Post on 17-Sep-2018
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Airtanah merupakan salah satu sumber air yang banyak dimanfaatkan oleh
manusia dalam aktivitasnya (Todd, 1980; Sudarmadji, dkk., 2014; Santosa dan
Adji, 2014). Airtanah adalah air yang berada pada zona jenuh air dan terletak pada
suatu wadah (akuifer) dengan muka airtanah diatasnya (Darmanto, 2014; Irwana
dan Puradimaja, 2015). Airtanah memiliki persentase satu perlima dari 3% sumber
air tawar di bumi (Sudarmadji, dkk., 2014; Santosa dan Adji, 2014). Keberadaan
airtanah pada setiap wilayah memiliki karakteristik yang berbeda sesuai dengan
karakteristik genesis wilayahnya yang kemudian berpengaruh pada sifat fisik, kimia
dan biologi airtanah (Santosa, 2004). Berdasarkan paparan karakteristik airtanah
berupa kuantitas dan kualitas diperlukan kajian yang lebih mendalam untuk
menjaga keberlangsungan dalam jangka panjang. Upaya dalam menjaga kuantitas
dan kualitas airtanah dilakukan dengan mengkaji kerentanan airtanah terhadap
pencemaran (Aller, et al.,1987; Stigter, et al., 2005).
Kerentanan airtanah terhadap pencemaran merupakan tingkat kerentanan
airtanah terhadap pencemaran yang didasarkan kondisi hidrogeologi (Vrba dan
Zoporozec, 1994). Pengertian tersebut menjelaskan bagaimana fungsi secara alami
suatu lingkungan (kondisi hidrogeologi) memiliki kemampuan alami untuk
melindungi airtanah terhadap pencemaran. Kerentanan airtanah terhadap
pencemaran juga menekankan pada ancaman terhadap kualitas airtanah dan cara
penilaian kerentanan (Aller, et al.,1987; Foster, 1988; Vrba dan Zoporozec, 1994).
Ancaman terhadap kualitas airtanah dapat diketahui berdasarkan sumber pencemar
baik fisik, kimia, dan biologi. Penilaian kerentanan airtanah terhadap pencemaran
merupakan model dalam menginformasikan kondisi airtanah.
Kerentanan airtanah dibedakan menjadi dua yaitu kerentanan airtanah
intrinsik dan spesifik (Aller, et al.,1987; Stigter, et al., 2005; Widyastuti, dkk.,
2006; Civita, 2010). Kerentanan airtanah intrinsik menekankan terhadap faktor
2
kondisi fisik (batuan, tanah, dan hidrogeologi) yang secara alami dalam melindungi
airtanah terhadap pencemaran. Kerentanan spesifik menekankan pada keberadaan
sumber pencemar. Berdasarkan kajian kerentanan airtanah intrinsik dan spesifik
memiliki peran penting dalam memberikan informasi mengenai tingkat kerentanan
airtanah secara alami dan akibat pengaruh aktivitas manusia.
Kajian kerentanan airtanah terhadap pencemaran menjadi sangat penting
dalam rangka melindungi airtanah baik kuantitas maupun kualitasnya, sehingga
layak untuk dimanfaatkan masyarakat. Terdapat beberapa permasalahan yang
menyebabkan kajian kerentanan airtanah menjadi penting yaitu variasi kondisi
geologi dan geomorfologi, serta meningkatnya jumlah penduduk. Variasi kondisi
geologi dan geomorfologi memiliki karakteristik sistem dan respon yang berbeda
terhadap airtanah (Sutikno, 1992; Dragoni dan Sukhija, 2008; Santosa, 2010; dan
Verstappen, 2014). Meningkatnya jumlah penduduk berdampak pada
meningkatnya pencemaran airtanah (Danaryanto, dkk., 2010), meningkatnya
eksploitasi airtanah (Foster, 1988; Appelo dan Postma, 2005), dan meningkatkan
perubahan penggunaan lahan (Ward, et al., 1985; Wicaksono dan Nurjani, 2013)
Penjelasan teori permasalahan penting untuk kajian kerentanan airtanah dari
aktivitas manusia dan variasi kondisi geologi dan geomorfologi juga terjadi di
Kecamatan Banjarnegara dan sekitarnya (Kecamatan Madukara, sebagian
Banjarmangu dan Sigaluh). Variasi kondisi geologi Kecamatan Banjarnegara dan
sekitarnya terdiri atas beberapa formasi yaitu Endapan Undak, Aluvial, Anggota
Breksi Formasi Linggung, Formasi Peniron, dan Formasi Waturanda (Sudadi,
1985). Kecamatan Banjarnegara dan sekitarnya terbentuk akibat hasil pengaruh
aktivitas geologi Perbukitan Lipatan Serayu Utara dan Selatan (Bemmelen, 1949;
Verstappen, 2013). Jumlah penduduk pada lokasi kajian setiap tahun mengalami
peningkatan (BPS, 2012). Hal tersebut diperkuat dengan keberadaan Perkotaan
Banjarnegara (Anonim, 2011) yang berdampak pada meningkatnya dinamika pada
wilayah disekitarnya (Langgeng dan Muta’ali, 2014). Dampak perkembangan
Perkotaan Banjarnegara dan peningkatan jumlah penduduk terjadi peningkatan
pencemaran airtanah pada lokasi kajian baik akibat kebocoran tangki septik dan
saluran pembuangan air limbah (Bappeda, 2011).
3
Berdasarkan penjelasan permasalahan terkait kondisi geologi dan
geomorfologi, serta aktivitas penduduk di Kecamatan Banjarnegara dan sekitarnya
perlu dilakukan kajian kerentanan airtanah terhadap pencemaran. Tahap awal
dalam penilaian kerentanan airtanah di Kecamatan Banjarnegara dan sekitarnya
dilakukan dengan cara menentukan metode penilaian yang sesuai dengan kondisi
lokasi kajian dan karakteristik metode penilaian tersebut. Metode penilaian
kerentanan airtanah terdiri atas 3 metode menurut (Vrba dan Zaporotec, 1994;
Widyastuti, dkk., 2006) :
“HCS (hydrological complex and setting method); parametric system method
: metode MS (matrix systems), RS (rating systems) dan PCSM (point count
system models); dan analogical relations and numerical models”.
Metode penilaian kerentanan airtanah khususnya dengan model PCSM
banyak diaplikasikan karena menggunakan sistem yang mudah berdasarkan bobot
dan skoring. Beberapa contoh metode PCSM adalah DRASTIC, GOD, SINTACS,
SI dan DRAMIC (Wang, et al., 2007; Khemiri, et al., 2012). Berdasarkan hasil
perbandingan metode SI dan DRASTIC (Stigter, et al., 2005) diperoleh hasil
kerentanan airtanah dengan metode SI lebih mendekati perolehan nilai asli di
lapangan. Hal tersebut dikarenakan terdapat beberapa parameter DRASTIC yang
sama sehingga memperbesar nilai perhitungan kerentanan airtanah terhadap
pencemaran (konduktivitas hidraulik, tekstur tanah dan material penyusun zona tak
jenuh) dan metode DRASTIC memiliki parameter yang banyak serta belum
memasukan informasi mengenai pencemar (Rossen, 1994).
Parameter SI yang digunakan untuk proses pengolahan kerentanan airtanah
terhadap pencemaran adalah Depth to Water Table (D), Recharge (R), Akuifer
Media (A), Topography (T) dan Land Use Factor (LU). Penelitian awal yang
dilakukan oleh (Ribeiro, et al., 2003) ditekankan pada pencemaran nitrat oleh
aktivitas pertanian di Portugal. Penelitian ini menggunakan konsep (Ribeiro, et al.,
2003 dan Stigter, et al., 2006) dengan menggunakan parameter nitrat dalam
mengkaji kerenatanan airtanah spesifik terhadap pencemaran. Metode SI dapat di
terapkan di wilayah yang memiliki kondisi hidrogeologi yang beragam (Ribeiro, et
al., 2003; Stigter, et al., 2006; Gaieb dan Hamza, 2013) karena merujuk pada
4
metode DRASTIC yang dirinci pada tiap jenis akuifer dan kondisi geologinya
sehingga Kecamatan Banjarnegara dan sekitarnya dapat diaplikasikan
menggunakan metode SI.
1.2. Perumusan Masalah
Kecamatan Banjarnegara dan sekitarnya (Kecamatan Madukara, sebagian
Banjarmangu dan Sigaluh) memiliki perencanaan wilayah sebagai wilayah
pengembangan II (kawasan Perkotaan Banjarnegara) dengan fungsi penopang
kegiatan wilayah berupa perdagangan dan jasa, industri, perikanan, pendidikan,
pariwisata, pertanian lahan basah dan kering, sumberdaya energi, dan sumberdaya
mineral (BPS, 2010). Hal tersebut berdampak pada meningkatnya aktivitas
manusia yang tentunya memiliki potensi terhadap pencemaran, khususnya airtanah.
Penelitian yang dilakukan (Bappeda, 2011) menunjukkan bahwa pendataan terkait
tangki septik dan SPAL yang bocor menyebabkan beberapa area kajian khususnya
Kecamatan Madukara, sebagaian Kecamatan Banjarmangu dan Sigaluh memiliki
tingkat risiko tercemar yang bervariasi (Tabel 1.1).
Tabel 1.1. Area Berisiko Tercemar
No Kecamatan Tingkat
Risiko Desa
1 Banjarnegara
Rendah -
Sedang
Argasoka, Ampelsari, Tlagawera, Cendana, dan
Sokayasa
Tinggi
Karangtengah, Wangon, Semampir, Sokanandi,
Parakancanggah, Semarang, Krandegan, dan
Kutabanjarnegara
2 Banjarmangu
Rendah Jenggawur, Banjarkulon, dan Banjarmangu
Sedang
Rejasari, Kesenet, Kalilunjar, Sijeruk, Kendaga,
Gripit, Pekandangan, Sigeblok, Paseh,Sipedang,
Sijenggung, Beji, Prendegan, dan Majatengah
Tinggi -
3 Sigaluh Rendah
Pringamba, Sawal, Panawaren, Tunggara,
Randgan, Bojanegara, Bandingan, Prigi,
Gembongan, Kemiri, Karangmangu, Wanacipta,
Sigaluh, Singomerto, dan Kalibenda
5
Sumber : Bappeda (2011)
Metode kajian EHRA oleh BAPPEDA berupa wawancara dengan
pengambilan sampel dalam diambil dari 10% rumah tangga di Kabupaten
Banjarnegara dengan total sampel 1.110 sampel. Berdasarkan data risiko area
tercemar maka perlu dilakukan evaluasi terkait penyedia suplai air bersih dilokasi
kajian yang bersumber dari airtanah dan mata air. Kebutuhan air bersih melalui
PDAM dengan rincian menurut BPS (2010) jumlah pelanggan PDAM sebesar 5045
dengan jumlah air yang digunakan pada tahun tersebut sebesar 1.099.543 m3 untuk
kawasan Perkotaan Banjarnegara dan sekitarnya. Sumber PDAM tersebut berasal
dari Sungai Serayu dan Airtanah. Setiap tahun terjadi peningkatan pelanggang
PDAM dari tahun 2011 ke 2012 (BPS, 2012) sehingga diperlukan kajian untuk
menjamin kualitas airtanah untuk bahan baku air bersih. Kajian yang sesuai untuk
mengetahui perlindungan airtanah dan memberikan informasi terkait potensi
pencemaran adalah kerentanan airtanah terhadap pencemaran. Berdasarkan hasil
rincian latar belakang dan urgensi Kecamatan Banjarnegara dan sekitarnya dalam
memenuhi kebutuhan air bersih dari airtanah maka diperoleh pokok permasalahan
penelitian yaitu :
1) Bagaimana sebaran kerentanan airtanah intrinsik dan spesifik terhadap
pencemaran di Kecamatan Banjarnegara dan sekitarnya?
2) Bagaimana kondisi kualitas airtanah berdasarkan kandungan Nitrat (NO3-) di
Kecamatan Banjarnegara dan sekitarnya untuk validasi kerentanan airtanah
terhadap pencemaran?
No Kecamatan Tingkat
Risiko Desa
3 Sigaluh Sedang -
Tinggi -
4 Madukara
Rendah
Limbangan, Penawangan, Talunamba,
Madukara, Kutayasa, Pekauman, Pagelak,
Dawuhan, Bantarwaru, Sered, Petambakan, dan
Rakitan
Sedang -
Tinggi Kenteng dan Rejasa
Lanjutan Tabel 1.1
6
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah penelitian dapat dirumuskan tujuan
sebagai berikut.
1) Mengetahui persebaran tingkat kerentanan airtanah intrinsik dan spesifik
terhadap pencemaran di Kecamatan Banjarnegara dan sekitarnya;
2) Mengetahui kondisi kualitas airtanah berdasarkan kandungan Nitrat
(NO3-) di Kecamatan Banjarnegara dan sekitarnya untuk validasi penilaian
kerentanan intrinsik dan spesifik airtanah terhadap pencemaran;
1.4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai ini, maka akan diperoleh
manfaat sebagai berikut :
1) Manfaat teoritis, dapat digunakan sebagai masukan dalam perumusan
kegiatan yang berpotensi menghasilkan limbah.
2) Manfaat praktis, dapat menjadi tambahan informasi pengetahuan
masyarakat untuk melindungi airtanah.
1.5. Tinjauan Pustaka
1.5.1. Sumberdaya Air
Air merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi kehidupan (Fetter,
2000; Todd dan Mays, 2005). Air dipandang penting karena jika tidak ada air maka
tidak akan ada kehidupan (Sudarmadji, 2013). Sumberdaya air merupakan
sumberdaya yang terbarukan dengan ciri memiliki dinamika ruang dan waktu
sesuai dengan siklus hidrologi (Suprayogi dkk., 2014). Berdasarkan dinamika,
persebaran dan fungsinya maka sumberdaya air penting dalam memenuhi
kebutuhan manusia.
Kebutuhan air meningkat setiap tahun seiring dengan berkembanganya
pembangunan (Santosa dan Adji, 2014). Peningkatan kebutuhan air diakibatkan
oleh meningkatnya kebutuhan industri, pertanian, dan permukiman (Aller et al.,
1978; Fetter, 2000). Hal tersebut tidak diikuti dengan kondisi kuantitas dan kualitas
7
yang semakin menurun tiap tahun (Effendi, 2003; Irawan dan Puradimaja, 2015).
Berdasarkan pentingnya sumberdaya air maka perlu dilakukan kajian berbagai
macam sumberdaya air dan karakteristiknya dalam memenuhi kebutuhan air.
Sumberdaya air berdasarkan cabang ilmu hidrologi menurut Linsley et al.,
(1975) meliputi air meteorologis (Hydrometeorology), air permukaan
(Potamology), airtanah (Geohydrology), air danau (Limnology) serta es dan salju
(Cryology). Sumberdaya air tersebut dirinci distribusi dan persentasenya di bumi
oleh Maidment, (1993, dalam Fitts, 2012). Berdasarkan rincian persentase distribusi
air tawar (Tabel 1.2) maka sumberdaya air yang besar potensinya dan dapat
dimanfaatkan dengan mudah adalah airtanah (30,1%).
Tabel 1.2. Distribusi Air di Bumi
Tampungan Air Persentase Air Keseluruhan (%) Persentase Air Tawar (%)
Lautan 96,5
Es dan Salju 1,8 69,6
Airtanah :
Tawar 0,76 30,1
Asin 0,93
Air Permukaan :
Danau Air Tawar 0,007 0,26
Danau Air Asin 0,006
Rawa 0,0008 0,03
Sungai 0,0002 0,006
Lengas Tanah 0,00012 0,05
Atmosfer 0,001 0,04
Biosfer 0,0001 0,0003
Sumber : Maidment (1993, dalam Fitts, 2002)
Alasan mengapa airtanah banyak dimanfaatkan dijelaskan oleh Travis dan
Etnier (1984) berupa keuntungan dan kerugian (Tabel 1.3). Berdasarkan tabel 1.3
airtanah merupakan sumberdaya yang sesuai untuk dijadikan sebagai bahan baku
kebutuhan air bersih. Pendapat tersebut diperkuat oleh Rejekiningrum, dkk (2010)
bahwa penggunaan airtanah lebih baik dan potensial digunakan karena kualitasnya
baik, biaya pengelolaan rendah dan dapat diambil pada lokasi yang diinginkan.
Ditambahkan oleh Maxwell (1979) bahwa ketersediaan air bersih khususnya
8
airtanah menjadi salah satu pengaruh penting dalam dinamika kondisi sosial
ekonomi pada pulau-pulau kecil yang kekurangan ketersediaan air bersih (air
permukaan dan air hujan).
Tabel 1.3. Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Airtanah
Keuntungan Kerugian
1. Perubahan kualitas airtanah relatif kecil;
2. Keterdapatan airtanah cakupannya luas
dan biaya pengelolaannya untuk
pengaliran dan pendistribusian minim
karena dapat diakses sendiri;
3. Airtanah memiliki kualitas yang sangat
baik dan membutuhkan sedikit biaya
untuk pengolahan;
4. Lahan diatas akuifer dapat
dimanfaatkan baik untuk perumahan,
pertanian, industri dan rekreasi; dan
5. Penggunaan airtanah lebih baik
dibandingkan air permukaan karena
tidak terpengaruh evapotranspirasi dan
tidak memerlukan DAM.
1. Penggunaan airtanah dalam dapat
memiliki konsentrasi tinggi dari
parameter Ca, Mg, Mn, dan Fe, H2S,
SO4, Cl, akibat dari kontak dengan
batuan;
2. Penurapan airtanah yang berlebihan di
wilayah pesisir menyebabkan
terjadinya intrusi air laut;
3. Airtanah sulit untuk tercemar, Apabila
airtanah tercemar maka sulit untuk
untuk kembali ke kondisi awal; dan
4. Dekomposisi Anaerobik dari bahan
organik yang menghasilkan CH4, NH3
dan H2S dapat mencemari airtanah.
Sumber : Travis dan Etnier, 1984
1.5.2. Airtanah
Airtanah merupakan air yang mengisi pori batuan atau tanah dalam suatu
lapisan akuifer yang berada di bawah permukaan tanah (Rejekiningrum, dkk.,
2010). Airtanah merupakan salah satu bagian dari siklus hidrologi yang
keberadaannya berada pada zona jenuh air (Asdak, 2010; Hadisusanto, 2010).
Airtanah merupakan tempat berkumpulnya air pada zona saturasi (Fetter, 2000).
Airtanah merupakan air yang tersembunyi yang hanya bisa diamati melalui mata
air dan sumur (Mazor, 2004). Berdasarkan pengertian airtanah di atas dapat
disimpulkan bahwa airtanah merupakan bagian dari siklus hidrologi yang berada di
bawah tanah yang berada pada lapisan tertentu (akuifer). Agihan vertikal airtanah
merupakan pembagian secara vertikal dimensi airtanah. Agihan vertikal airtanah
menurut Todd (1980) tersusun atas mintakan aerasi dan mintakat saturasi (Gambar
9
1.1). Mintakat aerasi terdiri atas mintakat lengas tanah, mintakat vadose tengah dan
mintakat kapiler. Mintakat saturasi merupakan zona jenuh air dimana air pada zona
ini dapat dimanfaatkan.
Gambar 1.1. Agihan Vertikal Airtanah (Todd, 1980)
Akuifer merupakan susunan batuan yang membentuk suatu perlapisan
sehingga dapat mengalirkan dan menyimpan air (Todd, 1980; Mazor, 2004; Santosa
dan Adji, 2014). Akuifer memiliki fungsi sebagai wadah dari air yang masuk ke
dalam zona jenuh air dengan material berupa pasiran dan kerikil lepas (Todd, 1980).
Selain akuifer terdapat pula formasi batuan yang memiliki variasi dalam
menyimpan dan melalukan airtanah yaitu akuifug (formasi batuan yang tidak dapat
menyimpan dan melalukan air), akuitard (formasi batuan yang dapat menyimpan
dan melalukan air dalam jumlah yang terbatas),dan akuiklud (formasi batuan yang
dapat meyimpan air tetapi hanya dapat melalukan dalam jumlah yang sangat kecil)
(Irawan dan Puradimaja, 2015).
Akuifer terdiri atas tiga klasifikasi menurut Todd (1980); Darmanto (2014)
yaitu akuifer tertekan (confined aquifer), akuifer semi tertekan (Leaky aquifer), dan
akuifer tidak tertekan (unconfined aquifer) (Gambar 1.2). Akuifer tidak tertekan
merupakan akuifer yang pada lapisan atas dibatasi lapisan permeabel (lapisan lolos
10
air) dan dibawahnya dibatasi lapisan impermeabel (lapisan yang kedap air).
Akuifer tertekan merupakan akuifer yang dibatasi lapisan impermeabel pada bagian
atas dan bawah. Akuifer semi tertekan merupakan akuifer yang dibatasi oleh lapisan
semi permeabel pada bagian atas atau bawah.
Akuifer tersusun atas berbagai material yang bervariasi menurut
tipologinya. Tipologi sistem akuifernya menurut Todd (1980) terdiri atas lima
klasifikasi yaitu endapan aluvial, material batu gamping, batuan beku vulkanik dan
metamorf, batuan vulkanik, dan batu pasir. Klasifikasi akuifer di Indonesia menurut
Irawan dan Puradimaja (2015) terdiri atas endapan gunungapi, endapan alluvial
,batuan sedimen, batuan kristalin dan metamorf,dan endapan glasial (Pegunungan
Jayawijaya).
(a) (b) (c)
Gambar 1.2. Akuifer Tertekan (a), Akuifer Semi Tertekan (b), dan Akuifer Tidak Tertekan
(c) (Rushton, 2004)
1.5.3. Karakteristik Akuifer
Akuifer memiliki karakteristik dalam megalirkan atau menyimpan air.
Terdapat empat sifat akuifer yang memiliki peranan penting dalam distribusi
airtanah yaitu koefisien cadangan, porositas, permeabilitas, dan transmisibilitas
Todd (1980). Karakteristik akuifer yang pertama porositas batuan. Porositas batuan
Menurut terdiri atas porositas batuan sedimen, plutonik dan metamorf, dan batuan
vulkanik (Fetter, 2000). Masing-masing karakteristik porositas batuan memiliki
karakteristik yang berbeda. Porositas batuan sedimen 1-30%, batuan plutonik dan
11
metamorf 2-5 % dan jika lapuk 30-60%, dan batuan vulkanik (batuan basal 1-12%,
batuan apung 87%, tuff 50%, endapan debu vulkanik tua 50%, dan lapukan
endapan material vulkanik 60%)
Karakteristik kedua adalah permeabilitas. Permeabilitas memiliki
persamaan dengan hidraulik konduktivitas, namun permeabilitas lebih cenderung
digunakan untuk permeabilitas intrinsik (Fitts, 2002). Hidraulik konduktivitas dapat
diukur di laboratorium atau di lapangan. Konduktivitas Hidraulik memiliki nilai
yang berbeda pada tiap jenis materialnya. Karaktersitik ketiga adalah
Transmisibilitas. Transmisibilitas merupakan banyaknya air yang dapat mengalir
pada suatu luasan penampang akuifer dengan gradien hidraulik 100% (Todd, 1980).
Transmisibilitas merupakan fungsi hubungan perkalian antara permeabilitas
dengan ketebalan akuifer (m2/hari).
Karakteristik keempat merupakan Koefisien Cadangan. Koefisien cadangan
merupakan spesific yield (untuk akuifer bebas) (Todd, 1980). Specific yield
merupakan rasio antara volume air yang diambil dengan volume total batuan
(Fetter, 2000). Hal tersebut juga dikaitkan dengan kebalikan dari spesific yield yaitu
spesific retention yang merupakan rasio air yang tertahan saat pemompaan dengan
volum total batuan. Keempat karakteristik akuifer tersebut memiliki peranan
penting dalam mengetahui ilmu dasar mengenai airtanah. Berdasarkan ilmu dasar
tersebut dapat dijadikan dasar untuk kajian kerentanan airtanah (kajian mendalam).
1.5.4. Kualitas Air
Kualitas air merupakan suatu parameter yang ditujukan untuk mengetahui
kondisi air sudah sesuai atau melebihi ambang batas kandungan kadar bahan
tertentu, khususnya untuk pemanfaatan tertentu (Yudo, 2010; Agustiningsih, dkk.,
2012). Peninjauan kualitas air ditujukan untuk mengetahui kondisi air (fisik, kimia,
dan biologi), membandingkan nilai kualitas air dengan baku mutu (tujuan
peruntukan penggunaan air), dan menguji kelayakan sumberdaya air (Effendi,
2003). Kualitas air banyak mengalami perubahan khususnya melebihi batas
ambang akibat aktivitas manusia (Damarany, 2009; Agustira, 2013). Berdasarkan
paparan tujuan uji kualitas air dan permasalahan kualitas air maka kajian kualitas
12
air termasuk kajian penting, khususnya dalam mengkaji kerentanan airtanah untuk
uji validasi (Aller, et al., 1987; Widyastuti, dkk., 2006).
Kualitas airtanah merupakan tingkatan komposisi tertentu pada airtanah yang
dikonsumsi (Hoehn, 2011). Pengertian tersebut berbeda dengan pengertian
komposisi airtanah yang merupakan gambaran komposisi airtanah (khususnya
hubungan dengan kondisi hidrogeologi) (Griffioen, 2004). Parameter kualitas air
yang dapat digunakan untuk uji kualitas airtanah menurut Appelo dan Postma
(2005) minimal harus terdapat unsur daya hantar listrik, empat unsur mayor kation
(Na+, K+, Mg2+, dan Ca2+), dan empat unsur mayor anion (Cl-, HCO-3, SO4
2-, dan
NO3-). Selain itu juga terdapat logam berat (Fe, Mn, Nt, Cu, Zn, dan Pb) menurut
Srivasta dan Ramananthan (2008) yang menunjukkan pengaruh peningkatan kadar
akibat aktivitas manusia.
Terapan dari kualitas airtanah telah dilakukan oleh (Sudarmadji, 2013)
dengan mengkaji kualitas mata air dengan parameter fisik (daya hantar listrik,
kekeruhan, temperatur), kimia (pH, Cl-, HCO-3, CaCO3
-, Ca2+, Mg2+,NO2-, NO3
-,
SO42-, NH3, dan Fe), dan Biologi (Coliform Total). Hasil dari uji kualitas air tersebut
khususnya airtanah dapat dianalisis berdasarkan metode diagram batang, lingkaran,
stiff, dan piper (Younger, 2007). Parameter kualitas air yang diuji dalam kerentanan
airtanah adalah Nitrat (NO3). Parameter nitrat menunjukkan pencemaran yang
diakibatkan oleh limbah domestik dan limbah industri (Darmanto, 2014) serta
menunjukkan akibat aktivitas pertanian (Effendi, 2010; Sudarmadji, 2013). Hasil
uji parameter nitrat digunakan sebagai validasi penilaian kerentanan airtanah
(Ribeiro, 2003; Stigter, et al., 2005; Gaieb dan Hamza, 2013; Khemiri, et al., 2013;
Bofekane dan Saighi, 2013).
1.5.5. Sumber Pencemar dan Pencemaran Airtanah
Sumber pencemar terdiri atas dua jenis yaitu point source (suatu lokasi
tertentu) dan non point (tersebar) (effendi, 2003; Fitts, 2000). Contoh sumber
pencemar point source adalah limbah pabrik, cerobong asap indutri dan knalpot
mobil. Contoh dari sumber pencemar non point source adalah limbah areal
pertanian dan limbah permukiman.
13
Pencemaran airtanah memiliki karaktersitik yang tak tampak, proses yang
lama, dan pergerakan polutan yang lambat (Kovalevsky and Vrba, 2004). Sumber
pencemaran airtanah menurut (Fitts, 2002) terbagi menurut ukuran dan bentuk
dapat melalui pipa bawah tanah, septic tank, buangan limbah pabrik, limbah kimia,
landfills dan pencemaran lain (aktivitas tambang, aktivitas pertanian, dan sumur
injeksi). Pencemaran airtanah tersebut juga dipengaruhi oleh aliran dan pergerakan
airtanah yang memberikan dampak terhadap menyebarnya bahan pencemar (Travis
and Etnier, 1984; Appelo and Postma, 2005).
1.5.6. Sejarah Perkembangan Kerentanan Airtanah dan Konsep Kerentanan
Airtanah Terhadap Pencemaran
Sejarah pengenalan kerentanan airtanah pertama kali di Perancis oleh
Margat pada tahun 1960 (Vrba and Zoporozec, 1994; Widyastuti, dkk., 2006).
Margat menjelaskan bahwa secara alami kondisi lingkungan fisik memiliki
kemampuan dalam melindungi airtanah dari bahan pencemar oleh aktivitas
manusia. Konsep tersebut dikembangkan oleh Fereira (1997, dalam Widyastuti,
dkk., 2006) bahwa kerentanan airtanah untuk tercemar dipertimbangkan dari risiko
statis dan dinamis. Kedua konsep tersebut kemudian dikembangkan oleh Aller, et
al., (1987) yang mengembangkan konsep kerentanan airtanah terhadap pencemaran
dengan metode DRASTIC (intrinsik dan spesifik). Berikutnya pengembangan teori
kerentanan airtanah dikembangkan oleh (Vrba and Zoporozec, 1994) dengan
membuat buku acuan pemetaan kerentanan airtanah.
Latar belakang berkembangnya kajian mengenai kerentanan airtanah
terhadap pencemaran adalah semakin meningkatnya kebutuhan penduduk akan air
sehingga diperlukan suplai air yang jumlahnya besar dan potensial khususnya
airtanah (Aller, et al., 1987). Hal tersebut menjadi kekhawatiran dari peneliti
apabila terjadi ekspolitasi penggunaan airtanah akan berdampak pada penurunan
kualitas dan kuantitas airtanah dimasa yang akan datang (Aller, et al., 1987; Vrba
and Zoporozec, 1994). Berdasarkan latar belakang tersebut banyak kajian
kerentanan airtanah yang berkembang pada tiap negara contohnya Amerika (Aller,
et al., 1987), Swedia (Rossen, 1994), Perancis (Margat, 1960), Italy (Civita, 2010),
14
dan Portugal (Ribeiro, et al., 2003). Masing-masing perkembangan kajian
kerentanan tentunya memiliki karakteristik yang berbeda (Zoporozec, 1994; Civita,
2010).
Latar belakang lain yang mendasari konsep kerentanan airtanah adalah
penilaian terhadap perlindungan airtanah. Perlindungan airtanah merupakan
kemampuan alami yang dimiliki airtanah sehingga dapat terhindar dari bahan
pencemar baik secara alami maupun oleh aktivitas manusia (Aller, et al., 1987;
Vrba dan Zoporozec, 1994; dan Widyastuti, dkk., 2006). Perlindungan airtanah
dipengaruhi oleh ketebalan lapisan pelindung dan hidraulik konduktivitas serta
dipengaruhi oleh proses mekanik, kimia fisik, dan mikrobiologi dalam membawa
pencemar menuju airtanah (Kirsch, 2009). Kondisi filtrasi alami dan proses
biogeokimia menjadi salah satu faktor penyebab masuknya sumber pencemar
melalui permukaan sebelum masuk ke zona jenuh (Younger, 2007). Berdasarkan
karakteristik perlindungan airtanah dan berbagai macam proses yang terjadi
didalamnya maka diperlukan suatu penekanan dalam mengatur aktivitas pada area
tertentu sesuai dengan kondisi kerentanan akuifernya sehingga dapat
meminimalisasi risiko pencemaran airtanah (Price, 1996).
Kerentanan airtanah sendiri menurut (Vrba and Zoporozec, 1994; Kumar, et
al., 2014) menekankan faktor utama berupa kondisi hidrogeologi tanpa
memperhatikan karakteristik polutan. Penilaian kerentanan airtanah memiliki
fungsi untuk dasar pembuatan kebijakan untuk permasalahan airtanah (Vrba and
Zoporozec, 1994). Berdasarkan pentingnya kerentanan airtanah terdiri dari
kerentanan intrinsik dan spesifik (Aller, et al., 1987). kerentanan intrinsik
merupakan kerawanan dari sistem akuifer baik dari sisi geometri dan hidrodinamik
untuk menerima maupun menyalurkan air atau bahan pencemar sehingga memiliki
dampak terhadap kualitas airtanah yang dilihat berdasarkan fungsi ruang dan waktu
(Civita and Maio, 2004). Kerentanan intrinsik dipengaruhi oleh tiga faktor penting
menurut Civita (2010) yaitu :
a. Proses dan waktu yang dibutuhkan untuk berpindah air atau polutan dari
zona tidak jenuh ke zona jenuh;
b. Dinamika aliran pada zona jenuh yang mempengaruhi air atau pollutan;
15
c. Kondisi kemampuan pemulihan diri dari akuifer terhadap hasil sisa residu
polutan.
Kerentanan spesifik merupakan pengembangan dari kerentanan intrinsik
yang memperhatikan sumber pencemar dan jenisnya (Margane, 2003; Widyastuti,
2006). Kerentanan spesifik meliputi kajian dari dampak potensial manusia dalam
ruang dan waktu (Vrba and Zoporozec, 1994). Berdasarkan penjelasan kerentanan
airtanah intrinsik dan spesifik keduanya memiliki fungsi yang penting. Fungsi
kerentanan intrinsik sebagai dasar awal informasi potensial area tercemar
berdasarkan kondisi hidrogeologi dan kerentanan spesifik yang
mempertimbangkan sumber pencemar. Hasil kedua kerentanan tersebut
dibandingkan dengan pengukuran kualitas air di lapangan sehingga diketahui
ketepatan metode penilaian kerentanan airtanah (Ferreira dan Oliviera, 2003;
Khemiri, et al., 2013; Bofekane dan Saighi, 2013).
1.5.7. Metode-Metode Penilaian Kerentanan Airtanah terhadap Pencemaran
Metode penilaian kerentanan yang dijelaskan oleh Vrba and Zoporozec
(1994) diperkuat contoh metode tiap penilaian kerentanan airtanah yang dirangkum
sesuai dengan (Tabel 1.4). Tiap metode memiliki spesifikasi dalam penilaian
kerentanan airtanah menurut Vrba and Zoporozec (1994). HCS diterapkan pada
area yang luas dan variasi kondisi lingkungan yang masih alami. MS, (RS), dan
PCSM menggunakan sistem bobot dan skor pada tiap parameter kerentanan
airtanah. AR menggunakan persamaan matematika dalam menilai kerentanan
spesifik.
Berdasarkan rincian metode penilaian kerentanan airtanah tersebut (Tabel
1.4) terdapat penelitian yang membandingkan beberapa metode. Penelitian pertama
oleh Ferreira dan Oliviera (2003) membandingkan penilaian kerentanan airtanah
metode EPPNA, DRASTIC, GOD, AVI, SINTACS, dan SI. Penelitian kedua oleh
(Khemiri, et al., 2013) dengan membandingkan metode GOD, SI, SINTACS, dan
DRASTIC. Penelitian ketiga dilakukan oleh Bofekane dan Saighi (2013)
membandingkan metode DRASTIC, SI dan GOD dengan hasil validasi kualitas air
metode DRASTIC yang paling cocok dengan kesamaan kerentanan hasil penilaian
16
(71%). Hasil pembandingan beberapa metode penilaian kerentanan airtanah
tersebut memiliki hasil dan akurasi yang berbeda hal tersebut dipengaruhi dari
kerincian parameter, spesifikasi metode dan kondisi fisik lokasi kajian.
Tabel 1.4. Metode Penilaian Kerentanan Airtanah terhadap Pencemaran
Metode Metode/Nama Peneliti Lokasi
Kajian
PCSM
DRASTIC/Aller, et al., (1986) USA
SINTACS/Civita (1991) Italy
ISIS/De Regibus (1994) -
EPIC/ Doerfliger and Zwahlen (1997) Swis
MS
Goossens dan Van Damme (1987), Minstry of
Flemish Community (1986) Belgia
Adam and Foster (1992)
Carter et al., (1987) Palmer (1988)
Inggris
RS
Fenge (1976) Kolombia
Method 1/Marcolongo dan Pretto (1987) Kanada
Sotornokiova dan Vrba (1987) Italy
Vilumsen, et al., (1989) Denmark
Trojan and Perry (1988) -
AVI/Van Stempvoort, et al., (1993) Kanada
Zoporozec and Schmidt (1987) USA
GOD/ Foster (1987) -
AR
Fried (1987), Zampetti (1983) -
Meinardi (1982) Belanda
Method 2/Marcolongo dan Pretto (1987) -
Sumber : Gogu and Dessargues (2000); Civita and Maio (2004); Civita (2010)
1.5.8. Susceptibility Index (SI)
Metode SI merupakan metode yang dikembangkan dari metode DRASTIC
oleh Ribeiro (2000, dalam Ribeiro, 2003; Stigter, et al., 2005). Metode SI
merupakan metode PCSM karena memiliki sistem pembobotan dan skoring yang
sama dengan metode DRASTIC (Rossen ,1994; Widyastuti, 2006). Metode SI
ditujukan untuk menilai kerentanan airtanah spesifik dengan validasi uji kualitas air
menggunakan parameter Nitrat (Ribeiro, 2003; Stigter, et al., 2005). Metode SI oleh
Ribeiro (2000, dalam (Ribeiro, 2003; Stigter, et al., 2005) digunakan untuk
17
penilaian kerentanan airtanah terhadap pencemaran pada wilayah pertanian di
Portugal.
Beberapa penelitian mencoba metode SI pada wilayah yang tidak dominan
pertanian karena metode SI juga memiliki penilaian terhadap sumber pencemar
selain dari pertanian (Ferreira dan Oliviera, 2004; Gaieb dan Hamza, 2013;
Khemiri, et al., 2013; Bofekane dan Saighi, 2013). Beberapa sumber pencemar
selain dari lingkup pertanian adalah lingkungan buatan manusia dan lingkungan
alam. Hasil validasi uji kualitas airtanah dengan metode SI tidak terlampau jauh
pada masing-masing penilaian kerentanan airtanah meskipun terkadang memiliki
nilai yang dibawah hasil uji kualitas airtanah (Stigter, et al., 2005).
Parameter yang digunakan dalam metode SI menurut Ribeiro (2000, dalam
Ribeiro, 2003; Stigter, et al., 2005) tediri atas lima parameter yaitu :
D : Depth of water (kedalaman muka airtanah)
R : Recharge (imbuhan airtanah)
A : Akuifer media (media akuifer)
T : Topography (lereng)
LU : Land use (penggunaan lahan)
Setiap parameter tersebut memiliki nilai yang berbeda khususnya skor dan
bobot. Hal tersebut dipengaruhi oleh tingkat pengaruh parameter terhadap
pencemaran airtanah (Stigter, et al., 2005; Gaieb dan Hamza, 2013).
1.6. Penelitian Sebelumnya
Penelitian mengenai kerentanan airtanah telah banyak dilakukan dengan
berbagai macam metode. Metode kerentanan airtanah memiliki karaktersitik yang
berbeda tiap parameternya. Perbedaan parameter tersebut secara umum tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap wilayah isotropis dan anisotropis (zona
yang materialnya tidak seragam baik melalui rekahan dengan ciri kecepatan dan
arah airtanah tidak yang seragam) terkecuali pada wilayah karst. Metode pada
wilayah isotropis yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah DRASTIC
dan pada wilayah anisotropis (karst) adalah EPIC, PI dan COP. Berdasarkan kedua
18
wilayah zonasi peneliti menggunakan metode penilaian kerentanan airtanah pada
wilayah isotropis dan anisotropis pada Kecamatan Banjarnegara dan sekitarnya.
Peneliti juga merujuk pada penelitian sebelumnya di Indonesia (Tabel 1.5) sebagai
acuan penelitian kerentanana airtanah terhadap pencemaran terkait aplikasi tiap
metode pada wilayah isotropis dan anisotropis.
Pemilihan lokasi kajian kerentanan airtanah di Kecamatan Banjarnegara dan
sekitarnya dilatarbelakangi oleh belum adanya penelitian tentang kerentanan
airtanah. Pemilihan tempat tersebut menjadi salah satu unsur kebaharuan penelitian
yang ditinjau dari segi lokasi dan pada lokasi tersebut memiliki variasi geologi yang
beragam. Selain berupa kebaharuan lokasi peneliti menggunakan metode SI yang
dikembangkan dari metode DRASTIC oleh Ribeiro, et al., (2003). Hal tersebut
dikarenakan metode SI belum pernah dilakukan di Indonesia berdasarkan
pengetahuan peneliti. Metode tersebut cocok digunakan pada wilayah yang
Kecamatan Banjarnegara dan sekitarnya karena merupakan pengembangan metode
DRASTIC. Perbedaan metode SI dengan metode yang sudah ada pada tabel 1.5
terkait dengan parameter validasi penilaian kerentanan airtanah yang menggunakan
Nitrat (NO3-). Selain itu metode SI merupakan metode kerentanan airtanah spesifik
karena terdapat parameter penggunaan lahan yang menjadi potensi sumber
pencemar. Berdasarkan penelitian dengan metode SI di Kecamatan Banjarnegara
dan sekitarnya diharapkan dapat dikembangkan pada wilayah lain yang beragam
kondisi geologinya.
19
Tabel 1.5. Penelitian Sebelumnya Mengenai Kerentanan Airtanah
No Peneliti, tahun, judul Tujuan Metode Ringkasan hasil
1 M. Widyastuti, Sudarto
Notosiswoyo, dan
Komang Anggayana,
2006, Pengembangan
Metode DRASTIC untuk
Prediksi Kerentanan
Airtanah Bebas Terhadap
Pencemaran di Sleman.
1. Mengetahui sebaran masing-masing
parameter DRASTIC
2. Mengetahui sebaran penggunaan lahan
yang menjadi sumber pencemaran
airtanah
3. Mengetahui sebaran tingkat kerentanan
airtanah bebas terhadap pencemaran
4. Mengevaluasi kerentanan airtanah
bebas terhadap pencemaran
DRASTIC dan
Penggunaan
Lahan
1. Kerentanan statis dilokasi kajian terdapat
dua klasifikasi yaitu kerentanan tinggi
(66,79%) dan kerentanan sangat tinggi
(28,18%).
2. Kerentanan dinamis pada lokasi kajian
terdiri atas dua klasifikasi yaitu kerentanan
tinggi (57,42%) dan kerentanan sangat
tinggi (37,67%)
2 Abdi Suprayitno, 2011,
Kerentanan Airtanah di
Daerah Kecamatan
Godean Kabupaten
Sleman Daerah Istimewa
Yogyakarta.
1. Mengetahui zona kerentanan airtanah
terhadap proses pencemaran airtanah
2. Mengetahui zona kerentanan airtanah
terhadap proses pemompaan airtanah
3. Mengkombinasikan peta kerentanan
airtanah terhadap proses pencemaran
dan pemompaan di Kecamatan
Godean.
Simpel Vertical
Vulnerability
(SSV)
1. Hasil kerentanan airtanah terhadap proses
pencemaran terdiri atas dua klasifikasi yaitu
tinggi dan sangat tinggi
2. Hasil kerentanan airtanah terhadap
pemompaan terdiri atas kerentanan cukup
tinggi dan tinggi.
3 Wayan Andi F.G, Dian
Sisinggih, dan Very
Dermawan, 2013, Studi
Kerentanan Airtanah
Terhadap Kontaminan di
Cekungan Airtanah (CAT)
Negara Kabupaten
Jembrana Provinsi Bali.
1. Mengevaluasi kerentanan airtanah
CAT Negara
2. Mengetahui faktor yang yang dominan
dalam kerentanan dan
mengembangkan CAT Negara
3. Mendukung upaya konservasi dan
pengelolaan airtanah di Kabupaten
Jembrana.
DRASTIC dan
SINTACS
1. Metode DRASTIC menghasilkan
kerentanan sedang (99,772%) dan tinggi
(0,227%)
2. Metode SINTACS menghasilkan
kerentanan sedang (68,73%) dan tinggi
(31,27%)
3. Metode yang sesuai dengan lokasi kajian
adalah SINTAC
20
No Peneliti, Judul, Tahun Tujuan Metode Ringkasan Hasil
4 Vrita Tri Aryuni, 2010,
Kajian Kerentanan
Pencemaran Airtanah
Bebas (Studi Kasus di
Daerah Resapan Air
Potensi Sedang pada
Lereng Merapi Bagian
Selatan.
1. Menganalisis sebaran tingkat
kerentanan pencemaran airtanah
2. Menganalisis kualitas airtanah pada
berbagai tingkat kerentanan
pencemaran airtanah bebas
3. Menganalisis kualitas airtanah bebas
pada berbagai penggunaan lahan.
Modifikasi
USGS
1. Hasil penilaian kerentanan airtanah pada
keseluruhan lokasi kajian memiliki
klasifikasi kerentanan sedang dan
kerentanan tinggi terdapat pada Kecamatan
Sleman, Pakem, sebagian Ngaglik,
Cangkringan, Ngemplak, Turi, Tempel,
sebagian Mlati, dan Seyegan
2. Metode modifikasi USGS cocok pada
lokasi kajian.
5 Dhoni Wicaksono dan
Emilya Nurjani, 2013,
Kajian Kerentanan
Airtanah Bebas Terhadap
Pencemaran di Kawasan
Pesisir Parangtritis
Kabupaten Bantul Daerah
Istimewa Yogyakarta.
1. Menerapkan model keretanan
airtanah bebas untuk mengetahui
potensi pencemaran berdasarkan
kondisi fisik lahan yang
dibandingkan dengan kadar fosfat.
DRASTIC dan
Human Activity
Index (HAI)
1. Kerentanan statis dengan metode DRASTIC
diperoleh klasifikasi sangat rendah (2,23%),
rendah (5,24%), sedang (13,67%), tinggi
(54,42%), dan sangat tinggi (24,44%)
2. Kerentanan dinamis menggunakan metode
HAI diperoleh klasifikasi sangat rendah
(0,23%), rendah (21,05%), sedang
(53,03%), tinggi (12,42%), dan sangat
tinggi (13,28%)
6 Abdelmadjid Boufekane
dan Omar Saighi, 2013,
Assessment of
Groundwater Pollution by
Nitrates Using Intrinsic
Vulnerability Methods : A
Case Study of The Nil
Valley Groundwater.
1. Membandingkan metode kerentanan
airtanah terhadap pencemaran di iklim
mediteran.
DRASTIC,
GOD, SI, dan
SINTACS
1. Metode DRASTIC yang paling cocok
dengan akurasi 71%, SI 63%, GOD 54%,
dan SINTACS kurang sesuai.
Lanjutan Tabel 1.5
21
No Peneliti, Judul, Tahun Tujuan Metode Ringkasan Hasil
7 Luis Ribeiro, Elizabete
Serra, Eduardo Parlata,
Joao Nascimento, 2003,
Nitrate pollution in
Hardrock Formation:
Vulnerability and Risk
Evaluation by
Geomathematical
Methods in Serpa-
Brinches Aquifer, South
Portugal.
1. Perencanaan dan manajemen
sumberdaya airtanah.
SI (Susceptibility
Index)
1. Hasil kerentanan diperoleh metode SI dan
uji kualitas air memiliki hubungan yang
kuat diantara keduannya.
8 Sinda Gaieb dan M
Hafedh Hamza, 2013,
Assessing Vulnerability to
Agricultural Pollution of
Groundwater Bou Arada
Laroussa According to SI
Method Applied by GIS.
1. Mengkaji kualitas airtanah pada
wilayah yang aktivitas pertaniannya
intensif menggunakan metode SI.
SI (Susceptibility
Index)
1. Validasi kerentanan airtanah metode SI
diperoleh 71% dan dapat diapplikasikan.
9 Stigter T Y, L Ribeiro, dan
A M M Carvalho Dill,
2005, Evaluation of an
Intrinsic and Spesific
Vulnerability Assessment
Method in Comparition
with Groundwater
Salinisation and Nitrate
Contamination Levels in
two Agricultural Regions
in the South of Portugal.
1. Membandingkan dan mengevaluasi
metode DRASTIC dan SI
SI (Susceptibility
Index) dan
DRASTIC
1. Metode SI lebih cocok dibandingkan
DRASTIC karena terdapat parameter yang
bernilai sama (konduktivitas hidraulik,
media zona tak jenuh, dan tekstur tanah).
2. Metode SI lebih baik dibandingkan
DRASTIC dalam mengkaji kerentanan
airtanah karena menggunakan parameter
penggunaan lahan.
Lanjutan Tabel 1.5
22
No Peneliti, Judul, Tahun Tujuan Metode Ringkasan Hasil
10 Mohammed Hafedh
Hamza, Abdellatif,
Mohammed Ajmi, dan
Ayed Added, 2010,
Validity of the
Vulnerability Methods
DRASTIC and SI Applied
by GIS Technique to the
Study of Diffuse
Agricultural Pollution in
two Phreatic Aquifers of a
Semi-Arid Regions.
1. Membandingkan hasil metode SI dan
DRASTIC dalam mengkaji
kerenetanan airtanah terhadap
pencemaran
SI (Susceptibility
Index) dan
DRASTIC
1. Keakuratan metode DRASTIC di peroleh
nilai pada lokasi satu (36,67%) dan lokasi
dua (70%)
2. Keakuratan metode SI diperoleh nilai pada
lokasi satu (53,84%) dan lokasi dua
(71,79%)
11 Indra Agus Riyanto, 2016,
Kerentanan Intrinsik dan
Spesifik Airtanah
Terhadap Pencemaran di
Kecamatan Banjarnegara
dan Sekitarnya.
1. Mengetahui persebaran tingkat
kerentanan airtanah intrinsik dan
spesifik terhadap pencemaran
berdasarkan metode SI di Kecamatan
Banjarnegara dan sekitarnya;
2. Mengetahui kondisi kualitas airtanah
berdasarkan kandungan Nitrat
(NO3-) di Kecamatan Banjarnegara
dan sekitarnya untuk validasi
kerentanan airtanah
Metode SI
(Susceptibility
Index)
1. Kerentanan airtanah intrinsik diperoleh
luasan kelas rendah 2.063 Ha, sedang 187
Ha, dan tinggi 4.700 Ha. Kerentanan
airtanah spesifik diperoleh luasan rendah
1.965,49 ha, sedang 2.357,34 ha, dan tinggi
2.631,87 ha
2. Hasil validasi kerentanan airtanah metode
SI dengan parameter nitrat diperoleh
53,65% (intrinsik) dan 56% (spesifik)
Lanjutan Tabel 1.5
23
1.7. Kerangka Pemikiran
Parameter geologi, geomorfologi dan iklim suatu wilayah memiliki dampak
terhadap kondisi lingkungan yang terbentuk di dalamnya. Perbedaan karakteristik
lingkungan juga berdampak pada proses-proses dan dinamika yang terjadi
didalamnya. Salah satu kajian yang memiliki karakteristik yang berbeda dari variasi
geologi, geomorfologi dan curah hujan adalah airtanah. Parameter tersebut
mempengaruhi keterdapatan, distribusi dan karakteristik airtanah.
Kondisi airtanah yang terdapat pada suatu wilayah yang alami juga tidak
lepas dari potensi pencemaran. Bahan Pencemaran secara alami berasal dari proses-
proses alam yang tingkat bahanya tidak sebesar pencemaran akibat aktivitas
manusia. Pencemaran airtanah yang diakibatkan oleh manusia diakibatkan oleh
penggunaan lahan yang memiliki dampak lingkungan terhadap airtanah. Hal
tersebut berdampak pada menurunnya kualitas dan kuantitas airtanah. Untuk
mengetahui kondisi airtanah salah satu metode penilaiannya melalui kerentanan
airtanah. Penilaian kerentanan airtanah terbagi menjadi kerentanan intrinsik dan
spesifik. Kedua penilaian parameter kerentanan tersebut memiliki parameter-
parameter yang berdasarkan kondisi fisik secara alami dan sumber pencemar.
Parameter kerentanan airtanah intrinsik yang terdiri atas parameter media
akuifer, kedalaman airtanah, imbuhan airtanah dan topografi memberian kontribusi
dalam perlindungan airtanah terhadap pencemaran secara alami khususnya
distribusi, waktu tempuh dan kecepatan polutan menuju airtanah. Parameter
kerentanan spesifik meliputi penggunaan lahan. Penggunaan lahan menjadi sumber
potensi bahan pencemar yang mengancam perlindungan airtanah. Parameter
kerentanan airtanah tersebut sesuai dengan metode SI karena yang menekankan
pada kerentanan airtanah spesifik. Metode SI merupakan pegembangan metode
DRASTIC sehingga hasil yang diperoleh lebih representatif dalam menilai
kerentanan airtanah spesifik. Hasil penilaian kerentanan airtanah secara teori akan
dibandingkan dengan kualitas airtanah di lokasi kajian untuk mengetahui ketepatan
24
penilaian kerentanan airtanah baik intrinsik dan spesifik sebagai bentuk validasi
(Gambar 1.3).
1.8. Batasan Istilah
Airtanah bebas (airtanah tidak tertekan) merupakan airtanah yang muka
airtanahnya mengalami perubahan yang tergantung oleh musim dan keberadaanya
pada lapisan permeabel dibagian atas dan impermeabel pada bagian bawah
(Sukandarrumidi, dkk., 2014)
Cekungan airtanah merupakan suatu wilayah yang dibatasi oleh batas
hidrogeologis dengan proses yang ada di dalamnya berupa pengimbuhan,
pengaliran, dan pelepasan airtanah berlangsung (Anonim, 2008)
Isotropis merupakan zona yang memiliki material penyusun akuifer yang sama
dengan kecepatan dan arah airtanah yang seragam ke segala arah (Irawan dan
Puradimaja, 2015)
Anisotropis merupakan zona yang memiliki material penyusun akuifer yang
beragam dengan kecepatan dan arah airtanah yang tidak seragam (Irawan dan
Puradimaja, 2015)
Kerentanan airtanah intrinsik merupakan kerentanan airtanah yang diakibatkan
oleh faktor alami berdasarkan kondisi hidrogeologi (Widyastuti, dkk., 2006)
Kerentanan airtanah spesifik merupakan kerentanan airtanah yang
menekankan pada jenis sumber pencemar dan memiliki perbedaan perhitungan
tiap jenis sumber pencemar (Szonyi and Fule, 1998)
Parameter Nitrat (NO3-) memberikan ciri terjadi pencemaran oleh aktivitas
manusia (Sudarmadji, 2013) khususnya aktivitas pertanian dan perkotaan (Zhang,
et al., 1998)
Peta kerentanan airtanah merupakan media untuk menginformasikan
karakteristik perlindungan akuifer terhadap pencemaran (Younger, 2007)
Susceptibility Index merupakan metode penilaian kerentanan airtanah spesifik
dengan parameter uji nitrat (Ribeiro, et al., 2003)
25
KERENTANAN AIRTANAH
SPESIFIK (SI)
KERENTANAN
AIRTANAH
INTRINSIK
PERLINDUNGAN
AIRTANAH
MEDIA
AKUIFER
KEDALAMAN
AIRTANAH TOPOGRAFI
SUMBER
PENCEMAR
IMBUHAN
AIRTANAH
GEOLOGI DAN
GEOMORFOLOGI
PENGGUNAAN
LAHAN
KUALITAS
AIRTANAH
VALIDASI
KERENTANAN
AIRTANAH
Gambar 1.3. Kerangka Pemikiran