Post on 13-Apr-2019
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab II ini berisi kajian teori tentang variabel-variabel yang terdapat dalan
rumusan masalah yang ditetapkan peneliti, antara lain: pembelajaran matematika di
SD, melalui metode problem based introduction.
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Matematika dan Pembelajarannya di SD
2.1.1.1 Pengertian Matematika
Istilah “matematika” berasal dari kata Yunani “mathein” atau “manthenein”
yang artinya “mempelajari”. Mungkin juga kata itu erat hubungannya dengan kata
Sansekerta “medha” atau “widya” yang artinya ialah “kepandaian”, “ketahuan”, atau
“inteligensi” (Andi Hakim Nasution, 1978: 12). Di bagian lain beliau berpendapat
istilah “matematika” lebih tepat digunakan daripada “ilmu pasti” karena memang
benarlah, bahwa dengan menguasai matematika orang akan belajar mengatur jalan
pikirannya dan sekaligus belajar menambah kepandaiannya (Andi Hakim Nasution,
1987: 12). Dengan demikian pembelajaran matematika adalah cara berpikir dan
bernalar yang digunakan untuk memecahkan berbagai jenis persoalan dalam
keseharian, sains, pemerintah, dan industri. Lambang dan bahasa dalam matematika
bersifat universal sehingga dipahami oleh bangsa–bangsa di dunia.
Johnson dan Rising dalam Russefendi (1972) dalam Erna Suwaningsih (2006:
4) matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logis,
matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan
cermat, jelas, dan akurat representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa
bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi. Matematika adalah
pengetahuan struktur yang terorganisasi, sifat-sifat dalam teori-teori dibuat secara
deduktif berdasarkan kepada unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori
10
yang telah dibuktikan kebenarannya adalah ilmu tentang keteraturan pola atau ide,
dan matematika itu adalah suatu seni, keindahannya terdapat pada keterurutan dan
keharmonisannya.
Dari berbagai pendapat mengenai matematika, dapat disimpulkan bahwa
matematika adalah ilmu yang mempelajari tentang bilangan, bentuk-bentuk
(geometri) yang dapat diekspresikan dan dioperasikan melalui simbol-simbolnya
dimana memerlukan kacakapan berpikir khususnya dalam berlogika atau mengamati
pola dan berpikir rasional.
2.1.1.2 Pembelajaran Matematika
Matematika di sekolah mendorong siswa berpikir secara logis, menganalis
data, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah yang timbul dalam situasi dan
kehidupan nyata serta menggunakan konsep-konsep matematika dengan cara yang
penuh makna, Muschla, J. A. dan Muschla, G.R. (2009:3). Senada dengan pendapat
Muschla, J. A. dan Muschla, G.R., Daryanto (2013:411) juga mengungkapkan bahwa
pembelajaran matematika perlu diberikan sejak sekolah dasar agar siswa mampu
berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif serta kemampuan bekerja sama.
Menanamkan daya nalar dan membiasakan anak berfikir logis adalah tujuan pokok
dari pembelajaran matematika di sekolah. Matematika bukan merupakan ilmu
empiris. Matematika merupakan ilmu hitung dan ilmu ukur. Metode matematika tidak
memusat pada realitas nyata melainkan daya abstraksi atau yang diciptakan bebas
oleh nalar manusia, Drost (2008: 91).
2.1.1.3 Pembelajaran Matematika di SD
Pembelajaran suatu pelajaran akan bermakna bagi siswa apabila guru
mengetahui tentang objek yang akan diajarkannya sehingga dapat mengajarkan
materi tersebut dengan penuh dinamika dan inovasi dalam proses pembelajarannya.
Demikian halnya dengan pembelajaran matematika di sekolah dasar. Pada saat ini
11
masih ada guru yang memberikan konsep-konsep matematika sesuai jalan pikirnya,
tanpa memperhatikan bahwa jalan pikiran siswa berbeda dengan jalan pikiran orang
dewasa dalam memahami konsep-konsep matematika yang abstrak sesuai dengan
definisi matematika yang sudah dikemukakan oleh beberapa ahli. Sesuatu yang
terkadang dianggap mudah oleh orang dewasa terkadang dapat dianggap sulit oleh
seorang anak. Anak usia SD adalah anak yang berada pada usia sekitar 7 sampai 12
tahun. Menurut Piaget anak usia sekitar ini masih berpikir pada tahap operasional
konkret artinya siswa SD belum berpikir formal (Erna Suwangsih, 2006: 15).
2.1.1.4 Peran Matematika di SD
Pemahaman terhadap peranan pengajaran matematika di sekolah dasar
sangat membantu para guru untuk memberikan pembelajaran matematika secara
proporsional sesuai dengan tujuannya. Sebagaimana tercantum dalam dokumen
BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006: 2) mata pelajaran matematika
perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk
membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis,
dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar
peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan
memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah,
tidak pasti, dan kompetitif.
Standar kompetensi dan kompetensi dasar matematika dalam dokumen ini
disusun sebagai landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan tersebut
di atas. Selain itu dimaksudkan pula untuk mengembangkan kemampuan
menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan ide
atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain.
Metode pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran
matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka
dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Untuk
12
meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan
memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan
menafsirkan solusinya.
Peran matematika dalam (Permendikbud, 2013: 231) Kecakapan atau
kemahiran matematika merupakan bagian dari kecakapan hidup yang harus
dimiliki siswa terutama dalam pengembangan penalaran, komunikasi, dan
pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan siswa sehari-hari.
Matematika selalu digunakan dalam segala segi kehidupan, semua bidang studi
memerlukan ketrampilan matematika yang sesuai, merupakan sarana komunikasi
yang kuat, singkat dan jelas, dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam
berbagai cara, meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian dan kesadaran
keruangan, memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang
menantang, mengembangkan kreaktivitas dan sebagai sarana untuk meningkatkan
kesadaran terhadap perkembangan budaya.
2.1.2 Problem Based Introduction
2.1.2.1 Pengertian Problem Based Introduction
Dewey (Trianto, 2007) PBI (Problem Based Introduction) adalah interaksi
antara stimulus dengan respon, atau dapat pula didefinisikan sebagai sebuah interaksi
antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan membantu siswa menyediakan
masalah-masalah tertentu, sedangkan sistem syaraf otak membantu menafsirkan
bantuan sehingga masalah yang tersedia di lingkungan dapat terpecahkan dengan
baik.
Arends (Trianto, 2007) PBI (Problem Based Introduction) merupakan
pembelajaran di mana siswa mengerjakan masalah secara otentik supaya mereka
dapat menyusun pengetahuan mereka sendiri, keterampilan berpikir tingkat tinggi
serta mengembangkan kemandirian dan sifat percaya diri.
13
2.1.2.2 Landasan Teoretik Metode Problem Based Introduction
Temuan-temuan dari psikologi kognitif menyediakan landasan teoretis untuk
meningkatkan pengajaran secara umum dan khsususnya problem based introduction.
Premis dasar dalam psikologi kognitif adalah belajar merupakan proses konstruksi
pengetahuan baru yang berdasarkan pada pengetahuan terkini. Mengikuti Glaser
(1991) secara umum diasumsikan bahwa belajar adalah proses yang konstruktif dan
bukan penerimaan. Proses-proses kognitif yang disebut metakognisi mempengaruhi
penggunaan pengetahuan, dan faktor-faktor sosial dan kontektual mempengaruhi
pembelajaran.
2.1.2.3 Tujuan Metode Problem Based Introduction
Departemen Pendidikan Nasional (2003),pembelajaran ini membuat siswa
menjadi pembelajar yang mandiri, artinya ketika siswa belajar, maka siswa dapat
memilih strategi belajar yang sesuai, terampil menggunakan strategi tersebut untuk
belajar dan mampu mengontrol proses belajarnya, serta termotivasi untuk
menyelesaikan belajarnya itu. Dari pengertian ini, dikatakan bahwa tujuan utama
pembelajaran berbasis masalah adalah untuk menggali daya kreativitas siswa dalam
berpikir dan memotivasi siswa untuk terus belajar.
Muslimin Ibrahim (2000:7) Pembelajaran ini tidak dirancang untuk membantu
guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa, akan tetapi
pembelajaran problem based introduction dikembangkan untuk membantu siswa
mengembangkan kemampuan berfikir, pemecahan masalah, dan ketrampilan
intelektual, belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam
pengalaman nyata atau simulasi dan menjadi pembelajar yang mandiri.
Dari pengertian ini kita dapat mngetahui bahwa pembelajaran berbasis
masalah ini difokuskan untuk perkembangan belajar siswa, bukan untuk membantu
guru mengumpulkan informasi yang nantinya akan diberikan kepada siswa saat
proses pembelajaran.
14
Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran
menggunakan metode problem based Introduction bertujuan untuk:
1. membantu siswa mengembangkan ketrampilan berfikir dan ketrampilan
pemecahan masalah,
2. belajar peranan orang dewasa yang otentik,
3. menjadi siswa yang mandiri,
4. untuk bergerak pada level pemahaman yang lebih umum, membuat kemungkinan
transfers pengetahuan baru,
5. mengembangkan pemikiran kritis dan keterampilan kreatif
6. meningkatkan kemampuan memecahkan masalah
7. meningkatkan motivasi belajar siswa
8. membantu siswa belajar untuk mentransfer pengetahuan dengan situasi baru
2.1.2.4 Prinsip-Prinsip Metode Problem Based Introduction
Berdasar pada pandangan psikologi kognitif terdapat tiga prinsip pembelajaran yang
berkaitan dengan problem based introduction.
1. Belajar adalah proses konstruktif dan bukan penerimaan. Pembelajaran tradisional
didominasi oleh pandangan bahwa belajar adalah penuangan pengetahuan ke
kepala pebelajar. Kepala pebelajar dipandang sebagai kotak kosong yang siap diisi
melalui repetisi dan penerimaan. Pengajaran lebih diarahkan untuk penyimpanan
informasi oleh pebelajar pada memorinya seperti menyimpan buku-buku di
perpustakaan. Pemanggilan kembali informasi bergantung pada kualitas nomer
panggil(call number) yang digunakan dalam mengklasifikasikan informasi.
Namun, psikologi kognitif modern menyatakan bahwa memori merupakan struktur
asosiatif. Pengetahuan disusun dalam jaringan antar konsep, mengacu pada jalinan
semantik. Ketika belajar terjadi informasi baru digandengkan pada jaringan
informasi yang telah ada. Jalinan semantik tidak hanya menyangkut bagaimana
menyimpan informasi, tetapi juga bagaimana informasi itu diinterpretasikan dan
dipanggil.
15
2. Knowing about knowing (metakognisi) mempengaruhi pembelajaran.Prinsip
kedua yang sangat penting adalah belajar adalah proses cepat, bila pebelajar
mengajukan keterampilan-keterampilan self monitoring, secara umum mengacu
pada metakognisi (Bruer, 1993 dalam Gijselaers, 1996). Metakognisi dipandang
sebagai elemen esensial keterampilan belajar seperti setting tujuan (what am I
going to do), strategi seleksi (how am I doing it?), dan evaluasi tujuan (did it
work?). Keberhasilan pemecahan masalah tidak hanya bergantung pada pemilikan
pengetahuan konten (body of knowledge), tetapi juga penggunaan metode
pemecahan masalah untuk mencapai tujuan. Secara khusus keterampilan
metokognitif meliputi kemampuan memonitor prilaku belajar diri sendiri, yakni
menyadari bagaimana suatu masalah dianalisis dan apakah hasil pemecahan
masalah masuk akal?
3. Faktor-faktor kontekstual dan sosial mempengaruhi pembelajaran. Prinsip ketiga
ini adalah tentang penggunaan pengetahuan. Mengarahkan pebelajar untuk
memiliki pengetahuan dan untuk mampu menerapkan proses pemecahan masalah
merupakan tujuan yang sangat ambisius. Pembelajaran biasanya dimulai dengan
penyampaian pengetahuan oleh pembelajar kepada pebelajar, kemudian disertai
dengan pemberian tugas-tugas berupa masalah untuk meningkatkan penggunaan
pengetahuan. Namun studi-studi menunjukkan bahwa pebelajar mengalami
kesulitan serius dalam menggunakan pengetahuan ilmiah (Bruning et al, 1995).
Studi juga menunjukkan bahwa pendidikantradisional tidak memfasilitasi
peningkatan peman masalah-maslah fisika walaupun secara formal diajarkan teori
fisika ( misalnya, Clement, 1990).
Bridges (1992) dan Charlin (1998) Dalam melaksanakan proses pembelajaran
problem based introduction ini, Bridges dan Charlin telah menggariskan beberapa
ciri-ciri utama seperti berikut.
1. Pembelajaran berpusat dengan masalah.
16
2. Masalah yang digunakan merupakan masalah dunia sebenarnya yang mungkin
akan dihadapi oleh siswa dalam kerja profesional mereka di masa depan.
3. Pengetahuan yang diharapkan dicapai oleh siswa saat proses pembelajaran disusun
berdasarkan masalah.
4. Para siswa bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran mereka sendiri.
5. Siswa aktif dengan proses bersama.
6. Pengetahuan menyokong pengetahuan yang baru.
7. Pengetahuan diperoleh dalam konteks yang bermakna.
8. Siswa berpeluang untuk meningkatkan serta mengorganisasikan pengetahuan.
9. Kebanyakan pembelajaran dilaksanakan dalam kelompok kecil.
2.1.2.5 Langkah-langkah Problem Based Introduction
Langkah – langkah dalam metode Problem Based Introduction antara lain :
. a. Guru menjelaskan kompetensi yang ingin dicapai dan menyebutkan sarana atau
alat pendukung yang dibutuhkan. Memotivasi siswa untuk terlibat dalam aktivitas
pemecahan masalah yang dipilih.
b. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dll.)
c. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperimen
untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data,
hipotesis, pemecahan masalah.
d. Guru membantu siswa dalam merencanakan menyiapkan karya yang sesuai seperti
laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.
e. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap
eksperimen mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
Berikut ini adalah metode problem based introduction berdasarkan
permendiknas nomor 41 tahun 2007:
17
Tabel 1
Pemetaan Metode Problem Based Introduction berdasarkan
Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses
Metode Sintak Kegiatan Pembelajaran
Pendahu
luan
Eklsplo
rasi
Elabor
asi
Konfir
masi
problem
based
introduction
1. Memaparkan topik yang akan
dikaji, tujuan belajar, motivasi,
dan memberikan penjelasan
ringkas.
2. Kelompok merumuskan
hipotesis dan merancang
percobaan atau mempelajari
tahapan percobaan yang
dipaparkan oleh guru, LKS, atau
buku. Guru memimbing dalam
perumusan hipotesis dan
merencanakan percobaan.
3. Guru memfasilitasi
kelompok dalam melaksanakan
percobaan /investigasi
4. Kelompok melakukan
percobaan atau pengamatan
untuk mengumpulkan data yang
dibutuhkan untuk menguji
hipotesis.
5. Kelompok mengorganisasi
dan menganalisis data serta
membuat laporan hasil
percobaan atau pengamatan.
6. Kelompok memaparkan
hasil investgasi (percobaan atau
pengamatan) dan
mengemukakan konsep yang
ditemukan. Guru membimbing
peserta didik dalam
mengkonstruksi konsep
berdasarkan hasil investigasi.
18
Penerapan metode problem based introduction di dalam Permendiknas Nomor
41 Tahun 2007 dapat menjadi pedoman guru dalam meningkatkan pembelajaran di
sekolah dasar. Penekanan pada kerja ilmiah dengan proses menemukan konsep
matematika akan lebih mudah diterapkan pada pendidikan sekolah dasar jika
memperhatikan karakteristik siswa SD. Teori Dienes yang bertumpu pada teori Piaget
mengemukakan bahwa konsep-konsep matematika akan mudah dan berhasil untuk
dipelajari apabila melalui tahapan tertentu
Tolok ukur langsung yang sering dipakai oleh guru untuk mengetahui
pemahaman siswa mengenai materi yang telah diberikan adalah dengan melihat hasil
belajar. Hasil belajar merupakan suatu ukuran berhasil tidaknya siswa setelah
menempuh pelajaran.
Berikut ini adalah pemetaan implementasi metode problem based introduction
dengan media audio visual terhadap hasil belajar matematika siswa:
Tabel 2
Implementasi Metode Problem Based Introduction dengan Media Audio
Visual
Sintaks problem Based
Introduction
Langkah
dalam
standar
proses
Kegiatan Guru
Guru memaparkan topik
yang akan dikaji, tujuan
belajar, motivasi, dan
memberikan penjelasan
ringkas.
Pendahuluan Siswa diberi penjelasan mengenai topik
dan tujuan dan kegiatan pembelajaran
yang akan dilakukan.
Guru memberikan motivasi tentang
perlunya mempelajari segi banyak untuk
dapat memecahkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari dengan cara
meningkatkan rasa ingin tahu.
Guru mengajukan
permasalahan atau
pertanyaan yang terkait
dengan topik yang dikaji.
Pendahuluan Siswa diberikan permasalahan atau
pertanyaan yang terkait dengan topik
yang dikaji.
19
Sintaks problem Based
Introduction
Langkah
dalam
standar
proses
Kegiatan Guru
Kelompok merumuskan
hipotesis dan merancang
percobaan atau
mempelajari tahapan
percobaan yang
dipaparkan oleh guru,
LKS, atau buku. Guru
memimbing dalam
perumusan hipotesis dan
merencanakan percobaan.
Pendahuluan Kelompok merumuskan hipotesis
(Siswa menjawab kemungkinan-
kemungkinan jawaban) dengan arahan
guru.
Guru memfasilitasi
kelompok dalam
melaksanakan percobaan
/investigasi
Eksplorasi Guru memfasilitasi kelompok dalam
melaksanakan percobaan /investigasi
dalam rangka pengumpulan data dengan
mengamati macam-macam bangun
datar.
Kelompok melakukan
percobaan atau
pengamatan untuk
mengumpulkan data yang
dibutuhkan untuk menguji
hipotesis.
Elaborasi Kelompok melakukan percobaan atau
pengamatan yang ditemukan siswa
dengan arahan guru.
.
Kelompok memaparkan
hasil investigasi
(percobaan atau
pengamatan) dan
mengemukakan konsep
yang ditemukan. Guru
membimbing peserta didik
dalam mengkonstruksi
konsep berdasarkan hasil
investigasi.
Konfirmasi Siswa menarik kesimpulan berdasarkan
kegiatan yang telah dilakukan dengan
mengisi LKS yang disediakan guru.
Siswa menulis dan mempresentasikan
penemuan.
20
2.1.2.6 Pelaksanaan pembelajaran problem based introduction
Pierce dan Jones (Ratnaningsih, 2003) mereka mengemukakan bahwa
kejadian-kejadian yang harus muncul pada waktu pelaksanaan pembelajaran berbasis
masalah adalah sebagai berikut:
a. Keterlibatan (engagement) meliputi mempersiapkan siswa untuk berperan sebagai
pemecah masalah yang bisa bekerja sama dengan pihak lain, menghadapkan
siswa pada situasi yang mendorong untuk mampu menemukan masalah dan
meneliti permasalahan sambil mengajukkan dugaan dan rencana penyelesaian.
b. Inkuiri dan investigasi (inquiry dan investigation) yang mencakup kegiatan
mengeksplorasi dan mendistribuskan informasi.
c. Performansi (performnace) yaitu menyajikan temuan.
d. Tanya jawab (debriefing) yaitu menguji keakuratan dari solusi dan melakukan
refleksi terhadap proses pemecahan masalah.
Muslimin Ibrahim menjelaskan bahwa dalam menerapkan model
pembelajaran berbasis masalah membutuhkan banyak latihan dan perlu membuat ke
putusan-keputusan khusus pada fase-fase perencanaan, interaksi dan setelah
pembelajaran.
Arends (2004) menyatakan bahwa ada tiga hasil belajar (outcomes) yang diperoleh
peserta didik yang diajar dengan problem based introduction yaitu:
1. Inkuiri dan ketrampilan melakukan pemecahan masalah.
2. Siswa yang melakukan inkuiri dalam pempelajaran akan menggunakan
ketrampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skill) dimana mereka
akan melakukan operasi mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan
reasoning.
3. Belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan
4. Ketrampilan belajar mandiri (skills for independent learning).
21
2.1.2.7 Kelebihan dan Kekurangan Metode Problem Based Introduction dalam
Pemanfaatannya
a. Kelebihan metode problem based introduction dalam pemanfaatannya adalah
sebagai berikut.
1. Mengembangkan pemikiran kritis dan keterampilan kreatif
2. Meningkatkan kemampuan memecahkan masalah
3. Meningkatkan motivasi siswa dalam belajar
4. Membantu siswa belajar untuk mentransfer pengetahuan dengan situasi
baru
5. Dapat mendorong siswa/mahasiswa mempunyai inisiatif untuk belajar
secara mandiri
6. Mendorong kreativitas siswa dalam pengungkapan penyelidikan masalah
yang telah ia lakukan
7. Dengan PBM akan terjadi pembelajaran bermakna.
8. Dalam situasi PBM, siswa/mahasiswa mengintegrasikan pengetahuan dan
ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang
relevan.
9. PBM dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan
inisiatif siswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat
mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.
b. Kekurangan Metode Problem Based Introduction dalam
Pemanfaatannya adalah sebagai berikut.
1. Kurang terbiasanya peserta didik dan pengajar dengan metode ini. Peserta
didik dan pengajar masih terbawa kebiasaan metode konvensional, pemberian
materi terjadi secara satu arah.
2. Kurangnya waktu pembelajaran. Proses PBI terkadang membutuhkan
waktu yang lebih banyak. Peserta didik terkadang memerlukan waktu untuk
22
menghadapi persoalan yang diberikan. Sementara, waktu pelaksanaan PBI
harus disesuaikan dengan beban kurikulum.
3. Menurut Fincham et al. (1997), "PBI tidak menghadirkan kurikulum baru
tetapi lebih pada kurikulum yang sama melalui metode pengajaran yang
berbeda
4. Siswa tidak dapat benar-benar tahu apa yang mungkin penting bagi mereka
untuk belajar, terutama di daerah yang mereka tidak memiliki pengalaman
sebelumnya.
5. Seorang guru mengadopsi pendekatan PBI mungkin tidak dapat untuk
menutup sebagai bahan sebanyak kursus kuliah berbasis konvensional. PBI
bisa sangat menantang untuk melaksanakan, karena membutuhkan banyak
perencanaan dan kerja keras bagi guru. Ini bisa sulit pada awalnya bagi guru
untuk "melepaskan kontrol" dan menjadi fasilitator, mendorong siswa untuk
mengajukan pertanyaan yang tepat daripada menyerahkan mereka solusi.
2.1.3 Media Pembelajaran Audio Visual
Penggunaan media dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah dasar
memiliki peran yang sangat penting mengingat perkembangan siswa sekolah
dasar masih berada pada tahapan masa konkret, dalam hal ini siswa diharapkan
dapat mempelajari sesuatu secara nyata.
Menurut Heinich, dkk (Sri Anitah W, dkk 2007:6.3) media merupakan
alat saluran komunikasi. Media berasal dari bahasa Latin “medium” yang secara
harafiah berarti “perantara”, yaitu perantara sumber pesan (a source) dengan
penerima pesan (a receiver).
Menurut Asep Herry Hermawan, dkk (2007:3.49) media audio-visual
merupakan kombinasi dari media audio dan media visual atau biasa disebut
23
media pandang dengar. Dengan menggunakan audio-visual ini maka penyajian
isi tema akan semakin lengkap.
Menurut Sri Anitah W, dkk (2007:2.9) media audio adalah media yang
mengandung pesan dalam bentuk auditif (hanya dapat didengar) yang dapat
merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan para siswa untuk
mempelajari bahan ajar.
Menurut Asep Herry Hermawan, dkk (2007:3.49) media visual adalah
media yang hanya dapat dilihat. Sejalan dengan pendapat tersebut, menurut Sri
Anitah W, dkk (2007:6.17) media visual adalah media yang hanya dapat dilihat
dengan menggunakan indra penglihatan.
Salah satu hasil riset yang dilakukan oleh British Audio-Visual
Association (Asep Heri Hermawan 2007:3.48) menyatakan bahwa rata-rata
jumlah informasi yang diperoleh seseorang melalui indera menunjukkan
komposisi sebagai berikut (a) 75% melalui indera penglihatan(visual), (b) 13%
melalui indera pendengaran (auditori), (c) 6% melalui indera penciuman dan
lidah.
Sesuai dengan pendapat-pendapat diatas maka media pembelajaran audio-
visual dapat didefinisikan sebagai media pembelajaran yang dapat didengar
sekaligus dapat dilihat sehingga diharapkan bisa mengikis verbalisme dan
mengoptimalkan penerimaan informasi bagi siswa yang akhirnya memudahkan
siswa dalam memahami materi yang diajarkan guna mencapai hasil belajar yang
lebih baik.
Masih rendahnya hasil belajar matematika siswa SD kelas VI SD Negeri
2 Gedongsari dan belum tercapainya kriteria ketuntasan minimal yang telah
ditetapkan dapat terjadi karena pembelajaran matematika yang didesain guru
terkesan monoton, kurang bervariasi dan tidak menggunakan media
24
pembelajaran yang variatif yang menyebabkan kurangnya motivasi serta minat
belajar dan perhatian siswa sehingga siswa kurang aktif, merasa kesulitan dan
menjadi bosan.
Mengadakan variasi dalam penggunaan media bukan sebagai pelengkap
pembelajaran tetapi benar-benar sesuai dengan karakteristik siswa sekolah dasar
yang masih berada pada tahapan masa konkret, dalam hal ini siswa diharapkan
dapat mempelajari sesuatu secara nyata.
Seorang guru kadang beranggapan bahwa peran media dalam proses
pembelajaran itu hanya terbatas sebagai alat bantu semata dan boleh diabaikan
manakala media itu tidak tersedia di sekolah. Guru harus memiliki pandangan
sebaliknya, yaitu bahwa media itu merupakan bagian integral dari keseluruhan
proses pembelajaran. Media pembelajaran merupakan salah satu komponen yang
tidak berdiri sendiri tetapi saling berhubungan dengan komponen lainnya dalam
rangka menciptakan situasi belajar yang diharapkan. Tanpa media yang tepat
pembelajaran tidak akan berjalan dengan efektif, sehingga pencapaian daya serap
siswa dalam pembelajaranpun tidak akan optimal.
2.2 Hasil Belajar
2.2.1 Pengertian Hasil Belajar
Menurut Sudjana (2004:22) hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan
yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar dapat
dikategorikan menjadi tiga bidang, yaitu bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Hasil belajar di antara siswa jelas akan berbeda-beda, karena dipengaruhi oleh faktor-
faktor tertentu yaitu faktor dari dalam siswa dan dari luar siswa (Sudjana 1989:39).
Menurut Gagne dalam Suprijono (2013: 5) hasil belajar itu berupa (a)
Informasi verbal adalah kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk
25
bahasa, baik lisan maupun tertulis, (b) Keterampilan intelektual adalah kemampuan
mempresentasikan konsep dan lambang, (c) Strategi kognitif adalah kecakapan
menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri, (d) Keterampilan
motorik adalah kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan
koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani, (e) Sikap adalah
kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek
tersebut.
Kegiatan atau usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku itu merupakan
proses belajar sedang perubahan tingkah laku itu sendiri merupakan hasil belajar.
Dengan demikian belajar akan menyangkut proses belajar dan hasil belajar (Hudoyo,
1988: 1). Kingsley dalam Sudjana (2004: 22) membagi tiga macam hasil belajar
mengajar menjadi: (1) Keterampilan dan kebiasaan, (2) Pengetahuan dan pengarahan,
(3) Sikap dan cita-cita. Menurut Gagne dalam Sudjana (2008: 22) hasil belajar adalah
dicapainya sejumlah kemampuan setelah mengikuti proses belajar mengajar, yaitu
ketrampilan intelektual (pengetahuan), strategi kognitif (memecahkan masalah),
informasi verbal (mendeskripsikan sesuatu), ketrampilan motorik, sikap dan nilai.
Bloom dan Kratwohl (dalam Usman, 1994: 29) juga mengemukakan bahwa hasil
belajar merupakan perubahan tingkah laku yang secara umum dapat dikelompokkan
ke dalam tiga kategori yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Menurut Bloom dalam Suprijono (2013: 6) hasil belajar adalah kemampuan
yang mencangkup aspek kognitif, psikomotorik dan afektif. Aspek kognitif adalah
knowledge (pengetahuan, ingatan), comprehension (pemahaman, menjelaskan,
meringkas, contoh), application (menerapkan), analysis (menguraikan, menentukan
hubungkan), synthesis (mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan
baru), dan evaluation (menilai). Aspek afektif adalah receiving (sikap menerima),
responding (memberikan respons), valuing (nilai), organization (organisasi),
characterization (karakterisasi). Aspek psikomotor meliputi initiatory, pre-routine,
dan rountinized. Aspek psikomotor juga mencangkup keterampilan produktif, teknik,
fisik, sosial, managerial, dan intelektual.
26
Bloom dalam Usman (1994: 29) membagi ranah kognitif menjadi enam
bagian, yaitu: (1) Pengetahuan, yang mengacu pada kemampuan mengenal atau
mengingat materi yang sudah dipelajari dari yang sederhana sampai pada teori-teori
yang sulit, (2) pemahaman, yang mengacu pada kemampuan memahami makna
materi, (3) penerapan, yang mengacu pada kemampuan menggunakan atau
menerapkan materi yang sudah dipelajari pada situasi yang baru dan menyangkut
penggunaan aturan atau prinsip, (4) analisis, yang mengacu pada kemampuan
menguraikan materi ke dalam komponen-komponennya, (5) sintesis, yang mengacu
pada kemampuan memadukan konsep atau komponen-komponen sehingga
membentuk suatu pola struktur atau bentuk baru, dan (6) evaluasi, yang mengacu
pada kemampuan memberikan pertimbangan terhadap nilai-nilai materi untuk tujuan
tertentu.
Hasil belajar menurut Suprijono (2013: 5) adalah pola-pola dari perbuatan,
nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan dan keterampilan. Hasil
belajar adalah secara keseluruhan bukan salah satu aspek saja. Rasyid (2008: 9) juga
berpendapat bahwa hasil belajar jika di tinjau dari segi proses pengukurannya,
kemampuan seseorang dapat dinyatakan dengan angka. Dengan demikian, hasil
belajar siswa dapat diperoleh guru dengan terlebih dahulu memberikan seperangkat
tes kepada siswa untuk menjawabnya. Hasil tes belajar siswa tersebut akan
memberikan gambaran informasi tentang kemampuan dan penguasaan kompetensi
siswa pada suatu materi pelajaran yang kemudian dikonversi dalam bentuk angka-
angka.
Arikunto dan Gagne dalam Sukiman (2012) mengungkapkan pada dasarnya
hasil belajar adalah akibat dari adanya evaluasi belajar (tes) dan evaluasi belajar
dilakukan untuk mengetahui kemampuan yang telah diperoleh siswa setelah
melakukan proses pembelajaran. Tes tersebut dapat digunakan untuk mengukur
secara jelas hasil belajar yang telah ditetapkan sesuai tujuan pembelajaran (Purwanto,
2010). Hasil belajar yang dimaksud dalam penelitian ini mengacu pada pendapat
Arikunto dan Gagne, yaitu kemampuan yang dicapai oleh siswa setelah mengalami
27
proses pembelajaran di kelas yang dapat dilakukan melalui evaluasi belajar (tes
tertulis).
2.2.2 Hubungan Metode Problem Based Introduction Terhadap Hasil Belajar
Matematika
Matematika dapat didefinisikan sebagai studi dengan logika yang ketat dari
topik seperti kuantitas, struktur, ruang, dan perubahan. Matematika merupakan
tubuh pengetahuan yang dibenarkan (justified) dengan argumentasi deduktif,
dimulai dari aksioma-aksioma dan definisi-definisi". Kecakapan atau kemahiran
matematika merupakan bagian dari kecakapan hidup yang harus dimiliki siswa
terutama dalam pengembangan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah-
masalah yang dihadapi dalam kehidupan siswa sehari-hari (Permendikbud Nomor 57
Tahun 2014: 231). Kecakapan dan kemahiran matematika dapat diwujudkan dalam
pendidikan di sekolah dasar salah satunya melalui pendekatan pembelajaran.
2.2.3 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh Asrul Karim berjudul “Penerapan
metode problem based introduction dalam Pembelajaran Matematika untuk
Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Sekolah
Dasar.” Rendahnya pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kritis siswa
merupakan masalah yang krusial dalam pembelajaran matematika. Untuk
menyelesaikan masalah tersebut, perlu adanya suatu metode pembelajaran yang
inovatif dan dapat mengaktifkan siswa di dalam kelas. Salah satu metode yang dapat
dilakukan adalah dengan menerapkan metode problem based introduction. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak pembelajaran matematika dengan
metode problem based introduction terhadap kemampuan pemahaman konsep dan
kemampuan berpikir kritis siswa sekolah dasar. Penelitian ini menggunakan desain
penelitian tindakan kelas. Subyek penelitian melibatkan 30 siswa Sekolah Dasar di
Kecamatan Kuta Blang Dari pembahasan hasil penelitian, setelah diterapkan
28
pembelajaran matematika dengan metode problem based introduction diketahui
bahwa pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kritis siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan metode problem based introduction lebih baik dalam
meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kritis. Selain itu sebagian
besar siswa menunjukkan sikap positif terhadap pembelajaran matematika dengan
metode problem based introduction. Berdasarkan temuan penelitian, maka
pembelajaran matematika dengan metode problem based introduction sangat
potensial diterapkan di lapangan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan.
Penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh Leo Adhar Effendi berjudul
“Pembelajaan Matematika dengan Metode problem based introduction untuk
Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa
SD.” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan peningkatan
kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis antara siswa yang
memperoleh pembelajaran matematika dengan metode problem based introduction
dan pembelajaran konvensional. Selain itu diungkap pula interaksi antara
pembelajaran dengan kategori kemampuan awal matematis siswa, serta sikap
siswa terhadap matematika dan pembelajaran dengan metode problem based
introduction. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Sampel adalah
28 siswa kelas V yang berasal dari salah satu SD Negeri di Magelang. Hasil
penelitian menunjukan bahwa kemampuan kemampuan representasi dan pemecahan
masalah matematis. Pembelajaran matematika dengan metode problem based
introduction lebih baik daripada menggunakan pembelajaran konvensional. Terdapat
interaksi yang signifikan antara pembelajaran dengan kategori kemampuan awal
matematis siswa. Siswa memiliki sikap positif terhadap matematika dan pembelajaran
dengan metode problem based introduction
2.3 Kerangka Pikir
Matematika selalu digunakan dalam segala segi kehidupan, semua bidang
studi memerlukan ketrampilan matematika yang sesuai merupakan sarana komunikasi
29
yang kuat, singkat dan jelas, dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam
berbagai cara, meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian dan kesadaran
keruangan, memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang
menantang, mengembangkan kreaktivitas dan sebagai sarana untuk meningkatkan
kesadaran terhadap perkembangan budaya Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007.
Melalui metode problem based introduction akan melatih siswa dalam meningkatkan
kemampuan berpikir sistematis, logis, kritis, dan kreatif dalam memecahkan masalah
kontektual sehingga siswa diharapkan mengerti penggunaan matematika di dalam
kehidupan sehari-hari.
Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007, dalam proses belajar, Bruner
mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya
perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan
memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan seperti ini
bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih
kreatif. Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus
berdasarkan pada manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat
perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk
memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang
dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Berdasarkan pada uraian di atas, gagasan kerangka pikir tersebut bila
disajikan akan tampak seperti gambar dibawah ini:
30
2.3 Hipotesis Tindakan
Kondisi awal
Siswa belajar matematika hanya berpusat
pada angka, rumus, hafalan.
Hasil
Siswa hanya mampu menghafal rumus matematika
tanpa mengetahui bagaimana rumus itu ditemukan
dan pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari.
Permendiknas No 41 Tahun 2007
Ketrampilan matematika yang sesuai merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat dan
jelas, dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara, meningkatkan
kemampuan berpikir logis, ketelitian dan kesadaran keruangan, memberikan kepuasan
terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang, mengembangkan kreaktivitas.
Solusi
Penggunaan pendekatan dan model
pembelajaran yang mengubah konsep
dalam kondisi awal.
Di desain sesuai dengan karakteristik
dan perkembangan siswa SD
Melalui metode problem based introduction
Hasil
Berpikir logis, sistematis, kritis, kreatif, matematika
menyenangkan, menemukan, pemecahan masalah dalam
kehidupan sehari-hari.
Hasil
Peningkatan hasil
belajar
Melalui metode problem based
introduction
31
2.4 Hipotesis Tindakan
Bertitik tolak dari analisis penyebab masalah seperti diuraikan diatas, maka
dapat diambil hipotesis tindakan yaitu pendekatan metode Problem Based
Introduction dengan media audio visual dapat meningkatkan hasil belajar matematika
siswa kelas VI SD Negeri 2 Gedongsari Kecamatan Jumo Kabupaten Temanggung
Semester I Tahun Pelajaran 2014/2015.