud. Sebagai
implikasinya, segelintir masyarakat tidak dapat menikmati kue pariwisata.
Ketimpangan sosial yang terjadi juga menyebabkan adanya jurang antara si kaya
dan si miskin. Secara kritis Sudipa menyoroti bahwa pariwisata memberikan
16
perubahan sebagai dampak yang ditimbulkan di kawasan Ubud. Dampak yang
pertama adalah ekonomi yang secara langsung dapat dilihat sebagai suatu implikasi.
Selain itu, tingginya biaya hidup, sektor pendidikan, kepemilikan aset, biaya untuk
adat dan ritual sangat kuat mencekik leher, terutama pada kalangan masyarakat
miskin. Di sisi lain, adanya kampanye pariwisata yang memihak untuk semua
kalangan masyarakat hanya omong kosong belaka atau gimmick dari pemerintah.
Sudipa memberikan argumentasi tentang arah kepariwisataan Ubud yang menjadi
pariwisata inklusif, cenderung bersifat komersial, memihak kaum kapitalis, dan
mengesampingkan hak masyarakat Ubud. Ilustrasi yang dicoba diberikan oleh
Sudipa adalah pembangunan homestay yang semakin tersaingi dan digantikan oleh
vila atau bangunan sejenisnya.
Penelitian Sudipa (2014), sama halnya dengan penelitian Pemayun (2011)
dan Sukawati (2005) memberikan suatu update informasi tentang Ubud tetap
menjadi poin penting juga merupakan acuan yang relevan dalam penelitian ini.
Walaupun berada dalam ruang lingkup penelitian yang sama, yakni di kawasan
Ubud tetapi konteks penelitian ini berbeda. Sebagai contoh perbedaan sudut
pandang tiap-tiap penelitian, bukan hanya pihak-pihak yang yang dirundung
kemiskinan yang bergulat menghadapi kondisi riil di Ubud, melainkan juga investor
diasumsikan bergulat dalam mencapai eksistensi perusahaannya.
Sebagai referensi selanjutnya yang diadopsi dalam penelitian ini adalah
penelitian MacRae (1997). Secara garis besar penelitian MacRae dilatarbelakangi
oleh hubungan budaya, ritual, dan ekonomi yang dihubungkan dengan adanya arus
pariwisata yang masuk ke Ubud terhadap masyarakat sebagai suatu simbiosis.
17
Dalam tulisannya, MacRae secara kritis berpendapat bahwa perubahan yang terjadi
di kawasan Ubud merupakan suatu proses evolusi. Pariwisata tidak serta merta
mengubah wajah kawasan Ubud seperti sekarang tetapi melalui suatu proses
perubahan sosial, ekonomi, politik, dan kebijakan pemerintah. Ilustrasi yang dicoba
diberikan oleh MacRae adalah adanya proses evolusi dari pembiayaan ritual oleh
para masyarakat lokal didapatkan dari pertanian dan berdagang. Tetapi, kini dengan
berkembangnya pariwisata otomatis sumber ritual didapatkan dari sektor tersebut.
Masuknya pariwisata di Ubud menstimulus pola kehidupan masyarakat
sekitar. Sendi ekonomi masyarakat Ubud kini bertambah dengan mengembangkan
segala sektor terkait dengan kebudayaan, kesenian, dan pelayanan jasa yang
diberikan secara maksimal kepada wisatawan. Kaitan antara pariwisata dan
peningkatan sektor ekonomi tersebut, menurut MacRae mampu mewujudkan ritual
excellent. MacRae dalam penelitiannya juga memberikan argumen yang menjadi
salah satu poin penting dalam disertasinya bahwa pengawasan masyarakat lokal dan
pihak puri sebagai manajemen dalam memberikan akses ke berbagai pihak dalam
mengelola tanah, pengetahuan budaya, modal investasi, dan kontak dengan
pemerintah. Adanya ketakutan beberapa pihak tentang Ubud ke depan terjadi over
development, harus disikapi dengan idiom “bahwa semuanya akan baik-baik saja
bila semuanya diawasi dengan baik”. Sebagai informasi, penelitian MacRae (1997)
adalah riset dengan rentang waktu paling lama di antara semua referensi yang
digunakan dalam penelitian ini.
Jika penelitian MacRae dibandingkan dengan penelitian ini, tentu saja
terdapat perbedaan. Tulisan MacRae hanya secara tersirat mengemukakan
18
pariwisata sebagai salah satu dari sekian banyak faktor penyebab perubahan pola
kemasyarakatan yang terjadi di Ubud. Peran para investor dan praktiknya sama
sekali tidak dibahas karena adanya asumsi mereka juga merupakan salah satu faktor
yang ikut mengembangkan pembangunan kepariwisataan di Ubud. Pembaruan yang
dilakukan penelitian ini berupaya untuk menemukan bukti bahwa investor
merupakan salah satu komponen yang membawa ideologi perubahan yang tidak
dikupas secara mendalam oleh MacRae.
Dari paparan referensi-referensi tersebut, penelitian ini mempunyai poin-
poin yang berbeda dengan referensi-referensi yang dijadikan acuan. Walaupun
lokasi penelitian sama-sama berada di kawasan Ubud, beberapa argumentasi yang
sudah dipaparkan semakin menguatkan ketidaksamaan penelitian ini. Pada hasil
temuan penelitian, tentu saja akan terdapat perbedaan karena topik penelitian ini
fokus pada ranah perhotelan dan praktik investor. Sebagai penelitian baru yang
mendobrak paradigma lama bahwa kaum kapitalisme selalu menjadi dominator dan
mempunyai kekuatan hegemoni tinggi, penelitian ini menjadi penelitian kajian
budaya pertama yang mengangkat topik praktik investor dalam industri perhotelan
yang seakan tidak tersentuh instansi atau terbongkar oleh media sekaligus
menjawab isu-isu plagiat yang diarahkan kepada penelitian ini.
Pada bagian kedua, dipaparkan referensi-referensi yang disortir berdasarkan
fenomena-fenomena kepariwisataan dan terkait pada subsektor perhotelan di luar
kawasan Ubud. Penelitian Purnaya (2015) dan Mudana (2005) merupakan dua
penelitian yang dipilih karena relevan dan memiliki konteks pada subsektor
perhotelan di luar kawasan Ubud. Selain itu, referensi-referensi berupa buku dipilih
19
berdasarkan topik pariwisata dan industri perhotelan. Referensi-referensi buku
tersebut antara lain Menggugat Rezim Korporasi (Freeman dkk., 2008), Hukum
Bisnis Pariwisata (Sumadi. dkk, 2003), Corporate Culture and Performance
(Kotter, 1992), International Hospitality Management: Corporate Strategy and
Practice (Olsen and Teare, 1992). Intisari dari referensi buku-buku tersebut adalah
dinamisnya perkembangan pariwisata termasuk industri perhotelan. Disamping itu,
juga terjadi pro dan kontra dalam perkembangan pariwisata agar tercipta suatu
strategi dalam pengelolaan kepariwisataan yang lebih baik. Dalam buku-buku
tersebut juga terdapat ilustrasi, yakni beberapa masalah, konflik, dan resistensi yang
kemungkinan menyebabkan disorder dalam kepariwisataan terutama pada industri
perhotelan. Poin paling penting dari referensi tersebut adalah adanya regulasi dan
kebijakan terkait dengan investor menjadikan buku-buku tersebut dipilih dari sekian
banyak buku tentang investasi, kepariwisataan, perhotelan, dan manajemennya.
Referensi yang pertama diulas adalah penelitian Purnaya (2015) tentang Bali
Tourism Development Corporate (BTDC) di Nusa Dua yang tidak luput dari adanya
pengaruh relasi kuasa yang bermain di kawasan tersebut. Purnaya memberikan
adanya dua poin penting tentang praktik-praktik kekuasaan yang dilakukan dalam
pengembangan BTDC di Nusa Dua dalam kurun waktu tersebut. Poin pertama,
adanya permainan relasi kuasa sebagai hasil penelitian dan menjadi referensi
relevan untuk mengkaji apakah terjadi fenomena serupa pada praktik para investor,
terutama pada sektor perhotelan di Ubud. Poin kedua, Purnaya menganalisis era
Orde Baru. Rentang waktu tersebut menjadi acuan pembanding dengan fenomena
yang terjadi kawasan Ubud. Akan tetapi, kondisi kepariwisataan di Ubud tidak bisa
20
disamakan dengan kondisi kepariwisataan di Nusa Dua. Beberapa faktor yang
membedakannya adalah peran serta aktif komponen masyarakat yakni keberadaan
Puri Ubud yang memengaruhi perkembangan industri perhotelan di Ubud, awig-
awig dan perarem (peraturan) yang berlaku di kawasan itu, dan yang paling penting
adalah atmosfir pemerintahan Kabupaten Gianyar. Kritikal poin tersebut tidak
ditemukan dalam penelitian Purnaya yang sekaligus menyebabkan penelitian ini
berbeda dengan penelitian tersebut.
Referensi kedua yang menjadi acuan adalah penelitian Mudana (2005).
Penelitian Mudana berjudul “Pembangunan Bali Nirwana Resort (BNR) di
Kawasan Tanah Lot: Hegemoni dan Perlawanan di Desa Beraban, Tabanan, Bali”.
Latar belakang Mudana mengangkat topik ini karena terjadi kisruh pembangunan
hotel BNR kala itu dan secara kritis melihat adanya isu-isu hingga berujung konflik
antara hotel BNR dan masyarakat lokal setempat. Terjadinya konflik dari warga
lokal setempat, yaitu mempertanyakan tentang janji implementasi hotel BNR yang
berhubungan dengan konsep tri hita karana (poros keseimbangan antara
lingkungan, manusia, dan spiritual). Dalam penelitian itu Mudana juga memberikan
informasi yang penting, yakni seiring dengan runtuhnya Orde Baru, berangsur-
angsur terjadi hubungan yang lebih harmonis antara pihak manajemen hotel BNR
dan warga lokal setempat.
Penelitian Mudana mempunyai kesamaan dengan penelitian Purnaya.
Keduanya berdimensi waktu era zaman Orde Baru. Pada waktu itu pengaruh relasi
kuasa masih sangat kental dan penuh dengan praktik hegemoni (penekanan) pada
para kelompok subaltern dirasa sangat kuat. Penelitian Mudana memberikan
21
inspirasi yang melatarbelakangi penelitian ini dengan poin kritis, yakni investor dan
perpanjangan tangannya, yakni manajemen dalam melakukan praktiknya dan ranah
industri perhotelan sebagai ranah praktik investor. Akan tetapi, poin pembeda
penelitian ini dengan penelitian Mudana adalah lebih jauh mengulas langkah-
langkah strategis yang dilakukan investor agar terlepas dari pergulatan yang
dialami.
Berdasarkan paparan referensi-referensi penelitian terdahulu tersebut dapat
ditarik simpulan bahwa pariwisata termasuk industri perhotelan terus mengalami
pergerakan atau bersifat dinamis. Pergerakan yang dimaksud adalah mengalami
perubahan sesuai dengan rentang waktu atau zaman pemerintahan yang
mengimplikasinya. Beberapa poin, seperti persamaan teori dan metodologi dalam
penelitian sebelumnya, selanjutnya diadopsi ke dalam penelitian ini agar didapatkan
temuan yang akurat. Disamping itu, juga memberikan ulasan lengkap tentang
praktik investor dalam industri perhotelan di Ubud sebagai keunggulan penelitian.
2.2 Konsep Penelitian
Ada tiga konsep penelitian yang diulas pada subbab ini. Konsep tersebut
adalah (1) praktik investor. 2) praktik investor dalam industri perhotelan sebagai
fenomena, ideologi, dan makna, serta (3) Industri perhotelan. Ketiga konsep
tersebut selanjutnya dijelaskan satu per satu sebagai berikut.
2.2.1 Praktik Investor
Pada konsep pertama diulas tentang investor perhotelan dan paradigma
mereka dalam menjalankan praktiknya. Konsep ini dimasukkan karena terkait
sangat erat dengan permasalahan tentang praktik investor yang menjadi subjek
22
penelitian. Secara garis besar, investor selalu diidentikkan secara sempit mencari
keuntungan, tetapi melalui suatu proses (Sumadi dkk, 2003: 64). Konsep praktik
investor juga dikaitkan dari sudut pandang ilmu kajian budaya sebagai kelas
dominan dan memiliki modal yang besar (Bourdieu dalam Basis, 2003:12). Dalam
ranah pariwisata, konsep praktik investor tetap sebagai kelas dominan, tetapi
diasumsikan menggunakan strategi tertentu untuk mencari keuntungan.
Kata praktik investor sebelumnya sudah disinggung dalam latar belakang
tetapi dipaparkan secara mendalam dalam konsep ini. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) online, kata „praktik‟ dalam konsep „praktik investor‟ diartikan
pelaksanaan secara nyata apa yang disebut dalam teori atau pelaksanaan pekerjaan
dari profesi yang dimiliki. Praktik dalam ilmu kajian budaya, diartikan suatu
strategi yang sudah secara struktur praktis direncanakan dan dilaksanakan dengan
melibatkan adanya habitus, ranah, dan modal (Bourdieu, 1984).
Kata „investor‟ dalam „praktik investor‟ adalah penanam uang atau modal;
orang atau sekelompok orang yang menanamkan uang untuk mendapatkan
keuntungan. Pendeknya, kegiatan investasi yang dilakukan oleh para investor
adalah kegiatan penanaman modal oleh sekelompok orang atau pribadi untuk
mendapatkan keuntungan atau pengembalian modal (Dyah dan Suratman, 2015:3).
Pada ranah pariwisata jika dikaitkan dengan peran investor perhotelan sebagai agen
pariwisata adalah kemampuan perorangan atau kelompok untuk memberikan
sesuatu yang diinginkan dan siap memberikan bantuan yang menguntungkan dalam
mengembangkan kepariwisataan (Petras, 2014:222). Dalam praktiknya jika ditinjau
dari ilmu kajian budaya, para investor tidak hanya memiliki modal finansial semata
23
tetapi juga menyiratkan adanya beberapa unsur-unsur simbolis (atribut) yang
melekat padanya yakni simbol kekuatan (power) dan pengetahuan (knowledge)
seperti yang dikemukakan oleh Foucault (2002).
Lebih jauh diulas sosok investor yang diacu dalam penelitian ini, yaitu
investor perhotelan yang menanamkan modal, baik secara perorangan maupun
kelompok. Mereka hadir dan berinvestasi berupa bangunan fisik atau infrastruktur
berupa hotel, baik berbintang maupun hotel melati, sebagai akomodasi bagi para
wisatawan. Investor perhotelan juga dapat menggandeng operator-operator
perhotelan dengan korporat internasional atau lokal, seperti Four Seasons Group,
Best Western, Conrad untuk berkerja sama dalam konteks saling menguntungkan di
sektor pariwisata. Jenis penanaman modal dalam subsektor pariwisata sesuai
dengan gagasan Dyah dan Suratman (2015) adalah kegiatan investasi langsung
(direct investment) seperti tertuang dalam kutipan berikut.
“Penanaman modal langsung ini dilakukan berupa mendirikan perusahaan
patungan (joint venture company) dengan mitra lokal, dengan melakukan
kerja sama operasi (join operation scheme)... “(Dyah dan Suratman,
2015:5).
Pada kutipan di atas terdapat beberapa hal yang dapat dianalisis dan menjadi
poin penting konsep investor perhotelan, yaitu kegiatan berinvestasi dengan
melakukan suatu praktik kemitraan dalam suatu kerja sama operasi dalam wadah
investasi berupa pendirian hotel. Informasi lain yang dapat dipaparkan pada konsep
investor perhotelan menurut Dyah dan Suratman (2015), kegiatan para investor
perhotelan dapat berupa penanaman modal oleh asing atau penanaman modal dalam
negeri merujuk pada perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Perundangan
yang mengatur tentang kebijakan berinvestasi adalah Undang-Undang Nomor 25,
24
Tahun 2007 yang mengatur jaminan hukum pelaksanaan investasi. Di pihak lain,
mekanisme atau tata cara penanaman modal diatur dalam Keputusan
Manifes/Kepala BKPM Nomor 38/SK/1999, 6 Oktober 1999.
Di Bali, investor identik dengan penanam modal lokal dari luar Bali atau
pemodal asing. Argumentasi tersebut didapatkan dengan bermunculannya brand-
brand hotel internasional, bahkan merambah ke Ubud seperti group hotel Four
Seasons, group hotel Ritz Carlton, dan masih banyak lagi group hotel lain
berdatangan untuk berinvestasi (Picard, 2006:82). Hotel-hotel korporat berkaliber
nasional pun kini mulai melakukan ekspansi ke Ubud, di antaranya adalah Semaya
group yang membuka jalan untuk korporat hotel lainnya di kemudian hari
berinvestasi ke kawasan itu. Hal tersebut sesuai dengan pendapat MacRae yang
memaparkan bahwa pesona Bali, terutama Ubud menarik banyak investor, seperti
tampak pada kutipan wawancara berikut.
“....Investor dari Jakarta suatu saat akan masuk ke Ubud dan mendominasi
seperti apa yang mereka lakukan di Kuta, Seminyak dan Nusa Dua. Tentu
saja hal tersebut mengakibatkan persaingan dengan homestay atau hotel
melati yang menjadi ikon Ubud saat ini ” (wawancara dengan MacRae, 29
Juni 2016).
Konsep praktik para investor yang berinvestasi pada subsektor perhotelan
bukan semata untuk membangun hotel di kawasan Ubud. Selain memperoleh
keuntungan seperti paparan sebelumnya, praktik investor perhotelan juga bertujuan
memperluas sayap-sayap perusahaannya sekaligus demi supremasi dan pencitraan
korporat mereka. Konsep para investor perhotelan ini dipertegas oleh wawancara
dengan Rohayadi seorang pakar investasi perhotelan dan hotel manajemen seperti
berikut.
25
“Dengan mempertahankan karakteristik yang menjadi atribut dari
perusahaan mereka adalah juga merupakan salah satu dari bentuk praktik
investor di Ubud. Karakteristik yang dimaksud adalah membawa ideologi
perusahaan yang termasuk di dalamnya adalah tekhnologi, standard
operating procedure (SOP), dan sistem manajemen yang berujung pada
pencitraan dan prestise perusahaan mereka...” (wawancara, 11 Oktober
2017).
Rohayadi juga menambahkan dalam upaya mempertahankan karakteristik
perusahaan sering kali ditemukan suatu pergulatan. Pergulatan yang dimaksud
Rohayadi tidak bergulat secara fisik, tetapi bergulat di bidang ideologi, kultural,dan
epistemologi (Santoso, 2003:326). Artinya, kondisi para investor berusaha
„melawan‟ arus mainstream dari karakteristik hingga pola pikir yang ada dan
terjadi. Pergulatan juga berarti penyesuaian terhadap suatu struktur yang berlaku
hingga penentangan skema-skema kekuatan yang ada (Petras, 2014:330).
Praktik investor dalam industri perhotelan di Ubud merupakan suatu proses
penyesuaian (adaptasi) seperti gagasan Petras. Sedikitnya ada dua adaptasi yang
terjadi pada praktik investor di Ubud. Adaptasi pertama, dari struktur sosial
kemasyarakatan. Pada kondisi kepariwisataan di Bali umumnya dan Ubud
khususnya yang cenderung resisten seperti disinggung dalam latar belakang
menyebabkan para investor harus berpraktik tidak secara konvensional atau dalam
hal ini menerapkan unsur kepentingan modal semata. Adaptasi kedua, yaitu skema
peraturan pemerintah yang ada. Adaptasi ini lahir karena proses dari fase
prainvestasi, pembangunan infrastruktur, hingga pada fase pengelolaan investasi.
Upaya penentangan terhadap kebijakan-kebijakan atau skema peraturan yang
berlaku, baik dari pemerintah maupun pihak desa adat, justru berbuah petaka dan
bisa berbalik ke arah sentimen negatif. Kedua adaptasi investor tersebut sangat erat
26
terkait dalam penggunaan metode-metode dengan melibatkan investigasi, riset, dan
observasi dalam praktiknya (Foucault, 200:127). Terkait dengan adanya
penggunaan atribut kekuasaan menjadi suatu ideologi dalam praktik investor.
Foucault lebih lanjut mengemukakan bahwa prosedur seperti investigasi, riset, dan
observasi merupakan transformasi memberikan keuntungan ekonomi dengan
memanfaatkan kondisi-kondisi politik, pengetahuan, dan kekuasaan.
Kondisi riil dalam praktik investor perhotelan di Bali, terjadi suatu
fenomena "kebaikan sosial". Kebaikan sosial tersebut tidak hanya melalui corporate
social responsibilities (CSR) yang merupakan syarat wajib bagi perusahaan dalam
beroperasi tetapi juga penghargaan kepada budaya dan kearifan lokal setempat
sesuai dengan amanat Undang-Undang Kepariwisataan No. 10, Tahun 2009. Dalam
sudut pandang ilmu kajian budaya, para investor selalu identik berpraktik secara
kapitalis, yaitu mementingkan keuntungan. Tetapi, para investor harus
menghabiskan waktu yang sama untuk kebaikan sosial atau disebut compassionate
capitalism (Piliang, 2004:147).
2.2.2 Praktik Investor dalam Industri Perhotelan sebagai Fenomena, Ideologi,
dan Makna
Konsep ini memaparkan fenomena, ideologi, dan makna yang lahir dari
praktik investor dalam industri perhotelan. Sebagai penelitian kajian budaya,
praktik investor dalam industri perhotelan dipandang sebagai suatu fenomena,
ideologi, dan makna. Konsep ini sangat penting karena menjadi landasan berpikir
dan acuan untuk menganalisis bab-bab selanjutnya pada studi ini.
27
Praktik investor dalam industri perhotelan tampak beragam dan memiliki
fenomena berbeda di setiap belahan dunia. Agar jelas, terlebih dahulu dipaparkan
arti kata fenomena dan apa keterkaitannya sehingga dimasukkan sebagai konsep
penelitian. Fenomena yang dimaksudkan dalam konsep ini bukan fenomena alam,
melainkan fenomena sosial sebagai suatu aksi dan reaksi dari praktik investor dalam
industri perhotelan di Ubud.
Fenomena berasal dari istilah Yunani, yakni “phainesthai” yang berarti
menampak dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang berarti
sinar atau cahaya. Secara harfiah, fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu
yang tampak atau refleksi dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena dapat dipandang
dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu “menunjuk ke luar” atau berhubungan
dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena dari sudut kesadaran karena
fenomenologi selalu berada dalam kesadaran yang dialami oleh individu. Oleh
sebab itu, memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat atau melakukan
suatu proses “penyaringan” sehingga mendapatkan kesadaran yang murni
(Moeryadi, 2009). Hasil penyaringan terhadap suatu fenomena merupakan
pendekatan filosofis untuk menyelidiki pengalaman manusia guna memperoleh
ilmu pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang ada dengan
langkah-langkah logis, sistematis kritis, tidak berdasarkan apriori/prasangka, dan
tidak dogmatis (Smith, 2009:11). Keterkaitan fenomena menjadi konsep dalam
penelitian ini tidak lepas dari paparan di atas. Jadi, praktik investor dalam industri
perhotelan di Ubud merupakan suatu fenomena yang tampak dan berasal dari hasil
penelitian.
28
Praktik investor dalam industri perhotelan di Ubud seperti pemaparan pada
konsep sebelumnya tentu memiliki fenomena tersendiri. Terdapat tiga fenomena
dalam praktik investor dalam industri perhotelan di Ubud. Pertama, fenomena
praktik para investor perhotelan dipengaruhi oleh kondisi masyarakat lokal
setempat yang resisten dan kuat/mengikatnya adat istiadat di kawasan itu. Dalam
kondisi ini para investor diasumsikan akan melakukan suatu tindakan strategi
tertentu sebagai fenomena yang menjadi temuan penelitian. Kedua, fenomena lain
tidak terbatas pada praktik investor saja, tetapi dapat berasal trend kepariwisataan
global. Tuntutan trend kepariwisataan global diasumsikan akan menyebabkan
timbulnya suatu fenomena dalam praktik investor dalam industri perhotelan di
Ubud. Ketiga, fenomena dari praktik investor yang lahir dalam kaitannya untuk
mencari keuntungan dalam industri perhotelan di Ubud. Di satu sisi, investor selalu
dikaitkan dengan kapitalis yang hanya mencari keuntungan. Di sisi lain, ranah yang
menjadi objek berinvestasi adalah di Ubud yang sangat kuat memegang adat
istiadat. Oleh karena itu, akan terjadi simulasi praktik investor yang berbeda dengan
kawasan lain seperti Kuta maupun Nusa Dua.
Praktik investor dalam industri perhotelan selain sebagai fenomena juga
merupakan ideologi. Ideologi yang dimaksud adalah suatu paham yang dijadikan
landasan berpraktik oleh para investor. Agar jelas, terlebih dahulu dijelaskan
pengertian ideologi. ”Berbicara” tentang ideologi dalam paparan teoretis, Barker
dalam Laksmi (2015:203) memberikan pandangan bahwa ideologi adalah
seperangkat nilai, gagasan, dan pemikiran. Dalam hubungan dengan ranah industri
pariwisata dan praktik investor perhotelan di Ubud, ideologi ini bukan hanya suatu
29
ide, nilai, dan sekedar gagasan pemikiran semata. Tetapi, mengarah sebagai praktik
terstruktur dan menjadi landasan strategi para investor. Praktik terstruktur yang
sudah menjadi habitus para investor perhotelan di Ubud berasal dari pengalaman
dan proses adaptasi yang dibakukan dalam suatu landasan ideologi dalam mencari
keuntungan dan eksis di kawasan itu.
Pengertian lainnya, menurut Macey dalam Purnaya (2015:141), bahwa
ideologi merupakan suatu konsep yang diangkat atau dipakai menutupi realitas
sosial untuk kelas tertentu dan mempertahankan legitimasi kekuatanya tetapi
tampak alamiah dan ahistory.
Secara umum praktik para investor dalam industri perhotelan di Ubud
menganut ideologi yang sama. Setidaknya ada tiga hal yang melatarbelakangi para
investor disinyalir menganut ideologi yang sama dalam praktiknya. Pertama,
ideologi yang dianut oleh para investor dipengaruhi oleh kondisi masyarakat lokal
setempat sebagai akibat dari fenomena yang lahir di kawasan Ubud. Kedua,
ideologi yang dianut lahir sebagai akibat dari tuntutan trend kepariwisataan global
dan berbagai regulasi internasional dan nasional tentang aturan dalam berinvestasi
seperti peraturan daerah (Perda) yang mengatur kebijakan-kebijakan berinvestasi
dalam industri perhotelan di Ubud. Ketiga, ideologi yang dianut oleh para investor
adalah suatu adaptasi untuk mencari keuntungan dalam industri perhotelan, tetapi
tetap menghormati dan memegang adat istiadat di Ubud. Semua hal tersebut
menjadi ideologi yang melandasi praktik para investor dalam industri perhotelan di
Ubud terlebih jika ingin terus eksis pada sektor kepariwisataan di kawasan itu.
30
Masih terkait dengan fenomena dan ideologi, pada praktik investor dalam
industri perhotelan jika dikaji dalam ilmu kajian budaya, merupakan suatu makna.
Pengertian kata makna (meaning) dirujuk dengan menggunakan penjelasan Barker.
Makna memiliki suatu pengertian, yaitu adanya sikap, kepercayaan, dan tujuan
pembenaran bagi setiap manusia. Artinya, penandaan yang diperlihatkan setiap
individu atau kelompok memiliki suatu kebermaknaan (Barker, 2005:519--520).
Pada penelitian ini makna dari praktik investor tidak hanya dikaji dari satu
sudut pandang investor, tetapi juga melibatkan semua pihak yang terkait dengan
praktik investor. Dalam hal ini Barker memandang kebudayaan sebagai peta-peta
yang tumpang tindih, membentuk zona-zona koherensi dalam ruang sosial yang
sama tetapi selalu diperebutkan sesuai dengan kepentingannya. Hal yang sama juga
terjadi pada fenomena praktik investor dalam industri perhotelan (Barker,
2005:522).
Makna yang lahir pada praktik investor dalam industri perhotelan di Ubud,
sekaligus menjadi konsep penelitian tidak hanya dimaknai dari sudut pandang
investor. Apabila dikaitkan dengan gagasan Barker, makna kehadiran para investor
dalam industri perhotelan ditanggapi beragam, baik oleh masyarakan lokal
setempat, pemerintah, maupun para investor sendiri dalam memaknai praktiknya
pada industri perhotelan di kawasan Ubud.
2.2.3 Industri Perhotelan
Industri perhotelan adalah konsep ketiga yang dimasukkan dalam penelitian
ini. Konsep ini diulas karena merupakan tempat berpraktik para investor yang
menjadi subjek penelitian. Konsep industri pariwisata selain diacu dari peraturan
31
menteri pariwisata juga dipaparkan dengan pendekatan dari sudut pandang ilmu
kajian budaya. Secara garis besar, industri perhotelan dalam konsep ini merupakan
konstruksi-konstruksi untuk mendatangkan keuntungan lewat produk-produk yang
dijual. Selain itu, konsep hotel juga selalu diidentikkan dengan sesuatu yang bersifat
private dan eksklusif hanya untuk tamu-tamu yang menginap sebagai suatu wacana
mendapatkan keuntungan.
Pada hakikatnya hotel adalah usaha yang dikelola secara komersial. Di Bali
usaha perhotelan dikemas dalam berbagai ragam bentuk. Pengelolaan hotel diatur
dalam Kepmen Parpostel Nomor KM.94/Hk.103/MPPT-87 (Muljadi, 2016:60).
Menurut Muljadi, klasifikasi hotel secara umum digolongkan dalam hotel
berbintang dan melati dengan segala fasilitas mewah dan modern. Fenomena yang
tampak di Bali sedikit berbeda, artinya hotel-hotel beradaptasi dengan kondisi lokal
dan adat istiadat setempat, tetapi tidak meninggalkan unsur/pakem internasional.
Contoh adaptasi itu, yaitu hotel berbintang juga berbentuk vila, resor, dan cottage
seperti yang dimiliki oleh Four Seasons Group dan Alila Group. Fenomena lain
yang terjadi di Bali adalah klasifikasi hotel tidak dapat diukur secara jelas.
Argumentasi tersebut didukung oleh beberapa fakta bahwa di Ubud hotel melati
dengan bentuk villa atau resor dari segi infrastruktur, tetapi pelayanan dan
keamanan bisa melampaui hotel berbintang satu atau berbintang dua yang ada di
kawasan Kuta. Hal ini menjadi suatu fenomena sekaligus peluang dalam mencari
keuntungan bagi para investor perhotelan yang menanamkan modalnya di Ubud.
Dalam hal mencari keuntungan hotel memiliki banyak produk yang bisa
dijual. Keuntungan perusahaan tidak hanya berasal dari penjualan produk yang
32
bersifat tangible (kebendaan) seperti akomodasi, makanan, dan minuman tetapi juga
menjual produk yang bersifat intangible (tidak berwujud tetapi dapat dirasakan).
Produk intangible yang dapat diperjualbelikan, yakni berupa jasa (service). Pada
perdagangan jasa (trade-in service) sistem yang secara profesional dikelola dan
dikemas sehingga mampu memberikan kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan para
tamu yang menginap (Sumadi, 2003:1). Lebih lanjut Sumadi mengemukakan bahwa
perdagangan jasa di hotel memiliki simulasi layaknya proses jual-beli barang. Jika
barang secara kasat mata dapat disentuh dan dirasakan untuk selanjutnya
memberikan kepuasan, jasa adalah sesuatu yang bersifat intangible tetapi juga
mampu memberikan kepuasan seperti layaknya benda yang dapat disentuh
(Richardson dalam Prasiasa, 2013:22). Ulasan tersebut memberikan suatu
pemahaman bahwa industri perhotelan mampu mengemas jasa sebagai alat untuk
mendatangkan keuntungan sekaligus menjadikan lahan bisnis.
Konsep hotel dari sudut pandang kajian budaya memiliki makna yang
berbeda dengan uraian di depan. Konsep hotel dalam perkembangan modern jika
dikaitkan dengan Barker (2000:134), tidak lebih sebagai bentuk neofordisme
bercirikan pada adanya pekerja inti/posisi manajemen dan upah rendah pada
golongan tertentu/staf seperti tampak pada struktur organisasi di dunia perhotelan.
Contohnya adalah manajer sebagai posisi tertinggi pada tiap-tiap departemen di
hotel. Tetapi, walaupun jabatan dan upah berbeda prioritas tetap pada kepuasan
tamu yang menginap lewat bisnis keramahtamahan sebagai lipstik untuk
mendatangkan keuntungan perusahaan.
33
Para investor perhotelan rupanya secara jeli melihat keramahtamahan
sebagai salah satu cara untuk mendatangkan keuntungan. Oleh karena itu, sektor ini
pun kini menjadi objek untuk mengembangkan bisnisnya. Argumen tersebut
dikuatkan oleh kutipan berikut.
“Tourism is an industry and its structures exist solely because profit can be
generated. It can objected that for many smaller enterprises being recorder
do not necessarily represent a high rate of return on capital, and that for the
many the main return is emotional one wherein entrepreneurs are able to
sustained a desired life style. From a cost benefit analysis perspective
however, that emotional return can also be ascribe a monetary value...”
(Ryan & Aicken, 2005:70).
Ryan dan Aicken berargumentasi bahwa dalam konteks industri pariwisata,
perusahaan dapat mencari keuntungan bukan hanya sekali, melainkan dalam jangka
waktu berkepanjangan lewat permainan gaya hidup yang diciptakan. Kepuasan juga
dapat memberikan keuntungan jika dikelola secara benar. Di dunia perhotelan
praktek pemuasan kebutuhan wisatawan didasarkan atas ekspektasi dan realitas.
Bila tamu puas terhadap pelayanan pihak hotel, maka tamu akan kembali sebagai
repeater guest. Repeater guest ini adalah value yang disebutkan Ryan dan Aicken
sebagai emotional is monetary value for generating a profit.
Perhatian investor dalam pengembangan bisnisnya di industri perhotelan
sangat erat terkait dengan konsep pengembangan produk pariwisata. Akan tetapi,
konsep tersebut kini diadopsi dalam sektor perhotelan. Empat konsep perhotelan
yakni attraction (daya tarik wisata), accessibilities (aksesibilitas), amenities
(fasilitas), dan ancillary services (pelayanan wisata) (Muljadi, 2012:89). Pada
industri perhotelan, keempat konsep tersebut diadopsi menjadi tiga poin. Poin
pertama, adalah aksesibilitas atau kemudahan-kemudahan bagi wisatawan. Cakupan
34
kemudahan yang dimaksud tidak hanya berupa kebendaan (tangible) seperti jalan,
rambu-rambu, lampu penerangan dan sebagainya. Aksesibilitas sebagai konstruksi
investor pada industri perhotelan juga meliputi pelayanan informasi, kemudahan
akses, dan promosi terkait dengan pemesanan hotel dan penetapan harga khusus
bagi wisatawan yang menginap. Poin dari aksesibilitas ini adalah upaya
memberikan kemudahan yang dikemas dalam bentuk pelayanan yang diberikan
oleh pihak manajemen hotel sebagai bentuk adopsi konsep aksesibilitas.
Poin kedua adalah fasilitas atau sarana dan prasarana pada sektor perhotelan.
Fasilitas yang ada di hotel bersifat private atau lebih tepatnya hanya boleh
digunakan oleh tamu yang menginap atau yang sudah membayar fasilitas tersebut
sesuai dengan ketentuan manajemen hotel. Wacana private dan exclusive ini
dikonstruksi sedemikian rupa guna pemenuhan kepuasan para tamu sekaligus
memberikan prestise bagi para tamu yang menginap. Investor mengadopsi konsep
ini dengan tujuan para wisatawan betah tinggal lebih lama. Setidaknya hal itu
menimbulkan pengalaman berkesan bagi para tamu untuk datang kembali pada
liburan berikutnya.
Poin ketiga adalah atraksi bagi wisatawan. Lewat atraksi yang disuguhkan di
hotel, harapan investor tidak hanya menarik satu dua orang tamu saja melainkan
mampu mengundang tamu rombongan. Penyuguhan atraksi tersebut dikemas pihak
hotel sebagai suatu yang eksklusif bahkan ditambah dengan pelayanan jasa guna
mengangkat nilai jual atraksi tersebut. Contohnya, mengundang para seniman lokal
untuk melakukan pementasan di hotel sebagai atraksi dalam acara gala dinner.
35
Selain ketiga poin tersebut, sektor perhotelan juga dikonstruksi menurut
kelasnya. Sebagai pendukung dari argumentasi tersebut terlihat dari adanya kategori
hotel. Kategori hotel yang dimaksud, yakni hotel dibagi menurut kelasnya. Jika
dikaitkan dengan ilmu kajian budaya, mirip dengan teori yang dianut kaum
Marxisme tentang adanya kelas. Adopsi paham ini terlihat nyata pada sektor
perhotelan. Hotel dibagi menjadi kategori berdasarkan fasilitas dan pelayanan yang
diberikan. Kelas-kelas dalam hotel dibentuk menjadi kategori hotel berbintang
hingga hotel melati. Tidak hanya sampai di situ, kamar sebagai produk utama yang
dijual oleh hotel juga dikategorikan menjadi kamar berkelas standard (biasa)
sampai kamar berkelas president suite (mewah) (Muljadi, 2012:148).
2.3 Landasan Teori
Dalam subbab ini dirumuskan teori-teori yang digunakan sebagai tool dalam
menganalisis praktik investor dalam industri perhotelan di Ubud. Ada tiga teori
yang digunakan, yakni teori strukturasi Giddens, teori praktik Bourdieu, dan teori
kekuasaan dan pengetahuan Foucault. Ketiga teori tersebut menjadi dominan dan
diacu sebagai teori besar penelitian ini, karena terhubung dengan konsep penelitian
yang sudah diulas sebelumnya. Disamping itu, praktik investor di Ubud tidak lepas
dari ruang simulasi teori-teori tersebut. Investor disinyalir menerapkan strategi
berpraktik dengan menggunakan kekuasaan dan pengetahuan yang menjadi inti
teori Foucault dan diintegrasikan dengan teori praktik Bourdieu (habitus, ranah, dan
modal) dengan melibatkan bentukan expert sistem teori Giddens. Pendeknya, ketiga
teori tersebut menjadi suatu struktur praktik berpola dari para investor dalam
36
industri perhotelan di Ubud. Temuan pola struktur praktik diharapkan
menyumbangkan suatu temuan (novelty) dan sekaligus menjadi keunggulan
penelitian. Selain teori-teori tersebut, juga digunakan teori pendukung, seperti teori
postmodernisme dan compassionate capitalism untuk memperkuat berbagai
argumentasi terkait dengan praktik investor dalam industri perhotelan. Sebagai
catatan, teori pendukung dipaparkan langsung pada bab-bab di mana praktik
investor terindikasi mengadopsi teori tersebut sebagai praktik.
2.3.1 Teori Strukturasi (Giddens)
Teori Giddens merupakan teori pertama yang diulas pada subbab ini.
Pentingnya teori Giddens dalam penelitian ini kerena keterhubungannya dengan
konsep penelitian yang sudah dijelaskan di depan. Poin-poin inti teori Giddens
seperti token simbolik dan expert system menjadi suatu refleksitas dalam dunia
pariwisata modern yang tersimulasi dari praktik investor di Ubud dalam mencari
keuntungan. Selengkapnya pemaparan teori strukturasi Giddens adalah sebagai
berikut.
Teori strukturasi Giddens termasuk dalam klasifikasi teori postmodern.
Menurut Giddens (dalam Ritzer, 2003:239--249), esensi teori strukturasi adalah
sebagai berikut:
1) Strukturasi sebagai suatu pemisahan (distanciation). Pemisah yang dimaksud
oleh Giddens adalah waktu dan ruang. Pada era modern ruang dan waktu sengaja
dikonstruksi sehingga timbul adanya suatu kerenggangan. Giddens (dalam
Ritzer, 2003:242) melihat kerenggangan ruang dan waktu merupakan potensi
untuk tumbuhnya organisasi dan birokrasi yang dirasionalkan.
37
2) Dinamisme modernitas pemisahan. Giddens memaparkan bahwa selama
mengalami proses tersebut terjadi “penarikan keluar” hubungan-hubungan sosial
dari konteks interaksi sosial dan restrukturisasi melewati ruang dan waktu yang
tidak pasti. Mekanisme pemisahan tersebut dilakukan dengan melakukan token
simbolis (symbolic token) dan sistem ahli (expert system). Giddens memberikan
contoh token simbolis, yaitu uang sebagai pemisahan ruang dan waktu karena
dapat bertransaksi di mana saja. Di lain sisi, sistem ahli adalah pencapaian teknis
atau pengaturan profesional untuk mengatur wilayah, material, dan sosial, seperti
pengacara, mobil, rumah, dan lain sebagainya sebagai hasil dari sistem ahli.
Dalam ranah ruang dan waktu, sistem ahli memberikan jaminan performa
melintasi ruang dan waktu. Efek yang ditimbulkan dari token simbolis dan
sistem ahli adalah kepercayaan.
3) Refleksivitas. Giddens berpendapat bahwa refleksivitas merupakan hal yang
paling fundamental dalam teori strukturasi. Fundamental yang dimaksud adalah
bagaimana refleksi dunia modern menyebabkan segala sesuatu menjadi sangat
terbuka, penuh ketidakpastian akan kepercayaan kepada sistem dan token
simbolis. Refleksi kepercayaan dan tidak mempercayai cenderung membentuk
tatanan sosial seperti yang dikonstruksi oleh sistem ahli. Giddens
menggambarkan modernitas sebagai sebuah lokomotif yang bergerak cepat dan
sistem ahli terus mengirimkan data kepadanya ke arah yang baru/data dinamis.
Data inilah menurut Giddens mampu membentuk suatu struktur. Dalam Ritzer
(2003:248) dinyatakan bahwa ada hubungan sosial yang dimasuki oleh
kepentingan dengan tujuan dan kepuasan yang cukup untuk tiap-tiap pihak yang
38
tinggal di dalamnya. Menurut Beck (dalam Ritzer 2003:250) hal itu disebut
sebagai kebebasan agen menciptakan, baik strukturasi diri sendiri maupun
masyarakat di mana para agen hidup.
Poin ulasan Giddens tentang strukturasi jika dikaitkan pada sektor
perhotelan, ternyata terjadi suatu kesamaan pola. Agen menciptakan suatu refleksi
tentang hotel yang merupakan suatu industri. Jika berbicara tentang industri pada
era modern, menurut Giddens (dalam Ritzer 2003:241), industri kerap dikaitkan
dengan adanya/keberadaan suatu mesin untuk membuat suatu barang/produk. Pada
sektor industri perhotelan, barang yang dimaksud adalah jasa/pelayanan, tetapi
dianalogikan sebagai barang tetapi tidak berbentuk/intangible atau sesuatu yang
tidak nyata tetapi dapat dirasakan. Narasi besar konstruksi di industri perhotelan
sesuai dengan paparan Beck bahwa oknum atau agen yang bermain dalam
membentuk suatu image atau pencitraan yang merefleksikan token simbolis seperti
gagasan Giddens. Menurut Giddens, token simbolis yang merefleksikan image
(pencitraan) merupakan sesuatu yang terus “bergerak”. Artinya, bekerja dengan
data informasi dari sistem ahli sehingga terjadi konstruksi (tatanan) yang berpola.
Pada industri perhotelan modern, teori Giddens menjadi sebuah cermin
untuk menganalisis fenomena praktik investor di Ubud. Investasi para investor
bertujuan untuk mencari keuntungan. Oleh karena itu, pihak investor harus secara
pro aktif memodifikasi segala sistem ahli untuk mencapai tujuan tersebut. Tidak
hanya sebatas mencari keuntungan semata, strategi investor juga berharap agar
terlepas dari pergulatan dan mencari solusi agar segala tantangan dapat diatasi.
39
2.3.2 Teori Praktik (Bourdieu)
Teori praktik dipilih sebagai teori kedua setelah teori strukturasi terkait
dengan topik yang diangkat dengan tiga alasan. Pertama, investor pada industri
perhotelan merupakan kekuatan simbolis dari kapitalis. Kedua, dalam praktiknya
dalam industri perhotelan di Ubud, para investor disinyalir menggunakan simulasi
seperti inti teori praktik Bourdieu agar dapat lepas dari arena pergulatan yang
dihadapinya. Ketiga, fenomena praktik investor dalam industri perhotelan di Ubud
merupakan adaptasi dari teori praktik Bourdieu. Agar jelas, terlebih dahulu
dipaparkan inti sari dari teori praktik Bourdieu.
Praktik yang dimaksud adalah tindakan sosial yang berstruktur dari tiga
konseptual gagasan tentang ranah, habitus, dan modal. Rumus generatif yang
menerangkan praktik sosial dengan persamaan: (Habitus x Modal) x Ranah =
Praktik (Bourdieu, 1984:101 dalam Harker dkk.ed., 1990:xxi). Selanjutnya
pemahaman tentang teori praktik Bourdieu (ranah, habitus, modal) diulas satu per
satu.
1) Habitus sebagai sesuatu yang berevolusi dan berpindah ke mana-mana (mobile)
dengan attribute yang dapat diwariskan untuk pemenuhan tujuan para investor.
Habitus terbentuk (terkonstruksi) dari field si aktor sosial. Bourdieu
mengistilahkan dengan „structuring structure” atau struktur yang menata.
Habitus terlahir dari proses penanaman “second nature” sehingga menghasilkan
suatu adaptasi, harapan dan mampu untuk mengatur strategi selanjutnya.
2) Bourdieu mendeskripsikan field dengan berbagai makna. Field dapat berupa
arena pertaruhan, tempat aktor sosial (agen) berupaya dan bersaing mendapatkan
40
sumber daya atau power simbolis. Field dapat berupa kerangka hubungan sosial
dalam hal ini posisi yang diduduki para agen. Tiap-tiap field berisi norma atau
aturan yang berbeda. Bourdieu menekankan jika aktor sosial ingin memenangkan
suatu “pertaruhan”, hendaknya si aktor harus ikut dalam “permainan” (feel for
the game).
3) Konsepsi yang ketiga dalam teori praktik Bourdieu adalah modal. Modal ini
dipertaruhkan untuk dapat mendapatkan modal yang lebih besar. Untuk
memberikan pengertian lebih jauh, Bourdieu mencontohkan modal dapat berupa
modal budaya, modal intelektual, dan modal kapital. Ketiga unsur tersebut
merupakan jantung dari teori praktik Bourdieu.
Teori praktik Bourdieu dapat teraplikasi dalam ruang dan dimensi berbeda
sesuai dengan habitus, ranah dan modal yang dimainkan sang aktor (Bourdieu
dalam Basis, 2003:9). Apabila investor perhotelan sebagai aktor, maka teori praktik
beradaptasi dengan habitus industri perhotelan. Secara otomatis modal intelektual,
sosial, dan budaya pun telah dimanipulasi mengikuti ranah yang berlaku di kawasan
tersebut. Salah satu contoh, yakni modal intelektual. Modal ini telah beradaptasi
menjadi tiga modal, yakni (1) skill, sebagai modal kemampuan yang lebih
menitikberatkan pada faktor kecakapan fisik, (2) knowledge, sebagai modal
pengetahuan, dan (3) attitude, sebagai modal dalam berhubungan sosial, mencari
simpati, publikasi, dan sebagainya. Ketiga modal tersebut selanjutnya disebut
dengan „structured-practical agent‟ oleh Bourdieu. Pengertian structured-practical
agent jika dikaitkan dalam ranah industri perhotelan adalah kompetensi.
Kompetensi inilah yang mengajarkan para investor atau agen investor untuk
41
beradaptasi dan menyebabkan laku (habitus) mengikuti skema dalam sebuah
konsensus tanpa kekerasan sosial yang diistilahkan Bourdieu sebagai pertarungan
simbolik.
Gagasan lain teori Bourdieu adalah merumuskan praktik sosial sebagai hasil
dinamika dialektis (Bourdieu dalam Basis, 2003:33). Wacana menjadi kunci praktik
sosial untuk mendapatkan sebuah kekuasaan. Mengacu pada konsep praktik
investor dan industri perhotelan di Ubud, data dianalisis dengan teori praktik untuk
mencari kebenaran bahwa investor memainkan mind games dan language games
sebagai suatu konsensus untuk keuntungan dan eksistensi perusahaan mereka.
Secara umum, implementasi teori praktik Bourdieu tersimulasi dalam
industri perhotelan, khususnya di Ubud. Di Ubud sebagai daerah pariwisata yang
secara genealogi berstruktur budaya, lambat laun mulai dimasuki oleh modernisasi
seperti di kawasan Kuta. Pencitraan destinasi yang ditimbulkan oleh pariwisata di
Ubud sangat kuat dan melibatkan modal budaya, modal intelektual, dan modal
kapital yang ditata sesuai dengan kawasan tersebut. Fenomena tersebut sejalan
dengan teori praktik Bourdieu karena sektor pariwisata melibatkan unsur ranah,
habitus dan modal yang beradaptasi dengan ruang dan waktu untuk mencari
keuntungan.
Iklim kepariwisataan di Ubud disinyalir, baik secara langsung maupun tidak
langsung berpengaruh terhadap kiprah para investor. Sebagai field, budaya dan adat
istiadat di Ubud secara autodidak mengajarkan para investor untuk mengikuti
norma yang berlangsung, memotivasi mereka untuk berimprovisasi, dan pada
akhirnya mampu mencari keuntungan dalam pengelolaan investasinya. Hal tersebut
42
terjadi karena adanya informasi tentang kultur di Ubud yang sangat menghargai
para pendatang terlebih bila mereka datang atau bertamu secara sopan, beretika
yang baik dan membawa keuntungan. Dengan kata lain, masyarakat lokal Ubud
setempat akan memandang individu atau sekelompok orang bukan sebagai
ancaman, melainkan sebagai suatu aset.
2.3.3 Teori Kekuasaan dan Pengetahuan (Foucault)
Teori ketiga yang digunakan adalah teori Foucault yakni kekuasaan dan
pengetahuan. Teori Foucault menjadi dominan dalam penelitian ini. Artinya, jika
dihubungkan dengan konsep penelitian, investor menginginkan adanya kekuasaan
pada ranah industri perhotelan di Ubud. Agar jelas, terlebih dahulu dipaparkan
tentang kekuasaan dan pengetahuan yang menjadi inti teori Foucault.
Kekuasaan adalah subjek di mana Foucault melakukan berbagai observasi
melalui serangkaian pengamatan dan pada akhirnya memberikan suatu paparan
bahwa kekuasaan memiliki pembenaran-pembenaran tersendiri. Dengan mendobrak
paradigma lama, seperti perspektif Marxian yang mempunyai suatu pandangan
negatif tentang kekuasaan. Salah satu perhatian Foucault juga pada bagaimana
kekuasaan tersebut berdasarkan retakan zaman (discontinuity) lewat apa yang
berkuasa (archeology) dan praktik kekuasaan beroperasi (genealogy of power)
(Mudhoffir, 2013:76). Foucault melakukan serangkaian investigasi terkait dengan
praktik-praktik kekuasaan yang terjadi, dimana kekuasaan dan pengetahuan
merupakan sesuatu yang berhubungan sangat erat. Foucault berusaha memberikan
paparan tentang topik ini tetapi selalu secara eksplisit.
43
Buku Power/Knowledge (2012) merupakan tulisan dan wawancara yang
terkait sangat erat dengan penelitian ini. Menurut Foucault (2002:162), kekuasaan
tidak hanya menimbulkan suatu pengetahuan dengan menekankan pada adanya
intervensi pembenaran sebagai hasil reproduksi. Argumentasi tersebut didukung
oleh adanya formasi-formasi wacana/dialektika sebagai taktik yang dipermainkan si
aktor sehingga mampu memberikan suatu kebenaran dalam setiap tindakannya
dalam praktik sosial, termasuk yang diadopsi oleh para investor dan agennya dalam
industri perhotelan yang menjadi topik penelitian ini. Hubungan antara pengetahuan
dan kekuasaan adalah adanya wacana sebagai suatu rezim sebagai katalisnya
(Mudhoffir, 2013:82). Rezim wacana tersebut terus bergulir dalam organisasi dan
dalam praktik-praktik yang tanpa disadari mengendalikan tubuh-tubuh individu
yang menggunakan kekuasaan tanpa diketahui dan dirasakan. Pengetahuan tersebut
tumbuh menjadi suatu kekuasaan manakala beroperasi secara positif dan tidak
dirasakan, tetapi akan terus berevolusi sebagai suatu wacana kebenaran.
Buku Power/Knowledge juga mengilustrasikan makna-makna eksplisit
tentang kekuatan dan pengetahuan. Ada tiga poin penting tentang kekuasaan.
Pertama, kekuasaan bersifat intangible, yang dalam hal ini tidak berwujud, tetapi
dapat dirasakan dan terus bergerak di dalam permainan relasi-relasi. Kedua,
kekuasaan melahirkan suatu anti kekuasaan dan resistensi-resistensi akan timbul
seiring dengan penolakan terhadap rezim kekuasaan. Ketiga, kekuasaan non-
subjektif, dalam hal ini adalah adanya relasi-relasi dan wacana pada organisasi atau
struktur tertentu dapat merasakan kekuatan tersebut.
44
Kekuatan dalam gagasan Foucault memiliki keterkaitan dengan
pengetahuan. Setidaknya ada tiga poin penting dari pengetahuan yang terkait
dengan kekuasaan menurut Foucault. Pertama, pengetahuan mempunyai kontrol
sosial. Hal ini disebabkan oleh adanya genealogy of power sebagai metode dan
beroperasi melalui kedisiplinan tubuh. Kedua, pengetahuan selalu bersifat berubah-
ubah sehingga tidak ada model atau herarki atau keterhubungan antara pengetahuan
dan kekuatan. Tetapi, hubungan pengetahuan dan kekuatan hanya dapat diamati
dari adanya karakteristik dari zaman ke zaman. Ketiga, pengetahuan identik dengan
adanya rezim-rezim yang menyertainya. Rezim-rezim yang dimaksud adalah
otoritas yang memiliki aspek pada organisasi, institusi atau lembaga-lembaga yang
mempunyai suatu wacana, ide ataupun gagasan-gagasan yang selanjutnya
“disuntikkan” kepada tubuh individu-individu sebagai suatu pengetahuan atau dalil
kebenaran.
Jika dihubungkan dengan konsep penelitian ini, aplikasi teori Foucault
tampak diadopsi oleh para investor perhotelan. Hotel yang berwujud sebagai
organisasi swasta yang bertujuan mendatangkan keuntungan terus berupaya
melakukan kontrol pada lingkungan sosial untuk dapat eksis. Caranya, dengan
melakukan permainan kekuasaan dan pengetahuan dalam praktik para investor
perhotelan dan agen.
Karya-karya Foucault banyak diadopsi filosuf lain untuk selanjutnya
dipublikasikan dalam buku atau tulisan. George Ritzer merupakan salah seorang
dari sekian banyak filosuf yang memasukkan teori Foucault ke dalam bukunya yaitu
Teori Sosial Post-Modern. Teori Foucault ditautkan pada rezim pemerintahan
45
Yunani-Roma sebagai pengujiannya dan pada akhirnya memberikan suatu makna
bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang bersifat determinasi satu arah, tetapi
berupa strategi-strategi dalam pencapainnya (Ritzer, 2003:130). Filosuf lain yang
memakai teori-teori terkait dengan kekuasaan dan pengetahuan untuk diadopsi ke
dalam karyanya adalah Piliang. Poin acuan Piliang adalah menganalisis adanya
pergerakan (pelipatan) dunia akibat dari globalisasi yang tidak lepas dari adanya
unsur relasi kuasa dan pengetahuan (Piliang, 2004:498). Lewat genealogi
kekuasaan, Piliang berupaya melakukan “penelanjangan” melalui kritik ontologi
untuk mendapatkan perbaikan ke arah yang lebih baik.
Teori Foucault terkait dengan kekuasaan dan pengetahuan menjadi teori
yang penting dalam penelitian ini. Baik ataupun buruk konsensus yang menjadi
praktik para investor dianalisis lewat teori Foucault. Kondisi kepariwisataan di
Ubud dengan karakter masyarakat lokal setempat yang cenderung resisten
diasumsikan memaksa para investor untuk melakukan suatu praktik yang
melibatkan kekuasaan dan pengetahuan sebagai atribut (modal) para investor jika
dikaitkan dengan teori praktik Bourdieu.
2.4 Model Penelitian
Penelitian dituangkan dalam bentuk model untuk mempermudah sekaligus
memberikan gambaran tentang alur dalam penelitian ini. Selengkapnya dituangkan
dalam bentuk gambar berupa flowchart yang menjadi alur pikiran peneliti sekaligus
menjadi kerangka penelitian. Adapun model penelitian dilihat pada gambar 2.1.
46
Gambar 2.1
Praktik Investor dalam Industri Perhotelan di Ubud, Bali
Penjelasan gambar 2.1 adalah sebagai berikut. Sama halnya dengan kawasan
lain, seperti Nusa Dua atau Kuta, pariwisata di Ubud dipengaruhi oleh kinerja
ketiga pilar pariwisata (Purnaya, 2015). Ketiga pilar kepariwisataan tersebut adalah
pemerintah dalam hal ini Pemkab Gianyar, masyakat Ubud, dan pihak investor.
Sebagai catatan, ketiganya saling memengaruhi satu sama lain. Pemerintah dalam
hal ini Pemkab Gianyar berupaya menegakkan pariwisata budaya dengan berbasis
Keterangan :
= memengaruhi
= saling mempengaruhi
Teori - Strukturasi (Gidden)
- Praktik(Bourdieu)
- Kekuasaan /Pengetahuan
(Foucault)
Pemerintah
Masyarakat
(Desa Adat
dan Puri Ubud)
Investor
Pengembangan Kepariwisataan Ubud
Konsep
- Praktik investor
-Industri Perhotelan
Praktik Investor
Fenomena Praktik
Investor
Ideologi dari Praktik
Investor
Temuan Penelitian
Teori - Strukturasi (Gidden)
- Praktik(Bourdieu)
- Kekuasaan /Pengetahuan
(Foucault)
Pemerintah
Masyarakat
(Desa Adat
dan Puri Ubud)
Investor
Pengembangan Kepariwisataan Ubud
Konsep
- Praktik investor
-Industri Perhotelan
Praktik Investor
Ideologi dari Praktik
Investor
Temuan Penelitian
Teori - Strukturasi (Giddens)
- Praktik (Bourdieu)
- Kekuasaan /Pengetahuan
(Foucault)
Investor
Masyarakat
(Desa Adat
dan Puri Ubud)
Pemerintah
Kepariwisataan Ubud
Konsep
- Praktik investor
-Industri Perhotelan
- Praktik Investor
dalam Industri
Perhotelan sebagai
Fenomena, Ideologi,
dan Makna
Praktik Investor
Pemaknaan
Praktik Investor
Ideologi Praktik
Investor
Temuan Penelitian
47
masyarakat. Artinya, di satu sisi agar budaya di Ubud tidak tergerus oleh arus
pariwisata modern, sedangkan di sisi lain agar masyarakat mendapat imbas dari
kehadiran pariwisata di Ubud.
Masyarakat Ubud sebagai subjek pariwisata berbasis masyarakat, dituntut
dengan jargon-jargon mempertahankan budaya demi terwujudnya misi pariwisata
budaya dari pemerintah. Tidak mengherankan jika saat ini di Ubud, masyarakat
lokal setempat masih memegang adat dan tradisi. Kuatnya masyarakat lokal
setempat memegang adat tradisi tidak jarang bersifat resisten. Resisten yang
dimaksud adalah terjadinya penolakan bila ada yang tidak sesuai dengan peraturan
lokal setempat atau dianggap merugikan pihak desa adat.
Peran investor juga tidak boleh diabaikan dalam kepariwisataan di Ubud.
Segala fasilitas hotel, restoran, dan spa yang mengangkat nama Ubud seperti tidak
lepas dari peran para investor. Secara umum para investor diterima oleh masyarakat
dan pemerintah karena menambah pemasukan bagi pemerintah berupa pajak dan
pendapatan bulanan berupa kontribusi bagi desa adat. Jika ditelusuri lebih lanjut,
terjadi kasus-kasus pertikaian antara investor dan pihak desa sesekali terliput dalam
media massa. Tetapi, kondisi ini tidak menyurutkan niat para investor untuk
berinvestasi di Ubud. Hal ini dapat dilihat dengan semakin bermunculannya hotel-
hotel, seperti Ritz Carlton Mandapa yang sudah beroperasi pada pertengahan tahun
2016. Selain itu, eksistensi hotel, seperti Amandari yang mampu berdampingan
dengan kondisi resisten masyarakat setempat mengisyaratkan terjadi suatu
fenomena praktik tertentu dari investor. Topik ini menarik diangkat karena
beberapa alasan yang sekaligus merupakan urgency penelitian ini. Pertama,
48
menganalisis lebih jauh praktik investor dalam industri perhotelan di Ubud yang
selalu terselubung jargon rahasia perusahaan. Kedua, belum pernah diadakan
penelitian sejenis dengan topik ini. Ketiga, memperkaya khazanah keilmuan dalam
bidang kajian budaya, terutama pada studi tentang pariwisata.
Ada tiga pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Tiga
persoalan tersebut, yakni fenomena praktik investor, ideologi praktik investor dan
makna praktik investor dalam industri perhotelan di Ubud. Konsep-konsep yang
digunakan adalah praktik investor, praktik investor dalam industri perhotelan
sebagai fenomena, ideologi, dan makna industri perhotelan. Untuk menganalisis
permasalahan tersebut, digunakan tiga teori, yakni teori strukturasi Giddens, teori
praktik Bourdieu serta teori kekuasaan dan pengetahuan Foucault.
Temuan baru penelitian ini digunakan sebagai suatu landasan untuk
memberikan saran/rekomendasi, baik kepada pemerintah, masyarakat lokal,
maupun pengusaha pariwisata yang terkait dengan praktik para investor dalam
industri pariwisata di Ubud.