Post on 29-Nov-2015
description
PERAWATAN KOMUNITAS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA POST POWER SYNDROME
DOSEN
LESTARI MAKMURIANA, S.KEP. NERS
KELOMPOK 7:
DADANG SETIAWAN
EKA RAJU SAPUTRA
M. JIMI TAMIMI
NOVA TRIARTI
RIZKA ULLY OKTAVIANI
YENI
KELAS 2A (S1 SEMESTER IV)
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN
MUHAMMADIYAH PONTIANAK
TAHUN AJARAN 2012/2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami sampaikan ke Hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah – Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, yang di susun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Perawatan Komunitas. Makalah ini berjudul Asuhan
Keperawatan pada Post Power Syndrome.
Dalam penyusunan makalah ini, kami selaku penyusun banyak mendapat bimbingan
dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu
Lestari Makmuriana, S.Kep, Ners selaku dosen mata kuliah Perawatan Komunitas.
Makalah ini merupakan salah satu unsur pelengkap yang di dalamnya masih
terdapat banyak kesalahan. Oleh karena itu, kami memerlukan masukan – masukan untuk
menyempurnakan makalah ini, sehingga sesuai dengan yang diharapakan. Penulis juga
berharap, semoga isi yang ada di dalam makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Akhirnya, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua unsur yang
telah memberikan masukan dalam pembuatan makalah ini, sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
Pontianak, Juni 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menjalani masa tua dengan bahagia dan sejahtera, merupakan dambaan semua
orang. Keadaan seperti ini hanya dapat dicapai oleh seseorang apabila orang tersebut
merasa sehat secara fisik, mental dan sosial, merasa dibutuhkan, merasa dicintai,
mempunyai harga diri serta dapat berpartisipasi dalam kehidupan.
Post power syndrome banyak dialami oleh mereka yang baru saja menjalani masa
pensiun. Istilah tersebut muncul untuk mereka yang mengalami gangguan psikologis
saat memasuki waktu pensiun. Stress, depresi, tidak bahagia merasa kehilangan harga
diri dan kehormatan adalah beberapa hal yang dialami oleh mereka yang terkena post
power syndrome.
Lansia sangat membutuhkan sekali peran serta dari keluarga untuk menangani
masalah post power syndrome tersebut agar lansia dapat menjalani masa tuanya dengan
bahagia, mandiri dan terhindar dari kesulitan yang mungkin muncul. Keluarga juga harus
mempunyai pengetahuan tentang post power syndrome agar dapat melakukan
perawatan serta pembinaan pada lansia untuk membantu mengurangi masalah yang
dihadapi oleh lansia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari post power syndrome?
2. Apa faktor penyebab post power syndrome?
3. Bagaimana gejala-gejala post power syndrome?
4. Bagaimana tipe kepribadian yang rentan terhadap post power syndrome?
5. Bagaimana cara mencegah post power syndrome?
6. Bagaimana cara menanggulangi post power syndrome?
7. Apa fungsi keluarga dalam post power syndrome?
8. Bagaimana konsep asuhan keperawatan post power syndrome?
C. Tujuan
1. Menjelaskan definisi post power syndrome.
2. Menjelaskan faktor penyebab post power syndrome.
3. Menjelaskan gejala-gejala post power syndrome.
4. Menjelaskan tipe kepribadian yang rentan terhadap post power syndrome.
5. Menjelaskan cara mencegah post power syndrome.
6. Menjelaskan cara menanggulangi post power syndrome.
7. Menjelaskan fungsi keluarga dalam post power syndrome.
8. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan post power syndrome.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Post Power Syndrome adalah gejala kejiwaan yang kurang stabil yang muncul
tatkala seseorang turun dari jabatan yang dipegang sebelumnya serta kekhawatiran
memasuki masa tua dan persepsi yang menganggap diri semakin tua, merasa tidak
dihargai, dan tidak power full lagi (Handayani,2008).
Post power syndrome sebenarnya merupakan gangguan psikologis yang sering
menimpa banyak orang saat memasuki masa pensiun. Hal ini sering menimpa para
karyawan yang memiliki jabatan saat pensiun dan selalu dihargai para karyawan semasa
bekerjanya. Post power syndrome dapat menimpa orang yang pensiun normal dan
pensiun dini, baik pria maupun wanita (Wijayanto, 2009).
Post power syndrome yaitu gejala kejiwaan yang kurang stabil dan muncul
tatkala seseorang turun dari jabatan yang dimiliki sebelumnya, ditandai dengan wajah
yang tampak jauh lebih tua, pemurung, sakit-sakitan, lemah mudah tersinggung, merasa
tidak berharga, melakukan pola-pola kekerasan yang menunjukkan kemarahan baik
dirumah maupun tempat lain (Rini, 2001 dalam Handayani, 2008).
Post power syndrome adalah gejala yang terjadi dimana ‘penderita’ hidup dalam
bayang-bayang kebesaran masa lalunya (entah jabatannya atau karirnya,
kecerdasannya, kepemimpinannya, kecantikannya/ketampanannta atau hal yang lain),
dan seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini.
B. FAKTOR PENYEBAB POST POWER SYNDROM
Menurut Turner & Helms (1983) dalam Handayani (2008), terdapat beberapa
faktor penyebab berkembangnya Post Power Syndrome pada diri seseorang yaitu :
1. Kehilangan jabatan yaitu kehilangan harga diri karena hilangnya jabatan individu
merasa kehilangan perasaan memiliki dan atau dimiliki, artinya dengan jabatan pula
individu merasa menjadi bagian penting dari institusi. Dengan jabatan pula individu
merasa lebih yakin atas dirinya, karena mendapat pengakuan atas kemampuannya.
Selain itu, individu tersebut merasa puas akan kepemilikan kekuasaan yang terkait
dengan jabatan yang diemban.
Hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa individu yang masih bekerja memiliki
derajat self-esteem yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang sudah tidak
bekerja lagi. Individu yang pensiun akan mengalami penurunan harga diri yang
meliputi kehilangan perasaan diterima, diakui dan dihargai oleh keluarga,
masyarakat, dan rekan sekerja. Selain itu juga muncul perasaan tidak berdaya atau
tidak mampu lagi melakukan segala sesuatu seperti pekerjaanya yang membuat
tampak tidak berguna dan dibutuhkan lagi. Untuk itu dibutuhkan cara yang tepat
agar individu tidak selalu merasakan kehilangan harga diri, misalnya dengan
menyibukkan diri melalui aktifitas-aktifitas seperti terlibat dalam kegiatan sosial
sebagai volunter (Papalia, 2002), atau memperdalam ibadah dan pegetahuannya
dalam hal keagamaan untuk menjadi pemuka agama yang dihormati di daerahnya.
2. Kehilangan hubungan dengan kelompok eksklusif, misalnya kelompok Perwira
Tinggi, kelompok Komandan, kelompok Manager, dan lain-lain yang semula
memberikan kebanggan tersendiri. Individu kadangkala mengidentifikasikan dirinya
dengan kelompok sosial yang berarti bagi dirinya atau dibanggakannya. Dalam hal ini
kelompok sosial bisa kelompok bisnis atau kelompok seprofesinya. Dengan
terjadinya pensiun, maka individu kehilangan identitasnya tersebut sehingga
individu harus mengkonstruksi dan mengevaluasi identitas dirinya menjadi identitas
diri yang baru yang lebih rendah arti dan kebanggaan.
3. Kehilangan kewibawaan atau kehilangan perasaan berarti dalam satu kelompok
tertentu. Jabatan memberikan perasaan berarti yang menunjang peningkatan
kepercayaan diri seseorang. Misalnya saja, kehilangan kewibawaan di depan anak
buah atau lingkungan sekitar karena sudah tidak menjabat lagi.
Pekerjaan yang dilakukan individu sebelum pensiun mungkin merupakan pekerjaan
yang dapat menimbulkan kepuasan dan keberartian diri bagi individu. Dengan
datangnya pensiun, berarti segala atribut yang dimilikinya harus ditanggalkan
termasuk pekerjaan yang menimbulkan kepuasan tersebut, maka individu perlu
menyiapkan kegiatan pengganti agar kehilangan tersebut tidak menjadi masalah.
4. Kehilangan kontak sosial yang berorientasi pada pekerjaan, dengan jabatan yang
jelas, maka seseorang memiliki kerangka pelaksanaan tugas yang jelas, yang
berpengaruh terhadap kontak sosial pula. Pensiun tentunya menyebabkan individu
kehilangan sebagian besar kelompok sosialnya.
Pada individu sebagian besar waktunya habis di lingkungan pekerjaan maka
kelompok sosial yang paling besar dimilikinya adalah teman-teman sejawatnya,
bawahan, atasan, maupun klien-kliennya. Untuk mengatasi kehilangan kontak sosial
yang berorintasi pada pekerjaannya ini, maka individu harus mencari aktivitas-
aktivitas dan orang-orang di lingkungannya yang baru sebagai sumber dukungan
sosial baginya.
5. Kehilangan sebagian sumber penghasilan yang terkait dengan jabatan yang pernah
dipegang. Bagi sejumlah individu, tidak bekerja lagi berarti hilangnya sumber
keuangan. Hal ini mengakibatkan berubahnya cara atau pola hidup individu dan
keluarganya, yang sebelumnya hidup dengan berlebihan atau berkecukupan, kini
harus bisa lebih hemat.
C. GEJALA-GEJALA POST POWER SYNDROME
Menurut Dinsi (2006) dalam Handayani (2008), membagi gejala-gejala post power
syndrome ke dalam tiga tipe, yaitu:
1. Gejala Fisik.
Yaitu menjadi jauh lebih cepat tua tampaknya dibandingkan pada waktu dia
menjabat. Rambutnya menjadi putih semua, berkeriput, menjadi pemurung, sakit-
sakitan, dan tubuhnya menjadi lemah, tidak bergairah.
2. Gejala Emosi.
Yaitu cepat tersinggung, merasa tidak berharga, ingin menarik diri dari
lingkungan pergaulan, ingin bersembunyi, dan lain sebagainya.
3. Gejala Perilaku.
Yaitu umumnya malu bertemu orang lain, lebih mudah melakukan pola-pola
kekerasan atau menunjukkan kemarahan baik di rumah atau di tempat yang lain.
D. TIPE KEPRIBADIAN YANG RENTAN TERHADAP POST POWER SYNDROME
1. Seseorang yang pada dasarnya memiliki kepribadian yang ditandai kekurang
tangguhan mental sehingga jabatan tanpa disadarinya menjadi pegangan, penunjang
bagi ketidak tangguhan fungsi kepribadian secara menyeluruh.
2. Seseorang yang pada dasarnya sangat terpaku pada orientasi kerja dan menganggap
pekerjaan sebagai satu – satunya kegiatan yang dinikmati dan seolah menjadi “ istri
pertama “ nya. Orang seperti ini akan sangat mengabaikan pemanfaatan masa cuti
dengan cara kerja, kerja dan kerja terus.
3. seseorang yang senangnya dihargai dan dihormati orang lain, yang permintaannya
selalu dituruti, yang suka dilayani orang lain.
4. Seseorang yang membutuhkan pengakuan dari orang lain karena kurangnya harga
diri, jadi kalau ada jabatan dia merasa lebih diakui oleh orang lain.
5. Seseorang yang menaruh arti hidupnya pada prestise jabatan dan pada kemampuan
untuk mengatur hidup orang lain, untuk berkuasa terhadap orang lain. Istilahnya
orang yang menganggap kekuasaan itu segala-galanya atau merupakan hal yang
sangat berarti dalam hidupnya.
E. CARA MENCEGAH POST POWER SYNDROME
Pencegahan post power syndrome dapat anda lakukan sejak satahun menjelang
masa pensiun. Pencegahan ini merupakan sebuah usaha untuk merubah kebiasaan anda
saat bekerja dengan harapan anda menjadi terbiasa saat memasuki usia pensiun.
Beberapa kebiasaan yang dapat dirubah, antara lain sebagai berikut (Wijayanto, 2009):
1. Kebiasaan memerintah dan menyuruh bawahan.
Sebagai atasan, bukan berarti harus selalu tergantung pada bawahan. Selama
bisa dan mampu mengerjakannya, ada baiknya melakukan sesuatunya sendiri.
2. Jika memiliki sekretaris, mulailah untuk tidak tergantung pada sekretaris.
Saat bekerja, atasan akan selalu diingatkan jadwal-jadwal pekerjaannya oleh
sekretaris pribadinya. Jika ada yang terlewat, seringkali sekretaris menerima omelan
dari atasannya. Saat masih berkuasa, mungkin kita bisa saja menyalahkan sekretaris
karena kelalainnya mencatat atau menyampaikan jadwal. Disaat pensiun nanti, kita
tidak lagi bersama dengan sekretaris kita yang selalu mengingatkan sekaligus terkena
omelan kita. Jika kita tidak merubah kebiasaan menyalahkan atau memarahi
sekretaris, dikhawatirkan kebiasaan ini akan terbawa saat pensiun nanti.
3. Mengurangi workholic.
Jika anda selalu menggunakan hari-hari libur untuk bekerja maka kurangilah
kebiasaan ini. Cobalah manfaatkan waktu kerja secara optimal sehingga waktu libur
dapat digunakan untuk kegiatan lain yang bermanfaat.
4. Kurangi rasa bangga terhadap pekerjaan, jabatan, dan kekuasaan yang anda miliki.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pekerjaan, jabatan dan kekuasaan yang dimiliki
menjadi kebanggaan diri dan keluarga. Namun jika berlebihan, hal ini dapat
menciptakan sebuah kesombongan sehingga seseorang menjadi mudah
meremehkan orang lain. Kebanggaan atas jabatan yang dimiliki jangan sampau
membuat anda di cap sombong oleh orang lain. Jika ini terjadi, saat pensiun anda
akan diremehkan orang lain. Bahkan anda akan menjadi minder karena anda
bukanlah seorang penguasa lagi.
5. Hubungi teman-teman lama anda.
Teman-teman lama yang seusia dapat anda hubungi untuk sekedar berbagi
cerita atau beraktivitas bersama. Dengan teman-teman lama, komunikasi akan lebih
selaras akan kondisi pensiun. Selain itu, dengan berkumpul dengan teman-teman
lama sangat memungkinkan untuk membuat usaha bersama. Hal ini dapat
disebabkan karena merasa satu nasib, yaitu sebagai pensiunan.
F. MENANGGULANGI POST POWER SYNDROM
Jika mengalami post power syndrome ada baiknya mencoba berbagai hal sebagai
berikut (Wijayanto,2009):
1. Lebih mendekatkan diri pada Tuhan.
2. Menerima dan memahami kondisi bahwa anda tidak lagi menjadi pemimpin.
3. Lebih sering berkumpul dengan keluarga.
4. Mengendalikan emosi.
5. Berprinsip bahwa dengan pensiun kehidupan anda akan lebih baik.
6. Sering melakukan kegiatan sosial dilingkungan tempat tinggal.
G. FUNGSI KELUARGA DALAM POST POWER SYNDROME
Keluarga mempunyai pengaruh yang paling besar ketika terjadinya Post Power
Syndrome yang terjadi pada seseorang, berikut ini merupakan alasan mengapa unit
keluarga harus menjadi fokus sentral dari perawatan pada seseorang yang menderita
Post Power Syndrome:
1. Dalam unit keluarga, disfungsi apa saja yang mempengaruhi satu atau lebih anggota
keluarga, dan dalam hal tertentu, seringkali akan mempengaruhi anggota keluarga
yang lain dan unit ini secara keseluruhan.
2. Ada semacam hubungan yang kuat antara keluarga dan status kesehatan
anggotanya, bahwa peran dari keluarga sangaT penting bagi setiap aspek perawatan
kesehatan anggota keluarga secara individu, mulai dari strategi- strategi hingga fase
rehabilitasi.
3. Dapat mengangkat derajat kesehatan keluarga secara menyeluruh, yang mana
secara tidak langsung mengangkat derajat kesehatan dari setiap anggota keluarga.
4. Dapat menemukan faktor – faktor resiko.
5. Seseorang dapat mencapai sesuatu pemahaman yang lebih jelas terhadap individu –
individu dan berfungsinya mereka bila individu – individu tersebut dipandang dalam
konteks keluarga mereka.
6. Mengingat keluarga merupakan sistem pendukung yang vital bagi individu-individu,
sumber dari kebutuhan-kebutuhan ini perlu dinilai dan disatukan kedalam
perencanaan tindakan bagi individu-individu.
H. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan
a. Data Umum mencakup:
1) Kepala keluarga
2) Alamat
3) Telepon
4) Pekerjaan kepala keluarga
5) Pendidikan kepala keluarga
6) Komposisi keluarga
7) Tipe keluarga
8) Suku bangsa
9) Agama
10) Status sosial ekonomi keluarga
11) Aktivitas rekreasi keluarga
b. Data yang perlu diperoleh dari pengkajian:
1) Berkaitan dengan keluarga:
a) Data demografi dan sosiokultural
b) Data lingkungan
c) Struktur dan fungsi keluarga
d) Stress dan koping keluarga yang digunakan keluarga
e) Perkembangan keluarga.
2) Berkaitan dengan individu sebagai anggota keluarga:
a) Fisik
b) Mental
c) Emosi
d) Sosial
e) Spiritual
c. Riwayat dan tahap perkembangan keluarga, mencakup:
1) Tahap perkembangan keluarga saat ini.
2) Tugas perkembangan keluarga yang belum terpenuhi.
3) Riwayat kesehatan keluarga inti, riwayat masing-masing anggota keluarga.
4) Riwayat kesehatan keluarga sebelumnya (generasi diatasnya).
d. Data lingkungan, meliputi:
1) Karakteristik rumah
2) Karakteristik tetangga dan komunitasnya
3) Mobilitas geografis keluarga
4) Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat.
5) Sistem pendukung keluarga.
e. Struktur keluarga, meliputi:
1) Struktur peran
2) Nilai atau norma keluarga
3) Pola komunikasi keluarga
4) Struktur kekuatan keluarga
f. Fungsi keluarga, meliputi:
1) Fungsi ekonomi
2) Fungsi mendapatkan status sosial
3) Fungsi pendidikan
4) Fungsi sosialisasi
5) Fungsi pemenuhan (perawatan/pemeliharaan) kesehatan.
6) Fungsi religious
7) Fungsi reproduksi
8) Fungsi afeksi
2. Diagnosa Keperawatan
a. Harga diri rendah berhubungan dengan kehilangan perasaan diterima, diakui dan
dihargai oleh keluarga, masyarakat, dan rekan sekerja.
b. Ketidakefektifan koping individu berhubungan dengan tidak adekuatnya
kesempatan untuk menyiapkan diri menghadapi stressor.
c. Ansietas berhubungan dengan ancaman atau perubahan pada status dan / atau
fungsi peran.
3. Intervensi Keperawatan
BAB III
PENUTUP
Post Power Syndrome adalah gejala kejiwaan yang kurang stabil yang muncul tatkala
seseorang turun dari jabatan yang dipegang sebelumnya serta kekhawatiran memasuki
masa tua dan persepsi yang menganggap diri semakin tua, merasa tidak dihargai, dan tidak
power full lagi (Handayani,2008).
Menurut Dinsi (2006) dalam Handayani (2008), membagi gejala-gejala post power
syndrome ke dalam tiga tipe, yaitu:
1. Gejala Fisik.
Yaitu menjadi jauh lebih cepat tua tampaknya dibandingkan pada waktu dia
menjabat. Rambutnya menjadi putih semua, berkeriput, menjadi pemurung, sakit-
sakitan, dan tubuhnya menjadi lemah, tidak bergairah.
2. Gejala Emosi.
Yaitu cepat tersinggung, merasa tidak berharga, ingin menarik diri dari lingkungan
pergaulan, ingin bersembunyi, dan lain sebagainya.
3. Gejala Perilaku.
Yaitu umumnya malu bertemu orang lain, lebih mudah melakukan pola-pola
kekerasan atau menunjukkan kemarahan baik di rumah atau di tempat yang lain.
Daftar Pustaka
Handayani, Yuli. (2008). Post Power Syndrome pada Pegawai Negeri Sipil yang Mengalami
Masa Pensiun. Diakses pada tanggal 14 Juni 2013 di
http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2008/
Artikel_10503211.pdf
Wijayanto, Joannes. (2009). PHK dan Pensiun dini, siapa takut?. Jakarta : Penebar Plus.
http://hatyascenter.blogspot.com/2011/03/post-power-syndrom-pada-lansia.html