Post on 10-Feb-2018
7/22/2019 BAB I.docxGHGCJ
1/16
BAB I
PENDAHULUAN
Dermatitis Atopik (DA) merupakan dermatitis yang bersifat kronik, residif, distribusi
simetris biasanya terjadi pada individu dengan riwayat gangguan alergi pada keluarga atau
gangguan alergi pada individu tersebut (Mulyono, 1986).
Penyakit DA merupakan bentuk ekzema yang paling sering dijumpai dan menyerang 2-3%
anak-anak di seluruh dunia (Mahadi, 2000).
Penyebab DA secara pasti belum diketahui, tetapi faktor keturunan merupakan dasar
pertama untuk timbulnya penyakit ( Siregar, 2004).
Konsep Atopi menurut Coca, 1931 (cit. Soedarmadi, 1986) adalah bentuk hipersensitivitas
herediter yang berkaitan dengan asma dan hay fever.Diketahui kemudian oleh Pepsy dan Parish
tahun 1979 bahwa pada penderita DA terjadi kenaikan Imunoglobulin E (Ig E) total dalam serum
dan Ig E antibody terhadap common environmental allergen (Soedarmadi, 1986).
Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan kriteria diagnostik menurut Hanifin dan Rajka pada tahun
1980 yang sampai sekarang masih digunakan. Beberapa kriteria diagnostik lain yaitu kriteria
Svenssons dan yang terbaru adalah kriteria William dkk. pada tahun 1994 ( Kariosentono, 2006).
Penjelasan mengenai kriteria tersebut diatas akan dibahas lebih lanjut dalam bab selanjutnya.
Dengan berkembangnya pengetahuan mengenai patogenesis DA, banyak pengobatan yang
telah dicoba digunakan dengan hasil yang bervariasi, namun pengobatan tersebut belum dapat
dianjurkan untuk diberikan kepada sebagian besar penderita DA karena kortikosteroid topikal
dan kelembababan kulit masih merupakan pengobatan utama. Namun pada perjalanan dari
penyakit ini dapat juga diberikan pengobatan imunosupresan topikal nonsteroid , yang
merupakan pengobatan lama dalam terapi DA. Kalsineurin topikal inhibitor adalah bagian
penting dari pengobatan karena manjur untuk DA, berperan kuat pada percobaan klinik dan
penggunaan ekstensif di klinik. Pimekrolimus merupakan askomisin dengan kalsineurin inhibitor
7/22/2019 BAB I.docxGHGCJ
2/16
potensial diberikan khusus untuk mengobati keadaan kulit yang meradang, hal ini merupakan
hasil penelitian dari ratusan perusahaan farmasi (Amiruddin, 2005).
7/22/2019 BAB I.docxGHGCJ
3/16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Dermatitis Atopik
II.1.1 Definisi
Dermatitis Atopik (DA) merupakan dermatitis yang bersifat kronik, residif, distibrusi simetris,
biasanya terjadi pada individu dengan riwayat gangguan alergi pada keluarga atau individu
tersebut (Mulyono, 1986).
Dermatitis Atopik (DA) adalah keadaan peradangan kulit kronis residif, disertai rasa gatal yang
berhubungan dengan riwayat atopi (Djuanda dan Sularsito, 2001). Kata atopi pertama kali
diperkenalkan oleh Cocca, 1931, yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada
individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya, misalnya: asma bronchial,
rhinitis alergika dan konjungtivitis alergika (Djuanda dan Sularsito, 2001).
Dermatitis Atopik (DA) adalah inflamasi kulit dengan etiologi yang belum diketahui,
berhubungan dengan keadaan atopi, timbul pada masa bayi atau anak serta dapat berlanjut pada
usia dewasa dengan tanda khas berupa rasa gatal dan predileksi lesi sesuai umur penderita
(Kariosentono, 2006).
II.1.2 Etiologi
Penyebab DA belum diketahui, terdapat 2 teori yang menjelaskan etiologi DA. Teori pertama
menyatakan DA merupakan akibat defisiensi imunologik yang didasarkan pada kadar
Imunoglobulin E (Ig E) yang meningkat dan indikasi sel T yang berfungsi kurang baik.
Sedangkan teori kedua menyatakan adanya blokade reseptor beta adrenegik pada kulit. Namun,
kedua teori tersebut tidak adekuat untuk menjelaskan semua aspek penyakit DA (Mulyono,
1986).
II.1.3 Epidemiologi
7/22/2019 BAB I.docxGHGCJ
4/16
Jumlah penderita DA pada anak di Iran dan China sekitar 2%, di Amerika, Australia, England
dan Scandinavia jumlahnya lebih tinggi, mencapai hingga 20% (Simmons, 2004).
II.1.4 Klasifikasi Dermatitis Atopik
Berdasarkan usia kejadian DA dibagi menjadi 3 tipe (Mulyono, 1986), yaitu :
1. Tipe Infantil (usia 2 bulan2 tahun).
2. Tipe anak-anak (usia 210 tahun).
3. Tipe dewasa (17 -25 tahun).
Sedangkan Djuanda dan Sularsito tahun 2002, membagi usia pada tipe DA menjadi :
1. Bentuk Infantil (usia 2 bulan2 tahun).
2. Bentuk anak ( usia 3 tahun11 tahun).
3. Bentuk remaja dan dewasa ( 12 tahun30 tahun).
II.1.5. Gambaran klinis Dermatitis Atopik
Bentuk klinis DA berbeda menurut fase umur penderita. Dikenal 3 fase dengan gambaran klinik
masing-masing fase berbeda (Moelyono, 1986) :
1. DA tipe infantil.
Biasanya timbul pada usia 2 bulan sampai usia 2 tahun, tetapi dapat pula terjadi pada usia 2-3
minggu. Bentuk yang paling sering adalah bentuk basah. Mula-mula berupa papula milier
kemudian timbul eritem, papulovesikel yang bila pecah akan menimbulkan erosi dan eksudasi.
Biasanya terjadi pada muka terutama pipi, dapat meluas ke dahi, kulit kepala, leher, pergelangan
tangan, ekstremitas bagian ekstensor dan bokong. Bentuk lain yang jarang terjadi adalah bentuk
kering. Kelainan dapat berupa papula kecil, skuama halus, likenifikasi dan erosi. Biasanya terjadi
7/22/2019 BAB I.docxGHGCJ
5/16
pada anak yang lebih besar. Eksaserbasi bisa terjadi karena tindakan vaksinasi, makanan, bulu
binatang atau perubahan suhu.
2. DA tipe anak-anak.
Timbul pada usia 2 tahun sampai 10 tahun. Kelainan dapat berupa papula, likenifikasi, skuama,
erosi dan krusta. Biasanya terjadi pada fossa poplitea, antekubiti, pergelangan tangan, muka dan
leher. Eksaserbasi tipe anak lebih sering karena iritasi dan kadang-kadang karena makanan.
Stigmata Atopik pada anak (Soedarmadi, 1986) :
1. Temperamen, anak tak pernah diam, iritabel dan agresif.
2. Lipatan bawah mata ( tandaDennie-Morgan).
3. Penipisan alis bagian lateral ( tandaHertoghe).
4. Kulit kering atau xerotik.
5. Pitiriasis alba.
6. Keratosis pilaris.
7. Muka pucat ( paranasal dan periorbita ).
8. Lipatan garis tangan berlebihan.
9. Keratokonus dan katarak juvenile.
10. Mudah terkena infeksi.
Di samping stigmata tersebut Soedarmadi (1986) juga mengemukakan bentuk atipik pada anak :
1. Bentuk numular lebih eksudatif ditemukan bila terjadi infeksi sekunder, kadang-kadang
dengan kelainan pada kuku, dikemukakan oleh Champion dan Parish, 1979.
2. Peridigitalis dermatitis, lesi kering berskuama dan kedua ibu jari dan kulit di sekitarnya.
3. Bentuk folikuler.
7/22/2019 BAB I.docxGHGCJ
6/16
4. Bentuk yang menyerupai prurigo, bentuk ini terdapat lebih banyak pada daerah tropik,
dikemukakan oleh Canisares, 1982.
3. DA tipe Dewasa :
Kelainan yang ditemukan berupa bercak kering dengan likenifikasi, skuama halus dan
hiperpigmentasi atau hipopigmentasi.Biasanya terjadi pada daerah ekstremitas bagian fleksor,
leher, dahi dan mata. Eksaserbasi pada DA tipe dewasa sering terjadi karena tekanan mental,
iritasi dan makanan.
II.1.6. Kriteria Diagnostik Dermatitis Atopik
Kriteria diagnostik DA pada mulanya didasarkan atas fenomena klinis yang menonjol, yaitu
gejala gatal. George Rajka menyatakan bahwa diagnosis DA tidak dapat dibuat tanpa adanya
riwayat gatal. Kemudian pada tahun 1980 Hanifin dan Rajka membuat kriteria diagnostik DA
yang masih sering digunakan hingga saat ini ( Kariosentono, 2006).
Kriteria Diagnostik DA menurut Hanifin dan Rajka, 1980 (cit. Kariosentono, 2006) :
A. Kriteria Mayor :
Pruritus ( gatal ).
Morfologi sesuai umur dan distribusi lesi yang khas.
Bersifat kronik eksaserbasi.
Ada riwayat atopi individu atau keluarga.
B. Kriteria Minor :
Hiperpigmentasi daerah periorbita
TandaDennie-Morgan
Keratokonus
Konjungtivitis rekuren
7/22/2019 BAB I.docxGHGCJ
7/16
Katarak subkapsuler anterior
Cheilitis pada bibir
White dermatographisme
Pitiriasis Alba
Fissura pre aurikular
Dermatitis di lipatan leher anterior
Facial pallor
Hiperliniar palmaris
Keratosis palmaris
Papul perifokular hiperkeratosis
Xerotic
Iktiosis pada kaki
Eczema of the nipple
Gatal bila berkeringat
Awitan dini
Peningkatan Ig E serum
Reaktivitas kulit tipe cepat (tipe 2)
Kemudahan mendapat infeksi Stafilokokus dan Herpes Simpleks
Intoleransi makanan tertentu
Intoleransi beberapa jenis bulu binatang
Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan emosi
7/22/2019 BAB I.docxGHGCJ
8/16
TandaHertoghe( kerontokan pada alis bagian lateral).
Untuk membuat diagnosis DA berdasarkan kriteria menurut Hanifin dan Rajka diatas dibutuhkan
sedikitnya 3 kriteria mayor ditambah 3 atau lebih kriteria minor.
Kriteria Diagnostik DA yang lain adalah kriteria diagnostik menurut Svensson, 1985 (cit.
Harahap, 2000) yang membagi kriteria menjadi 3 kelompok :
Kelompok kesatu ( nilai 3) :
1. Perjalanan penyakit dipengaruhi musim
2. Xerosis
3. Diperburuk dengan tegangan jiwa
4. Kulit kering secara berlebihan dan terus menerus
5. Gatal pada kulit yang sehat apabila berkeringat
6. Serum Ig E 80 IU/ml
7. Menderita Rinitis Alergika
8. Riwayat rinitis alergika pada keluarga
9. Iritasi dengan tekstil
10. Hand Ekzema pada waktu anak-anak
11. Riwayat dermatitis atopik pada keluarga
Kelompok kedua (nilai 2) :
1. Kulit muka pucat/ kemerahan (pallor)
2. Knuckle dermatitis(dermatitis dengan likenifikasi pada jari-jari)
3. Menderita asma
4. Keratosis pilaris
7/22/2019 BAB I.docxGHGCJ
9/16
5. Alergi terhadap makanan
6. Dermattitis numularis
7. Nipple eczema
Kelompok ketiga (nilai 1) :
1. Pompholyx
2. Iktiosis
3. Dennie-morgan
Dalam menegakkan diagnosis DA berdasarkan kriteria Svennson, pasien harus memiliki
dermatitis di daerah fleksural kronik yang hilang timbul ditambah dengan memiliki 15 nilai dari
sistem skor Svennson.Kriteria Diagnostik DA menurut William tahun 1994 (cit. Mahadi, 2000) :
Harus ada : Rasa gatal ( pada anak-anak dengan bekas garukan). Ditambah 3 atau lebih:
1. Terkena pada daerah lipatan siku, lutut, di depan mata kaki atau sekitar leher (termasuk
pipi pada anak di bawah 10 tahun).
2. Anamnesis ada riwayat atopi seperti asma atau hay fever (ada riwayat penyakit atopi pada
anak-anak).
3. Kulit kering secara menyeluruh pada tahun terakhir.
4. Ekzema pada lipatan (termasuk pipi, kening, badan luar pada anak
7/22/2019 BAB I.docxGHGCJ
10/16
Pemeriksaan Penunjang DA menurut Siregar tahun 1995 :
1. White dermatographisme: untuk melihat perubahan dari rangsangan goresan terhadap
kulit.
2. Percobaan Asetilkolin : akan menimbulkan vasokonstriksi kulit yang tampak sebagai garis
pucat selama 1 jam.
II.1.8. Diferential Diagnosis DA menurut Djuanda dan Sularsito tahun 2002 :
1. Dermatitis Seboroik Fasii : Dermatitis seboroik pada muka mirip dengan dermatitis atopik
tipe infant. Pada Dermatitis seboroik ditemukan skuama kekuningan dan berminyak pada daerah
alis mata dan lipatan nasolabial. Pada DA lesi ditemukan biasanya pada pipi dan simetris.
2. Neurodermatitis Sirkumskripta (Liken Simpleks Kronikus) : Pada DA tipe anak dan
dewasa. Neurodermatitis Sirkumskripta dan DA sama-sama terasa gatal. Predileksi DA pada
lipat siku, lipat lutut (fleksor) dan tengkuk. Predileksi neurodermatitis Sirkumskripta pada siku,
punggung kaki (ekstensor) dan tengkuk. Pada DA biasanya sembuh setelah umur 30 tahun
sedangkan neurodermatitis sirkumskripta dapat berlanjut sampai tua.
3. Dermatitis Kontak Alergika : Lokasi pada semua bagian tubuh yang tekena bahan
kontaktan. Lesi eritema bentuk numular hingga plakat, papula dan vesikel berkelompok disertai
erosi. Terjadi pada semua umur.
4. Dermatitis Numularis : Lesi eritematosus eksudatif berbentuk koin pada ekstremitas bagian
ekstensor, bokong dan bahu disertai dengan Koebner fenomena. Lebih sering dijumpai pada pria
dewasa.
II.1.9. Penatalaksanaan DA.
Pengobatan DA tidak bersifat menghilangkan penyakit tapi untuk menghilangkan gejala dan
mencegah kekambuhan.
7/22/2019 BAB I.docxGHGCJ
11/16
Secara konvensional pengobatan DA pada umumnya menurut Boguniewicz & Leung tahun
1996 (cit.Kariosentono, 2006) adalah sebagai berikut :
1. Menghindari bahan iritan : bahan seperti sabun, detergen, bahan kimiawi karena penderita
DA mempunyai nilai ambang rendah dalam merespon berbagai iritan.
2. Mengeliminasi alergen yang telah terbukti : pemicu kekambuhan yang telah terbukti misal
makanan, debu rumah, bulu binatang dan sebagainya harus disingkirkan.
3. Mengurangi stress : stress pada penderita DA merupakan pemicu kekambuhan, bukan
sebagai penyebab.
4. Pemberian pelembab kulit dan menghilangkan pengeringan kulit : pemakaian pelembab
dapat mempebaiki barier stratum korneum.
5. Kortikosteroid topikal : sebagai anti inflamasi dann anti pruritus,dipilih yang potensinya
paling lemah yang paling efektif untuk menghindari efek samping berupa atrofi, teleangiektasi,
striae dan takifilaksi.
6. Antibiotik : ditujukan pada DA dengan infeksi sekunder
7. Antihistamin : Antihistamin digunakan sebagai antipruritus yang cukup memuaskan dan
banyak digunakan untuk terapi DA.
II.1.10. Prognosis
Tujuh puluh lima persen DA tipe infantil dan anak akan sembuh spontan pada umur 10-14
tahun menurut Gigli dan Baer tahun 1979 (cit. Soedarmadi, 1986). Sebagian akan
berkesinambungan dengan kulit yang sensitif dan cenderung terjadi DA akibat iritan primer yang
mudah terkontrol menurut Emerson tahun 1979 (cit. Soedarmadi, 1986).
II.2. Imunomodulator Topikal
Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin yaitu imunomodulator
golongan makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil fermentasi Streptomyces
hygroscopicus var. Ascomyceticus.Cara kerja sangat mirip siklosporin dan takrolimus yang
dihasilkan dari streptomyces tsuku-baensis, walaupun ketiganya berbeda dalam struktur
7/22/2019 BAB I.docxGHGCJ
12/16
kimianya, yaitu bekerja sebagaipro-drug, yang baru menjadi aktif bila terikat pada reseptor
sitosolik imunofilin. Reseptor imunofilin untuk untuk askomisin adalah makrofilin-12. Ikatan
askomisin pada makrofilin-12 dalam sitoplasma sel T, akan menghambat calcineurin(suatu
molekul yang dibutuhkan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin), sehingga produksi sitokin TH1
(INF-dan IL-2) dan TH2 (IL-4 dan IL-10) dihambat. Askomisin juga menghambat aktivasi sel
mast. Askomisin menghasilkan efek imunomodulator lebih selektif dalam menghambat fase
elisitasi
dermatitis kontak alergi, tetapi respons imun primer tidak terganggu bila diberikan secara
sistemik, tidak seperti takrolimus dan siklosporin.( Djuanda dan Sularsito, 2002).
Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SDZ ASM 81 konsentrasi 1%, mempunyai
efektivitas sama dengan krim klobetasol-17-propionat 0,05% (steroid superpoten), tidak
menyebabkan atrofi kulit (setidaknya selama 4 minggu), aman pada anak dan dapat dipakai pada
kulit sensitif misalnya muka dan lipatan. Cara pemakaiannya dioleskan 2 kali sehari ( Djuanda
dan Sularsito, 2002).
Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun.
Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dengan takrolimus dinasehati untuk memakai
pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat tersebut berpotensi menimbulkan
kanker kulit ( Djuanda dan Sularsito, 2002).
Pimekrolimus yang merupakan derivat macrolactamascomycin adalah pimercrolimus
(Elidel krim, SDZ ASM 981). Obat ini adalah turunanstreptomyces hygroscopitus
varascomyceticus, merupakan penghambat sitokin inflamasi yang bekerja selektif, banyak
digunakan pada penyakit-penyakit kulit inflamasi. Pimercrolimus bekerja dengan mempengaruhi
stimulasi sel T yang kita ketahui banyak berperan dalam pathogenesis DA. Stimulasi sel T
melalui sel penyaji antigen dan menghambat sitokin sel Th-1 seperti IL- 2 dan INF- serta
sitokin Th-2 seperti IL-4 dan IL-10. Selain itu pimercrolimus juga mencegah pelepasan mediator
inflamasi sel mast yang teraktivasi (Amiruddin, 2005).
Obat ini terdapat di pasaran dengan nama dagang Elidel CR, obat ini diindikasikan
pada infeksi saluran nafas atas dan bwh, infeksi saluran urogenital, infeksi kulit dan jaringan
lunak, infeksi tulang dan sendi. Obat ini mempunyai kontraindikasi terhadap pasien dengan
7/22/2019 BAB I.docxGHGCJ
13/16
hipersensitif. Efek samping obat ini adalah dapat terjadi reaksi hipersensitif dan juga gangguan
gastrointestinal. Yang menjadi perhatian pada penggunaan obat ini adalah pada bayi yang lahir
dari ibu yg alergi terhadap penisilin, ibu hamil dan menyusui karena dapat terjadi superinfeksi
(Anonim, 2009).
BAB III
PEMBAHASAN
Pimekrolimus merupakan obat imunomodulator topikal, yang merupakan turunan dari
askomisin, mempunyai efek non steroid, mempunyai aktivitas anti-peradangan, dan telah
dibuktikan kemanjurannya dalam menurunkan gejala dari dermatitis atopik pada penderita
dewasa dan juga anak-anak yang menerima pengobatan secara topikal (Wellington dan Jarvis,
2002).
Dibandingkan dengan pengobatan pada umumnya yang menggunakan kortikosteroid topikal,
pimekrolimus topikal 1,0% krim secara signifikan lebih efektif dalam menurunkan gejala dari
dermatitis atopik, seperti yang diukur dengan menggunakanEczema Area and Severity
Index(EASI), pada bayi umur 3 sampai 23 bulan, anak-anak umur 2 sampai 17 tahun, dan
dewasa. Pada bayi dan anak, penanganan dengan pimekrolimus 1,0% dua kali sehari selama 6
minggu ternyata dapat menurunkan skor EASI dibandingkan pengobatan dengan kortikosteroid
topikal. Pada orang dewasa yang menggunakan pimekrolimus topikal 1.0% dapat menurunkan
skor EASI sebanyak 47% dibandingkan dengan pengobatan dengan kortikosteroid topikal yang
hanya 0% dari skor EASI (Wellington dan Jarvis, 2002).
Gejala pruritus pada semua umur dalam grup secara signifikan menurun setelah pemberian
pimekrolimus krim 1,0% secara topikal. Dibandingkan dengan pasien yang tidak menggunakan
pimekrolimus, insidensieczematous flarespada pasien dewasa, anak dan bayi, ternyata juga
menurun pada pasien yang menggunakan pimekrolimus 1,0% jangka panjang. Enam puluh satu
7/22/2019 BAB I.docxGHGCJ
14/16
persen anak-anak yang diberikan pimekrolimus selama satu tahun, pada enam bulan awal pasien
tidak pernah mengalami kemerahan pada kulit(Wellington dan Jarvis, 2002).
Pimekrolimus topikal krim 1,0% merupakan obat yang dapat dipakai pada pasien dermatitis
atopik pada semua umur. Tidak ada bukti secara klinis bahwa obat ini memiliki efek secara
sistemik dari semua penelitian yang dilakukan pada pasien dengan dermatitis atopik. Laporan
tentang efek samping dari pimekrolimus adalah efek secara lokal yaitu adanya rasa terbakar dan
hangat pada kulit (Wellington dan Jarvis, 2002).
Hasil penelitian menunjukkan manfaat terapeutik yang signifikan dalam menghilangkan gatal
dan eritem pada kelompok yang mendapat pimekrolimus. Dievaluasi konsentrasi pimerkrolimus
1% dalam darah dan toleranbilitasnya selama pengobatan topikal didapatkan konsentrasi
pimekrolimus dalam darah tetap rendah dan tidak terakumulasi oleh karena itu obat ini tidak
dihubungkan dengan efek samping obat yang biasa ditemukan, obat ini juga tidak menimbulkan
atropi kulit yang biasa ditemukan pada penggunaan kortikosteroid topikal (Amiruddin, 2005).
Dari hasil penelitian Stuetz A et al, pimekrolimus dapat digunakan pada pengobatan jangka
pendek maupun jangka panjang pada orang dewasa, anak-anak maupun bayi berumur 3 bulan.
Pimekrolimus dapat mengatasi gatal dalam 3 hari dan penderita tidak mengalami eritem dalam 6
12 bulan (Amiruddin, 2005).
BAB IV
KESIMPULAN
Dermatitis Atopik (DA) adalah keadaan peradangan kulit kronis residif, disertai rasa gatal
yang berhubungan dengan riwayat atopi.
7/22/2019 BAB I.docxGHGCJ
15/16
Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan kriteria diagnostik menurut Hanifin dan Rajka pada
tahun 1980 yang sampai sekarang masih digunakan. Beberapa kriteria diagnostik lain yaitu
kriteria Svenssons dan yang terbaru adalah kriteria William dkk. pada tahun 1994.
Pengobatan DA tidak bersifat menghilangkan penyakit tapi untuk menghilangkan gejala
dan mencegah kekambuhan.
Hasil penelitian menunjukkan manfaat terapeutik yang signifikan dalam menghilangkan
gatal dan eritem pada kelompok yang mendapat pimekrolimus.
Pimekrolimus topikal 1,0% terbukti efektif pada penanganan pasien dewasa, anak, bayi, dengan
dermatitis atopik derajat ringan sampai sedang.
Pimekrolimus topikal krim 1,0% telah menunjukkan kemanjuran dalam penanganan
dermatitis atopik ringan sampai sedang pada bayi, anak, dewasa. Meskipun data-data yang
menunjukkan kemanjuran dari obat ini pada bayi dan anak-anak belum diumumkan secara
lengkap, akan tetapi obat ini telah terbukti manjur pada semua umur, dan belum ada laporan
secara klinis tentang efek sistemik pada penggunaan obat ini. Lebih lanjut lagi, pimekrolimus
juga tidak mempunyai efek yang potensial untuk terjadinya atrofi pada kulit, yang merupakan
efek yang terjadi pada pemberian kortikosteroid topikal.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Elidel. http://www.kimiafarmaapotek.com
Amiruddin, M. D., 2005, Penatalaksanaan Dermatitis Atopik,http://med.unhas.ac.id
http://med.unhas.ac.id/http://med.unhas.ac.id/http://med.unhas.ac.id/http://med.unhas.ac.id/7/22/2019 BAB I.docxGHGCJ
16/16
Djuanda, A. dan Sularsito, S. A., 2002, Dermatitis dalam Djuanda, A., Hamzah, M. dan Aisah,
S., (eds), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin 3rd
ed., FKUI, Jakarta : 131-135.
Kariosentono, H., 2006, Dermatitis Atopik ( Ekzema ) LPP U. N .S., Jawa Tengah : 1-15.
Mahadi, I. D. R., 2000, Ekzema dan Dermatitis dalam Harahap, M., (ed.), Ilmu Penyakit Kulit,
Hipokrates, Jakarta : 614.
Mulyono, 1986, Pedoman Pengobatan Penyakit Kulit dan Kelamin 1sted., Meidian Mulya Jaya ;
Jakarta : 101-102.
Siregar, R. S., 1995, Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, EGC, Jakarta : 132-135.
Siregar, R. S., 2004, Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit 2nd
ed., EGC, Jakarta : 115- 117.
Soedarmadi, 1986, Ekzema Pada Anak Pendekatan Penatalaksanaan Rasional dalam Hardyanto
dan Suyoto (eds), Dermatologi Anak, PADVI, Yogyakarta : 11-19.
Wellington, K. dan Jarvis, B., 2002. Spotlight on Topical Pimecrolimus in Atopic
Dermatitis.http://www.americanjournalofclinicaldermatology.org
http://www.americanjournalofclinicaldermatology.org/http://www.americanjournalofclinicaldermatology.org/http://www.americanjournalofclinicaldermatology.org/http://www.americanjournalofclinicaldermatology.org/