Post on 01-Apr-2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang jumlah
penduduknya sangat besar. Sebagai negara kepulauan, penduduk Indonesia
memiliki persebaran yang tidak merata. Berbagai masalah yang merupakan akibat
dari persebaran penduduk yang tidak merata kerap kali muncul dan mendesak
pemerintah untuk dapat sesegera mungkin bertindak untuk mengambil sebuah
kebijakan.
Pertumbuhan penduduk yang sangat besar dengan persebaran tidak merata
disertai rendahnya kualitas penduduk juga menjadi sumber permasalahan yang
berkaitan dengan kependudukan di Indonesia. Berbagai permasalahan ini
mengakibatkan munculnya permasalahan baru di bidang kependudukan yang
antara lain adalah : pendidikan, kemiskinan, kesehatan, pengangguran.
Keselarasan jumlah penduduk yang besar akan menuntut adanya keselarasan
terhadap segi kualitas sumber daya manusia yang baik pula. Akan timbul
permasalahan-permasalahan menyangkut penduduk di sebuah negara apabila
terjadi ketimpangan yang nyata antara jumlah penduduk yang besar dengan
dukungan sumber daya manusia yang relatif rendah (Hughes, 1994).
Kedua aspek itulah yang perlu dijaga keseimbangannya agar
permasalahan-permasalahan tidak mudah mencuat dan mengganggu stabilitas
pembangunan di suatu negara. Ketepatan dan ketersediaan data-data tentang
2
penduduk yang lengkap dalam pembangunan di negara kita merupakan aspek
yang memegang peran yang sangatlah penting. Ini menuntut kerja keras para
penyelenggara negara mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat yang paling
bawah di dalam mengumpulkan dan menjamin keterkaitan dengan pembangunan
kependudukan, pembangunan administrasi kependudukan sebagai sebuah sistem
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari administrasi pemerintahan dan
administrasi negara dalam memberikan jaminan kepastian hukum dan
perlindungan terhadap hak-hak individu penduduk. Perlindungan tersebut berupa
pelayanan publik melalui penerbitan dokumen kependudukan seperti Nomor
Induk Kependudukan (NIK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga
(KK), akta-akta catatan sipil dan dokumen kependudukan lainnya.
Kebijakan pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat diawali dengan
mengatur kebijakan tentang kependudukan sehingga dapat dicapai tertib
administrasi kependudukan. Tertib administrasi kependudukan dapat terjadi
apabila pemerintah dan masyarakat menyadari dan masing-masing melakukan
tindakan. Pemerintah dalam menjalankan tertib administrasi kependudukan
tersebut sesuai dan diatur dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah. Pada hakekatnya pemerintah daerah, pemerintah
kota ataupun pemerintah kabupaten diberi kewenangan untuk mengurus dan
memajukan daerahnya. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya
3
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan
peran serta masyarakat.
Dalam penelitian ini Pemerintah Kota Yogyakarta khususnya Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil sebagai objek penelitian, dikarenakan
pelayanan administrasi kependudukan sebagai hal yang strategis dan menjadi
primadona pelayanan publik dibanding dengan pelayanan yang lainnya. Hal ini
tidak lepas dari kemajekmukan masyarakat yang tinggal di Kota Yogyakarta,
salah satunya Kota Yogyakarta sebagai kota tujuan pendidikan dan perekonomian
dari berbagai penjuru daerah di Indonesia yang tidak sedikit kemudian dalam
perjalanannya membutuhkan legalitas kependudukan dari Pemerintah Kota
Yogyakarta.
Terkait dengan administrasi kependudukan, Pemerintah Kota Yogyakarta
menindaklanjutinya dengan mengeluarkan kebijakan administrasi kependudukan
yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2007, Peraturan Daerah
Nomor 8 Tahun 2007, Peraturan Walikota Nomor 86 Tahun 2007, Peraturan
Walikota Nomor 25 Tahun 2008 serta Peraturan Walikota Nomor 10 Tahun 2009.
Semua kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta tersebut pada intinya mengatur
hal-hal yang berkenaan dengan penyelenggaraan administrasi kependudukan.
Dalam melaksanakan tugas administrasi kependudukan tersebut, Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil merupakan pelaksana pemerintah daerah
dalam bidang kependudukan dan pencatatan sipil.
4
Dalam pelaksanaan tertib administrasi kependudukan pemerintah, dalam
hal ini Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, tidak dapat berusaha sendiri
namun sangat memerlukan adanya peran serta dari masyarakat dan lembaga sosial
kemasyarakat yang lain. Sinergi antara Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
(sebagai pelaksana kebijakan) dengan masyarakat dan lembaga sosial
kemasyarakatan akan berdampak positif bagi penyelenggaraan kebijakan tersebut.
Namun dalam pelaksanaannya masih banyak ditemui beberapa permasalahan
yang muncul, baik pada pelaksana maupun pada masyarakat. Sebagai contoh dari
sisi pemerintah; adanya penerbitan dokumen kependudukan ganda, ditemuinya
data kependudukan yang tidak sama, ditemuinya perbedaan jumlah pendudukan
yang dikeluarkan antar instansi pemerintah, masih adanya keterbatasan sumber
daya manusia secara kualitas di pemerintah dan beberapa sarana dan prasana yang
kurang memadai. Sedangkan dari sisi masyarakat; tingkat kesadaran akan arti
pentingnya dokumen kependudukan masih rendah. Atas dasar permasalahan yang
muncul maka Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil mengambil beberapa
langkah kebijakan yang diharapkan dapat memperlancar penyelenggaraan
administrasi kependudukan. Kebijakan terkait penyelenggaraan administrasi
kependudukan diarahkan pada pemenuhan hak asasi dan kewajiban setiap orang
di bidang pelayanan administrasi kependudukan, pemenuhan data statistik
kependudukan secara nasional, regional, dan lokal serta dukungan terhadap
pembangunan sistem administrasi kependudukan guna meningkatkan pemberian
pelayanan tanpa diskriminasi.
5
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti merasa tertarik untuk
mengambil judul “Implementasi Administrasi Kependudukan di Kota
Yogyakarta”.
I.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah disampaikan di atas maka perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana implementasi administrasi
kependudukan yang diterapkan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota
Yogyakarta kepada masyarakat?”
I.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah melakukan analisis terhadap implementasi
penyelenggaraan administrasi kependudukan di Kota Yogyakarta.
I.4 Kerangka Teori
Implementasi administrasi kependudukan dalam penelitian ini
dimaksudkan sebagai suatu implementasi sebuah kebijakan publik. Pemahaman
mengenai kebijakan publik menjadi pijakan untuk menganalisis permasalahan
yang ada dan dilanjutkan dengan penjabaran mengenai implementasi kebijakan.
Dalam penelitian ini, teori Grindle digunakan untuk menganalisis isi dan konteks
kebijakan, selain itu juga digunakan untuk mendiskripsikan sistem kebijakan top-
down dan bottom-up.
6
I.4.1 Kebijakan Publik
Public policy is whatever governments choose to do or not to do
(kebijakan publik merupakan pilihan pemerintah tentang apa yang dilakukan
maupun yang tidak dilakukan (Dye, 1978). Pengertian kebijakan publik tersebut
mengarah pada tindakan pemerintah dalam berbagai sektor, semisal politik,
ekonomi, sosial yang bersifat dinamis, dimana pemerintah menjadi satu-satunya
otoritas dalam pengambilan kebijakan publik. Sedangkan kebijakan publik
menurut Dimock dalam Soenarko (2000) adalah suatu perpaduan pendapat dan
keinginan berbagai golongan dalam masyarakat. Adapun kebijakan publik
menurut Anderson dalam Soenarko (2000) merupakan suatu arah tindakan yang
memiliki tujuan yang dilaksanakan oleh pelaku dalam rangka untuk mengatasi
suatu masalah.
Terdapat tiga hal utama dalam kebijakan publik menurut (Wibawa, 1994),
yakni tujuan yang luas, sasaran yang spesifik dan cara untuk mencapai sasaran
tersebut. Dua hal utama, tujuan yang luas dan sasaran yang spesifik, kemudian
diterjemahkan dalam program aksi dan proyek. Hal ketiga yakni cara untuk
mencapai sasaran merupakan komponen yang berfungsi untuk mewujudkan
tujuan dan sasaran, yang kemudian disebut sebagai implementasi.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik harus
memenuhi dua hal utama, yakni, pertama dibuat oleh institusi yang memiliki
otoritas (pemerintah) dan kedua adalah kebijakan tersebut diarahkan kepada
masyarakat yang memberi otoritas kepada pengambil kebijakan. Suatu keputusan
menjadi kebijakan publik jika mengandung unsur kepentingan masyarakat.
7
Menurut Herbert A. Simon dalam Soenarko (2000) suatu keputusan yang menjadi
kebijakan publik tidak hanya berisikan hal-hal faktual (factual proposition),
namun juga berisi nilai-nilai luhur bagi kehidupan masyarakat (ethical
proposition). Menurut Portiley (1986), kebijakan publik mengkhususkan kajian
pada hasil tindakan pemerintah. Kebijakan publik harus dilihat sebagai suatu
proses dan hasil (output) yang kemudian menghasilkan keluaran (outputs) dan
dampak (outcomes) yang kemudian dapat digunakan sebagai feedback
untukperbaikaninput.
Proses kebijakan menurut Portiley (1986)
I.4.2 Implementasi Kebijakan Publik
Jika suatu kebijakan sudah dibuat, dilaksanakan dan ditegakkan
pelaksanaannya, maka kebijakan tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai suatu
kebijakan publik (Dye, 1978). Kebijakan sebagai suatu proses berarti pembuatan
kebijakan tidak selesai setelah kebijakan tersebut ditentukan ataupun disetujui.
Policy conversion
process
Public policy "outputs"
Public policy "outcomes"
Public policy "feedbacks"
Public policy input
8
Namun, hal ini berarti ada sebuah tindakan pasca kebijakan agar tujuan yang
diharapkan dapat tercapai. Tindakan inilah yang disebut sebagai suatu
implementasi kebijakan. Mudahnya, suatu implementasi kebijakan merupakan
tindakan pemerintah dalam mengelola sumberdaya untuk mencapai tujuan
kebijakan.
Menurut Parsons (2003), implementasi merupakan pelaksanaan
pembuatan kebijakan yang terkadang malah memberikan jarak antara kebijakan
itu sendiri dan administrasi, walaupun proses implementasi itu sebenarnya
merupakan permasalahan administrasi. Permasalahan implementasi kebijakan
dapat terjadi sebagai dampak dari sebuah mata rantai yang hilang setelah proses
evaluasi kebijakan dilakukan. Suatu kebijakan publik yang memenuhi semua
komponen kelayakan kebijakan tidak selalu mencapai tujuan yang diinginkan
karena adanya penyimpangan maupun reduksi hasil dari sasaran yang ditargetkan.
Dalam hal inilah kajian mengenai implementasi menjadi penting. Hal tersebut
sesuai apa yang dikemukakan oleh Koening (1986), bahwa terdapat keluhan-
keluhan terhadap pemerintah atas implementasi kebijakan yang tidak/kurang
sempurna. Terdapat faktor eksternal maupun internal pemerintah yang dapat
mempengaruhi proses dan implementasi kebijakan. Studi mengenai implementasi
menekankan bahwa proses implementasi harus dibedakan dari proses pembuatan
kebijakan, karena dua hal tersebut memiliki fokus perhatian dan proses yang
berbeda Hill (1997). Kebijakan seringkali dianggap sebagai bagian tersendiri,
merupakan suatu kesatuan yang tegas, sedangkan implementasi merupakan kajian
yang terpisah. Berkaca dari hal tersebut, permasalahan implementasi dapat
9
mencakup identifikasi dari pandangan aktor-aktor terkait mengenai apa yang
seharusnya terjadi baik secara kasat mata (eksplisit) maupun tidak kasat mata
(implisit).
I.4.2.1 Implementasi Kebijakan Publikdalam Ranah Sistem Top-Down
Permasalahan implementasi merupakan suatu proses interaksi
antara penentuan suatu tujuan dan tindakan yang dilakukan untuk
mencapai tujuan tersebut Pressman dan Wildavsky (1984). Hal ini
dimaksudkan agar hubungan mata rantai sebab akibat yang mempengaruhi
jalan atau tidaknya suatu kebijakan bisa tercapai. Menurut Pressman dan
Wildavsky (1984) bahwa implementasi tidak akan efekfif apabila
hubungan antar semua aktor kebijakan malah menghasilkan “defisit
implementasi”. Oleh karena itu, untuk mengurangi permasalahan
implementasi maka beberapa hal harus dilakukan, diantaranya: tujuan
harus dijelaskan secara rinci dan dipahami dengan baik, sumberdaya harus
tersedia, komunikasi efektif antar sistem untuk dapat mengontrol individu
dan organisasi yang terlibat. Pressman dan Wildavsky (1984) juga
menegaskan perlunya sistem kontrol yang baik, komunikasi top-down
yang tepat dan sumberdaya yang efektif. Selain itu, Parson (2003)
menggarisbawahi bahwa suatu keputusan/kebijakan yang diambil
pengambil keputusan haruslah suatu kebijakan yang dipandang bisa
dilakukan. Jika sistem dalam kebijakan publik tidak dapat memenuhi
tujuan, maka pembatasan janji (suatu kebijakan) ada pada tingkat yang
bisa dipenuhi dalam proses implementasi.
10
Sabartier dan Mazmanian dalam Wibawa (1994) menegaskan
bahwa implementasi suatu kebijakan akan mudah jika birokrasi
pelaksanaan patuh terhadap peraturan. Hal ini penting untuk menjamin
efektivitas proses implementasi dalam suatu kerangka sistem top-down.
Hal ini juga diungkapkan oleh Hill (1997) bahwa kebijakan diletakkan
secara top-down untuk menjaga kemurnian kebijakan (meminimalisir
ambiguitas), mengatur struktur implementasi (agar mata rantai kebijakan
tidak terlalu panjang), menghindari interfensi luar dan mengendalikan
aktor yang bekerja untuk implementasi kebijakan.
I.4.2.2 Implementasi Kebijakan Publik dalam Ranah Sistem Bottom-up
Ketidakadaan penjelasan mengenai peran aktor dan unsur lain
dalam proses implementasi dalam ranah sistem top-down memunculkan
kritik yang diwujudkan dalam suatu model baru yang disebut bottom-up.
Teori bottom-up ini menitikberatkan pada hubungan antara pembuat
kebijakan dan pelaksana kebijakan. Ide bottom-up ini kemudian
diistilahkan sebagai pemetaan mundur (backward mapping), maksudnya
adalah analisis ini dimulai pada fase ketika kebijakan sudah mencapai titik
terakhir, pola perilaku dan konflik yang ada diteliti untuk kemudian
merumuskan kebijakan baru dengan dasar kebijakan lama. Model ini
sering dianggap sebagai proses negosiasi dan pembuatan konsensus.
Model bottom-up ini menekankan pada fakta bahwa implementasi di
“lapangan” memberi keleluasaan dalam penerapan kebijakan. Di lapangan,
suatu kebijakan pemerintah dapat diimplementasikan secara berbeda
11
dengan yang dikehendaki oleh pembuat kebijakan. Model bottom-up
relatif lebih ‘bebas dari asumsi’ yang telah ditentukan sebelumnya
dibandingkan dengan model top-down. Barret dan Hill dalam Hill (1997)
mengungkapkan bahwa untuk dapat mengerti hubungan antara kebijakan
dengan tindakan, maka kita harus meninggalkan pola perspektif tunggal
yang mencerminkan suatu bentuk administrasi normatif dan mencoba
untuk menemukan konsep yang mencerminkan bukti empiris di lapangan.
Bukti empiris akan memperjelas interaksi antara aktor (individu dan
kelompok) yang sangat kompleks dan dinamis. Hal ini akan memperjelas
bagaimana posisi penentu aksi dan siapa yang akan diuntungkan jika
perubahan tercapai. Model ini menginginkan adanya aktor-aktor lain
pembuat kebijakan untuk ikut dalam proses implementasi kebijakan
dengan memperhitungkan bahwa suatu kebijakan adalah fenomena yang
sangat kompleks sehingga kebijakan dapat memberi efek yang diharapkan
oleh obyek kebijakan. Namun demikian, entah apapun pendekatan yang
dipilih, mereka yang ada di garda depan pelaksanaan kebijakan memiliki
level keleluasaan dengan tingkat yang berbeda dalam hal pemilihan aturan
yang akan digunakan dalam penerapan kebijakan (Parsons, 2003).
I.4.2.3 Implementasi Kebijakan dalam Kerangka Grindle
Teori mengenai implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh
Grindle (1980) dianggap sebagai jalan keluar dari dua perdebatan top-
down dan bottom-up. Grindle (1980) memberikan pemahaman bahwa
pendekatan top-down dan bottom-up sama-sama penting karena peran dari
12
masing-masing level implementasi kebijakan sama-sama penting
walaupun berbeda satu sama lain. Grindle (1980) menjelaskan peran para
pihak dengan melihat pada isi dan konteks kebijakan. Pada isi dan konteks
kebijakan, setiap aktor mempunyai ruang untuk memainkan peran mereka
masing-masing sesuai dengan porsi yang dipunyai dan berupaya untuk
dapat mencapai tujuannya sendiri, entah itu merupakan bagian dari tujuan
bersama maupun tidak. Kajian mengenai isi kebijakan mencerminkan
sebuah kondisi top-down, dimana para pembuat kebijakan dapat
merumuskan apa yang menjadi keinginan dan kehendaknya untuk
diterapkan di masyarakat. Sedangkan dalam kajian mengenai konteks
kebijakan mencerminkan kondisi bottom-up dimana peran dari ‘street level
bureaucracy’ dan para pelaksana kebijakan lainnya menjadi sangat
penting untuk menjamin kesuksesan implementasi kebijakan.
Terdapat dua faktor yang menentukan implementasi kebijakan
publik yakni isi kebijakan dan konteks kebijakan menurut Grindle (1980):
1. Isi kebijakan, yang meliputi:
a. Kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan,
Kebijakan yang menyangkut kepentingan orang banyak akan
cenderung lebih sulit untuk diimplemtasikan daripada kebijakan yang
menyangkut kepentingan orang dalam skala kecil. Hal tersebut wajar
mengingat bahwa kebijakan merupakan suatu proses politik yang sarat
akan kepentingan.
13
b. Jenis manfaat yang didapatkan dari implementasi kebijakan,
Kebijakan yang akan memberi manfaat lebih besar tentunya mendapat
dukungan berbagai pihak sehingga implementasinya lebih mudah.
Manfaat kebijakan terkait dengan tingkat perubahan yang dikehendaki
dengan adanya kebijakan yang dimaksud.
c. Tingkat perubahan yang diinginkan,
Tingkat perubahan dapat disesuaikan dengan dimensi waktu. Untuk
jangka waktu byang lama, tingkat perubahan dapat dilaksanakan
secara perlahan sehingga proses implementasi juga lebih mudah. Hal
ini tentu saja berbeda apabila suatu kebijakan yang menghendaki
adanya perubahan mendasar dalam perilaku kehidupan masyarakat
yang menjadi objek kebijakan. Dalam hal ini, implementasi kebijakan
akan lebih sulit dilakukan.
d. Tempat pembuatan kebijakan,
Tempat pembuat kebijakan mengandung pengertian kedudukan
pembuat kebijakan.
e. Aktor implementasi kebijakan,
Aktor implementasi kebijakan meliputi pembuat dan penerima
kebijakan (sasaran kebijakan).
14
f. Sumberdaya yang tersedia.
Sumber daya yang dialokasikan dalam kebijakan juga akan
mempengaruhi implementasinya. Jumlah sumber daya yang besar akan
mempermudah implementasi kebijakan.
2. Konteks kebijakan meliputi:
a. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
b. Karakteristik lembaga dan penguasa
c. Kepatuhan dan daya tanggap
15
Model Implementasi Kebijakan menurut Grindle dalam Wibawa (1994)
I.4.2.4 Implementasi Kebijakan Administrasi Kependudukan
Kebijakan administrasi kependudukan oleh Pemerintah Kota
Yogyakarta diatur oleh Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2007, Peraturan
Daerah Nomor 8 Tahun 2007, Peraturan Walikota Nomor 86 Tahun 2007,
Peraturan Walikota Nomor 25 Tahun 2008, Peraturan Walikota Nomor 9
Tahun 2009, Peraturan Walikota Nomor 49 Tahun 2013 tentang perubahan
atas lampiran Peraturan Walikota Nomor 90 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan.
16
Permasalahan yang muncul tentang administrasi kependudukan
yang ada di masyarakat yang sebelumnya penyelenggaraan administrasi
kependudukan ditangani dan dilaksanakan oleh kecamatan maka untuk
selanjutnya penyelenggaraan administrasi kependudukan menjadi
kewenangan penuh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Permasalahan yang sering muncul tentang penyelenggaraan administrasi
kependudukan pada tingkat kecamatan kadang muncul multi tafsir tetapi
dengan kewenangan yang ada pada otoritas yang lebih tinggi yaitu pada
dinas maka akan lebih efektif dan legal. Beberapa permasalahan yang
muncul akan kebijakan akan berada di luar kecamatan sehingga apabila
terjadi perlawanan akan kebijakan kecamatan akan mengalami
keterbatasan untuk mengakomodir permasalahan tersebut. Missal terjadi
keterlambatan pelayanan penerbitan dokumen kependudukan karena
masalah jaringa internet, tentunya akan berdampak langsung terhadap
waktu yang dibutuhkan untuk penebitan dokumen kependudukan. Pihak
kecamatan akan sangat terbatas dalam menanganinya. Maka dibutuhkan
kewenangan dan kemampuan yang lebih tinggi untuk pengambilan
keputusan dalam kebijakan tersebut. Berbicara tentang kebijakan
penyelenggaraan administrasi kependudukan yang tertuang dalam
peraturan daerah dan peraturan walikota dapat dilihat dan
mengindikasikan arah kebijakan yang bersumber dari eksekutif saja.
Padahal ada peluang dari pihak institusi dan kelembagaan lain untuk turut
andil dalam kebijakan melalui peraturan daerah yang merupakan wujud
17
representasi masyarakat. Hal ini sedikit banyak menurut Grindle akan
berpengaruh pada kesuksesan dalam implementasi kebijakan. Karena
nantinya pada hal konteks implementasi kebijakan akan mengalami
benturan dari pihak diluar instansi atau birokrasi seperti elit partai politik
dan elit ekonomi. Hal ini menjadi penting karena isi kebijakan akan
mendapatkan sorotan dan kritik ketika berhadapan dengan kenyataan yang
ditemui, dan sangat potensial berimplikasi terhadap kehidupan politik,
sosial, pendidikan, dan perekonomian. Maka sangatlah penting untuk
mempertimbangkan konteks kebijakan dan hal-hal apa saja yang terjadi
sepanjang proses implementasinya pada permasalahan yang muncul di 14
kecamatan yang ada di Kota Yogyakarta.
Penyelenggaraan administrasi kependudukan, isi kebijakan
mencakup kepentingan-kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan
adalah dari sisi masyarakat. Dalam pelaksanaannya diperlukan daya
dukung, karena kebijakan ini menyangkut kepentingan orang banyak dan
tidak bias terlepas dari kehidupan sehari-hari karena menyangkut dokumen
dan identitas dari masing-masing penduduk. Manfaat dari penerapan
kebijakan ini dapat diperoleh dengan adanya ketegasan dalam mengurus
dokumen kependudukan. Hal ini untuk mendukung tertib administrasi
kependudukan. Kebijakan ini dibuat di Kota Yogyakarta, yang merupakan
gambaran Indonesia mini. Melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil yang dalam pelaksanaannya diatur sesuai dengan tugas, pokok dan
fungsi serta rincian tugasnya.
18
Pada tingkatan konteks, Pemerintah Kota Yogyakarta memiliki
kewenangan dan otoritas penuh untuk mengeluarkan dan melaksanakan
kebijakan yang dianggap perlu dalam penyelenggaraan administrasi
kependudukan. Kepentingan pemerintah adalah untuk menciptakan
kondisi masyarakat Kota Yogyakarta yang sadar akan arti pentingnya
tertib administrasi kependudukan yang berdampak member manfaat
kesejahteraan karena administrasi kependudukan dapat dijadikan tolok
ukur atau sebagai dasar penentuan kebijakan pemerintah dalam sektor lain.
I.5 Definisi Konsep
I.5.1 Kebijakan Publik
Kebijakan publik adalah kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang
mempunyai wewenang atas sebuah permasalahan tertentu atau atas wilayah
tertentu yang mempunyai implikasi kepada masyarakat.
I.5.2 Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan publik adalah cara pelaksanaan kebijakan public
yang dilakukan oleh lembaga yang diberi otoritas oleh pemerintah dalam upaya
untuk mencapai tujuan kebijakan dan menghasilkan efek yang diharapkan.
I.5.3 Administrasi Kependudukan
Administrasi kependudukan adalah penyelenggaraan rangkaian kegiatan
penataan dan penerbitan dokumen dan data kependudukan melalui pendaftaran
penduduk, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi kependudukan
serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor
19
lain yang dilaksanakan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dan
masyarakat.
I.6 Definisi Operasional
I.6.1 Kebijakan Publik
Kebijakan Publik, indikatornya adalah
- Perumusan latar belakang dan tujuan yang jelas dalam kebijakan.
- Penentuan sasaran kebijakan yang spesifik.
I.6.2 Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan, faktor yang mempengaruhi implementasi
kebijakan adalah isi kebijakan dan konteks kebijakan.
Isi kebijakan, indikatornya adalah
- Kepentingan publik yang terpengaruhi oleh kebijakan
- Tingkat perubahan yang dikehendaki dari implementasi kebijakan
- Manfaat dari perubahan yang dikehendaki
- Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia pelaksana kebijakan
- Struktur pemerintah pelaksana kebijakan yang jelas
Konteks kebijakan, indikatornya adalah
- Ketersediaan sarana dan prasarana pendukung implementasi kebijakan
- Sikap dan persepsi pelaksana kebijakan dalam pencapaian tujuan
kebijakan
20
- Derajat koordinasi dan komunikasi antar bidang dalam pelaksanaan
tugas
- Pembagian kewenangan dalam hal pelaksanaan implementasi
kebijakan
I.6.3 Administrasi Kependudukan
Administrasi kependudukan, indikatornya adalah
- Adanya kegiatan pendataan penduduk, penerbitan dokumen
kependudukan dan pemutakhiran data kependudukan melalui
pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, dan pengelolaan informasi
administrasi kependudukan.
- Adanya masyarakat sebagai pemohon pelayanan dan pemerintah
sebagai pelaksana pelayanan.
- Adanya respon masyarakat dalam mematuhi peraturan yang diatur
dalam ketentuan penyelenggaraan administrasi kependudukan.
I.7 Metode Penelitian
Penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif1 yang
bertujuan untuk menganalisis implementasi administrasi kependudukan di Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Yogyakarta.
1Penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan ihwal masalah atau objek tertentu secara rinci. Penelitian deskriptif dapat bertipe kuantitatif dan/atau kualitatif dan biasanya dilakukan peneliti untuk menjawab sebuah atau beberapa pertanyaan mengenai keadaan objek atau objek amatan secara rinci.
21
Adapun pendekatan yang digunakan adalah bersifat kualitatif. Pendekatan
kualitatif dilakukan melalui observasi dan wawancara terhadap key persons dan
kuestioner terhadap masyarakat.
I.7.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh Peneliti dalam penelitian
ini adalah:
a. Studi Pustaka
Telaah pustaka tentang implementasi kebijakan administrasi
kependudukan dalam meningkatkan pelayanan publik di Kota Yogyakarta.
b. Observasi
Pengamatan langsung dilakukan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kota Yogyakarta dan di seluruh kecamatan di Kota Yogyakarta
untuk mengetahui bagaimana pelayanan administrasi kependudukan
dilaksanakan. Dalam teknik pengumpulan data ini peneliti menggunakan
observasi non partisipan, hanya sebatas mengamati aktivitas pelayanan
administrasi kependudukan.
c. Wawancara terstruktur dengan orang kunci (key person).
Wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan (terlampir) kepada
narasumber yang mengetahui dan memahami implementasi kebijakan
administrasi kependudukan di tingkat Kota Yogyakarta dan di tingkat
kecamatan di seluruh wilayah Kota Yogyakarta.
22
Narasumber yang akan diwawancarai meliputi :
1. Kepala atau Sekretaris Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Yogyakarta yang memiliki tugas utama dalam penyusunan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program dan kegiatan di
bidang kependudukan dan pencatatan sipil.
2. Kepala Bidang Pencatatan Sipil yang melaksanakan dan mengelola
pelayanan pencatatan kelahiran dan kematian, pengakuan anak,
pengesahan anak dan perceraian.
3. Kepala Bidang Data Informasi dan Pengembangan Sistem yang
mengelola secara langsung SIAK dan melaksanakan monitoring dan
evaluasi data kependudukan.
4. Kepala Bidang Pendaftaran Penduduk yang menerbitkan dokumen
kependudukan.
5. Operator Administrasi Kependudukan / Staf Registra di tingkat
kecamatan (14 kecamatan di Kota Yogyakarta), yang merupakan
pelaksana teknis operasional di lapangan.
(Lampiran 1)
d. Wawancara dengan Masyarakat
Wawancara ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi dan persepsi
masyarakat terhadap pelayanan administrasi kependudukan, yang meliputi:
- Akses dan perolehan informasi mengenai pelayanan pengurusan
dokumen kependudukan.
23
- Pemahaman prosedur (peraturan) pengurusan dokumen
kependudukan.
- Kemudahan dalam proses pengurusan dokumen kependudukan:
kesamaan hak, syarat, waktu yang diperlukan untuk pengurusan
dokumen kependudukan.
- Permasalahan yang ditemui.
Pemilihan responden dilakukan pada tingkat kecamatan, dengan alasan
bahwa kecamatan merupakan ujung tombak dari pelayanan kependudukan.
Pemilihan responden dilakukan secara acak terhadap penduduk yang
sedang melakukan kegiatan pelayanan administrasi kependudukan di
tingkat kecamatan. (Lampiran 2)
I.7.2 Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang sesuai dengan penelitian ini adalah analisa
deskriptif kualitatif. Data yang bersifat kualitatif akan dirangkum, difokuskan
pada temuan penting penelitian, dengan menganalisis tema dan polanya, serta
disajikan pula uraian deskriptif naratif, bagan, hubungan antar kategori.