Post on 06-Mar-2019
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Sumber Pustaka
1. Rujukan (Konsep Sejenis)
a. Tulisan Terdahulu
Menciptakan suatu karya seni tentunya membutuhkan pemikiran
yang sangat matang sehingga karya tersebut dapat
dipertanggungjawabkan. Tidak dipungkiri dari pemikiran dan perenungan
tersebut menghasilkan konsep sejenis yang sudah pernah dibuat oleh
seniman-seniman terdahulu. Dalam hal ini konsep penulis yang
bertemakan gamelan memiliki kesamaan dengan konsep karya Hidajat
L.P.D, Karya Prima Budi Hastuti dan tulisan Panji Prastyo.
1. Hidajat L.P.D.
Gambar 2.1 Gamelan, 90 cm x 150 cm, cat minyak diatas kanvas, 2011
Sumber: http://www.tamanismailmarzuki.co.id/tokoh/lpd.html
Diakses tanggal 27/9/2015 pukul 23:48 WIB.
Hidajat L.P.D. adalah tokoh yang memegang teguh idealisme
keseniannya. Tema lukisan Hidajat diangkat dari kondisi sosial sekitarnya.
Selama tumbuh menjadi seniman, Hidajat mengalami sebuah pengalaman
6
hidup yang memperkaya dirinya dengan wacana dan pengetahuan budaya
nusantara, sebuah warisan budaya yang menurutnya saat ini kian
memudar. Wayang dan tarian menjadi figur paling dominan di semua
karya Hidajat. Pemilihan figur ini dianggap relevan dengan pengalaman
masa kecilnya. Karya-karyanya bisa dibilang menjadi kritik atas hilangnya
budaya seni yang dahulu pernah melekat di masyarakat (http://
128.199.163.163/detail/read/8/2111/refleksi-kesunyian-pelukis-hidajat.
Diakses tanggal 13/10/2016 pukul 22:32 WIB).
Keterampilannya sebagai pelukis terlihat jelas dari cara
memainkan aturan komposisi umum. Hidajat dalam melukis seringkali
tidak mengindahkan pendidikan akademis. Namun ia mahir memainkan
teknik pisau palet. Kadangkala di atas bidang kanvas memunculkan warna-
warna kontras. Garis patah-patah dan secara keseluruhan sejumlah
karyanya memancarkan daya pesona (http://www.tamanismailmarzuki.
co.id/tokoh/lpd.html. Diakses tanggal 27/9/2015 pukul 23:48 WIB).
2. Prima Budi Hastuti
Prima Budi Hastuti mengangkat gamelan sebagai sumber ide dalam
tugas akhirnya karena ia tertarik dari keunikan bentuk gamelan, dan spirit
kebersamaan dalam memainkan gamelan. Selain itu ia juga memperoleh
ide dari pengalamanya dalam mendengarkan gamelan. Dalam gagasan
konsep karyanya ia lebih menekankan pada karakter bunyi yang dihasilkan
dari berbagai macam instrumen gamelan (Hastuti, 2010: 2).
7
Gambar 2.2 Gong Ageng, 42 cm x 60 cm, digital printing, 2010
Sumber: Pengantar tugas akhir Prima Budi Hastuti
Karya yang berjudul “Gong Ageng” ini merupakan salah satu karya
tugas akhir Prima Budi Hastuti yang menggambarkan tentang bagaimana
bunyi yang dihasilkan gong ageng begitu menggelegar. Dalam proses
penciptaanya, Prima mengolah gambar mengunakan teknik penggabungan,
kolase juga memainkan blanding mode yang ada pada software adobe
photoshop (Hastuti, 2010: 35).
3. Panji Prasetyo
Panji Prasetyo adalah mahasiswa Universitas Indonesia Prodi Ilmu
Filsafat yang mengangkat gamelan dalam skripsinya yang berjudul “Seni
Gamelan Jawa sebagai Representasi dari Tradisi Kehidupan Manusia
Jawa”. Ia mengambil pemikiran dari Collingwood didalam representasi
seni dengan suatu tambahan akan kesadaran dalam filsafat manusia, dan
konsep rasa yang transendental di dalam sufi, bahwa seni yang salah
satunya memiliki sifat yang menghibur, dan juga sebagai mediasi untuk
mengekspresikan diri, walaupun unsur tradisinya tidak akan pernah lepas
secara instrumentalnya sendiri (Prasetyo, 2012: 4).
8
Panji banyak mendapatkan inspirasi dari kelompok Seta Kresna
Wirama UI, dimana Panji pernah bermain gamelan jawa di dalamnya
untuk mendapatkan suatu nilai filosofis di dalam permainan gamelan jawa.
Inspirasi terbesarnya ketika ia melakukan perjalanan pulang kampung ke
daerah Jawa, dimana banyak sekali kedamaian dan harmonisasi antar
sesama manusia, lain halnya dengan daerah Jakarta. Jawa memang
merupakan suatu daerah yang masih kental dengan tradisinya, atau
mungkin sama halnya dengan daerah tradisional lain selain Jakarta yang
memang susah untuk mendapatkan perkembangan terutama di dalam
seninya secara kontemporer (Prasetyo, 2012: 5).
Panji juga tidak ingin merusak atau menjustifikasi seni tradisional
adalah kuno, karena seni tersebut memang merupakan identitas asli Negara
Indonesia, terutama di dalam sejarahnya. Ia juga ingin mempelajari akan
hakikat dari filsafat Jawa sendiri, tetapi masih belum didapatkan di dalam
setiap pengajaran di filsafat UI. Oleh sebab itu, ia ingin menyalurkan
ekspresi ini secara tidak langsung di dalam skripsinya. Dengan
penambahan nilai-nilai kontemporer didalamnya seperti yang didapatkan
setiap pengajaran dari dosen filsafat UI (Prasetyo, 2012: 5).
b. Musik Tradisional Gamelan
Menurut Mas’ud Abid, S.pd dalam tulisanya yang berjudul
“Kurangnya Minat Generasi Muda untuk Mempelajari Musik
Tradisional” menjelaskan bahwa:
….musik tradisional adalah musik yang hidup dimasyarakat
secara turun temurun, yang menjadi ciri khas daerah
tertentu dan dipertahankan sebagai sarana hiburan.
Tradisional adalah aksi dan tingkah laku yang keluar
9
alamiah karena kebutuhan dari nenek moyang yang
terdahulu. Tradisi adalah bagian dari Tradisional namun
bisa musnah karena ketidak adanya ingin tahu untuk
mengikuti tradisi tersebut… (http://masudabid.blogspot.
co.id/2015/03/kurang-nya-minat-generasi-muda-dalam.html
Diakses tanggal 23/10/2016 pukul 18:17 WIB).
Gamelan berasal dari kata nggamel/ gamel yang berarti memukul/
menabuh, diikuti akhiran “an” yang menjadikanya sebagai kata benda.
Sedangkan istilah gamelan mempunyai arti sebagai kesatuan alat musik
yang dimainkan bersama (Ferdiansyah, 2010: 23).
Gending atau musik dari gamelan jawa disusun dan dibuat dengan
keselarasan. Keselarasan dalam gamelan jawa berarti dapat mengatur
keseimbangan emosi dan menata perilaku keras, harmonis dan tidak
menimbulkan kegoncangan. Saling menjaga diri, saling menjaga cipta,
rasa, karsa dan perilaku, adalah pandangan hidup dan realitas hidupnya
walau terjadi ritme-ritme karena dinamika kehidupan masyarakat
(http://www.jawapalace.org//index.html. Diakses tanggal 26/9/2015 pukul
21:35 WIB).
Menurut Trimanto dalam bukunya yang berjudul “Membuat dan
Merawat Gamelan” menjelaskan bahwa:
….secara filosofis gamelan merupakan suatu bagian yang
tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat jawa. Hal
tersebut disebabkan filsafat hidup masyarakat jawa
berkaitan dengan seni budayanya serta hubungan dekat
dengan perkembangan religi yang dianutnya. Masyarakat
jawa menganggap gamelan mempunyai fungsi estetika yang
berkaitan dengan nilai-nilai sosial, moral, dan spiritual.
Gamelan dapat digunakan untuk mendidik rasa keindahan
seseorang. Orang yang biasa berkecimpung dalam dunia
karawitan, rasa kesetiakawanan tumbuh, tegur sapa halus,
tingkah laku sopan. Semua itu karena jiwa seseorang
menjadi sehalus gending-gending… (Trimanto, 1984: 12 ).
10
1. Gamelan Era Kontemporer
Berbicara tentang gamelan kontemporer berarti membahas tentang
keadaan musik gamelan pada saat ini. Kontemporer yang berarti saat ini
atau bisa dibilang modern, mengkondisikan gamelan sebagai musik yang
bisa dikembangkan menjadi musik yang lebih bersifat universal.
Perkembangan seni karawitan dewasa ini mendapat apresiasi yang
cukup tinggi di luar Negeri, contohnya di California USA, Munchen
Jerman, dan Amsterdam Belanda. Seni eksotis dan ekslusif menjadi daya
tarik tersendiri bagi karawitan untuk menarik perhatian banyak orang. Jika
di Amerika Serikat perguruan tingginya telah membuka kelas karawitan,
lain halnya di Munchen yang setiap bulanya digelar pentas orkestra
gamelan dengan harga tiket yang mahal, meskipun begitu tiap bulanya
penonton memadati gedung orkestra dan tiketpun laris. Lebih
mengherankan lagi seluruh personilnya adalah warga asli Jerman.
Sedangkan di Belanda, nabuh gamelan bukan lagi sekedar mencari
hiburan, melainkan sebagai olahraga pengganti yoga dan taichi
(ridibersaudara-gapenting.blogspot.co.id/2010/08/perkembangan-seni-
karawitan-jawa-di.html. Diakses tanggal 24/11/2016 pukul 20:18 WIB).
Saat ini gamelan sudah banyak mengalami perubahan dari segi
genre musik yang ada didalamnya. Tetapi perubahan yang terjadi tidak
menghilangkan unsur keaslianya dari gamelan itu sendiri. Sudah banyak
pementasan gamelan yang dikolaborasikan dengan genre Jazz, Pop,
bahkan Dangdut untuk didalam Negeri. Instrumen-instrumen yang
digunakan mengalami kolaborasi, seperti menggunakan gitar listrik, organ,
11
drum, dan lainya tergantung dari jenis musik yang akan dimainkan.
Perubahan ini secara tidak langsung menimbulkan pemikiran-pemikiran
dari pihak pengrawit maupun dari masyarakat yang berperan sebagai
pendengar (http://www.scribd.com/mobile/doc/45868473/gamelan-
kontemporer. Diakses tanggal 24/11/2016 pukul 21:12 WIB).
Menurut seorang komponis gamelan I Wayan Sadra dalam
“Konferensi International Gamelan Festival Amsterdam 2007”
menjelaskan bahwa gamelan yang dalam kajian musikologis ataupun
etnomusikologis selalu sarat dengan muatan budaya tentang fungsi,
makna, nilai-nilai estetik ataupun berbagai jargon tentang eksistensi
keberadaan sebuah instrumen dalam pembudayaan manusia. Semua itu
dikesampingkan dalam pandangan kedepan seorang komponis
kontemporer. Setiap instrumen mengalami penyucian berbagai beban-
beban budaya tersebut. Dalam kreatifitas gamelan kontemporer, aturan-
aturan itu selalu dilanggar dan dipertanyakan kembali. Gamelan
kontemporer menghendaki terjadinya perubahan. Perubahan adalah sebuah
titik tertinggi dari kreatifitas dalam mengangkat kembali kasanah musik
atau gamelan tradisi sebagai sumber musikal dari gamelan kontemporer.
(https://onesgamelan.wordpress.com/2009/01/26/apakah-identitas-itu-perlu
-dalam-gamelan-kontemporer/ Diakses tanggal 24/11/2016 pukul 16:54
WIB).
Esensi kontemporer bukan tentang alat atau objek tetapi sikap atau
subjek. Mengingat perkembangan gamelan sekarang yang sudah jauh
menyebar keluar dari habitat awalnya Indonesia, maka harus direlakan
12
bahwa gamelan kini menjadi ensamble dunia dan harus rela orang asing
melihat gamelan hanya sebagai alat musik yang bebas dari beban-beban
tradisi budayanya. Gamelan dilihat sebagai alat atau medium berekspresi
menurut latar belakang budayanya masing-masing. Aspek genetika ini
menjadi faktor penting bagi tumbuhnya berbagai gaya pribadi dalam
gamelan kontemporer. Singkat kata, jika melihat tradisi musik itu hidup
dan menggairahkan sampai masa kini, sesungguhnya juga melihat sesuatu
yang berkembang terus menerus. Tradisi yang hidup akan selalu berubah
dan berkembang. Sumbangan positif gamelan kontemporer dengan tradisi
musik yang ada hanyalah sebagai hubungan mata rantai yang secara intens
melangsungkan dialektika perubahan. Gamelan kontemporer sangat sadar
akan sejarah dan latar belakang dari berbagai kekayaan musikal dalam
tradisi, namun tak seorangpun komponis kontemporer yang menginginkan
dirinya dan karyanya seperti karya tradisi. Tradisi dan masa lalu adalah
refrensi yang mampu menjadi stimulasi penciptaan (https://onesgamelan.
wordpress.com/2009/01/26/apakah-identitas-itu-perlu-dalam-gamelan-
kontemporer/ Diakses tanggal 24/11/2016 pukul 16:54 WIB).
2. Refrensi (Kajian Teoritis Seni Rupa)
a. Seni
Budiwirman dalam bukunya yang berjudul “ Seni, Seni Grafis, dan
Aplikasinya dalam Pendidikan ” menjelaskan bahwa:
….tingkat peradaban dan kebudayaan manusia itu memang
dapat dibedakan. Pada masyarakat terbelakang, seni
bukanlah sesuatu yang dipikir-pikirkan atau disadari
walaupun seni itu ada dalam kebudayaanya. Hal ini berbeda
dengan masyarakat maju, seni adalah sesuatu yang disadari
dan dipikirkan. Oleh karena itu ilmu tentang seni
13
berkembang sejalan dengan perkembangan pikiran manusia
itu terhadap seni. Dari perkembangan pikiran itu dapat
dilihat berbagai literatur yang dapat dibaca untuk
memahami seni… (Budiwirman, 2012: 2).
Sedangkan Jakob Sumardjo dalam bukunya yang berjudul “Filsafat
Seni” menjelaskan bahwa seni secara umum adalah kelahiran yang
sekhusus-khususnya dari perasaan seorang seniman yang sekhusus-
khususnya. Apa yang disebut “seni” memang merupakan suatu wujud
yang terindera. Karya seni merupakan sebuah benda atau artefak yang
dapat dilihat, didengar, atau dilihat dan sekaligus didengar (visual, audio,
dan, audio-visual). Namun, apa yang disebut seni itu berada di luar benda
seni, sebab seni itu berupa “nilai” terdiri dari sifat indah, baik, adil,
sederhana, ataupun bahagia (Sumardjo, 2000: 45). Jadi, seni itu adalah
nilai yang ditampilkan melalui karya seni, yang diciptakan melalui
perasaan seniman.
b. Seni Rupa
Budiwirman dalam bukunya yang berjudul “ Seni, Seni Grafis, dan
Aplikasinya dalam Pendidikan ” menjelaskan bahwa seni rupa adalah:
….sebuah konsep atau nama untuk salah satu cabang seni
berwujud, dinikmati lewat indra penglihatan atau
peradaban. Bentuknya terdiri atas unsur-unsur rupa yaitu
garis, bidang, bentuk, tekstur, ruang, dan warna. Unsur-
unsur rupa tersebut tersusun menjadi satu dalam sebuah
pola tertentu. Bentuk karya seni rupa merupakan
keseluruhan unsur-unsur rupa yang tersusun dalam sebuah
struktur atau komposisi yang bermakna. Unsur-unsur rupa
tersebut bukan sekedar kumpulan atau akumulasi bagian-
bagian yang tidak bermakna, akan tetapi dibuat sesuai
dengan prinsip tertentu. Makna bentuk karya seni rupa tidak
ditentukan oleh banyak atau sedikitnya unsur-unsur yang
membentuknya, tetapi dari sifat struktur itu sendiri. Dengan
kata lain kualitas keseluruhan sebuah karya seni lebih
14
penting dari jumlah bagian-bagiannya… (Budiwirman,
2012: 65).
Sedangkan Nooryan Bahari dalam bukunya yang berjudul “Kritik
Seni Wacana, Apresiasi dan Kreasi Seni” menjelaskan bahwa seni rupa
adalah:
….suatu wujud hasil karya manusia yang diterima dengan
indra penglihatan, dan secara garis besar di bagi menjadi
seni murni dan seni terap. Seni murni merupakan seni yang
karyanya tidak mengandung tujuan kegunaan (applied)
“fungsional”, melainkan sebagai media ekspresi yang di
ungkapkan pada seni lukis, seni grafis, seni patung, seni
kramik dengan berbagai teknik beserta aliran-alirannya.
Perkembangan seni rupa sekarang ini selain seni lukis,
patung, kramik, grafis juga mewadahi seni-seni yang
lainnya seperti, seni lingkungan (enviromental art), seni
instalasi, seni pertunjukan (performing art), dan lain-
lainnya… (Bahari, 2008:51).
Seni rupa merupakan seni yang berwujud 2 dimensi ataupun
3 dimensi yang dapat dilihat dan diraba. Seni rupa dapat dibedakan
menjadi 2 macam, yakni seni rupa murni dan seni rupa terapan.
c. Seni Grafis
Seni grafis merupakan cabang seni rupa yang proses pembuatan
karyanya menggunakan teknik cetak, biasanya di atas kertas/ kanvas.
Cetakan yang umum digunakan adalah: akrilik, plat tembaga untuk cetak
dalam, batu digunakan untuk cetak datar, papan kayu, lino untuk cetak
tinggi, screen untuk cetak saring. Masih banyak lagi bahan lain yang
digunakan dalam karya seni ini. Setiap hasil cetakan biasanya dianggap
sebagai karya seni orisinil, bukan sebuah salinan. Karya-karya hasil
cetakan diberi nomor edisi untuk menandai bahwa karya tersebut
merupakan edisi yang terbatas (Siregar, 2012: 7).
15
Grafis berasal dari graphein menulis atau menggambar (yun). Seni
(cetak) grafis merupakan pengubahan gambar dua dimensi ke dua
dimensi yang lain melalui proses cetak-mencetak manual dengan
menggunakan material tertentu, bertujuan untuk memperbanyak karya si
seniman, sebanyak-banyaknya minimal 2 hasil cetakan (Susanto, 2011:
162).
Dwi Marianto dalam bukunya yang berjudul “Seni Cetak Cukil
Kayu” menjelaskan bahwa:
….dalam pengertian umum, istilah seni grafis meliputi
semua bentuk seni visual yang dilakukan pada suatu
permukaan dua dimensional sebagaimana lukisan, drawing
atau fotografi. Lebih khusus lagi, pengertian istilah ini
adalah sinomin dengan printmaking (cetak-mencetak).
Dalam penerapanya, seni grafis meliputi semua karya seni
dengan gambaran orisional apapun atau desain yang dibuat
oleh seniman untuk diproduksi dengan berbagai proses
cetak… (Marianto, 1998: 15).
Jadi, seni grafis merupakan cabang seni rupa yang penciptaanya
menggunakan teknik cetak-mencetak dalam wujud 2 dimensi tanpa
mengurangi nilai ke asliannya.
1. Teknik Seni Grafis
Teknik-teknik konvensi seni grafis yaitu: cetak tinggi (cukilan
kayu, lino), cetak datar (litografi), cetak dalam (etsa, mezzotint,
engraving, drypoint, collagraphy) dan cetak saring (sablon). Sementara
itu, di beberapa negara kategori teknik tersebut terbagi sebagai berikut:
relief (cukilan kayu, lino), intaglio (etsa, dan sebagainya), planografi
(litografi, monotipe) dan stensil (sablon) (Siregar, 2012: 8).
16
a. Cetak Tinggi (Relief Print)
Cetak tinggi merupakan salah satu teknik cetak yang menggunakan
media acuan kayu atau lino. Media tersebut dicukil dengan alat khusus
sampai bagian yang tidak ingin dicetak habis tercukil, meninggalkan
relief tinggi pada gambar. Permukaan relief diberi tinta dengan rol,
kemudian dicetak diatas kertas dengan tekanan langsung (Susanto, 2011:
330).
Gambar 2.3 Proses cetak tinggi
Sumber: http://grafikapagi-pengilmugraf.blogspot.co.id/2014/01/jenis-jenis-acuan-hasil-pre-
press.html.
Diakses tanggal 12/01/2017 pukul 15:54 WIB.
Cetak tinggi atau relief print adalah salah satu dari beberapa
macam teknik cetak yang memiliki acuan permukaan timbul atau
meninggi, dimana permukaan timbul tersebut berfungsi sebagai
penghantar tinta. Bagian yang dasar atau permukaan yang tidak timbul
merupakan bagian yang tidak akan terkena tinta atau disebut bagian
negatif, sedangkan bagian yang kena tinta disebut bagian positif. Untuk
memperoleh acuan cetak yang timbul dapat dilakukan dengan cara
menghilangkan bagian-bagian yang tidak diperlukan menghantarkan tinta,
17
sehingga tinggal bagian-bagian yang memang berfungsi sebagai
penghantar warna atau tinta (Marianto, 1998: 15-20).
Menciptakan karya seni grafis dengan teknik cetak tinggi perlu
diperhatikan sketsanya sebelum memulai mencukil, karena dalam proses
pencetakannya akan menghasilkan gambar yang terbalik dari bentuk
cukilan yang dibuat.
d. Komponen Karya Seni
Subject matter dalam seni berasal dari kesatuan kualitatif hasil
pengolahan batiniah seniman terhadap hal-hal atau apa saja yang dianggap
hakiki pada obyek lain yang bersifat aktual maupun yang ideal. Waktu dan
kondisi lingkungan beserta situasi psikis seniman sangat menentukan
tepatnya subject matter dan karya (Suradjijo 2000: 66).
Sedangkan Nooryan Bahari dalam bukunya yang berjudul “Kritik
Seni Wacana, Apresiasi dan Kreasi Seni” menjelaskan bahwa tema
merupakan gagasan yang hendak dikomunikasikan pencipta karya seni
kepada khalayak. Tema bisa saja menyangkut masalah sosial budaya,
religi, pendidikan, politik, pembangunan, dan sebagainya (Nooryan
Bahari, 2008: 22).
Subject matter dalam karya penulis adalah gamelan di era
kontemporer. Penulis mengangkat tema tersebut untuk mencoba
membangkitkan kembali gairah/ selera para remaja terhadap budaya lokal
khususnya musik gamelan dengan mengilustrasikan beberapa fenomena
gamelan di era kontemporer ke dalam karya seni grafis dengan teknik
cetak tinggi.
18
e. Prinsip Organisasi Unsur-Unsur Rupa
1. Perbandingan (Proportion)
Proporsi berasal dari bahasa Inggris proportion yang artinya
perbandingan. Proporsi dapat diartikan perbandingan atau kesebandingan
dalam suatu objek antara bagian satu dengan bagian lainnya. Proporsi pada
dasarnya menyangkut perbandingan ukuran yang sifatnya sistematis.
(Sunyoto, 2009: 249).
Sedangkan Mikke Susanto dalam bukunya yang berjudul “Diksi
Rupa Kumpulan Istilah-Istilah Seni Rupa” menjelaskan bahwa proporsi
adalah hasil dari perbandingan jarak yang menunjukan ukuran hubungan
bagian dengan keseluruhan dan antara bagian yang satu dengan bagian
yang lainya. Proporsi berhubungan erat dengan balance (keseimbangan)
rhythm (irama, harmoni) (Susanto,2002: 92).
Perbandingan yang penulis gunakan untuk membuat karya ini
yakni menggunakan perbandingan bentuk ruang, dengan ukuran 80 cm x
90 cm dan 80 cm x 110 cm.
2. Kesatuan (Unity)
Kesatuan dapat juga disebut dengan keutuhan. Sebuah karya seni
harus menyatu dan unsur-unsur yang tersusun di dalamnya tidak dapat di
pisah-pisah. Tanpa kesatuan, karya seni akan terlihat kacau balau dan
mengakibatkan karya tersebut tidak enak dilihat (Sanyoto, 2009: 233).
Sedangkan Mikke Susanto dalam bukunya yang berjudul “Diksi
Rupa Kumpulan Istilah-Istilah Seni Rupa” menjelaskan bahwa unity
merupakan kesatuan yang diciptakan lewat sub-azas dominasi dan
19
subordinasi (yang utama dan kurang utama) dan koheren dalam suatu
komposisi karya seni. (Susanto. 2002: 416)
Kesatuan dalam karya penulis tercapai dengan adanya penggunaan
dan penggabungan semua unsur-unsur yang tersusun dalam karya.
3. Keseimbangan (Balance)
Keseimbangan symmetrical balance, radial balance, obvious
balance, dan asymmetrical balance. Keseimbangan simetris atau yaitu
keseimbangan atara ruang sebelah kiri dan kanan memiliki kedudukan
yang sama persis baik dalam bentuk raut, besaran ukuran, arah, warna,
maupun teksturnya. Keseimbangan memancar atau yaitu keseimbangan
yang sama seperti keseimbangan simetris, tetapi tidak hanya pada sisi
kanan maupun kiri tetapi sebelah atas atau bawah. Keseimbangan
sederajad atau yaitu keseimbangan komposisi antara ruang sebelah kiri dan
ruang sebelah kanan tanpa memperdulikan bentuk yang ada di masing-
masing ruang, sedangkan keseimbangan asimetris atau yaitu keseimbangan
yang sebelah kiri dan kanannya tidak sama (Sanyoto, 2009: 260-263).
Sedangkan Mikke Susanto dalam bukunya yang berjudul “Diksi
Rupa Kumpulan Istilah-Istilah Seni Rupa” menjelaskan bahwa
keseimbangan merupakan persesuaian materi-materi dari ukuran berat dan
memberi tekananan pada stabilitas suatu komposisi karya seni. (Susanto.
2002: 46) Keseimbangan yang penulis tampilkan berbeda-beda disetiap
karyanya, agar karya tersebut terlihat bervariasi dan tidak monotone.
20
4. Komposisi
Komposisi adalah kombinasi dari berbagai elemen seni rupa untuk
mencapai integrasi antara garis, warna, bidang, dan unsur-unsur karya seni
yang lain untuk mencapai susunan yang dinamis, termasuk tercapainya
keseimbangan dari proporsi yang menarik (Susanto, 2011: 226).
Sedangkan Arfial Arsad Hakim dalam buku yang ditulisnya dengan
judul “Nirmana Dwimatra” menerangkan bahwa komposisi adalah:
….komposisi terbagi menjadi 4 macam yaitu, komposisi
terbuka, komposisi tertutup, komposisi piramida, komposisi
terbalik. Komposisi terbuka, suatu komposisi dalam ruang
dimana objek gambar terkesan menyebar, meluas dari pusat
bidang. Komposisi tertutup, objek gambar seolah-olah
mengumpul, menyempit sehingga terlihat adanya
pengelompokan objek gambar kedalam pusat bidang atau
ruang. Komposisi piramida, komposisi yang peletak objek
gambar dalam suatu bidang komposisi yang membentuk
susunan segitiga dimana puncaknya berada diatas.
Komposisi piramida terbalik, adalah kebalikan dari
komposisi piramida, dimana puncaknya segitiga berada
dibawah, sedan galas berada diatas… (Hakim, 1997: 37).
Karya penulis menggunakan berbagai macam komposisi untuk
menampilkan karya-karya yang bervariasi tentunya menyesuaikan objek-
objek yang ditampilkan.
5. Keselarasan (Harmony)
Keselarasan merupakan tatanan atau proporsi yang dianggap
seimbang dan memiliki keserasian merujuk pada pemberdayagunaan ide-
ide dan potensi-potensi bahan dan teknik tertentu dengan berpedoman
pada aturan-aturan ideal. (Susanto. 2002: 175)
Sedangkan Arfial Arsad Hakim dalam buku yang ditulisnya dengan
judul “Nirmana Dwimatra” menerangkan bahwa ritme, repetisi, dan
21
dominan merupakan transisi, penghubung bagi tercapainya suatu kesatuan
hubungan dari unsur-unsur sehingga terwujud harmoni di dalam bidang.
Harmoni menyebabkan tercapainya kesatuan sedangkan ritme, repetisi,
dan dominan merupakan faktor yang esensil untuk mencapai harmoni
(Hakim, 1997: 18). Keselarasan pada karya penulis diciptakan melalui
keserasian ritme, repetisi dan dominan yang sesuai pada proporsi objek
sehingga terbentuk sebuah harmoni.
6. Ritme
Ritme (irama) suatu istilah yang biasanya dipakai di dalam musik
dan puisi. Di dalam seni rupa berarti suatu susunan teratur yang
ditimbulkan dari pengulangan sebuah atau beberapa unsur sehingga
menimbulkan atau memberikan kesan keterhubungan yang kontinyu serta
kesan gerak (Hakim, 1997: 18).
Sedangkan Suwaji Bastomi dalam buku yang ditulisnya dengan
judul “Wawasan Seni Semarang” menerangkan bahwa irama adalah suatu
pengaturan atau ulangan yang teratur dari suatu bentuk atau unsur unsur.
Bentuk-bentuk pokok dari irama ialah berulang-ulang, berganti-ganti,
berselang seling, dan mengalir (Bastomi, 1990: 18). Penulis membentuk
ritme pada karya ini melalui efek cukilan yang berulang-ulang secara
konsisten.
7. Repetisi
Repetisi merupakan hubungan pengulangan dengan kesamaan pada
unsur-unsur atau elemen seni rupa yang digunakan (Sanyoto, 2010:175).
22
Sedangkan Arfial Arsad Hakim dalam buku yang ditulisnya dengan
judul “ Nirmana Dwimatra ” menerangkan bahwa repetisi adalah:
….repetisi atau pengulangan dan ritme tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain. Ritme adalah hasil dari
repetisi. Repetisi merupakan metode untuk menarik
perhatian penghayatan secara terus menerus terhadap unit-
unit visual pada suatu pola dan merupakan cara yang mudah
untuk mengikat keseluruhan unsur-unsur disain ke dalam
suatu kesatuan. Repetisi pada unsur-unsur disain misalnya
repetisi dalam shape, repetisi dalam garis, repetisi dalam
warna, repetisi dalam ukuran, repetisi dalam arah dll…
(Hakim, 1997: 19).
Penulis dalam karya ini menampilkan repetisi beberapa objek pada
bidang yang kosong agar terlihat seimbangkan.
8. Dominans
Dominasi dalam karya seni disebut sebagai keunggulan,
keistimewaan, keunikan, keganjilan, dan kelainan. Dominasi merupakan
salah satu prinsip dasar tata rupa yang harus ada pada karya seni, agar
diperoleh karya seni yang artistik atau memiliki nilai seni. Jadi dominasi
bertugas sebagai pusat perhatian dan daya tarik. (Sunyoto, 2009: 225)
Sedangkan Arfial Arsad Hakim dalam buku yang ditulisnya dengan
judul “ Nirmana Dwimatra ” menerangkan bahwa setiap bagian dari suatu
bentuk ciptaan hendaknya mendapat perhatian atau tingkat kekuatan
dominans yang layak. Bagian tertentu yang mendominasi di dalam suatu
bentuk ciptaan, akan menjadi titik perhatian yang menonjol. Kelayakan
tingkat dominans dari unsur-unsur pendukung suatu disain akan mencapai
harmoni, akhirnya kesatuan hubungan unity (Hakim, 1997: 19). Dominan
pada karya ini di buat dengan menonjolkan objek-objek memakai warna
monochrome untuk membedakan figur utama dan background.
23
f. Unsur-Unsur Visual
1. Garis
Perpaduan sejumlah titik-titik yang sejajar dan sama besar. Garis
memiliki dimensi memanjang juga punya arah, bisa panjang, pendek,
halus, tebal, berombak melengkung, serta lurus. Hal inilah yang menjadi
ukuran garis. Garis memiliki ukuran yang bersifat nisbi, yakni ukuran yang
panjang-pendek, tinggi-rendah, besar-kecil, tebal-tipis. Sedangkan arah
garis ada tiga: horizontal, vertikal, diagonal, meskipun garis bisa
melengkung, bergerigi maupun acak (Susanto, 2002: 148).
Sedangkan Arfial Arsad Hakim dalam buku yang ditulisnya dengan
judul “ Nirmana Dwimatra ” menerangkan bahwa garis adalah:
….garis dimulai dari sebuah titik merupakan jejak yang
ditimbulkan oleh titik–titik yang digerakan atau merupakan
sederetan titik-titik yang berhimpitan juga merupakan suatu
goresan/sapuan yang sempit dan panjang sehingga
membentuk benang/pita. Wujud suatu garis terdiri dari garis
aktual/ garis formal (grafis, tergambar, sungguh, nyata,
kongkrit) dan garis ilusif/ sugestif (khayal, semu)…
(Hakim, 1997: 42).
Penciptaan karya seni grafis dengan teknik cetak tinggi, penulis
menggunakan beberapa jenis garis dalam mewujudkan suatu bentuk yang
diinginkan. Garis ilusif muncul adanya batasan bentuk atau warna,
sedangkan garis aktual terbentuk dari cukilan ekspresif yang dibuat pada
hardboard.
2. Warna
Tanpa adanya cahaya maka tidak akan terjadi warna, itu pun
berlaku pada karya seni, tanpa adanya cahaya maka karya tersebut tidak
akan menampakkan warna. Warna merupakan pantulan cahaya dan warna
24
menjadi terlihat karena adanya cahaya yang menimpa pada suatu benda
(Sunyoto, 2009: 12).
Sedangkan Suryo Suradjijo dalam bukunya yang berjudul “ Filsafat
Seni II “ menjelaskan bahwa:
….warna dapat dibedakan dalam 2 pengertian warna
sebagai fenomena dan warna sebagai bahan yang berasal
dari pigmen warna, warna merupakan salah satu unsur
ekspresif karena kualitasnya begitu mempesona langsung
kepada emosi penghayatan. Rata-rata penghayat karya seni
tidak akan mempermasalahkan warna secara rasional,
apabila warna itu menstimulus secara tiba-tiba yang akan
bereaksi sikap emosionalnya. Warna cenderung
berhubungan dengan wilayah ataktif dan kognitif. Herbert
Read membedakan penggunaan warna cara heraldis,
harmonis, dan murni. Cara heraldis hanya digunakan pada
pengembangan yang bersifat simbolisme. Misalnya lukisan
pada abad tengah dimana penggunaan warna banyak
ditentukan oleh kaidah-kaidah gereja… (Suradjijo, 2000:
73).
Pewarnaan pada bentuk karya seni grafis, penulis menggunakan
warna-warna cerah pada backgroundnya dan monochrome pada objeknya.
Penulis memilih warna-warna tersebut karena dianggap dapat mewakili
konsep penulis yang menampilkan kembali nuansa masa lampau di era
kontemporer.
3. Tekstur
Tekstur adalah kesan halus atau kasar permukaan yang ditampilkan
pada sebuah karya. Berdasarkan macamnya tekstur dibagi menjadi dua
yaitu, tekstur nyata, nilai permukaan yang sama secara visual mata dengan
rabanya. Tekstur semu, nilai permukaan yang berbeda secara visual mata
dengan rabanya (Bahari, 2008: 101).
25
Sedangkan Suryo Suradjijo dalam bukunya yang berjudul “ Filsafat
Seni II “ menjelaskan bahwa:
….tekstur dibatasi sebagai rasa permukaan dari suatu
bidang objek atau penggambaran dari sifat permukaan
disebut aktual apabila rasa permukaan itu secara nyata
apabila diraba. Selain tekstur aktual didapatkan semu atau
sering disebut juga simulated texture atau tekstur buatan.
Tekstur jenis ini didapatkan bukan karena permukaan yang
rata atau tidak tetapi disebabkan karena gambaran-
gambaran garis atau mungkin juga permainan pola gelap
terang yang terciptakan oleh permukaan tekstur. Semua
merupakan usaha seniman untuk menipu penghayatan,
sehingga mengesankan adanya sifat permukaan tertentu…
(Suradjijo, 2000: 72).
Ada dua jenis tekstur dalam seni rupa yaitu tekstur semu/ buatan
dan tekstur aktual/ nyata. Berkaitan dalam karya seni grafis yang
diciptakan, penulis menggunakan tekstur semu dan tekstur nyata disetiap
karyanya. Tekstur semu ini terbentuk dari efek cukilan, sedangkan tekstur
nyata terbentuk dari hasil cetakan pada hardboard.
4. Bidang
Bidang (shape) adalah suatu bentuk yang sekelilingnya dibatasi
oleh garis. Secara umum garis dikenal dalam dua jenis bidang yaitu bidang
geometri dan organis. Bidang geometri seperti lingkaran, atau bulatan, segi
empat, segi tiga dan segi lainya, sementara bidang organis dengan bentuk
bebas yang terdiri dari aneka bentuk yang tidak terbatas (Bahari, 2008:
100).
Sedangkan Mikke Susanto dalam bukunya yang berjudul “Diksi
Rupa Kumpulan Istilah-Istilah Seni Rupa” menjelaskan bahwa ruang atau
bidang adalah suatu yang mempunyai keleluasaan yang digolongkan
dalam bentuk ruang atau bidang positif dan negatif. Ruang positif adalah
26
ruang yang dibatasi oleh suatu batas tepi berupa garis, sedangkan ruang
negatif adalah ruang yang berada disekitar ruang positif, keduanya saling
berinteraksi atau dengan yang lainya menyebabkan adanya hubungan-
hubungan ruang atau bidang dalam suatu susunan. (Susanto, 2002: 97).
Penerapan bidang dalam karya seni grafis, penulis menggunakan
bidang organis yang muncul adanya pewarnaan dan efek cukilan yang tak
beraturan serta bidang geometri yang terbentuk pada batasan gambar dan
objek-objek tertentu.
g. Deformasi
Mikke Susanto dalam bukunya yang berjudul “Diksi Rupa
Kumpulan Istilah-Istilah Seni Rupa” menjelaskan bahwa deformasi
adalah:
….pengolahan objek suatu karya akan terjadi perubahan
wujud sesuai dengan konsep, tema, dan latar belakang
seniman. Perubahan susunan yang dilakukan dengan
sengaja oleh seniman dengan tujuan menemukan hal yang
baru, sehingga menghasilkan figur semula atau yang
sebenarnya, yang seperti ini biasa disebut dengan istilah
deformasi. Adapun cara pengubahan bentuk antara lain,
seperti simplikasi atau penyederhanaan, distorsi atau
pembiasan, destruksi atau perusakan, stilasi atau
penggayaan, dan kombinasi semua susunan bentuk
terebut… (Susanto, 2002: 98).
Sedangkan menurut M. Wisnu Jadmika, S.Pd. dalam tulisanya
yang berjudul “Modul Seni Rupa SMP VII” menjelaskan bahwa deformasi
ialah mengubah atau memisah-misahkan bagian-bagian bentuk tetapi tidak
meninggalkan kesatuan atau keselarasan (https://wisnujadmika.wordpress.
com/tag/deformasi/. Diakses tanggal 01/02/2017 pukul 02.30 WIB).
Penulis dalam beberapa karya ini mendeformasikan objek-objek tertentu
27
yang disesuai dengan bentuk-bentuk instrumen gamelan sehingga tidak
hanya terkesan memindahkan objek kebidang gambar.
B. Sumber Ide
Penulis menjadikan salah satu karya Vladimir Kush, Alfin Agnuba dan
Darbotz sebagai salah satu acuan refrensi dalam proses penciptaan karya seni.
Berikut ini beberapa penjelasan beserta contoh karya seniman yang menjadi
acuan penulis dalam berkarya seni:
1. Vladimir Kush
Gambar 2.4 African Sonata, 53 cm x 60 cm, Cat Minyak diatas Kanvas
Sumber: http://kerryborowskiphoto.blogspot.co.id/2011/10/sarolta-ban-sonata-ban-is-only-
twenty.html.
Diakses tanggal 12/10/2016 pukul 23:02 WIB.
Vladimir Kush merupakan seorang pelukis dari Rusia yang beraliran
surealisme. Pada usia 17 tahun Vladimir memasuki Moscow Higher Art
and Craft Shool. Setelah lulus dari Institute of Fine Arts, Vladimir memulai
karirnya dengan menggelar pameran di Jerman, Amerika, Hongkong dan
kini Vladimir membuka galerinya yang diberi nama Kush Fine Art yang
28
tersebar empat lokasi di Amerika Serikat (http://sikatxdesign.
blogspot.co.id/2012/11/surealisme-vladimir-kush.html. Diakses tanggal
12/10/2016 pukul 21.33 WIB).
Penulis tertarik dengan karya Vladimir karena karya karyanya selalu
imajinatif memunculkan bentuk bentuk yang dideformasikan dengan
simbol-simbol tertentu sehingga dalam visualisasinya tidak terkesan semata-
mata hanya memindahkan objek ke kanvas saja. Salah satu contohnya dalam
karya yang berjudul “African Sonata”, Vladimir mendeformasikan kepala
gajah dan tumbuhan menjadi terompet dan masih banyak lagi karya-
karyanya yang di deformasi dengan bentuk-bentuk yang imajinatif.
2. Alfin Agnuba
Gambar 2.5 Screenprint & Digitalprint, 1/10, ‘Escher Terror’, Alfin Agnuba, 2013
Sumber: http://nunukambarwati.blogspot.co.id/2014/04/koleksiku-karya-alfin-agnuba.html.
Diakses tanggal 08/10/2016 pukul 18:38 WIB.
Alfin Agnuba adalah seniman grafis muda asal Yogyakarta. Karya
karyanya sering dijumpai di pameran seni grafis seperti: Trienale Seni
29
Grafis Indonesia, Jogja International Mini Print Festival, dan ia juga pernah
mengadakan pameran tunggal di Rumah Tembi Budaya. Masih banyak lagi
pameran-pameran yang ia ikuti tidak hanya pameran khusus seni grafis saja.
Karya Alfin yang berjudul “Escher Terror” ini tentang dunia
paralelnya Mc Escher seniman grafis perspektif. Alfin merespon atas gejala
perspektif yang telah Escher ciptakan. Karakter paling depan yang seolah-
olah keluar dari batas media gambar sengaja Alfin munculkan sebagai
pengacau bentuk yang telah menjadi sejarah. Bawasanya pada saat ini tidak
ada lagi batasan kaku yang mengharuskan seniman grafis harus terus intens
dengan pedoman konvensional yang telah dibakukan. Bagi alfin karya
tersebut merupakan bentuk pelampiasan kejenuhannya di dunia akademis
yang dituntut harus selalu baku akan pakem-pakem seni grafis
(http://nunukambarwati.blogspot.co.id/2014/04/koleksiku-karya-alfin-
agnuba.html. Diakses tanggal 08/10/2016 pukul 18:38 WIB).
Ketertarikan penulis terhadap karya karya Alfin Agnuba adalah dari
segi komposisi yang ia tampilkan dengan objek yang keluar dari batas
media gambar. Hal tersebut yang menginspirasi penulis untuk menampilkan
objek objek yang keluar dari batas media yang telah ditentukan.
3. Darbotz
Darbotz, bagi pecinta seni jalanan sudah tidak asing lagi. Ia adalah
salah satu pendiri dari Tembok Bomber yakni salah satu seni jalanan
terbesar di Indonesia. Street Art asal Jakarta ini memulai kiprahnya sejak
2004 silam. Saat ini Darbotz cukup sering muncul di acara-acara besar, baik
dalam skala nasional maupun internasional. Sebut saja Artotel Surabaya,
30
Levis, dan Da Vinci, nama-nama tersebut menggandeng Darbotz untuk
berkolaborasi dengan produk mereka. Bagi sebagian orang, khususnya
seniman grafiti, nama Darbotz begitu melegenda. Tidak hanya di dalam
negeri, juga di luar negeri. Sebagai street artist, karya-karyanya telah
dipamerkan di berbagai negara seperti di Singapura, Malaysia, Hongkong,
Australia sampai Prancis. Bahkan, salah satu karyanya juga dikoleksi oleh
Mizuma Gallery di Singapura. Yang menarik dari sosok Darbotz adalah
inspirasinya. Darbotz merupakan sosok muda yang mengejar kebahagian
dalam hidup dan menjadi sebuah kesuksesan. Sementara yang lain, berpacu
mengejar kesuksesan, tetapi mengorbankan kebahagian dalam hidup
(https://inspiratorfreak.com/darbotz-street-artist-indonesia-yang-mendunia-
karena-monster/ Diakses tanggal 09/11/2016 pukul 13:50 WIB).
Gambar 2.6 Super Tiling, 100 cm x 200 cm, graffiti, 2015
Sumber: Instagram Darbotz
Diakses tanggal 09/11/2016 pukul 13:58 WIB.
Karakter alter ego Darbotz adalah berbentuk cumi. Karakter tersebut
dinilainya memiliki sifat yang keras dan tangguh seperti ibukota Jakarta
yang sangat dicintainya. Baginya kemacetan, lalu lintas yang ribet,
kekacauan kota membuatnya terinspirasi dalam membuat karya. Usai
31
membuat karya, ia tidak pernah menyisipkan tanda tangan sebagai identitas
si pembuatnya. Namun, melalui karakter cumi itu sendiri yang merupakan
identitas dari Darbotz (Darbotz, 2010: 6 ).
Pola cumi-cumi ditemukan darbotz setelah pencarian yang cukup
lama. Hampir sepuluh tahun ini, ia mengumpulkan buku yang biasa ia pakai
sebagai tempatnya mengasah ketrampilan mencoret, menautkannya dengan
diri sendiri kala ia merasa dunia membuatnya hilang arah. Tentu motif-motif
ini tidak bisa disebut sebagai sesuatu yang lahir dari penciptaan ulang atas
simbol-simbol yang mengandung makna semiotis, melainkan lebih sebagai
hasil dari kerja kerajinan tangan si seniman. Darbotz tidak punya pretensi
untuk terlibat dalam isu-isu besar yang sering kita temukan pada mereka
yang belajar di sekolah seni. Pola yang ia ciptakan menunjukkan kombinasi
yang menarik antara spontanitas, olah desain, serta permainan warna yang
minimal, sehingga meskipun bermain ornamen ia tidak terjebak pada
kecenderungan menjadi karya dekoratif (Darbotz, 2010: 6 ).
Ketertarikan penulis terhadap karya karya Darbotz adalah dari segi
permainan warna yang minimal sehingga terkesan sederhana dan tidak
ramai walaupun figur yang ditampilkan sangat rumit. Hal tersebut yang
menginspirasi penulis untuk menampilkan pewarnaan yang sederhana
namun tetap menyesuaikan figur yang ditampilkan.