Post on 25-Jul-2020
19
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, dan MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Beberapa hasil penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan
penelitian ini khususnya penelitian tentang SDM PHB, dan penelitian tentang
strategi peningkatan kualitas SDM, adalah sebagai berikut ini:
a) Kajian tentang SDM PHB
Kajian pustaka pertama berjudul Studi Keunggulan Sumber Daya Manusia
(SDM) Bali di Bidang Pariwisata oleh Tim Peneliti Universitas Udayana, yaitu
Bawa dkk. (2001). Tujuan penelitian ini yaitu memahami keunggulan, dan
kelemahan SDM Bali bidang pariwisata pada berbagai tingkatan pekerjaan, dan
jabatan di bidang pariwisata sehingga nantinya dapat diambil langkah-langkah
kebijakan yang tepat untuk pengembangannya. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode penelitian campuran kualitatif, dan kuantitatif dengan analisis
deskriptif. Dilakukan observasi, wawancara, dan studi literatur. Teori yang
digunakan adalah teori Geertz (1959) mengenai tujuh aspek pengikat orang Hindu
Bali. Digunakan juga konsep-konsep lokal yang masyarakat Hindu Bali, seperti:
konsep Karma Phala, konsep bakti, konsep ngayah, dan medana punia, konsep
eda ngaden awak bisa depang anake ngadanin, dan konsep Tat Wam Asi.
Hasil penelitian Bawa dkk. (2001) menyatakan bahwa keunggulan SDM
lokal Bali yang bekerja di bidang pariwisata secara umum bersumber dari kualitas
pribadi (personal qualities), dan hubungan antar manusia (human relations) yang
19
20
lebih banyak pada tingkat pelaksana. Keunggulan SDM lokal Bali di bidang
pariwisata sangat terkait dengan nilai-nilai budaya masyarakat yang bersumber
pada agama Hindu seperti falsafah Tri Hita Karana, Tri Kaya Parisudha,
toleransi (paras paros selunglung sebayantaka), dan kebiasaan menghormati
tamu. Beberapa kelemahan yang secara umum dimiliki oleh SDM lokal Bali yang
bekerja di bidang pariwisata pada setiap jenjang pekerjaan adalah pada umumnya
kurang kreatif, tidak efisien, kurang cerdas (smart) dalam menangani pekerjaan
yang ditugaskan, tidak cermat, dan teliti dalam bekerja, kurang memiliki sikap
yang tegas dalam mengambil keputusan, kurang mampu meramalkan
(forecasting) dengan tepat terhadap lingkungan bisnis, lemah dalam menyusun
rencana, dan program yang menjadi tanggung jawabnya, dinilai kurang
karismatik, dan lemah dalam menyusun anggaran. Kelemahan tersebut
berhubungan dengan aspek manajerial, dan aspek bisnis yang justru diperlukan
untuk dapat menduduki posisi tingkat manajer.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Strategi Peningkatan Jabatan
Sumber Daya Manusia Pariwisata Hindu di Bali ke Tingkat Manajer pada Hotel
Berbintang di Bali yaitu bahwa penelitian oleh Bawa dkk. lebih membahas ihwal
SDM lokal Bali bidang pariwisata secara umum di semua level bukan terfokus
hanya pada SDM PHB. Penelitian Bawa dkk. itu dapat digunakan sebagai acuan
pembahasan mengenai karakter masyarakat Bali yang tinggi rendahnya daya
saing SDM PHB.
Kajian pustaka kedua yaitu kajian dengan judul Tantangan Daya Saing
Sumber Daya Manusia Masyarakat Bali dalam Menduduki Jabatan Top
21
Management di Sektor Pariwisata oleh Putra dkk. (2013), karyasiswa program
Pascasarjana Universitas Udayana. Kajian ini dilatarbelakangi oleh sektor
pariwisata Bali yang dihadapkan pada permasalahan perebutan pekerjaan antara
tenaga kerja lokal dengan tenaga kerja asing. Tenaga kerja asing sebagian besar
menempati posisi top management, sedangkan masyarakat Bali sendiri lebih
banyak menempati posisi pekerja kasar, dan beberapa berhasil menduduki posisi
middle management; itupun masih harus bersaing dengan tenaga kerja dari luar
Bali. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui penyebab masyarakat lokal
jarang/tidak mampu menduduki posisi top management, dan mengetahui usaha
yang perlu dilakukan agar masyarakat lokal mampu menduduki jabatan top
management. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis
deskriptif.
Hasil pembahasannya menunjukkan bahwa yang menyebabkan masyarakat
Bali jarang menduduki jabatan top management antara lain sebagai berikut ini: a)
Kurangnya kompetensi masyarakat Bali baik dari kemampuan (skill),
pengetahuan (knowledge), serta sikap perilaku (attitude). b) Tenaga kerja lokal
lebih tidak mampu memberikan komitmen kepada perusahaan jika dibandingkan
dengan komitmen yang diperoleh dari tenaga asing. Salah satunya dikarenakan
oleh kegiatan adat yang terkadang menyita waktu. c) Investasi bermodal besar di
sektor pariwisata sebagian besar merupakan investasi asing sehingga mempunyai
kekuasaan untuk menempatkan tenaga kerja yang dipercayai untuk menduduki
jabatan top management. d) Tidak adanya transfer keahlian dari tenaga asing
kepada tenaga kerja lokal, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
22
Kajian yang dilakukan oleh Putra dkk. itu serupa dengan penelitian tentang
Strategi Peningkatan Jabatan Sumber Daya Manusia Pariwisata Hindu di Bali ke
Tingkat Manajer pada Hotel Berbintang di Bali, yaitu sama-sama bertujuan
mengetahui penyebab masyarakat lokal Bali jarang/tidak mampu menduduki
posisi top management, dan mengetahui usaha yang perlu dilakukan agar
masyarakat lokal Bali mampu menduduki jabatan top management.
Perbedaannya, akan dipertegas fokus penelitian yaitu hanya pada masyarakat Bali
yang beragama Hindu yang bergerak di bidang pariwisata khususnya pada hotel
berbintang. Penelitian Putra dkk. itu dapat dijadikan referensi dalam menentukan
faktor yang rendahnya jumlah SDM pariwisata lokal Bali yang menduduki posisi
manajer pada hotel berbintang di Bali.
Kajian pustaka ketiga berjudul Kapasitas Sumber Daya Manusia Lokal pada
Industri Pariwisata Perhotelan di Kelurahan Kuta, oleh Rahman, dan
Tjokropandojo (2014), karyasiswa Institut Teknologi Bandung. Kajian ini
dilatarbelakangi oleh minimnya pemanfaatan peluang kerja oleh masyarakat lokal
dalam mendukung kebutuhan tenaga kerja pada industri pariwisata perhotelan di
Kelurahan Kuta. Kajian ini berupaya untuk mengidentifikasi kesesuaian antara
kualifikasi yang dibutuhkan oleh industri pariwisata perhotelan dengan kapasitas
yang dimiliki oleh masyarakat lokal di Kelurahan Kuta dalam mendukung
kebutuhan akan tenaga kerja pada industri pariwisata perhotelan. Metode yang
digunakan adalah metode kualitatif dengan analisis deskriptif. Teori yang
digunakan adalah teori Pengembangan Ekonomi Lokal oleh Blakely (1994), teori
SDM oleh Simanjuntak (1985), dan teori Kompetensi.
23
Hasil kajiannya menunjukkan bahwa kapasitas yang dimiliki oleh
masyarakat lokal dalam memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan oleh industri
pariwisata perhotelan dapat dilihat berdasarkan tingkat kompetensi kognitif
(tingkat pendidikan), kompetensi fungsional (tingkat keterampilan), dan
kompetensi sosial (sikap atau perilaku). Dari ketiga kompetensi yang dimiliki oleh
masyarakat lokal di Kelurahan Kuta, hanya kompetensi sosial saja yang belum
sesuai dengan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri pariwisata
perhotelan di Kelurahan Kuta, terutama pada Hotel bintang 4, dan Hotel bintang
5, sehingga penyerapan tenaga kerja pada tipe hotel tersebut masih sangat minim.
Kajian ini banyak menguraikan ihwal permintaan (demand) tenaga kerja
yang berkaitan dengan standar kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, dan
penyediaan (supply) tenaga kerja yang berkaitan dengan kapasitas tenaga kerja
yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Di lain pihak, penelitian tentang Strategi
Peningkatan Jabatan Sumber Daya Manusia Pariwisata Hindu di Bali ke Tingkat
Manajer pada Hotel Berbintang di Bali, melihat hubungan antara kapasitas yang
dimiliki oleh masyarakat lokal dengan banyaknya penyerapan tenaga kerja
khususnya posisi manajer pada hotel Berbintang. Penelitian Rahman, dan
Tjokropandojo itu dapat dijadikan referensi akan pentingnya kompetensi, dan
peningkatan keahlian kerja, sehingga dapat memenuhi permintaan tenaga kerja
jabatan manager pada hotel berbintang di Bali.
24
b) Kajian pustaka tentang strategi peningkatan SDM
Kajian pustaka keempat berjudul Faktor-Faktor yang Kinerja Karyawan
(Studi Kasus pada Hotel, dana Solo), oleh Elisabeth Novi Ariwardani Perwitasari
(2003), karyasiswa Universitas Katolik Soegijapranata. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui faktor-faktor yang kinerja karyawan. Penelitian ini
menggunakan metode kuantitatif dengan analisis deskriptif. Teori yang digunakan
yaitu teori motivasi Maslow (1943), teori motivasi Mc. Clelland (1976), teori
kepemimpinan Sumarni, dan Soeprihanto (1998).
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa keterampilan, motivasi,
lingkungan kerja, dan kepemimpinan berpengaruh secara signifikan terhadap
kinerja karyawan. Keterampilan yang dimaksud adalah kemampuan karyawan
untuk melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Motivasi merupakan
dorongan yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawan untuk memenuhi
kebutuhannya. Lingkungan kerja adalah keadaan di sekitar karyawan yang
meliputi pelayanan karyawan, kondisi kerja, dan hubungan karyawan.
Kepemimpinan adalah kemampuan atasan untuk karyawan dalam bekerja seperti
gaya atasan memberi arahan, memimpin, dan komunikasi antara atasan, dan
bawahan. Apabila faktor-faktor tersebut ditingkatkan, maka hal itu akan
berpengaruh terhadap peningkatan kinerja karyawan.
Penelitian oleh Perwitasari ini memiliki persamaan yaitu membahas ihwal
SDM pariwisata bidang perhotelan. Hanya saja fokus dipersempit yaitu SDM
PHB bidang perhotelan. Peningkatan keterampilan, motivasi, lingkungan kerja,
dan kepemimpinan yang diungkapkan pada penelitian Perwitasari dapat dijadikan
25
referensi dalam kajian tentang strategi peningkatan jabatan SDM PHB pada hotel
berbintang di Bali.
Kajian pustaka kelima berjudul Pariwisata, dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia oleh Nandi (2008) karyasiswa Universitas Pendidikan Indonesia.
Tujuan kajian ini adalah mengidentifikasi, dan menganalisis hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam mengembangkan kawasan wisata. Metode penulisan kajian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif. Teori yang
digunakan adalah teori pembangunan sektor kepariwisataan Spillane (1994).
Hasil kajiannya menunjukkan bahwa pengelolaan, pengembangan, dan
pembiayaan kawasan wisata memerlukan daya dukung dari banyak stakeholders
sehingga prosesnya bisa berjalan lancar. Pendidikan kepariwisataan juga
merupakan salah satu kunci dalam mengembangkan potensi kepariwisataan
karena bidang ini memerlukan tenaga terampil yang secara terus menerus harus
dikembangkan. Pengembangan pengetahuan tenaga kerja ditekankan pada: 1)
pengembangan pengetahuan tentang cara pelayanan, 2) pengembangan
pengetahuan tentang peralatan, dan perlengkapan yang diperlukan dalam bidang
pelayanan, dan 3) pengembangan SDM yang berkaitan dengan pengembangan
sikap, perilaku, dan sopan santun. Ketiga hal tersebut setiap saat dapat berubah,
dan mengarah pada kemajuan sehingga ketiganya harus selalu ditingkatkan
khususnya melalui pendidikan yang juga akan daya serap industri.
Penelitian yang dilakukan oleh Nandi itu memiliki kelemahan, yaitu kurang
sinkron antara pembahasan dengan kesimpulan penelitian. Dalam kesimpulan
penelitian, Nandi hanya memaparkan perlunya dukungan dari banyak
26
stakeholders dalam pengembangan pariwisata. Tetapi, pendidikan kepariwisataan
yang dalam pembahasan juga diuraikan karena dianggap memiliki peranan dalam
pengembangan kepariwisataan tidak dipaparkan dalam kesimpulan penelitian.
Penelitian yang Nandi lakukan memiliki perbedaan dengan penelitian Strategi
Peningkatan Jabatan Sumber Daya Manusia Pariwisata Hindu di Bali ke Tingkat
Manajer pada Hotel Berbintang di Bali yaitu Nandi lebih fokus pada
pengembangan kawasan wisata.
Walaupun demikian, upaya peningkatan kompetensi SDM pariwisata yang
diuraikan Nandi dapat dijadikan referensi dalam strategi peningkatan jabatan
SDM PHB, yaitu melalui pendidikan yang menekankan tiga hal, yaitu: 1)
pengembangan pengetahuan, 2) pengembangan pelayanan, peralatan, dan
perlengkapan, dan 3) pengembangan sikap, perilaku, dan sopan santun.
Kajian pustaka keenam berjudul Pengaruh Penempatan, Karakteristik
Pekerjaan, dan Lingkungan Kerja Terhadap Motivasi, dan Kinerja Karyawan
Grand Sinar Indah Hotel Kuta-Bali oleh Soares (2010), karyasiswa Program
Pascasarjana Universitas Udayana. Kajian ini bermaksud untuk mengetahui
pengaruh signifikan dari penempatan, karakteristik pekerjaan, dan lingkungan
kerja terhadap motivasi, dan kinerja karyawan. Metode yang digunakan adalah
metode kualitatif dengan analisis deskriptif. Teori yang digunakan adalah teori
motivasi Maslow (1943), teori motivasi Mc. Clelland (1976), dan teori motivasi
Mc. Gregor (1950).
Hasil kajiannya menunjukkan bahwa penempatan, karakteristik pekerjaan,
dan lingkungan kerja sangat berpengaruh terhadap motivasi, dan kinerja
27
karyawan. Motivasi, dan kinerja karyawan dapat ditingkatkan dengan
memperbaiki penempatan posisi atau jabatan, meningkatkan kualitas hasil kerja
agar sesuai dengan harapan, serta memperbaiki lingkungan kerja agar kondusif.
Kajian ini membahas ihwal kinerja, dan motivasi karyawan secara luas. Penelitian
Soares itu dapat dijadikan referensi untuk dapat meningkatkan jabatan SDM PHB,
yaitu dengan memotivasi SDM melalui penempatan posisi atau jabatan,
meningkatkan kualitas kerja, serta memperbaiki lingkungan kerja agar kondusif.
Kajian pustaka ketujuh berjudul Pengaruh Kemampuan, Motivasi,
Kompensasi, dan Pelatihan Terhadap Kinerja Karyawan Food and Beverage
Department pada Hotel dalam Manajemen Kagum Group Bandung oleh, danti
Permatasari (2011), karyasiswa Universitas Pendidikan Indonesia. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui, dan menganalisis pengaruh kemampuan kerja,
motivasi kerja, kompensasi, dan pelatihan terhadap kinerja karyawan Food and
Beverage pada hotel dalam manajemen Kagum Group. Penelitian ini
menggunakan metode kuantitatif dengan analisis deskriptif. Teori yang digunakan
adalah teori motivasi Mc. Clelland (1976), teori motivasi Taylor (1911), dan teori
motivasi Maslow (1943).
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kemampuan kerja, motivasi kerja,
kompensasi, dan pelatihan berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja
karyawan Food and Beverage Department pada hotel dalam manajemen Kagum
Group. Penelitian yang dilakukan oleh Permatasari serupa, hanya saja Permatasari
meneliti karyawan/SDM Food and Beverage Department pada hotel sedangkan
penelitian Strategi Peningkatan Jabatan Sumber Daya Manusia Pariwisata Hindu
28
di Bali ke Tingkat Manajer pada Hotel Berbintang di Bali meneliti SDM PHB
yang menduduki posisi manajer. Walaupun terdapat perbedaan, variabel
kemampuan kerja, motivasi kerja, kompensasi, dan pelatihan yang digunakan
dalam penelitian Permatasari dapat digunakan sebagai strategi peningkatan
jabatan SDM PHB agar mampu menduduki posisi manajer pada hotel berbintang
di Bali.
Kajian pustaka kedelapan berjudul Pengaruh Kepuasan, dan Motivasi Kerja
Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan Riyadi Palace Hotel di Surakarta oleh
Edhi Prasetyo, dan M. Wahyuddin (2011), karyasiswa Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah, Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh kepuasan, dan motivasi terhadap produktivitas kerja karyawan Riyadi
Palace Hotel di Surakarta. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan
analisis deskriptif. Kepuasan kerja karyawan diukur melalui penilaian responden
terhadap beberapa indikator seperti hubungan dengan pimpinan, hubungan dengan
rekan, lingkungan fisik kerja, saran atau kritik dari rekan kerja, hasil penyelesaian
tugas, dan tanggung jawab, perasaan di tengah keluarga berkaitan dengan
kebutuhan tugas di kantor, perasaan jika mendapat penghargaan atau pujian dari
atasan, perasaan atau penilaian terhadap gaji, tunjangan, dan bonus yang diberikan
instansi, penilaian terhadap jaminan/asuransi kesehatan, jaminan pensiun, dan
penilaian terhadap cuti kerja. Motivasi berupa dorongan oleh keinginan untuk
memenuhi kebutuhan penghasilan yang akan digunakan untuk mencukupi
kebutuhannya. Penelitian ini menggunakan teori produktivitas kerja Ravianto
(1995), dan teori motivasi Maslow (1943).
29
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kepuasan kerja, dan motivasi kerja
berpengaruh positif, dan signifikan terhadap produktivitas karyawan. Motivasi
kerja lebih besar pengaruhnya daripada kepuasan kerja terhadap produktivitas.
Berdasarkan hasil tersebut, maka perusahaan diharapkan dapat meningkatkan
motivasi, dan terpenuhinya kepuasan kerja karyawan sehingga karyawan memiliki
produktivitas yang tinggi. Penelitian yang dilakukan Prasetyo, dan Wahyuddin itu
memiliki persamaan dengan penelitian Strategi Peningkatan Jabatan Sumber Daya
Manusia Pariwisata Hindu di Bali ke Tingkat Manajer pada Hotel Berbintang di
Bali, yaitu sama-sama meneliti SDM bidang perhotelan. Hanya saja penelitian ini
akan lebih difokuskan pada SDM PHB bidang perhotelan. Kepuasan kerja, dan
motivasi dapat digunakan sebagai bahan untuk menentukan strategi peningkatan
jabatan SDM PHB ke tingkat manajer pada hotel berbintang di Bali.
Kajian pustaka kesembilan yaitu penelitian yang berjudul Pengaruh
Kepuasan Kerja, dan Motivasi Terhadap Kinerja Pegawai Hotel Puri Khatulistiwa
Sumedang, oleh Ganjar Muldian (2013), karyasiswa Program Pascasarjana,
Universitas Pasundan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepuasan kerja,
motivasi, dan kinerja pegawai serta untuk mengetahui pengaruh kepuasan kerja,
dan motivasi terhadap kinerja pegawai hotel Puri Khatulistiwa, Sumedang.
Variabel kepuasan kerja meliputi: gaji, turn over, absensi, umur, tingkat
pekerjaan, dan ukuran organisasi. Variabel motivasi meliputi kebutuhan fisik,
kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan, dan kebutuhan
aktualisasi diri. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan analisis
deskriptif.
30
Teori yang digunakan adalah teori kepuasan kerja oleh Mangkunegara
(2001), teori motivasi Maslow (1943), motivasi Mc. Clelland (1976), motivasi
McGregor (1950), motivasi Alderfer (1972), dan teori dua faktor Herzberg
(1966). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara bersama-sama terdapat
pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja, dan motivasi terhadap kinerja
pegawai hotel Puri Khatulistiwa, Sumedang. Penelitian oleh Muldian itu memiliki
persamaan dengan penelitian Strategi Peningkatan Jabatan Sumber Daya Manusia
Pariwisata Hindu di Bali ke Tingkat Manajer pada Hotel Berbintang di Bali, yaitu
sama-sama meneliti SDM hotel. Kepuasan kerja, dan motivasi yang dikemukakan
dalam penelitian Muldian dapat dijadikan masukan dalam strategi peningkatan
jabatan SDM PHB agar mampu menduduki posisi manajer pada hotel Berbintang
di Bali.
Kajian pustaka kesepuluh berjudul Pemberdayaan Sumber Daya Manusia,
Motivasi Kerja, dan Perubahan Organisasi dalam Meningkatkan Kinerja Usaha
Perhotelan di Bali oleh Sutawa (2015). Dalam disertasinya dinyatakan bahwa
sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan jumlah hotel di Bali meningkat tajam.
Persaingan di antara penyedia layananan jasa akomodasi di Bali semakin ketat.
Manajemen hotel di Bali terus mengembangkan strategi, dan antisipasi agar tetap
eksis, dan mampu mengembangkan kinerja perusahaannya. Penelitian ini
bertujuan untuk menguji, dan menganalisis pengaruh pemberdayaan SDM
terhadap motivasi kerja pekerja, perubahan organisasi, dan kinerja organisasi
usaha perhotelan di Bali.
31
Teori yang digunakan adalah teori pemberdayaan SDM (Khan, 2011 dan
Noe, 2004), teori motivasi kerja (Mc.Clelland, 1976), teori perubahan organisasi
(Kottler, 1997 dan Robbins, 2003), dan teori kinerja organisasi (Baron, dan
Greenberg, 1995). Populasi penelitian adalah karyawan hotel berbintang di
seluruh Bali. Penelitian menggunakan metode kuantitatif dengan Structural
Equation Modeling (SEM) yang ditunjang dengan kualitatif menggunakan teknik
wawancara mendalam, dan Focus Group Discussion (FGD).
Hasil penelitiannya mengungkapkan hal berikut ini. (1) Pemberdayaan
SDM berpengaruh positif, dan signifikan terhadap motivasi kerja, perubahan
organisasi, dan kinerja organisasi usaha perhotelan di Bali. (2) Motivasi kerja
berpengaruh positif, dan signifikan terhadap perubahan organisasi, dan kinerja
organisasi usaha perhotelan di Bali. (3) Perubahan organisasi berpengaruh positif,
dan signifikan terhadap kinerja organisasi usaha perhotelan di Bali. Pemberdayaan
SDM memiliki pengaruh yang paling kuat untuk mendukung peningkatan kinerja
organisasi, disusul oleh variabel perubahan organisasi, dan variabel motivasi
kerja.
Penelitian yang Sutawa lakukan itu memiliki persamaan dengan penelitian
penulis, yaitu sama-sama meneliti SDM pariwisata bidang perhotelan. Hanya saja
penelitian Strategi Peningkatan Jabatan Sumber Daya Manusia Pariwisata Hindu
di Bali ke Tingkat Manajer pada Hotel Berbintang di Bali akan lebih difokuskan
pada SDM PHB bidang perhotelan. Sepuluh kajian pustaka yang digunakan dapat
dilihat pada Tabel 2.1 Kajian Pustaka berikut:
32
No Pengarang, tahun
& judul
Tujuan
penelitian Metode & Teori Hasil penelitian
Perbedaan Dg Penelitian
Penulis Relevansi Dg Penelitian Penulis
1 Bawa dkk. (2001):
Studi Keunggulan
Sumber Daya
Manusia (SDM)
Bali di Bidang
Pariwisata
Mengetahui
keunggulan &
kelemahan SDM
etnis Bali di
bidang pariwisata.
Campuran
kualitatif &
kuantitatif dg
analisis deskriptif.
Teori Geertz
(1959)
Keunggulan SDM etnis Bali di
bidang Pariwisata terletak pd aspek
pribadi & kemampuan bekerjasama.
Kelemahan SDM Bali terutama
berhubungan dg aspek manajerial &
aspek bisnis.
Bawa, dkk membahas mengenai
SDM pariwisata Bali secara
umum di semua level bukan
hanya fokus pd SDM Hindu
Bali bidang perhotelan tingkat
Manajer pd hotel Berbintang.
Digunakan sbg materi pembahasan
mengenai pengaruh karakter masyarakat
Bali yg tinggi rendahnya daya saing
SDM Pariwisata Hindu di Bali di bidang
perhotelan.
2 Putra dkk. (2013):
Tantangan Daya
Saing Sumber Daya
Manusia
Masyarakat Bali
dlm Menduduki
Jabatan Top
management di
Sektor Pariwisata
Mengetahui
penyebab SDM
Pariwisata Bali
jarang/tidak
mampu
menduduki top
management di
sektor pariwisata
Kuantitatif dg
analisis deskriptif.
Tidak
memaparkan teori
yang digunakan
sebagai acuan
membedah
permasalahan
SDM Pariwisata Bali jarang
menduduki jabatan top management
krn: a) kurang kompetensi; b) tdk
mampu memberikan komitmen kpd
perusahaan; c) investor asing
mempunyai kekuasaan menempatkan
tenaga kerja yg dipercaya; d) tdk ada
transfer keahlian tenaga asing ke
karyawan lokal.
Fokus kajian dlm penelitian
Putra, dkk yaitu seluruh SDM
Pariwisata Hindu di Bali,
sedangkan dlm penelitian yg
akan dilakukan, dipertegas
fokus penelitian yaitu hanya pd
SDM PHB yang bekerja di
bidang perhotelan.
Digunakan sebagai referensi dlm
melihat penyebab SDM Pariwisata
Hindu di Bali yang jarang menduduki
jabatan top management di sektor
pariwisata yaitu disebabkan krn
kurangnya kompetensi & komitmen dari
SDM Pariwisata Hindu di Bali.
3 Rahman &
Tjokropandojo
(2014):
Kapasitas Sumber
Daya Manusia
Lokal pd Industri
Pariwisata
Perhotelan di
Kelurahan Kuta
Mengidentifikasi
kesesuaian antara
kualifikasi yg
dibutuhkan oleh
industri pariwisata
perhotelan dg
kapasitas yg
dimiliki oleh
masyarakat Kuta
Kualitatif dg
analisis deskriptif.
Teori
pengembangan
ekonomi Blakely
(1994), SDM
Simanjuntak
(1985), dan teori
Kompetensi.
Kapasitas masyarakat lokal dlm
memenuhi kualifikasi industri dpt
dilihat berdasarkan tingkat
kompetensi. SDM pariwisata lokal
yaitu SDM pariwisata Kuta, hanya
memiliki kompetensi sosial & itupun
belum sesuai dg kualifikasi tenaga
kerja yg dibutuhkan pd industri
perhotelan.
Kajian ini menguraikan ihwal
permintaan tenaga kerja yg
berkaitan dg standar kualifikasi
yg dibutuhkan & penyediaan
tenaga kerja, bukan melihat
hubungan antara kapasitas yg
dimiliki SDM dg jumlah
penyerapan tenaga kerja tingkat
manajer.
Sbg masukan penyebab rendahnya
kualitas SDM PHB yaitu krn
kompetensi yg kurang memenuhi
permintaan tenaga kerja yg dibutuhkan
pd industri pariwisata perhotelan.
Terutama kompetensi yang berhubungan
dengan bidang sosial.
Tabel 2.1 Kajian Pustaka
33
No Pengarang, tahun &
judul Tujuan penelitian Metode & Teori Hasil penelitian
Perbedaan Dg Penelitian
Penulis Relevansi Dg Penelitian Penulis
4 Perwitasari (2003):
Faktor-Faktor Yg
Kinerja Karyawan
(Studi Kasus pd Hotel
Dana Solo)
Penelitian ini
bertujuan untuk
mengetahui faktor-
faktor yg kinerja
karyawan.
Kuantitatif dg analisis
deskriptif. Teori motivasi
Maslow (1943),
Mc.Clelland (1976),
kepemimpinan Sumarni
& Soeprihanto (1998)
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa keterampilan, motivasi,
lingkungan kerja &
kepemimpinan berpengaruh
secara signifikan terhadap
kinerja karyawan.
Fokus penelitian Perwitasari
yaitu karyawan/SDM hotel,
sedangkan dlm penelitian yg
akan dilakukan dipersempit
hanya pd SDM PHB bidang
perhotelan.
Dijadikan referensi dlm strategi
peningkatan kualitas SDM PHB
melalui peningkatan
keterampilan, motivasi,
lingkungan kerja &
kepemimpinan 5 Nandi (2008):
Pariwisata &
Pengembangan
Sumber Daya Manusia
Mengidentifikasi &
menganalisis hal-
hal yg perlu
diperhatikan dlm
mengembangkan
kawasan wisata
Kualitatif dg analisis
deskriptif. Teori
pembangunan sektor
kepariwisataan Spillane
(1994)
Pengembangan kawasan wisata
memerlukan dukungan
stakeholders, stabilitas
keamanan & politik, SDM,
anggaran, kebijakan hukum &
yg utama pendidikan
kepariwisataan
Nandi lebih fokus pd
pengembangan kawasan wisata
bukan pd peningkatan jabatan
SDM PHB ke tingkat manajer
Pendidikan yg menekankan
pengembangan pengetahuan
pelayanan, peralatan &
perlengkapan & sikap perilaku
sopan santun dapat dijadikan
strategi peningkatan jabatan SDM
PHB. 6 Soares (2010):
Pengaruh Penempatan,
Karakteristik Pekerjaan
& Lingkungan Kerja
Terhadap Motivasi &
Kinerja Karyawan
Grand Sinar Indah
Hotel Kuta, Bali
Mengetahui
pengaruh
penempatan,
karakteristik
pekerjaan & ling.
kerja thd motivasi
& kinerja
karyawan.
Kualitatif dg analisis
deskriptif. Teori motivasi
Maslow (1943),
motivasi Mc. Clelland
(1976), motivasi Mc.
Gregor (1950)
Hasil kajian menunjukkan
bahwa penempatan,
karakteristik pekerjaan &
lingkungan kerja sangat
berpengaruh terhadap motivasi
& kinerja karyawan.
Kajian ini membahas ihwal
kinerja & motivasi karyawan
secara luas, bukan hubungan
antara penempatan posisi
jabatan terhadap motivasi &
kinerja SDM PHB
Masukan dlm upaya peningkatan
jabatan SDM PHB melalui
motivasi dg penempatan posisi
atau jabatan, meningkatkan
kualitas hasil kerja agar sesuai dg
harapan, & memperbaiki
lingkungan kerja agar kondusif.
7 Permatasari (2011):
Pengaruh Kemampuan,
Motivasi, Kompensasi
& Pelatihan Terhadap
Kinerja Karyawan
Food & Beverage
Department pd Hotel
dlm Manajemen
Kagum Group
Mengetahui
pengaruh
kemampuan kerja,
motivasi kerja,
kompensasi &
pelatihan terhadap
kinerja karyawan
Food & Beverage
Kuantitatif dg analisis
deskriptif. Teori
Motivasi Mc. Clelland
(1976), Taylor (1911),
motivasi Maslow (1943)
Kemampuan kerja, motivasi
kerja, kompensasi & pelatihan
berpengaruh secara signifikan
terhadap kinerja karyawan Food
& Beverage Department pd
hotel dlm manajemen Kagum
Group baik secara parsial
maupun secara simultan.
Permatasari meneliti ihwal
karyawan/SDM Food &
Beverage Department pd hotel
bukan meneliti SDM Bali yg
menduduki posisi manajer.
Kemampuan kerja, motivasi kerja,
kompensasi & pelatihan yg
digunakan dlm penelitian
Permatasari dapat digunakan sbg
strategi peningkatan jabatan SDM
PHB agar mampu menduduki
posisi manajer pd hotel
berbintang di Bali
34
No Pengarang, tahun &
judul Tujuan penelitian Metode & Teori Hasil penelitian
Perbedaan Dg Penelitian
Penulis Relevansi Dg Penelitian Penulis
8 Prasetyo & Wahyuddin
(2011): Pengaruh
Kepuasan & Motivasi
Kerja Terhadap
Produktivitas Kerja
Karyawan Riyadi
Palace Hotel di
Surakarta
Mengetahui
pengaruh kepuasan
& motivasi
terhadap
produktivitas kerja
karyawan Riyadi
Palace Hotel di
Surakarta.
Kuantitatif dg analisis
deskriptif. Teori
produktivitas Ravianto
(1995) & teori motivasi
Maslow (1943)
Kepuasan kerja & motivasi
kerja berpengaruh positif &
signifikan terhadap
produktivitas karyawan.
Motivasi kerja lebih besar
pengaruhnya dari pd kepuasan
kerja terhadap produktivitas.
Fokus penelitian Prasetyo &
Wahyuddin yaitu
karyawan/SDM hotel,
sedangkan dlm penelitian
penulis dipersempit hanya pd
SDM Pariwisata Hindu di Bali
bidang perhotelan.
Peningkatan motivasi kerja dapat
digunakan sbg strategi
peningkatan jabatan SDM
Pariwisata Hindu di Bali ke
Tingkat Manajer pd Hotel
Berbintang di Bali
9 Muldian (2013):
Pengaruh Kepuasan
Kerja & Motivasi
Terhadap Kinerja
Pegawai Hotel Puri
Khatulistiwa
Sumedang
Mengetahui
kepuasan kerja,
motivasi & kinerja
pegawai &
pengaruhnya
terhadap kinerja
pegawai hotel Puri
Khatulistiwa
Sumedang.
Kuantitatif dg analisis
deskriptif. Teori
kepuasan kerja
Mangkunegara (2001),
motivasi Maslow (1943),
Mc. Clelland (1976), Mc.
Gregor (1950), Alderfer
(1972), teori dua faktor
Herzberg (1966)
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa secara bersama-sama
terdapat pengaruh yg signifikan
antara kepuasan kerja &
motivasi terhadap kinerja
pegawai hotel Puri Khatulistiwa
Sumedang.
Muldian ingin mengetahui
pengaruh kepuasan kerja &
motivasi terhadap kinerja
pegawai bukan untuk
mengetahui faktor yg
rendahnya jumlah SDM
Pariwisata Hindu di Bali yg
menduduki posisi manajer pd
hotel Berbintang di Bali
Kepuasan kerja & motivasi yg
dikemukakan dlm penelitian
Muldian, dapat dijadikan
masukan dlm strategi peningkatan
jabatan SDM Pariwisata Hindu di
Bali agar mampu menduduki
posisi managerial pd hotel
Berbintang di Bali
10 Sutawa (2015):
Pemberdayaan Sumber
Daya Manusia,
Motivasi Kerja, dan
Perubahan Organisasi
dalam Meningkatkan
Kinerja Usaha
Perhotelan di Bali
Menguji, dan
menganalisis
pengaruh
pemberdayaan
SDM terhadap
motivasi kerja
pekerja, perubahan
organisasi, dan
kinerja organisasi
usaha perhotelan di
Bali.
Kuantitatif yaitu SEM
ditunjang kualitatif yaitu
wawancara mendalam,
dan FGD. Teori yang
digunakan yaitu teori
pemberdayaan SDM,
teori motivasi kerja, teori
perubahan organisasi,
dan teori kinerja
organisasi.
Pemberdayaan sumber daya
manusia memiliki pengaruh
yang paling kuat untuk
mendukung peningkatan kinerja
organisasi, disusul oleh variabel
perubahan organisasi, dan
variabel motivasi kerja.
Sama-sama meneliti SDM
pariwisata bidang perhotelan.
Hanya saja akan lebih
difokuskan pada SDM
Pariwisata Hindu di Bali bidang
perhotelan.
Melalui penelitian ini diketahui
SDM merupakan kunci utama
dalam peningkatan pariwisata di
Bali. Pemberdayaan SDM
merupakan salah satu langkah
peningkatan pariwisata Bali.
35
Sepuluh kajian pustaka yang digunakan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
kajian pustaka yang membahas ihwal penyebab rendahnya SDM PHB, dan kajian
pustaka yang membahas ihwal strategi peningkatan kualitas SDM.
Rangkumannya dapat dilihat pada Tabel 2.2, dan 2.3 berikut ini:
Variabel Penelitian
Kajian Pustaka Kompetensi Adat istiadat
Dukungan
Stakeholders
1. Bawa dkk. (2001) √ √ - 2. Putra dkk. (2013) √ √ - 3. Rahman & Tjokropandojo (2014) √ - -
Upaya
Peningkatan
SDM
Kajian Pustaka
Kem
am
pu
an
Ket
era
mp
ila
n
Mo
tiva
si
Lin
gk
un
ga
n
Ker
ja
Kep
emim
pin
an
Pen
did
ika
n
Pel
ati
ha
n
Pen
emp
ata
n
Ka
rak
ter
Pek
erja
an
Ko
mp
ensa
si
Ser
tifi
ka
si
Ko
mp
eten
si
4. Perwitasari (2003) - √ √ √ √ - - - - - -
5. Nandi (2008) - - - - - √ - - - - - 6. Soares (2010) - - - √ - - - √ √ - - 7. Permatasari (2011) √ - √ - - - √ - - √ -
8. Prasetyo & Wahyudin
(2011) -
- √ - - - - - - - -
9. Muldian (2013) - - √ - - - - - - - - 10. Sutawa (2015) - - √ - - - - - - √ -
Berdasarkan Tabel 2.2, dari keempat kajian pustaka mengenai SDM PHB,
terlihat bahwa rendahnya kualitas SDM PHB disebabkan oleh kurangnya
kompetensi, dan adanya ikatan adat istiadat Bali. Berdasarkan hal tersebut, maka
untuk menjawab permasalahan pertama mengenai faktor penyebab rendahnya
jumlah SDM PHB yang menduduki posisi manajer pada hotel berbintang di Bali,
peneliti memfokuskan pada aspek kompetensi, dan adat istiadat masyarakat Hindu
Bali. Untuk menjawab permasalahan kedua mengenai strategi peningkatan jabatan
Tabel 2.2 Rangkuman Penyebab Rendahnya SDM Pariwisata Hindu di Bali
dalam Kajian Pustaka
Tabel 2.3 Rangkuman Strategi Peningkatan Kualitas SDM dalam Kajian Pustaka
36
SDM PHB agar mampu menduduki posisi manajer pada hotel berbintang di Bali,
peneliti mengacu pada Tabel 2.3 yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil
penelitian-penelitian terdahulu yang diangkat dalam kajian pustaka, peningkatan
jabatan SDM ke tingkat manajer dapat dilakukan melalui motivasi.
2.2 Konsep
Adapun konsep penelitian berjudul Strategi Peningkatan Jabatan Sumber
Daya Manusia Pariwisata Hindu di Bali ke Tingkat Manajer pada Hotel
Berbintang di Bali yang dijabarkan adalah konsep strategi peningkatan jabatan,
konsep SDM PHB, konsep Masyarakat Hindu Bali, Konsep Manajer Hotel, dan
Konsep Hotel Berbintang di Bali.
2.2.1 Konsep Strategi Peningkatan Jabatan
Strategi berasal dari bahasa Yunani strategos yang artinya suatu cara atau
siasat untuk memenangi pertempuran. Akan tetapi, pada perkembangan
selanjutnya, istilah strategi tidak hanya digunakan dalam bidang militer atau
pertempuran saja, melainkan semakin berkembang hingga merambah ke berbagai
bidang, seperti ekonomi, politik, dan komunikasi. Menurut Rangkuti (2009: 3),
strategi adalah alat untuk mencapai tujuan. Menurut Marrus (2002: 31) strategi
didefinisikan sebagai suatu proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang
berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi, disertai penyusunan suatu cara
atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat dicapai.
Bryson (2001: 189-190) menjelaskan bahwa strategi dapat dipandang
sebagai pola tujuan, kebijakan, progam tindakan, keputusan, atau alokasi sumber
daya. Hamel, dan Prahalad (1995: 31) menambahkan bahwa strategi merupakan
37
tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat), dan terus-menerus,
serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para
pelanggan di masa depan. Dengan demikian, strategi hampir selalu dimulai dari
apa yang dapat terjadi, dan bukan dimulai dari apa yang telah terjadi.
Goldworthy dan Ashley (1996: 98) mengusulkan tujuh aturan dasar dalam
merumuskan suatu strategi sebagai berikut : a) Ia harus menjelaskan dan
menginterpretasikan masa depan, tidak hanya masa sekarang. b) Arahan strategi
harus bisa menentukan rencana dan bukan sebaliknya. c) Strategi harus berfokus
pada keunggulan kompetitif, tidak semata-mata pada pertimbangan keuangan. d)
Ia harus diaplikasikan dari atas ke bawah, bukan dari bawah ke atas. e) Strategi
harus mempunyai orientasi eksternal. f) Fleksibilitas adalah sangat esensial. g)
Strategi harus berpusat pada hasil jangka panjang
Untuk menjamin agar supaya strategi dapat berhasil baik, Hatten dan Hatten
(1996: 108-109) memberikan beberapa petunjuknya sebagai berikut : a) Strategi
harus konsiten dengan lingkungan, strategi dibuat mengikuti arus perkembangan
masyarakat, dalam lingkungan yang memberi peluang untuk bergerak maju. b)
Setiap organisasi tidak hanya membuat satu strategi, tergantung pada ruang
lingkup kegiatannya. Apabila ada banyak strategi yang dibuat maka strategi yang
satu haruslah konsisten dengan strategi yang lain. Jangan bertentangan atau
bertolak belakang, semua strategi senantiasa diserasikan satu dengan yang lain.
Selanjutnya c) Strategi yang efektif hendaknya memfokuskan dan
menyatukan semua sumberdaya dan tidak menceraiberaikan satu dengan yang
lain. Persaingan tidak sehat antara berbagai unit kerja dalam suatu organisasi
seringkali mengklaim sumberdayanya, membiarkannya terpisah dari unit kerja
38
lainnya sehingga kekuatan-kekuatan yang tidak menyatu itu justru merugikan
posisi organisasi. d) Strategi hendaknya memusatkan perhatian pada apa yang
merupakan kekuatannya dan tidak pada titik-titik yang justru adalah
kelemahannya. Selain itu hendaknya juga memanfaatkan kelemahan pesaing dan
membuat langkah-langkah yang tepat untuk menempati posisi kompetitif yang
lebih kuat. e) Sumber daya adalah sesuatu yang kritis. Mengingat strategi adalah
sesuatu yang mungkin, hendaknya dibuat sesuatu yang memang layak dapat
dilaksanakan. f) Strategi hendaknya memperhitungkan resiko yang tidak terlalu
besar. Memang setiap strategi mengandung resiko, tetapi haruslah berhati-hati,
sehingga tidak menjerumuskan organisasi ke lubang yang lebih besar. Oleh karena
itu strategi hendaknya selalu dapat dikontrol. g) Strategi hendaknya disusun diatas
landasan keberhasilan yang telah dicapai. h) Tanda-tanda suksesnya strategi
ditampakkan dengan adanya dukungan dari pihak-pihak yang terkait dari para
eksekutif, dari semua pimpinan unit dalam organisasi
Penyusunan strategi harus memperhatikan tujuan dan sasaran yang akan
dicapai di waktu yang akan datang, selain itu suatu organisasi harus senantiasa
berinteraksi dengan lingkungan dimana strategi tersebut akan dilaksanakan,
sehingga strategi tersebut tidak bertentangan melainkan searah dan sesuai dengan
kondisi lingkungan dan melihat kemampuan internal dan eksternal yang meliputi
kekuatan dan kelemahan organisasinya. Oleh karena itu, strategi merupakan
perluasan misi guna menjembatani organisasi dengan lingkungannya. Strategi itu
sendiri biasanya dikembangkan untuk mengatasi isu strategis, dimana strategi
menjelaskan respon organisasi terhadap pilihan kebijakan pokok. Strategi secara
39
umum akan gagal, pada saat organisasi tidak memiliki konsisten antara apa yang
dikatakan, apa yang di usahakan dan apa yang dilakukan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa konsep strategi dapat diartikan sebagai suatu
rencana yang disusun untuk mencapai tujuan, dan sasaran yang diinginkan.
Penyusunan strategi harus memerhatikan tujuan, dan sasaran yang akan dicapai di
waktu yang akan datang.tujuan strategi yaitu peningkatan. Peningkatan berarti
kemajuan. Secara umum, peningkatan merupakan upaya untuk menambah derajat,
tingkat, dan kualitas maupun kuantitas. Peningkatan juga dapat
berarti penambahan keterampilan, dan kemampuan agar menjadi lebih baik.
Selain itu, peningkatan juga berarti pencapaian dalam proses, ukuran, sifat,
hubungan, dan sebagainya. Melihat penjelasan tersebut, peningkatan berarti
berproses ke arah yang lebih baik. Jadi, dapat dikatakan bahwa strategi
peningkatan adalah cara atau siasat yang dilakukan untuk membuat perbaikan,
untuk membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Berdasarkan
pengertian tersebut, maksud dari strategi peningkatan jabatan dalam penelitian ini
adalah suatu usaha yang dilakukan untuk mengubah jabatan ke jenjang yang lebih
tinggi.
2.2.2 Konsep SDM Pariwisata
Sumber Daya Manusia (SDM) adalah potensi yang terkandung dalam diri
manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif, dan
transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang
terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan
yang seimbang, dan berkelanjutan. Dalam pengertian praktis sehari-hari, SDM
40
lebih dimengerti sebagai bagian integral dari sistem yang membentuk suatu
organisasi (http://id.wikipedia.org/wiki/Sumber_daya_manusia). SDM merupakan
faktor utama, dan strategis bagi tercapainya keberhasilan pembangunan suatu
bangsa.
Di era globalisasi, peran keunggulan komparatif yang hanya mengandalkan
input (buruh murah, sumber daya alam, dan modal) makin berkurang, dan
bergeser pada peran keunggulan kompetitif yang lebih mencerminkan suatu
pencapaian dalam efisiensi atau produktivitas tenaga kerja. Tjokrowinoto (2001:
63) memaparkan bahwa figur atau sosok SDM pada abad ke-21 adalah manusia
yang memiliki kualifikasi sebagai berikut:
1) memiliki wawasan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap, dan
perilaku (attitude) yang relevan, dan mampu menunjang pencapaian sasaran,
dan bidang tugas dalam suatu organisasi;
2) memiliki disiplin kerja, dedikasi, dan loyalitas yang tinggi terhadap pekerjaan,
dan terhadap organisasi;
3) memiliki rasa tanggung jawab, dan pengertian atau pemahaman yang
mendalam terhadap tugas, dan kewajiban sebagai karyawan atau unsur
manajemen organisasi;
4) memiliki jiwa kemauan yang kuat untuk berprestasi produktif, dan bersikap
profesional;
5) memiliki kemauan, dan kemampuan untuk selalu mengembangkan potensi,
dan kemauan pribadi demi kelancaran pelaksanaan tugas organisasi;
6) memiliki kemampuan yang tinggi dalam bidang teknik maupun manajemen,
dan kepemimpinan;
41
7) memiliki keahlian, dan keterampilan yang tertinggi dalam bidang tugas, dan
memiliki kemampuan alih teknologi;
8) memiliki jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) yang tertinggi, dan
konsisten;
9) memiliki pola pikir, dan pola tindak yang sesuai dengan visi, misi, dan budaya
kerja organisasi.
Di era globalisasi, tentu banyak negara yang saling bekerja sama. Hal ini
pula yang terjadi dengan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN
(Association of Southeast Asian Nations). Pada KTT ASEAN ke-9 pada tanggal 7-
8 Oktober 2003 di Bali, seluruh kepala negara yang tergabung dalam ASEAN
menyepakati pembentukan komunitas ASEAN dalam berbagai bidang yang
dikenal dengan Bali Concord II yang diberlakukan tahun 2015. Komunitas
ASEAN sering disebut dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA
adalah salah satu pilar-pilar impian masyarakat ASEAN. Hal-hal yang diharapkan
dari MEA antara lain: 1) pasar tunggal, dan kesatuan basis produksi, 2) kawasan
ekonomi yang berdaya saing, 3) pertumbuhan ekonomi yang merata, dan 4)
meningkatnya kemampuan untuk berintegrasi dengan perekonomian global.
Dari ketentuan tersebut, nantinya perdagangan barang, jasa, modal, dan
investasi akan bergerak bebas seakan tidak ada halangan secara geografis.
Dimulainya MEA 2015 tersebut tentu akan memberikan dampak positif, dan
negatif bagi Indonesia. Dampak positifnya adalah bahwa MEA 2015 akan
memacu pertumbuhan investasi dari dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu,
investasi dalam negeri berpotensi akan meningkat yang akan menambah jumlah
lapangan kerja dalam negeri. Bertambahnya lapangan kerja di Indonesia akan
42
menambah kesempatan kerja bagi SDM Indonesia. Peluang kedua adalah bahwa
SDM Indonesia dapat mencari pekerjaan di luar negeri dengan aturan yang lebih
mudah. Dampak negatifnya adalah bahwa dengan adanya pasar barang, dan jasa
secara bebas khususnya pada SDM, maka persaingan SDM semakin ketat karena
SDM pariwisata asing akan masuk ke Indonesia. Hal inilah yang akan menambah
pelik masalah SDM di Indonesia.
SDM merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi ekonomi, yakni
bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas, dan memiliki keterampilan serta
berdaya saing tinggi dalam persaingan global. Dalam kaitan tersebut, setidaknya
ada dua hal penting menyangkut kondisi SDM Indonesia, yaitu: 1) ketimpangan
antara jumlah kesempatan kerja, dan angkatan kerja dan 2) tingkat pendidikan
angkatan kerja yang ada masih relatif rendah (http://lspaceh.com/?p=81). Kedua
masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan kerja, dan
rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi.
Dalam mengantisipasi globalisasi sektor jasa atau SDM pada masa depan,
perlu upaya perbaikan mutu, dan kualitas SDM Indonesia. Harus ada nilai lebih
yang ditawarkan oleh SDM Indonesia kepada penyedia kerja agar dapat
dipertimbangkan di pasar lokal maupun global tidak hanya sebagai Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) dengan kemampuan rendah.
SDM pada penelitian ini difokuskan pada SDM PHB. SDM PHB
merupakan salah satu faktor sangat penting dalam pembangunan kepariwisataan
di Bali, mengingat pariwisata merupakan industri jasa yang pada umumnya
melibatkan manusia sebagai faktor penggeraknya. Pemerintah Indonesia, dan
masyarakat Bali khususnya mengharapkan sektor pariwisata Bali dapat
43
memainkan peran strategik sebagai sumber pendapatan, dan devisa nasional. Dari
perspektif nasional, Bali merupakan pintu gerbang kegiatan ekonomi utama
pariwisata di Indonesia. Kepariwisataan merupakan bagian yang sangat erat, dan
tidak dapat dipisahkan lagi dalam kehidupan masyarakat, dan pembangunan di
Bali.
Bali sebagai pulau dimana budaya dan alam saling berpautan. Keterpaduan
antara kelimpahan upacara, kesenian dan pemandangan hijau menggambarkan
bangunan kebudayaan Bali yang sangat elok. Jalinan antara Hindu dan
kebudayaan Bali ini telah menjadi paduan sikap dan perilaku sebagian besar
warga Bali. Jalinan antara kultur orang Bali dan alamnya melalui semangat
religius telah melahirkan harmoni kehidupan yang mengagumkan, sehingga Bali
menjelma menjadi obyek pemuas selera manusia di seluruh dunia.
Jadi berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep
SDM pariwisata dalam penelitian ini yaitu potensi dalam diri manusia Hindu Bali
yang berkecimpung di usaha jasa pariwisata untuk mewujudkan perannya sebagai
makhluk sosial menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang
seimbang, dan berkelanjutan.
2.2.3 Konsep Masyarakat Hindu Bali
Bali memiliki penduduk yang terdiri atas beragam komunitas, dan agama.
Agama yang dianut mayoritas masyarakat Bali adalah Hindu dengan kekayaan
tradisi, dan adat istiadat yang terkadang satu sama lainnya saling berkaitan. Dalam
kehidupan kesehariannya, perilaku masyarakat Hindu Bali mendasarkan pada
nilai-nilai Agama Hindu dan kebudayaan Bali, sebagai berikut ini:
44
1) Falsafah hidup Tri Hita Karana (Kaler, 1969)
Ajaran Tri Hita Karana mengajarkan untuk mengadakan hubungan yang
harmonis dengan pencipta Tuhan Yang Maha Esa, hubungan harmonis manusia
dengan sesama ciptaan Nya dan hubungan yang harmonis dengan alam
lingkungan sekitar. Konsep ajaran ini telah tertuang dalam kitab Pancamo Weda
Bhagawadgita III.10, ke tiga unsur itu disebut dengan Prajapati (Tuhan), Praja
dan Kamadhuk. Pada tahun 1969 di Universitas Udayana tepatnya di Aula
Fakultas Sastra, diadakan seminar tentang Tri Hita Karana (THK). Pembawa
makalah pada saat itu Gusti Ketut Kaler (almarhum), yang merumuskan THK,
adalah Parhyangan, Pawongan dan Palemahan. THK terdiri atas: 1)
Parahyangan berarti hubungan yang harmonis antara Sang Maha Pencipta
(Tuhan), dan manusia sebagai mahluk ciptaannya, 2) Pawongan berarti hubungan
yang harmonis antara manusia dengan manusia lainnya, 3) Palemahan berarti
hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan alamnya (Suastika,
2013: 2).
Melalui konsep parahyangan, masyarakat Hindu Bali meyakini bahwa
segala yang ada di dunia ini termasuk manusia adalah bersumber dari Tuhan, dan
karena itu pasti akan kembali menghadap kepada Tuhan. Kesadaran ini
mendorong masyarakat Hindu Bali untuk meningkatkan crada, dan bhakti (iman,
dan takwa) ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Waca sesuai dengan ajaran-ajaran
agama, keyakinan, serta tradisi yang dianutnya. Tidak mengherankan karena itu
pada setiap lingkungan pranata sosial di Bali selalu ada di bangunan tempat suci
untuk memuliakan Tuhan sebagai wahana bagi manusia berhubungan dengan
Tuhan. Begitu pula diyakini bahwa segala produk budaya, dan peradaban
45
masyarakat Hindu Bali diciptakan adalah sebagai persembahan kepada Tuhan atau
kepada para Dewa-dewi yang sering disebut yadnya.
Melalui konsep pawongan, selanjutnya masyarakat Hindu Bali meyakini
bahwa pada hakikatnya manusia itu sama sebagai makhluk, dan hamba Tuhan
yang berbudaya, dan karena itu perlu dikembangkan sikap saling asah, asih, dan
asuh serta bekerja sama demi tujuan hidup manusia bersama sebagai makhluk
sosial.
Unsur yang ketiga yaitu palemahan. Melalui konsep ini masyarakat Hindu
Bali meyakini perlunya hubungan yang harmonis antara manusia dengan unsur
kekuatan alam lainnya. Hubungan seperti ini disimbolkan dengan ungkapan kadi
manik ring cecupu (seperti janin dalam rahim). Dengan ini, masyarakat Hindu
Bali mengembangkan kesadaran bahwa manusia tidak dapat dilepaskan dari alam
karena alamlah yang memberi manusia kesejahteraan, bahkan masyarakat Hindu
Bali meyakini unsur-unsur kekuatan alam ini adalah saudara manusia juga seperti
dalam ajaran Kandapat disimbolkan bahwa setiap bayi yang lahir selalu bersama
empat saudaranya (ari-ari, air ketuban, lamas/pembungkus ari-ari, dan darah)
yang kemudian berubah menjadi Bhuta „kekuatan penjaga di alam‟. Wujud cinta
kasih masyarakat Hindu Bali terhadap unsur, dan kekuatan alam semesta ini
diekspresikan dalam bentuk upacara korban kepada Bhuta di samping secara aktif
memelihara, dan melestarikan alam lingkungannya.
Jadi berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Tri Hita Karana
(THK) merupakan konsep hidup yang dipegang teguh orang Hindu Bali yang
berarti tiga penyebab keharmonisan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup.
46
2) Falsafah Kepemimpinan Asta Brata (Kakawin Ramayana XXIV.52)
Asta Brata adalah ajaran kepemimpinan yang diberikan oleh Sri Rama
kepada Gunawan Wibhisana sebelum memegang tampuk kepemimpinan Alengka
Pura pasca kemenangan Sri Rama melawan keangkaramurkaan Rawana.
Hal itu kemudian ditegaskan dalam Kakawin Ramayana XXIV.52 sebagai
berikut:
Sang Hyang Indra, Yama, Surya, Candra dan Bayu, Sang Hyang Kwera,
Baruna dan Agni itu semuanya delapan. Semua beliau itu menjadi pribadi
sang raja. Oleh karena itulah beliau harus memuja Asta Brata
(Tim Penyusun, 2004: 98).
Asta Brata seharusnya dihayati oleh seorang pemimpin agar meresap dalam
jiwa raganya (Sudharta, 1992: 13). Adapun butir-butir Asta Brata yaitu sebagai
berikut:
a) Indra Bratha, para pemimpin hendaknya mengikuti sifat-sifat Dewa Indra,
yaitu sebagai dewa hujan atau dewa kesuburan, dan kemakmuran.
b) Yama Bratha, pemimpin hendaknya mengikuti sifat Dewa Yama yaitu
menciptakan hukum, menegakkan hukum, dan memberikan hukuman secara
adil.
c) Surya Bratha, pemimpin hendaknya memberikan penerangan secara adil, dan
merata, dan selalu berhati-hati dalam berbuat.
d) Candra Bratha, pemimpin hendaknya selalu dapat memperlihatkan wajah
tenang, dan berseri-seri sehingga terlihat kebesaran jiwa pemimpinnya.
e) Bayu Bratha, pemimpin hendaknya selalu teliti, dan bijaksana mengetahui
keadaan, dan kehendak yang sebenarnya terutama sekali yang hidupnya paling
47
menderita. Sifat ini digambarkan sebagai Hyang Bayu yaitu Dewa Angin yang
selalu berhembus dari tekanan tinggi ke tekanan rendah.
f) Kwera Bratha, pemimpin hendaknya bijaksana dalam menggunakan, dana,
dan uang serta jangan menjadi pemboros.
g) Baruna Bratha, pemimpin hendaknya dapat membersihkan segala bentuk
penyakit masyarakat.
h) Agni Bratha, pemimpin harus memiliki sifat ksatria yang disertai dengan
semangat tinggi bagaikan api yang tidak akan berhenti membakar sebelum
yang dibakar itu habis atau musnah sama sekali.
Jadi yang dimaksud denga konsep Asta Bhrata yaitu konsep yang
mengarahkan masyarakat Hindu Bali melaksanakan kepemimpinan yang memiliki
nilai-nilai universal. Dengan demikian, diharapkan nilai-nilai kepemimpinan ini
dapat digunakan sebagai acuan atau pedoman bagi kepemimpinan secara umum
dalam rangka melengkapi sifat, karakteristik, serta fungsi, dan sasaran
kepemimpinan secara universal sehingga tujuan bersama dalam organisasi dapat
tercapai secara berkesinambungan secara terarah, dan terukur.
3) Falsafah Tri Kaya Parisudha (Kitab Sarasamuccaya, sloka 157)
Tri Kaya Parisudha artinya tiga gerak perilaku manusia yang harus
disucikan, yaitu berpikir yang bersih, dan suci (Manacika), berkata yang benar
(Wacika), dan berbuat yang jujur (Kayika). Dari tiap arti kata di dalamnya, Tri
berarti tiga; Kaya bararti Karya atau perbuatan atau kerja atau perilaku; sedangkan
Parisudha berarti upaya penyucian. Jadi Tri Kaya Parisudha berarti upaya
pembersihan/penyucian atas tiga perbuatan atau perilaku yang berasal dari
48
pikiran, perkataan, dan tindakan fisik. Sangat sulit untuk menemukan orang yang
berbudi pekerti luhur, oleh sebab itu harus selalu ditanamkan ajaran–ajaran
kebaikan sedini mungkin (https://dharmadefen der.wordpress.com/2010/05/20/tri-
kaya-parisudha/). Ajaran Tri Kaya Parisudha merupakan pedoman untuk
memelajari arti kebaikan pada akhirnya berujung pada tingkat kehidupan yang
tinggi, yaitu Moksa. Dengan adanya pikiran yang baik akan timbul perkataan yang
baik sehingga mewujudkan perbuatan yang baik.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Tri Kaya Parisudha sebagai bagian dari
ajaran etika dalam agama Hindu memberikan tuntunan, dan jalan menuju pada
kedamaian serta keharmonisan kehidupan di dunia, dan akhirat. Jika melakukan
perbuatan jahat, maka hasil yang diterima juga buruk. Sebaliknya, jika melakukan
perbuatan baik, maka hasilnya juga baik seperti semboyan yang mengatakan
ala ulah ala tinemu: perbuatan buruk hasilnya juga buruk, ayu pikardi ayu
pinanggih: perbuatan baik hasilnya juga baik
4) Karma Phala (Kitab Slokantra 68)
Dalam kitab Slokantara 68 disebutkan “Karma Phala Ngaran Ika,
Phalaning Gawe Hala Hayu”, yang artinya “karma phala itu adalah akibat dari
baik dan buruk suatu perbuatan”. Karma berasal dari kata kr yang diambil dari
kata sansekerta yang artinya bergerak atau berbuat yakni segala gerak atau
aktivitas yang dilakukan, baik itu perbuatan disengaja atau tidak disengaja
(Punyatmadya, 2003: 54). Perbuatan itu bersifat baik atau buruk, benar atau salah.
Tokoh agama Hindu Anand Krisna mendefinisikan Karma adalah tindakan
perbuatan. Setiap tindakan, setiap perbuatan merupakan aksi, aksi merupakan
49
sebab yang akan membawakan akibat (Krisna, 1998: 153). Bila dilihat dari uraian
pengertian karma phala, maka karma phala adalah sebab-akibat dari setiap
perbuatan. Segala sebab akan membawa akibat, segala sebab yang berupa
perbuatan akan membawa hasil perbuatan.
Adanya hukum karma phala disebabkan oleh perbuatan itu sendiri. Pada
dasarnya, sesuai dengan siklus rwabhineda (dua sisi yang berbeda), perbuatan itu
terjadi dari dua sisi yang berbeda, yaitu perbuatan baik, dan perbuatan buruk.
Siklus baik, dan buruk selalu saling berhubungan satu sama lain, dan tidak dapat
dipisahkan. Demikianlah perilaku manusia selama hidupnya berada pada dua jalan
yang berbeda itu, sehingga dengan kesadaran dia harus dapat menggunakan
kemampuan yang ada di dalam dirinya, yaitu kemampuan berfikir, kemampuan
berkata, dan kemampuan untuk berbuat.
Walaupun kemampuan yang dimiliki manusia tunduk pada hukum
rwabhineda, yakni baik, dan buruk, benar, dan salah, kemampuan itu sendiri
hendaknya diarahkan pada perbuatan baik karena bila cubhakarma (perbuatan
baik) yang menjadi gerak pikiran, perkataan, dan perbuatan, maka kemampuan
yang ada pada diri manusia akan menjelma menjadi perilaku yang baik, dan
benar. Sebaliknya, apabila perbuatan buruk yang menjadi sasaran gerak pikiran,
perkataan, dan perbuatan manusia, maka kemampuan itu akan berubah menjadi
perilaku yang salah (buruk).
Jadi dapat disimpulkan bahwa Konsep karma phala merupakan konsep yang
mengajarkan jika perbuatan baik, hasil baik pula yang diterima, begitupun
sebaliknya. Konsep ini merupakan konsep yang memberikan dorongan bagi orang
Hindu Bali untuk bersikap jujur, sportif, dan mau mengalah demi tercapainya
50
suatu keseimbangan karena semua diserahkan kepada hasil kerja yang sejujurnya,
manusia diajarkan untuk tidak berbuat jelek, tetapi berbuat baik, dan manusia
tidak mampu menilai dirinya sendiri tetapi terserah hasilnya nanti di bawah
kehendak Yang Maha Kuasa.
5) Ngayah
Masyarakat Bali sejak zaman dahulu telah mengenal sistem Kahyangan
Tiga yang dalam kehidupan sosial masyarakatnya diimplementasikan dalam
wadah desa pakraman yang terbagi lagi dalam konsep banjar. Konsep ini
menjadi pilar utama kehidupan masyarakat Bali dalam menopang adat budayanya.
Ngayah (gotong-royong/kerja bakti) sebagai bagian dari pelaksanaan konsep
Kahyangan Tiga dijalankan oleh Desa Pakraman menurut desa (tempat), kala
(waktu), dan patra (kondisi) di masing-masing desa pakraman, biasanya diatur
dalam awig-awig (peraturan) desa pakraman setempat, yang seringkali disertai
sanksi bagi setiap pelanggarnya.
Jadi berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa ngayah merupakan
konsep yang mengajarkan masyarakat Hindu Bali untuk selalu memberikan
bantuan ataupun pelayanan di pura, dan di masyarakat secara sukarela. Ngayah ini
sudah menjadi nilai yang terdapat dalam diri masyarakat Hindu Bali, sehingga
dapat diterapkan pada pariwisata, karena sifat pelayanan, dan bantuan ini dapat
menjadikan SDM Hindu Bali dapat memberikan pelayan, dan bantuan kepada
wisatawan dengan hasil yang memuaskan.
51
6) Karang Awake Tandurin (Pedanda Sidemen)
Nandurin Karang Awak diambil dari sebaris kalimat yang ditulis Ida
Pedanda Made Sidemen dalam puisi (geguritan) berjudul Selampah Laku.
„Karang„ berarti tanah, „awak„ berarti diri (di dalamnya mencakup diri saya, kamu
atau pribadi lainnya), sedangkan „nandurin‟ berarti mengolah atau menanam.
Frase “nandurin karang awak” merupakan ucapan atau nasihat sang penyair
kepada sang istri ketika memulai pengisahan perjalanan hidupnya “Masuki diri
sendiri, pahami diri, renungi sampai ke akar-akarnya diri”. Melalui karang awake
tandurin, Ida Pedanda Made Sidemen mengajak untuk melihat ke dalam diri
sendiri dan tidak lagi menoleh ke mana-mana untuk memulai hidup yang
bersahaja. Di tengah semakin derasnya gelombang globalisasi pariwisata, karang
awake tandurin yang artinya tanami kebun milik sendiri, yang lebih-kurang
bermakna kembangkan potensi diri (Suastika, 2013: 3).
Jadi yang dimaksud dengan konsep Karang Awake Tandurin adalah bahwa
masyarakat Bali, lebih-lebih SDM-nya yang masih produktif, selalu membekali
diri dengan pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan wawasan. Dengan
begitu, manusia Bali tidak akan mudah kalah di tengah kehidupan bisnis yang
melanda Bali sendiri, seperti pariwisata.
7) De Ngaden Awak Bisa (Pupuh Ginada)
Pupuh Ginada adalah salah satu tembang dari Sekar Alit, yaitu tembang
Bali yang diperuntukkan mengiringi permainan anak-anak atau sebagai lagu
buaian pengantar tidur. Syair asli tembang (pupuh) tersebut adalah: Eda ngadèn
awak bisa, depang anakè ngadanin, geginane buka nyampat, anak sai tumbuh
52
luhu, ilang luhu bukè katah, yadin ririh liu enu paplajahan. Artinya: jangan
merasa diri paling bisa atau berhasil. Biarkanlah orang lain yang menilai. Hidup
ini ibarat pekerjaan menyapu. Sampah selalu muncul. Hilang sampah, banyak
debu timbul. Meski pintar, masih banyak yang perlu dipelajari. Oleh banyak
pengamat sastra di Bali, syair ini merupakan petuah agar selalu bersikap rendah
hati, dan selalu giat untuk belajar, dan menempa diri (http://www.jalan-jalan-
bali.com/2010/08/eda-ngaden-awak-bisa-pesan-untuk-rendah.html). Meskipun
dalam prakteknya, banyak orang Bali tidak mau berbuat karena kekeliruan dalam
memaknai pesan dalam tembang tersebut.
Jadi konsep De Ngaden Awak Bisa adalah ajaran dalam tembang yang
mengandung pesan kepemimpinan yang diwariskan oleh leluhur secara
berkelanjutan. Tembang ini mengajarkan bukan menjadi orang yang tidak
menunjukkan diri, melainkan mengajarkan untuk menjadi pemimpin atau orang
yang bijak di masyarakat
8) Dharma yatra, dharma karya, dan lascarya (Padande Sidemen)
Pedanda Sidemen mengungkapkan konsep hidup di Bali yang dikenal
sebagai dharma yatra, dharma karya, dan lascarya. Dharma yatra adalah
melakukan pengelanaan, dan belajar. Dharma yatra mengandung makna bahwa
pengisian diri secara maksimal dengan ilmu pengetahuan, dan keterampilan
(teknologi) yang dapat digunakan sebagai pandangan, dan pegangan dalam
menjalankan kehidupan. Secara lahiriah, pencapaian tujuan ini adalah lewat
proses pendidikan yang tidak pernah terputus. Berdharma yatra adalah proses
pengisian diri secara optimal sebagai sumber kehidupan (Suastika, 2008: 5).
53
Dharma karya adalah memiliki etos kerja, dan kreativitas tinggi. Dharma
karya berarti adanya perilaku yang kuat, dan kokoh dalam berkarya. Konsep ini
merupakan etos kerja, yaitu adanya sikap batin yang melahirkan semangat,
sehingga ulet dalam bekerja, kemudian tekad ini dipakai dasar dalam berkarya.
Pemahaman terhadap konsep ini memacu orang untuk bekerja secara optimal
dengan kebulatan tekad untuk menyelesaikannya. Tekad ini melahirkan karya-
karya berkualitas, dan bermutu untuk menjalankan profesi (Suastika, 2008: 6).
Lascarya adalah bekerja semampunya tanpa mengharapkan terlalu banyak
imbalan yang mungkin akan dihasilkan. Lascarya yaitu berkarya dengan ikhlas
tidak mementingkan untung, dan rugi (imbalan). Lascarya juga berarti berani
berbuat, selalu belajar berkarya, dan mengabdikan diri sepenuhnya dalam
masyarakat (Suastika, 2008: 8).
Jadi konsep dharma yatra, dharma karya, dan lascarya merupakan konsep
yang mengajarkan masyarakat Hindu Bali agar dalam hidup ini terus mengasah
kemampuan dan bekerja dengan semangat serta ikhlas sehingga berguna bagi
kehidupan.
9) Tat Twam Asi (kitab Bhagawata Purana: 10.22.35)
Dalam Hindu untuk mewujudkan Kreta Jagadhita atau menciptakan
kesejahteraan dalam kehidupan perlu didasari atas konsepsi “Tat Twam Asi”.
Dalam kitab Bhagawata Purana: 10.22.35 disebutkan sebagai berikut:
“Adalah kewajiban bagi setiap orang untuk mendedikasikan (membaktikan)
hidupnya, intelejensi (kepandaiannya), kekayaannya, kata-katanya, dan
pekerjaannya bagi kesejahteraan mahluk lain”
54
Tat Twam Asi yang secara harfiah berarti ia adalah kamu juga. Ajaran Tat
Twam Asi menekankan pada toleransi tanpa menonjolkan perbedaan. Di samping
itu, dalam Tat Twam Asi juga terkandung nilai solidaritas yang tinggi serta
toleransi tanpa batas yang menimbulkan rasa persaudaraan, dan kerukunan hidup
antarsesama manusia (Setia, 1993: 58-59, 149).
Jadi dapat simpulkan bahwa konsep Tat Twam Asi merupakan suatu konsep
yang mengisyaratkan pentingnya solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat
sehingga terbentuk kehidupan masyarakat yang sejahtera. Hakikat Tat Twam Asi
pada akhirnya bermuara pada kasih sayang yang diaktualisasikan ke dalam bentuk
sikap egaliter yang memandang segala makhluk adalah sama.
10) Paras-Paros Sarpanaya, sagilik saguluk salunglung sabayantaka
Manusia Bali, baik secara individu maupun kelompok adalah manusia yang
religius, yang mengutamakan persaudaraan (panyamabrayan), dan kebersamaan
dalam perbedaan (paras-paros sarpanaya, sagilik saguluk salunglung
sabayantaka), terbuka dengan kehadiran orang/etnis lain, dan manusia yang
menginginkan hidup serasi, selaras, seimbang dengan alam, dan lingkungannya
(http://www.cakrawayu.org/artikel/8-i-wayan-sukarma/106-identitas-manusia-
bali.html.)
11) Jengah (Mantra, 1991)
Jengah memiliki konotasi competitive pride, yaitu semangat untuk bersaing,
guna menumbuhkan karya-karya seni yang bermutu (Mantra, 1991: 27). Tetapi
demikian, sebagaimana taksu, kata bahasa Bali jengah sesungguhnya tidak
55
semata-mata digunakan dalam konteks berkesenian. Jengah juga diterapkan pada
seluruh aspek kehidupan. Ia merupakan upaya penyemangat atau motivasi diri
agar tidak kalah dalam persaingan.
Jadi berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa masyarakat Hindu
Bali merupakan masyarakat yang memegang teguh prinsip-prinsip agama Hindu.
Prinsip-prinsip itu terinternalisasi, dan terinstitusionalisasi dalam struktur sosial
masyarakat Hindu Bali, dan menjadi pandangan hidup masyarakat Hindu Bali,
baik dalam mengembangkan sistem pengetahuan antara lain pola-pola perilaku,
sikap, nilai-nilai, tradisi, dan seni.
2.2.4 Konsep Manajer Hotel
Manajer adalah seseorang yang bekerja melalui orang lain dengan
mengoordinasikan kegiatan-kegiatan guna mencapai sasaran organisasi. Manajer
juga disebut pimpinan. Pada organisasi berstruktur tradisional (Robbins, dan
Coulter, 1999: 217), manajer dikelompokkan menjadi manajer puncak, manajer
tingkat menengah, dan manajer lini pertama. Manajer puncak (top manager),
dikenal pula dengan istilah executive officer, bertugas merencanakan kegiatan, dan
strategi perusahaan secara umum, dan mengarahkan jalannya perusahaan.
Manajer tingkat menengah (middle manager) mencakup semua manajer
yang berada di antara manajer lini pertama, dan manajer puncak, dan bertugas
sebagai penghubung antara keduanya. Jabatan yang termasuk manajer menengah
di antaranya kepala bagian, pemimpin proyek, manajer pabrik, atau manajer
divisi. Manajer lini pertama (first-line manager), dikenal pula dengan istilah
manajer operasional, merupakan manajer tingkatan paling rendah yang bertugas
56
memimpin, dan mengawasi karyawan non-manajerial yang terlibat dalam proses
produksi sering disebut penyelia (supervisor), manajer shift, manajer area,
manajer kantor, manajer departemen, atau mandor (foreman). Tingkatan manajer
dalam suatu organisasi dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini:
Gambar 2.1
Tingkatan Manajer dalam Organisasi
Sumber: Robbins, dan Coulter, 1999: 217
Manajer hotel (perhotelan) adalah orang yang mengelola operasional sehari-
hari dalam manajemen hotel. Manajer hotel bertanggung jawab atas operasi yang
efisien, dan menguntungkan bagi perusahaan (http://www.belajarhotel.
blogspot.com/2013/06/tugas-general-managerhotel.html). Organisasi sebuah hotel
tidaklah sama antara satu hotel dengan hotel lainnya mengingat bentuk susunan
organisasi sangatlah fleksibel, dan disesuaikan dengan kebutuhan pengelolaan,
dan karakter pemimpin utamanya. Gambar 2.2, 2.3 dan 2.4 berikut menunjukkan
struktur organisasi beberapa hotel di Bali.
Mgr
Puncak I
Mgr
Menengah II
Mgr
Lini Pertama III
Karyawan Operasional
Presiden Direktur
Wakil Direktur
Kepala Departemen
Manager
Tenaga Kerja
Top Manager
Middle Manager
Supervisory
57
Gambar 2.2
Struktur Organisasi Hotel The 101 Legian-Bali (Bintang 3)
Sumber: HRM Hotel The 101 Legian-Bali
Gambar 2.3
Struktur Organisasi Hotel Mercure Resort Sanur-Bali (Bintang 4)
Sumber: HRM Mercure Resort Sanur-Bali
General Manager
Executive Secretary
Marketing
Manager
Chief
Accounting
Chief
Engineering
Human
Resources
Manager
Front Office
Manager
Food &
Beverages
Manager
Spa
Manager
General Manager
Executive Assistant Manager
Executive Secretary
Director of
Sales
Chief
Enginering
Human
Resources
Manager
Front
Office
Manager
Food &
Beverages
Manager
Financial
Control
Executive
Chef
Executive
House
Keeping
House
Keeping
Manager
Reservation
Manager
58
Gambar 2.4
Struktur Organisasi Hotel Fairmont Beach Sanur (Bintang 5)
Sumber: HRM Hotel Fairmont Beach Sanur-Bali
General Manager
Resident Manager
Executive
Secretary
Spa
Manager
Dir. Of
Enginering
Dir. Of
Human
Resources
Dir. Of
Food &
Beverages
Villa
Manager Chief
Enginering
Dir Of
House
Keeping
Security
Manager
Financial
Controler
Purchasing
Manajer
Executive
SousChef
Executive
Chef
Dir. Sales&
Marketing
Asistant
FC
IT
Manager
Learning
Manager
PR
Manager
Revenue
Manager
Front
Office
Manager
59
Hotel dipimpin oleh General Manager (GM) sebagai pemegang kuasa
manajemen tertinggi yang karena jabatannya mempunyai tugas mengurus, dan
memimpin hotel atau yang dapat disamakan dengan mewakili hotel. Untuk
mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, maka seorang GM dibantu oleh
banyak profesional yang terikat dalam sebuah organisasi.
Tugas, dan tanggung jawab GM adalah sebagai berikut ini:
a) bertanggungjawab terhadap operasional,
b) membuat perencanaan,
c) menciptakan budaya,
d) menjalin komunikasi dengan perusahaan lain, dan
e) membuat keputusan.
Tugas seorang secretary atau sekretaris adalah sebagai berikut ini:
a) membuat agenda kegiatan dari GM,
b) menyimpulkan hasil rapat, dan
c) membuat laporan hasil kegiatan.
Tugas Assistant Executive adalah sebagai berikut ini:
a) menjalankan perintah yang disampaikan oleh GM, dan selanjutnya meneruskan
kepada manajer,
b) bertanggung jawab kepada GM,
c) menyampaikan laporan yang dibuat oleh para manajer, dan
d) mengambil alih tugas GM apabila sewaktu-waktu berhalangan.
60
Tugas Resident Manager atau manajer operasional adalah sebagai berikut:
a) mengepalai semua manajer lini pertama,
b) mengawasi, dan bertanggung jawab atas seluruh kegiatan manajer lini pertama,
c) menentukan target yang harus dicapai oleh setiap departemen.
Tugas, dan Tanggung jawab Manajer Lini Pertama adalah sebagai berikut:
a) Marketing Director, memiliki tugas, dan tanggungjawab sebagai berikut ini:
1) membuat strategi pemasaran, dan penjualan,
2) bertanggung jawab atas publikasi atau periklanan hotel,
3) memperkenalkan hotel, dan fasilitasnya sekaligus melakukan kontrak
kerjasama kepada calon pengguna jasa hotel,
4) memastikan penjualan kamar memenuhi target, dan
5) bertanggungjawab dalam mempertahankan hubungan dengan para
pelanggan
b) Chief Enginering memiliki tugas, dan tanggungjawab sebagai berikut ini:
1) bertanggung jawab untuk memperbaiki, dan menjaga peralatan, dan
fasilitas hotel,
2) membuat laporan mengenai perbaikan atau pembaharuan fasilitas, dan
peralatan hotel
c) Human Resource Departement Director (HRD Director) memiliki tugas, dan
tanggungjawab sebagai berikut ini:
1) bertanggung jawab terhadap semua administrasi karyawan,
2) melakukan perekrutan karyawan, dan
3) membuat program pengembangan keterampilan karyawan.
61
d) Front Office Manager (FO Manager) memiliki tugas, dan tanggungjawab
sebagai berikut ini:
1) bertanggung jawab terhadap semua aktivitas di Front Office,
2) mengoptimalkan, dan memaksimalkan occupancy rate hotel,
3) membuat laporan kamar check in, dan check out, dan reservasi,
4) menjual kamar, tugas ini antara lain menerima pemesanan kamar,
menangani tamu yang tanpa pemesan kamar, melaksanakan pendaftaran,
dan penentuan kamar,
5) memberikan informasi tentang pelayanan hotel,
6) mengkoordinir pelayanan tamu, antara lain sebagai penghubung antara
bagian di hotel yang menangani berbagai masalah, dan keluhan tamu,
7) menyusun laporan status kamar, dan mengkoordinasikan penjualan kamar
dengan bagian house keeping,
8) menyelenggarakan pembayaran tamu,
9) menyusun riwayat kunjungan tamu antara lain melakukan pencatatan data
individu untuk kunjungan akan datang, dan menyelenggarakan arsip kartu
riwayat kunjungan tamu,
10) menangani telephone switch board, telex, dan telegram, dan
11) menangani barang-barang bawaan tamu.
e) Food and Beverage Manager memiliki tugas, dan tanggungjawab sebagai
berikut:
1) bertanggung jawab atas pengelolaan makanan, dan minuman,
2) membuat laporan pemakaian bahan baku/F&B cost, dan
3) menciptakan menu baru yang innovative
62
f) Accounting Manager memiliki tugas, dan tanggung jawab sebagai berikut ini:
1) bertanggung jawab atas semua pendataan atau pengadministrasian
transaksi, dan keuangan,
2) membuat laporan transaksi, dan keuangan hotel, dan
3) mengawasi, dan menjaga semua kegiatan transaksi
g) Chief Security memiliki tugas, dan tanggungjawab sebagai berikut ini:
1) bertanggung jawab atas keamanan hotel, dan
2) menghalau gangguan keamanan dari dalam atau dari luar hotel
h) Executive House Keeping memiliki tugas, dan tanggungjawab sebagai berikut:
1) bertanggung jawab atas kebersihan, dan kerapian fasilitas hotel,
2) membersihkan, dan merapikan kamar yang telah digunakan oleh tamu
sesegera mungkin setelah tamu check-out, dan
3) melaporkan kepada FO apabila kamar telah siap dijual.
Jadi berdasarkan pengertian manajer hotel yang telah dipaparkan tersebut,
dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan manajer hotel yaitu orang yang
mengelola operasional sehari-hari dalam manajemen hotel yang terdiri atas
manajer puncak, manajer tingkat menengah, dan manajer lini pertama.
2.2.5 Konsep Hotel Berbintang di Bali
Dalam Peraturan Menteri Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif Republik
Indonesia Nomor Pm.53/Hm.001/Mpek/2013 tentang Standar Usaha Hotel, pasal
1 ayat 4, yang dimaksud dengan hotel adalah penyediaan akomodasi berupa
kamar-kamar di dalam suatu bangunan, yang dapat dilengkapi dengan jasa
pelayanan makan, dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya secara
63
harian dengan tujuan memeroleh keuntungan. Berdasarkan pasal 1 ayat 8, yang
dimaksud dengan hotel berbintang adalah hotel yang telah memenuhi kriteria
penilaian penggolongan kelas hotel bintang satu, dua, tiga, empat, dan bintang
lima. Penggolongan kelas hotel dilakukan melalui penilaian standar usaha hotel,
yaitu penilaian yang digunakan berdasarkan persyaratan dasar, kriteria mutlak,
dan kriteria tidak mutlak.
Pasal 1 ayat 16 menyebutkan bahwa kriteria mutlak adalah prasyarat utama
mencakup aspek produk, pelayanan, dan aspek pengelolaan usaha hotel yang
ditetapkan oleh Menteri, dan harus dipenuhi oleh usaha hotel untuk dapat
disertifikasi. Ayat 17 menyebutkan Kriteria Tidak Mutlak adalah prasyarat yang
mencakup aspek produk, pelayanan, dan pengelolaan usaha hotel sebagai unsur
penilaian dalam menentukan penggolongan kelas hotel bintang, dan penetapan
hotel nonbintang yang ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan kondisi usaha hotel
Pulau Bali merupakan ikon pariwisata di Indonesia, dan juga menjadi salah
satu tujuan wisata dunia. Dengan beraneka ragam keindahan sumber daya alam,
seni, dan budaya serta kekhasan, dan keunikan tradisi masyarakat Hindu Bali
mampu memberikan daya tarik tersendiri kepada wisatawan baik wisatawan
domestik maupun wisatawan mancanegara. Kepariwisataan Bali mulai
dilaksanakan secara lebih intensif, dan terencana ketika dicanangkannya Pelita I
April 1969, dan diresmikannya Pelabuhan Udara Ngurah Rai sebagai Bandara
Udara Internasional pada bulan Agustus ditahun yang sama.
Selama kisaran tahun 1980 masyarakat agraris Bali bermigrasi secara besar-
besaran dari pertanian ke industri pariwisata. Tetapi, masih ada juga masyarakat
yang berprofesi sebagai petani. Penggerak ekonomi lokal kini adalah sektor
64
pariwisata. Untuk menunjang pariwisata, lahan-lahan pertanian diubah menjadi
infrastruktur pariwisata. Tentu saja untuk membangun infrastruktur pariwisata
dibutuhkan adanya modal, dan hal inilah yang mendorong munculnya investor di
Bali.
Pada tahun 1990, pembangunan pariwisata di Bali berkembang sangat cepat.
Hotel bertaraf internasional, infrastruktur jalan, dan kawasan pariwisata mulai
dibangun. Pada saat inilah, kawasan Kuta, Nusa Dua, dan Sanur menjadi tempat
yang terkenal. Pariwisata yang dikembangkan di Bali adalah pariwisata budaya.
Hal ini menjadi salah satu keunikan yang khas dibandingkan dengan destinasi-
destinasi lainnya yang ada di Indonesia. Penetapan pengembangan pariwisata
budaya sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012
tentang Kepariwisataan Budaya Bali.
Pariwisata mulai mendorong Bali menjadi daerah yang maju, dan
menyumbang bagian yang sangat besar untuk pendapatan daerah. Tetapi, dalam
kenyataannya pariwisata Bali juga mengalami permasalahan yang harus dicermati,
dan disikapi secara seksama sebagai insan pariwisata Bali itu sendiri.
Jadi, yang dimaksud dengan Strategi Peningkatan Jabatan Sumber Daya
Manusia Pariwisata Hindu di Bali ke Tingkat Manajer pada Hotel Berbintang di
Bali yaitu suatu usaha yang dapat dilakukan untuk mengadakan peningkatan
potensi dalam diri manusia Hindu Bali yang berkecimpung di usaha jasa
pariwisata, khususnya bidang perhotelan agar mencapai kesuksesan kerja
sehingga berpotensi menduduki jabatan tertinggi pada hotel berbintang di
kawasan pariwisata Bali yang terdiri atas kawasan Kuta, Nusa Dua, dan Sanur.
65
2.3 Landasan Teori
Dalam penelitian ini digunakan beberapa teori diantaranya teori motivasi
Mc. Clelland (1976), teori kompetensi Spencer dan Spencer (1993), teori Kontrol
Sibernetika Parson (1951), Teori Culture and Personality Kluckhon & Strodbeck
(1961) serta teori Hofstede (1983). Berikut uraiannya.
2.3.1 Teori Motivasi Mc. Clelland (1976)
Motivasi berasal dari kata latin movere yang berarti dorongan, keinginan,
sebab, atau alasan seseorang melakukan sesuatu. Menurut Manullang (1982: 150),
motivasi adalah pemberian kegairahan bekerja kepada karyawan. Dengan
pemberian motivasi, dimaksudkan pemberian daya perangsang kepada karyawan
yang bersangkutan agar karyawan tersebut bekerja dengan segala upayanya.
Menurut Mathis, dan Jackson (2006: 114), motivasi adalah keinginan dalam diri
seseorang yang menyebabkan orang tersebut bertindak. Biasanya orang bertindak
karena suatu alasan untuk mencapai tujuan.
Perilaku seseorang dimulai dengan dorongan tertentu/motivasi. Orang yang
mempunyai motivasi tinggi akan terpacu untuk bekerja lebih keras, dan penuh
semangat karena melihat pekerjaan bukan sekedar sumber penghasilan, tetapi
untuk mengembangkan diri, dan berbakti untuk orang lain. Oleh karena itu,
motivasi penting sebagai dorongan seseorang dalam menghasilkan suatu karya
baik bagi diri sendiri maupun bagi perusahaan. Dengan demikian, motivasi
mengacu pada dorongan yang baik dari dalam atau dari luar diri seseorang yang
mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan pencapaian tujuan
(Daft, 2002: 91). Dari pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi
merupakan suatu konsep yang mendorong individu untuk mengarahkan
66
perilakunya pada pencapaian tujuan organisasi yang menjadi pendorong adalah
keinginan, dan kebutuhan individu.
Menurut Herzberg (1966) dalam Hasibuan (1990: 176), ada dua jenis faktor
yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan, dan menjauhkan
diri dari ketidakpuasan. Dua faktor itu disebutnya faktor higiene (faktor
ekstrinsik), dan faktor motivator (faktor intrinsik). Faktor higiene memotivasi
seseorang untuk keluar dari ketidakpuasan, termasuk di dalamnya adalah
hubungan antarmanusia, imbalan, dan kondisi lingkungan, sedangkan faktor
motivator memotivasi seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan, yang
termasuk di dalamnya adalah achievement, pengakuan, dan kemajuan tingkat
kehidupan.
Mc. Clelland (1976) mengemukakan Teori Motivasi Berprestasi yaitu
bahwa manusia pada hakikatnya mempunyai kemampuan untuk berprestasi di atas
kemampuan orang lain (Robbins, 2001: 173). Teori ini memiliki sebuah
pandangan (asumsi) bahwa kebutuhan untuk berprestasi itu adalah suatu yang
berbeda, dan dapat dibedakan dari kebutuhan yang lainnya. Menurut Mc.
Clelland, seseorang dianggap memiliki motivasi untuk berprestasi jika
mempunyai keinginan untuk melakukan suatu karya berprestasi yang lebih baik
dari pada prestasi karya orang lain. Ada tiga jenis kebutuhan manusia menurut
Mc. Clelland, yaitu: 1) kebutuhan untuk berprestasi (Need for achievement), 2)
kebutuhan untuk kekuasaan (Need for power), dan 3) kebutuhan untuk berafiliasi
(Need for affiliation)
67
Kebutuhan akan prestasi merupakan dorongan untuk mengungguli,
berprestasi untuk sukses. Kebutuhan ini pada hirarki Maslow terletak antara
kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Ciri-ciri
individu yang memiliki motivasi untuk berprestasi yaitu: a) bekerja keras, dan
mengembangkan cara-cara baru dalam menyelesaikan masalah, b) mempunyai
tanggung jawab pribadi untuk menemukan solusi pada problem yang ada, c)
cenderung untuk menetapkan sasaran prestasi yang cukup sulit, dan mengambil
resiko yang telah diperhitungkan, d) keinginan yang kuat untuk memeroleh umpan
balik yang kongkret pada performance kerja, dan e) perasaan sangat menikmati
tugas, dan menyelesaikan tugas.
Kebutuhan prestasi dianggap rendah jika orang lebih suka tingkat resiko
yang rendah pada tugas, dan memikul tanggung jawab bersama-sama pada tugas.
Kebutuhan ini penting dalam manajemen karena untuk sukses diperlukan
dorongan untuk maju. Kebutuhan akan prestasi muncul jika seseorang
ditempatkan pada pekerjaan yang sulit, dan akan mati atau tidak aktif bila
ditempatkan pada pekerjaan rutin, dan tidak menantang, bukan saja perlu
memahami perilaku, tetapi juga perlu mengerti responnya terhadap lingkungan
kerja. Pengayaan pekerjaan, penambahan variasi kerja, otonomi, dan
tanggungjawab akan meningkatkan kinerja orang yang kebutuhan akan
prestasinya tinggi, tapi hal itu akan membuat frustasi orang yang kebutuhan
prestasinya rendah.
Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat orang lain
berperilaku dalam suatu cara tanpa dipaksa tidak akan berperilaku demikian atau
suatu bentuk ekspresi dari individu untuk mengendalikan, dan orang lain.
68
Kebutuhan ini pada teori Maslow terletak antara kebutuhan akan penghargaan,
dan kebutuhan aktualisasi diri. Mc. Clelland menyatakan bahwa kebutuhan akan
kekuasaan sangat berhubungan dengan kebutuhan untuk mencapai suatu posisi
kepemimpinan. Ciri-ciri individunya: a) ingin menanamkan pengaruh, dan
kekuasaan pada setiap orang sehingga cenderung otoriter, dan tidak mau dibantah,
b) tidak mempunyai perasaan empati yang tinggi, c) ingin menunjukkan kelebihan
dirinya, d) teman adalah sarana untuk mencapai tujuan, e) tidak toleran, terlalu
tegas, keharmonisan bukanlah merupakan hal yang utama
Kebutuhan akan afiliasi adalah hasrat untuk berhubungan antarpribadi yang
ramah, dan akrab. Individu merefleksikan keinginan untuk mempunyai hubungan
yang erat, kooperatif, dan penuh sikap persahabatan dengan pihak lain. Individu
yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil dalam
pekerjaan yang memerlukan interaksi sosial yang tinggi.
Ciri individu yang memiliki motivasi untuk berafiliasi yaitu: a) orientasi
tingkah laku mengarah pada hubungan interpersonal yang baik, dan harmonis, b)
mudah berempati, menyukai hubungan yang harmonis, dan keadaan santai, c)
biasanya merupakan teman yang baik, d) toleransi besar, sehingga cenderung
tidak tegas, e) baginya lebih baik berkorban apa saja daripada kehilangan teman,
karena kehilangan teman merupakan penderitaan. Orang yang memiliki kebutuhan
afiliasi tinggi akan memilih pekerjaan dengan karakteristik pekerjaan yang
memungkinkan sering berhubungan dengan orang lain seperti petugas pemasaran,
guru, humas atau penyuluhan.
Tiga kebutuhan ini bukanlah kategori untuk membuat kelompok
berdasarkan sifat kebutuhan yang dimiliki. Setiap orang memiliki beragam variasi
69
dari ketiga kebutuhan ini, dan masing-masing memiliki kompetensi yang tidak
secara langsung berkaitan dengan tiga kebutuhan ini. Orang-orang yang haus akan
prestasi ini tidak segan-segan untuk menerima kritikan, dan umpan balik yang
bisa membantu dalam mengetahui sudah sejauh mana kemajuannya dalam
mencapai tujuannya. Determinasi dirinya untuk unggul sangatlah besar, dan
menginginkan tugas yang cukup menantang, tetapi tidak mustahil untuk
dikerjakan sesuai keahliannya.
Cara memotivasi orang-orang yang tingkat kebutuhan untuk berprestasinya
tinggi adalah dengan memberikan sasaran yang cukup sulit, tetapi bisa diraih
dengan upaya yang sesuai kemampuannya, mendukung kemandirian serta
menantang kekuatan pribadinya, menetapkan tujuan yang tidak terlalu
dipengaruhi faktor eksternal seperti nasib, dan mendukung pengembangan
dirinya. Pencapaian akan dirasa lebih penting daripada uang atau status. Imbalan
finansial dianggap sebagai ukuran kesuksesannya tetapi bukan tujuan akhir.
Umpan balik yang diberikan sebaiknya terukur, dan faktual. Kesempatan untuk
berkembang, dan meningkatkan keahlian harus diberikan untuk memotivasi orang
dengan tipe kebutuhan ini.
Selanjutnya, orang yang memiliki kebutuhan untuk berafiliasi cenderung
menjaga hubungan sosial dengan baik, memiliki ikatan erat dengan kelompoknya
atau keluarga. Perasaannya sangat peka, dan ingin selalu diterima, dan disukai
oleh orang lain. Biasanya kurang bisa menjadi pemimpin yang tegas (walau tidak
selalu begitu), tetapi mampu bekerja di dalam sebuah tim dengan efektif.
Kebutuhan ini menguat jika seseorang dihadapkan dengan kondisi yang
mencemaskan serta membawa ketakutan. Kelebihan yang menonjol dari orang
70
yang memiliki tingkat kebutuhan ini adalah empati serta kemampuan bersinergi.
Biasanya dimiliki oleh orang-orang yang ramah, dan mudah akrab dengan orang
lain. Walaupun begitu, kebutuhan ini perlu diimbangi dengan toleransi, dan
privasi. Manajemen perlu memperhatikan pemenuhan dari kebutuhan ini pada
para karyawan di dalam sebuah perusahaan.
Terakhir dalam teori kebutuhan McClelland adalah kebutuhan untuk
berkuasa. Kebutuhan ini diidentifikasi sebagai keinginan untuk mengajari, dan
menginspirasi orang lain. Tipe ini sangatlah kompetetif dalam bekerja, dan
mengutamakan kedisiplinan. Hasrat untuk memiliki wewenang ini cocok untuk
menjadi atasan atau manajer, tetapi diperlukan juga kombinasi dari kadar yang
tepat pada kedua kebutuhan lainnya. Terdapat dua jenis kebutuhan untuk
berkuasa; dalam hal personal, dan sosial. Biasanya yang tinggi kebutuhannya
untuk berkuasa secara personal menginginkan kendali atas perusahaannya, dan
yang tinggi dalam kebutuhan berkuasa dalam hal sosial menginginkan kebaikan
untuk masyarakat luas.
Semua orang memiliki kombinasi dari ketiga kebutuhan ini secara
bervariasi. Perusahaan yang ingin bisnisnya terus maju membutuhkan karyawan
dengan tingkat kebutuhan untuk berprestasi yang tinggi. Maka dari itu, proses
seleksi, dan prosedur standar dalam bekerja harus mendukung orang-orang yang
memiliki kinerja yang produktif dengan kebutuhan akan prestasi yang tinggi.
Teori motivasi Mc. Clelland (1976) dapat digunakan sebagai strategi peningkatan
jumlah SDM PHB yang menduduki posisi manajer pada hotel Berbintang di Bali.
71
2.3.2 Teori Kompetensi Spencer dan Spencer (1993)
Pengertian sederhana yang mendasar dari kompetensi adalah kemampuan
atau kecakapan (Syah, 2000: 229). Kemampuan atau kecakapan yang
dimaksudkan dalam kompetensi itu menunjuk kepada satu hal yang
menggambarkan kualifikasi atau kemampuan seseorang (Usman, 1994: 1).
Kemampuan pada hakikatnya tersusun dari dua perangkat faktor, yakni
kemampuan intelektual, dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah
kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan mental. Di lain pihak,
kemampuan fisik adalah kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-
tugas yang memerlukan stamina, kecekatan, kekuatan, dan keterampilan serupa.
Hal ini sejalan dengan pendapat Becker, dan Ulrich dalam Suparno (2005:
24) yang mengungkapkan bahwa competency refers to an individual’s knowledge,
skill, ability or personality characteristics that directly influence job performance.
Artinya, kompetensi mengandung aspek-aspek pengetahuan, keterampilan
(keahlian), dan kemampuan ataupun karakteristik kepribadian yang kinerja.
Spencer dan Spencer (1993: 9-11) menyebutkan ada lima jenis karakteristik
kompetensi. Kelimanya adalah: 1) motives, 2) traits, 3) self-concept, 4)
knowledge, dan 5) skill. Model kompetensi Spencer dan Spencer dikenal dengan
The Ice Berg Model yang dapat dilihat dalam Gambar 2.5 berikut ini.
72
Gambar 2.5
The Ice Berg Model
Sumber: Spencer dan Spencer (1993: 9-11)
Berdasarkan gambar tersebut (seperti pada gunung es), tampak bahwa
pengetahuan (knowledge), dan keterampilan atau keahlian (skill) sebagai
observable atau instrumental cenderung kelihatan lebih nyata muncul (visible),
dan relatif berada pada permukaan. Kompetensi ini berhubungan dengan
penyelesaian pekerjaan suatu posisi. Jenis kompetensi ini diperlukan oleh
seseorang untuk memungkinkan menduduki jabatan, pekerjaan, atau tugas agar
dapat dilakukan dengan baik. Sebaliknya, konsep diri, watak, dan motif cenderung
di bawah, tidak tampak, atau disebut intermediate skill, yang dapat diaplikasikan
dalam berbagai situasi. Kompetensi ini dapat direfleksikan sebagai “keterampilan
yang dapat menyesuaikan situasi” atau starting qualifications. Apabila
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari di organisasi, karyawan yang kompeten
adalah individu yang memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku
yang sesuai dengan syarat pekerjaan sehingga dapat berpartisipasi aktif di tempat
73
kerja. Uraian mengenai kompetensi menurut Spencer dan Spencer dapat dilihat
pada Gambar 2.6 berikut ini
Gambar 2.6
Ilustrasi Kompetensi
(Sumber: Analisis Pribadi, 2015)
Spencer dan Spencer menguraikan karakteristik masing-masing kompetensi
(1993: 9-11), sebagai berikut ini.
1. Motives: “The things a person consistently thinks about or wants that cause
action. Motives drive, direct, and select behavior toward certain actions or
goals and away from others, example the need of achievement”. Motives atau
motif adalah sesuatu yang secara konsisten dipikirkan atau diinginkan yang
menyebabkan seseorang bertindak. Motif mampu menggerakkan,
mengarahkan, dan memilih perilaku menuju kepada tindakan tertentu atau
kepada tujuan. Orang yang termotivasi untuk mencapai sesuatu secara
konsisten membuat sasaran yang menantang untuk dirinya sendiri,
TEORI
KOMPETENSI
Kemampuan
Fisik
Kemampuan
Intelektual
Traits
Self concept
Motive
Knowledge
Skill
74
bertanggungjawab untuk menyelesaikannya, dan menggunakan umpan balik
untuk melakukannya dengan lebih baik.
2. Traits: physical characteristic and consistent responses to situations or
Information. Traits atau watak merupakan karakteristik mental, dan respon
yang konsistensi dari seseorang terhadap rangsangan, tekanan, situasi, atau
informasi. Hal ini dipertegas oleh Marshall (2003: 40) yang mengatakan
bahwa watak adalah karakteristik yang mengakar pada diri seseorang, dan
mencerminkan kecendrungan yang dimilikinya. Watak meliputi: percaya diri
(self-confidence), pengendalian diri (self-control), dan ketabahan atau daya
tahan (hardiness). Self confidence adalah keyakinan terhadap kemampuan diri
menyelesaikan sebuah tugas. Seseorang yang memiliki kepercayaan diri akan
membuat orang tersebut efektif di hampir situasi apapun. Self control adalah
kemampuan untuk menjaga emosi, dan meredam aksi negatif ketika sedang
marah, tatkala berhadapan dengan oposisi atau tindakan kasar dari orang lain,
atau saat bekerja dalam kondisi stres.
3. Self concept: a person’s attitudes, values, or self-image. Self concept atau
konsep diri yaitu tata nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh seseorang yang
mencerminkan bayangan diri atau sikap diri terhadap masa depan yang dicita-
citakan atau terhadap suatu fenomena yang terjadi di lingkungannya. Marshall
(2003: 40) juga mengungkapkan bahwa konsep diri adalah gambaran yang
dimiliki seseorang mengenai dirinya sendiri, dan hal yang mencerminkan
identitas dirinya. Di samping itu, Kreitner, dan Kinicki (2001: 137)
mengungkapkan bahwa konsep diri adalah persepsi diri seseorang sebagai
makhluk fisik, sosial, dan spiritual. Dalam konsep diri juga perlu
75
dikembangkan sikap kepemimpinan. Berbagai pemikiran, dan teori telah
dibangun, penelitian empirik telah dilakukan, kebanyakan dari semuanya ini
bertujuan untuk mengetahui ciri-ciri pemimpin, perilaku pemimpin, atau hal-
hal lainnya yang menentukan efektivitas atau keberhasilan pemimpin dalam
mencapai tujuan kelompoknya atau organisasinya. Salah satu teori
kepemimpinan adalah teori kepemimpinan sifat. Teori sifat dibuat berdasarkan
ciri-ciri atau karakteristik banyak pemimpin, baik pemimpin yang sukses
maupun yang tidak sukses, dan digunakan untuk memprediksi efektivitas
kepemimpinan seseorang. Teori kepemimpinan sifat adalah suatu pandangan
atau pendapat yang mengatakan bahwa efektivitas seorang pemimpin banyak
ditentukan oleh sifat-sifat atau karakter yang dimiliki oleh pemimpin tersebut.
Sidle (2007: 19-25) mengatakan ada empat sifat yang dimiliki oleh
kebanyakan pemimpin (tetapi tidak oleh semua pemimpin) yang sukses:
a) Kepandaian (lntelligence): Pemimpin yang sukses cenderung memiliki
kepandaian yang lebih tinggi jika dibandingkan bawahannya
b) Kematangan/kedewasaan, dan keluasan (Maturity and breadth):
Pemimpin yang sukses cenderung memiliki kematangan emosi, dan
pandangan yang luas
c) Dorongan berprestasi (Achievement Drive): Pemimpin yang sukses
berorientasi pada hasil. Jika telah mencapai suatu sasaran, maka akan
ditentukan sasaran lainnya. Motivasinya adalah untuk mencapai sasaran,
tidak bergantung pada bawahannya atau karyawannya
76
d) lntegritas (lntegrity): Integritas adalah kesesuaian antara yang dikatakan
dengan yang dilakukan oleh seseorang. Pemimpin yang sukses dalam
jangka panjang, biasanya memiliki integritas. Jika seorang pemimpin
menetapkan nilai-nilai tertentu, tetapi melaksanakan nilai-nilai yang
berbeda, bawahan akan menilai bahwa pemimpin tersebut tidak dapat
dipercaya. Integritas juga berkaitan dengan kejujuran. Integritas, dan
kejujuran adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Banyak survey
menunjukkan bahwa kejujuran (honesty) adalah karakteristik pemimpin
yang paling penting. Kejujuran pemimpin akan tingkat kepercayaan
bawahan terhadap pemimpinnya. Jika karyawan diminta untuk
mengurutkan, dan memberi komentar terhadap berbagai sifat dari
pemimpin yang sukses maupun tidak sukses, kepercayaan adalah hal yang
sangat penting, dan menentukan tingkat keinginan karyawan untuk
mengikuti pemimpinnya.
4. Knowledge: information a person has in specific content areas. Pengetahuan
merupakan kompetensi yang kompleks. Pengetahuan menginformasikan
bahwa seseorang memiliki kadar pada bidang-bidang khusus. Spencer dan
Spencer menegaskan bahwa skor-skor tes pengetahuan sering gagal untuk
memprediksikan kinerja karena skor-skor tersebut gagal untuk mengukur
pengetahuan, dan keterampilan yang sebenarnya digunakan dalam bekerja.
Pengetahuan, meliputi: 1) senantiasa mencari informasi (Information seeking),
dan 2) keahlian teknis (Technical expertise).
77
5. Skill: the ability to perform a certain physical or mental task. Skill atau
keterampilan adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas fisik
tertentu atau yang berhubungan dengan tugas-tugas yang memerlukan pikiran.
Keterampilan meliputi: 1) berpikir analisis (Analytical thinking), dan 2)
berpikir konseptual (Conceptual thinking). Analytical thinking adalah
kemampuan memahami situasi dengan merincinya menjadi bagian-bagian
kecil, atau melihat implikasi sebuah situasi secara rinci. Pada intinya,
kompetensi ini memungkinkan seseorang berpikir secara analitis atau
sistematis terhadap sesuatu yang kompleks. Conceptual thinking adalah
memahami sebuah situasi atau masalah dengan menempatkan setiap bagian
menjadi satu kesatuan untuk mendapatkan gambar yang lebih besar, termasuk
kemampuan mengidentifikasi pola atau hubungan antarsituasi yang tidak
secara jelas terkait; mengidentifikasi isu mendasar atau kunci dalam situasi
yang kompleks. Conceptual thinking bersifat kreatif, konsepsional, atau
induktif.
Dari uraian tersebut, dapat dilihat bahwa kompetensi perlu dimiliki oleh
setiap pemimpin di mana kompetensi merupakan kemampuan pemimpin yang
lebih dari sekedar kata-kata tetapi juga kemampuan untuk merencanakannya, dan
melakukannya sehingga pemimpin memeroleh kepercayaan dari pengikutnya.
Kompetensi Spencer dan Spencer (1993) dapat digunakan untuk membahas
mengenai kompetensi SDM PHB pada hotel berbintang di Bali dilihat dari: 1)
motives, 2) traits, 3) self-concept, 4) knowledge, dan 5) skill.
78
2.3.3 Teori Kontrol Sibernetika Parson (1951)
Talcott Parson (1902-1979) mengemukakan teori yang sangat kompleks.
Ciri penting dari teori Kontrol Sibernetika Parson adalah bahwa digunakan secara
bersama-sama teori–teori tindakan sosial yang bersifat holistik dan individualistik.
Tema-tema utama dari teori Kontrol Sibernetika Parson dimulai dari bagaimana
melihat dunia sosial dalam hubungannya dengan ide-ide masyarakat, terutama
pada norma-norma dan nilai-nilai. Parson mengatakan bahwa “personality
system” adalah “primary agency” dalam proses tindakan. Norma-norma adalah
berbagai peraturan yang secara sosial diterima dan berguna dalam mengambil atau
memutuskan tindakan-tindakan. Sedangkan nilai-nilai dapat dikatan sebagai
kepercayaan mengenai bagaimana seharusnya sesuatu hal tesebut. Nilai juga dapat
memengaruhi tindakan seseorang. Parson juga tertarik dengan pengorganisasian
tindakan-tindakan individu kedalam sistem-sistem tindakan.
Menurut teori Kontrol Sibernetika Parson (1951) sistem tindakan dapat
dilihat sebagai suatu hubungan hirarki yang bersifat tumpang tindih antara fungsi
sistem budaya, sistem sosial, sistem kepribadian, dan sistem organisasi perilaku
manusia (Grathoff, 1978: 67-87). Sistem budaya merupakan orientasi nilai dasar
dan pola normatif yang dilembagakan dalam sistem sosial dan diinternalisasikan
dalam struktur kepribadian para anggotanya. Norma diwujudkan melalui peran-
peran tertentu dalam sistem sosial yang juga disatukan dalam struktur kepribadian
anggota sistem tersebut. Organisasi perilaku merupakan energi dasar yang
dinyatakan dalam pelaksanaan peran dalam sistem sosial.
79
Hubungan antara sistem-sistem tindakan umumnya dan persyaratan-
persyaratan fungsionalnya ini dapat digambarkan ke dalam diagram adalah seperti
Gambar 5.2 berikut.
Parson melihat adanya hubungan antara pelbagai sistem tindakan ini
berdasarkan kontrol sibernatik (cybernetic control) menurut arus informasi yang
berawal dari sistem budaya ke sistem sosial, ke sistem kepribadian dan ke
organisasi perilaku. Sedangkan energi yang muncul dalam arus tindakan ini
adalah dari arah yang sebaliknya, yang bermula dari organisme perilaku ke sistem
kepribadian, ke sistem sosial, dan berakhir ke sistem budaya. Pemeliharan pola-
pola yang laten (laten pattern maintenance) akan dihubungkan dengan sistem
budaya, karena fungsi ini menekankan nilai dan norma budaya yang
dilembagakan dalam sistem sosial.
SISTEM TINDAKAN
Sistem Budaya
Sistem Sosial
Sistem Kepribadian
Organisme Perilaku
PERSYARATAN FUNGSIONAL
Pemeliharaan pola-pola yang laten
Integrasi
Pencapaian tujuan
Adaptasi
Keterangan:
Menata (pola dari)
Membangun (pola bagi)
Berfungsi
Gambar 2.7
Diagram Hubungan Sistem Tindakan Umum dan Prasyaratan Fungsional
Sumber: Ilustrasi dari Teori Parson (1951)
80
Dalam mengkategorikan tindakan atau menggolongkan tipe-tipe peranan
dalam sistem sosial, Parson mengembangkan 5 buah skema yang dilihat sebagai
kerangka teoritis utama dalam analisis sistem sosial. 5 buah skema itu adalah
(Poloma, 2003: 173-174):
1. Affective versus Affective Neutrality, maksudnya dalam suatu hubungan
sosial, orang dapat bertindak untuk pemuasan Afeksi (kebutuhan
emosional) atau bertindak tanpa unsur tersebut (netral).
2. Self-orientation versus Collective-orientation, maksudnya, dalam
berhubungan, orientasinya hanya pada dirinya sendiri atau mengejar
kepentingan pribadi. Sedangkan dalam hubungan yang berorientasi kolektif,
kepentingan tersebut didominasi oleh kelompok.
3. Universalism versus Particularism, maksudnya, dalam hubungan yang
universalistis, para pelaku saling berhubungan menurut kriteria yang dapat
diterapkan kepada semua orang. Sedangkan dalam hubungan yang
Partikularistis, digunakan ukuran/kriteria tertentu.
4. Quality versus Performance, maksudnya variable Quality ini menunjuk
pada Ascribed Status (keanggotaan kelompok berdasarkan
kelahiran/bawaan lahir). Sedangkan Performance (archievement) yang
berarti prestasi yang mana merupakan apa yang telah dicapai seseorang.
5. Specificity versus Diffusness, maksudnya dalam hubungan yang spesifik,
individu berhubungan dengan individu lain dalam situasi terbatas .
81
Komponen utama pemikiran Parson adalah adanya proses diferensiasi.
Parson berpendapat bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem
yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya
bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya
masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk
menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parson termasuk dalam
golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan.
Dalam teori ini, terdapat empat fungsi untuk semua sistem tindakan
(Ritzer & Goodman, 2008: 121). Suatu fungsi adalah kumpulan hal yang
ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Dengan
demikian, dalam perspektif fungsionalisme ada beberapa persyaratan atau
kebutuhan fungsional yang harus dipenuhi agar sebuah sistem sosial bisa
bertahan. Parson kemudian mengembangkan apa yang dikenal sebagai imperatif-
imperatif fungsional agar sebuah sistem bisa bertahan, yaitu:
1. Adaptasi (Adaptation)
Sebuah sistem ibarat makhluk hidup, artinya agar dapat terus berlangsung
hidup, sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada,
harus mampu bertahan ketika situasi eksternal sedang tidak mendukung.
Contohnya, suatu sistem akan menyaring budaya barat yang masuk ke dalam
suatu masyarakat melalui aturan–aturan yang ada dalam masyarakat itu sendiri,
antara lain aturan tentang kesopanan berpakaian, maupun kesopanan berbicara
terhadap orang yang lebih tua. Aturan-aturan itu akan memengaruhi tindakan
suatu masyarakat.
82
2. Pencapaian Tujuan (Goal Attaintment)
Sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan utamanya.
Artinya, sistem diharuskan untuk mengerucutkan pemikiran individu agar
dapat membentuk kepribadian individu dalam mencapai tujuan dari sistem itu
sendiri. Contohnya, orang yang ada dalam sistem pendidikan akan
mengarahkan dirinya untuk suatu tujuan, antara lain, guru akan membimbing
muridnya menuju kelulusan dengan nilai memuaskan, dan seorang murid akan
mengarahkan dirinya untuk menuju kelulusan dengan kepatuhan maupun
kerajinan dalam dirinya.
3. Integrasi (Integration)
Sistem harus mengatur hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya
dan harus mengatur hubugan antar ketiga imperative fungsional, yakni
adaptation, goal, dan latency.
4. Pemeliharaan Pola (Latensi)
Sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbarui motivasi individu dan
pola-pola budaya yang menciptakan dan mempertahankan motivasi tersebut.
Keempat fungsi tersebut dikenal dengan sebutan AGIL (Parson, 1951: 5-6)
yaitu adaptation (adaptasi), goal attainment (pencapaian tujuan), integration
(integrasi), dan latency (pemeliharaan pola). Pertama adaptasi dilaksanakan oleh
organisme perilaku dengan cara melaksanakan fungsi adaptasi dengan cara
menyesuaikan diri dan mengubah lingkungan eksternal. Sedangkan
fungsi pencapaian tujuan atau Goal attainment difungsikan oleh sistem
kepribadian dengan menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya
untuk mencapainya.
83
Fungsi integrasi di lakukan oleh sistem sosial, dan laten difungsikan
sistem kultural. Sistem kultural bekerja dengan menyediakan aktor seperangkat
norma dan nilai yang memotivasi aktor untuk bertindak. Tingkat integrasi terjadi
dengan dua cara, pertama: masing-masing tingkat yang paling bawah
menyediakan kebutuhan kondisi maupun kekuatan yang dibutuhkan untuk tingkat
atas. Sedangkan tingkat yang diatasnya berfungsi mengawasi dan mengendalikan
tingkat yang ada dibawahnya.
Berdasarkan skema AGIL, dapat disimpulkan bahwa klasifikasi fungsi
sistem adalah sebagai pemeliharaan pola (sebagai alat internal), integrasi (sebagai
hasil internal), pencapaian tujuan (sebagai hasil eksternal), adaptasi (alat
eksternal). Adapun komponen dari sistem secara general (umum) dari suatu aksi
adalah keturunan dan lingkungan yang merupakan kondisi akhir dari suatu aksi,
maksud dan tujuan, nilai akhir, dan hubungan antara elemen dengan faktor
normatif (Bachtiar, 2006: 312). Teori Kontrol Sibernetika dapat digunakan untuk
membahas mengenai kendala yang dihadapi SDM PHB untuk menduduki posisi
manajer pada hotel berbintang di Bali.
2.3.4 Teori Culture and Personality Kluckhon & Strodbeck (1961)
Teori Culture and Personality Kluckhon & Strodbeck (1961)
menyimpulkan bahwa watak atau kepribadian manusia merupakan suatu
rangkaian dari proses-proses fungsional yang berpusat kepada alam rohani yang
letaknya di daerah otak dan saraf dari individu tersebut. Proses-proses fungsional
tersebut dipengaruhi oleh lingkungan sekitar individu yaitu wilayah sekitar
fisiknya (alam dan gejala-gejala fisik sekitarnya), sekitar wilayah sosialnya
84
(sesama manusia dan kelompok-kelompok manusia sekitarnya), sekitar wilayah
kebudayaannya (nilai-nilai, adat istiadat dan benda-benda kebudayaan sekitarnya)
dan juga alam rohani (sebagai alam sub-sadar individu tersebut).
Kluckhohn mengembangkan konsep ini menjadi yang biasa disebutnya
“kebudayaan terpendam” (covert culture), yaitu gagasan manusia yang terpendam
dalam jiwanya yang secara universal melandasi segala tingkah lakunya, yang
dianggap berada dalam akal manusia serta menjadi landasan dari tingkah laku
simboliknya dalam interaksi dengan sesamanya. Clyde Kluckhohn bersama
istrinya Florence Kluckhohn menganggap bahwa dalam rangka sistem budaya dari
tiap kebudayaan ada serangkaian konsep-konsep yang abstrak dan luas ruang
lingkupnya, yang hidup dalam alam pikiran dari sebagian besar warga
masyarakat, mengenai apa yang harus dianggap penting dan bernilai dalam hidup.
Dengan demikian, maka sistem nilai budaya itu juga berfungsi sebagai suatu
pedoman orientasi bagi segala tindakan manusia dalam hidupnya. Suatu sistem
nilai budaya merupakan sistem tata tindakan yang lebih tinggi daripada sistem-
sistem tata tindakan yang lain, seperti sistem norma, hukum, hukum adat, aturan
etika, aturan moral, aturan sopan-santun, dan sebagainya. Sejak kecil seorang
individu telah diresapi (diinternalisasi) dengan nilai-nilai budaya masyarakatnya,
sehingga konsep-konsep itu telah berakar di dalam mentalitasnya dan kemudian
sukar diganti dengan yang lain dalam waktu yang singkat.
Menurut Kluckhohn dan Strodtbeck (1961), soal-soal yang paling tinggi
nilainya dalam hidup manusia dan yang ada dalam tiap kebudayaan di dunia,
menyangkut paling sedikit lima hal, yaitu (1) soal human nature atau makna
hidup manusia; (2) soal man-nature, atau soal makna dari hubungan manusia
85
dengan alam sekitarnya, (3) soal time atau persepsi manusia mengenai waktu; (4)
soal activity atau soal makna dari pekerjaan, karya dan amal perbuatan manusia;
(5) soal relational atau hubungan manusia dengan sesama manusia. Secara
teknikal, kelima masalah tersebut sering disebut value orientations atau “orientasi
nilai budaya”.
Persepsi (artinya, pengertian) dan konsepsi dalam arti perumusan dari
gagasan-gagasan serta pandangan-pandangan yang berusaha memecahkan kelima
masalah itulah yang biasanya menjadi isi dari sistem nilai budaya dalam tiap
kebudayaan di dunia. Konsepsi adalah hal-hal mengenai isi dari sistem nilai
budaya, yang secara universal ada dalam tiap kebudayaan di dunia.
Untuk memudahkan analisis, F. Kluckhohn dan Strodtbeck mengajukan tiga
konsepsi bagi kelima orientasi nilai budaya masing-masing yaitu budaya
Konservatif, Transisi, dan Progresif. Kalau dijumlah semuanya menjadi lima belas
kemungkinan variasi orientasi nilai budaya. Kelima belas konsepsi ini seperti
yang termaktub dalam tabel di bawah ini, oleh Kluckhohn dan Strodtbeck disebut
variations in value orientation, atau variasi orientasi nilai budaya.
Meskipun cara mengonsepsikan lima masalah pokok dalam kehidupan
manusia yang universal sebagaimana tersebut di atas itu berbeda-beda untuk tiap
masyarakat dan kebudayaan, namun pada tiap lingkungan masyarakat dan
kebudayaan tersebut lima hal tersebut di atas selalu ada. Hanya saja berbagai
kebudayaan mengonsepsikan masalah universal ini dengan berbagai variasi yang
berbeda-beda.
86
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat skema Lima Masalah Dasar yang
Menentukan Orientasi Nilai Budaya Manusia dari Kluckhohn dan Strodtbeck
(1961) seperti Tabel 2.4 di bawah ini.
Lima Masalah Dasar Dalam
Hidup
Orientasi Nilai Budaya dalam Masyarakat
A B C
Konservatif Transisi Progresif
1 Hakikat Hidup (Human
relation)
Hidup itu buruk
(Evil)
Hidup itu sukar
tetapi bisa
diperjuangkan
menjadi baik
(mixture of good &
evil)
Hidup itu baik
(Good)
2 Hakikat Kerja atau
Karya (Activity)
Kelangsungan hidup
(Being)
Kedudukan &
kehormatan/prestise
(being-in-becoming)
Mempertinggi
prestise (doing)
3 Hakikat Waktu (Time) Orientasi ke masa
lalu (Past)
Orientasi ke masa
kini (Present)
Orientasi ke masa
depan (Future)
4 Hakikat Hubungan
Manusia dengan Alam
(Man nature)
Tunduk kepada alam
(Subjugation to
nature)
Selaras dengan alam
(harmony with
nature)
Menguasai misteri
alam (mastery over
nature)
5 Hakekat Hubungan
Manusia dengan
sesamanya (Relational)
Vertical (Lineality) Horizontal/Kolekial
(collateraly)
Individual/mandiri
(individuality)
Sumber: Pelly, 1994:104
2.3.5 Teori Budaya Nasional Hofstede (1983)
Salah satu topik penting dalam kajian psikologi lintas budaya adalah
melakukan analisa dan mendeskripsikan persamaan dan perbedaan budaya dalam
nilai-nilai dasar yang dianutnya. Nilai merupakan konsep abstrak sehingga sulit
untuk memberikan batasan (definisinya) dan mengungkap atau mengukurnya.
Nilai merupakan suatu perasaan yang mendalam yang dimiliki oleh anggota
masyarakat yang akan sering menentukan perbuatan atau tindak-tanduk perilaku
anggota masyarakat.
Tabel 2.4 Skema Kluckhohn dan Strodtbeck Mengenai Lima Masalah Dasar yang Menentukan
Orientasi Nilai Budaya Manusia
87
Hofstede (1983) berpendapat bahwa nilai merupakan suatu kecenderungan
luas untuk lebih menyukai atau memilih keadaan-keadaan tertentu di banding
dengan yang lain, menduduki posisi sentral di antara kebudayaan sebagai
anteseden (bagian yang mendahului), dan perilaku manusia sebagai
konsekuensinya. Karena posisinya yang sentral inilah, maka nilai dapat dilihat
sebagai variabel bebas dan variabel terikat.
Sebagai variabel bebas terhadap perilaku manusia, nilai ini sama fungsi
psikisnya seperti sikap, kebutuhan-kebutuhan dan sebagainya yang mempunyai
dampak luas terhadap hampir pada semua aspek perilaku manusia dalam konteks
sosialnya. Sebagai variabel terikat terhadap pengaruh-pengaruh sosial budaya dari
masyarakat, nilai merupakan hasil pembentukan dari faktor-faktor kebudayaan,
pranata dan pribadi-pribadi dalam masyarakat tersebut selama hidupnya
(https://www.scribd.com/doc/54184370/Kompilasi-Nilai-nilai-Budaya).
Geert Hofstede (1983) berhasil menyusun kriteria nilai-nilai budaya
nasional yang berhubungan dengan perilaku yang dapat dinilai menggunakan
struktur yang berasal dari analisis faktor berdasarkan empat dimensi utama
(Sumantri dan Suharmono, 2011: 4), yaitu power distance (jarak kekuasaan),
individualism-collectivism (individualisme-kolektivisme), masculinity-femininity
(konsep budaya maskulinitas-konsep budaya feminitas), dan uncertainty
avoidance (penghindaran ketidakpastian). Teori ini adalah salah satu yang
pertama yang bisa diukur, dan dapat digunakan untuk menjelaskan perbedaan
antara budaya nasional yang bisa diamati.
Karya Geert Hofstede ini membentuk tradisi penelitian utama dalam
psikologi lintas-budaya dan juga telah ditarik oleh para peneliti dan konsultan di
88
berbagai bidang yang berhubungan dengan bisnis internasional dan komunikasi.
Hal ini menjadi sumber daya utama dalam bidang penelitian lintas budaya yang
telah mengilhami sejumlah studi nilai-nilai utama lintas-budaya lainnya,
serta penelitian tentang aspek lain dari budaya, seperti kepercayaan sosial
misalnya.
Analisis empat dimensi bidang masalah antropologi ini bisa
mengindikasikan bahwa masyarakat nasional yang berbeda akan membutuhkan
cara menangani juga berbeda, misalnya cara mengatasi ketimpangan, cara
mengatasi ketidakpastian, hubungan individu dengan antar individu atau
kelompok utamanya, dan implikasi emosional yang telah lahir sebagai warga
masyarakat budaya. Operasionalisasi empat dimensi budaya Hofstede (1983: 52)
jika dijelaskan dengan proposisi sebagai adalah sebagai berikut:
1) Jarak Kekuasaan besar vs kecil
Jarak Kekuasaan adalah luasan dimana anggota masyarakat akan menerima
distribusi kekuasaan yang tidak setara. Hal ini akan perilaku dari anggota yang
lebih kuat dan anggota yang kurang kuat. Orang-orang pada masyarakat dengan
jarak kekuasaan besar akan menerima tatanan hirarkis dimana setiap
orang mempunyai tempatnya sendiri yang akan mengarah kepada
ketidaksetaraan kekuasaan yang tidak perlu lagi dijustifikasi. Persoalan
mendasar yang dicoba diatasi oleh dimensi ini adalah bagaimana
suatu masyarakat akan mengelola ketidaksetaraan di antara individu individu dan
hal ini akan mempunyai konsekuensi dalam pembangunan institusi dan organisasi.
89
2) Individualisme dan kolektivisme
Individualisme akan mewakili preferensi kerangka kerja sosial yang lebih
longgar dalam masyarakat dimana individualisme akan cenderung mengutamakan
kepentingan dirinya sendiri dan keluarga terdekat. Sedangkan kolektivisme akan
cenderung lebih disukai oleh masyarakat dimana individu-individu dapat
mengharapkan tetangga, klan, dan anggota lain dari masyarakat turut menjaga
sebagai suatu bentuk solidaritas. Persoalan utamanya adalah derajat
interdependensi yang dipertahankan oleh individu dalam masyarakat.
3) Maskulinitas vs femininitas
Maskulinitas akan merujuk kepada preferensi dalam masyarakat terhadap
prestasi, ketegasan, kepahlawanan, kejantanan, dan keberhasilan material.
Sebaliknya, femininitas akan merujuk kepada preferensi masyarakat akan
hubungan persaudaraan, kesederhanaan, perhatian kepada pihak yang lemah, dan
kualitas kehidupan. Masalah mendasar yang coba dipecahkan oleh dimensi
ini adalah cara dimana suatu masyarakat akan mengalokasikan peran sosial
kepada gender.
4) Penghindaran ketidakpastian lemah vs kuat:
Penghindaran ketidakpastian adalah derajat dimana anggota masyarakat
akan merasa tidak nyaman dengan ketidakpastian dan ambiguitas. Masyarakat
dengan Penghindaran Ketidakpastian kuat akan mempertahankan kode
kepercayaan dan perilaku secara ketat yang menjanjikan kepastian dan melindungi
kenyamanan. Masyarakat semacam ini akan tidak toleran terhadap ide dan
individu yang menyimpang. Masyarakat dengan penghindaran ketidakpastian
lemah akan mempertahankan suasana yang lebih rileks. Dalam masyarakat
90
semacam itu penyimpangan akan cenderung lebih mudah ditolerir. Secara
mendasar, dimensi ini akan mengupas bagaimana suatu masyarakat akan
memandang linearitas waktu dan mengontrol masa depan atau membiarkannya
terjadi. Penghindaran ketidakpastian akan mempunyai konsekuensi bagi cara-cara
dimana individu akan membangun institusi dan organisasi.
Terkait dengan level analisisnya, Hofstede berpendapat bahwa
klasifikasinya hanya akan dapat diaplikasikan pada level nasional. Meskipun
argumen yang pas masih tidak jelas, tetapi Hofstede menegaskan bahwa
mengaplikasikan dimensinya kepada level lain adalah tidak benar dan akan salah
secara ekologis. Hofstede (1983: 73) mengatakan bahwa penyesuaian sampel
dapat dilakukan karena kesulitan dalam memeroleh sampel nasional yang
mewakili dan perbedaan apa saja yang diukur antara budaya nasional dengan
”seperangkat sampel populasi negara yang sama dapat menyediakan informasi
mengenai perbedaan tersebut”. Adapun hubungan teori yang digunakan dapat
dilihat pada Gambar 2.8 sebagai berikut
Gambar 2.8
Hubungan Antarteori
Sumber: Analisis Penulis, 2015
TEORI KOMPETENSI
Spencer dan Spencer (1993)
TEORI MOTIVASI
Mc.Clelland (1976)
TEORI KONTROL
SIBERNETIKA Parson (1951)
TEORI CULTURE AND PERSONALITY
Kluckhon & Strodbeck (1961)
Mc.Clelland (1976)
TEORI BUDAYA
NASIONAL Hofstede (1983)
91
Teori Mc. Clelland (1976) dapat dijadikan dasar untuk melihat kekurangan
yang dimiliki SDM PHB dari segi kompetensi untuk dimotivasi agar mampu
menduduki posisi manajer pada hotel berbintang di Bali. Kompetensi yang dilihat
sesuai dengan lima bidang kompetensi yang dikemukakan oleh Spencer dan
Spencer (1993). Untuk mendukung motivasi ini perlu diketahui faktor-faktor yang
menyebabkan lemahnya motivasi SDM PHB dalam merebut peluang promosi
jabatan manajer di hotel berbintang berdasarkan teori Kontrol Sibernetika Parson
(1951), teori Culture and Personality Kluckhon & Strodbeck (1961) serta teori
Budaya Nasional Hofstede (1983)
2.4 Model Penelitian
Black, dan Champion (1999: 60) mendefinisikan model sebagai
konseptualisasi sistematik dalam bentuk skema tentang berbagai unsur yang
saling terkait. Model dengan demikian merupakan ringkasan secara keseluruhan
dari proses, dan cara kerja penelitian, baik yang dilakukan secara teoritis seperti
yang direncanakan, maupun cara kerja seperti yang ditemukan, dan dilakukan di
lapangan.
Ada dua faktor yang mendasari diangkatnya penelitian mengenai Strategi
Peningkatan Jabatan Sumber Daya Manusia Pariwisata Hindu di Bali ke Tingkat
Manajer pada Hotel Berbintang di Bali. Faktor eksternal yaitu faktor yang secara
tidak langsung diangkatnya penelitian, yaitu: 1) adanya globalisasi menyebabkan
hilangnya batas-batas antar negara, 2) globalisasi menyebabkan terjadinya
peningkatan permintaan pariwisata, 3) peningkatan permintaan pariwisata
menyebabkan setiap negara berlomba untuk menarik wisatawan dengan cara
92
meningkatkan SDM pariwisata sebagai komponen vital pembangunan pariwisata,
4) berlakunya MEA menyebabkan SDM asing bebas masuk, dan bersaing dengan
SDM lokal dan 5) Bali sebagai pintu gerbang koridor pariwisata Indonesia
memiliki jumlah SDM pariwisata yang menduduki jabatan manager relatif rendah.
Faktor internal merupakan faktor yang langsung diangkatnya penelitian
yaitu: 1) kecendrungan masyarakat Hindu Bali yang memilih bekerja di bidang
pariwisata; 2) adanya unsur pengikat masyarakat Hindu Bali seperti adat istiadat
yang diduga menjadi penyebab rendahnya jumlah SDM PHB yang menduduki
jabatan manager; 3) diperlukan solusi dalam peningkatan jabatan ke tingkat
manajer SDM PHB bidang perhotelan dan 4) Terdapat dampak rendahnya jumlah
SDM PHB yang menduduki posisi manager terhadap keberlangsungan pariwisata
Bali.
Secara khusus diangkat tiga permasalahan yaitu: 1) Bagaimanakah
kompetensi SDM PHB pada hotel berbintang di Bali; 2) Bagaimanakah kendala
yang dihadapi SDM PHB untuk menduduki posisi manajer pada hotel berbintang
di Bali; 3) Bagaimanakah strategi peningkatan jumlah SDM PHB yang
menduduki posisi manajer pada hotel Berbintang di Bali. Selanjutnya dicari, dan
dikumpulkan penelitian serta kajian sejenis atau yang berhubungan dengan
penelitian yang akan dilakukan. Dalam membantu proses analisis data, digunakan
acuan teori. Akhirnya disusun metode penelitian. Berikut bagan yang menjelaskan
model penelitian (Gambar 2.9)
93
Gambar 2.9
Model Penelitian
REKOMENDASI
EKSTERNAL
- Globalisasi
- Peningkatan permintaan
pariwisata
- Persaingan berbagai negara dalam
peningkatan SDM pariwisata
- Masuknya SDM asing akibat
dibukanya MEA
- Bali sebagai koridor pariwisata
memiliki kualitas SDM yang
rendah, dan kalah bersaing
dengan SDM luar Bali
INTERNAL
- Kecendrungan masyarakat Bali
yang bekerja di bidang pariwisata
- Kecenderungan masyarakat Bali
hidup dalam keterikatan adat
- Dampak rendahnya SDM
Pariwisata Bali yang menududuki
posisi manajer pada hotel
berbintang di Bali
- Diperlukan solusi peningkatan
jabatan SDM Pariwisata Bali
Strategi Peningkatan Jabatan Sumber Daya Manusia Pariwisata Bali
ke Tingkat Manajer pada Hotel Berbintang di Bali
MASALAH 1
Bagaimanakah
kompetensi SDM
PHB pada hotel
berbintang di
Bali?
MASALAH 2
Bagaimanakah
kendala yang
dihadapi SDM PHB
untuk menduduki
posisi manajer pada
hotel berbintang di
Bali?
MASALAH 3
Bagaimanakah strategi
peningkatan jumlah SDM
PHB yang menduduki posisi
manajer pada hotel
Berbintang di Bali?
Teori Kompetensi
(Spencer dan
Spencer: 1993)
Teori
Motivasi
(Mc. Clelland:
1976)
Wawancara &
kuesioner
Analisis
TEMUAN
Teori
Kontrol
Sibernetika
(Parson: 1951)
Teori Culture and
Personality
(Kluckhon &
Strodbeck: 1961)
Teori Budaya
Nasional
(Hofstede: 1983)