Post on 22-May-2018
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Hakikat Pembelajaran Kooperatif
2.1.1.1 Pengertian Pembelajaran koopertif
Pembelajaran koopertif berasal dari kata “kooperatif” yang artinya
mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama
lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Menurut Trianto (2007)
Pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah
menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi
dengan temannya. Di dalam kelas kooperatif siswa belajar bersama dalam
kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang siswa yang sederajat
tetapi heterogen, kemampuan, jenis kelamin, suku atau ras, dan satu sama lain
saling membantu.
Lie (2003) mengemukakan adanya lima unsur dasar dalam
pembelajaran kooperatif meliputi.
1. Saling ketergantungan positif (positive interdependence).
Keberhasilan kelompok sangat tergantung pada usaha setiap
anggotanya, mau tidak mau setiap anggota merasa bertanggung jawab
untuk menyelesaikan tugasnya agar dapat berhasil. Masing-masing
anggotanya mempuntai kesempatan menyumbang ide-ide / saran-
sarannya kepada anggota kelompok. Dengan demikian bagi beberapa
siswa yang kurang mampu, tidak merasa minder terhadap teman-
temannya sehinggan prestasi merekapun bisa ikut meningkat,
sebaliknya siswa yang lebih pandai juga tidak merasa dirugikan
karena temannya yang kurang mampu sedikit banyak lebih
memberikan sumbangan kepada mereka.
2. Tanggung jawab perseorangan (individual accountability).
Unsur ini merupakan akibat langsung dari unsur pertama. Masing-
masing anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya
7
sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok dapat dilaksanakan.
Dengan demikian siswa yang tidak melaksanakan tugas akan
diketahui dengan jelas dan mudah.
3. Tatap Muka (face to face interaction)
Setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk tatap muka dan
berdiskusi. Kegiatan ini akan memberikan para siswa untuk
membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Hasil
pemikiran beberapa kepala akan lebih kaya daripada pemikiran satu
kepala. Inti dari sinergi ini adalah menghargai pendapat,
memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing
anggota kelompok.
4. Komunikasi antar anggota
Unsur ini juga menghendaki agar para siswa dibekali dengan
berbagai keterampilan berkomunikasi. Sebelum menugaskan siswa
dalam kelompok, guru perlu mengajarkan siswa dalam kelompok dan
mengajarkan cara-cara berkomunikasi. Tidak semua siswa
mempunyai keahlian mendengarkan dan berbicara. Keberhasilan suatu
kelompok juga tergantung pada kesediaan anggotanya untuk saling
mendengarkan dan mengutarakan pendapat. Proses ini sangat
bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman
belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional siswa.
5. Evaluasi proses kelompok (group processing)
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk
mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka
agar selanjutnya dapat bekerja sama secara lebih efektif. Hal ini bisa
dilakukan dengan mendiskusikan seberapa baik mereka telah
mencapai tujuan-tujuan kelompok dan mengelola hubungan kerja
yang efektif. Perbaikan yang terus menerus ini akan semakin membuat
kelompok berfungsi secara efektif.
8
2.1.1.2 Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Menurut Eggen dan Kauchak (Trianto, 2011) pembelajaran kelompok
merupakan sebuah kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa
bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Jadi tujuan
pembelajaran kooperatif antara lain:
1. Pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan partisipasi siswa
2. Memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap kepeminpinan dan
membuat keputusan dalam kelompok.
3. Memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi belajar
bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya.
2.1.1.3 Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
Menurut Ibrahim (Trianto, 2007) Terdapat enam langkah utama atau
tahapan di dalam pelajaran kooperatif dan langkah-langkahnya dapat tunjukan
sebagai berikut:
Fase 1 : Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin
dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
Fase 2 : Menyajikan informasi.
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan
demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
Fase 3 : Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok kooperatif.
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana cara membentuk
kelompok belajar dan membantu setiap agar melakukan
transisi secara efisien.
Fase 4 : Membimbing kelompok bekerja dan belajar.
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat
mereka mengerjakan tugas mereka.
9
Fase 5 : Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah
dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan
hasil kerjanya.
Fase 6 : Memberikan penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun
hasil belajar individu dan kelompok.
2.1.2 Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT)
2.1.2.1 Pengertian Numbered Heads Together (NHT)
Menurut Trianto (2011) Numbered Heads Together (NHT) atau
penomoran berpikir bersama adalah merupakan jenis pembelajaran kooperatif
yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif
terhadap struktur kelas tradisional. Numbered Heads Together (NHT) pertama
kali dikembangkan oleh Spenser Kagan (1993) untuk melibatkan lebih banyak
siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pembelajaran dan
mengecek pemahaman mereka terhadap pemahaman tersebut. Menurut Russ
Frank (2011) Numbered Heads Together dapat memberikan kesempatan
kepada siswa untuk sharing ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang
paling tepat.
Menurut Isjoni (Wahyu, 2008) dituliskan model Cooperative learning
tipe Numbered heads together (Kepala bernomor) dikembangkan spencer
kagan. Teknik ini memberi kesempatan kepada siswa untuk saling
membagikan ide-ide dan pertimbangan jawaban yang paling tepat. Selain itu
teknik ini mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerja sama mereka.
Maksud dari kepala bernomor yaitu setiap anak mendapatkan nomor tertentu,
dan setiap nomor mendapatkaan kesempatan yang sama untuk menunjukkan
kemampuan mereka dalam menguasai materi.
Dengan menggunakan model ini, siswa tidak hanya sekedar paham
konsep yang diberikan, tetapi juga memiliki kemampuan untuk bersosialisasi
dengan teman-temannya, belajar mengemukakan pendapat dan menghargai
10
pendapat teman, rasa kepedulian pada teman satu kelompok agar dapat
menguasai konsep tersebut, siswa dapat saling berbagi ilmu dan informasi,
suasana kelas yang rileks dan menyenangkan serta tidak terdapatnya siswa
yang mendominasi dalam kegiatan pembelajaran karena semua siswa memiliki
peluang yang sama untuk tampil menjawab pertanyaan.
2.1.2.2 Penerapan Model Numbered Heads Together (NHT)
Pembelajaran yang menggunakan model NHT diawali dengan
numbering, pertama kali guru mempersiapkan rancangan pembelajaran dengan
membuat rencana pelaksanaan pembelajaran dan membuat lembar kerja siswa
yang sesuai dengan model NHT. Setelah itu guru membagi kelas dalam
kelompok-kelompok kecil. Jumlah kelompok sebaiknya mempertimbangkan
jumlah konsep yang dipelajari. Dalam pembentukan kelompok guru
menggunakan prasiklus atau hasil nilai ulangan harian dengan
mempertimbangkan heterogenitas supaya tidak ada kelompok yang dominan
Menurut Ibrahim (Wawan, 2010) pembelajaran kooperatif tipe NHT
melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam
suatu pelajaran dengan mengecek pemahaman mereka mengenai isi pelajaran
tersebut. Sebagai pengganti pertanyaan langsung kepada seluruh kelas, guru
menggunakan empat langkah sebagai berikut : (a) Penomoran, (b) Pengajuan
pertanyaan, (c) Berpikir bersama, (d) Pemberian jawaban.
Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang
mengutamakan adanya kerjasama antar siswa dalam kelompok untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Para siswa dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil
dan diarahkan untuk mempelajari materi pelajaran yang telah ditentukan.
Tujuan dibentuknya kelompok kooperatif adalah untuk memberikan
kesempatan kepada siswa agar dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir
dan dalam kegiatan-kegiatan belajar. Dalam hal ini sebagian besar aktifitas
pembelajaran berpusat pada siswa, yakni mempelajari materi pelajaran serta
berdiskusi untuk memecahkan masalah. Dalam pembelajaran Numbered Heads
Together pada dasarnya merupakan sebuah varian diskusi kelompok. Ciri
11
khasnya adalah guru hanya menunjuk seorang siswa yang mewakili
kelompoknya, tanpa memberi tahu terlebih dahulu siapa yang akan mewakili
kelompok itu. Cara ini menjamin keterlibatan total semua siswa, cara ini juga
merupakan upaya yang sangat baik untuk meningkatkan tanggungjawab
individual dalam diskusi kelompok.
2.1.2.3 Langkah-langkah Model Numbered Heads Together (NHT)
Langkah-langkah Model Numbered Heads Together Menurut Endang
Mulyaningsih (2011) sebagai berikut:
1. Peserta didik dibagi menjadi beberapa kelompok, setiap anggota
kelompok mendapat nomor
2. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya
3. Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap
anggota kelompok dapat mengerjakannya/mengetahui jawabannya
4. Guru memanggil salah satu nomor peserta didik secara acak untuk
melaporkan hasil kerjasama mereka
5. Peserta didik lain memberi tanggapan kepada peserta didik yang sedang
malapor
6. Guru menunjuk nomor lain secara bergantian
2..1.2.4 Manfaat Pembelajaran dengan Model Numbered Heads Together
(NHT)
Menurut Ibrahim (Wawan, 2010) ada beberapa manfaat pada model
pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap siswa yang hasil belajar rendah,
antara lain adalah :
a. Nilai kerja sama antar siswa lebih teruji
b. Kreativitas siswa termotivasi dan wawasan siswa menjadi berkembang
c. Memotivasi siswa yang berkemampuan lemah untuk memahami materi
dengan bekerja secara antusias dalam kelompok
d. Meningkatkan kepercayaan diri
e. Meningkatkan prestasi
12
Kelebihan dari model pembelajaran kooperatif tipe NHT sebagaimana
dijelaskan oleh Hill (Wawan, 2010) bahwa model NHT dapat meningkatkan
prestasi belajar siswa, mampu memperdalam pamahaman siswa,
menyenangkan siswa dalam belajar, mengembangkan sikap positif siswa,
mengembangkan sikap kepemimpinan siswa, mengembangkan rasa ingin tahu
siswa, meningkatkan rasa percaya diri siwa, mengembangkan rasa saling
memiliki, serta mengembangkan keterampilan untuk masa depan.
Kelebihan model Kooperatif Numbered Heads together:
1. Setiap siswa menjadi siap semua.
2. Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh.
3. Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai.
4. Tidak ada siswa yang mendominasi dalam kelompok
Kelemahan model Kooperatif Numbered Heads together:
1. Kemungkinan nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru.
2. Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru
2.1.3 Motivasi Belajar
2.1.3.1 Pengertian Motivasi Belajar
Motivasi adalah usaha atau kegiatan dari guru sekolah untuk
menimbulkan dan meningkatkan semangat dan kegairahan belajar dari para
siswanya. Motivasi adalah keadaan dalam keadaan pribadi orang yang
mendorong individu tersebut untuk melakukan berbagai aktivitas tertentu untuk
mencapai suatu tujuan, Suryabrata (Raniyati, 2010). David Mc Clelland
(Hamzah, 2011) berpendapat bahwa : Motivasi memiliki dua aspek, yaitu
adanya dorongan dari dalam dan dari luar untuk mengadakan perubahan dari
suatu keadaan pada keadaan yang diharapkan, dan usaha untuk mencapai
tujuan.
Motivasi belajar sebagai dorongan yang berhubungan dengan prestasi
yaitu menguasai, memanipulasi, mengatur lingkungan sosial atau fisik,
menguasai rintangan dan memelihara kualitas kerja yang tinggi, bersaing untuk
melebihi yang lampau dan mengungguli orang lain menurut Wirabayu (Rani,
13
2010). Mukijat (Raniyati, 2010) mendefinisikan motivasi belajar sebagai suatu
kecenderungan positif dan dalam individu yang pada dasarnya mempunyai
reaksi terhadap suatu tujuan yang ingin dicapai.
Berdasarkan uraian beberapa para ahli dapat disimpulkan bahwa
motivasi belajar sebagai suatu dorongan yang timbul oleh adanya rangsangan
dari dalam maupun dari luar diri individu untuk melakukan aktivitas dan usaha
yang maksimal serta berkeinginan untuk mengadakan perubahan tingkah
laku/aktivitas tertentu lebih baik dari keadaan sebelumnya.
2.1.3.2 Aspek-aspek Motivasi
Wirabayu (Raniyati, 2010) mengemukakan 6 aspek motivasi belajar
pada individu:
1. Tanggung jawab pribadi terhadap tugas, yaitu individu yang mempunyai
motivasi belajar yang tinggi dan selalu bertanggung jawab terhadap
pekerjaannya dan selalu menerima tugas dengan senang hati.
2. Umpan balik atau perbuatan (tugas) yang dilakukan, yaitu individu akan
selalu mengharapkan hasil atua feedback dari setiap pekerjaan yang
dilakukan.
3. Tugas yang bersifat moderat yang tingkat kesulitannya tidak terlalu sulit
tetapi juga tidak terlalu mudah, yang penting adanya tantangan dalam
tugas, serta dimungkinkan diraih dengan hasil yang memuaskan, yaitu
individu akan tertarik dengan tugas yang menantang serta memberikan
hasil yang maksimal
4. Tekun dan ulet dalam bekerja, yaitu individu yang mempunyai motivasi
belajar tinggi akan selalu berusaha melakukan tugas pekerjaan sebaik
mungkin dan pantang menyerah.
5. Dalam melakukan tugas penuh pertimbangan dan perhitungan (spekulasi
dan untung-untungan), yaitu individu yang mempunyai motivasi belajar
tinggi akan menghindari pekerjaan yang asal-asalan atau berspekulasi
karena setiap tugas yang dikerjakan penuh dengan pertimbangan.
14
6. Keberhasilan tugas merupakan faktor yang penting bagi dirinya yang akan
meningkatkan aspirasi dan tetap bersifat relisties, yaitu individu yang
mempunyai motivasi belajar tinggi kan selalu bersikap realitis dan
mengutamakan keberhasilan dalam tugas.
2.1.3.3 Pentingnya motivasi belajar dalam proses pembelajaran
Pentingnya peranan motivasi belajar dalam proses pembelajaran perlu
dipahami oleh pendidik agar dapat melakukan berbagai bentuk tindakan atau
bantuan kepada siswa. Motivasi dirumuskan sebagai dorongan, baik
diakibatkan faktor dalam maupun faktor luar siswa, untuk mencapai tujuan
tertentu guna memenuhi atau memuaskan suatu kebutuhan. Dalam konteks
pembelajaran maka kebutuhan tersebut berhubungan dengan kebutuhan untuk
pelajaran.
Dua anak memiliki kemampuan yang sama dan diberikan peluang
serta kondisi yang sma untuk mencapai tujuan, kinerja dan hasil-hasil yang
dicapai oleh anak yang termotivasi akan lebih baik dibandingkan dengan anak
yang tidak termotivasi.
Fungsi motivasi dalam pembelajaran diantaranya :
1. Mendorong timbulnya tingkah laku atau perbuatan, tanpa motivasi
tidak akan timbul suatu perbuatan misalnya belajar.
2. Motivasi berfungsi sebagai pengarah artinya megarahkan
perbuatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
3. Motivasi berfungsi sebagai penggerak, artinya menggerakkan
tingkah laku seseorang. Besar kecilnya motivasi akan menentukan
cepat atau tidaknya suatu pekerjaan.
15
2.1.4 Hasil Belajar
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah
dia menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2008). Menurut Winkel
(Purwanto, 2011) Hasil Belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia
berubah dalam sikap dan tingkah lakunya. Menurut Dimyati dan Mudjiono
(2006), hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan
tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi
hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya penggal dan
puncak proses belajar.
Setiap guru pasti memiliki keinginan agar dapat meningkatkan hasil
belajar siswa yang dibimbingnya. Karena itu guru harus memiliki hubungan
dengan siswa yang dapat terjadi melalui proses belajar mengajar. Setiap proses
belajar mengajar keberhasilannya diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang
dicapai siswa. Horward Kingsley dalam bukunya Sudjana (2004) membagi tiga
macam hasil belajar, yakni (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan
pengertian, (c) sikap dan cita-cita.
Pada penelitian ini penulis menggunakan klasifikasi hasil belajar dari
Benyamin Bloom pada tahun 1956 dalam Endang Poerwanti (2008), yaitu
cognitive, affective, dan psychomotor. Benyamin Blom (1956) mengelompokkan
kemampuan manusia ke dalam dua ranah (domain) utama yaitu ranah kognitif
dan ranah non-kognitif. Ranah non-kognitif dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu ranah afektif dan ranah psikomotor. Setiap ranah diklasifikasi secara
berjenjang mulai dari yang sederhana sampai pada yang kompleks. Tetapi pada
penelitian ini penulis hanya menggunakan ranah kognitif.
1. Ranah Kognitif
Aspek kognitif dibedakan atas enam jenjang, yaitu aspek pengetahuan,
pemahaman, pererapan, analisis, sitesis dan penilaian.
a. Pengetahuan (knowledge), dalam jenjang ini seseorang dituntut dapat
mengenali atau mengetahui adanya konsep, fakta atau istilah tanpa harus
mengerti atau dapat menggunakannya. Kata-kata operasional yang
digunakan, yaitu: mendefinisikan, mendeskripsikan, mengidentifikasi,
16
mendaftarkan, menjodohkan, menyebutkan, menyatakan, dan
mereproduksi.
b. Pemahaman (comprehension), kemampuan ini menuntut siswa
memahami atau mengerti apa yang diajarkan, mengetahui apa yang
sedang dikomunikasikan dan dapat memanfaatkan isinya tanpa harus
menghubungkannya dengan hal-hal lain. Kemampuan ini dijabarkan
menjadi tiga, yaitu; (a) menterjemahkan, (b) menginterpretasikan, dan (c)
mengekstrapolasi. Kata-kata operasional yang digunakan antara lain:
memperhitungkan, memperkirakan, menduga, menyimpulkan,
membedakan, menentukan, mengisi, dan menarik kesimpulan.
c. Penerapan (aplication), adalah jenjang kognitif yang menuntut
kesanggupan menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun metode-
metode, prinsip-prinsip, serta teori-teori dalam situasi baru kongkret.
Kata-kata operasional yang digunakan antara lain: mengubah,
menghitung, mendemonstrasikan, menemukan, memanipulasikan,
menghubungkan, menunjukkan, memecahkan, dan menggunakan.
d. Analisis (analysis) adalah tingkat kemampuan yang menuntut seseorang
untuk dapat menguraikan suatu situasi atau keadaan tertentu ke dalam
unsur-unsur atau komponen pembentuknya. Kemampuan analisis
diklarifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu; (a) analisis unsur, (b)
analisis hubungan, (c) analisis prinsip-prinsip yang terorganisasi. Kata-
kata operasional yang umumnya digunakan antara lain: memperinci,
mengilustrasikan, menyimpulkan, menghubungkan, memiliki, dan
memisahkan.
e. Sintesis (synthesis), jenjang ini menuntut seseorang untuk dapat
menghasilkan sesuatu yang baru dengan cara menggabungkan berbagai
faktor. Hasil yang diperoleh dapat berupa: tulisan, rencana atau
mekanisme. Kata operasional yang digunakan terdiri dari:
mengkatagorika, memodifikasikan, merekonstruksi, mengorganisasikan,
menyusun, membuat design, menciptakan, menuliskan, dan menceritakan.
17
f. Evaluasi (evaluation) adalah jenjang yang menuntut seseorang untuk
dapat menilai suatu situasi, keadaan, pernyataan, atau konsep berdasarkan
suatu kriteria tertentu. Hal penting dalam evaluasi ialah menciptakan
kondisi sedemikian rupa sehingga siswa mampu mengembangkan kriteria,
standar atau ukuran untuk mengevaluasikan sesuatu. Kata-kata
operasional yang dapat digunakan antara lain: menafsirkan, menentukan,
menduga, mempertimbangkan, membenarkan, dan mengkritik.
Dari beberapa pengertian belajar diatas dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar adalah suatu perolehan nilai yang didapat melalui sebuah proses dari
mengingat, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, hingga evaluasi dan itu
semua memberikan sebuah indikasi bahwa ada kemajuan dalam belajar.
Hasil belajar digunakan oleh guru untuk menjadikan ukuran atau kriteria
dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Ukuran hasil belajar diperoleh dari
aktivitas pengukuran. Secara sederhana, pengukuran diartikan sebagai kegiatan
atau upaya yang dilakukan untuk memberikan angka-angka pada suatu gejala
atau peristiwa, atau benda. Pengukuran adalah penetapan angka dengan cara
yang sistematik untuk menyatakan keadaan individu. Untuk menetapkan angka
dalam pengukuran, perlu sebuah alat ukur yang disebut dengan instrumen.
Cara untuk mencari hasil belajar dapat dicari dengan pengukuran.
Pengukuran hasil belajar dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu dengan
teknik tes dan non tes.
1. Teknik Tes
Adalah seperangkat tugas yang harus dikerjakan oleh orang yang
dites, dan berdasarkan hasil menunaikan tugas-tugas tersebut, akan dapat
ditarik kesimpulan tentang aspek tertentu pada orang tersebut. Tes sebagai
alat ukur sangat banyak macamnya dan luas penggunaannya. Yang termasuk
dalam teknik tes, yaitu :
a. Tes Pilihan Ganda (Multiple Choice)
Yaitu tes dengan soal yang harus dijawab oleh peserta didik
dengan memilih jawaban yang tersedia.
18
b. Tes Tertulis
Yaitu tes yang soal-soalnya harus dijawab peserta didik dengan
memberikan jawaban tertulis.
c. Tes Lisan
Yaitu tes yang pelaksanaannya dilakukan dengan mengadakan
tanya jawab secara langsung antara pendidik dengan peserta didik.
d. Tes Perbuatan
Yaitu tes yang penugasannya disampaikan dalam bentuk lisan
atau tertulis dan pelaksanaan tugasnya dinyatakan dengan perbuatan
atau unjuk kerja.
2. Teknik Non Tes
Teknik non tes dapat dilakukan dengan observasi baik secara langsung
ataupun tak langsung, angket ataupun wawancara. Dapat pula dilakukan
dengan Sosiometri. Teknik non tes digunakan sebagai pelengkap dan
digunakan sebagai pertimbangan tambahan dalam pengambilan keputusan
penentuan kualitas hasil belajar, teknik ini dapat bersifat lebih menyeluruh
pada semua aspek kehidupan anak.
Adapun instrumen butir-butir soal apabila cara pengukurannya
menggunakan tes, apabila pengukurannya dengan cara mengamati atau
mengobservasi akan menggunakan instrumen lembar pengamatan atau
observasi, pengukuran dengan cara/teknik skala sikap akan menggunakan
instrumen butir-butir pernyataan.
Instrumen sebagai alat yang dipergunakan untuk mengukur ketercapaian
tujuan pembelajaran maupun kompetensi yang dimiliki peserta didik haruslah
valid, artinya instrumen ini adalah instrumen yang dapat mengukur apa yang
seharusnya diukur. Maka perlu digunakan kisi-kisi untuk ketercapaian tujuan
pembelajaran.
Kisi-kisi adalah format atau matriks pemetaan soal yang menggambarkan
distribusi item untuk berbagai topik atau pokok bahasan berdasarkan
kompetensi dasar, indikator dan jenjang kemampuan tertentu. Penyusunan kisi-
19
kisi ini dimaksudkan sebagai pedoman merakit atau menulis soal menjadi
perangkat tes.
Hasil dari pengukuran tersebut dipergunakan sebagai dasar penilaian atau
evaluasi. Evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa Inggris). Menurut
Stufflebeam (Naniek, 2009) mengatakan bahwa evaluasi merupakan proses
penggambaran, pencarian, dan pemberian informasi yang sangat bermanfaat
bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif keputusan (judgement
alternative). Wardani Naniek Sulistya dkk, (2009) mengartikannya, bahwa
evaluasi itu merupakan proses untuk memberi makna atau menetapkan kualitas
hasil pengukuran, dengan cara membandingkan angka hasil pengukuran
tersebut dengan kriteria tertentu. Kriteria sebagai pembanding dari proses dan
hasil pembelajaran tersebut dapat ditentukan sebelum proses pengukuran atau
ditetapkan setelah pelaksanaan pengukuran. Kriteria ini dapat berupa proses
atau kemampuan minimal yang dipersyaratkan seperti KKM, atau batas
keberhasilan, dapat pula berupa kemampuan rata-rata unjuk kerja kelompok,
atau berbagai patokan yang lain. Kriteria yang berupa batas kriteria minimal
yang telah ditetapkan sebelum pengukuran dan bersifat mutlak disebut dengan
Penilaian Acuan Patokan atau Penilaian Acuan Kriteria (PAP/PAK), sedang
kriteria yang ditentukan setelah kegiatan pengukuran dilakukan dan didasarkan
pada keadaan kelompok dan bersifat relatif disebut dengan Penilaian Acuan
Norma/ Penilaian Acuan Relatif (PAN/PAR).
2.1.5 Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) SD
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu mata pelajaran yang
dapat membentuk sikap diri dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia, untuk
menjadi warga negara yang cerdas, terampil dan berkarakter yang dilandasi
UUD 1945. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Depdiknas (2005)
bahwa:
“Pendidikan Kewarganegaran merupakan mata pelajaran yang secara
umum bertujuan untuk mengembangkan potensi individu warga negara
Indonesia, sehingga memiliki wawasan, sikap, dan keterampilan
20
kewarganegaraan yang memadai dan memungkinkan untuk berpartisipasi secara
cerdas dan bertanggung jawab dalam berbagai kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Menurut Noor MS Bakry (2002) dalam buku pendidikan
kewarganegaraan, “Pendidikan kewarganegaraan adalah usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik dalam mengembangkan kecintaan, kesetiaan,
keberanian untuk berkorban membela bangsa dan tanah air indonesia.”
Tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah
mengembangkan kompetensi sebagai berikut:
a. Memiliki kemampuan berfikir secara rasional, kritis dan kreatif, sehingga
mampu memahami berbagai wacana kewarganegaraan.
b. Memiliki keterampilan intelektual dan keterampilan berpartisipasi secara
demokratis dan bertanggung jawab.
c. Memiliki watak dan kepribadian yang baik, sesuai dengan norma-norma
yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Menurut Syahrial (2010) Pendidikan Kewarganegaraan yang kita kenal
sekarang telah mengalami perjalanan panjang dan melalui kajian krisis sejak
tahun 1960-an yang dikenal dengan mata pelajaran “Civic” di Sekolah Dasar dan
merupakan embrio dari “Civic Education” sebagai “the Body Of Knowledge”.
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai instrumen pengetahuan (the Body Of
Knowledge) diarahkan untuk membangun masyarakat demokrasi berkeadaban.
Secara normatif, Pendidikan Kewarganegaraan memperoleh dasar legalitasnya
dalam Pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang mengatakan: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Dengan demikian seorang warga negara pertama perlu memiliki
pengetahuan kewarganegaraan yang baik, memiliki keterampilan intelektual
maupun partisipatif dan pada akhirnya pengetahuan serta keterampilan itu akan
membentuk suatu karakter atau watak yang mapan, sehingga menjadi sikap dan
kebiasaan sehari-hari. Watak yang mencerminkan warga negara yang baik itu
21
misalnya sikap religius, toleran, jujur, adil , demokratis, taat hukum,
menghormati orang lain, memiliki kesetiakawanan sosial dan lain-lain.
Berdasarkan pendapat para ahli tentang tujuan PKn jelas bagi kita bahwa
PKn bertujuan mengembangkan potensi individu warga negara, dengan
demikian maka seorang guru PKn haruslah menjadi guru yang berkualitas dan
profesional, sebab jika guru tidak berkualitas tentu tujuan PKn itu sendiri tidak
tercapai.
Secara garis besar mata pelajaran Kewarganegaraan memiliki 3 dimensi yaitu
1. Dimensi pengetahuan Kewarganegaraan (civics knowledge) yang
mencangkup bidng politik, hukum dan moral
2. Dimensi keterampilan Kewarganegaraan (civics skills) meliputi
keterampilan pertisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
3. Dimensi nilai-nilai kewarganegaraan (civics values) mencangkup
antara lain percaya diri, penguasaan atas nilai religius, norma moral
luhur. (Depdiknas 2003)
Tujuan pendidikan kewarganegaraan dapat dicapai dengan cara, guru
berupaya melalui kualitas pembelajaran yang dikelolah, upaya ini bisa dicapai
jika siswa mau belajar, dalam belajar inilah guru berusaha mengarahkan dan
membentuk sikap serta sebagai mana yang dikehendaki dalam pembelajaran
PKn.
Standar Kompetensi dan kompetensi dasar PKn dalam dokumen ini
disusun sebagai landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan
tersebut diatas. Selain itu dimaksudkan pula untuk mengembangkan kemampuan
menggunakan model NHT pada pembelajaran PKn.
22
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Kelas V Semester II
Mata Pelajaran : Pendidikan Kewarganegaraan
Stándar Kompetensi Kompetensi Dasar
3. Memahami kebebasan
berorganisasi
3.1 Mendeskripsikan pengertian organisasi
3.2 Menyebutkan contoh organisasi di lingkungan sekolah
dan masyarakat
3.3 Menampilkan peran serta dalam memilih organisasi di
sekolah
4. Menghargai keputusan
bersama
4.1 Mengenal bentuk-bentuk keputusan bersama
4.2 Mematuhi keputusan bersama
2.2 Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Nugroho Sandi Ananta
(292008615) dengan judul Penerapan Model NHT Dalam Pembelajaran
Matematika Pokok Bahasan Penjumlahan dan Pengurangan Pecahan Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Pada Siswa Kelas IV SD Negeri Pitrosari
Kec.Wonoboyo Kab.Temanggung yang menyimpulkan bahwa melalui model
pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas
IV dalam Matematika pokok bahasan penjumlahan dan pengurangan pecahan.
Dapat dilihat dari kondisi awal atau pra siklus siswa yang nilainya diatas KKM
terdapat 16 siswa (67%). Siklus I menerapkan model NHT terjadi peningkatan
signifikan yaitu terdapat 18 siswa yang di atas KKM (75%) dan 9 siswa (25%)
yang belum memenuhi KKM yang ditetapkan. Kemudian siklus II terjadi
peningkatan yaitu 21 (87%) siswa yang sudah memenuhi KKM dan 3 (13%) yang
belum memenuhi KKM.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dra. Siti Istiyati, M. Pd. Dan Drs. A.
Dakir, M. Pd. FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul
Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT untuk Meningkatakan
Motivasi Belajar Siswa Kelas IV Pada Pembelajaran IPS di SDN 02 Doplang
Karangpandan Tahun 2010 yang menyimpulkan bahwa model pembelajaran
23
kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan motivasi belajar siswa di SDN o2
Doplang. Dapat dilihat dari kondisi awal atau pra siklus nilai Rata-rata mata
pelajaran IPS adalah 60,88. Siklus I menerapkan model NHT terdapat
peningkatan 72,80, siklus II menjadi 84,20 itu berarti motivasi siswa dalam
pembelajaran IPS menggunakan Model NHT rata-rata siswa bertambah 23,32%.
2.3 Kerangka Berpikir
Berdasarkan hasil observasi pembelajaran pada kelas itu guru masih
melakukan pembelajaran konvensional (berpusat pada guru siswa masih pasif)
yang menyebabkan siswa kurang aktif dalam mengikuti pembelajaran. Terutama
pada kelas V yang seharusnya guru harus lebih mengetahui kondisi belajar siswa.
Proses pembelajaran yang terjadi dalam kelas akan lebih efektif jika guru
menerapkan model pembelajaran yang sesuai dengan mata pelajaran dan kondisi
siswa dalam kelas itu. Dalam penelitian ini kegiatan belajar mengajar mengacu
pada pembelajaran pendidikan kewarganegaraan dengan menggunakan
Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together agar siswa lebih
bersemangat karena pembelajaran lebih menarik karena siswa bisa belajar untuk
melatih kerja sama antar anggota kelompok bersama temannya. Pembelajaran
NHT menghendaki siswa belajar saling membantu dalam kelompok kecil. Dari
pembelajaran PKn menggunakan tipe Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered
Heads Together diharapkan akan meningkatkan motivasi siswa dalam mengikuti
pelajaran, siswa juga dapat bersemangat dalam belajar dan hasil yang dicapai akan
meningkat. Sehingga Pembelajaran akan menjadi menarik dan efektif karena
siswa tidak hanya belajar secara konvensional. Pada pembelajaran PKn
menggunakan model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered HeadsTogether ini
siswa menjadi aktif dalam mengikuti pembelajaran dan hasil yang didapat
meningkat.
24
2.4 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori, maka hipotesis yang akan diajukan adalah
penelitian ini adalah model Pembelajaran Kooperatif tipe Numbered Heads
Together (NHT) dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar PKn siswa kelas
V SD Negeri Sunggingsari Kecamatan Parakan Kabupaten Temanggung Tahun
Ajaran 2011/2012 .
Siswa pasif dalam menerimapelajaran.
Motivasi dan hasil belajar siswameningkat pada mata pelajaranPKn dengan Menerapkan modelNHT
Guru Masih menggunakan metodeceramah (berpusat pada guru) belummenerapkan model pembelajarankooperatif dengan tipe NHT
Gambar 2.1 Kerangka Pikir
Guru Menerapkan modelpembelajaran kooperatif dengantipe Numbered Heads Together(NHT)
Motivasi dan hasil belajar siswarendah
Siswa aktif dan bersemangatdalam mengikuti pembelajarandengan menggunakan modelNHT