Post on 25-Mar-2021
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pelajaran IPA
2.1.1 Pengertian IPA
Ilmu pengetahuan alam (IPA) merupakan bagian dari ilmu pegetahuan atau
sains yang semula berasal dari bahasa Inggris ‘scince’, Trianto (2010:136). Kata
‘science’ sendiri berasal dari kata dalam Bahasa Latin ‘scientia’ yang berarti tahu.
Menurut Trianto (2010:136) dalam perkembangannya science sering diterjemahkan
sebagai sains yang berarti Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) saja. Walaupun
pengertian ini kurang pas dan bertentangan dengan etimologi.
Menurut Trianto (2010:136) IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan
tersusun secara sistematik dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada
gejala-gejala alam. Perkembangannya tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan
fakta, tetapi oleh adanya metode ilmiah dan sikap ilmiah lebih lanjut menurut pada
hakikatnya IPA dibangun atas dasar produk ilmiah, proses ilmiah dan sikap ilmiah.
Menurut Trianto (2010:141) dalam bukunya model Pembelajaran Terpadu
dijelaskan bahwa hakikat IPA adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-
gejala melalui serangkaian proses yang dikenal dengan proses ilmiah yang
dibangun atas dasar sikap ilmiah dan hasilnya terwujud sebagai produk ilmiah yang
tersusun atas tiga komponen terpenting berupa konsep, prinsip dan teori yang
berlaku secara universal.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut penulis menyimpulkan IPA adalah
suatu kumpulan teori yang sistematis, penerapannya secara umum terbatas pada
gejala-gejala alam, lahir dan berkembang melalui metode ilmiah seperti observasi
dan eksperimen serta menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka jujur.
Dengan begitu, pendidikan IPA di SD diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa
untuk mempelajari dairi dan alam sekitar.
7
2.1.2 Prinsip dan Tujuan Pembelajaran IPA
Tujuan mata pelajaran IPA menurut Permendiknas nomor 22 tahun 2006
adalah sebagai berikut:
1. Memperoleh keyakinan terhadap kebeseran Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan dan ciptaan Nya
2. Mengembangkan pegethuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang
adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan,
teknologi dan masyarakat.
4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,
memecahkan masalah, dan membuat keputusan.
5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga
dan melestarikan lingkungan.
6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala
keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
Menurut Kurikulim Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 ruang lingkup
mata pelajaran IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut:
1) Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan,
dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan.
2) Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas.
3) Energi dan perubahannya, yang meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet,
listrik, cahaya dan pesawat sederhana.
4) Bumi dan alam semesta, yang meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-
benda langit lainnya.
Ruang lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi (1) makhluk hidup
dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan, dan interaksinya dengan
lingkungan, serta kesehatan, (2) benda/materi, sifat-sifat dan kegunaanya meliputi:
cair, padat, dan gas, (3) energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas,
8
magnet, listrik, cahaya dan pesawat sederhana, (4) bumi dan alam semesta,
meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya (BNSP: 2006).
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
pengajaran IPA mempunyai tujuan untuk menanamkan sikap ilmiah pada siswa dan
nilai positif melalui proses IPA dalam memecahkan masalah. Siswa akan selalu
tertarik dengan lingkungan dan siswa akan mengenal, serta dapat memanfaatkan
lingkungan sebagai sumber ilmu dan sumber belajar. Demikian juga dalam diri
siswa akan dapat mengembangkan pikiran melalui lingkungan yang banyak
memberikan pengalaman terhadap diri siswa dengan cara berinteraksi langsung dan
dapat dirasakan siswa.
2.2 Metode Discovery Learning
Metode Discovery learning menurut Suryosubroto (2002) (Prayitno, 2008)
diartikan sebagai suatu prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran
perseorangan, manipulasi obyek dan lain-lain, sebelum sampai kepada generalisasi
Sund (1975) (Prayitno, 2008) mengatakan bahwa Discovery adalah proses mental
dimana siswa mengasimilasi sesuatu konsep atau sesuatu prinsip. Proses mental
tersebut misalnya mengamati, menggolongkan, membuat dugaan, menjelaskan,
mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya. Metode Discovery adalah cara
penyajian pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
menemukan informasi dengan atau tanpa bantuan guru. ( Mulyani Sumantri, 2001).
hal ini sesuai untuk anak jenjang sekolah dasar yang harus diutamakan adalah
bagaimana mengembangkan rasa ingin tahu dan daya kritis anak terhadap suatu
masalah (Mahar Marjono, 1996).
Pendapat lain mengatakan bahwa metode Discovery Learning adalah
penyajian bahan ajar dengan menghadapkan siswa pada suatu masalah, untuk
menemukan penyebabnya dengan melalui pelacakan data atau informasi pemikiran
logis, kritis, dan sistematis dalam rangka mencapai tujuan pengajaran (Widi
Rahardja, 2002:75).
9
Jadi dapat disimpulkan bahwa metode Discovery Learning adalah cara
penyajian pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
menemukan informasi tanpa bantuan gurudengan menghadapkan siswa pada suatu
masalah, untuk menemukan penyebabnya dengan melalui pelacakan data atau
informasi pemikiran logis, kritis, dan sistematis dalam rangka mencapai tujuan
pengajaran, dengan membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat
kesimpulan, dan sebagainya.
Langkah-langkah metode Discovery menurut Gilstrap (1975) (dalam Prayitno,
2008) adalah: (a) Menilai kebutuhan dan minat siswa, dan menggunakannya sebagai
dasar untuk menentukan tujuan yang berguna dan realities untuk mengajar dengan
penemuan; (b) Seleksi pendahuluan atas dasar kebutuhan dan minat siswa, prinsip-
prinsip, generalisasi, pengertian dalam hubungannya dengan apa yang akan dipelajarai;
(c) Mengatur susunan kelas sedemikian rupa sehingga memudahkan terlibatnya arus
bebas pikiran siswa dalam belajar dengan penemuan; (d) Berkomunikasi dengan siswa
akan membantu menjelaskan peranan penemuan; (e) menyiapkan suatu situasi yang
mengandung masalah yang minta dipecahkan; (f) Mengecek pengertian siswa tentang
maslah yang digunakan untuk merangsang belajar dengan penemuan; (g) Menambah
berbagai alat peraga untuk kepentingan pelaksanaan penemuan; (h) memberi
kesempatan kepada siswa untuk bergiat mengumpulkan dan bekerja dengan data,
misalnya tiap siswa mempunyai data harga bahan-bahan pokok dan jumlah orang yang
membutuhkan bahan-bahan pokok tersebut; (i) Mempersilahkan siswa mengumpulkan
dan mengatur data sesuai dengan kecepatannya sendiri, sehingga memperoleh tilikan
umum; (j) Memberi kesempatan kepada siswa melanjutkan pengalaman belajarnya,
walaupun sebagian atas tanggung jawabnya sendiri; (k) memberi jawaban dengan cepat
dan tepat sesuai dengan data dan informasi bila ditanya dan diperlukan siswa dalam
kelangsungan kegiatannya; (l) Memimpin analisisnya sendiri melalui percakapan dan
eksplorasinya sendiri dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi
proses; (m) Mengajarkan ketrampilan untuk belajar dengan penemuan yang
diidentifikasi oleh kebutuhan siswa, misalnya latihan penyelidikan; (n) Merangsang
interaksi siswa dengan siswa, misalnya merundingkan strategi penemuan,
mendiskusikan hipotesis dan data yang terkumpul; (o) Mengajukan pertanyaan tingkat
tinggi maupun pertanyaan tingkat yang sederhana; (p) Bersikap membantu jawaban
siswa, ide siswa, pandanganan dan tafsiran yang berbeda. Bukan menilai secara kritis
tetapi membantu menarik kesimpulan yang benar; (q) Membesarkan siswa untuk
memperkuat pernyataannya dengan alas an dan fakta; (r) Memuji siswa yang sedang
bergiat dalam proses penemuan, misalnya seorang siswa yang bertanya kepada
temannya atau guru tentang berbagai tingkat kesukaran dan siswa siswa yang
mengidentifikasi hasil dari penyelidikannya sendiri; (s) membantu siswa menulis atau
merumuskan prinsip, aturan ide, generalisasi atau pengertian yang menjadi pusat dari
10
masalah semula dan yang telah ditemukan melalui strategi penemuan; (t) Mengecek
apakah siswa menggunakan apa yang telah ditemukannya, misalnya teori atau teknik,
dalam situasi berikutnya, yaitu situasi dimana siswa bebas menentukan pendekatannya.
Sedangkan langkah-langkah menurut (Prayitno 2008) adalah ; (a) identifikasi
kebutuhan siswa; (b) Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian, konsep
dan generalisasi yang akan dipelajari; (c) Seleksi bahan, dan problema serta tugas-tugas;
(d) Membantu memperjelas problema yang akan dipelajari dan peranan masing-masing
siswa; (e) Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan; (f) Mencek
pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan tugas-tugas siswa; (g)
Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan penemuan; (h) Membantu siswa
dengan informasi, data, jika diperlukan oleh siswa, (i) memimpin analisis sendiri
dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi proses; (j) Merangsang
terjadinya interaksi antar siswa dengan siswa; (k) memuji dan membesarkan siswa yang
bergiat dalam proses penemuan; (l) Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan
generalisasi atas hasil penemuannya
Adapun langkah-langkah pembelajaran dengan metode Discovery menurut
Walter Klinger, SEQIP (1997) (dalamWahyudi, 2008) adalah sebagai berikut:
1. Motivasi, bertujuan menuntun siswa kearah materi pendidikan, untuk
membangkitkan rasa ingin tahu siswa, antusiasme dan kesediaan belajar siswa
2. Perumusan masalah, bertujuan memfokuskan perhatian siswa agar mengenali
masalah yang akan dibahas.
3. Penyusunan opini-opini, siswa berdasarkan penagalaman atau iterpretasinya
sehingga dapat memberikan.
4. Perencanaan, bertujuan merencanakan dan mengkontruksi suatu perangkat
percobaan yang berfungsi, yang memungkinkan verifikasi atau penolakan hipotesa
dan penentuan saling keterkaitan antara parameter –parameter yang relevan.
5. Pelaksanaan percobaan, langkah percobaan merupakan titik perhatian pengajaran
fisika. Jawaban terhadap pertanyaan ilmiah disini akhirnya akan ditemukan melalui
pengalaman percobaan menggunakan peralatan yang khusus dikembangkan untuk
tujuan ini.
6. Kesimpulan, suatu generalisasi dari hasil percobaan yang akan membawa
pengetahuan ilmiah yang baru.
7. Abstraksi, abstraksi merupakan perumusan pengetahuan terperinci tertentu yan
peroleh melalui kasus khusus dalam rangka melakukan penelitian untuk mencapai
syarat-syarat umum. Abstraksi merupakan suatu idealisasi dan suatu generalisasi
sejumlah pernyataan yang menggunakan istilah-istilah teknis terperinci dan
konsep-konsep yang tepat.
8. Konsolidasi pengetahuan, bertujuan agar siswa semakin menguasai pengetahuan
yang baru diperoleh, untuk memungkinkan integrasi dan internalisasi pengetahuan
itu kedalam struktur pengetahuan yang sudah ada.
11
Berdasarkan Ketiga macam langkah-langkah tersebut peneliti menyusun
mengkombinasikan dan menyimpulkan langkah- langkah penggunaan metode
Discovery adalah sebagai berikut:
1. Memotivasi siswa
2. Mengidentifikasi dan Merumuskan masalah dari seleksi masalah yang ada
3. Menyusun opini, problema serta tugas-tugasnya
4. Komunikasi dengan siswa untuk memperjelas problema yang akan dipelajari
5. Merencanakan dan konstruksi alat
6. Menyiapkan suatu kondisi yang mengandung masalah untuk di pecahkan
7. Mengecek pengertian dan pemahaman siswa
8. Memberi kesempatan siswa untuk menemukan
9. Memberi kesempatan kepada siswa untuk bergiat mengumpulkan dan bekerja
dengan data, dan informasi yang ada
10. Siswa melakukan analisis sendiri
11. Memberi pujian pada siswa.
12. Merangsang interaksi antar siswa
13. Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atas hasil
penemuannya
14. Menyimpulkan Konsolidasi pengetahuan, untuk memungkinkan integrasi dan
internalisasi pengetahuan itu kedalam struktur pengetahuan yang sudah ada.
2.3 Pengertian Media Pembelajaran
Media pembelajaran adalah suatu alat bantu yang digunakan oleh guru agar
kegiatan belajar berlangsung secara efektif. (Sadiman, 2006:7) Media adalah segala
sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima
sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian
siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Menurut Briggs (Sadiman,
2006: 6) berpendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan
pesan serta merangsang siswa untuk belajar. Menurut Trianto (2010:199) Media
sebagai komponen strategi pembelajaran merupakan wadah dari pesan yang oleh
sumber atau penyalurnya ingin diteruskan kepada sasaran atau penerima pesan
12
tersebut, dan materi yang ingin disampaikan adalah pesan pembelajaran, dan bahwa
tujuan yang ingin dicapai adalah terjadinya proses belajar.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, maka peneliti
menyimpulkan bahwa media pembelajaran adalah suatu alat bantu yang digunakan
oleh guru untuk menunjang keberhasilan proses pembelajarn serta merangsang
siswa untuk bergairah dalam belajar.
2.3.1 Jenis-jenis Media Pembelajaran
Media meliputi semua sumber belajar yang dibutuhkan oleh siswa untuk
meningkatkan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. Media pembelajaran
mempunyai banyak jenisnya, yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan guru
dan diperlukan saat kegiatan belajar berlangsung. Rudi & Breatz (dalam Trianto
2010: 201) mengklasifikasikan media kedalam tujuh komponen media, yaitu: a)
media audio visual gerak, b) media audio visual diam, c) media audio semi gerak,
d) media visual gerak, e) media visual diam, f) media audio, dan g) media cetak.
Menurut Asyhar (2012: 44) ada empat jenis media pembelajaran, yaitu: a)
Media visual, yaitu jenis media yang digunakan hanya mengandalkan indera
penglihatan semata-mata dari peserta didik, misalnya: media visual non proyeksi
(benda realita, model protetif, dan grafis), dan media proyeksi (power point, paint
dan auto cad), b) Media audio, yaitu jenis media yang digunakan dalam proses
pembelajaran dengan hanya mengandalkan indera pendengaran siswa, misalnya:
radio, pita kaset suara, dan piringan hitam, c) Media audio-visual, yaitu jenis media
yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dengan melibatkan pendengaran dan
penglihatan sekaligus dalam satu proses atau kegiatan, misalnya: video kaset dan
film bingkai, d) Multimedia, yaitu media yang melibatkan beberapa jenis media dan
peralatan secra terintegrasi dalam suatu proses atau kegiatan pembelajaran,
misalnya: TV dan power point.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan bahwa jenis-
jenis media yang dapat diterapkan dalam pembelajaran dikelas sangatlah beragam.
Guru dapat mempergunakan media realia tersebut sesuai dengan kebutuhannya.
Dalam hal ini peneliti mempergunakan media realia yang dikhususkan pada media
13
realia dalam metode Discovery Learning. Karena media realia dinilai dapat
mengaktifkan kegiatan belajar siswa pada pembelajaran IPA.
Menurut Sudono (2008:44) agar tujuan pembelajaran tercapai dan tercapainya
proses belajar mengajar yang tidak mmembosankan, guru dapat menggunakan
media secara tepat. Digunakanya media realia dalam pembelajaran IPA yaitu agar
dapat menjembatani antara konsep konsep materi yang abstrak menjadi konkrit,
sehingga anak dapat memahami materi yang disajikan guru. Untuk itu, maka
penggunaan media dalam proses pembelajaran diperlukan demi terciptanya tujuan
pembelajaran secara optimal.
Media realia merupakan benda nyata yang digunakan sebagai bahan ajar dan
memberikan pemahaman langsung bagi siswa. Menurut Kemp (Winnuly, 2013: 2)
media realia merupakan bentuk nyata dari orang, benda dan alat nyata serta model
tiruan benda ali yang diperkecil maupun diperbesar sesuai kebutuhan dalam
pembelajaran. Media realia berfungsi sebagai pendukung terlaksananya
pembelajaran menggunakan pendekatan scientific sehingga pengalaman siswa
bersifat langsung dan nyata. Siswa memperoleh pengalaman pembelajaran yaitu
dapat meraba dan menyentuh secara langsung sehingga pemahaman lebih
meningkat.
Ada berbagai cara dan sudut pandang untuk menggolong-golongkan jenis
media. Sebagai contoh adalah klasifikasi media pembelajaran yang dikemukakan
oleh Henich dkk (1996 dalam Rahadi, 2004: 19) yang mengklasifikasikan media
sebagai berikut :
Media yang tidak diproyeksikan, yaitu media yang sering disebut media pameran
atau diplayed media. Jenis media ini yang tidak diproyeksikan antara sebagai berikut :
a) Media realia, yaitu benda nyata yang digunakan sebagai bahan atau sumber
belajar. Pemanfaatan media realia tidak harus dihadirkan secara nyata dalam ruang
kelas, melainkan dapat juga dengan cara mengajak siswa melihat langsung
(observasi) benda nyata tersebut ke lokasinya. Media realia sangat bermanfaat
terutama bagi siswa yang tidak memiliki pengalaman terhadap benda
tertentu. Selain observasi dalam kondisi aslinya, penggunaan media realia juga
dapat dimodifikasi. Modifikasi media realia bias berupa: potongan benda
(cuteways), benda contoh (specimen), dan pameran (exhibit).
b) Media model diartikan sebagai benda tiruan dalam wujud tiga dimenasi yang
merupakan representasi dari benda yang sesungguhnya. Penggunaan model
sebagai media dalam pembelajaran dimaksudkan untuk mengatasi kendala tertentu
14
untuk pengadaan realia. Model suatu benda dapat dibuat dengan ukuran yang lebih
besar, lebih kecil atau sama dengan benda yang sesungguhnya.
Dalam penelitian media realia yang digunakan adalah bentuk tiruan bumi
yang akan digunakan dalam pembelajaran dengan tujuan untuk mempermudah
peserta didik dalam mengingat materi tersebut.
2.3.2 Pedoman Umum Penggunaan Media dalam Proses Pembelajaran
Miarso (2007) mengutarakan bahwa dalam usaha menggunakan media dalam
proses belajar-mengajar, perlu diberikan sejumlah pedoman umum sebagai
berikut:
Tidak ada suatu media yang terbaik untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran.
Masing-masing media mempunyai kelebihan dan kekurangan.
1. Penggunaan media harus didasarkan pada tujuan pembelajaran yang hendak dicapai.
2. Penggunaan media harus mempertimbangkan kecocokan ciri media dengan
karakteristik materi pelajaran yang disajikan.
3. Penggunaan media harus disesuaikan dengan bentuk kegiatan belajar-mengajar yang
akan dilaksanakan seperti belajar secara klasikal, belajar dalam kelompok kecil,
belajar secara individual atau belajar mandiri.
4. Penggunaan media harus disertai persiapan yang cukup seperti mem-preview media
yang akan dipakai, mempersiapkan berbagai peralatan yang dibutuhkan di ruang kelas
sebelum pelajar dimulai dan sebelum peserta masuk kelas.
5. Peserta didik perlu disiapkan sebelum media pembelajaran digunakan agar mereka
dapat mengarahkan perhatian pada hal-hal penting selama penyajian dengan media
berlangsung.
6. Penggunaan media harus diusahakan agar senantiasa melibatkan partisipasi aktif
peserta.
2.4 Pengertian Media Nyata (Realia)
Benda nyata (real thing) merupakan alat bantu yang paling mudah
penggunaannya, karena kita tidak perlu membuat persiapan selain langsung
menggunakannya. Yang dimaksud dengan benda nyata sebagai media adalah alat
penyampaian informasi yang berupa benda atau obyek yang sebenarnya atau asli
dan tidak mengalami perubahan yang berarti. Sebagai obyek nyata, realia
merupakan alat bantu yang bisa memberikan pengalaman langsung kepada
pengguna. Oleh karena itu, realia banyak digunakan dalam proses belajar mengajar
sebagai alat bantu memperkenalkan subjek baru. Realia mampu memberikan arti
15
nyata kepada hal-hal yang sebelumnya hanya digambarkan secara abstrak yaitu
dengan kata-kata atau hanya visual.
2.4.1 Bentuk Realia
Bentuk realia sama dengan benda sebenarnya yang tidak mengalami
perubahan sama sekali dan dapat digunakan untuk keperluan pembelajaran. Akan
tetapi, kesulitan kadang timbul dalam menghadirkan realia secara utuh yang
disebabkan oleh ukuran yang terlalu besar atau sulit ditemukan di lingkuangan
sekitar, oleh karena itu, beberapa modifikasi seringkali harus dilakukan.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memodifikasi benda nyata
untuk keperluan pembelajaran:
1) Dengan cara memotong bagian tertentu dari realia jika berukuran terlalu besar.
Dalam memotong realia perhatikan agar bagian yang dipotong tidak merusak
benda tersebut sebagai media yang dapat dipelajari oleh siswa.
2) Dengan cara mengawetkan realia hidup jika benda tersebut berbahaya atau
lekas rusak jika digunakan dalam kelas, misalnya penggunaan satwa atau
tumbuhan sebagai media pembelajaran. Satwa yang berbahaya perlu
ditempatkan di tempat tertentu atau diawetkan terlebih dahulu sebelum
digunakan sebagai sarana observasi oleh siswa.
3) Dengan menampilkan beberapa jenis realia secara bersama-sama, ditambah
dengan informasi tercetak yang kesemuanya yang dapat menggambarkan suatu
topik tertentu. Cara ini disebut juga dengan istilah eksibisi atau pameran realia.
2.4.2 Karakteristik Realia
Dalam dunia pendidikan, realia sering dianggap sebagai media informasi
yang paling mudah diaskes dan menarik. Sebagai media informasi, realia mampu
menjelaskan hal-hal yang abstrak dengan hanya sedikit atau tanpa keterangan
verbal. Dengan berinteraksi langsung dengan realia, diharapkan hal-hal yang
kurang jelas, apabila diterangkan secara verbal akan menjadi jelas. Realia memiliki
kemampuan untuk merangsang imajinasi pengguna dengan membawa kehidupan di
dunia nyata ke dalam perpustakaan ataupun ke dalam kelas.
Realia akan sangat membantu apabila digunakan dalam suatu proses
memperoleh informasi dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan melalui
16
pengalaman sendiri atau sering disebut sebagai tujuan kognitif. Dalam proses ini,
realia dilibatkan sebagai suatu obyek nyata yang belum dikenal dan para pengguna
akan belajar untuk mengenalnya. Realia dapat memberikan pengguna pengalaman
langsung dan nyata; pengalaman keindahan yang tidak bisa didapat melalui media
lain. Untuk memungkinkan suatu realia ditampilkan dalam suatu ruangan kadang
sangat sulit karena ukuran yang terlalu besar (contoh: lokomotif, pesawat, mobil),
atau terlalu kecil (contoh: kuman) atau memang tidak memungkinkan untuk
ditampilkan (contoh: bulan). Kadangkala menghadirkan realia dapat berbahaya
misalnya menampilkan ular. Cara mengatasinya dapat menggunakan ular mati yang
telah diawetkan agar pengguna bisa mengamati dengan aman. Dengan jalan ini,
pengguna masih merasakan pengalaman langsung.
Sebagai media pembelajaran, realia memiliki potensi untuk digunakan dalam
berbagai topik mata pelajaran. Realia mampu meemberikan pengalaman belajar
langsung (Hands on Experience) bagi siswa. Dengan menggunakan benda nyata
sebagai media, siswa dapat menggunakan berbagai indera untuk mempelajari suatu
objek. Siswa dapat melihat, meraba, mencium, bahkan merasakan objek yang
tengah dipelajari. Dalam menggunakan realia, pengguna dituntut kemampuannya
menginterpretasikan hubungan-hubungan tentang benda yang sesungguhnya.
Selain memiliki potensi sebagai media pembelajaran, realia juga memiliki
keterbatasan. Salah satu keterbatasan realia adalah adanya kemungkinan siswa
mempunyai interpretasi yang berbeda terhadap objek yang sedang dipelajari.
Kemungkinan lain adalah informasi yang ingin disampaikan akan berbeda sehingga
tidak sesuai dengan yang diharapkan.
2.4.3 Pemilihan Realia Untuk Pembelajaran
Sebelum memilih realia yang akan digunakan, Anda harus
mempertimbangkan kemungkinan realia tersebut akan dipegang oleh siswa. Banyak
realia yang sangat rapuh. Oleh karena itu, simpanlah realia yang rapuh dalam kotak
pajangan. Idealnya, pengguna harus dapat menyentuh realia untuk mendapatkan
pengalaman yang tidak mungkin didapat dari media lain. Kalau memungkinkan,
realia tersebut disimpan dalam plastik yang tembus pandang sehingga realia dapat
diambil tanpa takut rusak. Apabila realia dianggap mahal, atau ruangan yang ada
17
tidak memadai, perpustakaan dapat memutuskan untuk tidak memiliki realia dalam
koleksinya. Pertanyaan atau permintaan tentang suatu realia dapat dilayani dengan
cara mengarahkan pengguna ke tempat lain yang memiliki realia tersebut, misalnya
ke kebun binatang untuk melihat binatang-binatang yang tidak mungkin
ditampilkan di depan kelas, ke planetarium untuk mengetahui benda-benda ruang
angkasa.
Media pembelajaran adalah alat, metode, dan teknik yang digunakan untuk
lebih mengaktifkan komunikasi dan interaksi antara guru dengan siswa dalam
proses pendidikan dan pengajaran di sekolah (Hamalik, 2001). Media pembelajaran
menurut Mappa (1994:162) “Media dapat diartikan sebagai alat bantu yang dapat
digunakan untuk menyalurkan pesan, informasi dan bahan pelajaran untuk
merangsag pikiran, perasaan, perhatian, dan keterampilan makna belajar”. Media
realia merupakan media yang ditampilkan merupakan benda nyatanya.
Pengguanaan media realia lebih mendekatkan peserta didik (penerima pesan)
dengan benda nyatanya sehingga akan semakin mudah memahaminya. ”Akan tetapi
sebenarnya suatu benda asli merupakan benda yang paling tepat guna,
dibandingkan tiruannya”. (Latuheru, 1988:52).
Media realia adalah benda nyata yang digunakan sebagai bahan atau sumber
belajar. Pemanfaatan media realia tidak harus dihadirkan secara nyata dalam ruang
kelas, melainkan dapat juga dengan cara mengajak siswa melihat langsung
(observasi) benda nyata tersebut kelokasinya (Indriana, D. 2011).
Realia dapat digunakan dalam kegiatan belajar dalam bentuk sebagaimana
adanya, tidak perlu dimodifikasi, tidak ada pengubahan kecuali dipindahkan dari
kondisi lingkungan aslinya. Ciri media realia yang asli adalah benda yang masih
dalam keadaan utuh, dapat dioperasikan, hidup, dalam ukuran yang sebenarnya, dan
dapat dikenali sebagai wujud aslinya. Media realia sangat bermanfaat terutama bagi
siswa yang tidak memiliki pengalaman terhadap benda tertentu. Misalnya untuk
mempelajari binatang langka, siswa diajak melihat badak yang ada di kebun
binatang.
18
2.4.4 Pembelajaran IPA Dengan Media Realia
Langkah-langkah Pembelajaran Media Realia
1) Guru menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai
2) Siswa diminta untuk berpikir tentang materi/permasalahan yang disampaikan
guru
3) Siswa diminta membentuk kelompok (kelompok 5-6 orang) dan
mengutarakan hasil pemikiran masing-masing dalam percobaan dengan
media realia
4) Guru bersama siswa mengamati hasil percobaan tersebut
5) Berawal dari kegiatan tersebut mengarahkan pembicaraan pada pokok
permasalahan dan menambah materi yang belum diungkapkan para siswa
6) Guru memberi kesimpulan dan menutup pembelajaran.
2.5 Pengertian Belajar
Belajar dalam idealisme berarti kegiatan psiko-fisik-sosial menuju ke
perkembangan pribadi seutuhnya. Namun, kenyataannya yang dipahami oleh
sebagian besar masyarakat tidaklah demikian. Belajar dianggapnya hanya properti
sekolah. Kegiatan belajar selalu dikaitkan dengan tugas-tugas sekolah. Sebagian
besar masyarakat menganggap belajar di sekolah adalah usaha penguasaan materi
ilmu pengetahuan. Anggapan tersebut tidak seluruhnya salah, sebab seperti
dikatakan Reber, belajar adalah the proces of acquiring knowledge. Belajar adalah
proses mendapatkan pengetahuan.
Belajar sebagai konsep mendapatkan pengetahuan dalam praktiknya yang
dianut. Guru bertindak sebagai pengajar yang berusaha memberikan ilmu
pengetahuan sebanyak-banyaknya dan peserta didik giat mengumpulkan atau
menerimanya. Proses belajar mengajar ini banyak didominasi aktivitas menghafal.
Peserta didik sudah belajar jika mereka sudah hafal dengan hal-hal yang telah
dipelajarinya (Suprijono, 2009:3). Lebih lanjut menurut (Agus Suprijono,2009)
menyatakan, bahwa belajar adalah disposisi atau kemampuan yang dicapai
seseorang melalui aktivitas. Perubahan disposisi tersebut bukan diperoleh langsung
dari proses pertumbuhan sesorang secara alamiah.
19
Menurut Trianto (2010:16) menyatakan bahwa proses belajar terjadi melalui
banyak cara baik disengaja maupun tidak disengaja dan berlangsung sepanjang
waktu dan menuju pada suatu perubahan pada diri pembelajar. Selanjutnya menurut
Slavin (2000:143) menyatakan, belajar merupakan akibat adanya interaksi antara
stimulus dan respon.
Menurut Gagne (Suprijono 2009:2) mengatakan bahwa belajar adalah
perubahan disposisi atau kemampuan yang dicapai seseorang melalui aktivitas.
Pendapat para ahli di atas tentang pengertian belajar dapat di simpulkan
bahwa, belajar merupakan proses usaha yang dilakukan seseorang secara sadar
untuk melakukan perubahan tingkah laku. Dari belajar sesorang dapat mengetahui
sesuatu yang pada dasarnya belum mereka ketahui. Belajar merupakan proses dari
tidak tahu menjadi tahu.
2.6 Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian,
sikap-sikap,apresiasi dan keterampilan. Menurut Agus Suprijono (2009: 5)
menyatakan, bahwa hasil belajar berupa :
1. Informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan-pengetahuan dalam
bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Kemampuan merespon secara spesifik
terhadap rangsangan spesifik. Kemampuan tersebut tidak memerlukan manipulasi
simbol, pemecahan masalah maupun penerapan aturan.
2. Keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang.
Keterampilan intelektual terdiri dari kemampuan mengategorisasi, kemampuan
analitis-sintesis fakta-konsep dan mengembangkan prinsip keilmuan. Keterampilan
intelektual merupakan kemampuan melakukan aktivitas kognitif bersifat khas.
3. Strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya
sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan
masalah.
4. Keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam
urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.
5. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian
terhadap objek tersebut. Sikap merpakan kemampuan menginternalisasi dan
eksternalisasi nilai-nilai sebagai standar perilaku.
Menurut (Agus Suprijono,2009:6) menyatakan, bahwa hasil belajar
mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Domain kognitif adalah
knowledge (pengetahuan, ingatan), comprehension (pemahaman, menjelaskan,
20
meringkas, contoh), application (menerapkan), analysis (menguraikan, menentukan
hubungan), synthesis (mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan
baru), dan evaluation (menilai). Domain efektif adalah receiving (sikap menerima),
responding (memberikan respons), valuing (nilai), organization (organisasi),
characterization (karakterisasi). Domain psikomotorik meliputi initiatory, pre-
rautine, dan rauntinized. Psikomotor juga mencakup keterampilan produktif,
teknik, fisik, sosial, manajerial, dan intelektual.
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh siswa untuk
memperoleh pengetahuan yang belum mereka ketahui kemudian mereka ketahui
memalui pengalaman belajarnya. Setiap individu yang belajar akan memperoleh
hasil dari apa yang telah dipelajari. Hasil belajar yaitu suatu perubahan yang terjadi
pada setiap individu yang belajar, bukan hanya perubahan mengenai pengetahuan,
tetapi juga untuk membentuk kecakapan, kebiasaan, pengertian, penguasaan, dan
penghargaan dalam diri seseorang yang belajar
2.6.1 Pentingnya Hasil Belajar
Untuk mengetahui perkembangan sudah sampai dimana hasil yang telah yang
telah diperoleh peserta didik dalam belajar, maka harus dilakukan evaluasi pada
akhir pembelajaran. Untuk menentukan kemajuan yang harus di capai maka harus
ada kriteria yang mengacu pada tujuan yang telah di tentukan sehingga dapat di
ketahui seberapa besar pengaruh strategi yang digunakan terhadap keberhasilan
peserta didik atau siswa.
Surakhmad dan Jemmars (1980 : 25) mengemukakan, bahwa keberhasilan
dalam belajar yang dilakukan oleh siswa bagi kebanyakan orang berarti ulangan,
ujian atau tes. Maksud ulangan tersebut ialah untuk memperoleh suatu indek dalam
menentukan keberhasilan siswa.
Winkel (1989:82) menyatakan, bahwa keberhasilan yang dicapai oleh siswa,
yakni adalah perstasi belajar siswa disekolah yang mewujudkan dalam bentuk
angka.
Berdasarkan pernyataan menurut para ahli diatas tentang hasil belajar, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa keberhasilan adalah hasil belajar yang diperoleh
oleh siswa yang dapat diukur dengan angka.
21
2.6.2 Pengukuran Hasil Belajar
Dilihat dari fungsinya, jenis penilaian ada beberapa macam menurut Sudjana
(2011:5) yaitu penilaian formatif, penilaian sumatif, penilaian diagnostik, penilaian
selektif dan penilaian penempatan. Dalam penelitian ini penilaian yang dilakukan
adalah penilaian formatif yaitu penilaian yang dilaksanakan pada akhir program
belajar-mengajar untuk melihat tingkat keberhasilan proses belajar mengajar. Dari
segi alatnya, penilaian hasil belajar dapat dibedakan menjadi tes dan bukan tes
(nontes). Tes ini ada yang diberikan secara lisan (menuntut jawaban secara lisan)
ada tes tulisan (menuntut jawaban secara tulisan), dan ada tes tindakan (menuntut
jawaban dalam bentuk perbuatan). Soal-soal tes ada yang disusun dalam bentuk
objektif, ada juga yang dalam bentuk esai dan uraian. Sedangkan bukan tes sebagai
alat penilaian mencakup observasi, kuesioner, wawancara, skala, dan lain-lain.
2.7 Kajian Relevan
Vileonarti, Kristina. 2013. “Penerapan Metode Discovery Learning untuk
Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar IPA pada Siswa Kelas 4 SD Negeri
Kutowinangun 12 Salatiga Semester 2 Tahun Pelajaran 2013/2014.” Hasil
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Discovery Learning dapat meningkatkan
keaktifan dan hasil belajar IPA. Pada kondisi awal sebelum diadakan tindakan,
keaktifan siswa kategori tinggi sebesar 42,1% pada siklus I mengalami peningkatan
menjadi 63% dan meningkat di siklus II yaitu 86%. Hasil tersebut telah mencapai
indikator keberhasilan yang ditetapkan yaitu 70% siswa mencapai keaktifan tinggi.
Hasil belajar IPA ketuntasan siswa pada prasiklus adalah 42,1 % pada siklus I
meningkat menjadi 78,9% siswa tuntas dan pada siklus II meningkat dengan 94,8%
siswa tuntas. Hasil tersebut telah mencapai indikator keberhasilan yang ditetapkan
yaitu 80% siswa tuntas. Dengan demikian hipotesis yang diajukan peneliti dapat
dibuktikan kebenarannya, dengan penerapan Discovery Learning dapat
meningkatkan keaktifan dan hasil belajar IPA siswa kelas 4 SD Negeri
Kutowinangun 12.
Sasmira, Nova. 2009. “Efektivitas Metode Discovery Learning dengan
Metode Diskusi Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Sup Pokok
22
Bahasan Mengenal Alat-Alat Kantor Kelas XI SMK Negeri 7 Medan Tahun
Pembelajaran 2008/2009”. Dari hasil analisis data di ketahui bahwa ada perbedaan
metode Discovery learning dengan metode diskusi pada siswa kelas XI SMK
Negeri 7 Medan. Nilai pre test sebesar 59,2 artinya pemahaman terhadap materi
termasuk rendah. Setelah dilakukan pembelajaran dengan menggunakan Metode
Discovery learning Mean : 87,7 artinya nilai hasil belajar meningkat menjadi
kategori baik sekali standar devisi 7,28 dan stadar Error = 1,16 serta uji normalitas
L0< Ltabelatau 0,1400 < 0,1401. Nilai pre test sebesar 55,00 artinya pemahaman
terhadap materi termasuk kategori rendah. Setelah dilakukan pembelajaran
dengan menggukan Metode Diskusi memiliki Mean = 77, 7 standar devisi =
6,67 dan standar Error perbedaan kedua Mean Metode Discovery learning dan
Metode Diskusi adalah 1,16 serta uji normalitas L0< Ltabelatau 0,0385 < 0,1401.
Homogenitas semua sampel = 1,45, Standard Error perbedaan kedua mean Metode
Discovery Learning dan Metode Learning adalah = 1,16. Maka dapat di hitung nilai
t1to= 6,41 tt5% = 2,00 dan t 1% = 2,65 karena to yang di peroleh lebih besar dari tt
yaitu = 2,00 <6,41> 2,65. Mean hipotesis nihil (Ho) ditolak dan hipotesis
alternative (Ha) di terima. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran mengenal
alat-alat kantor dengan Metode Discovery learning lebih efektif di gunakan dari
pada Metode Diskusi.
Mawaddah, NE. 2015. “Model Pembelajaran Discovery Learning Dengan
Pendekatan Metakognitif Untuk Meningkatkan Metakognisi Dan Kemampuan
Berpikir Kreatif Matematis Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan perangkat
pembelajaran matematika yang valid, praktis, dan efektif”. Penelitian ini
merupakan penelitian pengembangan perangkat dengan menggunakan
modifikasi model Plomp. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan: Silabus,
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Buku Siswa, Lembar Kerja Siswa
(LKS), dan Tes Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis (TKBKM). Hasil
pengembangan perangkat pembelajaran sebagai berikut: (1) Perangkat yang
dikembangkan valid, rata-rata nilai validasi 4,03 (baik); (2) Perangkat dinyatakan
praktis, yaitu: kemampuan guru dalam mengimplementasikan instrumen
23
tergolong baik, nilai rata-rata 4,45, dan respon siswa juga dalam kategori baik, nilai
rata-rata 3,77.; (3) Pembelajaran matematika dinyatakan efektif, yaitu: (a)
kemampuan berpikir kreatif matematis siswa mencapai ketuntasan baik secara
individu maupun klasikal, (b) kemampuan berpikir kreatif matematis kelas model
Discovery Learning dengan pendekatan metakognitif lebih baik dari kelas
ekspositori, (c) adanya pengaruh positif metakognisi dan keterampilan proses
terhadap kemampuan berpikir kreatif matematis sebesar 83,1%, (d) adanya
peningkatan metakognisi, serta (e) adanya peningkatan kemampuan berpikir kreatif
matematis.
Moh, Kanzunnudin. 2013. “Peranan Metode Guided Discovery Learning
Berbantuan Lembar Kegiatan Siswa Dalam Peningkatkan Prestasi Belajar
Matematika”. Pada siklus pertama rata-rata tes prestasi belajar matematika
siswaadalah 67,33 meningkat menjadi 74,39 pada siklus kedua. Skor rata-rata
aktivitas belajar siswa meningkat dari 2,46 pada siklus pertama menjadi 3,13
pada siklus kedua. Sedangkan skor rata-rata pengelolaan pembelajaran guru
meningkat dari 2,64 pada siklus pertama menjadi 2,68 pada siklus kedua.
Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa metode Guided Discovery
Learning berbantuan Lembar Kegiatan Siswa dapat meningkatkan prestasi belajar
matematika siswa kelas V SD Negeri 5 Dersalam.
Mubarok, Chusni. 2013. “Penerapan Model Pembelajaran Discovery
Learning Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas X Tav Pada Standar Kompetensi
Melakukan Instalasi Sound System Di Smk Negeri 2 SURABAYA”. Dari hasil
penelitian yang diperoleh, menunjukkan bahwa: (1) Hasil belajar siswa dengan
model pembelajaran Discovery Learning lebih tinggi dari hasil belajar siswa
dengan model pembelajaran langsung dengan perolehan uji-t yakni thitung
3,291 > t tabel 1,99, dan dengan rincian nilai rata-rata kelas eksperimen 80,176
dan nilai rata-rata kelas kontrol 76,083. (2) Hasil angket respon siswa
menunjukkan Hasil Rating sebesar 77,39%. Dari kriteria penentuan prosentase
rating penilaian kualitatif maka respon siswa diketegorikan baik terhadap
penerapan model pembelajaran Discovery Learning.
24
2.8 Kerangka Pikir
Pada pembahasan mengenai metode Discovery Learning, dikemukakan
bahwa menurut Mulyani S, metode Discovery Learning adalah cara penyajian
pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan
informasi dengan atau tanpa bantuan guru. Begitu juga dengan Mulyani,Widi R
mengatakan bahwa metode Discovery Learning adalah penyajian bahan ajar dengan
menghadapkan siswa pada suatu masalah, untuk menemukan penyebabnya dengan
melalui pelacakan data atau informasi pemikiran logis, kritis, dan sistematis dalam
rangka mencapai tujuan pengajaran. Berdasar pada teori tersebut, penulis memilih
metode Discovery Learning untuk meningkatkan kompetensi belajar siswa kelas 5
SDN Ngajaran 03 Tahun Pelajaran 2015/2016 pada mata pelajaran IPA. Hal ini
sesuai dengan karakteristk metode Discovery Learning dalam pembelajaran sains
yang menuntut pola pembelajaran aktif, kreatif, dan komprehensif, karena (1) dapat
menambah pengetahuan peserta didik melalui lingkungan sekitar, (2) melatih
peserta didik memiliki kesadaran sendiri kebutuhan belajarnya, (3) penanaman
kebiasaan untuk belajar berlangsung seumur hidup. Dengan asas pembelajaran aktif
yang digunakan dalam proses belajar mengajar yang menuntut keaktifan dan
partisipasi siswa secara optimal sehingga siswa mampu menguasai pengeteahuan
dan keterampilan dengan lebih efektif dan efisien.
25
Gambar 2.1. Bagan Kerangka Pikir
2.9 Pengajuan Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode
Discovery Learning berbantuan media realia, dalam pembelajaran IPA hasil belajar
siswa kelas 5 di SDN Ngajaran 03 akan meningkat.
Penggunaan
Metode
Discovery
learning
berbantuan media
realia
TINDAKA
N
KONDISI
AKHIR
Siklus I
KONDISI
AWAL Strategi
pembelajaran
Yang
konvensional
(cara lama)
Hasil belajar siswa
rendah
Melalui penggunaan metode
Discovery learning berbantuan media
realia, dapat meningkatkan hasil
belajar siswa pada mata pelajaran IPA
kelas 5 SDN Ngajaran 03 tahun ajaran
2015/2016
(Ketuntasan KKM meningkat)
Menerapkan Metode
Discovery Learning
berbantuan media realia
Siklus II
Menerapkan Metode
Discovery learning
berbantuan media realia