BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep- konsep dan...

29
18 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep- konsep dan defenisi 2.1.1 Kesejahteraan 2.1.1.1 Defenisi Kesejahteraan Kesejahteraan adalah keamananan dan keselamatan hidup. Kesejahteraan telah termasuk kemakmuran hidup, yaitu keadaaan yang menunjukkan keadaan orang hidup aman dan tenteram serta dapat memenuhi kebutuhan hidupnya ( Etzioni, 1999). Kesejahteraan sosial dapat didefenisikan sebagai suatu kondisi kehidupan individu dan masyarakat yang sesuai dengan standar kelayakan hidup yang dipersepsi masyarakat (Swasono, 2004). Tingkat kelayakan hidup dipahami secara relatif oleh berbagai kalangan dan latar belakang budaya, mengingat tingkat kelayakan ditentukan oleh persepsi normatif suatu masyarakat atas kondisi sosial, material, dan psikologis tertentu. 2.1.1.2 Faktor Penentu Kesejahteraan Pigou dan Sasana (2009), menjelaskan teori ekonomi kesejahteraan merupakan bagian dari kesejahteraan sosial yang dapat dikaitkan secara langsung maupun tidak langsung dengan pengukuran uang. Pada sisi lain kesejahteraan sosial merupakan sistem suatu bangsa tentang manfaat dan jasa untuk membantu masyarakat guna memperoleh kebutuhan social, ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang penting bagi kelangsungan masyarakat (Whithaker dan Federico dalam Sasana 2009). Sejalan dengan hal tersebut Segel dan Bruzy dalam

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep- konsep dan...

18

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep- konsep dan defenisi

2.1.1 Kesejahteraan

2.1.1.1 Defenisi Kesejahteraan Kesejahteraan adalah keamananan dan keselamatan hidup. Kesejahteraan

telah termasuk kemakmuran hidup, yaitu keadaaan yang menunjukkan keadaan

orang hidup aman dan tenteram serta dapat memenuhi kebutuhan hidupnya

( Etzioni, 1999). Kesejahteraan sosial dapat didefenisikan sebagai suatu kondisi

kehidupan individu dan masyarakat yang sesuai dengan standar kelayakan hidup

yang dipersepsi masyarakat (Swasono, 2004). Tingkat kelayakan hidup dipahami

secara relatif oleh berbagai kalangan dan latar belakang budaya, mengingat tingkat

kelayakan ditentukan oleh persepsi normatif suatu masyarakat atas kondisi sosial,

material, dan psikologis tertentu.

2.1.1.2 Faktor Penentu Kesejahteraan

Pigou dan Sasana (2009), menjelaskan teori ekonomi kesejahteraan

merupakan bagian dari kesejahteraan sosial yang dapat dikaitkan secara langsung

maupun tidak langsung dengan pengukuran uang. Pada sisi lain kesejahteraan

sosial merupakan sistem suatu bangsa tentang manfaat dan jasa untuk membantu

masyarakat guna memperoleh kebutuhan social, ekonomi, pendidikan dan

kesehatan yang penting bagi kelangsungan masyarakat (Whithaker dan Federico

dalam Sasana 2009). Sejalan dengan hal tersebut Segel dan Bruzy dalam

19

Widyastuti (2012), juga menjelaskan bahwa kesejahteraan dapat diukur dari

kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan dan kualitas hidup rakyat. .

Kesejahteraan masyarakat menengah bawa dapat direpresentasikan dari

tingkat hidup masyarakat yang ditandai dengan terentasnya dari kemiskinan,

tingkat kesehatan yang lebih baik, perolehan tingkat pendidikan yang lebih tinggi

serta produktivitas masyarakat (Todaro, 2000). Sejalan dengan Todaro, UNDP

(United Nation for Development Program ) mengembangkan sebuah indeks

pengukuran pembangunan yang dikenal dengan istilah Indeks Pembangunan

Manusia (Human Development Indeks). Nilai IPM oleh Todaro (2000) diukur

berdasarkan tiga indikator sebagi acauan yaitu pendapatan riil kapita, tingkat

melek huruf dan tingkat harapan hidup

2.1.1.3 Konsep dan Indikator Kesejahteraan

Konsep sejahtera menurut BKKBN, dirumuskan lebih luas daripada

sekedar definisi kemakmuran ataupun kebahagiaan. Konsep sejahtera tidak hanya

mengacu pada pemenuhan kebutuhan fisik orang ataupun keluarga sebagai entitas,

tetapi juga kebutuhan psikologisnya. Ada tiga kelompok kebutuhan yang harus

terpenuhi, yaitu: kebutuhan dasar, sosial, dan kebutuhan pengembangan. Apabila

hanya satu kebutuhan saja yang dapat dipenuhi oleh keluarga, misalnya kebutuhan

dasar, maka keluarga tersebut belum dapat dikatakan sejahtera menurut konsep

ini. Konsep kesejahteraan tidak terlepas dari kualitas hidup masyarakat

(Widyastuti, 2012). Indikator yang paling sering digunakan dalam mengukur

tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk suatu negara adalah pendapatan

perkapita (Supartono dkk, 2011). Namun demikian, pengukuran tingkat

20

kesejahteraan yang hanya menggunakan peningkatan pendapatan per kapita

banyak mengandung kelemahan dimana pada kenyataannya kondisi kesejahteraan

tidak menggambarkan kelompok masyarakat yang paling relative miskin

(Todaro,2000)

Pembangunan kesejahteraan keluarga mencakup 13 variabel, seperti:

pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, agama, keluarga berencana,

interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan, transportasi, tabungan,

informasi dan peranan dalam masyarakat. Selain itu, BKKBN menetapkan 5

(lima) tahapan Keluarga Sejahtera menurut pemenuhan kebutuhan, yaitu: Pra

Sejahtera, Sejahtera I, Sejahtera II, Sejahtera III, dan Sejahtera III Plus.

Kesejahteraan pelaku UMKM akan meningkat dengan meningkatkan

pemberdayaan pelaku UMKM tersebut. Keberhasilan pelaku UMKM dalam

mencapai tujuannya dapat diukur dari peningkatan kesejahteraan hidupnya.

Kesejahteraan bermakna sangat luas dan juga bersifat relatif, karena ukuran

sejahtera bagi seseorang dapat berbeda satu sama lain. Manusia pada dasarnya

adalah makhluk yang tidak pernah merasa puas, karena itu kesejahteraan akan

terus dikejar tanpa batas. Keberhasilan pelaku UMKM dalam meningkatkan

kesejahteraan sosial ekonomi hidupnya akan lebih mudah diukur, apabila aktivitas

ekonomi yang dilakukan oleh pelaku UMKM dilakukan melalui usahanya. Dalam

pengertian ekonomi, tingkat kesejahteraan itu dapat ditandai dengan tinggi

rendahnya pendapatan riil. Apabila pendapatan riil seseorang atau masyarakat

meningkat, maka kesejahteraan ekonomi seseorang atau masyarakat tersebut

meningkat pula. Sejalan dengan hal itu, maka apabila tujuan pelaku UMKM

21

adalah meningkatkan kesejahteraan hidupnya, maka berarti pula tujuan pelaku

UMKM tersebut diwujudkan dalam bentuk meningkatnya pendapatan riil .

2.1.2 Kinerja

2.1.2.1 Defenisi Kinerja

Kinerja merupakan terjemahan dari performance yang sering diartikan

oleh para cendekiawan sebagai “penampilan”, “unjuk kerja”, atau “prestasi”

(Keban, 2004). Menurut Jauch dan Glueck (1988) dalam Rahayu (2009) Kinerja

adalah merujuk ada tingkat pencapaian atau prestasi dari perusahaan dalam

periode waktu tertentu. Kinerja sebuah perusahaan adalah hal yang sangat

menentukan dalam perkembangan perusahaan. Tujuan perusahaan yang terdiri

dari tetap berdiri atau eksis (Survive), untuk meperoleh laba (Benefit), dan dapat

berkembang (Growth), dapat tercapai apabila perusahaan tersebut mempunyai

performa yang baik. Kinerja (Performance) perusahaan dapat dilihat dari tingkat

penjualan, tingkat keuntungan, pengembalian modal, tingkat turn over dan pangsa

pasar yang diraihnya. Kinerja perusahaan secara umum dan keunggulan

kompetitif merupakan tolak ukur tingkat keberhasilan dan perkembangan

perusahaan kecil. Pengukuran terhadap pengembalian investasi, pertumbuhan,

volume, laba dan tenaga kerja pada perusahaan umum dilakukan untuk

mengeathui kinerja perusahaan (Jeaning dan Beaver, 1997).

22

2.1.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja

Menurut Ruky dalam Hessel (2005), mengidentifikasikan faktor-faktor

yang berpengaruh langsung terhadap tingkat pencapaian kinerja organisasi

sebagai berikut : teknologi, kualitas input atau material, kualitas lingkungan fisik,

budaya organisasi, kepemimpinan, pengelolaan sumber daya manusia.

Atmosoeprapto dalam Hessel (2005), mengemukakan bahwa kinerja suatu

organisasi akan sangat dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor eksternal

berikut ini :

1) Faktor eksternal yang terdiri dari :

a) Faktor politik, yaitu hal yang berhubungan dengan keseimbangan

kekuasaan Negara yang berpengaruh pada keamanan dan ketertiban, yang akan

mempengaruhi ketenangan organisasi untuk berkarya secara maksimal.

b) Faktor ekonomi, yaitu tingkat perkembangan ekonomi yang berpengaruh

pada tingkat pendapatan masyarakat sebagai daya beli untuk menggerakkan

sektor-sektor lainnya sebagai suatu sistem ekonomi yang lebih besar.

c) Faktor sosial, yaitu orientasi nilai yang berkembang di tengah masyarakat,

yang mempengaruhi pandangan mereka terhadap etos kerja yang dibutuhkan

bagi peningkatan kinerja organisasi.

2) Faktor internal yang terdiri dari :

a) Tujuan organisasi, yaitu apa yang ingin dicapai dan apa yang ingin

diproduksi oleh suatu organisasi.

b) Struktur organisasi, sebagai desain antara fungsi yang akan dijalankan oleh

unit organisasi dengan struktur formal yang ada.

23

c) Sumber daya manusia, yaitu kualitas dan pengelolaan anggota organisasi

sebagai penggerak jalanya organisasi secara keseluruhan.

d) Budaya organisasi, yaitu gaya identitas suatu organisasi dalam pola kerja

yang baku dan menjadi citra organisasi yang bersangkutan.

2.1.2.3 Pengukuran dan Indikator Kinerja

Menurut Robertson dalam Mahsun (2006), pengukuran kinerja

(performance measurement) adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan

terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk

informasi atas : efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang

dan jasa; kualitas barang dan jasa (seberapa baik barang dan jasa diserahkan

kepada pelanggan dan sampai seberapa jauh pelanggan terpuaskan) hasil kegiatan

dibandingkan dengan maksud yang diinginkan; dan efektivitas tindakan dalam

mencapai tujuan. Elemen pokok pengukuran kinerja menurut Mahsun (2006 )

adalah sebagai berikut :

1) Menetapkan tujuan, sasaran, dan strategi organisasi

2) Merumuskan indikator dan ukuran kinerja

3) Mengukur tingkat ketercapaian tujuan dan sasaran-sasaran organisasi

4) Evaluasi kinerja

Kinerja perusahaan adalah hasil dari banyak keputusan individu yang

dibuat secara terus menerus oleh manajemen (Helfert, 1996). Untuk mengukur

kinerja perusahaa, Kotler (1991) menyarankan agar didasarkan pada ROI bukan

pada margin laba/profit. Soetjipto (1997) menyebutkan bahwa untuk mengukur

24

kinerja bisnis, dapat dilakukan dengan “balanced score card” (BSC). Sejalan

dengan pandangan di atas, Baswir (1995) menambahkan bahwa ada 4 faktor

penyebab utama rendahnya kinerja usaha kecil dan menengah (UKM) di

Indonesia yaitu:

1) Hampir 60% usaha kecil masih menggunakan teknologi tradisional

2) Pangsa pasar cendrung menurun karena kekurangan modal, lemahnya

teknologi dan manajerial;

3) Sebagian besar usaha kecil tidak mampu memenuhi persyaratan administratif

guna memperoleh bantuan dari Bank

4) Tingkat ketergantungan terhadap fasilitas pemerintah cendrung sangat besar.

Indikator kinerja dan ukuran kinerja ini sangat dibutuhkan untuk menilai

tingkat ketercapaian tujuan, sasaran, dan strategi. Mohammad Mahsun (2006)

definisi indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif yang

menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran dan tujuan yang telah

ditetapkan. Seperti untuk mengetahui pertumbuhan penjualan. modal, tenaga

kerja, pasar dan laba. Menurut Lohman dalam Mahsun (2006) indikator kinerja

(performance indicators) adalah suatu variabel yang digunakan untuk

mengekspresikan secara kuantitatif efektivitas dan efisiensi proses atau operasi

dengan berpedoman pada target-target dan tujuan organisasi. Menurut Lenvinne

dalam Ratminto dan Atik Septi Winarsih (2005) mengemukakan indikator kinerja

adalah Responsiveness, Responsibilit, accountability

25

2.1.3 Pemberdayaan

2.1.3.1 Defenisi Pemberdayaan

Pemberdayaan adalah terjemahan dari empowerment, sedang

memberdayakan adalah terjemahan dari empower. Menurut Merriam Webster dan

Oxford English Dictionary dalam Hutomo (2000), kata empower mengandung dua

pengertian, yaitu:

1) To give power atau authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan

kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain

2) To give ability to atau enable atau usaha untuk memberi kemampuan atau

keperdayaan.

Menurut Pranaka dan Moeljarto (1996) menjelaskan bahwa

pemberdayaan atau dikenal dengan empowerment adalah sebuah konsep yang

lahir dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat

khususnya Eropa. Untuk memahami konsep empowerment secara tepat,

memerlukan upaya pemahaman latar belakang konstekstual yang melahirkannya.

Pemberdayaan (empowerment) pada dasarnya mengacu pada usaha menumbuhkan

keinginan kepada seseorang dan pemberian peluang serta kesempatan bagi

bawahan untuk mengaktualisasikan diri, meningkatkan potensi dan kemampuan

yang dimiliki, serta memberikan pengalaman psikologis yang membuat seseorang

merasa berdaya

Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil memberikan

defenisi tentang pemberdayaan sebagai berikut : “ pemberdayaan adalah upaya

yang dilakukan oleh pemerintah,dunia usaha dan masyarakat dalam bentuk

26

penumbuhan iklim usaha, pembinaan dan pengembangan sehingga usaha kecil

mampu menumbuhkan dan memperkuat dirinya menjadi usaha yang tangguh dan

mandiri. Pemberdayaan masyarakat seharusnya mempunyai nilai kesetaraan,

bahwa masyarakat juga harus diberi kesempatan dalam proses pengambilan

keputusan mulai dari tahap identifikasi, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,

monitoring dan evaluasi, sehingga masyarakat dapat memelihara keberlanjutan

kegiatan dan dapat mempertanggungjawabkan secara terbuka apa yang telah

diputuskan bersama.

Shardlow (1998) mengatakan pada intinya : “pemberdayaan membahas

bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol

kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan

sesuai dengan keinginan mereka” Pemberdayaan dapat diartikan sebagai usaha

untuk memberi atau meningkatkan kemampuan seseorang, kelompok atau

masyarakat. Konsep ini sering ditafsirkan berbeda oleh tiap orang, karena

perbedaan sudut pandang Simanjuntak (1985) menerangkan bahwa perlunya

memberdayakan sumber daya manusia dilatar belakangi oleh empat hal, yaitu:

1) Melalui upaya pembangunan, potensi sumber daya manusia diarahkan

menjadi kekuatan di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik dan pertahanan

keamanan yang nyata, didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas,

memiliki kemampuan , memanfaatkan, mengembangkan dan menguasai ilmu

pengetahuan dan teknologi serta kemampuan manajemen.

2) Sumber daya manusia dipandang sebagai unsur yang sangat menentukan

dalam proses pembangunan, terutama di negara-negara yang sedang

27

berkembang. Hal ini berkaitan dengan pengalaman Negara industri baru

menunjukkan bahwa pertumbuhan bersumber dari pertumbuhan masyarakat

(efisiensi) yang didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas.

3) Adanya anggapan bahwa sumber daya manusia lebih penting daripada

sumber daya alam. Menurut pendapat ini, negara yang miskin sumber daya

alamnya, tetapi tinggi tingkat kualitas sumber daya manusianya sehingga

lebih maju daripada negara yang kaya sumber daya alamnya akan tetapi

kurang mementingkan sumber daya manusianya.

4) Pada pembangunan jangka panjang I pembangunan lebih dititik beratkan pada

pemanfaatan sumber daya alam, sedangkan dalam pembangunan jangka

panjang II perlu diadakan penyempurnaan.

Menurut Randy dan Riant Nugroho (2007) pemberdayaan pada

dasarnya merupakan suatu proses yang dijalankan dengan kesadaran dan

partisipasi penuh dari para pihak untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas

masyarakat sebagai sumber daya pembangunan agar mampu mengenali

permasalahan yang dihadapai dalam mengembangkan dan monolong diri menuju

keadaaan yang lebih baik , mampu menggali dan memanfaatkan sumber daya

yang tersedia untuk kepentingan diri dan kelompoknya, serta mampu

mengekseistensikan diri secara jelas dengan mendapatkan manfaat darinya.

Pemberdayaan adalah sebuah "proses menjadi", bukanlah sebuah "proses instan".

Sebagai proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan yaitu penyadaran,

pengkapasitasa, dan pendayaan lebih lanjut dapat digambarkan sebagai berikut :

28

Gambar 2.1

Tahapan Pemberdayaan

Sumber: Randy Wrihatnolo dan Riant Nugroho Dwidjowijoto (2007)

1) Tahap Penyadaran:

Pada tahap ini target yang hendak diberdayakan diberi "pencerahan"

dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk

mempunyai "sesuatu". Program-program yang dapat dilakukan pada tahap ini

misalnya memberikan pengetahuan yang bersifat kognisi, belief dan healing.

Prinsip dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka perlu

(membangun"demand") diberdayakan, dan proses pemberdayaan itu dimulai dari

diri mereka sendiri. Pada tahap ini pelaku UMKM dibuat mengerti bahwa

pemberdayaan itu berasal dari diri mereka sendiri. Diupayakan pula agar pelaku

UMKM ini mendapat cukup informasi. Melalui sosialisasi (pengenalan) maka

informasi yang aktual dan akurat terjadi proses penyadaran secara ilmiah. Proses ini

dapat dipercepat dan dirasionalkan hasilnya dengan hadirnya upaya pendampingan

dari pemerintah atau pihak lainnya.

Pendayaan

Pengkapasitasan

Penyadaran

29

2) Tahap Pengkapasitasan.

Disebut "capacity building" atau memampukan. Untuk diberikan daya

atau kuasa yang bersangkutan harus mampu terlebih dahulu. Misalnya, sebelum

memberikan otonomi daerah, seharusnya daerah-daerah yang hendak otonomkan

diberi program kemampuan atau capacity building untuk membuat mereka cakap

dalam mengelola otonomi yang diberikan. Proses capacity building terdiri dari

tiga jenis, yaitu manusia, organisasi, dan sistim nilai. Tujuan dari tahap ini adalah

memampukan pelaku UMKM sehingga mereka memiliki ketrampilan untuk

mengelola peluang yang diberikan. Pada tahap ini dilakukan dengan memberikan

pelatihan, lokakarya dan kegiatan yang sejenis yang bertujuan untuk meningkatkan life

skill peserta UMKM. Dalam tahap ini sekalikus diperkenalkan dan dibukakan akses

kepada sumber kunci yang berada diluar komunitasnya sebagai jembatan mewujudkan

harapan dan eksistensi dirinya. Selain memampukan peserta UMKM baik secara

individual maupun kelompok proses memampukan juga menyangkut organisasi dan

sisitem nilai. Pengkapasitasan melalui restrukturisasi organisasi pelaksana sedangakan

pengkapasitasan sistem nilai terkait dengan” aturan main” yang akan digunakan dalam

mengelola peluang

3)Tahap Pendayaan atau "empowerment" dalam makna sempit.

Pada tahap ini, kepada pelaku UMKM diberikan pelatihan, daya,

kekuasaan, otoritas, atau peluang yang disesuaikan dengan kemampuan yang

dimiliki melalui partisipasi aktif dan berkelanjutan yang ditempuh dengan

memberikan peran yang lebih besar secara bertahap sesuai dengan kapasitas dan

kapabilitasnya, diakomodasi aspirasinya serta dituntun untuk melakukan self

30

evolution terhadap pilihan dan hail pelaksanaan atas pilihan. Pemberian pelatihan

ini sesuai dengan kualitas kecakapan yang telah dimiliki.

2.1.3.2 Konsep Pemberdayaan

Konsep pemberdayaan masyarakat menurut Pranaka dan Priyono

(1996) dapat dilakukan dalam 3 (tiga) fase, yaitu fase inisial, fase partisipatoris,

dan fase emansipatoris.

1) Fase inisial, semua proses pembedayaan berasal dari pemerintah, oleh

pemerintah dan diperuntukan bagi masyarakat. Pada fase ini masyarakat

bersifat pasif, melaksanakan apa yang direncanakan pemerintah dan tetap

tergantung kepada pemerintah.

2) Fase partisipatoris, proses pemberdayaan berasal dari pemerintah bersama

masyarakat, oleh pemerintah bersama masyarakat, dan diperuntukan bagi

masyarakat. Pada fase ini masyarakat sudah dilibatkan secara aktif dalam

kegiatan pembangunan untuk menuju kemandirian.

3) Fase emansipatoris, proses pemberdayaan berasal dari masyarakat, oleh

masyarakat dan untuk masyarakat dengan dukungan oleh pemerintah. Pada

fase ini masyarakat sudah menemukan kekuatan dirinya, sehingga dapat

melakukan kekuatan dirinya, sehingga dapat melakukan pembaharuan dalam

mengaktualisasikan diri.

Menurut Kartasasmita (1996), konesp pemberdayaan ekonomi rakyat

adalah “Upaya yang merupakan pengerahan sumber daya untuk mengembangkan

potensi ekonomi rakyat untuk meningkatkan produktivitas rakyat sehingga, baik

31

sumber daya manusia maupun sumber daya alam di sekitar keberadaan rakyat,

dapat ditingkatkan produktivitasnya”. Dari berbagai pandangan mengenai konsep

pemberdayaan, maka dapat disimpulkan, bahwa pemberdayaan ekonomi

masyarakat adalah penguatan pemilikan faktor-faktor produksi, penguatan

penguasaan distribusi dan pemasaran, penguatan masyarakat untuk mendapatkan

gaji/upah yang memadai, dan penguatan masyarakat untuk memperoleh informasi,

pengetahuan dan ketrampilan, yang harus dilakukan secara multi aspek, baik dari

aspek masyarakatnya sendiri, maupun aspek kebijakannya. Pemberdayaan

memuat dua pengertian kunci yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan

di sini diartikan bukan hanya menyangkut kekuatan politik namun mempunyai arti

luas yang merupakan penguasaan masyarakat atas: a) Power over personal

choices and life chances, b) Power over the definition of need, c) Power over

ideas, d) Power over institutions, e) Power over resources, f) Power over

economic activity, g) Power over reproduction

2.1.3.3 Indikator Pemberdayaan

Pemberdayaan dapat diartikan sebagai tujuan dan proses. Sebagai

tujuan,pemberdayaan adalah suatu keadaan yang ingin dicapai, yakni masyarakat

yang memiliki kekuatan atau kekuasaan dan keberdayaan yang mengarah pada

kemandirian sesuai dengan tipe-tipe kekuasaan yang disebutkan sebelumnya.

Menurut Suharto (2005), pemberdayaan sebagai proses memiliki lima indikator

yaitu:

32

1) Enabling adalah menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi

masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu

membebaskan masyarakat dari sekat-sekat struktural dan kultural yang

menghambat

2) Empowering adalah penguatan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki

masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan

kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuh kembangkan segenap

kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian

3) Protecting yaitu melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah

agar tidak tertindas oleh kelompok-kelompok kuat dan dominan, menghindari

persaingan yang tidak seimbang, mencegah terjadinya eksploitasi kelompok

kuat terhadap yang lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan

segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan masyarakat

kecil. Pemberdayaan harus melindungi kelompok lemah, minoritas dan

masyarakat terasing

4) Supporting yaitu pemberian bimbingan dan dukungan kepada masyarakat

lemah agar mampu menjalankan peran dan fungsi kehidupannya.

Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke

dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan

5) Fostering yaitu memelihara kondisi kondusif agar tetap terjadi keseimbangan

distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok masyarakat. Pemberdayaan

harus mampu menjamin keseimbangan dan keselarasan yang memungkinkan

setiap orang memperoleh kesempatan usaha.

33

2.1.3.4 Pendekatan Pemberdayaan

Proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan di atas dicapai melalui

penerapan pendekatan pemberdayaan. Parsons, et al., (1994) menyatakan bahwa

proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif. Menurutnya, tidak ada

literature yang menyatakan bahwa proses pemberdayaan terjadi dalam relasi satu

lawan satu antara pekerja sosial dan klien dalam setting pertolongan perseorangan.

Walaupun pemberdayaan ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan

kemampuan klien, hal ini bukanlah strategi utama pemberdayaan. Meskipun

demikian, tidak semua intervensi pekerjaan sosial dapat dilakukan melalui

kolektivitas. Untuk beberapa situasi, strategi pemberdayaan dapat saja dilakukan

secara individual, walaupun pada akhirnya strategi ini tetap berkaitan dengan

kolektivitas, dalam arti mengkaitkan klien dengan sumber atau sistem lain di luar

dirinya. Karenanya, dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan dapat

dilakukan melalui tiga pendekatan : mikro, mezzo dan makro.

1) Pendekatan Mikro.

Pemberdayaan dilakukan terhadap klien secara individu melalui

bimbingan, konseling, stress management, crisis invention. Tujuan utamanya

adalah memberi bimbingan atau melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas

kehidupannya. Model ini sering disebut Pendekatan yang Berpusat pada Tugas

(task centered approach).

2) Pendekatan Mezzo.

Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien. Pemberdayaan ini

dilaksanakan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi.

34

Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan sebagai

strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, ketrampilan dan sikap-

sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang

dihadapinya.

3) Pendekatan Makro

Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large

system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada system lingkungan

yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial,

lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa

strategi dalam pendekatan ini. Pendekatan ini memandang klien sebagai orang

yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi-situasi mereka sendiri, dan

untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk melakukan tindakan

2.1.3.5 Defenisi dan Kriteria Usaha Mikro Kecil dan Mengah

Pengertian Usaha Mikro Kecil dan Menengah pada dasarnya mengacu

pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha

Mikro, Kecil dan Menengah. Dalam Undang-Undang tersebut yang dimaksud

dengan Usaha Mikro, adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau

badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang ini. Sedangkan Usaha Kecil adalah usaha ekonomi

produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan

usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang

dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian langsung maupun tidak langsung dari

35

Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil

sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang ini. Pengertian Usaha

Menengah adalah usaha ekonomi yang produktif yang berdiri sendiri , yang

dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak

perusahaan atau cabang perusahan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian

baik langsung mauapun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar

dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur

dalam undang-undang ini.

Tabel 2.1

Kriteria Usaha Mikro, Keci dan Menengah

No Berdasarkan Usaha Mikro Usaha Kecil Usaha Menegah

1 UU No.20

Thn 2008

Aset > 50 juta

Omset > 300 juta

Aset 50-100 juta

Omset 300-2,5M

Aset 500-10 M

Omset 2.5M-50M

2 BPS Pekerja maksiml 5

orang termasuk

keluarga

Pekerja 5-10

orang

Pekerja 5-99

orang

3 BI Aset > 50 juta

Omset > 500 juta

Aset > 200juta

Omset > 1 Millar

Aset > 3 Milliar

Omset > 5milliar

4 Bank Dunia Pekerja minimal

10 orang

Aset > $100 ribu

Omset > $100 ribu

Pekerja minimal

50 orang

Aset > $3 juta

Omset >$3 juta

Pekerja minimal

300 orang

Aset > $15 juta

Omset >$ 15 juta

5 Menurut

Staley &

Morse

Pekerja 1-9

orang

Pekerja 10- 49

orang

Pekerja 50-99

orang

Sumber: Olahan Peneliti 2015

Usaha mikro memiliki karakteristik yang khas, berdasarkan survey

Kuncoro (2009) adalah sebagai berikut:

1) Jenis barang usahannya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat berganti

2) Tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat pindah tempat

36

3) Belum melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun, dan tidak

memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha.

4) SDM nya belum memiliki jiwa wirausaha yang memadai.

5) Tingkat pendidikannya rata-rata relative rendah.

6) Umumnya belum akses kepada perbankan, namun sebagian dari mereka sudah

akses ke lembaga keuangan non bank.

7) Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas lainnya

termasuk NPWP

Kokotiasa (2002) mengungkapkan beberapa hal yang perlu digaris

bawahi agar UMKM sebagai basis perekonomian rakyat tetap eksis, maka harus

diperhatikan melalui usaha-usaha yang dapat membangkitkan gairah kerja melalui

antara yaitu: kemitraan, restrukturisasi utang UKM, pemberian Manajemen

sederhan bagi UKM, pengenalan teknologi, dan kemampuan asosiasi UKM.

2.1.3.6 Pemberdayaan UMKM

Peran strategis UMKM memerlukan adanya pemberdayaan UMKM agar

mampu tumbuh dan berkembang menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. Iklim

Usaha adalah kondisi yang diupayakan pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk

memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah secara sinergis melalui

penetapan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan di berbagai

aspek kehidupan ekonomi agar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah memperoleh

pemihakan, kepastian, kesempatan, perlindungan, dan dukungan berusaha yang

seluas-luasnya. Pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah,

37

Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat untuk memberdayakan Usaha

Mikro, Kecil, dan Menengah melalui pemberian fasilitas bimbingan

pendampingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan

kemampuan dan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Pemberdayaan UMKM diselenggarakan sebagai kesatuan dan

pembangunan perekonomian nasional untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.

Dengan dilandasi dengan asas kekeluargaan, upaya pemberdayaan UMKM

merupakan bagian dari perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar

atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, berkelanjutan, berwawasan

lingkungan, kemandirian, keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi

nasional untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Prinsip Pemberdayaan

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UU No. 20/2008) adalah:

1) Penumbuhan kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha Mikro,

Kecil, dan Menengah untuk berkarya dengan prakarsa sendiri.

2) Perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan.

3) Pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai

dengan kompetensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

4) Peningkatan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

5) Penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara terpadu.

Sedangkan Tujuan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

(UU No. 20/2008) adalah:

1) Mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan

berkeadilan.

38

2) Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri

3) Meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunan

daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan

ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.

Sijabat (2000), penelitian mengatakan upaya pemberdayaan UMKM

bukanlah suatu komitmen kebijakan jangka pendek, tetapi merupakan proses

politik jangka panjang. Dalam upaya mendorong percepatan proses pemberdayaan

UMKM selama era reformasi juga terlihat sudah cukup banyak isu politik yang

seharusnya dapat mempercepat proses pemberdayaan koperasi dan UKM.

2.2 Teori- teori yang relevan

2.2.1 Teori Kesejahteraan

Dalam teori ekonomi konsep kesejahteraan masyarakat dikenal sebagai

ekonomi kesejahteraan (walfare economics) . Sen (2002), yang pada hakekatnya

menjelaskan faktor-faktor produksi serta barang dan jasa dalam suatu

perekonomian kepada semua masyarakat atau menjelaskan interaksi ekonomi

yang ingin mencari kondisi bagi pemanfaatan sumber daya secara efisien.

Mekanisme pasar diyakini mampu menjadi alat distribusi kesejahteraan melalui

mekanisme pertukaran. Lewat pertukaran tersebut terjadi distribusi kekayaan dan

atau pendapatan dengan pembayaran atau penggunaan faktor produksi atau

pembelian barang dan jasa dengan asumsi proses tercapainya keseimbangan

tersebut berlangsung dalam suatu pasar yang terisolasi dari pasar lainnya atau

39

perekonomiannya hanya terdiri dari pelaku ekonomi (Raharja,1999). Jadi

perekonomian telah berjalan secara efisien bila terjadi mekanisme pertukaran

yang efisien (efficiency in exchange) dan produksi berjalan efisien (efficiency in

production).

Menurut Sukirno (2006), kesejahteraan mempunyai makna yang luas,

tidak hanya dikaitkan dengan pendapatan dan konsumsi terapi juga asset. Artinya

kesejahteraan tidak hanya berfokus kepada konsumsi barang dan jasa tetapi juga

akses kepada asset kekayaan dan sosial. Kesejahteraan masyarakat merupakan

suatu hal yang besifat subjektif. Artinya tiap orang mempunyai pandangan hidup.

Tujuan hidup dan cara-cara hidup yang berbeda dan dengan demikian member

nilai-nilai yang berbeda terhadap faktor-faktor yang menentukan tingkat

kesejahteraan mansyarakat.

2.2.2 Teori Human Capital

Investasi sumber daya manusia diperoleh dengan mengeluarkan sejumlah

dana serta kesempatan untuk menciptakan penghasilan selama proses investasi

(Atmanti, 2005). Tingkat penghasilan sebagai imbalan selama proses investasi

yang diharapkan adalah tingkat penghasilan yang lebih tinggi. Investasi yang

tergambar tersebut dikatakan Human Capital (Simanjuntak dalam Atmanti,2005)

Human Capital merupakan kombinasi dari pengetahuan, ketrampilan, inovasi dan

kemampuan seseorang untuk menjalankan tugasnya sehingga dapat menciptakan

suatu nilai untuk mencapai tujuan (Ongkoraharjo, 2008).

40

Human Capital juga didefinisikan oleh Hudson dan Juwita (2007)

sebagai bakat, pendidikan, pengalaman, sikap dalam hidup dan bisnis. Asumsi

dasar teori Human Capital bahwa melalui peningkatan pendidikan, seseorang

dapat meningkatkan penghasilannya (Atmanti, 2005). Pendidikan dapat mengubah

pola pikir seseorang, dimana dengan pendidikan seseorang mendapatkan banyak

pengetahuan, ilmu dan informasi yang terus berkembang. Sulistiawati (2012)

menyebutkan bahwa pendidikan merupakan salah satu factor yang menentukan

produktivitas. Bila sumber daya manusia diberdayagunakan secara efisien sebagai

salah satu faktor, akan mampu meningkatkan produktivitas. Produktivitas akan

menciptakan pendapatan yang meningkatkan daya beli seseorang. Dengan

demikian, dapat diasumsikan bahwa kesejahteraan seseorang akan tercapai jika

orang tersebut mampu meningkatkan pendapatannya.

2.2.3 Teori Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi dapat dipahami sebagai upaya melakukan

perubahan dalam pengembangan yang lebih baik dari sebelumnya yang ditandai

dengan membaiknya faktor – faktor produksi. Faktor – faktor produksi tersebut

adalah kesempatan kerja, investasi dan teknologi yang digunakan. Membaiknya

ekonomi suatu wilayah diperlihatkan dengan membaiknya tingkat konsumsi

masyarakat, investasi swasta, investasi publik, ekspor dan impor yang dihasilkan

oleh suatu Negara (Menteri permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003).

Pembangunan dapat dipandang sebagai suatu proses transisi multi

dimensi yang mencerminkan hubungan antar berbagai proses perubahan di dalam

41

suatu negara, dimana proses perubahan multidimensional tersebut ditandai oleh

proses tranformasi struktural. Menurut Stimson dan Stough (2006), proses

transformasi struktural tersebut ditandai dengan perubahan struktur ekonomi yang

dicerminkan oleh perubahan kontribusi sektoral (shift – share) di dalam

pendapatan nasional. Proses transformasi struktural itu sendiri dapat

dikelompokkan dalam empat proses utama yaitu : (1) proses akumulasi, (2) proses

alokasi, (3) proses distribusi dan (4) proses demografis.

Pembangunan Ekonomi bersifat multidimensi yang mencakup berbagai

aspek dalam kehidupan masyarakat dan bukan hanya salah satu aspek ekonomi

saja. Pembangunan ekonomi diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan

oleh suatu Negara dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf

hidup masyarakatnya. Atau dapat dikatakan sebagai proses yang menyebabkan

kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu Negara dalam kurun waktu

lama (jangka panjang) disertai perbaikan sistem kelembagaan (Arsyad, 2010).

Paham pembangunan ekonomi menekankan produk per kapita dan pendapatan per

kapita. Produk per kapita dan pendapatan per kapita inilah yang dijadikan ukuran

tingkat hidup dalam mayarakat. Karena itu era tahun lima puluhan pengertian

pembangunan ini terbatas pada proses kenaikan pendapatan nasional dan

pendapatan per kapita, atau proses pembangunan itu terbatas pada bidang

ekonomi atau titik beratnya pada bidang ekonomi. Oleh karena itu, dalam proses

pembangunan setiap negara, pertumbuhan pendapatan dan pendapatan per kapita

ini selalu dimonitor. Kemudian istilah pembangunan dewasa ini semakin

berkembang laksana mukjizat. Pembangunan mengandung begitu banyak makna,

42

mempunyai fungsi ganda, menimbulkan banyak harapan, tapi juga membawa

perdebatan yang tak habis-habisnya di kalangan masyarakat yang semakin meluas

2.3 Keaslian Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, maka pengacuan kepada penelitian

sebelumnya sangatlah diperlukan. Hal ini bertujuan sebagai dasar yang kuat dalam

penyajian materi, pemantapan variable maupun konsep-konsep yang dipakai

peneliti. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh dilakukan Ardiana dkk, (2010)

tentang Kompetensi SDM UKM dan pengaruhnya terhadap Kinerja UKM di

Surabaya memberi kesimpulan. Dari hasil analisa data diketemukan bahwa

kompetensi yang terdiri dari pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan memiliki

pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja UKM di Kota Surabaya.

Perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan Ardiana dkk,

(2010) meneliti kinerja UKM di Surabaya melalui kompetensi SDM yang terdiri

dari pengetahuan, keterampilan dan memiliki pengaruh dominan terhadap kinerja

UKM di Surabaya sedangkan penelitian ini meneliti mengenai kesejahteraan dan

kinerja (pertumbuhan penjualan, modal, tenaga kerja, pasar, dan laba) pelaku

UMKM di Kabupaten Sikka. Persamaan dengan penelitian ini adalah dala

meneliti kinerja pelaku UMKM.

Penelitian berikutnya adalah penelitiannya Aristeidis G. Samitas dan

Dimitris F. Kenourgios, (2005) menggunakan metode Engle dan Granger dengan

menerapkan kointegrasi untuk menyelidiki hubungan antara usaha kecil

43

menengah (UKM) pasar (Inggris, Perancis, Jerman, Italia dan Yunani) ke Eropa

yang ekonominya terintegrasi dan lingkungan keuangan. Hasil penelitian

menunjukkan tidak adanya integrasi di pasar UKM, hal ini menunjukkan

diversifikasi peran mereka dalam keuangan UKM.Dalam hasil penelitianya

Aristeidis G. Samitas dan Dimitris F. Kenourgios mengusulkan beberapa tindakan

kebijakan yang menarik ke dalam penerapan kerangka hukum dan perdagangan

umum dalam rangka untuk meningkatkan peran bersama mereka sebagai sumber

pembiayaan alternatif kewirausahaan Eropa. Perbedaan dengan penelitian ini adalah

Aristeidis G. Samitas dan Dimitris F. Kenourgios menggunakan metode Engle dan

Granger menyelidiki hubungan pelaku UKM di Eropa dengan lingkungan

keuangannya sedangkan penelitian ini membicarakan pengaruh pemberdayaan

terhadap kesejahteraan dan pelaku UMKM di Kabupaten Sikka. Persamaan dengan

penelitian ini adalah dalam meniliti pertumbuhan pasar dan pembiayaan (modal)

pelaku UMKM.

Penelitian yang dilakukan oleh Aylin Ates dan Umit Bititci (2007)

dalam penelitiannya yang bertujuan untuk menangani dinamika dan kegiatan

dalam proses strategi UKM, ini dapat membantu pembaca memahami praktek dan

bahasa manajer UKM tentang strategi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Aylin

Ates and Umit Bititci menunjukkan bahwa dinamika startegi UKM (usaha kecil

menengah) memiliki dua dimensi yang muncul dan direncanakan manajer UKM

mengeksekusi strategi proses terutama dari fashion informal dengan memegang

fungsi ganda dan dengan aplikasi terbatas alat manajemen strategi dan teknik. UKM

menempatkan lebih menekankan pada scanning lingkungan eksternal (pelanggan,

44

pemasok, pesaing, universitas dan pemberi pinjaman) dan kemudian menentukan

strategi dan tujuan. Ini menyiratkan bahwa proses strategi UKM ditandai oleh lebih

dari pandangan berbasis pasar. Perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian

yang dilakukan oleh Aylin Ates dan Umit Bititci (2007) dalam penelitiannya yang

bertujuan untuk menangani dinamika dan kegiatan dalam proses strategi UKM,

sedangkan penelitian ini adalah meneliti tentang kesejahteraan dan kinerja pelaku

UMKM melalui pemberdayaan UMKM di Kabupaten Sikka. Persamaan dengan

penelitian ini adalah meneliti kinerja pelaku UMKM dengan indikator pertumbuhan

pasar.

Penelitian yang dilakukan oleh Kuncoro dkk, (2013) mengenai profil dan

strategi pengembangan koperasi dan UMKM di Kabupaten Sikka-NTT memiliki

kesimpulan sebagai berikut: a) Membahas tentang permasalahan Koperasi dan

UMKM diKabupaten Sikka menyimpulkan masih rendahnya kualitas SDM baik

untuk pembinaan, maupun gerakan koperasi, bagi pelaku UMKM. Masalah secara

khusus adalah sistem administrasi dan keuangan yang kurang baik, masalah

memperoleh pinjaman dari bank, masalah penyusunan perencanaan bisnis karena

persaingan, masalah bahan baku, masalah akses terhadap teknologi, masalah

perbaikan kualitas barang dan masalah tenaga kerja yaitu sulitnya mendapat tenaga

kerja yang terampil. c) Membahas tentang strategi pengembangan KUMKM di

Kabupaten Sikka yaitu memyimpulkan strategi pengembangan KUMKM di

Kabupaten Sikka sebaiknya merujuk kepada arah pembangunan jangka menegah

dan jangka panjang, pengembangah KUMKM dihasilkan dengan mensinergi

kepada lima hal yaitu arah kebijakan pembangunan industri, arah kebijakan

45

pembangunan KUMKM nasional, arah kebijakan pengembangan KUMKM NTT,

arahan RT/RW NTT khususnya zona pembangunan wilayah dan hasil analisis

subsetor unggulan serta komoditi unggulan KUMKM di Kabupaten Sikka-NTT.

Perbedaan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Kuncoro

dkk, (2013) mengenai profil dan strategi pengembangan koperasi dan UMKM di

Kabupaten Sikka-NTT sedangkan penelitian ini adalah meneliti tentang pengaruh

pemberdayaan UMKM terhadap kinerja dan kesejahteraan pelaku UMKM di

Kabupaten Sikka-NTT. Persamaan dengan penelitian ini adalah kesamaan tempat

dan pelaku UMKM.

Penelitian Tri Utari Putu Martini Dewi ( 2014) Pengaruh Modal, Tingkat

Pendidikan dan Teknologi terhadap Pendapatan Usaha Mikro Kecil dan

Menengah (UMKM) di Kawasan Imambonjol Denpasar menyimpulkan Pertama,

hasil uji simultan (uji F) menunjukkan bahwa modal, tingkat pendidikan dan

teknologi secara simultan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan UMKM di

kawasan Iman Bonjol Denpasar Barat. Kesimpulan kedua, semakin besar modal

yang di konsumsi maka semakin besar pendapatan yang diterima oleh UMKM,

semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi tingkat pendapatan yang

diterima oleh UMKM, dan semakin modern teknologi yang diadopsi maka

semakin besar pendapatan yang di terima oleh UMKM sehingga modal,tingkat

pendidikan dan teknologi secara parsial berpengaruh positif dan signifikan

terhadap pendapatan UMKM di kawasan Iman Bonjol Denpasar Barat. Perbedaan

penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Tri Utari Putu Martini Dewi

( 2014) Pengaruh Modal, Tingkat Pendidikan dan Teknologi terhadap Pendapatan

46

Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kawasan Imam Bonjol Denpasar

adalah penelitian ini tentang pemberdayaan UMKM terhadap kinerja dan

kesejahteraan pelaku UMKM di Kabupaten Sikka sedangkan persamaannya

adalah indikator dari variabel kinerja terdapat pertumbuhan modal dan indikator

dari Variabel Kesejahteraan adalah pendapatan dan pendidikan pelaku UMKM.

Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Suprianto (2006), dengan judul

“Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai salah satu upaya

Penanggulangan Kemiskinan” menyimpulkan melalui pemberdayaan UMKM

memiliki kontribusi yang besar dalam penyerapan tenaga kerja yaitu sebesar 99.45

persen tenaga kerja. Sektor UMKM sendiri memiliki prospek yang menjanjikan

dalam pemberian kuncuran kredit naik sebesar 187,1 pada tahun 2004.

Pengentasan kemiskinan dengan cara memberdayakan sektor UMKM memiliki

potensi yang sangat baik. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang

dilakukan Suprianto (2006), adalah dari variabelnya dimana penelitian Suprianto

pemberdayaan UMKM dengan pemberian penyaluran kredit sebagi Modal pelaku

UMKM sedangkan penelitian ini adalah pemberdayaan UMKM dengan variabel

penyadaraan, pendayagunaan dan pengkapasitasan pelaku UMKM. Persamaannya

adalah sama-sama meneliti pemberdayaan pelaku UMKM.