Post on 19-Feb-2018
18
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep- konsep dan defenisi
2.1.1 Kesejahteraan
2.1.1.1 Defenisi Kesejahteraan Kesejahteraan adalah keamananan dan keselamatan hidup. Kesejahteraan
telah termasuk kemakmuran hidup, yaitu keadaaan yang menunjukkan keadaan
orang hidup aman dan tenteram serta dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
( Etzioni, 1999). Kesejahteraan sosial dapat didefenisikan sebagai suatu kondisi
kehidupan individu dan masyarakat yang sesuai dengan standar kelayakan hidup
yang dipersepsi masyarakat (Swasono, 2004). Tingkat kelayakan hidup dipahami
secara relatif oleh berbagai kalangan dan latar belakang budaya, mengingat tingkat
kelayakan ditentukan oleh persepsi normatif suatu masyarakat atas kondisi sosial,
material, dan psikologis tertentu.
2.1.1.2 Faktor Penentu Kesejahteraan
Pigou dan Sasana (2009), menjelaskan teori ekonomi kesejahteraan
merupakan bagian dari kesejahteraan sosial yang dapat dikaitkan secara langsung
maupun tidak langsung dengan pengukuran uang. Pada sisi lain kesejahteraan
sosial merupakan sistem suatu bangsa tentang manfaat dan jasa untuk membantu
masyarakat guna memperoleh kebutuhan social, ekonomi, pendidikan dan
kesehatan yang penting bagi kelangsungan masyarakat (Whithaker dan Federico
dalam Sasana 2009). Sejalan dengan hal tersebut Segel dan Bruzy dalam
19
Widyastuti (2012), juga menjelaskan bahwa kesejahteraan dapat diukur dari
kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan dan kualitas hidup rakyat. .
Kesejahteraan masyarakat menengah bawa dapat direpresentasikan dari
tingkat hidup masyarakat yang ditandai dengan terentasnya dari kemiskinan,
tingkat kesehatan yang lebih baik, perolehan tingkat pendidikan yang lebih tinggi
serta produktivitas masyarakat (Todaro, 2000). Sejalan dengan Todaro, UNDP
(United Nation for Development Program ) mengembangkan sebuah indeks
pengukuran pembangunan yang dikenal dengan istilah Indeks Pembangunan
Manusia (Human Development Indeks). Nilai IPM oleh Todaro (2000) diukur
berdasarkan tiga indikator sebagi acauan yaitu pendapatan riil kapita, tingkat
melek huruf dan tingkat harapan hidup
2.1.1.3 Konsep dan Indikator Kesejahteraan
Konsep sejahtera menurut BKKBN, dirumuskan lebih luas daripada
sekedar definisi kemakmuran ataupun kebahagiaan. Konsep sejahtera tidak hanya
mengacu pada pemenuhan kebutuhan fisik orang ataupun keluarga sebagai entitas,
tetapi juga kebutuhan psikologisnya. Ada tiga kelompok kebutuhan yang harus
terpenuhi, yaitu: kebutuhan dasar, sosial, dan kebutuhan pengembangan. Apabila
hanya satu kebutuhan saja yang dapat dipenuhi oleh keluarga, misalnya kebutuhan
dasar, maka keluarga tersebut belum dapat dikatakan sejahtera menurut konsep
ini. Konsep kesejahteraan tidak terlepas dari kualitas hidup masyarakat
(Widyastuti, 2012). Indikator yang paling sering digunakan dalam mengukur
tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk suatu negara adalah pendapatan
perkapita (Supartono dkk, 2011). Namun demikian, pengukuran tingkat
20
kesejahteraan yang hanya menggunakan peningkatan pendapatan per kapita
banyak mengandung kelemahan dimana pada kenyataannya kondisi kesejahteraan
tidak menggambarkan kelompok masyarakat yang paling relative miskin
(Todaro,2000)
Pembangunan kesejahteraan keluarga mencakup 13 variabel, seperti:
pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, agama, keluarga berencana,
interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan, transportasi, tabungan,
informasi dan peranan dalam masyarakat. Selain itu, BKKBN menetapkan 5
(lima) tahapan Keluarga Sejahtera menurut pemenuhan kebutuhan, yaitu: Pra
Sejahtera, Sejahtera I, Sejahtera II, Sejahtera III, dan Sejahtera III Plus.
Kesejahteraan pelaku UMKM akan meningkat dengan meningkatkan
pemberdayaan pelaku UMKM tersebut. Keberhasilan pelaku UMKM dalam
mencapai tujuannya dapat diukur dari peningkatan kesejahteraan hidupnya.
Kesejahteraan bermakna sangat luas dan juga bersifat relatif, karena ukuran
sejahtera bagi seseorang dapat berbeda satu sama lain. Manusia pada dasarnya
adalah makhluk yang tidak pernah merasa puas, karena itu kesejahteraan akan
terus dikejar tanpa batas. Keberhasilan pelaku UMKM dalam meningkatkan
kesejahteraan sosial ekonomi hidupnya akan lebih mudah diukur, apabila aktivitas
ekonomi yang dilakukan oleh pelaku UMKM dilakukan melalui usahanya. Dalam
pengertian ekonomi, tingkat kesejahteraan itu dapat ditandai dengan tinggi
rendahnya pendapatan riil. Apabila pendapatan riil seseorang atau masyarakat
meningkat, maka kesejahteraan ekonomi seseorang atau masyarakat tersebut
meningkat pula. Sejalan dengan hal itu, maka apabila tujuan pelaku UMKM
21
adalah meningkatkan kesejahteraan hidupnya, maka berarti pula tujuan pelaku
UMKM tersebut diwujudkan dalam bentuk meningkatnya pendapatan riil .
2.1.2 Kinerja
2.1.2.1 Defenisi Kinerja
Kinerja merupakan terjemahan dari performance yang sering diartikan
oleh para cendekiawan sebagai “penampilan”, “unjuk kerja”, atau “prestasi”
(Keban, 2004). Menurut Jauch dan Glueck (1988) dalam Rahayu (2009) Kinerja
adalah merujuk ada tingkat pencapaian atau prestasi dari perusahaan dalam
periode waktu tertentu. Kinerja sebuah perusahaan adalah hal yang sangat
menentukan dalam perkembangan perusahaan. Tujuan perusahaan yang terdiri
dari tetap berdiri atau eksis (Survive), untuk meperoleh laba (Benefit), dan dapat
berkembang (Growth), dapat tercapai apabila perusahaan tersebut mempunyai
performa yang baik. Kinerja (Performance) perusahaan dapat dilihat dari tingkat
penjualan, tingkat keuntungan, pengembalian modal, tingkat turn over dan pangsa
pasar yang diraihnya. Kinerja perusahaan secara umum dan keunggulan
kompetitif merupakan tolak ukur tingkat keberhasilan dan perkembangan
perusahaan kecil. Pengukuran terhadap pengembalian investasi, pertumbuhan,
volume, laba dan tenaga kerja pada perusahaan umum dilakukan untuk
mengeathui kinerja perusahaan (Jeaning dan Beaver, 1997).
22
2.1.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
Menurut Ruky dalam Hessel (2005), mengidentifikasikan faktor-faktor
yang berpengaruh langsung terhadap tingkat pencapaian kinerja organisasi
sebagai berikut : teknologi, kualitas input atau material, kualitas lingkungan fisik,
budaya organisasi, kepemimpinan, pengelolaan sumber daya manusia.
Atmosoeprapto dalam Hessel (2005), mengemukakan bahwa kinerja suatu
organisasi akan sangat dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor eksternal
berikut ini :
1) Faktor eksternal yang terdiri dari :
a) Faktor politik, yaitu hal yang berhubungan dengan keseimbangan
kekuasaan Negara yang berpengaruh pada keamanan dan ketertiban, yang akan
mempengaruhi ketenangan organisasi untuk berkarya secara maksimal.
b) Faktor ekonomi, yaitu tingkat perkembangan ekonomi yang berpengaruh
pada tingkat pendapatan masyarakat sebagai daya beli untuk menggerakkan
sektor-sektor lainnya sebagai suatu sistem ekonomi yang lebih besar.
c) Faktor sosial, yaitu orientasi nilai yang berkembang di tengah masyarakat,
yang mempengaruhi pandangan mereka terhadap etos kerja yang dibutuhkan
bagi peningkatan kinerja organisasi.
2) Faktor internal yang terdiri dari :
a) Tujuan organisasi, yaitu apa yang ingin dicapai dan apa yang ingin
diproduksi oleh suatu organisasi.
b) Struktur organisasi, sebagai desain antara fungsi yang akan dijalankan oleh
unit organisasi dengan struktur formal yang ada.
23
c) Sumber daya manusia, yaitu kualitas dan pengelolaan anggota organisasi
sebagai penggerak jalanya organisasi secara keseluruhan.
d) Budaya organisasi, yaitu gaya identitas suatu organisasi dalam pola kerja
yang baku dan menjadi citra organisasi yang bersangkutan.
2.1.2.3 Pengukuran dan Indikator Kinerja
Menurut Robertson dalam Mahsun (2006), pengukuran kinerja
(performance measurement) adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan
terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk
informasi atas : efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang
dan jasa; kualitas barang dan jasa (seberapa baik barang dan jasa diserahkan
kepada pelanggan dan sampai seberapa jauh pelanggan terpuaskan) hasil kegiatan
dibandingkan dengan maksud yang diinginkan; dan efektivitas tindakan dalam
mencapai tujuan. Elemen pokok pengukuran kinerja menurut Mahsun (2006 )
adalah sebagai berikut :
1) Menetapkan tujuan, sasaran, dan strategi organisasi
2) Merumuskan indikator dan ukuran kinerja
3) Mengukur tingkat ketercapaian tujuan dan sasaran-sasaran organisasi
4) Evaluasi kinerja
Kinerja perusahaan adalah hasil dari banyak keputusan individu yang
dibuat secara terus menerus oleh manajemen (Helfert, 1996). Untuk mengukur
kinerja perusahaa, Kotler (1991) menyarankan agar didasarkan pada ROI bukan
pada margin laba/profit. Soetjipto (1997) menyebutkan bahwa untuk mengukur
24
kinerja bisnis, dapat dilakukan dengan “balanced score card” (BSC). Sejalan
dengan pandangan di atas, Baswir (1995) menambahkan bahwa ada 4 faktor
penyebab utama rendahnya kinerja usaha kecil dan menengah (UKM) di
Indonesia yaitu:
1) Hampir 60% usaha kecil masih menggunakan teknologi tradisional
2) Pangsa pasar cendrung menurun karena kekurangan modal, lemahnya
teknologi dan manajerial;
3) Sebagian besar usaha kecil tidak mampu memenuhi persyaratan administratif
guna memperoleh bantuan dari Bank
4) Tingkat ketergantungan terhadap fasilitas pemerintah cendrung sangat besar.
Indikator kinerja dan ukuran kinerja ini sangat dibutuhkan untuk menilai
tingkat ketercapaian tujuan, sasaran, dan strategi. Mohammad Mahsun (2006)
definisi indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif yang
menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran dan tujuan yang telah
ditetapkan. Seperti untuk mengetahui pertumbuhan penjualan. modal, tenaga
kerja, pasar dan laba. Menurut Lohman dalam Mahsun (2006) indikator kinerja
(performance indicators) adalah suatu variabel yang digunakan untuk
mengekspresikan secara kuantitatif efektivitas dan efisiensi proses atau operasi
dengan berpedoman pada target-target dan tujuan organisasi. Menurut Lenvinne
dalam Ratminto dan Atik Septi Winarsih (2005) mengemukakan indikator kinerja
adalah Responsiveness, Responsibilit, accountability
25
2.1.3 Pemberdayaan
2.1.3.1 Defenisi Pemberdayaan
Pemberdayaan adalah terjemahan dari empowerment, sedang
memberdayakan adalah terjemahan dari empower. Menurut Merriam Webster dan
Oxford English Dictionary dalam Hutomo (2000), kata empower mengandung dua
pengertian, yaitu:
1) To give power atau authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan
kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain
2) To give ability to atau enable atau usaha untuk memberi kemampuan atau
keperdayaan.
Menurut Pranaka dan Moeljarto (1996) menjelaskan bahwa
pemberdayaan atau dikenal dengan empowerment adalah sebuah konsep yang
lahir dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat
khususnya Eropa. Untuk memahami konsep empowerment secara tepat,
memerlukan upaya pemahaman latar belakang konstekstual yang melahirkannya.
Pemberdayaan (empowerment) pada dasarnya mengacu pada usaha menumbuhkan
keinginan kepada seseorang dan pemberian peluang serta kesempatan bagi
bawahan untuk mengaktualisasikan diri, meningkatkan potensi dan kemampuan
yang dimiliki, serta memberikan pengalaman psikologis yang membuat seseorang
merasa berdaya
Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil memberikan
defenisi tentang pemberdayaan sebagai berikut : “ pemberdayaan adalah upaya
yang dilakukan oleh pemerintah,dunia usaha dan masyarakat dalam bentuk
26
penumbuhan iklim usaha, pembinaan dan pengembangan sehingga usaha kecil
mampu menumbuhkan dan memperkuat dirinya menjadi usaha yang tangguh dan
mandiri. Pemberdayaan masyarakat seharusnya mempunyai nilai kesetaraan,
bahwa masyarakat juga harus diberi kesempatan dalam proses pengambilan
keputusan mulai dari tahap identifikasi, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
monitoring dan evaluasi, sehingga masyarakat dapat memelihara keberlanjutan
kegiatan dan dapat mempertanggungjawabkan secara terbuka apa yang telah
diputuskan bersama.
Shardlow (1998) mengatakan pada intinya : “pemberdayaan membahas
bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol
kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan
sesuai dengan keinginan mereka” Pemberdayaan dapat diartikan sebagai usaha
untuk memberi atau meningkatkan kemampuan seseorang, kelompok atau
masyarakat. Konsep ini sering ditafsirkan berbeda oleh tiap orang, karena
perbedaan sudut pandang Simanjuntak (1985) menerangkan bahwa perlunya
memberdayakan sumber daya manusia dilatar belakangi oleh empat hal, yaitu:
1) Melalui upaya pembangunan, potensi sumber daya manusia diarahkan
menjadi kekuatan di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik dan pertahanan
keamanan yang nyata, didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas,
memiliki kemampuan , memanfaatkan, mengembangkan dan menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kemampuan manajemen.
2) Sumber daya manusia dipandang sebagai unsur yang sangat menentukan
dalam proses pembangunan, terutama di negara-negara yang sedang
27
berkembang. Hal ini berkaitan dengan pengalaman Negara industri baru
menunjukkan bahwa pertumbuhan bersumber dari pertumbuhan masyarakat
(efisiensi) yang didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas.
3) Adanya anggapan bahwa sumber daya manusia lebih penting daripada
sumber daya alam. Menurut pendapat ini, negara yang miskin sumber daya
alamnya, tetapi tinggi tingkat kualitas sumber daya manusianya sehingga
lebih maju daripada negara yang kaya sumber daya alamnya akan tetapi
kurang mementingkan sumber daya manusianya.
4) Pada pembangunan jangka panjang I pembangunan lebih dititik beratkan pada
pemanfaatan sumber daya alam, sedangkan dalam pembangunan jangka
panjang II perlu diadakan penyempurnaan.
Menurut Randy dan Riant Nugroho (2007) pemberdayaan pada
dasarnya merupakan suatu proses yang dijalankan dengan kesadaran dan
partisipasi penuh dari para pihak untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas
masyarakat sebagai sumber daya pembangunan agar mampu mengenali
permasalahan yang dihadapai dalam mengembangkan dan monolong diri menuju
keadaaan yang lebih baik , mampu menggali dan memanfaatkan sumber daya
yang tersedia untuk kepentingan diri dan kelompoknya, serta mampu
mengekseistensikan diri secara jelas dengan mendapatkan manfaat darinya.
Pemberdayaan adalah sebuah "proses menjadi", bukanlah sebuah "proses instan".
Sebagai proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan yaitu penyadaran,
pengkapasitasa, dan pendayaan lebih lanjut dapat digambarkan sebagai berikut :
28
Gambar 2.1
Tahapan Pemberdayaan
Sumber: Randy Wrihatnolo dan Riant Nugroho Dwidjowijoto (2007)
1) Tahap Penyadaran:
Pada tahap ini target yang hendak diberdayakan diberi "pencerahan"
dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk
mempunyai "sesuatu". Program-program yang dapat dilakukan pada tahap ini
misalnya memberikan pengetahuan yang bersifat kognisi, belief dan healing.
Prinsip dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka perlu
(membangun"demand") diberdayakan, dan proses pemberdayaan itu dimulai dari
diri mereka sendiri. Pada tahap ini pelaku UMKM dibuat mengerti bahwa
pemberdayaan itu berasal dari diri mereka sendiri. Diupayakan pula agar pelaku
UMKM ini mendapat cukup informasi. Melalui sosialisasi (pengenalan) maka
informasi yang aktual dan akurat terjadi proses penyadaran secara ilmiah. Proses ini
dapat dipercepat dan dirasionalkan hasilnya dengan hadirnya upaya pendampingan
dari pemerintah atau pihak lainnya.
Pendayaan
Pengkapasitasan
Penyadaran
29
2) Tahap Pengkapasitasan.
Disebut "capacity building" atau memampukan. Untuk diberikan daya
atau kuasa yang bersangkutan harus mampu terlebih dahulu. Misalnya, sebelum
memberikan otonomi daerah, seharusnya daerah-daerah yang hendak otonomkan
diberi program kemampuan atau capacity building untuk membuat mereka cakap
dalam mengelola otonomi yang diberikan. Proses capacity building terdiri dari
tiga jenis, yaitu manusia, organisasi, dan sistim nilai. Tujuan dari tahap ini adalah
memampukan pelaku UMKM sehingga mereka memiliki ketrampilan untuk
mengelola peluang yang diberikan. Pada tahap ini dilakukan dengan memberikan
pelatihan, lokakarya dan kegiatan yang sejenis yang bertujuan untuk meningkatkan life
skill peserta UMKM. Dalam tahap ini sekalikus diperkenalkan dan dibukakan akses
kepada sumber kunci yang berada diluar komunitasnya sebagai jembatan mewujudkan
harapan dan eksistensi dirinya. Selain memampukan peserta UMKM baik secara
individual maupun kelompok proses memampukan juga menyangkut organisasi dan
sisitem nilai. Pengkapasitasan melalui restrukturisasi organisasi pelaksana sedangakan
pengkapasitasan sistem nilai terkait dengan” aturan main” yang akan digunakan dalam
mengelola peluang
3)Tahap Pendayaan atau "empowerment" dalam makna sempit.
Pada tahap ini, kepada pelaku UMKM diberikan pelatihan, daya,
kekuasaan, otoritas, atau peluang yang disesuaikan dengan kemampuan yang
dimiliki melalui partisipasi aktif dan berkelanjutan yang ditempuh dengan
memberikan peran yang lebih besar secara bertahap sesuai dengan kapasitas dan
kapabilitasnya, diakomodasi aspirasinya serta dituntun untuk melakukan self
30
evolution terhadap pilihan dan hail pelaksanaan atas pilihan. Pemberian pelatihan
ini sesuai dengan kualitas kecakapan yang telah dimiliki.
2.1.3.2 Konsep Pemberdayaan
Konsep pemberdayaan masyarakat menurut Pranaka dan Priyono
(1996) dapat dilakukan dalam 3 (tiga) fase, yaitu fase inisial, fase partisipatoris,
dan fase emansipatoris.
1) Fase inisial, semua proses pembedayaan berasal dari pemerintah, oleh
pemerintah dan diperuntukan bagi masyarakat. Pada fase ini masyarakat
bersifat pasif, melaksanakan apa yang direncanakan pemerintah dan tetap
tergantung kepada pemerintah.
2) Fase partisipatoris, proses pemberdayaan berasal dari pemerintah bersama
masyarakat, oleh pemerintah bersama masyarakat, dan diperuntukan bagi
masyarakat. Pada fase ini masyarakat sudah dilibatkan secara aktif dalam
kegiatan pembangunan untuk menuju kemandirian.
3) Fase emansipatoris, proses pemberdayaan berasal dari masyarakat, oleh
masyarakat dan untuk masyarakat dengan dukungan oleh pemerintah. Pada
fase ini masyarakat sudah menemukan kekuatan dirinya, sehingga dapat
melakukan kekuatan dirinya, sehingga dapat melakukan pembaharuan dalam
mengaktualisasikan diri.
Menurut Kartasasmita (1996), konesp pemberdayaan ekonomi rakyat
adalah “Upaya yang merupakan pengerahan sumber daya untuk mengembangkan
potensi ekonomi rakyat untuk meningkatkan produktivitas rakyat sehingga, baik
31
sumber daya manusia maupun sumber daya alam di sekitar keberadaan rakyat,
dapat ditingkatkan produktivitasnya”. Dari berbagai pandangan mengenai konsep
pemberdayaan, maka dapat disimpulkan, bahwa pemberdayaan ekonomi
masyarakat adalah penguatan pemilikan faktor-faktor produksi, penguatan
penguasaan distribusi dan pemasaran, penguatan masyarakat untuk mendapatkan
gaji/upah yang memadai, dan penguatan masyarakat untuk memperoleh informasi,
pengetahuan dan ketrampilan, yang harus dilakukan secara multi aspek, baik dari
aspek masyarakatnya sendiri, maupun aspek kebijakannya. Pemberdayaan
memuat dua pengertian kunci yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan
di sini diartikan bukan hanya menyangkut kekuatan politik namun mempunyai arti
luas yang merupakan penguasaan masyarakat atas: a) Power over personal
choices and life chances, b) Power over the definition of need, c) Power over
ideas, d) Power over institutions, e) Power over resources, f) Power over
economic activity, g) Power over reproduction
2.1.3.3 Indikator Pemberdayaan
Pemberdayaan dapat diartikan sebagai tujuan dan proses. Sebagai
tujuan,pemberdayaan adalah suatu keadaan yang ingin dicapai, yakni masyarakat
yang memiliki kekuatan atau kekuasaan dan keberdayaan yang mengarah pada
kemandirian sesuai dengan tipe-tipe kekuasaan yang disebutkan sebelumnya.
Menurut Suharto (2005), pemberdayaan sebagai proses memiliki lima indikator
yaitu:
32
1) Enabling adalah menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu
membebaskan masyarakat dari sekat-sekat struktural dan kultural yang
menghambat
2) Empowering adalah penguatan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki
masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan
kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuh kembangkan segenap
kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian
3) Protecting yaitu melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah
agar tidak tertindas oleh kelompok-kelompok kuat dan dominan, menghindari
persaingan yang tidak seimbang, mencegah terjadinya eksploitasi kelompok
kuat terhadap yang lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan
segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan masyarakat
kecil. Pemberdayaan harus melindungi kelompok lemah, minoritas dan
masyarakat terasing
4) Supporting yaitu pemberian bimbingan dan dukungan kepada masyarakat
lemah agar mampu menjalankan peran dan fungsi kehidupannya.
Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke
dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan
5) Fostering yaitu memelihara kondisi kondusif agar tetap terjadi keseimbangan
distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok masyarakat. Pemberdayaan
harus mampu menjamin keseimbangan dan keselarasan yang memungkinkan
setiap orang memperoleh kesempatan usaha.
33
2.1.3.4 Pendekatan Pemberdayaan
Proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan di atas dicapai melalui
penerapan pendekatan pemberdayaan. Parsons, et al., (1994) menyatakan bahwa
proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif. Menurutnya, tidak ada
literature yang menyatakan bahwa proses pemberdayaan terjadi dalam relasi satu
lawan satu antara pekerja sosial dan klien dalam setting pertolongan perseorangan.
Walaupun pemberdayaan ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan
kemampuan klien, hal ini bukanlah strategi utama pemberdayaan. Meskipun
demikian, tidak semua intervensi pekerjaan sosial dapat dilakukan melalui
kolektivitas. Untuk beberapa situasi, strategi pemberdayaan dapat saja dilakukan
secara individual, walaupun pada akhirnya strategi ini tetap berkaitan dengan
kolektivitas, dalam arti mengkaitkan klien dengan sumber atau sistem lain di luar
dirinya. Karenanya, dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan dapat
dilakukan melalui tiga pendekatan : mikro, mezzo dan makro.
1) Pendekatan Mikro.
Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui
bimbingan, konseling, stress management, crisis invention. Tujuan utamanya
adalah memberi bimbingan atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas
kehidupannya. Model ini sering disebut Pendekatan yang Berpusat pada Tugas
(task centered approach).
2) Pendekatan Mezzo.
Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan ini
dilaksanakan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi.
34
Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai
strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, ketrampilan dan sikap-
sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang
dihadapinya.
3) Pendekatan Makro
Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large
system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada system lingkungan
yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial,
lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa
strategi dalam pendekatan ini. Pendekatan ini memandang klien sebagai orang
yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan
untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk melakukan tindakan
2.1.3.5 Defenisi dan Kriteria Usaha Mikro Kecil dan Mengah
Pengertian Usaha Mikro Kecil dan Menengah pada dasarnya mengacu
pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah. Dalam Undang-Undang tersebut yang dimaksud
dengan Usaha Mikro, adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau
badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini. Sedangkan Usaha Kecil adalah usaha ekonomi
produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan
usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian langsung maupun tidak langsung dari
35
Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang ini. Pengertian Usaha
Menengah adalah usaha ekonomi yang produktif yang berdiri sendiri , yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau cabang perusahan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian
baik langsung mauapun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar
dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur
dalam undang-undang ini.
Tabel 2.1
Kriteria Usaha Mikro, Keci dan Menengah
No Berdasarkan Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menegah
1 UU No.20
Thn 2008
Aset > 50 juta
Omset > 300 juta
Aset 50-100 juta
Omset 300-2,5M
Aset 500-10 M
Omset 2.5M-50M
2 BPS Pekerja maksiml 5
orang termasuk
keluarga
Pekerja 5-10
orang
Pekerja 5-99
orang
3 BI Aset > 50 juta
Omset > 500 juta
Aset > 200juta
Omset > 1 Millar
Aset > 3 Milliar
Omset > 5milliar
4 Bank Dunia Pekerja minimal
10 orang
Aset > $100 ribu
Omset > $100 ribu
Pekerja minimal
50 orang
Aset > $3 juta
Omset >$3 juta
Pekerja minimal
300 orang
Aset > $15 juta
Omset >$ 15 juta
5 Menurut
Staley &
Morse
Pekerja 1-9
orang
Pekerja 10- 49
orang
Pekerja 50-99
orang
Sumber: Olahan Peneliti 2015
Usaha mikro memiliki karakteristik yang khas, berdasarkan survey
Kuncoro (2009) adalah sebagai berikut:
1) Jenis barang usahannya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat berganti
2) Tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat pindah tempat
36
3) Belum melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun, dan tidak
memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha.
4) SDM nya belum memiliki jiwa wirausaha yang memadai.
5) Tingkat pendidikannya rata-rata relative rendah.
6) Umumnya belum akses kepada perbankan, namun sebagian dari mereka sudah
akses ke lembaga keuangan non bank.
7) Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas lainnya
termasuk NPWP
Kokotiasa (2002) mengungkapkan beberapa hal yang perlu digaris
bawahi agar UMKM sebagai basis perekonomian rakyat tetap eksis, maka harus
diperhatikan melalui usaha-usaha yang dapat membangkitkan gairah kerja melalui
antara yaitu: kemitraan, restrukturisasi utang UKM, pemberian Manajemen
sederhan bagi UKM, pengenalan teknologi, dan kemampuan asosiasi UKM.
2.1.3.6 Pemberdayaan UMKM
Peran strategis UMKM memerlukan adanya pemberdayaan UMKM agar
mampu tumbuh dan berkembang menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. Iklim
Usaha adalah kondisi yang diupayakan pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk
memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah secara sinergis melalui
penetapan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan di berbagai
aspek kehidupan ekonomi agar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah memperoleh
pemihakan, kepastian, kesempatan, perlindungan, dan dukungan berusaha yang
seluas-luasnya. Pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah,
37
Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat untuk memberdayakan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah melalui pemberian fasilitas bimbingan
pendampingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan
kemampuan dan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Pemberdayaan UMKM diselenggarakan sebagai kesatuan dan
pembangunan perekonomian nasional untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.
Dengan dilandasi dengan asas kekeluargaan, upaya pemberdayaan UMKM
merupakan bagian dari perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi
nasional untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Prinsip Pemberdayaan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UU No. 20/2008) adalah:
1) Penumbuhan kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah untuk berkarya dengan prakarsa sendiri.
2) Perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
3) Pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai
dengan kompetensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
4) Peningkatan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
5) Penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara terpadu.
Sedangkan Tujuan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UU No. 20/2008) adalah:
1) Mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan
berkeadilan.
38
2) Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri
3) Meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunan
daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan
ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.
Sijabat (2000), penelitian mengatakan upaya pemberdayaan UMKM
bukanlah suatu komitmen kebijakan jangka pendek, tetapi merupakan proses
politik jangka panjang. Dalam upaya mendorong percepatan proses pemberdayaan
UMKM selama era reformasi juga terlihat sudah cukup banyak isu politik yang
seharusnya dapat mempercepat proses pemberdayaan koperasi dan UKM.
2.2 Teori- teori yang relevan
2.2.1 Teori Kesejahteraan
Dalam teori ekonomi konsep kesejahteraan masyarakat dikenal sebagai
ekonomi kesejahteraan (walfare economics) . Sen (2002), yang pada hakekatnya
menjelaskan faktor-faktor produksi serta barang dan jasa dalam suatu
perekonomian kepada semua masyarakat atau menjelaskan interaksi ekonomi
yang ingin mencari kondisi bagi pemanfaatan sumber daya secara efisien.
Mekanisme pasar diyakini mampu menjadi alat distribusi kesejahteraan melalui
mekanisme pertukaran. Lewat pertukaran tersebut terjadi distribusi kekayaan dan
atau pendapatan dengan pembayaran atau penggunaan faktor produksi atau
pembelian barang dan jasa dengan asumsi proses tercapainya keseimbangan
tersebut berlangsung dalam suatu pasar yang terisolasi dari pasar lainnya atau
39
perekonomiannya hanya terdiri dari pelaku ekonomi (Raharja,1999). Jadi
perekonomian telah berjalan secara efisien bila terjadi mekanisme pertukaran
yang efisien (efficiency in exchange) dan produksi berjalan efisien (efficiency in
production).
Menurut Sukirno (2006), kesejahteraan mempunyai makna yang luas,
tidak hanya dikaitkan dengan pendapatan dan konsumsi terapi juga asset. Artinya
kesejahteraan tidak hanya berfokus kepada konsumsi barang dan jasa tetapi juga
akses kepada asset kekayaan dan sosial. Kesejahteraan masyarakat merupakan
suatu hal yang besifat subjektif. Artinya tiap orang mempunyai pandangan hidup.
Tujuan hidup dan cara-cara hidup yang berbeda dan dengan demikian member
nilai-nilai yang berbeda terhadap faktor-faktor yang menentukan tingkat
kesejahteraan mansyarakat.
2.2.2 Teori Human Capital
Investasi sumber daya manusia diperoleh dengan mengeluarkan sejumlah
dana serta kesempatan untuk menciptakan penghasilan selama proses investasi
(Atmanti, 2005). Tingkat penghasilan sebagai imbalan selama proses investasi
yang diharapkan adalah tingkat penghasilan yang lebih tinggi. Investasi yang
tergambar tersebut dikatakan Human Capital (Simanjuntak dalam Atmanti,2005)
Human Capital merupakan kombinasi dari pengetahuan, ketrampilan, inovasi dan
kemampuan seseorang untuk menjalankan tugasnya sehingga dapat menciptakan
suatu nilai untuk mencapai tujuan (Ongkoraharjo, 2008).
40
Human Capital juga didefinisikan oleh Hudson dan Juwita (2007)
sebagai bakat, pendidikan, pengalaman, sikap dalam hidup dan bisnis. Asumsi
dasar teori Human Capital bahwa melalui peningkatan pendidikan, seseorang
dapat meningkatkan penghasilannya (Atmanti, 2005). Pendidikan dapat mengubah
pola pikir seseorang, dimana dengan pendidikan seseorang mendapatkan banyak
pengetahuan, ilmu dan informasi yang terus berkembang. Sulistiawati (2012)
menyebutkan bahwa pendidikan merupakan salah satu factor yang menentukan
produktivitas. Bila sumber daya manusia diberdayagunakan secara efisien sebagai
salah satu faktor, akan mampu meningkatkan produktivitas. Produktivitas akan
menciptakan pendapatan yang meningkatkan daya beli seseorang. Dengan
demikian, dapat diasumsikan bahwa kesejahteraan seseorang akan tercapai jika
orang tersebut mampu meningkatkan pendapatannya.
2.2.3 Teori Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi dapat dipahami sebagai upaya melakukan
perubahan dalam pengembangan yang lebih baik dari sebelumnya yang ditandai
dengan membaiknya faktor – faktor produksi. Faktor – faktor produksi tersebut
adalah kesempatan kerja, investasi dan teknologi yang digunakan. Membaiknya
ekonomi suatu wilayah diperlihatkan dengan membaiknya tingkat konsumsi
masyarakat, investasi swasta, investasi publik, ekspor dan impor yang dihasilkan
oleh suatu Negara (Menteri permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003).
Pembangunan dapat dipandang sebagai suatu proses transisi multi
dimensi yang mencerminkan hubungan antar berbagai proses perubahan di dalam
41
suatu negara, dimana proses perubahan multidimensional tersebut ditandai oleh
proses tranformasi struktural. Menurut Stimson dan Stough (2006), proses
transformasi struktural tersebut ditandai dengan perubahan struktur ekonomi yang
dicerminkan oleh perubahan kontribusi sektoral (shift – share) di dalam
pendapatan nasional. Proses transformasi struktural itu sendiri dapat
dikelompokkan dalam empat proses utama yaitu : (1) proses akumulasi, (2) proses
alokasi, (3) proses distribusi dan (4) proses demografis.
Pembangunan Ekonomi bersifat multidimensi yang mencakup berbagai
aspek dalam kehidupan masyarakat dan bukan hanya salah satu aspek ekonomi
saja. Pembangunan ekonomi diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan
oleh suatu Negara dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf
hidup masyarakatnya. Atau dapat dikatakan sebagai proses yang menyebabkan
kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu Negara dalam kurun waktu
lama (jangka panjang) disertai perbaikan sistem kelembagaan (Arsyad, 2010).
Paham pembangunan ekonomi menekankan produk per kapita dan pendapatan per
kapita. Produk per kapita dan pendapatan per kapita inilah yang dijadikan ukuran
tingkat hidup dalam mayarakat. Karena itu era tahun lima puluhan pengertian
pembangunan ini terbatas pada proses kenaikan pendapatan nasional dan
pendapatan per kapita, atau proses pembangunan itu terbatas pada bidang
ekonomi atau titik beratnya pada bidang ekonomi. Oleh karena itu, dalam proses
pembangunan setiap negara, pertumbuhan pendapatan dan pendapatan per kapita
ini selalu dimonitor. Kemudian istilah pembangunan dewasa ini semakin
berkembang laksana mukjizat. Pembangunan mengandung begitu banyak makna,
42
mempunyai fungsi ganda, menimbulkan banyak harapan, tapi juga membawa
perdebatan yang tak habis-habisnya di kalangan masyarakat yang semakin meluas
2.3 Keaslian Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, maka pengacuan kepada penelitian
sebelumnya sangatlah diperlukan. Hal ini bertujuan sebagai dasar yang kuat dalam
penyajian materi, pemantapan variable maupun konsep-konsep yang dipakai
peneliti. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh dilakukan Ardiana dkk, (2010)
tentang Kompetensi SDM UKM dan pengaruhnya terhadap Kinerja UKM di
Surabaya memberi kesimpulan. Dari hasil analisa data diketemukan bahwa
kompetensi yang terdiri dari pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan memiliki
pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja UKM di Kota Surabaya.
Perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan Ardiana dkk,
(2010) meneliti kinerja UKM di Surabaya melalui kompetensi SDM yang terdiri
dari pengetahuan, keterampilan dan memiliki pengaruh dominan terhadap kinerja
UKM di Surabaya sedangkan penelitian ini meneliti mengenai kesejahteraan dan
kinerja (pertumbuhan penjualan, modal, tenaga kerja, pasar, dan laba) pelaku
UMKM di Kabupaten Sikka. Persamaan dengan penelitian ini adalah dala
meneliti kinerja pelaku UMKM.
Penelitian berikutnya adalah penelitiannya Aristeidis G. Samitas dan
Dimitris F. Kenourgios, (2005) menggunakan metode Engle dan Granger dengan
menerapkan kointegrasi untuk menyelidiki hubungan antara usaha kecil
43
menengah (UKM) pasar (Inggris, Perancis, Jerman, Italia dan Yunani) ke Eropa
yang ekonominya terintegrasi dan lingkungan keuangan. Hasil penelitian
menunjukkan tidak adanya integrasi di pasar UKM, hal ini menunjukkan
diversifikasi peran mereka dalam keuangan UKM.Dalam hasil penelitianya
Aristeidis G. Samitas dan Dimitris F. Kenourgios mengusulkan beberapa tindakan
kebijakan yang menarik ke dalam penerapan kerangka hukum dan perdagangan
umum dalam rangka untuk meningkatkan peran bersama mereka sebagai sumber
pembiayaan alternatif kewirausahaan Eropa. Perbedaan dengan penelitian ini adalah
Aristeidis G. Samitas dan Dimitris F. Kenourgios menggunakan metode Engle dan
Granger menyelidiki hubungan pelaku UKM di Eropa dengan lingkungan
keuangannya sedangkan penelitian ini membicarakan pengaruh pemberdayaan
terhadap kesejahteraan dan pelaku UMKM di Kabupaten Sikka. Persamaan dengan
penelitian ini adalah dalam meniliti pertumbuhan pasar dan pembiayaan (modal)
pelaku UMKM.
Penelitian yang dilakukan oleh Aylin Ates dan Umit Bititci (2007)
dalam penelitiannya yang bertujuan untuk menangani dinamika dan kegiatan
dalam proses strategi UKM, ini dapat membantu pembaca memahami praktek dan
bahasa manajer UKM tentang strategi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Aylin
Ates and Umit Bititci menunjukkan bahwa dinamika startegi UKM (usaha kecil
menengah) memiliki dua dimensi yang muncul dan direncanakan manajer UKM
mengeksekusi strategi proses terutama dari fashion informal dengan memegang
fungsi ganda dan dengan aplikasi terbatas alat manajemen strategi dan teknik. UKM
menempatkan lebih menekankan pada scanning lingkungan eksternal (pelanggan,
44
pemasok, pesaing, universitas dan pemberi pinjaman) dan kemudian menentukan
strategi dan tujuan. Ini menyiratkan bahwa proses strategi UKM ditandai oleh lebih
dari pandangan berbasis pasar. Perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian
yang dilakukan oleh Aylin Ates dan Umit Bititci (2007) dalam penelitiannya yang
bertujuan untuk menangani dinamika dan kegiatan dalam proses strategi UKM,
sedangkan penelitian ini adalah meneliti tentang kesejahteraan dan kinerja pelaku
UMKM melalui pemberdayaan UMKM di Kabupaten Sikka. Persamaan dengan
penelitian ini adalah meneliti kinerja pelaku UMKM dengan indikator pertumbuhan
pasar.
Penelitian yang dilakukan oleh Kuncoro dkk, (2013) mengenai profil dan
strategi pengembangan koperasi dan UMKM di Kabupaten Sikka-NTT memiliki
kesimpulan sebagai berikut: a) Membahas tentang permasalahan Koperasi dan
UMKM diKabupaten Sikka menyimpulkan masih rendahnya kualitas SDM baik
untuk pembinaan, maupun gerakan koperasi, bagi pelaku UMKM. Masalah secara
khusus adalah sistem administrasi dan keuangan yang kurang baik, masalah
memperoleh pinjaman dari bank, masalah penyusunan perencanaan bisnis karena
persaingan, masalah bahan baku, masalah akses terhadap teknologi, masalah
perbaikan kualitas barang dan masalah tenaga kerja yaitu sulitnya mendapat tenaga
kerja yang terampil. c) Membahas tentang strategi pengembangan KUMKM di
Kabupaten Sikka yaitu memyimpulkan strategi pengembangan KUMKM di
Kabupaten Sikka sebaiknya merujuk kepada arah pembangunan jangka menegah
dan jangka panjang, pengembangah KUMKM dihasilkan dengan mensinergi
kepada lima hal yaitu arah kebijakan pembangunan industri, arah kebijakan
45
pembangunan KUMKM nasional, arah kebijakan pengembangan KUMKM NTT,
arahan RT/RW NTT khususnya zona pembangunan wilayah dan hasil analisis
subsetor unggulan serta komoditi unggulan KUMKM di Kabupaten Sikka-NTT.
Perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Kuncoro
dkk, (2013) mengenai profil dan strategi pengembangan koperasi dan UMKM di
Kabupaten Sikka-NTT sedangkan penelitian ini adalah meneliti tentang pengaruh
pemberdayaan UMKM terhadap kinerja dan kesejahteraan pelaku UMKM di
Kabupaten Sikka-NTT. Persamaan dengan penelitian ini adalah kesamaan tempat
dan pelaku UMKM.
Penelitian Tri Utari Putu Martini Dewi ( 2014) Pengaruh Modal, Tingkat
Pendidikan dan Teknologi terhadap Pendapatan Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM) di Kawasan Imambonjol Denpasar menyimpulkan Pertama,
hasil uji simultan (uji F) menunjukkan bahwa modal, tingkat pendidikan dan
teknologi secara simultan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan UMKM di
kawasan Iman Bonjol Denpasar Barat. Kesimpulan kedua, semakin besar modal
yang di konsumsi maka semakin besar pendapatan yang diterima oleh UMKM,
semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi tingkat pendapatan yang
diterima oleh UMKM, dan semakin modern teknologi yang diadopsi maka
semakin besar pendapatan yang di terima oleh UMKM sehingga modal,tingkat
pendidikan dan teknologi secara parsial berpengaruh positif dan signifikan
terhadap pendapatan UMKM di kawasan Iman Bonjol Denpasar Barat. Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Tri Utari Putu Martini Dewi
( 2014) Pengaruh Modal, Tingkat Pendidikan dan Teknologi terhadap Pendapatan
46
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kawasan Imam Bonjol Denpasar
adalah penelitian ini tentang pemberdayaan UMKM terhadap kinerja dan
kesejahteraan pelaku UMKM di Kabupaten Sikka sedangkan persamaannya
adalah indikator dari variabel kinerja terdapat pertumbuhan modal dan indikator
dari Variabel Kesejahteraan adalah pendapatan dan pendidikan pelaku UMKM.
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Suprianto (2006), dengan judul
“Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai salah satu upaya
Penanggulangan Kemiskinan” menyimpulkan melalui pemberdayaan UMKM
memiliki kontribusi yang besar dalam penyerapan tenaga kerja yaitu sebesar 99.45
persen tenaga kerja. Sektor UMKM sendiri memiliki prospek yang menjanjikan
dalam pemberian kuncuran kredit naik sebesar 187,1 pada tahun 2004.
Pengentasan kemiskinan dengan cara memberdayakan sektor UMKM memiliki
potensi yang sangat baik. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan Suprianto (2006), adalah dari variabelnya dimana penelitian Suprianto
pemberdayaan UMKM dengan pemberian penyaluran kredit sebagi Modal pelaku
UMKM sedangkan penelitian ini adalah pemberdayaan UMKM dengan variabel
penyadaraan, pendayagunaan dan pengkapasitasan pelaku UMKM. Persamaannya
adalah sama-sama meneliti pemberdayaan pelaku UMKM.