Post on 17-Sep-2018
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
Berdasarkan masalah dan tujuan penelitian, pembahasan landasan teori
pada penelitian ini berisi tinjauan sejumlah kajian yang berkaitan dengan 1)
Group Investigation, 2) Keaktifan belajar Matematika, dan 3) Hasil belajar.
2.1.1 Group Investigation
Teknik pembelajaran yang digunakan pada penelitian ini adalah Group
Investigation. Group Investigation termasuk dalam salah satu model pembelajaran
kooperatif dimana dalam pembelajaran membentuk kelompok-kelompok kecil
untuk melatih siswa agar berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. untuk lebih
memahami bagaimana pembelajaran Group Investigation penjelasannya adalah
sebagai berikut :
2.1.1.1 Hakikat Group Investigation
Awal mula adanya pembelajaran kooperatif berasal dari adanya pandangan
filosofis terhadap konsep belajar yang berpendapat bahwa seseorang harus
memiliki pasangan atau teman untuk belajar bersama dan diajak memecahkan
masalah bersama. Menurut Johnson dalam Lie (2003:17) yang dimaksud
pembelajaran kooperatif adalah mengelompokkan siswa di dalam kelas menjadi
suatu kelompok kecil agar siswa dapat bekerja sama dengan kemampuan
maksimal yang mereka miliki dan mempelajari satu sama lain dalam kelompok
tersebut. Model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dimana
siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan
yang berbeda (tinggi, sedang, dan rendah). Setiap anggota saling kerjasama dan
membantu untuk memahami suatu bahan pembelajaran dan menyelesaikan tugas
kelompok. Pendapat lain dikemukakan oleh Sanjaya (2007:239) bahwa
pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran dimana sistem
belajar dan bekerja dalam pengelompokan yang terdiri dari 4-6 orang yang
mempunyai kemampuan akademik, jenis kelamin, suku, yang heterogen.
7
Menurut Lie (2002:54) macam-macam model pembelajaran kooperatif
yaitu mencari pasangan, bertukar pasangan, TPS (Think Pair Square), berkirim
salam dan soal, NHT (Number Heads Together), kepala bernomor terstruktur,
keliling kelompok, kancing gemerincing, keliling kelas, lingkaran kecil lingkaran
besar, tari bambu, jigsaw, cerita berpasangan dan TSTS ( two stay two stray).
Sedangkan Asma (2006:51) mengemukakan beberapa model pembelajaran
kooperatif antara lain: STAD (Student Team Achievement Division), TGT (Team
Game Tournaments), TAI (Team Assisted Individualization), CIRC (Cooperative
Integrated Reading and Composition), Jigsaw, GI (Group Investigation).
Group Investigation dikembangkan oleh Sharan & Sharan pada tahun
1970. Model pembelajaran ini banyak melibatkan siswa dalam kegiatan
pembelajaran. Menurut Killen dalam Fitriana (2010:-) Group Investigation ini
melatih siswa untuk dapat berkomunikasi dan menguasai keterampilan-
keterampilan proses kelompok.
Pembelajaran Group Investigation dilakukan dengan cara membagi jumlah
siswa ke dalam beberapa kelompok yang heterogen yang terdiri dari lima atau
enam orang. Namun, jumlah anggota tiap kelompok fleksibel tergantung dengan
kondisi kelas. Menurut Joyce & Weil dalam Fitriana (2010:-) kedudukan guru
dalam model pembelajaran ini hanya berperan sebagai fasilitator yang
mengarahkan proses yang terjadi dalam kelompok. Ia berfungsi sebagai
pembimbing akademik”. Menurut Suherman dalam Fitriana (2010:-) “Pada kelas
yang menerapkan model investigasi kelompok, guru cenderung berperan sebagai
konselor, konsultan, dan pemberi kritik yang membangun. Guru membimbing dan
mengarahkan kelompok melalui tiga tahap : yakni 1). Tahap pemecahan masalah,
2). Tahap pengelolaan kelas, dan 3). Tahap pemaknaan secara perorangan.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan salah satu dari model
pembelajaran di atas yaitu model pembelajaran kooperatif tipe Group
Investigation, karena Group Investigation akan membantu guru mengaitkan antara
materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara materi yang yang diajarkan dengan situasi dunia nyata
siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki
8
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. Dengan pembelajaran Group
Investigation ini keaktifan belajar siswa meningkat dan hasil pembelajarannya
diharapkan lebih bermakna bagi siswa.
Soedjadi (1999:162) mengemukakan bahwa “model pembelajaran
„investigasi‟ dapat dipandang sebagai model belajar berbasis pemecahan masalah
atau model penemuan. Tetapi model belajar investigasi memiliki kemungkinan
besar berhadapan dengan masalah yang divergen serta alternatif perluasan
masalahnya. Dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan sasaran atau tujuan
yang ingin dicapai, tentang suatu konsep atau prinsip”.
Menurut Santyasa dalam Fitriana (2010:-) “kelas merupakan cermin
masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tenntang kehidupan
di dunia nyata yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial dan antar
pribadi”. Winataputra (1992:39) menambahkan bahwa “model Group
Investigation atau investigasi kelompok telah digunakan dalam berbagai situasi
dan dalam berbagai bidang studi dan berbagai tingkat usia”. Model pembelajaran
ini dirancang untuk membimbing siswa dalam mendefinisikan masalah,
mengeksplorasi berbagai cakrawala mengenai masalah, mengumpulkan data yang
relevan, mengembangkan dan mengetes hipotesis.
Menurut Depdiknas, pada penerapan Group Investigation guru hendaknya
mengarahkan, membantu para siswa menemukan informasi, dan menjadi salah
satu sumber belajar untuk menciptakan lingkungan sosial yang demokratif dan
berproses ilmiah. Sejalan dengan hal tersebut, Winataputra dalam Fitriana (2010:-
) menyatakan bahwa adanya sifat demokrasi dalam Group Investigation ditandai
oleh keputusan-keputusan yang dikembangkan atau diperkuat oleh pengalaman
kelompok dalam konteks masalah yang menjadi titik sentral kegiatan belajar.
Tanggung jawab utama guru adalah memotivasi siswa untuk bekerja secara
kooperatif dan memikirkan masalah sosial yang berlangsung pembelajaran serta
membantu siswa mempersiapkan sarana pendukung yang dibutuhkan para pelajar
untuk dapat menggali berbagai informasi yang sesuai dan diperlukan untuk
melakukan pemecahan kelompok.
9
Sedangkan menurut Ibrahim, dkk (2000:23) menyatakan dalam kooperatif
tipe Group Investigation guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok denga
5 atau 6 siswa heterogen dengan mempertimbangkan keakraban dan minat yang
sama dalam topik tertentu. Dalam diskusi kelas ini diutamakan keterlibatan
pertukaran pemikiran para siswa.
Model pembelajaran Group Investigation merupakan strategi pemberian
tugas pemecahan masalah melalui penyelidikan yang dikerjakan oleh kelompok
kecil yaitu 3 sampai dengan 6 orang siswa heterogen dengan mempertimbangkan
keakraban dan minat yang sama dalam topik tertentu. Jadi, siswa dapat memilih
sendiri topik yang akan dipelajari dan kelompok menyusun strategi penyelidikan
dan membuat pembagian kerja dalam kelompok untuk menangani konsep-konsep
penyelidikan yang telah disusun. Dalam diskusi diharapkan siswa dapat aktif
dalam bertukar pemikiran dan berpendapat.
Menurut Alma, dkk dalam Fitriana (2010:-) Group Investigation diartikan
sebagai berikut :
Setelah dibentuk kelompok oleh peserta didik, mereka diberi materi
dan permasalahan. Untuk memecahkan masalah ini, peserta didik
bisa mencari data di kelas atau di luar kelas. Kemudian pada
waktunya mereka harus melaporkan hasil kelompok dan analisis dan
kesimpulan.
Berdasarkan beberapa pemaparan di atas dapat peneliti simpulkan bahwa
Group Investigation pada prinsipnya merupakan suatu penyelidikan terhadap
peristiwa, masalah, atau topik tertentu melalui pengumpulan fakta-fakta atau
nformasi guna memperoleh jawaban atas pemahaman yang lebih jelas tentang
suatu persoalan. Model ini memperlihatkan adanya proses interaksi antara siswa
dalam pembelajaran, memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat secara
kelompok dalam menyelidiki, menemukan, dan memecahkan masalah.
2.1.1.2 Teori Belajar yang Mendasari Group Investigation
Teori belajar yang mendasari Group Investigation adalah teori
konstruktivisme yang digagas oleh Piaget dan Vygotsky. Teori ini menyarankan
penggunaan kelompok belajar yang anggotanya terdiri dari siswa dengan
10
kemampuan beragam agar nantinya dapat bertukar pikiran dan terjadi perubahan
konseptual.
Psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme dalam proses
belajar adalah Piaget. Budiningsih (2005:98) mengemukakan bahwa “Piaget
cenderung menganut teori psikogenesis, artinya pengetahuan berasal dari
individu”. Menurut pandangan ini, siswa berdiri terpisah dan berinteraksi dengan
lingkungan sehingga perkembangan kognitif anak sebagian besar bergantung
seberapa jauh anak memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungan.
Piaget berpenadapat bahwa adaptasi merupakan suatu keseimbangan antara
asimilasi dan akomodasi. Andaikan dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat
mengadakan adaptasi terhadap lingkungan, maka terjadilah ketidakseimbangan.
Pada keadaan seperti ini seseorang mengadakan akomodasi yaitu: membentuk
skema baru yang cocok dengan rangsangan baru, atau memodifikasi skema baru
yang cocok dengan pertumbuhan rangsangan itu. Perkembangan kognitif
merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan
seimbang. Tetapi bila terjadi kembali keseimbangan maka individu itu berada
pada tingkat kognitif yang lebih tinggi daripada sebelumnya.
Dalam penerapan model pembelajaran Group Investigation, siswa dituntut
aktif terlibat dalam mengerjakan tugas-tugas. Hal ini dimaksudkan agar sswa
dapat terlibat langsung dalam menemukan konsep-konsep baru bagi dirinya
dengan menerapkan keterampilan-keterampilan interpersonal. Sejalan dengan
teori “Piaget” menurut Budiningsih (2005:98) perkembangan kognitif akan terjadi
dalam interaksi antara siswa dengan kelompok sebayanya daripada dengan orang-
orang yang lebih dewasa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa interaksi antara
siswa dalam pembelajaran kooperatif akan membantu meningkatkan
perkembangan kognitif siswa.
Di samping teori Piaget, teori Vygotsky sekarang ini didasari sebagai salah
satu teori penting dalam psikologi perkembangan. Kemudian Vygotsky dalam
Isjoni (2009:39) mengemukakan “pembelajaran merupakan perkembangan suatu
pengertian”. Sumbangan terpenting dari teori Vygotsky adalah penekanan pada
hakekat sosiokultural dari pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif
11
manusia berasal dari interaksi sosial masing-masing individu. Vygotsky yakin
bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau menangani tugas-tugas itu
masih berada dalam Zone Of Proximal Development adalah tingkat
perkembangan sedikit di atas perkembangan seseorang saat ini.
Ide penting lain dari Vygotsky adalah Scaffolding, yakni memberikan
sejumlah bantuan kepada anak pada tahap awal belajar, kemudian mengurangi dan
memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawabnya
sendiri saat mereka mampu. Menurut Isjoni (2009:40) dalam teori Vygotsky
dijelaskan “ada hubungan langsung antara domain kognitif dengan sosial budaya”.
Kualitas berpikir siswa di bangun di dalam ruang kelas, sedangkan aktivitas
sosialnya di kembangkan dalam bentuk kerjasama anatara pelajar dengan pelajar
lainnya yang lebih mampu dengan bimbingan orang dewasa dalam hal ini guru.
Menurut Sutawidjaja (Abdussakir‟s Blog.htm 21 Februari 2010) bahwa
belajar kooperatif adalah salah satu alternatif yang perlu di galakkan dalam
kontruktivisme karena pertimbangan sebagai berikut:
a) Siswa yang sedang menyelesaikan masalah bersama-sama dengan teman
sekelompoknya dalam kegiatan belajar kelompok masing-masing melihat
bagaimana masalah itu dan merancang pemecahannya. Kegiatan ini merupakan
cara menumbuhkan refleksi yang membutuhkan kesadaran tentang apa yang
sedang dipikirkan dan dikerjakan. Dengan demikian menyediakan kesempatan
siswa untuk mengabstrasikan secara aktif.
b) Menjelaskan sesuatu kepada teman biasanya mengarah kepada siswa untuk
melihat sesuatu lebih jelas dan seringkali menemukan ketidak konsistenan pada
pikirannya sendiri.
c) Ketika suatu kelompok kecil menerangkan solusinya ke seluruh kelas (tidak
peduli apakah solusi layak atau tidak), kelompok itu memperoleh kesempatan
yang berharga untuk mempelajari hasil yang mereka buat.
d) Mengetahui bahwa ada teman sekelompoknya yang belum bisa menjawab,
akan meningkatkan kegairahan setiap anggota kelompok untuk mencoba
menemukan jawabannya.
12
e) Keberhasilan suatu kelompok menemukan suatu jawaban akan menumbuhkan
motivasi mereka untuk menghadapi masalah baru.
2.1.1.3 Kelebihan dan Kekurangan Group Investigation
Setiap teknik pembelajaran memiliki kelebihan maupun kekurangan,
begitu juga dengan pembelajaran yang digunakan pada penelitian ini. Group
Investigation memiliki kelebihan yakni mampu menciptakan cara belajar siswa
menjadi lebih aktif, menumbuhkan motivasi belajar mandiri dalam diri siswa,
dapat menumbuhkan minat dan kreativitas siswa, lebih memupuk cara berpikir
analitis, serta dapat meningkatkan kepedulian antar anggota dalam belajar.
Di samping memiliki beberapa kelebihan yang sudah disebutkan,
pembelajaran Group Investigation memiliki beberapa kekurangan yakni bahan
ajar banyak tetapi waktu yang disediakan sedikit dan siswa yang malas memiliki
kesempatan untuk tetap pasif dalam kelompoknya dan memungkinkan akan
mempengaruhi kelompoknya sehingga usaha kelompok tersebut gagal. Untuk
mencegah terjadinya kekurangan atau kelemahan tersebut terjadi maka dalam
penelitian ini materi ajar yang digunakan hanya 1 KD sehingga materi tidak
terlalu banyak karena dalam 1 KD diselesaikan untuk 2 siklus atau 6 kali
pertemuan dengan 4 kali pertemuan khusus untuk KBM. Untuk menyiasati
adanya siswa yang malas, guru mengawasi saat kegiatan investigasi kelompok
berlangsung dengan berkeliling ke setiap kelompok, sehingga siswa tidak
memiliki kesempatan untuk berpangku tangan dalam kerja kelompok.
2.1.1.4 Langkah-Langkah Pembelajaran Group Investigation
Di dalam investigasi kelompok, enam tahap yang dikemukakan oleh
Slavin dalam Fitriana (2010:-) yaitu : 1) Identifikasi topik dan mengatur siswa
kedalam kelompok, 2) merencanakan tugas belajar, 3) melaksanakan tugas
investigasi, 4) mempersiapkan laporan akhir, 5) menyajikan laporan akhir, dan
6) evaluasi.
Slavin dalam Fitriana (2010:-), mengemukakan tahapan-tahapan dalam
menerapkan pembelajaran Group Investigation adalah sebagai berikut:
13
Tahap Pengelompokan (grouping) yaitu tahap mengidentifikasi topik yang
akan diinvestigasi serta membentuk kelompok investigasi, dengan anggota tiap
kelompok 4 sampai 5 orang. Pada tahap ini: siswa mengamati sumber, memilih
topik, dan menentukan kategori-kategori topik permasalahan, siswa bergabung
pada kelompok-kelompok belajar berdasarkan topik yang mereka pilih atau
menarik untuk diselidiki, guru membatasi jumlah anggota masing-masing
kelompok antara 4 sampai 5 orang berdasarkan keterampilan dan keheterogenan.
Tahap Perencanaan (planning) atau tahap perencanaan tugas-tugas
pembelajaran. Pada tahap ini siswa bersama-sama merencanakan tentang apa yang
mereka pelajari, bagaimana mereka belajar, siapa dan melakukan apa dan apa
tujuan mereka menyelidiki topik tersebut.
Tahap Investigation, yaitu tahap pelaksanaan proyek investigasi siswa.
Pada tahap ini, siswa mengumpulkan informasi, menganalisis data dan membuat
simpulan terkait dengan permasalahan-permasalahan yang diselidiki, kemudian
masing-masing anggota kelompok memberikan masukan pada setiap kegiatan
kelompok sehingga antara siswa satu dengan yang lainnya dapat saling bertukar
pikiran, berdiskusi, mengklarifikasi dan mempersatukan ide dan pendapat.
Tahap Pengorganisasian (organizing) yaitu tahap persiapan laporan akhir.
Pada tahap ini anggota kelompok menentukan pesan-pesan penting dalam hasil
penelitiannya masing-masing, merencanakan apa yang akan mereka laporkan dan
bagaimana mempresentasikannya, wakil dari masing-masing kelompok
membentuk panitia diskusi kelas dalam presentasi investigasi. Siswa menemukan
hubungan dari yang ditemukan dalam investigasi dengan konsep yang sudah ada,
mereka belajar membagi tugas dalam kelompok baik sebagai pemimpin,
moderator, notulis dalam presentasi investigasi.
Tahap Presentasi (presenting) yaitu tahap penyajian laporan akhir.
Kegiatan pembelajaran di kelas pada tahap ini adalah setiap kelompok menyajikan
hasil penyelidikan ke dalam berbagai variasi bentuk penyajian, kelompok yang
tidak sebagai penyaji terlibat secara aktif sebagai pendengar, mengevaluasi,
mengklarifikasi dan mengajukan pertanyaan atau tanggapan terhadap topik yang
disajikan. Misalnya: siswa yang bertugas untuk mewakili kelompok menyajikan
14
hasil atau simpulan dari investigasi yang telah dilaksanakan, siswa yang tidak
sebagai penyaji, mengajukan pertanyaan, saran tentang topik yang disajikan,
siswa mencatat topik yang disajikan oleh penyaji.
Tahap evaluasi (evaluating) yaitu tahap penilaian proses kerja dan hasil
proyek siswa. Pada tahap ini, siswa menggabungkan masukan-masukan tentang
topiknya, pekerjaan yang telah mereka lakukan, dan tentang pengalaman-
pengalaman efektifnya, guru dan siswa mengkolaborasi, mengevaluasi tentang
pembelajaran yang telah dilaksanakan, dalam hal ini penilaian hasil belajar
haruslah mengevaluasi tingkat pemahaman siswa. Misalnya: siswa merangkum
dan mencatat setiap topik yang disajikan, menggabungkan tiap topik yang
diinvestigasi dalam kelompoknya dan kelompok yang lain, guru mengevaluasi
dengan memberikan tes uraian pada akhir siklus.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka langkah-langkah
pembelajaran Group Investigation yang akan digunakan dalam penelitian ini
mengacu pada pendapat Slavin dalam Fitriana (2010:-), yaitu tahap
pengelompokkan dengan membagi jumlah siswa dalam satu kelas menjasi 4
kelompok masing-masing kelompok terdiri dari 4-5 orang, dan guru membagi
topik permasalahan kepada setiap kelompok. Tahap perencanaan dimana siswa
siswa bersama-sama merencanakan tentang apa yang mereka pelajari, bagaimana
mereka belajar, siapa dan melakukan apa dan apa tujuan mereka menyelidiki topik
tersebut. Tahap penyelidikan dimana siswa mengumpulkan informasi,
menganalisis data dan membuat simpulan terkait dengan permasalahan-
permasalahan yang diselidiki, kemudian masing-masing anggota kelompok
memberikan masukan pada setiap kegiatan kelompok. Tahap pengorganisasian
dimana anggota kelompok menentukan pesan-pesan penting dalam hasil
penelitiannya masing-masing, merencanakan apa yang akan mereka laporkan dan
bagaimana mempresentasikannya, wakil dari masing-masing kelompok
membentuk panitia diskusi kelas dalam presentasi investigasi. Tahap presentasi
yakni setiap kelompok menyajikan hasil penyelidikan ke dalam berbagai variasi
bentuk penyajian, kelompok yang tidak sebagai penyaji terlibat secara aktif
sebagai pendengar, mengevaluasi, mengklarifikasi dan mengajukan pertanyaan
15
atau tanggapan terhadap topik yang disajikan. Tahap evaluasi yakni siswa
menggabungkan masukan-masukan tentang topiknya, pekerjaan yang telah
mereka lakukan, dan tentang pengalaman-pengalaman efektifnya, guru dan siswa
mengkolaborasi, mengevaluasi tentang pembelajaran yang telah dilaksanakan,
dalam hal ini penilaian hasil belajar haruslah mengevaluasi tingkat pemahaman
siswa.
Inti dari pembelajaran Group Investigation adalah siswa membentuk
kelompok belajar, kemudian diberi permasalahan dan media pembelajaran untuk
kemudian diselidiki. Siswa membagi tugas kerja dalam kelompok dan menyusun
laporan akhir. Kemudian siswa mempresentasikan hasil investigasi kelompok
mereka, kelompok lain menanggapi dan kemudian dievaluasi bersama antara guru
dengan siswa. Diharapkan dengan adanya kegiatan investigasi kelompok ini dapat
menambah keaktifan belajar siswa dan hasil belajar siswa meningkat.
2.1.2 Keaktifan Belajar Matematika Siswa
Salah satu variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah keaktifan
belajar Matematika siswa. Untuk mengetahui lebih jelas apakah keaktifan belajar
Matematika itu penjelasannya adalah sebagai berikut:
2.1.2.1 Pengertian Keaktifan Belajar
Menurut Whipple dalam Hamalik (2001:93) keaktifan belajar adalah suatu
proses belajar mengajar yang menekankan keaktifan belajar siswa secara fisik,
mental, intelektual dan emosional guna memperoleh hasil belajar berupa
perpaduan antara aspek kognitif, afektif dan psikomotor selama siswa berada di
dalam kelas. Sedangkan menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:115) keaktifan
belajar matematika siswa merupakan proses pembelajaran yang mengarah kepada
pengoptimalisasian yang melibatkan intelektual-emosional siswa dalam proses
pembelajaran dengan melibatkan fisik siswa. Sriyono (1992:75) menambahkan
bahwa keaktifan belajar matematika siswa di sini adalah usaha yang dilakukan
oleh guru pada waktu mengajar, sehingga siswa dapat terlibat aktif baik jasmani
maupun rohani dalam mengikuti pelajaran.
16
Sagala (2006:124-134) menjelaskan bahwa keaktifan jasmani maupun
rohani itu meliputi keaktifan indera (pendengaran, penglihatan, dan peraba),
keaktifan akal dimana akal anak-anak harus aktif atau diaktifkan untuk
memecahkan masalah, menimbang-nimbang, menyusun pendapat dan mengambil
keputusan, keaktifan ingatan yaitu pada waktu mengajar, anak harus aktif
menerima bahan pengajaran yang disampaikan guru dan menyimpannya dalam
otak, kemudian pada suatu saat ia siap mengutarakan kembali, keaktifan emosi
dimana dalam hal ini siswa hendaklah senantiasa berusaha mencintai
pelajarannya.
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:63) untuk dapat menimbulkan
keaktifan belajar siswa, maka guru diantaranya dapat melaksanakan perilaku-
perilaku seperti menggunakan model pembelajaran yang dapat menimbulkan
keaktifan siswa, memberikan tugas individu dan kelompok, memberikan
kesempatan pada siswa melaksanakan eksperimen dalam kelompok kecil,
mementingkan eksperimen langsung oleh siswa dibandingkan dengan
demonstrasi, mengadakan tanya jawab dan diskusi, melibatkan siswa dalam
merangkum atau menyimpulkan informasi pesan pembelajaran. Hal ini berarti
bahwa kesempatan yang diberikan oleh guru akan menuntut siswa selalu aktif
mencari, memperoleh, dan mengolah perolehan belajarnya.
Berdasarkan pengertian keaktifan belajar di atas, maka dalam penelitian ini
pengertian keaktifan belajar matematika siswa sejalan dengan pendapatnya
Dimyati dan Mudjiono (2006:115) bahwa keaktifan belajar matematika siswa
adalah proses pembelajaran yang mengarah kepada pengoptimalisasian yang
melibatkan intelektual-emosional siswa dalam proses pembelajaran dengan
melibatkan fisik siswa.
2.1.2.2 Indikator Keaktifan Belajar Matematika Siswa
Adapun indikator keaktifan belajar Matematika siswa menurut Dimyati
dan Mudjiono (2006:122-125) adalah sebagai berikut:
17
a) Perhatian dan antusias siswa dalam mengikuti pelajaran yang memberikan
pengalaman belajar kepada siswa untuk memperoleh dan menemukan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dibutuhkan.
b) Kebebasan atau keleluasaan melakukan sesuatu hal tanpa tekanan dari guru
atau pihak lainnya (kemandirian belajar).
c) Kegiatan yang melibatkan siswa untuk belajar langsung dari media/alat
peraga yang diciptakan.
d) Kesediaan siswa dalam merespon dan menanggapi siswa dalam proses
pembelajaran.
e) Kesediaan siswa untuk mengerjakan tugas-tugas kelompok belajar yang ada
dalam proses pembelajaran.
f) Kesiapan dan kesediaan siswa dalam mempresentasikan hasil kerja
kelompoknya.
2.1.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keaktifan Belajar Matematika
Siswa
Keaktifan belajar Matematika siswa dianggap begitu penting dalam
kegiatan pembelajaran, dan keaktifan belajar Matematika siswa tersebut muncul
karena dipengaruhi beberapa faktor. Berikut adalah beberapa faktor keaktifan
belajar Matematika siswa menurut Sudjana (1989:27-29) yaitu :
a) Stimulus belajar
Peran yang diterima siswa dari guru biasanya dalam bentuk stimulus.
Stimulus tersebut dapat berbentuk verbal atau bahasa, visual, auditif atau
suara.
b) Perhatian dan motivasi
Perhatian dan motivasi merupakan prasarat utama dalam proses belajar
mengajar. Tanpa adanya perhatian dan motivasi, hasil belajar yang dicapai
tidak akan maksimal.
18
c) Respon yang dipelajari
Belajar adalah proses yang aktif, sehingga apabila tidak dilibatkan dalam
berbagai kegiatan belajar sebagai respon terhadap stimulus yang diterima,
tidak mungkin dapat mencapai hasil belajar yang dikehendaki.
d) Penguatan
Setiap tingkah laku yang diikuti oleh kepuasan terhadap kebutuhan, maka
akan mempunyai kecenderungan untuk diulang kembali.
e) Pemakaian dan pemindahan
Pikiran manusia mempunyai kesanggupan menyimpan informasi yang
tidak terbatas jumlahnya. Dalam hal ini penyimpanan informasi yang tak
terbatas ini penting sekali pengaturan dan penempatan informasi, sehingga
dapat digunakan kembali apabila diperlukan.
2.1.3 Hasil Belajar
Salah satu fokus dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil
belajar Matematika Siswa. Untuk lebih memahami apakah hasil belajar
Matematika yang dimaksud, penjelasannya adalah sebagai berikut:
2.1.3.1 Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar sering kali digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui
seberapa jauh seseorang menguasai bahan yang sudah diajarkan. Hasil belajar
dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang membentuknya, yaitu “hasil”
dan “belajar”. Menurut Purwanto (2011:44) pengertian hasil menunjuk pada suatu
perolehan akibat dilakukannya suatu aktivitas atau proses yang mengakibatkan
berubahnya input secara fungsional, sedangkan belajar dilakukannya untuk
mengusahakan adanya perubahan perilaku pada individu yang belajar. Menurut
Winkel (1991:42). Hasil belajar adalah bukti keberhasilan yang telah dicapai
siswa dimana setiap kegiatan belajar dapat menimbulkan suatu perubahan yang
khas, dalam hal ini hasil belajar meliputi keaktifan, keterampilan proses, motivasi,
dan prestasi belajar
Dimyati dan Mudjiono (2006:117) menjelaskan bahwa hasil belajar
merupakan hasil yang dicapai dalam bentuk angka atau skor setelah diberikan tes
19
hasil belajar kepada siswa dalam waktu tertentu. Arikunto (1990:133)
mengemukakan bahwa hasil belajar merupakan hasil akhir setelah mengalami
proses belajar, perubahan itu tampak dalam perbuatan yang dapat diamati dan
dapat diukur. Proses belajar mengajar selalu menghasilkan hasil belajar yang
dicapai. Dapat diambil gambaran tentang keberhasilan belajar dalam bentuk
penentuan raport. Mustamin (2010:37) menambahan dalam proses belajar
mengajar, siswa mengalami pengalaman belajar, kemampuan-kemampuan yang
dimiliki oleh siswa setelah menerima pengalaman belajar tersebut merupakan
hasil belajar
Berdasarkan pengertian hasil belajar di atas, maka dalam penelitian ini
pengertian hasil belajar sejalan dengan pendapatnya Dimyati dan Mudjiono
(2006:122) bahwa hasil belajar adalah hasil yang dicapai dalam bentuk angka atau
skor setelah diberikan tes hasil belajar kepada siswa dalam waktu tertentu.
Adapun hasil belajar matematika yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah nilai atau skor yang diperoleh siswa setelah dilakukan tes pada materi yang
telah dipelajarinya.
2.1.3.2 Ranah Hasil Belajar
Menurut teori Taksonomi Bloom dalam Abdurrahman (2003:33) hasil
belajar terdapat tiga ranah antara lain kognitif, afektif, dan psikomotor yaitu dapat
dijabarkan sebagai berikut :
a) Ranah kognitif
Berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek yaitu
pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan penilaian.
b) Ranah afektif
Berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif memiliki lima jenjang
kemampuan yaitu menerima, menjawab atau reaksi, menilai, organisasi, dan
karakterisasi dengan suatu nilai.
c) Ranah psikomotor
Meliputi keterampilan motorik, manipulasi benda-benda, koordinasi
neuromuscular (menghubungkan, mengamati).
20
Ketiga ranah tersebut, maka yang akan diukur dalam penelitian ini
mengarah pada ranah kognitif dan ranah afektif, karena pada ranah kognitif untuk
melihat hasil belajar siswa dilakukan suatu penilaian terhadap siswa dan tes
digunakan untuk mengetahui hasil pemahaman siswa, sedangkan pada ranah
afektif guna melihat keaktifan belajar siswa.
2.1.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi proses hasil belajar
Matematika yang dibedakan atas dua kategori, yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu dan
dapat mempengaruhi hasil belajar individu. Faktor-faktor internal ini meliputi
faktor fisiologis dan faktor psikologis. Faktor fisiologis adalah faktor-faktor yang
berhubungan dengan kondisi fisik individu, sedangkan faktor psikologis adalah
keadaan psikologis seseorang yang dapat mempengaruhi proses belajar.
Faktor-faktor eksternal juga dapat mempengaruhi proses belajar siswa,
dalam hal ini, menjelaskan bahwa faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi
belajar dapat digolongkan menjadi dua, yaitu faktor lingkungan sosial dan faktor
lingkungan non sosial. Faktor lingkungan sosial meliputi lingkungan sosial
sekolah, lingkungan sosial masyarakat, dan lingkungan sosial keluarga, sedangkan
lingkungan non sosial meliputi lingkungan alamiah seperti udara yang segar, tidak
panas dan tidak dingin, sinar yang tidak terlalu silau, suasana yang sejuk dan
tenang. Lingkungan alamiah tersebut merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
aktivitas belajar siswa. Sebaliknya, bila kondisi lingkungan alam tidak
mendukung, proses belajar siswa akan terhambat.
Adapun pendapat lain mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi proses
hasil belajar siswa dibedakan atas dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal, kedua faktor tersebut saling mempengaruhi dalam proses individu
sehingga menentukan kualitas hasil belajar siswa. Menurut Slameto (2003:54),
faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar dapat dibedakan menjadi 2
golongan yaitu faktor yang ada pada diri siswa itu sendiri yang disebut faktor
internal, yang meliputi: a). faktor biologis, meliputi : kesehatan, gizi, pendengaran
dan penglihatan. Jika salah satu dari faktor biologis terganggu akan
21
mempengaruhi hasil belajar siswa, b). faktor psikologis, meliputi : intelegensi,
minat dan motivasi serta perhatian ingatan berfikir, dan c). faktor kelelahan,
meliputi: kelelahan jasmani dan rohani. Kelelahan jasmani nampak dengan
adanya kelesuan dan kebosanan sehingga minat dan dorongan untuk
menghasilkan sesuatu akan hilang.
Faktor yang ada pada luar individu yang disebut dengan faktor eksternal,
yang meliputi: a). faktor keluarga, keluarga adalah lembaga pendidikan yang
pertama dan terutama. Merupakan lembaga pendidikan dalam ukuran kecil tetapi
bersifat menentukan untuk pendidikan dalam ukuran besar. b). faktor masyarakat,
meliputi: bentuk kehidupan masyarakat sekitar dapat mempengaruhi prestasi
belajar siswa. Jika lingkungan siswa adalah lingkungan terpelajar maka siswa
akan terpengaruh dan mendorong untuk lebih giat belajar ,dan c) faktor sekolah,
meliputi: metode mengajar, kurikulum, hubungan guru dengan siswa, siswa
dengan siswa dan berdisiplin di sekolah.
Berdasarkan faktor-faktor hasil belajar tersebut, dapat dilihat pada faktor
eksternal bahwa salah satu yang mempengaruhi hasil belajar secara eksternal
adalah metode mengajar. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan perbaikan
yaitu dengan memperbaharui metode mengajar yang dilakukan oleh guru guna
meningkatkan hasil belajar siswa.
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian terdahulu yang
menggunakan model pembelajaran Group Investigation dalam kegiatan
pembelajaran, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Iswandi (2010) dengan
judul “Penerapan model Pembelajaran Group Investigation untuk Meningkatkan
Hasil Belajar IPA Tentang Tumbuhan Hijau Kelas V SD N Temenggungan 02
Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar”. Dari hasil penelitian yang telah
dilaksanakan Iswandi menyatakan bahwa pada penerapan model pembelajaran
Group Investigation telah memperoleh peningkatan hasil yang cukup signifikan
yaitu dari kondisi awal sebelum kegiatan penelitian dilaksanakan. Hasil belajar
siswa dilihat dari nilai yang diperoleh pada post test siklus I sampai siklus II
22
terjadi kenaikan, hal ini dapat dilhat bahwa hampir 78% nilai siswa telah
memenuhi standart kelulusan yang ditentukan yaitu 75.
Penelitian Sugiyanto (2011) yang berjudul “Peningkatan Hasil Belajar
Matematika Menggunakan Model Pembelajaran Group Investigation pada Siswa
kelas V SD Negeri 3 Rejosari Kecamatan Grobogan Kabupaten Grobogan
Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012”. Hasil belajar pada siklus I diperoleh dari
tes yang dilaksanakan pada akhir pertemuan siklus I dengan ketuntasan klasikal
71% atau 38 siswa yang tuntas, meningkat pada siklus 2 yaitu ketuntasan klasikal
belajar siswa mencapai 92% atau 35 siswa tuntas dari 38 siswa.
Penelitian Untari (2011) dengan judul “Peningkatan Hasil Belajar Ilmu
Pengetahuan Alam Pokok Bahasan Energi Melalui Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Group Investigation pada Siswa Kelas IV SD Negeri
Madyogondo 03 Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang Semester II Tahun
Ajaran 2011/2012”. Pada penelitian ini, hasil siklus I terjadi peningkatan yang
cukup signifikan yaitu terdapat 26 siswa (72,22%) memenuhi KKM dan 10 siswa
(27,78%) belum memenuhi KKM yang ditetapkan. Kemudian pada siklus II
terjadi peningkatan sangat signifikan yaitu 34 siswa (94,44%) yang sudah
memenuhi KKM dan hanya ada 2 siswa (5,56%) yang belum memenuhi KKM.
Ini berarti bahwa penelitian telah berhasil, dibuktikan dengan indikator
pencapaian yang diharapkan oleh peneliti yaitu sebanyak 80% siswa telah
mencapai nilai ≥ 60. Disimpulkan bahwa dengan diterapkannya model
pembelajaran kooperatif tipe group investigation dapat meningkatkan hasil belajar
IPA pokok bahasan energi pada siswa kelas IV SD Negeri Madyogondo 03
Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang Semester II Tahun Ajaran 2011/2012.
Berdasarkan beberapa penelitian tersebut menjelaskan bahwa dengan
menggunakan pembelajaran Group Investigation dapat meningkatkan peran aktif
siswa dan meningkatkan hasil belajar siswa yaitu keaktifan siswa dapat dilihat
dari setiap siklus yang semakin meningkat. Siswa sebagai subjek pembelajaran
harus dapat terlibat langsung secara aktif dalam kegiatan pembelajaran. Pada
penelitian ini menekankan pada pembelajaran matematika dengan menggunakan
23
model pembelajaran Group Investigation sebagai upaya peningkatan keaktifan
dan hasil belajar matematika siswa.
Adapun persamaan dan perbedaan penelitian yang akan dilakukan oleh
penulis dengan penelitian-penelitian yang telas dilakukan terdahulu adalah
sebagai berikut:
Tabel 3
Persamaan dan Perbedaan Penelitian yang Relevan
No Peneliti Tahun Subjek
Penelitian
Mata
Pelajaran
Variabel Penelitian
Group
Investigation
Keaktifan
Belajar
Siswa
Hasil
Belajar
1 Iswandi 2010 Kelas V IPA - 2 Sugiyanto 2011 Kelas V Matematika - 3 Untari 2011 Kelas IV IPA - 4 Peneliti 2013 Kelas 5 Matematika
Dari Tabel 3 dapat dilihat persamaan penelitian ini dengan penelitian lain
sama-sama menggunakan Group Investigation sedangkan perbedaannya terletak
pada variabel (Y) atau variabel terikatnya adalah keaktifan dan hasil belajar siswa
sedangkan pada penelitian lain hanya sebatas untuk meneliti hasil belajar siswa.
2.3 Kerangka Pikir
Suatu pembelajaran dikatakan baik apabila proses pembelajaran dapat
menumbuhkan keaktifan belajar matematika siswa. Siswa dapat melakukan
kegiatan untuk memahami konsep-konsep materi pembelajaran secara mandiri,
baik itu secara individu maupun berkelompok. Tingkat keberhasilan pembelajaran
guru dapat diukur dengan melihat hasil belajar siswa dan juga tingkat keaktifan
belajar siswa pada saat proses pembelajaran berlangsung.
Kondisi awal di SD N Jebeng Plampitan pada saat peneliti melakukan
observasi, guru masih menggunakan model pembelajaran konvensional, keaktifan
dan hasil belajar Matematika siswa kelas 5 masih rendah. Kemudian peneliti
berupaya untuk meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa dengan
menggunakan pembelajaran Group Investigation, dimana model ini mampu
menciptakan cara belajar siswa untuk menjadi lebih aktif. Group Investigation
24
juga dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa untuk belajar mandiri dalam
menjalankan tugas-tugasnya dalam kelompok. Siswa dapat terasah
kemampuannya dalam berpikir analisis dan belajar untuk bekerja sama dengan
teman satu anggotanya. Dengan adanya kelebihan-kelebihan tersebut siswa dapat
memecahkan kesulitan belajar matematika yang dihadapinya sehingga keaktifan
dan hasil belajar matematika siswa dapat meningkat.
2.4 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan landasan teori dan kerangka pikir di atas, maka dapat
dirumuskan hipotesis penelitian tindakan kelas sebagai berikut: “Melalui
penerapan Group Investigation diduga dapat meningkatkan keaktifan dan hasil
belajar matematika pada pokok bahasan memahami sifat-sifat bangun ruang pada
siswa kelas 5 SD Negeri Jebeng Plampitan Kecamatan Sukoharjo semester 2
tahun pelajaran 2012-2013”