Post on 10-Nov-2018
23
BAB II
A. PENGERTIAN, SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
Seringkali kita mengalami kerancuan ketika berbicara hukum Islam.
Bahkan, tidak jarang ada salah pemakaian kata ketika disandingkan dengan istilah
syari’at dan fiqih. Dalam tulisannya Qadry A Azizy membedakan terma hukum
Islam dan fiqih sebagai berikut1. Pertama, istilah fiqih berarti faham
(fahm/understanding) yang menjadi kebalikan dari dan sekaligus menjadi
suplemen terhadap istilah ‘ilm (menerima pelajaran) terhadap nash, yakni al
Qur’an, Sunnah atau Hadits. Kedua, fiqih dan ilm keduanya mengacu pada
pengetahuan (knowledge) yang berarti menjadi identik. Ketiga, fiqih berarti suatu
jenis disiplin dari jenis-jenis pengetahuan Islam atau ilmu-ilmu keislaman.
Kalau ditelisik, pada awalnya penggunaan term fiqih2 mencakup hukum-
hukum agama secara global (kaffah), menyeluruh, baik itu yang berkaitan dengan
al aqa’id (kepercayaan), maupun yang berkenaan dengan hukum-hukum
amaliyyah (praktis) dan akhlak. Tidak heran kalau kemudian muncul istilah–
istilah lain seperti al fiqih al asghar dan al fiqih al akbar. Ulama yang pertama
mengenalkan term tersebut adalah Abu Hanifah. Berbeda dengan at Tirmidzi, ia
1 A Qadri Azizy, Ph.D., Hukum Nasional;Eklektisisme Hukum Islam dan Umum, Jakarta:
Teraju, 2004, hlm 21-22. 2 Fiqih berarti juga yurisprudensi atau kumpulan hukum-hukum syari’at Islam mengenai
perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalilnya secara terperinci. Dalil-dalil yang digunakan sebagai dasar hukum syar’iyah menurut jumhur ulama adalah al Qur’an, al Sunnah, al Ijma, dan al Qiyas. Untuk lebih detail mengenai definisi dan objek fiqih lihat Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994, hlm 2-6.
24
memahami fiqih tentang sesuatu berarti mengetahui sampai kepada
kedalamannya.3
Sementara, sebagian ulama memaknai fiqih sebagai pengetahuan tentang
hukum-hukum perbuatan mukallaf secara terinci berdasarkan dalil-dalil dari al
Qur’an dan al Sunnah dengan cara menggali hukum (istimbat al ahkam),
penjelasan dan penerapan hukum. 4
Seiring dengan perkembangan zaman definisi fiqih pun terus meluas,
sebagaimana yang telah ditulis oleh Fazlurrahman5 dan Rasyid Ridha. Rahman
(panggilan Fazlur Rahman) mengatakan Definisi fiqih sekarang telah menjadi
suatu nama ilmu yang mempunyai istilah khusus dikalangan ulama-ulama Islam
3 Ta’rif fiqih secara detail dijelaskan oleh Hasby as Shidiqi dengan membagi dalam beberapa
periode diantaranya ta’rif fiqih masa sahabat dan masa abad kedua. Masa sahabat, fiqih dimaknai segala rupa pengetahuan agama yang tidak mudah diketahui masa yang pertama. Dan masa abad kedua, fiqih dimaknai sebagai ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban. Pada periode ini, Abu Hanifah memaknai fiqih sebagai ilmu yang menerangkan segala yang diwajibkan, disunatkan, dimakruhkan, diharamkan dan dibolehkan. Lihat, Hasby as Shidiqi, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, hlm 24.
4 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994 hlm 2-6
5 Rahman panggilan untuk Fazlurrahman adalah intelektual muslim yang lahir pada 1919 di Pakistan. Ilmuwan yang berasal dari kota yang sama seperti Syah Waliyullah al Dahlawi, Sayyid Ahmad Khan, Amir Alidann M Iiqbal. Rahman di besarkan dari keluarga dengan tradisi madzhab Hanafi, sebuah madzhab sunni yang bercorak lebih rasionalis karena lebih menggunakan ra’y daripada riwayat (hadits) di samping memperoleh pendidikan secara formal dari madrasah, ia juga mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya yang berasal dari Deoband sebuah madrasah terkenal di anak Benua Indo-Pakistan. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di departemen ketimuran Universitas Punjab, Lahore dan lulus tahun 1942 dengan gelar M.A. dalam bidang sastera Arab, tahun 1946 Rahman mengambil program doktor di Universitas Oxford, Inggris. Tahun 1949 ia mendapat gelar Ph.D dengan disertasi tentang Ibnu Sina. Ia terkenal lewat karya monumentalnya Major Themes of the Qur’an yang kemudian diterjemahkan menjadi tema pokok al Qur’an. (baca tulisan Ali Masrur dalam Studi al Qur’an Kontemporer; Wacana Baru berbagai metodologi Tafsir, Yogyakarta:Tiara Wacana 2002.
25
(Fazlur Rahman, 1979). Sedang Rasyid Ridho6 menyebutkan fiqih yakni “Al
fahmuddaqiq lil haqaiq al ladzi yakuunul ‘aalim hakiiman ‘aamilan mutqifann”.
Pemahaman fiqih yang demikian meluas, sampai fiqih difahami sebagai
kehendak pembicara sebagaimana yang diucapkan, dengan kata lain paham dan
mengerti kehendak Allah SWT dengan segala firmannya. Padahal, tingkat
pemahaman manusia sangat beragam antara yang satu dengan yang lain, artinya
fiqih lebih identik dengan ilm al syari’ah, dan ilm al syari’ah7 itu mempunyai
kebenaran yang relatif dan zhanniy (dikatakan zhanniy sebab ia adalah apa yang
dicapai oleh mujtahid dengan zhann-nya) artinya fiqih itu sifatnya relatif dan
zhanny.
Karena zhanny-nya itulah kemudian terus menerus mengalami
perkembangan dan metamorfose, termasuk relasinya dengan syari’ah karena
berbicara fiqih tidak lepas dengan syari’ah. Secara sederhana syari’ah difahami
sebagai hukum-hukum atau tata aturan yang disampaikan Allah SWT kepada
hamba-Nya, baik itu al Qur’an (al wahy al matluww) maupun al Sunnah (al wahy
ghairu al matluww). Sekalipun dalam term lain syari’ah lebih berkonotasi kepada
hukum Islam yang tidak tetap dan berkembang, berubah sesuai dengan ruang dan
waktu, sehingga syari’ah tidak hanya berasal dari al wahy al matluww dan al
6 Rasyid Ridha lahir di sebuah desa dekat Tripoli. Ia memulai pendidikannya dengan cara tradisional disebuah sekolah al Qur’an setempat. Setelah selesai kemudian ia melanjutkan di sekolah Husain al Jisr. Di sekolah inilah ia untuk pertama kalinya ia mencicipi ilmu modern dan dunia baru Eropa dan Amerika. Diantara karya-karya klasik Islam, Rasyid Ridha sangat terpengaruh oleh Ihya ulum al dien al Ghazali dan dalam pengertian tertentu karya al Ghazali tersebut tetap menjadi pengaruh terdalam bagi hidup Rasyid Ridha.
7 Untuk lebih jelas membedakan fiqh dan syari’ah lihat Hasby as Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintang: Jakarta, 1975, hal 22 –31.
26
wahy ghairu al matluww akan tetapi, mencakup juga ijtihad, dan ijma, baik
ijtihad itu berupa qiyas, yakni lebih melihat kepada relasi al wahy al matluww
dan adilah-adilah.
Hubungannya dengan fiqih adalah bahwa untuk mengetahui keseluruhan
apa yang dikehendaki Allah SWT, yang sebagian telah tertulis dan sebagian tidak
tertulis/tersirat itu harus ada pemahaman yang mendalam tentang syari’at hingga
secara amaliyah, syari’at itu dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi apapun.
Hasil dari pemahaman itu dituangkan dalam bentuk ketentuan yang terperinci
tentang tindak tanduk manusia mukallaf diramu dan diformulasikan sebagai hasil
pemahaman terhadap syari’at itulah yang kemudian disebut dengan fiqih.
Pemahaman terhadap hukum syara’ pun tak jauh berbeda dengan fiqih,
secara otomatis mengalamai perubahan seiring dengan perkembangan zaman dan
perubahan situasi dan kondisi manusia yang menjalankannya. Dari uraian tadi,
jelaslah bahwa fiqih merupakan refleksi dari perkembangan perikehidupan
masyarakat sesuai dengan kondisi zamannya, dan mazhab fiqih tidak lain dari
refleksi perkembangan kehidupan masyarakat dalam alam Islam, karenanya
berubah setiap saat. Berbeda dengan tasyri’, ahli hukum Islam mendefinisikan
tasyri’ sebagai pembentukan garis-garis besar hukum Islam, pembentukan teori-
teori hukum Islam8. Atau sederhananya pembentukan hukum Islam secara
sistematis, pembentukan hukum-hukum teoritis dan praktis. Dengan lain kata, ada
dua unsur yang terdapat dalam term tasyri, yakni unsur wahyu dan akal. Dari dua
27
unsur itulah kemudian dikenal tasyri samawi (aturan berasal dari Tuhan) dan
tasryi wadiy (tasyri buatan manusia dengan berdasar pada wahyu Allah SWT).
Bedanya syari’at9 dengan tasyri’ adalah kalau syari’at berada pada level
materi hukumnya sedangkan tasyri itu sendiri adalah penetapan materi syari’at iru
sendiri. Lain syari’at lain hukum Islam, kalau syari’at muncul dalam al Qur’an
sebanyak 5 kali, begitu pula kata fiqih atau yang seakar dengan kata itu muncul
dalam 20 ayat secara terpisah dalam al Qur’an. demikian pula terdapat kata
‘hukum Allah SWT’ dalam al Qur’an surat al Mukminun ayat 10 yang berarti
hukum syara’.
Fiqih, sesungguhnya adalah hasil dialektika antara teks-teks otoritatif (al-
Qur’an dan dalam kadar tertentu juga al-Hadits) dan realitas kemanusiaan,
dialektika antara wahyu dan akal, dialektika antara yang samawi dan ardhi yang
dibaca secara cerdas oleh anak-anak zamannya. Hanafi (W. 150 H)10, Maliki (W.
9 Secara etimologi syari’at berarti sumber atau aliran air yang digunakan untuk minum, dalam
perkembangannya kata syari’at digunakan orang Arab untuk mengacu pada jalan (agama) yang lurus (al Thariqah al Mustaqimah) karena keduanya mempunyai keterkaitan makna. Sumber/aliran air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk memelihara keselamatan jiwa dan tubuh mereka, sedangkan at-thariqah al Mustaqimah merupakan kebutuhan pokok yang akan menyelamatkan dan membawa kebaikan bagi umat manusia. Dari akar kata ini Syari’at diartikan sebagai agama yang lurus yang diturunkan Allah SWT bagi umat manusia. Sedangkan menurut as Syatibi, Sesungguhnya syari’at sama dengan agama. Beda dengan Manna al Qattan (ahli fiqih dari Mesir) mendefinisikan Syari’at sebagai segala ketentuan Allah bagi hambanya yang meliputi akidah, ibadah, akhlak dan tata kehidupan umat manusia untuk mencapai kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Lihat Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ikhtiar Baru, 1996 Jilid I hlm 334 -335
10 Nama aslinya an Nu’man atau lebih dikenal dengan imam Hanafi. Ia lahir pada 80 H (659 M), satu pendapat mengatakan bahwa ia berasal dari Anbar dan ia pernah tinggal di Tarmuz dan Nisa. Ada juga yang mengatakan bahwa Abu Hanifah berasal dari bangsa Persia. Abu Hanifah terkenal sebagai seorang alim dalam ilmu fiqih dan tauhid. Sebagian ahli sejarah menyebut Imam Abu Hanifah belajar kepada Ibrohim, Umar, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas dalam bidang fiqih. Beberapa kitab yang terkenal dan merupakan buah tangannya adalah al- Kharaj,al-Athar dan Arras ‘ala siari al-Auzali. Untuk lebih panjang lebar baca Ahmad al Syurbasyi judul terj Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, Semarang: Amzah, 2001, hlm 12 - 70
28
179 H)11, Hambali (W. 241 H)12 dan lain-lain adalah contoh pemikir yang
melakukan pembacaan terhadap dialektika tersebut. Kata dialektika perlu
digarisbawahi untuk memberikan kesan bahwa kedua belah pihak yang berdialog
diletakkan dalam posisi tawar yang sejajar, tidak ada yang menang dan tidak ada
yang dikalahkan.
Dialektika itulah yang kemudian melahirkan aturan-aturan tata nilai yang
benar-benar membumi sebagai dimensi kemanusiaan namun tetap memiliki nilai
samawi sebagai dimensi keilahiyannya. Tata nilai itulah yang pada akhirnya
disebut dengan hukum Islam (fiqih). Kesalahan besar (mungkin juga
ketidakmengertian) yang pernah dan sedang terjadi dalam rentang perjalanan
sejarah fiqih adalah mengubah watak dialogis fiqih menjadi corak monologis. Di
bawah tekanan corak kedua ini, akhirnya fiqih lambat laun namun pasti menuju
kematiannya. Dalam tarikan nafas yang sama, peran akal, nilai tawar realitas-
empiris dan hajat riil kemanusiaan terabaikan dan disia-siakan.
Anehnya justru manusia sendiri yang melakukan pembunuhan terhadap
unsur-unsur penting bangunan fiqih itu. Pada akhirnya fiqih dipahami sebagai
11 Imam Malik di lahirkan pada zaman pemerintahan al Walid bin Abdul Malik al-Umawi. Ia lahir di Zulmarwah sebuah tempat yang berada disebelah utara Madinah al Munwarah. Kemudian beliau tinggal di al Akik sebelum akhirnya ia menetap di Madinah. Ada Ikhtilaf di kalangan sejarawan tentang tahun kelahiran Imam Malik ada yang menyebut 90 H, 94 H, 95 H dan 97 H. ia pernah berguru kepada Abdul Rahman bin Harmuz al ‘Araj selama kurang lebih 7 tahun. Ia juga berguru kepada Rabi’ah bin Abdul Rahman Furukh, Ja’far bin Muhammad al Bakir. Imam Malik sangat masyhur sebagai ulama yang alim dalam bidang hadits Ahmad al Syurbasyi judul terj Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, Semarang: Amzah, 2001. hlm 71 –73.
12 Imam Ahmad bin Hanbal atau Imam Hambali di lahirkan di kota Bagdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H. pertama kali ia belajar kepada Abi Yusuf Ya’kub bin Ibrohim al Qadli, ia belajar ilmu fiqih dan hadits. Ia juga belajar kepada Husyaim bin Basyir bin Abi Khasim al Hanbal, Umair bin Abdullah, Abdul Rahman bin Mahdi dan Abi Bakar bin Iyasi. Ibnu Hambal terkenal sebagai orang yang sangat kuat penerimaannya terhadap hadits-hadits Rosulullah.
29
hasil pemikiran ulama Arab klasik yang final dan berlaku universal. Inilah yang
oleh al-Qarafi ( W. 684 H) disebut ‘kesesatan (dalam) agama’. Al-Qarafi
menyatakan “al-jumud ala al-manqulat abadan dhalalun fi al-din wa jahlun
bimaqosidi ulama al-muslimin wa al-salafi al-madhin” (ketundukan tanpa batas
terhadap produk hukum tertentu adalah kesesatan dalam agama dan
ketidakmengertian terhadap tujuan ulama salaf masa lalu). Ulama-ulama mazhab
sendiri yang pemikiran hukumnya diikuti oleh hampir seluruh umat Islam di
dunia, tidak pernah menganggap dirinya sebagai manusia suci (ma’shum) yang
terbebas dari kesalahan.
Semua ulama mazhab menyerukan untuk tidak mengamini pemikirannnya
secara (membabi) buta. Imam Ahmad bin Hanbal – yang dikenal dengan ulama
tradisionalis-literalistik–misalnya, menyatakan kepada sahabat-sahabatnya:
“janganlah kalian bertaqlid kepadaku, jangan pula pada Syafi’i, al-Auza’i dan
lain-lain. Pilihlah hukum Tuhan dari sumber mana mereka menemukannya.
”Tidak diragukan lagi, ijtihad-ijtihad baru harus kita buka kembali lebar-lebar
seiring dengan kebutuhan untuk memberikan jawaban atas problem-problem
kemanusiaan yang semakin kompleks. Sudah saatnya kata “ijtihad” diakrabkan
dengan keseharian masyarakat muslim dan diatas semua itu betul-betul
diaplikasikan dalam upaya produktivitas fiqih. Untuk kepentingan ijtihad ini,
metodologi ushul fiqih perlu mendapat ruang yang sewajarnya.
30
Menurut al-Ghazali, syarat utama yang harus dipenuhi dalam proses
ijtihad adalah perangkat metode ushul fiqih. Kebenaran hasil ijtihad13 salah
satunya ditentukan oleh ketepatan dalam menggunakan metode ini. Ushul fiqih
adalah seperangkat metode untuk melakukan pembacaan terhadap dialektika
antara teks dan realitas empiris masyarakat. Sebab itulah, agenda besar ushul fiqih
adalah analisis teks dan analisis maqasid al-syari’ah. Analisis teks diarahkan
untuk memahami al-Qur’an dan juga al-Hadits secara benar.
Sedangkan analisis maqashid al-syari’ah ditujukan untuk
mempersambungkan makna teks terhadap realitas empiris dan kebutuhan riil
masyarakat. Analisis teks dan analisis maqashid al-syariah harus dijalankan
secara padu ketika seseorang hendak mengijtihadi problem kemanusiaan. Ijtihad
yang hanya bertumpu pada teks akan melahirkan corak fiqih yang kering dari
nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya ijtihad yang hanya berpijak pada maqashid
al-syariah akan mengakibatkan tampilan wajah fiqih yang liar dan sulit diterima
nalar logika masyarakat, khususnya masyarakat yang masih mempercayai teks,
terlebih teks suci. Untuk memenuhi kebutuhan analisis teks, ushul fiqih
menghadirkan kaidah-kaidah kebahasaan yang luar biasa rumit sekaligus menarik.
1. Sejarah Perkembangan Hukum Islam
Kalau kita mau menengok sejarah Islam masa awal, saat kerajaan
berada di bawah pimpinan Khalifah Mu'awiyah (661-680 M) (yang masa
kekhalifahannya disebut Ibn Taymiyyah sebagai permulaan masa ‘kerajaan
13 Op Cit, hlm 140
31
dengan rahmat’- al-mulk bi al rahmah)14 kaum Muslim dapat dikatakan
kembali pada keadaan seperti zaman Abu Bakar dan 'Umar (zaman al-
Syaykhani, ‘Dua Tokoh’) yang amat dirindukan orang banyak, termasuk para
‘aktivis militan’ yang membunuh 'Utsman (dan yang kemudian [ikut]
mensponsori pengangkatan 'Ali namun akhirnya berpisah dan menjadi
golongan Khawarij).15
Apapun kualitas kekhalifahan Mu'awiyah itu, namun dalam hal
masalah penegakan hukum mereka tetap sedapat mungkin berpegang dan
meneruskan tradisi para Khalifah di Madinah dahulu, khususnya tradisi
'Umar. Karena itu ada semacam ‘koalisi’ antara Damaskus dan Madinah (tapi
suatu koalisi yang tak pernah sepenuh hati, akibat masalah keabsahan
kekuasaan Bani Umayyah itu). Tapi ‘koalisi’ itu mempunyai akibat cukup
penting dalam bidang fiqih, yaitu tumbuhnya orientasi kehukuman (Islam)
kepada Hadits atau tradisi yang berpusat di Madinah dan Makkah serta
mendapat dukungan langsung atau tak langsung dari rezim Damaskus.
Sementara banyak tokoh Madinah sendiri tetap mempertanyakan
keabsahan rezim Umayyah itu, Irak dengan kota-kota Kufah dan Basrah
adalah kawasan yang selalu potensial menentang Damaskus secara efektif. Ini
kemudian berdampak tumbuhnya dua orientasi dengan perbedaan yang cukup
14 Saat Muawiyah memimpin, ia berhasil mengembalikan persatuan kerajaan. Muawiyah
dikenal sebagai pemimpin yang kuat dan cakap. Secara detail sejarah tentang muawiyah ditulis oleh Karen Armstrong, ISLAM: A SHORT HISTORY , Sepintas Sejarah Islam, Surabaya: Ikon Teralitera, 2004, hlm 62-100.
15 Karen Armstrong, Opcit, hlm hal 43.
32
penting: Hijaz (Makkah-Madinah)16 dengan orientasi Haditsnya, dan Irak
(Kufah-Basrah) dengan orientasi penalaran pribadi (ra'y)-nya.
Pada zaman itu (zaman Tabi'in), dalam ifta' (pemberian fatwa)17 ada
dua aliran: aliran yang cenderung pada kelonggaran dan bersandar atas
penalaran, qias, penelitian tentang tujuan-tujuan hukum dan alasan-alasannya,
sebagai dasar ijtihad. Tempatnya ialah Irak. Dan aliran yang cenderung tidak
kepada kelonggaran dalam hal tersebut, dan hanya bersandar kepada bukti-
bukti atsar (peninggalan atau ‘petilasan,’ yakni, tradisi atau Sunnah) dan nash-
nash. Tempatnya ialah Hijaz. Adanya dua aliran itu merupakan akibat yang
wajar dari situasi masing-masing Hijaz dan Irak.
Hijaz adalah tempat tinggal kenabian. Di situ Rasul menetap,
menyampaikan seruannya, kemudian para Sahabat beliau menyambut,
mendengarkan, memelihara sabda-sabda beliau dan menerapkannya. Dan
(Hijaz) tetap menjadi tempat tinggal banyak dari mereka (para Sahabat) yang
datang kemudian sampai beliau wafat. Kemudian mereka ini mewariskan apa
saja yang mereka ketahui kepada penduduk (berikut)-nya, yaitu kaum Tabi'in
yang bersemangat untuk tinggal di sana.
16 Sejak awal Hijaz sebagai daerah labil dan dominan konflik. Hijaz dilanda oleh beberapa
kerusuhan dan pemberontakan diantaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Abdullah ibnu Zubair. Karen Armstrong, Opcit, hlm 52
17Pada masa itu, Ahli fatwa dimaknai sebagai mereka yang dapat memahamkan al Qur’an dan as Sunnah dengan sempurna. Yang termasuk ahli fatwa saat itu adalah Abu Bakar as Shidieq (w 13 H), Umar bin Khattab (w 23 H), Utsman bin Affan (w 35 H), Ali bin Abi Thalib (w 40 H), Abu Musa al Asy’ari (w 44 H), Abdullah ibn Mas’ud (w 32 H), Zaid bin Tsabit (w 45 H) Lihat Prof Dr Hasbi As Shidiqie, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, hlm 73
33
Sedangkan Irak telah mempunyai peradabannya sendiri, sistem
pemerintahannya, kompleksitas kehidupannya, dan tidak mendapatkan bagian
dari Sunnah kecuali melalui para Sahabat dan Tabi'in yang pindah kesana.
Dan yang dibawa pindah oleh mereka itu pun masih lebih sedikit daripada
yang ada di Hijaz. Padahal peristiwa-peristiwa (hukum) di Irak itu,
disebabkan masa lampaunya, adalah lebih banyak daripada yang ada di Hijaz;
begitu pula kebudayaan penduduknya dan terlatihnya mereka itu kepada
penalaran, adalah lebih luas dan lebih banyak. Karena itulah keperluan
mereka kepada penalaran lebih kuat terasa, dan penggunaannya juga lebih
banyak. Penyandaran diri kepadanya juga lebih jelas nampak, mengingat
sedikitnya Sunnah pada mereka itu tidak memadai untuk semua tuntutan
mereka. Ini masih ditambah dengan kecenderungan mereka untuk banyak
membuat asumsi-asumsi dan perincian karena keinginan mendapatkan
tambahan pengetahuan, penalaran mendalam dan pelaksanaan yang banyak.
Jika dikatakan bahwa orang-orang Hijaz adalah Ahl al-Riwayah18
(‘Kelompok Riwayat,’ karena mereka banyak berpegang kepada penuturan
masa lampau, seperti Hadits, sebagai pedoman) dan orang-orang Irak adalah
Ahl al-Ra'y19 (‘Kelompok Penalaran’, dengan isyarat tidak banyak
18 Secara sederhana beberapa ulama menyebut ahl al riwayah bagi mereka yang dalam
menentukan hukum memakai sandaran hadits saja setelah kibaullah. Diantara pemuka ahli hadits/ahl al riwayah masa awal adalah Said ibn al Musayyab (Madinah) dan Amir ibn Syurahil (Syurahbil). Lihat Hasby, Pengantar Hukum Islam, Op.cit hlm 93
19 Ahl al Ra’yu adalah mereka yang dalam menentukan hukum menggunakan penalaran sebagai landasan pijka hukum atau lebih dikenal dengan ahli Qiyas. Beberapa nama masyhur ahl qiyas pada peroide awal adalah Ibrahim an Nakha’i yang juga guru dari Hammad dan Hammad ini adalah
34
mementingkan ‘riwayat’), sesungguhnya itu hanya karakteristik gaya
intelektual masing-masing daerah itu. Sedangkan pada peringkat individu,
cukup banyak dari masing-masing daerah yang tidak mengikuti karakteristik
umum itu. Maka di kalangan orang-orang Hijaz terdapat seorang sarjana
bernama Rabi'ah yang tergolong "Kelompok Penalaran," dan di kalangan para
sarjana Irak, kelak, tampil seorang penganut dan pembela "Kelompok
Riwayat" yang sangat tegar, yaitu Ahmad ibn Hanbal. Disamping itu,
membuat generalisasi bahwa sesuatu kelompok hanya melakukan satu metode
penetapan hukum atau tasry', apakah itu penalaran atau penuturan riwayat,
adalah tidak tepat. Terdapat persilangan antara keduanya, meskipun masing-
masing tetap dapat dikenali ciri utamanya dari kedua kategori tersebut. Ini
semakin memperkaya pemikiran hukum zaman Tabi'in.
Pada periode ini, mulai ada dinamisasi hukum Islam, fiqih dipandang
sebagai sesuatu yang independen, ruang perdebatan antara fuqaha mulai
terbuka lebar, pertanyaan seperti “Apakah hadits saja yang boleh dipakai
sesudah al Qur’an, ataukah boleh juga dipergunakan ra’yu dan
menetapkannya sebagai suatu dasar juga dari dasar-dasar hukum?
2. Memotret realitas hukum Islam masa tabi’in
Dari abstraksi diatas, dalam bidang fiqih seperti juga dalam bidang-
bidang yang lain masa Tabi'in adalah masa peralihan dari masa sahabat Nabi
guru dari imam Abu Hanifah dan yang kedua Rabi’ah ibn Abdurrahman Faruch (w 136) yang juga guru dari Imam Maliki, Hasby, Ibid, hlm 93
35
dan masa tampilnya imam-imam mazhab.20 Di satu pihak masa itu bisa
disebut sebagai kelanjutan wajar masa sahabat Nabi, di lain pihak pada masa
itu juga mulai disaksikan munculnya tokoh-tokoh dengan sikap yang secara
nisbi lebih mandiri, dengan penampilan kesarjanaan di bidang keahlian yang
lebih mengarah pada spesialisasi.
Yang disebut "para pengikut" (makna kata Tabi'in) ialah kaum Muslim
generasi kedua (mereka menjadi Muslim ditangan para Sahabat Nabi). Dalam
pandangan keagamaan banyak ulama masa Tabi'in itu, bersama dengan masa
para Sahabat sebelumnya dan masa Tabi'in al-Tabi'in (‘para pengikut dari para
pengikut’ yakni, kaum Muslim generasi ketiga), dianggap sebagai masa-masa
paling otentik dalam sejarah Islam, dan ketiga masa itu sebagai kesatuan
suasana yang disebut salaf (Klasik).
Walaupun begitu tidaklah berarti masa generasi kedua ini bebas dari
persoalan dan kerumitan. Justru sifat transisional masa ini ditandai berbagai
gejala kekacauan pemahaman keagamaan tertentu, yang bersumber dari sisa
dan kelanjutan berbagai konflik politik, terutama yang terjadi sejak peristiwa
pembunuhan 'Utsman, Khalifah III. Tumbuhnya partisan-partisan politik yang
berjuang keras memperoleh pengakuan dan legitimasi bagi klaim-klaim
20 Paska Nabi SAW wafat ada beberapa referensi yang menyebut perkembangan hukum Islam terkait erat dengan hukum Romawi, karena perluasan wilayah Islam saat itu tidak hanya romawi, akan tetapi terkait juga dengan beberapa wilayah seperti Persia dan Sasania. Sehingga asumsi adanya pengaruh hukum Persia dan Sasania ke dalam hukum Islam sangat memungkinkan, munculnya istilah diwan adalah salah satu istilah ynag diadposi dari du wuilayah ‘jajahan’ tersebut. Secara panjang lebar Muhammad Hamidullah dkk, memaparkan secara panjang lebar tentang pengaruh Hukum Romawi terhadap Hukum Islam dalam Fikih Islam dan Hukum Romawi, Refleksi Atas Hukum Lama Atas Hukum Baru, Yogyakarta: Gama Media, 2003
36
mereka, seperti Khawarij, Syi'ah,21 Umawiyyah, dan sebagainya, telah
mendorong berbagai pertikaian paham. Dan pertikaian itu antara lain menjadi
sebab bagi berkecamuknya praktek pemalsuan hadits atau penuturan dan
cerita tentang Nabi dan para sahabat.
Tahun empat puluh Hijriah adalah batas pemisah antara kemurnian
Sunnah dan kebebasannya dari kebohongan dan pemalsuan di satu pihak, dan
ditambah-tambahnya Sunnah itu serta digunakannya sebagai alat melayani
berbagai kepentingan politik dan perpecahan internal Islam. Khususnya
setelah perselisihan antara 'Ali dan Mu'awiyah berubah menjadi peperangan
dan yang banyak menumpahkan darah dan mengorbankan jiwa, serta setelah
orang-orang Muslim terpecah-pecah menjadi berbagai kelompok. Sebagian
besar orang-orang Muslim memihak 'Ali dalam perselisihannya dengan
Mu'awiyah, sedangkan kaum Khawarij menaruh dendam terhadap 'Ali dan
Mu'awiyah sekaligus setelah mereka itu sendiri sebelumnya merupakan
pendukung 'Ali yang bersemangat. Setelah 'Ali r.a. wafat dan Mu'awiyah
habis masa kekhilafahannya (juga wafat) anggota rumah tangga Nabi (Ahl al-
21 Dalam Islam istilah Syiah lebih dikenal sebagai nama kelompok muslim yang pengikut Ali
bin Abi Thalib dan penyokongnya. Mereka berpendapat bahwa penggantian Nabi Muhammad dalam bidang pemerintahan adalah hak istimewa kalangan keluarga Nabi SAW. Ada beberapa pendapat tentang kapan munculnya Syiah. Pertama, Pendapat yang mengatakan bahwa Syiah muncul ketika Nabi SAW masih hidup. pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Husain Kasyif al-Gita (Irak) dan Ahmad Amin (Mesir) Argumentasinya bahwa sejak masa Nabi SAW masih hidup terdapat beberapa sahabat yang sudah bersimpati kepada Ali bin Abi Thalib diantaranya Salman al Farisi (w.35 H/655 M), Abu Dzar al Ghifari (w.32 H) Ammar bin Yassir (w.37 H) dan Mikdad bin Aswad. Kedua, Pendapat yang memandang bahwa Syiah muncul setelah Nabi SAW meninggal. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Qasim al Hussain bin Ruh an Naubakhti (tokoh Syi’ah abad 3 yang pertama kali menulis tentang syiah dan Ibn Khaldun (w. 808 H). untuk lebih jelas baca Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, bagian 5
37
Bait) bersama sekelompok orang-orang Muslim menuntut hak mereka akan
kekhalifahan, serta meninggalkan keharusan taat pada Dinasti Umayyah.
Begitulah, peristiwa-peristiwa politik menjadi sebab terpecahnya
kaum Muslim dalam berbagai golongan dan partai. Disesalkan, pertentangan
ini kemudian mengambil bentuk sifat keagamaan, yang kelak mempunyai
pengaruh yang lebih jauh bagi tumbuhnya aliran-aliran keagamaan dalam
Islam. Setiap partai berusaha menguatkan posisinya dengan al-Qur'an dan
Sunnah, dan wajarlah bahwa al-Qur'an dan Sunnah itu untuk setiap kelompok
tidak selalu mendukung klaim-klaim mereka. Maka sebagian golongan itu
melakukan interpretasi al-Qur'an tidak menurut hakikatnya dan membawa
nash-nash Sunnah pada makna yang tidak dikandungnya. Sebagian lagi
meletakkan pada lisan Rasul hadits-hadits yang menguatkan klaim mereka,
setelah hal itu tidak mungkin mereka lakukan terhadap al-Qur'an karena ia
sangat terlindung (terpelihara) dan banyaknya orang Muslim yang
meriwayatkan dan membacanya.
Dari situlah mulai pemalsuan Hadits dan pencampuradukan yang sahih
dengan yang palsu.22 Sasaran pertama yang dituju para pemalsu hadits itu
ialah sifat-sifat utama para tokoh. Maka mereka palsukanlah banyak hadits
tentang kelebihan imam-imam mereka dan para tokoh kelompok mereka. Ada
yang mengatakan bahwa yang pertama melakukan hal itu ialah kaum Syi'ah -
22 Fazlur Rahman dkk banyak mengkritik ulama klasik dalam mengklasifikasikan dan
meneliti keotentikan sebuah hadits. Lihat tulisan Fazlurahman dkk dalam Wacana Studi Hadits Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
38
dengan perbedaan berbagai kelompok mereka. Dihadapkan keruwetan itu,
para Tabi'in -dengan dipimpin tokoh-tokoh yang mulai tumbuh dengan
penampilan kesarjanaan- mencoba melakukan sesuatu yang amat berat namun
kemudian membuahkan hasil yang agung, yaitu penyusunan dan pembakuan
Hukum Islam melalui fiqih atau ‘proses pemahaman’ yang sistimatis.
Antara Islam sebagai agama dan Hukum terdapat kaitan langsung yang
tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah tinggal menetap di Madinah
Nabi saw. melakukan kegiatan legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang
bersifat kehukuman telah ada sejak di Makkah, bahkan justru dasar-dasarnya
telah diletakkan dengan kokoh dalam periode pertama itu.23 Dasar-dasar itu
memang tidak semuanya langsung bersifat kehukuman atau legalistik, sebab
selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan etika. Maka sejak di Makkah Nabi
mengajarkan tentang cita-cita keadilan sosial yang antara lain mendasari
konsep-konsep tentang harta yang halal dan yang haram (semua harta yang
diperoleh melalui penindasan adalah haram), keharusan menghormati hak
milik sah orang lain, kewajiban mengurus harta anak yatim secara benar,
perlindungan terhadap kaum wanita dan janda, dan seterusnya. Itu semua
tidak akan tidak melahirkan sistem hukum, sekalipun keadaan di Makkah
23 Periode Hukum Islam tahap pertama (periode Makkah) yakni periodisasi hukum Islam
selama Nabi SAW tinggal dan menetap di Makkah , sejak beliau diangkat menjadi Nabi SAW hingga beliau berhijrah ke Madinah, kurang lebih 12 tahun. Sementara periodisasi hukum Islam tahap 2 adalah periodisasi hukum Islam di Madinah atau paska Nabi SAW melakukan hijrah ke Madinah pada tanggal 2 Rabiul awal , saat nabi berusia 53 tahun dengan ditemani oleh Amir ibn Hurairah dan Ibn Arwan. Nabi menetap di Madinah selama 10 tahun sampai wafatnya beliau. Lihat M. Hasby, Pengantar ilmu Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1967 hlm 34 - 35
39
belum mengizinkan bagi Nabi untuk melaksanakannya. Maka tindakan Nabi
dan kebijaksanaannya di Madinah adalah kelanjutan yang sangat wajar dari
apa yang telah dirintis pada periode Makkah itu.
Pada masa para sahabat yang kemudian disusul masa para Tabi'in,
prinsip-prinsip yang diwariskan Nabi itu berhasil digunakan, menopang
ditegakkannya kekuasaan politik Imperium Islam yang meliputi daerah antara
Nil sampai Amudarya, dan kemudian segera melebar dan meluas sehingga
membentang dari semenanjung Iberia sampai lembah sungai Indus. Daerah-
daerah itu, yang dalam wawasan geopolitik Yunani kuno dianggap sebagai
heatland Oikoumene (Daerah Berperadaban -Arab: al-Da'irat al-Ma'murah)
telah mempunyai tradisi sosial-politik yang sangat mapan dan tinggi,
termasuk tradisi kehukumannya. Di sebelah Barat tradisi itu merupakan
warisan Yunani-Romawi, dan Indo-Iran umumnya. Karena itu mudah
dipahami jika timbul semacam tuntutan intelektual untuk berbagai segi
kehidupan masyarakat yang harus dijawab para penguasa yang terdiri dari
kaum Muslim Arab itu.
Tuntutan intelektual itu mendorong tumbuhnya suatu genre kegiatan
ilmiah yang sangat khas Islam, bahkan Arab, yaitu Ilmu Fiqih. Tapi sebelum
ilmu itu tumbuh secara utuh, agaknya yang telah terjadi pada masa tabi'in itu
ialah semacam pendekatan ad hoc dan praktis-pragmatis terhadap persoalan-
persoalan hukum, dengan menggunakan prinsip-prinsip umum yang ada
dalam Kitab Suci, dan dengan melakukan rujukan pada Tradisi Nabi dan para
40
Sahabat serta masyarakat lingkungan mereka yang secara ideal terdekat,
khususnya masyarakat Madinah.
Pendekatan ini dimungkinkan karena watak dasar Hukum Islam yang
lapang dan luwes, sehingga mampu menampung setiap perkembangan yang
terjadi. Berkenaan dengan hal ini al-Sayyid Sabiq menjelaskan,
Bahwa hal-hal yang tidak berkembang menurut perkembangan zaman
dan tempat, seperti 'aqa'id dan 'ibadat, diberikan secara sepenuhnya
terperinci, dengan dijelaskan oleh nash-nash yang bersangkutan; maka tidak
seorang pun dibenarkan menambah atau mengurangi. Tetapi yang
berkembang menurut perkembangan zaman dan tempat, seperti berbagai
kepentingan kemasyarakatan (al-mashalih al-madaniyyah), urusan politik dan
peperangan, diberikan secara garis besar, agar bersesuaian dengan
kepentingan manusia di semua zaman dan agar dapat dipedomani oleh para
pemegang wewenang (ulu al-amr) dalam menegakkan keadilan dan
kebenaran.24
Para ahli hukum Islam sudah terbiasa mengatakan secara benar bahwa
letak kekuatan Islam ialah sifatnya yang akomodatif terhadap setiap
perkembangan zaman dan peralihan tempat (shalih li kull zaman wa makan-
sesuai untuk setiap zaman dan tempat). Untuk mengerti masalah ini sangat
menarik mengutip lebih lanjut keterangan al-Sayyid Sabiq,
24 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al -Sunnah, Kuwait: Dar al-Bayan 1968/1388, jil. I hlm.13.
41
Penetapan Hukum (al-tasyri')25 Islam merupakan salah satu dari
berbagai segi yang amat penting yang disusun oleh tugas suci Islam dan yang
memberi gambaran segi ilmiah dari tugas suci itu. Penetapan hukum
keagamaan murni, seperti hukum-hukum ibadat, tidak pernah timbul kecuali
dari wahyu Allah kepada Nabi-Nya s.a.w., baik dari Kitab ataupun Sunnah,
atau dengan suatu ijtihad yang disetujuinya. Dan tugas Rasul tidak keluar dari
lingkaran tugas menyampaikan (tabligh) dan menjelaskan (tabyin). "Tidaklah
ia (Nabi) berbicara atas kemauan sendiri; tidak lain itu adalah wahyu yang
diwahyukan kepadanya." (QS. al-Najm/53:34).
Adapun penetapan hukum yang berkaitan dengan perkara duniawi
bersifat kehakiman, politik dan perang, maka Rasul saw. diperintahkan
bermusyawarah mengenai itu semua. Dan Nabi pernah mempunyai suatu
pendapat, tapi ditinggalkannya dan menerima pendapat para sahabat,
sebagaimana terjadi pada waktu perang Badar dan Uhud. Dan para Sahabat ra.
pun selalu meruduk kepada Nabi saw., guna menanyakan apa yang tidak
mereka ketahui, dan meminta tafsiran tentang makna-makna berbagai nash
yang tidak jelas bagi mereka. Mereka juga mengemukakan kepada Nabi
pemahaman mereka tentang nash-nash itu, sehingga Nabi kadang-kadang
membenarkan pemahaman mereka itu, dan kadang-kadang beliau
menerangkan letak kesalahan dalam pendapat mereka itu.26
25 Prof Dr Hasbi As Shidiqie, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980 hlm. 62 26 Ibid., h. 17.
42
Sudah tentu keluasan dan fleksibilitas semangat umum Hukum Islam
itu dipertahankan, dan bertahan, melewati zaman Nabi sendiri, kemudian
zaman para Sahabat, dan diteruskan ke zaman para Tabi'in. Tapi jika pada
zaman Nabi tempat rujukannya ialah Nabi sendiri, dengan otoritas yang diakui
semua. Pada zaman para sahabat Nabi itu diwarisi banyak tokoh, yang
kemudian bertindak sebagai tempat rujukan. Tapi sejak pertikaian politik pada
paroh kedua kekhalifahan 'Utsman, tanda-tanda menyebarnya, dan kemudian
berselisihnya, tempat rujukan itu sudah mulai nampak. Seperti dilukiskan
Siba'i yang telah dikutip di atas, penyebaran dan perselisihan otoritas itu
memuncak pada sekitar sesudah 40 H. ketika banyak partisan mulai berusaha
keras memperebutkan legitimasi untuk klaim-klaim mereka. Ini terjadi tanpa
peduli dengan sambutan sebagian besar umat Islam kepada tahun 41 Hijri
sebagai "Tahun Persatuan" atau "Tahun Solidaritas" (Am al-Jama'ah), sebab
"persatuan" dan "solidaritas" itu agaknya hanya terbatas pada kenyataan
kembalinya kesatuan politik (formal) umat Islam di bawah Khalifah
Mu'awiyah ibn Abi Sufyan di Damaskus.
Hukum Islam atau yang biasa disebut fiqih27 merupakan ajaran yang
paling populer dari seluruh ajaran Islam. Bahkan, terkesan di masyarakat
Muslim bahwa fiqih adalah totalitas ajaran Islam. Sehingga ketika fiqih
membeku dan tidak lagi mampu merespon laju kemajuan dalam segala bidang
27 Op Cit, Hlm 22
43
kehidupan, seakan-akan seluruh ajaran Islam telah runtuh. Di sini fiqih (dan
ulamanya) dicap sebagai biang kemandulan terhadap pencerahan problem
kemanusiaan.28
B. EPISTEMOLOGI DALAM FILSAFAT ILMU
Dalam filsafat ilmu, epistemologi merupakan bagian cabang filsafat,
selain aksiologi dan ontologi.29secara khusus epistemologi lebih membicarakan
teorti pengetahuan secara mendalam. Kalau dirunut, istilah epoistemologi berasal
dari bahasa Yunani episteme dan logos. Episteme bisa diartikan sebagai
pengetahuan atau kebenaran dan logos diartikan sebagai pikiran atau teori. Secara
etimologi, epistemologi berarti teori pengetahuan atau dalam bahasa Indonesia
disebut sebagai filsafat pengetahuan.30
Dalam kajian epistemologi beberapa hal yang menjadi pembahasan
adalah, pertama, asal mula pengetahuan, diantaranya adalah apakah sumber-
28 Penelusuran tentang kemandulan fiqih dan aspek-aspeknya juga diteliti oleh Khalil Abdul Karim. Bahkan, dalam karyanya Al Judzur al Tarikhiyah li al Syari’ah al Islamiyah, terj. Kamran As’ad, Syari’ah; Sejarah Perkelahian Pemaknaan, Abdul Karim terlihat ‘getol’ mengungkap beberapa ritus umat Islam yang ternyata hampir punya keterkaitan dengan sejarah Arab, baik puasa, Haji, Sakralisasi Bulan Ramadhan dan lain-lain. Menurutnya, kesemuanya punya nilai lokalitas yang perlu dikritisi guna pengembangan dan pembaharuan dalam fiqih, sehingga fiqih tetap akomodatif dengan kondisi masa dan zaman manapun. Lihat Khalil Abdul Karim Al Judzur al Tarikhiyah li al Syari’ah al Islamiyah, terj. Kamran As’ad, Syari’ah; Sejarah Perkelahian Pemaknaan,Yogyakarta: LKiS, 2003.
29 Penjelasan secara terinci tentang epistemologi, aksiologi dan ontologi dapat di lihat di beberapa buku filsafat misalnya. Louis Q Kattsoff, Pengantar Filsafat,alih bahasa Soejono Sumargono Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998, cet I, hlm 76. Menurut Louis, Antologi berasal dari bahasa Yunani “On” yang berarti ada. dalam konteks filsafat ontologi berarti teori tentang yang ada (being) sebagai objek pengetahuan. Sedangkan aksiologi lebih pada membicarakan persoalan nilai guna (values), termasuk didalamnya bagaimana memperoleh pengetahuan. Lihat Riseri Frondizi, Pengantar filsafat Nilai Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001.
30 Noeng Muhajir, Metodologi Pengetahuan Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998 edisi III cet-8
44
sumber pengetahuan itu, dari manakah pengetahuan yang benar itu datang?
Bagaimana cara kita mendapatkannya? Kedua, persoalan hakikat (realitas)
pengetahuan, diantaranya adalah apakah karakteristik (watak) pengetahuan itu?
kalau ada, apakah kita dapat mengetahuinya? Ketiga, persoalan kajian terhadap
kebenaran. Diantaranya, apakah pengetahuan kita itu benar?selanjutnya,
bagaimana membedakan pengetahuan itu benar atau salah?
Pada posisi ini diskursus filsafat, akan mengurai bagaimana otoritas akal
(rasio, verstand), pengalaman (impresi) dan intuisi. Bagaimana cara pembuktian
validitas kebenaran yang dikonotasikan dengan kenyataan (koherensi,
korespondensi, hermeneutics, dan pragmatis) untuk memahami horizon
pengetahuan manusia sebagai upaya mendekati kebenaran tadi? Ada beberapa
pendekatan yang bisa dilakukan untuk mengetahui hakikat kebenaran ini.
Pertama, teori realisme, teori ini menggambarkan bahwa hakikat pengetahuan
adalah gambaram dari yang ada di alam nyata. Kedua, teori idealisme, lebih
melihat bahwa hakikat pengetahuan lebih didasarkan pada hakikat segala sesuatu
yakni jiwa dan ide, sehingga jiwa dianggap memiliki kedudukan utama dalam
alam semesta.
Kedua aliran ini saling bersiteguh dalam mempertahankan keyakinan
masing-masing. Dalam sejarah filsafat Plato (427 –347 M) dan Aristoteles
merupakan prototype pergumulan kedua aliran ini. Plato berpendapat bahwa
pengamatan inderawi tidak memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya
yang berubah-ubah sehingga ia menemukan bahwa diseberang sana (di luar
45
wilayah pengetahuan inderawi ) ada sesuatu yang disebut idea. Dunia idea
bersifat kekal, tetap dan tidak berubah-ubah. Dengan ide bawaan ini manusia
dapat mengenal dan memahami segala sesuatu dan disitulah timbulnya ilmu
pengetahuan. Aristoteles menyanggah pendapat ini dengan mengatakan bahwa
ide-ide bawaan tidak ada. Menurutnya, pengetahuan dan pemahaman yang
bersifat univesal bukanlah bawaan sejak lahir, namun hal itu dicapai lewat proses
panjang pengalaman empirik.
Berkaitan dengan metode dan sumber epistemologi ada empat pendekatan
yang bisa dilakukan. Pertama, empirisme yaitu aliran epistemologi yang
berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman panca indera.
Oleh karena itu metode yang menjadi tumpuan aliran ini adalah metode
eksperimen. Tokoh aliran ini adalah John Locke (1632 – 1704) yang
mengemukakan teori tabula rasa yang maksudnya bahwa manusia pada mulanya
kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu,
lantas ia memiliki pengetahuan. Kedua, rasionalisme, aliran epistemologi yang
berpendapat bahwa sumber dari seluruh pengetahuan manusia adalah rasio dan
akal. Tokoh dalam aliran ini adalah Rene Descartes (1596 – 1650) dengan
semboyannya cogito ergo sum, menurutnya dalam menyusun sebuah pengetahuan
harus dimulai dari ide yang tegas. Ketiga, intuisionisme yaitu aliran epistemologi
yang meyakini bahwa sumber pengetahuan adalah intuisi. Tokoh aliran ini adalah
Henri Bergson (1859 – 1941), keempat adalah dialog rasionalis-empiris. Tokoh
yang muncul dalam aliran ini adalah Immanuel Kant, bagi dia pengetahuan yang
46
sesungguhnya adalah pengetahuan yang bersifat kombinatif antara pengetahuan
empiris dan rasionalis.
Pandanganyang berbeda ditulis oleh Louis Q Qattsof bahwa sumber
pengetahuan dapat dibedakan menjadi lima bagian. Empirik (empirisme), Rasio
(rasionalisme), Fenomena (fenomenologisme), Intuisi (intuisionisme), metode
ilmiah.
Pertama, Empirisme atau empirik. Kata ini berasal dari kata Yunani
‘emperia’ yang berarti pengalaman. Dalam pandangan aliran empirisme
pengetahuan hanya bisa didapat dengan pengalaman. Pengalaman yang dimaksud
adalah pengalamana inderawi. Bagaimana manusia tahu kalau api itu panas dan
bisa membakar?31 Jawabnya karena kita menyentuhnya dengan alat peraba kita.
Bagaimana manusia mengetahui kalau es itu membeku? Maka jawabnya karena
manusia melihatnya. Maka dalam aliran ini sebenarnya ada tiga unsur yang saling
terkait. Yaitu unsur yang mengetahui (subyek), unsur kedua yang diketahaui
(objek) dan ketiga menunjukan pada diferensia yaitu alat-alat panca indera.32
Tokoh yang mempelopori aliran ini adalah Thomas Hobbes, F Bacon, J Locke,
dan C Berkeley. Dari berbagai segi, aliran ini banyak kelemahan. Pertama,
pengetahuan indera sangat terbatas. Benda yang jauh bisa kelihatan menjadi kecil, 31 Murtadla Mutahari dalam tulisannya menyebut bahwa indera sebagai salah satu epistemologi, sehingga setiap manusia kehilangan salah satu inderanya, maka ia juga akan kehilangan salah satu bentuk epistemologinya.Sebagaimana Aristoteles menyebut “Barang siapa kehilangan satu indera, maka ia telah kehilangan satu ilmu (man faqada hissan faqad faqada ‘ilman). Lihat Murtadha Muthahhari, Mas ‘aleye Syenokh, terj Muhammad Jawad Bafaqih, Mengenal Epistemologi, Jakarta: Lentera, 2001, hlm 50 – 51.
32 Lihat Ahmad Tafsir, T Jun Surjaman (ed), Filsafat Umum akal dan hati sejak Thales sampai Capra Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999, cet VII hlm 23 –24.
47
padahal bendanya besar sehingga ia bisa melaporkan satu kesimpulan tentang
pengetahuan yang salah.
Kedua, indera bisa menipu, rasa Gula yang manis bisamenjadi pahit
rasanya bagi orang yang terkena penyakit malaria. Maka hasil cernaan indera
menjadi salah. Ketiga, obyek yang menipu. Contoh, fatamorgana, ilusi, obyeknya
ada (being) akan tetapi indera tidak bisa menjangkaunya. Keempat indera dan
obyek bisa menipu. Dalam hal ini indera (mata) tidak bisa melihat kerbau secara
keseluruhan dan kerbau juga tidak bisa memperlihatkan badannya secara
keseluruhan.
Aliran yang kedua adalah rasionalisme yang meyakini bahwa sumber
pengetahuan terletak pada akal (rasio). Akan tetapi bukan berarti aliran ini
mengingkari terhadap kebenaran pengetahuan yang didapat oleh pengalaman,
melainkan pengalaman hanya dipandang sebagai perangsang bagi akal dan
memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal bisa bekerja. Standar
kebenaran dan kesalahan dari pendapat ini terletak dalan idea kita dan bukan
terdapat dalam identitas suatu barang. Jika kebenaran menunjuk pada kenyataan,
maka kebenaran hanya ada dalam fikiran dan hanya diperoleh dengan akal budi
(vernunf) semata
Rene Descartes (1596 – 1650) adalah tokoh yang mengawali aliran ini
sekalipun kalau ditelusuri sejarah rasionalisme Aristoteles telah mendahului
mengkampanyekan ‘proyek’ ini. Aliran ini sebenarnya penyempurna saja
terhadap aliran empirisme dengan keterbatasan alat penginderanya. Kenapa benda
48
yang jauh bisa kelihatan kecil, karena bayangan yang jatuh dimata kecil. Gula
bisa pahit dilidah orang yang demam, karena orang yang demam lidahnya tidak
normal.
Jika aliran empirisme menggunakan metode induksi, maka aliran
rasionalisme cenderung memakai metode deduksi dan lebih banyak menggunakan
logika dalam pengambilan keputusannya.
C. EPISTEMOLOGI DALAM KHAZANAH INTELEKTUAL ISLAM
Secara umum ada perbedaan yang cukup signifikan antara epistemologi
Islam dan epistemologi secara umum. Titik perbedaan ini berada pada level
sumber pengetahuan, kalau dalam epistemologi Islam sumber pengetahuan adalah
wahyu dan ilham sedangkan epistemologi secara umum memandang kebenaran
hanya berpusat pada manusia sebagai makhluk mandiri yang menentukan
kebenaran, sedangkan menurut epistemologi Islam posisi manusia hanya sekadar
khalifatullah yang berusaha ‘mencari kebenaran’ bukan menentukan kebenaran.33
Di beberapa literatur klasik persoalan epistemologi (nidzam al ma’rifah),
sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pergulatan intelektual dan karya
mereka jauh sebelum al Jabiri menulis Naqd al Aql al Araby, itu terbukti dengan
maraknya kitab-kitab klasik karangan ulama pada masanya juga hidupnya
mujadalah (dialog) antar ulama dengan argumentasi dan teologi masing-masing.
Epistemologi bayani misalnya, para fuqaha', mutakallimun dan ushulliyun sudah
33 Harun Nasution, Falsafah Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm 10
49
sejak lama menggunakan metode ini. Sama halnya dengan metode burhani dan
irfani yang sejak awal juga banyak digunakan.
Pada masa awal, apa yang dimaksud berfikir (aql), dalam tradisi Arab
adalah lebih merupakan tindakan atau penjelasan bagaimana seseorang harus
berbuat, yang dalam epistemologi Islam disebut ‘bayani’. 34Kamus istilah Arab
sendiri mengartikan akal sebagai ‘suluk’ dan ‘akhlak’ yakni jalan dan perilaku.
Sementara itu, dalam tradisi Yunani, akal lebih merupakan pemikiran yang
berkaitan dengan upaya mencari sebab dari sesuatu yang dalam epistemologi
Islam dikenal sebagai ‘burhani’.
Perbedaan pola pikir diatas semata – mata karena adanya perbedaan
pijakan yang digunakan. Dalam pola pikir Arab – Islam, pijakan utama adalah
kata atau bahasa, sementara fikir Yunani berpijak pada makna dan logika. Dalam
perdebatan yang terkenal antara Abu Sa’id al Syirafi (893 – 979) yang ahli bahasa
dan penganut metode bayani Arab dengan Abu Bisyr Matta (870 – 940) yang ahli
logika Yunani dan penganut burhani35 terlihat jelas perbedaan tersebut. Menurut
al Syirafi, kata atau bahasa muncul lebih dahulu daripada makna, setidaknya
terjadi secara bersamaan, dan setiap kata atau bahasa lebih merupakan cerminan
34 A Khudori Sholeh, dalam tulisannya menjelaskan panjang lebar bagaimana interaksi Bayani dan Burhani Yunani, termasuk ketegangan teologi dan filsafat, sehingga dari situlah wacana murni” atau khas yang selama ini digembar-gemborakan oleh kalangan intelektual Muslim terlihat jelas. Lihat Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. 35 Al Jabiri, Bunyah,al Aql al Arabi, Markaz al Tsaqafi al – Arabi, 1991. Cuplikan tentang perdebatan ini juga bisa dilihat dalam tulisan Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj. HM Amin Abdullah, hlm 12 – 13.
50
dari budaya masyarakat masing-masing.36 Sebaliknya menurut Abu Bisyr Matta,
prinsip-prinsip logika ada lebih dahulu – dalam pikiran – kemudian keluar dan
menyatu dalam bahasa, dan karena itu sistem logika berlaku umum terhadap
seluruh bahasa yang ada, tidak hanya bahasa tertentu.
Lebih jelas tentang perbedaan kedua faham diatas bisa digambarkan dalam
konsepsi berikut. Dalam bayani Arab – Islam, prinsip kerja intelektual dimulai
dengan dari (1) kata – kata atau penyebutan yang merupakan lambang sesuatu, (2)
adanya makna yang menjelaskan maksud kata dan lambang – lambang
penyebutan, (3) adanya benda-benda alam yang diberi nama atau sesuatu yang
harus dilakukan, berdasarkan kata dan lambang yang disebutkan.
Jelasnya, dalam prinsip pemikiran Arab – Islam, benda – benda atau
perilaku merupakan objek dan perwujudan dari makna yang ada dalam pikiran,
dan makna dalam pikiran tidak lain adalah perwujudan atau penjelasan dari kata-
kata atau kalimat yang diucapkan. Sebaliknya, Burhani Yunani didasarkan pada
benda-benda eksternal yang ditangkap oleh indera. Prinsip kerjanya adalah (1)
adanya benda – benda alam yang diindera, (2) terjadinya gambaran atau persepsi
dalam pikiran, (3) pengungkapan atas gambaran yang ada dalam fikiran tersebut
lewat bahasa atau kata.37 Dengan begitu, dalam burhani, kata atau bahasa
hakekatnya tidak lain adalah copian dari susunan makna yang ada dalam fikiran,
36 Al Jabiri, Bunyah, 421 37 Al Jabiri, Bunyah, 421.
51
dan susunan makna yang ada dalam fikiran tidak lain adalah copian dari benda –
benda yang ada dialam semesta.
Dengan adanya perbedaan yang tajam antara pola pikir Yunani dengan
Arab – Islam seperti di atas, maka bisa dipastikan bahwa masuknya pemikiran
Yunani kedalam alam pikir Arab – Islam menimbulkan reaksi yang cukup keras.
Masuknya sistem berfikir logis atau burhani; tasawur, tashdiq, menjadi persoalan
tersendiri bagi para sarjana muslim periode awal yang masih dihadapkan pada
persoalan kata dan makna secara anomali.
D. PERSOALAN EPISTEMOLOGI DALAM HUKUM ISLAM
Berbicara epistemologi dalam hukum Islam bukanlah persoalan yang
sederhana.38 Apalagi kalau ditelusuri, al Qur’an sebagai hudan,petunjuk memiliki
banyak ayat yang menjelaskan persoalan hukum. Bahkan, kalau kita lihat surat al-
An’am: 57 yang menyebutkan “menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”.
Sepintas akan terlihat sumber dari hukum adalah al Qur’an dan bersandar hanya
kepada Allah swt.
Beberapa istilah yang harus kita fahami berkaitan dengan hukum adalah
syari’at dan fiqih. Sekalipun dalam beberapa tulisan, istilah-istilah tersebut seolah
38 Muhammad Abed al Jabiri, Ad-Din wa ad-Daulah wa Tathbiq as Syari’ah, terj. Mujiburrahman, Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001, hlm 184.
52
sama arti (muradif).39 Sisi lain istilah-istilah ini seolah ambigu dan dalam perspektif
lain syariat dan fiqih dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Syari’ah sebagai hukum
dan fiqih sebagai ilmu untuk mengetahui ilmu tersebut.
Posisi fiqih dan syari’at menjadi agak tumpang tindih ketika kita mencoba
berbincang epistemologi dalam hukum Islam. Satu hal misalnya, dalam rentetan
sejarah pemikiran Islam klasik, bagaimana kita melihat ‘perang’ antara kelompok
rasionalisme dan tradisionalisme dalam memandang dan menentukan hukum
Islam. Kalau ditelisik, setidaknya ada tiga corak pemikiran hukum yang sampai
sekarang masih terus mewarnai panorama pemikiran Islam kontemporer. Pertama,
kaum Mu’tazilah, kaum yang cenderung memuliakan kekuatan akal di atas
segala-galanya, mereka lebih mengakui validitas kebenaran yang dihasilkan oleh
akal. Lalu, apa bila ada kontradiksi antara akal dan wahyu dalam pandangan
Mu’tazilah mana yang dimenangkan? Mu’tazilah ada upaya mengkompromikan
akal dan wahyu dengan mentakwil matan wahyu verbal sehingga tidak ada
pertentangan diantara keduanya (akal dan wahyu). Kedua, kaum Salafiyah, kaum
yang lebih mempercayai bahwa wahyu adalah suara Tuhan yang tidak bisa
diotak-atik, atau dengan bahasa lain 'sudah merupakan harga mati'.
Kaum Salafi bahkan tidak memberikan peran akal dalam wahyu. Ketiga,
kaum As’ariyah yang berusaha moderat, mensintesakan kedua pendapat diatas,
dengan berusaha memposisikan akal (atau dalil ‘aql) dan wahyu (atau dalil naql)
39 Untuk mengetahui definisi hukum Islam, fiqih dan Syari’ah A Qadry Azizy mengulas panjanglebar dalam Eklektisisme Hukum Nasional; Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Nasional, Yogyakarta: Gama Media, 2002.
53
secara linear atau sejajar, tidak menonjolkan atau memperioritaskan salah satu
dari keduanya. Namun usaha mensintesakan (penggabungan akal dan wahyu)
sedikit gagal, terbukti dalam menimbang-nimbang antara keduanya lebih condong
pada wahyu. Bisa dikatakan Al-Asy'ariah adalah anti tesis yang ketiga
Imam Ali (KW) berkata, 'Al-qur'an bayna daftay-il kitâab lâ yantiqu, wa
innamâ yatakallamu bihi al-rijâl' (Al-Qur'an yang ada di antara lembaran ini
adalah mushaf yang tidak bisa bicara, dan hanya dengan [perantaraan] manusia dia
bisa bicara). Beranjak dari sini, interpertasi terhadap Al-Qur'an adalah sebuah
keharusan untuk menghidupkan teks verbal wahyu. Dalam dunia Sunni interpetasi
itu diistilahkan dengan 'tafsir', dan non-sunni mengistilahkan dengan 'takwil'.
Nashr Hamid berkata, 'Kaum Sunni menisbatkan istilah takwil pada pemahaman
kelompok yang menyimpang. Seperti takwil Mu’tazilah, Khawarij, filsafat dan
tasawuf. Padahal Al-Qur'an sendiri lebih banyak memakai istilah 'takwil' dari
pada 'tafsir'. Istilah 'tafsir' dalam Al-Qur'an hanya satu kali, sedangkan 'takwil
lebih dari 10 kali. Penggunaan tafsir baru popular sejak abad IV H (IX M) setelah
sebelumnya penggunaan istilah takwil lebih popular.40 Penisbatan yang negative
pada istilah 'takwil' ini oleh ulama Sunni disebabkan benturan politik dan
ideologi'. Namun, walau bagaimanapun, takwil dan tafsir adalah hasil interaksi
atau dialektika antara akal, teks wahyu, dan realitas.
40 Kata Ta’wil muncul dalam al Qur’an sebanyak 17 kali, sehingga beberapa mufasir menyebut sebenarnya kata ta’wil lebih polpuler letimbang kata tafsir, hal tersebut sudah disitir oleh al Qir’an surat ali Imron ayat 7. ta Wil berasal dari kata aul yang berarti , yang berarti kembali kepada asalnya. Kata ta’wil merupakan bentuk taf’il dari kata kerja awwala, yu’awwilu, ta’wilan. Lihat Hasbi as Shidiqi dalam Sejarah dan Pengantar ilmu al Qur’an atau Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1980 hlm 195
54
Islam pernah mengalami jaman keemasan (Golden Age) di saat
dibukannya kran kebebasan berfikir, dan berfilsafat. Sikap inklusivisme dalam
berinteraksi dengan pemikiran yang datang dari luar sangat gamblang. Tidak
segan-segan umat Islam mempelajari, bahkan lebih jauh mengadopsi pemikiran
Yunani kuno lewat proses transliting (menterjemahkan) buku-buku berbahasa
Yunani.
Pemikiran rasional41 dipengaruhi oleh persepsi tentang seberapa tinggi
kedudukan akal seperti terdapat dalam al-Qur'an dan al-Hadits. Persepsi ini
bertemu dengan persepsi yang sama dari Yunani melalui filsafat dan sainsnya
yang berada di kota-kota pusat peradaban Yunani di dunia Islam klasik, seperti
Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syria) dan Bactra (Persia). Di
sana memang telah berkembang pemikiran rasioal Yunani. (Harun Nasution:
1995).
Di saat dunia Islam dalam klimaks keemasannya, peradaban barat masih
dalam masa kegelapan (Dark Age). Masyarakatnya masih sangat mempercayai
takhayul, rigid dan terbelakang disemua lini. Hegemoni gereja telah menyumbat
kebebasan berfikir. Banyak pemikir dihukum oleh dewan gereja gara-gara
pemikiranya bertentangan dengan doktrin gereja.
41 Pada masa awa Islam, pemikiran rasional atau rasionalisme lebih dioidentikkan dengan aliran Mu’tazilah. Para ulama mendefinisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari qadiriyah yang menyelisihi pendapat umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho dan Amr bin Ubaid pada zaman Hasan al Basri. Seputar rasionalisme, aliran, sejarah dan faham mu’tazilah bisa dilihat dalam buku Defender of Reason in Islam; Mu’tazilah from medieval School to Medern Age terj. Muhammad Syukri, Post Mu’tazilah, Genealogi Konflik Rasionalisme dan Tradisionalisme Islam”Yogyakarta: IRCiSoD, 2002.
55
Di saat itu pula ada sebagian komunitas masyarakat barat yang belajar
filsafat dan science di dunia Islam. Kemudian lambat tapi pasti barat sedikit demi
sedikit mengalami perubahan. Bermula dari reformasi agama (al-islâh al-dînî)
pada abad ke 15, renaisence atau aufklarung pada abad ke 16, rasionalisasi pada
abad ke 17, enlightment (tanwîr) atau abad pencerahan pada abad ke 18 dan era
ilmu pengetahuan pada abad ke 19. Perubahan atau kebangkitan barat itu, kata
Hasan Hanafi tidak akan terjadi kecuali dengan menyerap ilmu filsafat dan sains
yang datang dari dunia Islam melalui penerjemahan dari bahasa Arab kedalam
bahasa Latin dan bahasa Ibrani.
Memutar kembali rekaman sejarah masa keemasan Islam, bukan
bermaksud mengenang romantika sejarah an sich, tapi lebih dari sekedar itu,
meneladaninya untuk kita aplikasikan di masa sekarang. Satu syarat dan barang
kali termasuk resep mujarab dalam upaya membangkitkan kembali (reawakening)
peradaban Islam dari tidur panjangnya-kalau kita mengaca diri pada era keemasan
itu-yaitu, menyemangatkan dan mentradisikan kembali diktum filsafat dalam
dunia Islam, serta memperkecil volume hegemoni 'rezim' teks wahyu yang sering
dipahami secara kaku dan rigid.