Post on 03-Mar-2019
Ernita Dewi, M.Hum
~1
BAB I PENDAHULUAN
A. Pemimpin dan Kepemimpinan
Manusia adalah makhluk sosial yang secara alamiah
cenderung untuk hidup bermasyarakat dan tidak bisa hidup
terisolasi. Manusia membutuhkan kerja sama dengan orang
lain demi terwujudnya cita-cita dan tujuan hidupnya. Hal itu
mendorong mereka untuk membentuk kesatuan yang lebih
besar yang dikenal dengan sebutan negara atau kerajaan. Di
situlah mereka berkumpul, menyatukan tekad dan me-
nyelesaikan semua permasalahan menuju ke arah pencapaian
masyarakat adil, makmur sejahtera lahir batin.
Terbentuknya negara yang kokoh bukanlah akhir dari
perjalanan obsesi manusia untuk hidup teratur dan mencari
ketenangan. Masyarakat yang tergabung dari berbagai latar
belakang sosial budaya dan pemikiran secara jujur jelas mem-
butuhkan seorang pemimpin yang mampu mengakomodasi
aspirasi dalam menyatukan visi mereka secara representatif,
baik, dan benar. Pemimpin haruslah orang yang benar-benar
mampu dan terpercaya untuk menjalankan tugas kepe-
mimpinannya. Seorang pemimpin harus mengetahui ke-
wajiban-kewajiban yang krusial dan urgen untuk dilaksana-
kan secara arif dan bijaksana dengan bantuan para pejabat
kenegaraan secara konsisten. Dalam teori politik disebutkan
bahwa secara umum syarat menjadi pemimpin itu haruslah
memiliki; ideologi yang jelas, harus dapat diterima (accept
able) oleh rakyatnya, memiliki kemampuan (capable) dalam
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 2
melaksanakan tugas-tugas yang diembankan kepadanya,
dapat dipercaya (accountable) dan teruji integritas (integrity),
serta jelas pemihakannya kepada kepentingan rakyat. Dapat
dianalisis bahwa pemihakannya kepada kepentingan rakyat
banyak, berkaitan erat dengan manajemen keadilan bagi
seluruh lapisan masyarakat yang dipimpinnya (Kartini
Kartono, 1998: 31)
Secara etimologi kepemimpinan berasal dari kata dasar
“pimpin” yang berarti bimbing atau tuntun. Untuk itu di
dalamnya ada dua pihak yang berperan antara lain yang
dipimpin (umat) dan yang memimpin (imam). Setelah di-
tambahkan awalan “pe” menjadi “pemimpin”, artinya orang
yang mempengaruhi pihak lain melalui proses kewibawaan
komunikasi sehingga orang lain tersebut bertindak untuk
mencapai tujuan tertentu. Apabila ditambahkan akhiran “an”
menjadi “pimpinan” artinya orang yang mengepalai. Antara
pemimpin dan pimpinan memiliki arti yang berbeda, yaitu
pimpinan (kepala) cenderung lebih sentralistis, sedangkan
pemimpin cenderung lebih demokratis. Setelah ditambahkan
dengan awalan “ke” menjadi kepemimpinan, yang berarti
kemampuan dan kepribadian seseorang dalam mempengaruhi
serta membujuk pihak lain agar melakukan tindakan pen-
capaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang
bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses
kelompok (Syafiie, 2000 : 72).
Menurut C.N. Cooley, pemimpin merupakan titik pusat
dari suatu kecenderungan, dan pada kesempatan lain, semua
gerakan sosial kalau diamati secara cermat akan ditemukan
Ernita Dewi, M.Hum
~3
kecenderungan yang memiliki titik pusat. Menurut Ordway
Tead, Kepemimpinan sebagai perpaduan perangai yang me-
mungkinkan seseorang mampu mendorong pihak lain me-
nyelesaikan tugasnya (Syafiie, 2000: 72). Menurut G.U. Cleeton
dan C.W. Mason. Kepemimpinan adalah kemampuan mem-
pengaruhi orang-orang untuk mencapai hasil melalui
himbauan emosional dan bukan melalui penggunaan kekuasa-
an. Pigors menerjemahkan makna kepemimpinan sebagai
suatu proses saling mendorong daya manusia dalam mengejar
tujuan bersama (Syafiie, 2000: 73)
Ralph M. Stogdill menghimpun sebelas definisi ke-
pemimpinan, yaitu sebagai berikut :
1. Kepemimpinan sebagai pusat proses
2. Kepemimpinan sebagai kepribadian yang berakibat
3. Kepemimpinan sebagai seni menciptakan kese-
pakatan
4. Kepemimpinan sebagai kemampuan mempe-
ngaruhi
5. Kepemimpinan sebagai tindakan perilaku
6. Kepemimpinan sebagai suatu bentuk bujukan
7. Kepemimpinan sebagai suatu hubungan kekuasaan
8. Kepemimpinan sebagai sarana pencapaian tujuan
9. Kepemimpinan sebagai hasil interaksi
10. Kepemimpinan sebagai pemisahan peranan
11. Kepemimpinan sebagai awal struktur (Syafiie,
2000: 73).
Kepemimpinan juga diartikan sebagai kemampuan
seseorang (suatu pihak) untuk mempengaruhi orang lain
melalui dirinya sendiri dengan cara tertentu sehingga perilaku
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 4
orang lain itu berubah. Orang yang terbukti memiliki
kepemimpinan disebut pemimpin, jadi pemimpin itu tidak
given, melainkan achieved ( Ndhara, 2003: 216).
Berpijak pada pengertian yang dikemukakan oleh
sejumlah pakar di atas tentang makna pemimpin, maka secara
ringkas dapat dikatakan bahwa pemimpin adalah sosok yang
mampu memberi pengaruh baik, dan mengajak orang-orang
yang dipimpinnya kepada hal-hal yang benar, dengan
pendekatan yang arif dan bukan dengan jalan memaksa atau
menzalimi pihak yang dipimpinnya.
Kepemimpinan merupakan bakat dan seni tersendiri
bagi seseorang, pendapat ini tidak ada yang menyangkalnya.
Memiliki bakat kepemimpinan berarti menguasai seni atau
teknik melakukan tindakan-tindakan seperti teknik memberi-
kan perintah, memberi teguran, memberikan anjuran, mem-
berikan pengertian, memperoleh saran, memperkuat identitas
kelompok yang dipimpin, memudahkan pendatang baru untuk
menyesuaikan diri, menanamkan rasa disiplin di kalangan
bawahan, serta membasmi desas-desus lainnya (Anoraga,
1990: 2).
Selama ini banyak sekali kekeliruan pemahaman
tentang arti kepemimpinan. Pada umumnya orang melihat
pemimpin sebagai sebuah kedudukan atau posisi semata.
Akibatnya banyak orang yang berusaha untuk menjadi
seorang pemimpin dengan menghalalkan segala cara dalam
mencapai tujuannya. Mulai dari membeli kedudukan dengan
uang, menjilat atasannya, menyikut pesaing atau temannya,
bahkan dengan cara-cara kotor lainnya, demi mengejar posisi
pemimpin. Akibatnya lahirlah pemimpin yang tidak dicintai,
Ernita Dewi, M.Hum
~5
tidak disegani, tidak ditaati, dan bahkan dibenci. Pemimpin
seperti ini akan mempergunakan kekuasaannya untuk me-
ngarahkan, memperalat, ataupun menguasai orang lain,
supaya orang lain mengikutinya. Umumnya jenis pemimpin ini
suka menekan orang-orang yang dipimpinnya yang pada
akhirnya akan memunculkan sikap yang disharmonisasi. Gaya
kepemimpinan yang seperti ini pada hakikatnya telah me-
langgar garis demarkasi Allah, yang dapat menumbuh
suburkan sikap anarkisme dan keganasan hewaniah sebagai-
mana disebutkan oleh Thomas Hobbes “homo homini lupus”
manusia akan menjadi pemangsa manusia lain (Agustian,
2001 : 96).
Ribuan orang mengharapkan dirinya untuk menjadi
seorang pemimpin. Mereka tidak pernah merasa bahwa se-
benarnya dirinya adalah seorang pemimpin, padahal setiap
manusia dilahirkan untuk menjadi pemimpin walaupun
pengikutnya hanya satu orang saja. Bahkan manusia seorang
diripun harus memimpin dirinya sendiri untuk mengarahkan
hidupnya. Ketidaksadaran inilah yang mengakibatkan orang
tidak mau mengembangkan ilmu kepemimpinannya, di-
tambah dengan jargon-jargon seperti : “saya ini rakyat kecil”,
padahal dia seorang tukang becak hebat yang memimpin
keluarganya di rumah dan bisa membuat anak-anaknya
menjadi pemimpin besar (Agustian, 2001:97). Tidak ada
istilah orang kecil, semua sama di mata Tuhan, manusia
adalah seorang khalifah di muka bumi ini, seperti yang di-
tegaskan oleh Allah SWT : ”Dan tatkala Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat: ”Aku hendak jadikan khalifah di muka
bumi...” (Q.S. Al-Baqarah : 30).
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 6
B. Pemimpin adalah Pengaruh
Ketika orang lain memberikan sebuah nasihat atau
sebuah cerita, kita akan mengingatnya dan itu adalah sebuah
pengaruh. Ketika seorang mengatakan tentang sesuatu dan
sesuatu itu akan diingat, itupun adalah sebuah pengaruh. Atau
semua hal kecil yang mempengaruhi kita, dan berhasil me-
ngubah hidup kita, begitu pula sebaliknya, kitapun mem-
berikan pengaruh kepada orang lain melalui sikap, perkataan,
dan perbuatan, berarti kita telah melakukan aktivitas ke-
pemimpinan.
J. R .Miller mengatakan : ada pertemuan yang hanya
sesaat namun meninggalkan kesan seumur hidup. Tidak ada
seorangpun yang mampu memahami hal misterius yang kita
sebut pengaruh, namun setiap orang di antara kita terus
menerus memberikan pengaruh apakah untuk menyembuh-
kan, untuk meninggalkan bekas keindahan, atau untuk me-
lukai, menyakiti, meracuni, dan untuk mencemari kehidupan
orang lain. Terlepas dari kedudukan resmi sebagai pemimpin
maka perlu disadari bahwa setiap kata yang terucap, setiap
tindakan yang dibuat akan menimbulkan pengaruh pada
orang lain yang ada di sekitarnya. Sekiranya harus disadari
bahwa suatu perbuatan dan tingkah laku dapat menciptakan
diri kita menjadi seorang pemimpin. Seorang pemimpin bagai-
manapun tipikal dan gaya kepemimpinannya, semua sangat
tergantung dengan prinsip yang dianut. Sebaliknya lingkungan
akan membuat seseorang menjadi seorang pengikut disadari
atau tanpa disadari. Orang yang tidak memiliki prinsip akan
sangat mudah sekali terpengaruh. Setiap hari kita berjalan di
tengah-tengah padang rumput yang dipenuhi ranjau-ranjau
Ernita Dewi, M.Hum
~7
yang berbahaya yaitu ranjau-ranjau yang mempengaruhi
pikiran (Agustian, 2001: 97).
Seseorang dapat mempengaruhi orang lain melalui
variasi kombinasi dua strategi atau cara, yaitu: pertama,
strategi pelakonan, strategi ini bermaksud membuat orang
lain melakoni skenario yang telah ditetapkan oleh seseorang.
Pihak yang tertarik atau tergerak untuk mendekati sumber
pengaruh disebut penurut, pengikut, peniru, penganut atau
penaat/pematuh, sesuai dengan kadar responsnya terhadap
skenario dari pemimpin yang bersangkutan. Kedua, strategi
peragaan, strategi ini memberikan kebebasan kepada orang
lain untuk memperagakan respon pilihan bebasnya sendiri
terhadap pengaruh seseorang. Dalam hubungan ini seseorang
berusaha melancarkan daya seperti insentif, pemenuhan
kepentingan orang lain, sampai pada pengorbanan dirinya.
Titik kesepakatan dalam proses tawar-menawar itu tercapai
pada titik kebersamaan atau keberbagian antara keduanya.
Jika hal itu terjadi orang lain tidak hanya sekedar penurut atau
pengikut, melainkan menjadi kader (alter ego). Pada titik itu
terjadi pertemuan antara budaya elit dan budaya floor. Dalam
hal ini dapat terlihat, kepemimpinan yang menggunakan
strategi peragaan membutuhkan biaya yang mahal, sukar, dan
memerlukan waktu lama (Ndhara, 2003:216).
Biasanya orang yang memiliki prinsip yang teguh akan
menjadi seorang pemimpin yang besar melalui pengaruhnya
yang kuat. Apabila seseorang tidak memiliki prinsip, mereka
dipastikan akan menjadi seorang pengikut. Tidak peduli
prinsip itu benar atau salah, tetap akan ada pengikutnya,
sebagai contoh Stalin dan Lenin beserta jutaan orang pe-
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 8
ngikutnya yang menjadi komunis. Prinsip yang benarlah yang
akan menyelamatkan diri seseorang dari kenistaan dan
kehancuran, dan prinsip yang benarlah yang akan membuat
seseorang menjadi pemimpin sejati. Sebagaimana sabda Nabi
Muhammad SAW, “hendaklah kamu berpegang kepada
kebenaran, karena sesungguhnya kebenaran itu memimpin
kepada kebaktian, dan kebaktian itu membawa ke surga
(kebahagiaan), dan hendaklah seseorang itu bersifat benar
dan memilih kebenaran hingga dia tertulis di sisi Allah sebagai
orang yang sangat benar; dan hendaklah kamu jauhi ke-
dustaan, karena sesungguhnya kedustaan itu memimpin
kepada kedurhakaan, dan kedurhakaan membawa ke neraka
(kehancuran); dan janganlah seseorang tetap berdusta dan
memilih kedustaan hingga tertulis di sisi Allah sebagai
pendusta” (H. R. Bukhari Muslim).
C. Mencari Figur Pemimpin Ideal
Dalam konteks kekinian di mana materialisme telah
merebut hati seluruh umat manusia untuk cenderung pada
gaya hidup hedonisme, maka kedudukan sebagai pemimpin
tidak lagi ditempatkan sebagai wadah untuk memberi
pengaruh baik bagi perubahan masyarakat yang dipimpinnya,
bahkan kepemimpinan menjadi alat pencapaian kekuasaan
untuk dinikmati oleh pribadi maupun kelompoknya.
Masyarakat sekarang merindukan sosok pemimpin yang adil
dan mampu memberikan kesejahteraan bagi orang yang di-
pimpinnya.
Keinginan untuk mendapatkan pemimpin yang ideal
sebenarnya sudah dipikirkan sejak berabad-abad yang lalu,
Ernita Dewi, M.Hum
~9
sebab sejak istilah negara diperkenalkan di Yunani, ke-
beradaan penguasa yang bersifat tirani sudah dikecam oleh
para filsuf ketika itu. Pada hakikatnya manusia merindukan
pemimpin yang benar-benar mampu berbuat adil pada
masyarakat dan manusia sangat membenci pemimpin yang
zalim serta jahat. Namun pada praktiknya kebanyakan pe-
mimpin lebih sering memunculkan sikap arogansi daripada
sikap melindungi.
Berpijak pada argumentasi dan obsesi tentang pe-
mimpin ideal, maka keadilan menjadi isyu yang tak kalah
subtansialnya dalam diskursus kenegaraan. Isyu ini menjadi
sangat penting dan merupakan inti persoalan dalam setiap lini
kehidupan. Tiada kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran
yang merata tanpa keadilan. Problematika keadilan tidaklah
sederhana, bagi Plato dan Aristoteles, sebuah negara
diperuntukkan demi kepentingan warga negaranya supaya
mereka dapat hidup dengan baik, dan ini sama artinya
keinginan untuk mencapai keadilan. Bahkan Plato me-
nganggap negara identik dengan keadilan (Schmid, 1988: 25).
Hampir dapat dipastikan, setiap pemimpin mendambakan
agar mampu berbuat seadil-adilnya bagi kepentingan dan ke-
sejahteraan masyarakat. Namun mengingat implementasinya
sangat sukar, pada gilirannya yang terjadi justru ketimpangan
dan kesenjangan. Keadilan seakan-akan menjadi hal utopis.
Menjawab persoalan ini, para ahli kenegaraan berusaha
memformulasikan suatu pedoman yang valid dan autentik
tentang konsepsi kepemimpinan ideal berikut aturan dan
perangkat yang harus dijalankan.
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 10
Niccolo Machiavelli, seorang ahli filsafat kenegaraan
dari Florence Italia, dalam bukunya yang ditulis awal abad XVI
dengan judul Il Principle (Sang Pangeran) dan dipersembah-
kan kepada Lorenzo di Medici yang berkuasa ketika itu,
menuliskan pedoman kebijaksanaan tentang seni memerintah
dan apa yang harus dikerjakan oleh penguasa. Bahkan buku
tersebut menjadi pedoman yang harus dibaca oleh raja
(Sjadzali, 1993: 43). Ilmuwan politik Islam Ibnu Abi Rabi'
dalam bukunya Suluk al Malik fi Tadbir al Mamalik (Perilaku
Raja dalam Pengelolaan Kerajaan-Kerajaan) yang diperuntuk-
kan kepada Mu'tashim, khalifah Abbasiyah kedelapan yang
berkuasa sekitar abad IX Masehi, juga memberikan penekanan
(stressing) betapa pentingnya seorang pemimpin menegakkan
hukum secara adil.
Secara etimologi kata adil berarti merata, senasib
sepenanggungan, tiada miring ke kanan atau ke kiri, benar,
patuh, tiada berat sebelah (Harahap, 1951). Oleh karena itu
kesenjangan, kezaliman, dan sikap kesewenang-wenangan
akibat ketidakadilan sedapat mungkin harus dieliminasi demi
tegaknya keadilan. Dan itu merupakan salah satu tujuan ber-
dirinya negara. Pemberlakuan hukum agama, menyerukan
amar ma'ruf dan nahi mungkar seperti pelaksanaan shalat,
membayar zakat dan memangkas akar-akar kejahatan
merupakan kewajiban penguasa negara (Maududi, 1990: 75).
Pemikiran di atas tentu sejalan dengan firman Allah yang
artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil
dan berbuat kebaikan…" (QS An Hahl : 90).
Diskursus tentang keadilan menjadi tema pokok dalam
suatu negara, sehingga menarik perhatian semua pemikir
Ernita Dewi, M.Hum
~11
politik. Secara etimologi kata adil berasal dari bahasa Arab
yaitu 'adl yang berarti keadaan yang terdapat dalam jiwa
seseorang yang membuatnya menjadi lurus. Orang yang adil
adalah orang yang tidak dipengaruhi hawa nafsunya, oleh
karena itu al‘ adl bisa juga mengandung arti dapat me-
nentukan hukum dengan benar dengan adil. Kata itu juga
berarti mempertahankan hak yang benar ( Harun Nasution,
1994 : 61). Dalam bahasa Inggris keadilan sering disebut
justice yang berasal dari bahasa Latin justitia. Akar kata
justitia adalah jus yang berarti hukum atau hak ( Fowler, 1964:
92). Makna justice salah satunya dikenal dengan istilah law
kemudian berkembang menjadi lawfulness (keabsahan
menurut hukum) dan sampai sekarang dalam bahasa Inggris
istilah justice identik dengan law dan lawfulness. Bagi pemikir
Islam keadilan salah satu prinsip dari agama yang wajib
ditegakkan dengan bertitik tolak pada kitab suci al-Quran dan
hadits-hadits Nabi SAW. "Allah bersifat adil dan tidak pernah
menganiaya hak-hak manusia. "Menurut rasionalitas hukum,
Allah telah melimpahkan segala nikmatnya atas semua
makhluk dan tidak pernah menindas satu makhluk pun.
Manusia memiliki keimanan kepada keadilan Allah dan
memiliki pandangan hidup yang baik dalam semua urusan
dunia. Sebagaimana ia memandang Allah bersifat adil, maka ia
mempunyai alasan yang meyakinkan serta jawaban yang
memuaskan terhadap hal-hal yang tidak menyenangkan.
Keimanan pada keadilan Allah akan membantu meletakkan
fondasi keadilan, baik dalam kehidupan individu maupun
masyarakat. Manusia akan mempersiapkan diri mereka untuk
menerima keadilan dalam kehidupan sosial dan kehidupan
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 12
pribadinya. Hal tersebut juga berlaku dalam memberikan
ganjaran kebaikan dan hukuman yang didasarkan atas
keadilan. Allah telah mempertimbangkan kemampuan serta
daya tahan tiap-tiap makhluk dalam menjalankan perintah-
perintahnya. Karena itu Allah menetapkan hukuman yang
sebanding atas tiap-tiap perbuatan, sehingga tidak terdapat
keterpihakan atau ketidakadilan yang dilakukan terhadap
salah satu dari makhluk-makhluk-Nya. Para Nabi Allah juga
berusaha membentuk anggota masyarakat yang mampu
menjunjung tinggi keadilan dan memperlakukan setiap
manusia tanpa pertimbangan perbedaan status sosial, politik
serta keyakinan apapun. Tugas utama mereka adalah me-
nanamkan dalam hati manusia keimanan yang teguh kepada
Allah dan hari pembalasan serta menciptakan norma-norma
moral dan pemikiran Ilahiyah sehingga terwujud individu dan
masyarakat yang memiliki jiwa keadilan dalam diri mereka
masing-masing (Muchsin Qara'ati, 1991 : 5-6).
Beranjak dari berbagai pemikiran di atas, keadilan
sejati mutlak hanya terdapat dalam Syariat Islam yang ber-
sandarkan wahyu Allah SWT. Seseorang yang hidup menurut
hukum Tuhan haruslah berbuat adil tidak hanya kepada
dirinya sendiri tetapi juga kepada lingkungan sekitarnya. Allah
berfirman yang artinya "Allah yang menurunkan Kitab dengan
membawa kebenaran dan neraca (keadilan)" (QS 42 : 17).
Wahyu merupakan neraca untuk menimbang semua per-
soalan, dan semua tingkah laku baik dan buruk. Di satu pihak,
akal dengan berbagai variasinya memberikan definisi dan
bentuk bertentangan terhadap keadilan, tapi akhirnya akal
gagal mencapai keadilan itu sendiri, di pihak lain wahyu
Ernita Dewi, M.Hum
~13
dengan standar keadilannya tidak hanya mutlak mencapai
keadilan bahkan menjadi sumber abadi bagi keadilan.
Keadilan memiliki pengertian tersendiri, identik dengan suatu
keyakinan suci, suatu kewajiban yang dibebankan kepada
manusia untuk dilaksanakan dengan sungguh-sungguh atas
dasar integritas yang tinggi. Tidak boleh ada unsur subyektif
dalam definisi keadilan. Apa yang dianjurkan Islam adalah
sikap berpikir yang reflektif dan pendekatan yang objektif
terhadap masalah yang dihadapinya. Karena itu keadilan
adalah kualitas berlaku adil secara moral dan tindakan untuk
memberikan kepada setiap manusia akan haknya. Keadilan
merupakan ikatan yang menyatukan masyarakat dan men-
transformasikan mereka ke dalam satu persaudaraan.
sebagaimana Sabda Nabi saw, "Setiap orang menjadi penjaga
bagi yang lain dan bertanggung jawab atas kesejahteraan
bersama. "Akan tetapi hukum Tuhan menjadi tali penolong
yang kuat yang tidak dapat diputuskan, kitapun harus
memegangnya "berpegang teguhlah kamu semua kepada tali
Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai" (QS 3 : 103). Kalau
hukum merupakan tali dari Tuhan, maka keadilan adalah
kasih sayang dan rahmat dari Allah SWT kepada makhluk
(komunitas) yang mewajibkan kita untuk memenuhi semua
tuntutan yang diakui dalam kehidupan sosial. Dengan
demikian keadilan merupakan kewajiban yang ditentukan
oleh Allah SWT. Kita harus berdiri kokoh demi keadilan,
meskipun hal itu mungkin mengganggu kepentingan kita atau
kepentingan orang banyak bahkan orang yang menyayangi
kita. Demikian pentingnya keadilan sehingga ditegaskan Allah
secara berulang-ulang dalam al-Quran sebagaimana ter-
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 14
cantum dalam Surat An Nisa' ayat 58 dan 135, Surat Al Maidah
ayat 8, Surat Al An 'Am ayat 90, dan Surat Asy Syura ayat 15 (
Muslehuddin, 1991: 79-82).
Doktrin Islam sebagaimana ditegaskan Marcel A.
Boisard dalam bukunya Humanisme Dalam Islam, bahwa
"keadilan merupakan pusat gerak dari nilai-nilai moral yang
pokok". Maka keadilan adalah salah satu prinsip yang sangat
penting dalam Al-Quran. Statement ini didasarkan pada tiga
hal yaitu; Pertama karena Allah sendiri memiliki sifat Yang
Maha Adil. Keadilan yang penuh dengan kasih sayang kepada
makhluk-Nya (rahman dan rahim), misalnya dengan mem-
berikan ganjaran untuk setiap perbuatan yang baik dari
sepuluh sampai tujuh puluh kali lipat. Sebaliknya kalau
manusia melakukan suatu kejahatan, maka hukumannya
hanya satu kali saja. Kedua, dalam Islam, keadilan adalah
kebenaran. Kebenaran merupakan salah satu asma Allah. Dia
sumber kebenaran yang dalam al-Quran disebut al-Haq.
Keadilan dan kebenaran diibaratkan seperti dua saudara
kembar yang tidak dapat dipisahkan. Ketiga, keadilan berasal
dari bahasa Arab bentuk kata 'adil yang dari segi etimologinya
berarti sama. Ia menunjukkan suatu keseimbangan atau dalam
posisi pertengahan. Dalam al-Quran masyarakat Islam di-
gambarkan sebagai suatu ummah atau masyarakat tengah
(wasatan). Marcel. A. Boisard mencatat bahwa anjuran-
anjuran moral adalah di tengah-tengah dua ekstrim, kebajikan
adalah keadilan, kebajikan yang fundamental. Ia adalah
keadilan yang tepat, yang jauh dari rasa benci atau dengki,
yang menghormati segala proporsi. Prinsip keadilan menjadi
motivasi keagamaan yang sangat esensi dalam Islam. Apabila
Ernita Dewi, M.Hum
~15
prinsip keadilan dikaitkan dengan monokrasi Islam, maka
harus selalu dilihat dari segi fungsi kekuasaan negara. Fungsi
itu mencakup tiga kewajiban pokok bagi penyelenggara
negara atau pemerintah sebagai pemegang kekuasaan, tiga hal
penting tersebut adalah :
1. Kewajiban untuk menerapkan kekuasaan negara dengan
adil, jujur, dan bijaksana. Seluruh rakyat tanpa terkecuali
harus dapat merasakan nikmat keadilan yang muncul dari
kekuasaan negara. Seperti, implementasi kekuasaan
negara dalam bidang politik dan pemerintahan. Rakyat
seharusnya memperoleh hak-haknya secara adil tanpa
adanya diskriminasi.
2. Kewajiban menerapkan kekuasaan kehakiman dengan
seadil-adilnya. Hukum harus ditegakkan sebagaimana
mestinya. Hukum berlaku bagi siapa saja, tanpa me-
mandang statusnya. Kewajiban point pertama dan kedua
sebagaimana tersebut di atas menunjukkan unsur per-
samaan, yang juga merupakan suatu rangkaian atau rantai
dalam prinsip-prinsip monokrasi Islam.
3. Kewajiban penyelenggara negara untuk mewujudkan
suatu tujuan masyarakat adil dan makmur di bawah ridha
Allah SWT. Hal ini berkaitan dengan keadilan dan ke-
sejahteraan sosial. Hukum Islam sudah menetapkan
beberapa lembaga sosial untuk mencapai tujuan itu. Ada
yang berbentuk kewajiban dan anjuran. Misalnya, zakat
yang diwajibkan bagi hartawan atau golongan yang
mampu. Zakat merupakan perwujudan rasa solidaritas
sosial dalam masyarakat Islam. Apabila kadar zakat atau
jumlahnya telah ditentukan, maka lembaga sosial lainnya
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 16
tidak memerlukan ketentuan jumlah minimalnya, sedang
masalah warisan (faraidh), Nabi membatasi maksimal se-
pertiga dari harta peninggalannya boleh diberikan dalam
bentuk wasiat. Ketentuan ini sangat logis, untuk menjamin
kepentingan ahli waris.
Prinsip keadilan dalam monokrasi Islam mengandung
suatu konsep yang bernilai tinggi, tidak identik dengan
keadilan yang diciptakan manusia. Konsep keadilan dalam
monokrasi Islam menempatkan manusia pada kedudukan
yang wajar baik sebagai individu maupun sebagai
masyarakat ( Azhary, 1992:88-90).
Manusia sebagai khalifah di permukaan bumi, sebagai
pengemban pesan-pesan wahyu yang diwahyukan Allah
melalui Rasul-Nya, baik berita gembira bagi yang me-
laksanakan kebaikan maupun ancaman atau hukuman bagi
manusia yang mengingkari hukum-hukum agama adalah
makhluk yang paling mulia. Peringkat kemuliaan itu di sisi
Allah diukur dengan nilai takwa seseorang manusia (QS, al-
Hujarat ayat 13). Salah satu pesan wahyu yang harus
dijalankan manusia agar dekat kepada ketakwaan Allah
adalah menegakkan keadilan dan menjauhi kezaliman dalam
mengarungi siklus kehidupannya (QS, al-Maidah ayat 8).
Namun manusia yang diimbangi potensi akal dan nafsu yang
melekat pada dirinya, mereka cenderung lupa diri dan lebih
suka memilih bertindak semena-mena, sehingga fungsi akal
sering terpinggirkan. Apalagi saat seseorang sedang berada
pada puncak kekuasaan, lupa diri adalah hal yang umum
terjadi. Menghalalkan segala cara demi kenyamanan lahiriah
tanpa memperhitungkan kenyamanan batiniah, merupakan
Ernita Dewi, M.Hum
~17
hal yang sering dilakukan, terlebih di era modernisasi. Untuk
mengembalikan manusia ke jalan yang diridhai Allah, se-
hingga identitas dan jati diri manusia tetap eksis sebagai
makhluk yang paling mulia dan khalifah di bumi, peran agama
sangatlah diperlukan. Dengan agama diharapkan manusia
mampu memilih dan memilah antara hak dan kewajiban baik
dalam hidup bermasyarakat maupun bernegara dalam arti
yang lebih luas. Keinginan untuk menciptakan masyarakat
bermoral dan berkualitas islami, telah menggugah pikiran
para pemikir Islam untuk menuangkan gagasannya dengan
menulis berbagai pedoman untuk petunjuk bagi pemimpin
yang berdasarkan Al-Quran dan Hadis.
Berpijak pada kenyataan di atas maka keinginan untuk
berkumpul dalam wadah dan kesatuan yang lebih besar
seperti membentuk negara menjadi sesuatu yang alamiah dan
dibutuhkan oleh setiap individu. Problem yang kemudian
muncul adalah realisasi dalam menjalankan roda kehidupan
bersama, khususnya pada faktor berbuat baik dan berlaku
adil dengan sesama manusia menjadi hal yang paling sulit.
Maka ketika berbicara tentang kehidupan sosial khususnya
dalam kehidupan bernegara, perbincangan keadilan senan-
tiasa menjadi tema yang sangat menarik.
Kerinduan pada sosok pemimpin yang adil merupakan
faktor paling fundamental dan esensial dalam suatu negara.
Sejak zaman Yunani kuno, manusia senantiasa mendambakan
keadilan dan keseimbangan lahir dan batin antara hak dan
kewajiban. Kenyataan ini diperkuat dengan munculnya
berbagai rumusan pemikiran para filsuf tentang tatanan
kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan fitrah manusia.
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 18
Dalam Islam, hampir lima belas abad yang lalu konsep adil
tersebut disosialisasikan di tengah-tengah kehidupan manusia,
intinya bermuara kepada Ketaqwaan terhadap Allah SWT.
Berlaku adil pada setiap orang dengan tidak memandang
strata sosial adalah kewajiban yang harus dijalankan, baik
oleh pemimpin, aparatur negara, maupun masyarakat yang
dipimpin.
Konsep hidup Islam pada hakikatnya, mewajibkan
manusia untuk mengabdi seluruh kehidupannya demi Allah
(QS, al-Ankabut ayat 56). Islam sebagai agama universal, tentu
tidak hanya meletakkan nilai-nilai pengabdian bersifat
‘ubudiyah seperti shalat (hablum minallah), akan tetapi juga
meletakkan prinsip-prinsip dasar mu’amalah (hablum
minannas), baik di bidang politik, sosial budaya dan ekonomi
sebagai manifestasi agama rahmatan lil ‘alamin. Di bidang
politik, khususnya dalam kehidupan bernegara, Islam sangat
menekankan pentingnya keadilan. Adil dalam arti bersikap
objektif menempatkan sesuatu pada tempatnya dengan tidak
dipengaruhi sikap nepotisme dan primordial. Abdul Kadir
Audah, seorang ahli hukum dan pengacara Mesir, mengatakan
bahwa Islam melandasi terbentuknya negara atas dasar
keadilan mutlak, yang tidak terikat oleh sesuatu syarat,
keadilan tidak mengenal pilih kasih, dan tidak terpengaruh
oleh posisi dan kekuasaan.
Ernita Dewi, M.Hum
~19
BAB II
KEPEMIMPINAN RASULULLAH DAN
KHULAFURRASYIDIN
A. Kepemimpinan Ideal Muhammad SAW
“Sungguh pada Rasulullah kamu dapatkan suri teladan
yang indah bagi orang yang mengharap (rahmat Allah) dan
(keselamatan) hari terakhir, serta banyak mengingat Allah”
(QS, Al-Ahzab ayat 21)
Di sekitar kita, terdapat banyak sekali contoh-contoh
pemimpin dengan tipe gaya dan prinsip masing-masing. Ada
pemimpin yang sangat menonjol prestasi kerja dan integritas-
nya, tetapi tidak dicintai oleh bawahannya karena kurang
mampu membina hubungan baik dengan orang lain. Pe-
nampilannya yang kaku, kurang ramah, dan tidak peka, mem-
buat orang di sekitarnya tidak bersimpati terhadap pemimpin
tersebut. Ada juga pemimpin yang sangat baik hati, pandai
bergaul tetapi lamban dan kurang disiplin, akibatnya para
bawahan tidak memiliki semangat juang dalam meningkatkan
kinerjanya. Juga ada pemimpin yang sering menonjolkan diri-
nya dengan menganggap bahwa semua pekerjaan dilakukan
karena dirinya, dan kurang menghargai prestasi orang lain.
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 20
Bersikap arogan, zalim, dan hanya berbaik hati untuk kerabat
dekatnya saja.
Banyak pemimpin yang tidak bisa berlaku adil dan
bertanggung jawab pada amanah yang dipegangnya. Ter-
kadang kekuasaan, kebesaran, bisa membutakan mata hati
dari kebenaran. Hitler contohnya, sebuah dogma dapat me-
nyeret manusia pada jurang kehancuran yang tidak pernah
disadari selama ratusan tahun, bahkan sampai mati sekalipun.
Tipe kepemimpinan ala Hitler adalah sebuah contoh pengaruh
dari suatu keyakinan dengan harga mati, tanpa memberikan
kesempatan untuk melihat pada kebenaran yang lain, se-
hingga seorang pemimpin menjadi zalim, seakan dirinya
sanggup menjerumuskan manusia dalam kesesatan. (Agustian,
2001: 99). Kondisi Hitler dan tipe kepemimpinannya sangat
jauh berbeda dengan corak kepemimpinan Muhammad SAW,
bahkan bila dibandingkan dengan semua pemimpin besar
dunia baik pada zaman dulu maupun sekarang. Keberhasilan
seseorang dalam memimpin tidak saja ditentukan oleh se-
berapa tinggi tingkat kepemimpinannya, tetapi yang paling
penting adalah seberapa besar pengaruh baik yang dapat di-
berikan kepada orang lain. Begitu banyak pemimpin-pe-
mimpin populer kaliber dunia yang dilahirkan di muka bumi
ini, tetapi pengaruhnya hanya beberapa waktu saja. Kemudian
pengaruh itu hilang begitu saja ditelan zaman, sebut saja
Winston Churchill, Ronald Reagen, Jenderal Mc. Arthurn,
Kaisar Hirohito, dan lain-lain. Semua hanya tinggal kenangan
saja, pengaruhnya boleh dikatakan hampir hilang, atau bisa
dikatakan hanya sedikit yang tersisa. Tetapi pemimpin-
pemimpin besar yang diturunkan oleh Allah SWT, seperti
Ernita Dewi, M.Hum
~21
Daud A.S, Ibrahim A.S, Isa A.S., dan Nabi Muhammad SAW,
pengaruhnya terasa begitu kuat, sampai detik sekarang, tidak
lekang ditelan zaman. Bahkan semakin menguat pengaruh-
nya, meskipun mereka sudah tidak ada lagi di muka bumi.
Merekalah yang disebut pemimpin abadi. Umumnya cara
kepemimpinan mereka sangat sesuai dengan hati nurani, dan
bisa diterima akal sehat atau logika. Itulah yang me-
nyebabkan keabadian pengaruh dari para Nabi dan Rasul. Me-
nurut ahli sejarah Muhammad Husain Haekal, “peri kehidupan
Muhammad SAW sifatnya manusia semata dan bersifat peri
kemanusiaan luhur, dan untuk memperkuat kenabiannya itu,
tidak perlu ia harus bersandar kepada apa yang dilakukan
oleh mereka yang suka kepada yang ajaib-ajaib” (Haekal,
2000: 53).
Mengingat begitu banyaknya pemimpin yang tidak
sempurna, dalam arti tidak mampu mengwujudkan sifat-sifat
yang dicintai oleh rakyatnya, maka figur ideal kepemimpinan
Muhammad SAW sangat tepat untuk menjadi contoh teladan
bagi pemimpin sesudahnya untuk menjalankan kepemim-
pinan berdasarkan suara hati dan bukan berdasarkan ambisi.
Michael Hart, pada tahun 1978 membuat sebuah
analisa dan tulisan, untuk menyusun daftar dan urutan
rangking nama orang-orang paling berpengaruh di dunia. Hart
mencari dan mengukur seratus orang yang telah memegang
peranan dalam mengubah arah sejarah dunia. Hart ber-
pendapat, dari seratus orang itu saya susun urutannya
menurut bobot pentingnya, atau dalam kalimat lain diukur
dari jumlah keseluruhan peran yang dilakukannya bagi umat
manusia. Kelompok seratus orang istimewa ini saya susun
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 22
dalam daftar saya, katanya. Mereka adalah sekelompok kecil
orang yang bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa besar
yang tanpa peranan mereka tak akan pernah ada. Dari hasil
analisanya, Hart menjatuhkan pilihan urutan pertama pada
Nabi Muhammad SAW, berdasarkan keyakinannya bahwa
Nabi Muhammadlah satu-satunya manusia dalam sejarah yang
berhasil meraih sukses luar biasa, baik ditilik dari ukuran
agama maupun ruang lingkup duniawi ( Hart, 1985 : 13).
Nabi Muhammad SAW lahir pada tahun 570 M, di kota
Mekkah, suatu tempat yang pada waktu itu merupakan daerah
yang paling terbelakang di dunia. Jauh dari pusat per-
dagangan, seni, maupun ilmu pengetahuan. Nabi Muhammad
SAW, wafat pada tahun 632 M, ketika beliau sudah dapat
memastikan dirinya selaku pemimpin efektif seantero Jazirah
Arab bagian Selatan. Kisah hidup beliau yang sangat me-
nyedihkan, dengan kehilangan orang tua di masa kanak-kanak
telah membentuk Muhammad SAW menjadi pribadi yang
kuat, pantang menyerah dan sangat jujur.
Muhammad SAW adalah orang pertama dalam sejarah
yang berkat dorongan kuat keimanannya kepada Tuhan,
memimpin pasukan Arab yang kecil sehingga sanggup me-
lakukan serentetan penaklukan yang mencengangkan dalam
sejarah manusia. Di sebelah Timur laut Arab berdiri ke-
kaisaran Persia Baru Sassanids yang luas. Di Barat laut Arab
berdiri Byzantine atau kekaisaran Romawi Timur, dengan
Konstantinopel sebagai pusatnya. Di tilik dari sudut jumlah
dan ukuran jelas orang Arab (muslim) tidak bakal mampu
menghadapinya. Namun di medan pertempuran pasukan Arab
(muslim) yang membara semangatnya dengan sapuan kilat
Ernita Dewi, M.Hum
~23
dapat menaklukkan Mesopotamia, Syria, dan Palestina. Pada
642 M, Mesir direbut dari genggaman kekaisaran Byzantine
dan sementara bala tentara Persia ditaklukkan dalam per-
tempuran yang amat menentukan di Qadisiya pada tahun 637
M serta di Nehavend pada tahun 642 M.
Di bawah pimpinan para sahabat nabi penggantinya
yaitu, Abu Bakar dan Umar Ibn Khattab, pada 711 M, pasukan
Arab (muslim) telah menyapu habis Afrika Utara hingga ke
tepi Samudera Atlantik. Dari situ mereka membelok ke Utara
dan menyeberangi Selat Gibraltar dan melabrak kerajaan
Visigotic di Spanyol.
Hanya dalam secuil abad, pertempuran orang-orang
muslim yang dijiwai oleh ucapan-ucapan Nabi Muhammad
SAW, telah mendirikan sebuah Emperium membentang dari
perbatasan India hingga Pasir Putih di tepi Pantai Samudra
Atlantik. Sebuah Emperium terbesar yang pernah dikenal
sejarah manusia, dan di manapun penaklukan yang dilakukan
oleh muslimin selalu disusul dengan berbondong-bondong
pemeluk Agama Islam, ditambah lagi Nabi Muhammad SAW
adalah pencatat kitab suci al-Quran, kumpulan wahyu Allah
SWT, yang terhimpun dalam bentuk yang tak tergoyahkan, tak
lama setelah beliau wafat. Al-Quran dengan demikian ber-
kaitan erat dengan pandangan-pandangan Muhammad SAW
serta ajaran-ajarannya ( Agustian, 2001 : 101).
Lebih jauh lagi menurut Michael Hart, Muhammad SAW
bukan semata pemimpin agama tetapi juga pemimpin
duniawi. Fakta menunjukkan Muhammad SAW menjadi
motivator terhadap gerakan penaklukan yang dilakukan
bangsa Arab (muslimin), pengaruh kepemimpinan politik
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 24
Muhammad SAW berada dalam posisi terdepan sepanjang
waktu. Michael Hart melihat adanya kombinasi yang tak
terbandingkan antara segi agama dan segi duniawi yang
melekat pada pengaruh diri Nabi Muhammad SAW, sehingga
Hart menganggap Muhammad SAW dalam arti pribadi, adalah
pemimpin yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia.
Kepemimpinan Muhammad SAW sangat berpengaruh
dalam peradaban manusia, beliau juga dikenal sebagai
pemimpin yang sangat dicintai oleh umatnya, sang Nabi
penutup yang lebih memilih Inner Beauty dalam kese-
hariannya, dan bukan hanya menampilkan sikap-sikap
kamuplase untuk sekedar menarik perhatian dan simpati
orang lain. Salah satu sifat Nabi Muhammad SAW, sebagai-
mana dituliskan dalam buku sejarah hidup Nabi Muhammad
SAW adalah: yang menambah dakwah itu berkembang se-
benarnya karena teladan yang diberikan oleh Nabi
Muhammad SAW sangat baik sekali, dengan memberikan hak
kepada setiap orang, pandangannya kepada orang yang
lemah, terhadap yatim piatu, orang yang sengsara, dan miskin
adalah pandangan seorang bapak yang penuh kasih, lemah
lembut dan mesra ( Haekal, 2000 : 90).
Pola kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sangat jauh
dari kesan glamor dan kemewahan, beliau hidup dalam situasi
penuh kesederhanaan bahkan terkadang memprihatinkan.
Seringkali beliau tidak makan, tapi itu tidak membuat beliau
menjadi lemah dalam kepemimpinannya. Nabi Muhammad
SAW tidak pernah menangis karena tidak hidup dalam ke-
mewahan, beliau justru menangis ketika mengingat nasib
umatnya di masa mendatang. Konsentrasinya pada ke-
Ernita Dewi, M.Hum
~25
selamatan umat terkadang membuat beliau melupakan
kesenangan pribadinya. Sikapnya yang adil dalam memimpin
membuat siapapun merasa terlindungi, perlakuan yang sama
beliau berikan untuk semua orang, baik muslim maupun non
muslim, sehingga tidak mengherankan apabila beliau di utus
ke dunia ini sebagai Rahmatan Lil ‘alamin.
Sikap rahman dan rahim-Nyalah yang menjadi
landasan dasar bagi awal perjuangannya. Sikap ini terbukti
efektif untuk membangun suatu pengaruh dan sebagai tangga
pertama kepemimpinannya. Nabi Muhammad SAW telah
melalui tangga ini untuk menjadi seorang pemimpin yang
dicintai. Beliau juga seorang yang sangat jujur, sehingga di-
juluki “al-amin” atau orang yang sangat dipercaya.
Contoh lain dari keluhuran budinya dapat dilihat dari
penampilannya sehari-hari, bila ada seorang yang
mengajaknya berbicara, ia akan mendengar dengan hati-hati
sekali, tanpa menoleh kepada orang lain. Tidak hanya
mendengarkan kepada yang mengajaknya berbicara, bahkan
ia memutarkan seluruh tubuhnya. Bicaranya sedikit sekali,
lebih banyak mendengarkan. Bila berbicara selalu ber-
sungguh-sungguh, tetapi meskipun begitu ia tidak lupa ikut
membuat humor dan bersenda gurau, dan yang dikatakannya
selalu yang sebenarnya. Kadang ia tertawa sampai terlihat
gerahamnya. Semua itu terbawa karena kodratnya yang selalu
lapang dada dan selalu menghargai orang lain. Nabi
Muhammad pemimpin yang bijaksana, adil, murah hati dan
mudah bergaul ( Haekal, 2000 : 67).
Contoh dari sikapnya yang selalu adil dan bijaksana
dapat diketahui dari sebuah kisah berikut ini: hampir terjadi
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 26
perang saudara di Quraisy, ketika dua kelompok berselisih
tentang siapa yang mendapat kehormatan untuk meletakkan
batu Hajar Aswad di tempatnya. Tatkala mereka melihat Nabi
Muhammad SAW adalah orang pertama yang memasuki
tempat itu, mereka berseru: “Ini, Al-Amin; Kami dapat me-
nerima keputusannya”. Nabi Muhammad SAW diminta untuk
membuat sebuah keputusan. Ia berpikir sebentar, lalu kata-
nya: kemarikan sehelai kain, setelah kain dibawakan, di-
hamparkannya dan diambilnya batu itu, lalu diletakkannya
batu itu dengan tangannya sendiri, kemudian katanya:
hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini.
Mereka (yang berselisih) bersama-sama membawa kain ter-
sebut ke tempat batu yang akan diletakkan itu. Lalu
Muhammad SAW mengeluarkan batu itu dan meletakkan di
tempatnya. Dengan demikian perselisihan itu berakhir dan
bencana dapat dihindarkan ( Haekal, 2000 : 69).
Inilah contoh sifat seorang pemimpin yang adil dan
bijaksana, sebuah titik tolak sebelum dia meniti tangga ke-
pemimpinan berikutnya. Pada tahap ini, pengikutnya akan
merasa senang untuk berada didekatnya dan merasa akan me-
ngikuti karena mereka merasakan perhatian, kasih sayang dan
kejujuran Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW mampu
menunjukkan kepedulian sosial, dengan ketulusan hatinya.
Dia mampu memupuk hubungan yang baik dengan para
sahabat dan lingkungan sosialnya.
Seorang pemimpin yang memiliki integritas tinggi
adalah orang-orang yang dengan penuh keberanian, berusaha
tanpa kenal putus asa untuk dapat mencapai apa yang dicita-
citakan. Cita-cita yang dimiliki itu mampu mendorong dirinya
Ernita Dewi, M.Hum
~27
untuk tetap konsisten dengan langkah-langkahnya. Ketika
seseorang mencapai tingkat ini, maka orang lain akan melihat
bagaimana aspek mulkiyah’ yaitu komitmen orang tersebut,
sehingga orang akan menilai dan memutuskan untuk
mengikuti atau tidak mengikuti. Integritas akan membuat se-
orang pemimpin dipercaya, dan kepercayaan ini akan men-
ciptakan pengikut. Untuk kemudian terbentuk sebuah ke-
lompok yang memiliki satu tujuan.
Integritas adalah kejujuran, integritas berarti tidak
pernah berbohong dan integritas adalah kesesuaian antara
kata-kata dan perbuatan, yang menghasilkan kepercayaan.
Ketika pertama kali menerima wahyu, Nabi Muhammad
merasa sangat bingung, siapa yang akan diajak, maka sudah
sewajarnya Khadijah sebagai istri dan orang terdekatnya,
percaya dan mengikuti Nabi Muhammad SAW. Lalu Khadijah
menyatakan beriman atas kenabian itu. Inilah hadiah dari
kepercayaan orang lain yang diperoleh karena sikap jujur
Nabi Muhammad SAW, yang dijuluki Al Amin itu (Haekal,
2000: 84)
Selanjutnya Nabi Muhammad SAW menghadapi
tantangan yang sangat berat, ketika pertama kali harus me-
luruskan akhlak kaum Quraisy, yang terkenal sangat keras dan
kukuh berpegang pada berhala sembahan peninggalan nenek
moyang mereka. Dalam kondisi berat seperti ini Muhammad
SAW dapat menunjukkan sikap keberanian dan pengor-
banannya demi menegakkan kebenaran dan menciptakan
suatu perubahan. Dia sungguh-sungguh berjuang dan berani
menanggung resiko. Keberanian ini pula yang mem-bentuk
kepercayaan dari para pengikutnya kelak.
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 28
Ketika semua kerabatnya dekat Nabi Muhammad SAW
diajak untuk menyembah Allah SWT, maka Abu Thalib
menyetop pembicaraannya dan mengajak orang-orang pergi
meninggalkan Muhammad SAW sendiri,, dan dengan tiba-tiba
seorang anak kecil bangkit, “Rasulullah saya akan mem-
bantumu, saya akan lawan siapa saja yang kau tentang”. Anak
kecil itu adalah Ali bin Abi Thalib R.A (Haekal, 2000 : 92).
Sikap Nabi Muhammad SAW yang konsisten dan tidak me-
ngenal putus asa merupakan persyaratan penting untuk men-
jadi pemimpin yang dapat dipercaya.
Nabi Muhammad SAW dengan terang-terangan men-
cela berhala kaum Quraisy. Pemuka-pemuka bangsawan
Quraisy dengan diketuai Abu Sofyan bin Harb pergi menemui
Abu Thalib (paman yang selalu melindungi Muhammad
SAW).” Hai Abu Thalib”, kata mereka”, kemenakanmu sudah
memaki berhala-berhala kita, mencela agama kita, tidak
menghargai harapan-harapan kita, dia harus kamu hentikan,
kalau tidak kami sendiri yang akan menghadapinya, kemudian
dimintanya Muhammad SAW datang oleh Abu Thalib, dan
diceritakan maksud seruan Quraisy. Lalu katanya (Abu
Thalib): jagalah aku, begitu juga dirimu. Jangan aku dibebani
dengan hal-hal yang tak dapat kupikul. Dengan jiwa penuh
kekuatan dan kemauan teguh Muhammad SAW menoleh
kepada pamannya seraya berkata : “paman, demi Allah, kalau-
pun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan me-
letakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku
meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan aku tinggalkan,
biar nanti Allah yang membuktikan kemenangan itu: di
tanganku atau aku binasa karenanya” (Haekal, 2000 : 97).
Ernita Dewi, M.Hum
~29
Pernyataan Muhammad SAW ini menunjukkan citra
dirinya sebagai pemimpin sejati, pemimpin yang memiliki
prinsip, dan prinsip inilah yang akan menciptakan
kepercayaan dan pengaruh yang luar biasa dari pengikutnya.
Pada suatu ketika Utba berbicara kepada Nabi
Muhammad SAW, orang Quraisy ini menawarkan harta,
pangkat, bahkan kedudukan sebagai raja kepada Nabi
Muhammad SAW. Namun Nabi Muhammad SAW menjawab
dengan membacakan surat As Sajadah, Utba diam men-
dengarkan kata-kata yang begitu indah: “Alif Lam Miim,
Turunnya al-Quran yang tidak ada keraguan padanya, dan
Tuhan semesta alam. Tetapi mengapa mereka mengatakan:
Dia Muhammad mengada-ngadakannya. Sebenarnya Al-Quran
adalah kebenaran dari Tuhanmu, agar kamu memberi
peringatan kepada kaum yang belum datang kepada mereka
orang yang memberi peringatan sebelum kamu mudah-
mudahan kamu mendapat petunjuk” (QS. As-Sajadah ayat
1.2.3).
Utba sekarang melihat laki-laki yang berdiri di
hadapannya bukanlah lak-laki yang didorong oleh ambisi
harta, kedudukan atau kerajaan, melainkan seseorang yang
mau menunjukkan kebenaran, mengajak orang kepada
kebaikan (Haekal, 2000 : 105). Muhammad SAW memper-
tahankan sesuatu dengan cara yang baik dan kata-kata yang
penuh mukjizat. Inilah contoh pemimpin yang bisa dipercaya,
memegang teguh prinsip, tidak tergoda oleh rayuan harta atau
kedudukan, yang akan menghancurkan dan menarik
kepercayaan yang telah diperolehnya dan para pengikutnya.
Bahkan Nabi Muhammad SAW mampu menolak tawaran
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 30
tersebut dengan cara yang mempesona. Begitulah contoh
seorang pemimpin yang memiliki integritas (Agustian, 2001 :
106).
Sikap kepemimpinan Muhammad SAW sangat berbeda
dengan pemimpin di zaman sekarang ini, yang integritas
mereka sangat rapuh oleh godaan harta dan kekuasaan.
Pemimpin sekarang secara tersembunyi atau terang-terangan
menerima dengan tangan terbuka bila ada tawaran uang atau
harta benda lainnya oleh seseorang, walaupun itu menyalahi
sumpah jabatan dan amanah yang telah dipercayakan oleh
masyarakat kepadanya.
Seorang pemimpin ideal harus dapat menjadi pem-
bimbing bagi yang dipimpinnya. Keberhasilan seorang pe-
mimpin tidak saja dilihat dari kekuasaannya, tetapi juga
karena kemampuannya memberikan motivasi dan kekuatan
kepada orang lain. Seorang pemimpin dikatakan gagal apabila
tidak berhasil memiliki penerus, dan pada tahap inilah puncak
loyalitas dari pengikutnya akan terbentuk.
Rasulullah sering memberikan nasehat, petunjuk, serta
contoh kepada para sahabatnya untuk membimbing mereka
guna mencapai kebahagiaan. Beliau telah menyampai-kan
nasehat-nasehat yang berharga kepada tokoh-tokoh sahabat
yang terkemuka dan terdekat dengan beliau, seperti halnya Ali
bin Abi Thalib R.A dan Abu Hurairah R.A Ali bin Abi Thalib R.A
adalah kader pertama yang dibimbingnya sejak kecil.
Akhirnya Ali bin Abi Thalib R.A berhasil menjadi pemimpin
besar dalam sejarah perkembangan Islam yang sangat
disegani dan dihormati serta memiliki pengaruh yang sangat
kuat, sedangkan Abu Hurairah R.A amat menonjol sebagai ahli
Ernita Dewi, M.Hum
~31
hadis Rasullulah dan telah merawi hadis tidak kurang dari
5364 buah hadis (Firdaus, 2000 : 26).
Hampir semua nasehat, contoh-contoh perilaku Nabi
Muhammad SAW diabadikan dalam Haditsnya. Hingga saat ini
pemikiran itu tetap abadi dan terdelegasi, sampai kita semua
tetap bisa memperoleh bimbingannya. Meski sudah berusia
1400 tahun lamanya. Inilah contoh bimbingan dan metode
pendelegasian yang sempurna dari Nabi Muhammad SAW se-
hingga pengaruhnya masih tetap kuat hingga kini. Oleh karena
itu dengan sangat cepat Rasul Allah ini menjadi perhatian
dunia dan mampu mengubah moralitas dunia yang telah
kehilangan jati dirinya pada saat itu, dengan akhlakul karimah
sebagai pancaran sifat Ilahiyah.
Seorang pemimpin tidak akan berhasil memimpin
orang lain apabila ia belum berhasil memimpin dirinya
sendiri. Pemimpin harus sudah pernah menjelajahi dirinya
sendiri dan mengenali secara mendalam siapa dirinya, se-
belum dia memimpin keluar. Pekerjaan yang paling berat
adalah memimpin diri sendiri dalam melawan hawa nafsu,
dan musuh yang paling berat sebenarnya adalah diri sendiri.
Seorang pemimpin harus mengenali siapa lawan dan siapa
kawan di dalam dirinya. Tanpa pengetahuan tentang hal ini
maka dia akan menjadi budak dari pemikiran yang di ciptakan
sendiri.
Kisah pertarungan antara perang melawan diri sendiri
dan perang melawan musuh dialami oleh Nabi Muhammad
SAW beserta pengikutnya pada saat terjadinya perang Badar.
Peristiwa itu terjadi pada hari kedelapan bulan Ramadhan
tahun ke-2 Hijriah. Nabi Muhammad SAW, ketika para sahabat
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 32
meninggalkan Madinah. Mereka berangkat untuk berperang
melawan kaum musyrik Quraisy yang selalu mnginjak-nginjak
eksistensi orang muslim. Jumlah kaum muslimin hanya 350
orang dan mereka mengenderai unta yang hanya 70 ekor
secara bergantian. Termasuk Rasulullah SAW bersama dengan
Ali bin Abi Thalib R.A Marthad bin Marthad al-Gharawi,
bergantian naik seekor unta (Haekal, 2000 : 245). Hal ini
sangat menggugah pemikiran kita, bahwa Nabi Muhammad
SAW sebagai pemimpin besar masih rela bergantian naik unta
bersama sahabatnya, suatu sikap yang mungkin tidak kita
ketemukan lagi pada pemimpin zaman sekarang.
Setelah mereka mendekati mata air, Nabi Muhammad
SAW berhenti, lalu Hudab bin Mundhir seorang pasukan
muslim yang paling banyak mengenal tempat tersebut
bertanya pada Rasulullah, bagaimana pendapat tuan berhenti
di tempat ini? Kalau ini sudah wahyu Tuhan kita tidak akan
maju atau mundur selangkahpun dari tempat ini. Ataukah ini
pendapat tuan sendiri, atau suatu taktik belaka?. Sekedar
pendapat dan taktik perang, jawab Muhammad SAW,
Rasulullah kata Hudab lagi, Kalau begitu tidak tepat kita
berhenti di sini. Mari kita pindah sampai ke dekat mata air
yang paling dekat dengan musuh, lalu sumur-sumur yang
kering di belakang kita timbun. Selanjutnya kita buat kolam
dan kita isi air sepenuhnya, barulah kita hadapi mereka
berperang, kita akan mendapat air minum, mereka tidak
(Haekal, 2000 : 250).
Melihat saran yang begitu tepat itu, Muhammad dan
rombongannya secara cepat pula bersiap-siap mengikuti
pendapat temannya itu. Begitulah sebuah teladan dari sikap
Ernita Dewi, M.Hum
~33
demokratis Nabi Muhammad SAW, dimana dia mampu men-
dahulukan dan mendukung pendapat dari salah satu anak
buahnya di muka para pengikutnya, meskipun dia adalah
seorang Rasul yang sangat disegani. Nabi mengutus kurir
untuk mengumpulkan informasi dari sebuah tempat di Badar.
Mereka tidak berhasil mengetahui jumlah bala tentara pihak
Quraisy. Di tanya lagi kurir tersebut oleh Muhammad: Berapa
ekor ternak yang dipotong tiap hari? Kadang-kadang sehari
sembilan kadang sehari sepuluh ekor, jawab mereka. Dengan
demikian Nabi dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka
terdiri dari 900 sampai 1000 orang. Juga dari kedua kurir itu
diketahui bahwa bangsawan-bangsawan Quraisy ikut serta
memperkuat diri. Lalu katanya kepada sahabat–sahabatnya:
Lihat, sekarang Mekkah (musuh) sudah menghadapkan semua
bunga-bunga bangsanya kepada kita (Haekal, 2000 : 248).
Kalimat itu memberikan dorongan semangat kepada
para sahabat mengingat jumlah lawan jauh lebih besar dan
dengan perlengkapan yang lebih baik. Mereka harus siap
menghadapi peperangan sengit dan dahsyat yang takkan
dapat dimenangkan kecuali oleh iman yang kuat akan adanya
kemenangan. Inilah kemenangan yang pertama, sebelum
peperangan sesungguhnya dimulai yaitu peperangan melawan
diri sendiri, ketika menghadapi dan mengalahkan rasa takut
melihat lawan yang jumlahnya tiga kali lebih kuat.
Pada Jumát pagi 17 Ramadhan kedua pasukan
berhadap-hadapan. Nabi Muhammad SAW sendiri yang tampil
berada di garis terdepan mengatur barisan untuk menyerang
musuh. Dilihatnya pasukan Quraisy yang begitu besar
jumlahnya, sedangkan anak buahnya sedikit sekali, jiwa Nabi
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 34
Muhammad SAW begitu kuat, yang telah diberikan oleh Allah
SWT, begitu tinggi melampaui segala kekuatan, yang telah
tertanam pula dengan ajarannya ke dalam jiwa orang-orang
beriman. Kekuatan mereka sudah melampaui semangat
mereka sendiri. Setiap orang dari mereka sama dengan dua
orang, bahkan sama dengan sepuluh orang.
Muhammad SAW mengambil segenggam pasir,
dihadapkan ke orang Quraisy. Celakalah wajah-wajah mereka!
katanya sambil menaburkan pasir itu ke arah mereka. Lalu
memberi komando serbu. Serentak pihak muslimin menyerbu
ke depan. Jiwa mereka sudah penuh terisi oleh semangat dari
Tuhan. Malaikat maut sibuk memunguti nyawa dari leher
orang-orang Quraisy (Haekal, 2000: 257). Ternyata ke-
menangan berada di pihak orang Islam. Inilah Perang Badar
yang kemudian memberi contoh kepada umat Islam tentang
kepemimpinan Muhammad SAW sebagai pemimpin yang telah
membuktikan dirinya bahwa kata-katanya sungguh sesuai
dengan pelaksanaannya di lapangan. Nabi Muhammad SAW
tidak hanya seorang pemimpin yang dicintai, dipercaya, pem-
bimbing tetapi juga pemimpin yang berani. Di akhir perang
Badar yang dahsyat Itu Muhammad SAW berpesan, sebuah
pesan yang sangat terkenal. Kita baru saja menghadapi
peperangan yang berat, dan peperangan yang sangat berat
sesungguhnya adalah perang melawan hawa nafsu. Dan
perang inilah yang kita hadapi sekarang, yaitu perang
melawan diri sendiri ( Agustian, 2001 : 111).
Sifat ajaran Nabi Muhammad SAW adalah intelektual
dan spiritual. Prinsipnya adalah mengarahkan orang kepada
kebenaran, kebaikan, kemajuan, dan keberhasilan. Metode
Ernita Dewi, M.Hum
~35
ilmiah seperti itu adalah yang terbaik yang pernah ada di
muka bumi. Khususnya di bidang kepemimpinan dan akhlak,
yang mampu memberikan kemerdekaan berpikir dan tidak
menentang kehendak hati nurani yang bebas, tidak ada unsur
pemaksaan yang menekan perasaan.
Semua yang dipraktikkan dalam tindakan Muhammad
SAW terasa begitu sesuai dengan suara hati, dan cocok dengan
martabat kehormatan manusia. Sangat menjunjung tinggi hati
dan pikiran manusia, sekaligus membersihkan belenggu yang
senantiasa membuat orang menjadi buta. Dialah sebenarnya
guru dari kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual.
Muhammad SAW adalah pemimpin abadi yang pe-
ngaruhnya tetap akan dikenang sepanjang masa. Beliau telah
meletakkan dasar yang kokoh bagi pembangunan peradaban
baru manusia di bumi yang sesuai dengan fitrah manusia.
Ungkapan cermin dari kesucian hati Rasulullah SAW
terungkap dalam kisah yang diambil oleh Ali bin Abi Thalib
r.a ketika ia bertanya kepada Rasulullah, dan Rasul
menjawab:
Ma’rifat adalah modalku
Akal pikiran adalah sumber agamaku
Rindu kendaraanku
Berzikir kepada Allah Kawan dekatku
Keteguhan perbendaharaanku
Duka adalah kawanku
Ilmu adalah senjataku
Ketabahan adalah pakaianku
Kerelaan sasaranku
Faqr adalah kebanggaanku
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 36
Menahan diri adalah pekerjaanku
Keyakinan makananku
Kejujuran perantaraanku
Ketaatan adalah ukuranku
Berjihad perangaiku
Dan hiburanku adalah sembahyangku (Haekal, 2000 :
241).
Kata-kata Nabi Muhammad SAW ini berisikan kunci
dari semua landasan tentang kepemimpinan, sehingga dia
berhasil mencapai puncak tangga tertinggi kepemimpinannya.
Nabi Muhammad SAW berhasil memimpin dunia dengan
suara hatinya, dan diikuti oleh suara hati pengikutnya.
Muhammad SAW bukan hanya seorang pemimpin manusia,
namun dia adalah pemimpin segenap hati manusia, ia adalah
pemimpin abadi yang paling ideal.
B. Kepemimpinan Khulafaurrasyidin
1. Khalifah Abubakar Ash Shiddiq R.A
Abu Bakar lahir pada 751 dan menjadi khalifah pada
usia 61 tahun. Beliau terpilih berdasarkan suara terbanyak
dalam sidang di Saqifah Banu Saidah. Jabatan Khalifah dijabat
hanya 2 tahun (632-634) kemudian beliau wafat karena sakit
( Syafiie, 1996 : 432)
Sebagaimana konvensi negara-negara demokrasi
dewasa ini, kepala-kepala pemerintahan memulai jabatannya
dengan sebuah pidato pelantikan. Hal ini dikarenakan negara-
negara demokrasi tersebut menghendaki rakyat sebagai
kedaulatan tertinggi, sehingga dengan pidato pelantikan
diharapkan merupakan janji penguasa kepada rakyatnya.
Ernita Dewi, M.Hum
~37
Hal itu juga dilakukan oleh Abu Bakar R.A, beliau
memulai detik kepemimpinannya dengan pidato pertama
sebagai khalifah setelah Bai’at, berikut isi pidato pelantikan
Abu Bakar R.A : Kemudian saudara-saudara, saya sudah
dijadikan sebagai pemimpin atas kamu sekalian, dan saya
bukanlah orang yang terbaik di antara kamu. Kalau saya
berlaku baik bantulah. Kebenaran adalah suatu kepercayaan
dan dusta adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di
kalangan kamu adalah kuat di mata saya, sesudah haknya
nanti saya berikan, Insya Allah, dan orang yang kuat buat saya
adalah orang yang lemah sesudah haknya itu saya ambil, insya
Allah. Apabila ada golongan yang meninggalkan perjuangan di
jalan Allah maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada
mereka. Apabila kejahatan itu meluas pada suatu golongan,
maka Allah akan menyebarkan bencana pada mereka. Taatilah
saya selama saya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi
apabila saya melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya maka
gugurkanlah kesetiaanmu kepada saya. Laksanakanlah shalat-
mu, Allah SWT akan merahmati kamu sekalian ( Syafiie, 1996:
432-433).
Pidato pelantikan Abu Bakar R.A menyiratkan sifat
demokratis, tegas, dan bijaksana untuk menjalankan ke-
pemimpinan yang telah diamanatkan kepadanya. Apabila kita
runtut maka ada beberapa hal yang patut dicatat dari isi
pidatonya, antara lain :
a. Ucapan kesediaan beliau untuk tidak diikuti apabila
melanggar perintah Allah dan Rasul, menunjukkan
kerelaan untuk disanggah umat (pendemokrasian)
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 38
b. Ucapan “ orang yang paling kuat ” dimaksudkan untuk
orang yang memiliki kekayaan adalah orang yang
lemah di mata Abu Bakar (artinya dalam hal membayar
pajak untuk kelangsungan negara), menunjukkan ke-
tegasan.
c. Ucapan yang sarat dengan makna filosofis, kebenaran
sebagai suatu kepercayaan dan dusta sebagai suatu
pengkhianatan, menunjukkan sikap kebijaksanaan
(Syafiie, 1996 : 433).
Sebagai Kepala Pemerintahan beliau berpesan kepada
para panglima-panglimanya sebagai berikut: Janganlah kamu
mengabaikan pasukanmu lalu mereka menjadi rusak, dan
jangan kamu mata-matai lalu mereka jahat, dan jangan kamu
membuka rahasia orang lain, dan cukuplah diperhatikan yang
kelihatan dari mereka.
Berkaitan dengan prinsip-prinsip pengadilan yang
dipegang oleh hakim-hakim muslim, khalifah mengatakan:
sekiranya saya melihat seorang laki-laki melakukan perbuatan
yang harus diberi hukuman had, saya akan menghukumnya
sebelum ada seorang saksi lain yang menyaksikannya. Had
adalah hukuman karena menyamun (merampok), mencuri
(mencopet), berzina, meminum-minuman keras, dan lain-lain
(Syafiie, 1996: 434).
Penggunaan pajak pada masa kekhalifahan Abu Bakar
dikumpulkan dalam kas negara (Baitul Mal), dan diberikan
bagi yang berhak menerima dengan cara yang benar, misalnya
pajak diberikan pada fakir miskin, dan anak yatim. Baitul Mal
adalah amanat Allah SWT, dan masyarakat kaum muslimin.
Karena itu, mereka tidak mengizinkan pemasukan sesuatu ke
Ernita Dewi, M.Hum
~39
dalamnya atau pengeluaran sesuatu darinya yang ber-
lawanan dengan apa yang telah ditetapkan dengan syariat.
Keteladanan Khalifah Abu Bakar R.A terhadap Baitul
Mal menjelang wafatnya dapat dilihat ketika beliau menyuruh
menghitung apa yang telah diterimanya dari Baitul Mal, lalu
dikembalikannya dengan hartanya, ia berkata kepada putri-
nya Aisyah R.A :
Apabila saya mati maka kembalikanlah kepada mereka
piring-piring mereka, hamba sahaya, unta, gilingan gandum,
selimut yang memeliharaku dari dingin dan alas tidur yang
memeliharaku dari kotoran tanah, serta isi alas tidur itu
terdiri dari daun kurma ( Syafiie, 1996 : 434).
Pola kepemimpinan Abu Bakar R.A berpedoman
kepada model kepemimpinan Muhammad SAW. Abu Bakar
R.A menjadikan kepemimpinan sebagai amanah berat yang
harus dijalankannya. Abu Bakar menunjukkan sikap seorang
pemimpin yang demokratis, siap dikritisi dan ditegur bila
beliau salah dalam memimpin. Kesederhanaan hidup juga
ditampilkan dalam kepemimpinan Abu Bakar R.A, hal itu bisa
diketahui dari keseharian hidupnya sebagai khalifah tidak
memiliki istana dan kemewahan, sebagaimana yang di-
perlihatkan oleh pemimpin-pemimpin zaman sekarang ini.
Abu Bakar R.A juga dikenal sangat jujur dan istiqamah dalam
memegang setiap amanah, dan ini menjadi bekal bagi
kesuksesan kepemimpinannya.
2. Khalifah Umar Ibnu Al Khattab R.A
Umar bin Khattab R.A lahir pada tahun 586 Masehi.
Kemudian menjadi pimpinan pemerintahan Islam (setingkat
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 40
presiden) yang berpusat di kota Madinah Al-Munawarah
selama 10 tahun, yaitu dari tahun 634 M sampai dengan tahun
644 Masehi. Beliau terpilih menggantikan Abu Bakar ber-
dasarkan suksesi dari pendahulunya ( Syafiie, 1996 : 435).
Umar R.A menjadi muslim karena menyaksikan ke-
benaran Islam itu sendiri berlandaskan logikanya, oleh karena
itulah beliau dikenal dengan gelar “Al Faruq” yang berarti
Sang Pembeda antara yang benar dan yang bathil. Tepatnya
beliau memulai perenungan Islam setelah mendengar adik
kandungnya membaca surat Thaha tentang ilmu pengetahuan.
Meskipun beliau pernah menyaksikan kebrutalan
budaya Arab Jahiliyah dengan menguburkan hidup-hidup
bayi-bayi perempuan, Umar R.A sendiri tidak pernah me-
lakukan hal tersebut, oleh sebab itu putrinya Hafsah selamat
terlindungi sampai berusia dewasa, yang kemudian menjadi
istri Rasulullah SAW ( Syafiie, 1996 : 435).
Sebagaimana hal Abu Bakar, Khalifah Umar r.a. pun
mempunyai pidato-pidato kenegaraan yang sangat terkenal
antara lain :
Pidato di depan Majelis Permusyawaratan waktu
beliau menyampaikan tentang politik kekhalifahan yaitu : Aku
tidak mengumpulkan kamu sekalian melainkan agar kamu
dapat bersama-sama memikul amanat yang dipikulkan kepada
aku dalam urusan kamu, sebab aku hanyalah orang seperti
salah seorang di antara kamu dan sekarang kamu dapat
memutuskan kebenaran, baik akan ditentang oleh siapa yang
menentangku atau disetujui oleh siapa yang menyetujuiku,
dan aku sekali-kali tidak mempunyai keinginan agar kamu
mengikuti hawa nafsuku dalam hal ini (Syafiie, 1996 : 435).
Ernita Dewi, M.Hum
~41
Tentang tunjangan bagi kepala pemerintahan yang
diperoleh dari kas negara Baitul Mal beliau mengatakan :
Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan
dua potong pakaian musim panas, dan sepotong pakaian
musim dingin, dan uang yang cukup untuk hidup sehari-hari
seorang di antara orang Quraisy yang biasa, dan setelah itu
aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin
lainnya.
Selanjutnya Khalifah Umar R.A mengatakan :
Harta ini tidaklah sah kecuali dengan tiga hal , yaitu
diambil dengan kebenaran, diberikan dengan kebenaran, dan
dicegah dari kebatilan. Sesungguhnya kedudukanku ber-
kenaan dengan hartaku ini bagai seorang wali anak yatim.
Kalau aku tidak mengambil sesuatu dari padanya, tapi bila aku
miskin, aku akan makan daripadanya secukupnya”.
Kepada orang yang wajib membayar pajak Umar R.A
mengatakan:
Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada suatu hak bagi
siapapun untuk ditaati dalam suatu perbuatan maksiat. Kamu
sekalian memiliki beberapa hak atas diriku yang akan kujalani
dan kupegang teguh. Aku berjanji tidak akan memungut pajak
atas hasil karunia yang kamu peroleh dari Allah kecuali
dengan jalan yang sebenarnya, dan kamu sekalian berhak
mencegah aku mengeluarkan sesuatu yang telah berada di
tanganku kecuali dengan haknya ( Syafiie, 1996 : 436).
Ketika Umar Ibnu Khatab R.A melantik para pejabat di
bawah kepemimpinannya beliau berpesan, aku tidak me-
ngangkat kamu sebagai petugas atas umat Muhammad SAW,
agar kamu dapat menguasai perasaan dan kepribadian
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 42
mereka tetapi aku mengangkatmu sebagai pejabat atas
mereka untuk mendirikan salat bersama mereka, mengadili
dengan kebenaran di antara mereka dan membagi dengan adil
untuk mereka.
Lebih lanjut Umar R.A mengingatkan, bertaqwalah
kamu kepada Allah dalam rahasia dirimu dan ucapan-ucapan-
mu, dan hendaklah kamu malu kepadanya, sebab Allah me-
lihatmu dan melihat perbuatanmu. Jadilah kamu di antara
orang-orang yang bekerja untuk akhirat mereka dan
tunjukkanlah segala tindakanmu demi mencari ridha Allah.
Jadilah kamu seorang ayah yang penuh kasih saya terhadap
semua orang yang berada di bawah kepemimpinanmu. Jangan
membuka rahasia mereka dan cukuplah dirimu dengan apa
yang mereka beberkan sendiri kepada manusia. Perbaikilah
dirimu, niscaya rakyatmu akan memperbaiki dirinya untuk-
mu.”
Untuk menentukan syarat-syarat bagi orang yang akan
menjabat sebagai gubernur / wali negeri dan petugas-petugas
yang diutus waktu itu, Khalifah Umar R.A melaksanakan
dengan cara sebagai berikut :
Khalifah Umar Ibnu Khatab R.A berkata : Tunjukkanlah
kepada saya seorang laki-laki yang akan saya angkat. Mereka
(sahabat-sahabatnya) balik bertanya : Apa syarat-syarat yang
harus dipunyai orang itu? Jawabannya : Apabila dia berada
dalam suatu kaum sedang dia bukan pemimpinnya maka
seolah-olah dia memperlihatkan sifat-sifat kepemimpinan
(penuh prakarsa dan loyalitas), dan apabila dia menjadi
pemimpin mereka maka dia seolah-olah salah seorang dari
mereka (terjun langsung ke lapangan) ( Syafiie, 1996 : 437).
Ernita Dewi, M.Hum
~43
Pada kesempatan yang lain Khalifah Umar R.A
menyampaikan : Aku tak ingin mengejutkan kalian, aku hanya
ingin agar kalian berpartisipasi di dalam amanatku, berkenaan
dengan urusan kalian yang aku pikul...., bagi kalian yang tidak
sependapat silakan membantuku dan bagi kalian yang
sependapat silahkan bersepakat denganku. Di sisi kalian ada
sebuah Kitab yang berbicara benar. Sekiranya aku ingin
berbicara sesuatu hal yang aku inginkan, sungguh aku tak
menginginkan kecuali kebenaran.
Mengkaji statemen Umar R.A dalam setiap pidato-
pidatonya, Muhammad Abdul Qadir Fars memilahkan pidato
tersebut pada empat unsur penting yaitu : keadilan,
persamaan, ketaatan, dan permusyawaratan.
Khalifah Umar R.A melakukan pengawasan terhadap
aparatur negara dalam bentuk sebagai berikut :
Pada suatu hari beliau berkata kepada orang-orang di
sekelilingnya: “bagaimana pendapatmu, apabila saya me-
ngangkat menjadi pemimpinmu orang yang terbaik menurut
pendapat saya, lalu saya menyuruhnya berlaku adil, apakah
dengan demikian saya telah menunaikan kewajiban saya?
mereka menjawab: sudah! Umar R.A berkata: Belum,
sehingga saya melihat kerjanya, apakah dia mengerjakan apa
yang saya perintahkan atau tidak?
Umar R.A merupakan figur pemimpin yang selalu ber-
musyawarah ketika hendak memutuskan sesuatu,
sebagaimana dikisahkan oleh Yusuf bin Majisyun, ketika Umar
R.A kewalahan menghadapi soal yang sulit, maka dia me-
manggil para pemuda untuk bermusyawarah, karena beliau
menganggap bahwa para pemuda itu akan berpikiran keras
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 44
dan tajam serta bergelora sesuai umurnya. Jadi Umar R.A
merupakan pemimpin yang memiliki seni mengambil
keputusan berdasarkan musyawarah dengan orang-orang
yang tepat, berpengalaman bahkan juga orang yang ber-
lawanan dengan perasaan dan pemikiran beliau ( Syafiie,
1996 : 438).
Al-Ghazali yang dikenal sebagai Hujjatul Islam, mem-
berikan nasehat kepada pemimpin untuk tidak berpangku
tangan terhadap kezaliman. Seorang pemimpin dituntut untuk
mendidik para staf dan pegawainya, sebab pemimpin akan
diminta pertanggungjawaban atas perbuatan zalim yang
dilakukan bawahannya, sebagaimana pemimpin memper-
tanggung-jawabkan perbuatannya sendiri. Umar bin Khattab
r.a. mengirim sepucuk surat kepada Abu Musa al-Asy’ari.
Umar menuliskan sebaik-baik pemimpin adalah orang yang
mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, sedangkan
seburuk-buruk pemimpin adalah orang yang membuat
rakyatnya menderita. Untuk itu janganlah hidup mewah dan
boros. Sesungguhnya bawahanmu akan mengikuti langkahmu,
perumpamaan engkau seperti seekor kambing yang melihat
padang rumput hijau. Kambing tersebut akan makan se-
kenyang-kenyangnya sehingga bertambah gemuk dan ke-
gemukannya itu akan menyebabkan kehancuran. Disebutkan
pula dalam Taurat, bahwa seorang pemimpin yang melihat
kezaliman bawahannya tanpa memberikan respons apapun,
maka kezaliman tersebut akan disandarkan kepadanya dan
pemimpin tersebut akan disiksa ( al-Ghazali : 1967:163).
Secara garis besar, dapat dikemukakan di sini bahwa
seorang kepala negara yang memiliki keinginan dan obsesi
Ernita Dewi, M.Hum
~45
untuk menegakkan keadilan terlebih dahulu harus dimulai
dari dirinya sendiri, dengan selalu bersikap adil dan me-
melihara diri dari hal-hal yang batil, seperti menahan emosi
dan marah agar tidak mengalahkan rasionalitas dan agama-
nya. Sikap ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW
Mulailah dari dirimu sendiri, kemudian mengatur dan me-
ngarahkan para staf untuk bersikap adil. Pemimpin juga
berkewajiban mengawasi dan memberikan kesejahteraan
berupa fasilitas hidup, seperti tempat tinggal kepada para
bawahannya (al-Ghazali, 1967 : 164).
Umar R.A merupakan sosok pemimpin yang selalu
berusaha memahami persoalan-persoalan masyarakat secara
dekat, untuk itu Umar R.A sering berjalan sendiri di malam
hari menelusuri wilayah kepemimpinannya. Sebagaimana
yang diceritakan oleh Zaid ibnu Aslam , Bahwa ketika Amirul
Mukminin Umar bin Khattab R.A menjabat khalifah, pada
suatu malam Umar R.A keluar dari kediamannya guna me-
ngadakan observasi langsung ke rumah-rumah penduduk
yang jauh dari tempat tinggalnya. Di kejauhan Umar R.A
melihat cahaya api, lalu Umar mendekati cahaya api, lalu Umar
mendekati cahaya tersebut dan melihat seorang wanita
dengan tiga anaknya yang sedang menangis sambil berkata:
Tuhanku, beri keadilan kepadaku dari Umar R.A dan beri
hakku darinya. Ia dapat tidur dengan perutnya yang kenyang
sedangkan aku dan ketiga anakku menderita kelaparan.
Mendengar keluhan wanita itu, Umar R.A mendekati dan
memberi salam kepadanya, lalu Umar R.A berkata Bolehkah
aku menghampirimu ?. Wanita itu menjawab, jika engkau ber-
maksud baik aku mengijinkan engkau masuk. Lalu wanita itu
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 46
berkata, Aku datang menghadap Umar R.A khalifah negeri,
namun karena hari sudah malam, aku terpaksa berteduh di-
sini karena aku dan anakku tidak sanggup lagi menahan lapar.
Lalu Umar R.A bertanya, apa yang sedang engkau masak?
wanita itu berkata, isinya hanya air, sengaja aku masak supaya
anak-anakku mengira jika aku sedang memasak nasi, sehingga
mereka tertidur dan tidak menangis lagi. Mendengar per-
nyataan wanita tersebut, Umar R.A beserta Zaid bin Aslam
bergegas pergi kembali ke Madinah dan singgah di sebuah
toko untuk membeli tepung dan daging. Kemudian belanjaan
tersebut dibawa Umar R.A menuju tempat wanita tersebut.
Zaid bin Aslam yang mendampingi perjalanan Umar, begitu
melihat beratnya beban yang dipikul oleh Umar R.A Zaid
meminta supaya sebagian beban dapat dipikul olehnya.
Permintaan tersebut dijawab Umar R.A jika aku merasa ke-
beratan dengan karung ini maka aku akan lebih berat lagi
memikul dosa, yang akan ditimpakan kepadaku disebabkan
doa seorang wanita yang sakit hati, karena kelalaianku dalam
memperhatikan hidupnya. Kata-kata itu diucapkan Umar R.A
sambil menangis. Sesampainya di tempat wanita tersebut,
Umar R.A menyerahkan tepung dan daging yang dibawanya,
sehingga wanita tersebut sangat berterima kasih atas ke-
baikan Umar R.A, Umar R.A kemudian mengambil sebagian
tepung itu, selanjutnya dimasukkan ke dalam periuk lalu
Umar R.A menyalakan api. Sewaktu nyala api mengecil dan
padam Umar R.A meniupnya keras-keras hingga abunya
beterbangan mengotori raut muka dan pakaian seorang
Khalifah. Setelah masakan itu matang Umar R.A memasuk-
kannya ke dalam piring besar lalu menghidangkan kepada
Ernita Dewi, M.Hum
~47
wanita itu dan anak-anaknya. Setelah itu Umar R.a berkata
kepada wanita tersebut, janganlah engkau mendoakan hal-hal
yang buruk kepada Umar karena Umar tidak mengetahui
keadaanmu dan ketiga anakmu (al-Ghazali : 1967: 143).
Kebesaran jiwa dan pengorbanan Umar R.A kepada
rakyatnya sungguh luar biasa, ketika seorang penduduknya
kelaparan, maka Umar R.A sangat menyesali kenapa hal itu
terjadi, dan dengan segera Umar R.A berusaha menggantikan
kesalahan dengan perbuatan yang sangat mulia dan me-
nyentuh hati nurani orang-orang yang mendengar kisah ini.
3. Khalifah Utsman bin Affan R.A
Utsman bin Affan R.A lahir pada tahun 573 M, beliau
menjadi khalifah pada usia 71 tahun, jabatan tersebut
didudukinya selama 12 tahun, tepatnya mulai tahun 644 - 656
M. Komitmen kekhalifahan Usman dapat diketahui dari pidato
pelantikan ketika beliau di bai’at : Amma ba’du, sesungguhnya
tugas ini telah dipikulkan kepadaku dan aku telah menerima-
nya, dan sesungguhnya aku adalah seorang muttabi’ (pengikut
Sunnah Rasul SAW) dan bukan seorang mubtadi’ (seorang
yang berbuat bid’ah). Ketahuilah bahwa kalian berhak me-
nuntutku mengenai selain Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya,
yaitu mengikuti apa yang telah dilakukan oleh orang-orang se-
belumku dalam hal-hal yang kamu sekalian telah bersepakat,
dan telah kamu jadikan sebagai kebiasaan, membuat ke-
biasaan baru yang layak bagi ahli kebajikan, dalam hal-hal
yang belum kamu jadikan sebagai kebiasaan, dan mencegah
diriku dari bertindak atas kamu, kecuali dalam hal-hal yang
kamu sendiri telah menyebabkannya ( Syafiie, 1996 : 439)
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 48
...”Lemparkanlah dunia di mana Allah melemparkan-
nya, dan carilah akhirat karena Allah telah membuat per-
umpamaan bagi dunia...( lalu Khalifah membaca firman Allah
SWT yang artinya) “ Dan berilah perumpamaan kepada
mereka (manusia) kehidupan dunia adalah sebagai air hujan
yang kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karena-
nya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-
tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin.
Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan
dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih
baik pahalanya di sisi Tuhanmu, serta lebih baik untuk
menjadi harapan.
Dalam pidatonya yang lain Usman menyebutkan :
sesungguhnya Allah memberimu dunia untuk menuntut
akhirat dan dia tidak memberikannya kepadamu agar kamu
condong kepadanya. Sesungguhnya dunia itu rusak sedang
akhirat itu kekal. Maka utamakanlah apa yang kekal itu atas
apa yang rusak. Sesungguhnya dunia itu terputus dan kembali
itu hanyalah kepada Allah sendiri.
Sikap istiqamah Usman dapat juga dilihat dari jawaban
yang disampaikan ketika muncul kecaman dari pihak lawan,
jika kalian mendapatkan (dalil) dalam Kitabullah untuk
meletakkan kedua kakiku dibelenggu, maka letakkanlah
keduanya ( Syafiie, 1996 : 440).
Khalifah yang pada masa pemerintahannya Al Quran
dibukukan ini memang lebih memperhatikan pembinaan
mental, misalnya ketika beliau melihat Baitul Mal penuh, maka
beliau menambah pemberian (jatah) dan mengambilkan
Ernita Dewi, M.Hum
~49
untuk mesjid, yang disajikan dalam bentuk makanan yang
tetap, bagi orang-orang i’tikaf, beribadah dan ibnu sabil.
Pada masa kepemimpinan Usman R.A pula kota
Madinah menjadi sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan
Islam semakin dipercantik, bangunan dan gedung-gedung di
tambah, dimulai dengan mesjid Rasulullah SAW yang di-
luaskan dan dibangun dengan batu yang diukir serta tiangnya
dibuat dari batu yang dihiasi permata (Syafiie, 1996 : 441).
Usman R.A dalam kepemimpinannya memang dikenal
tidak sekeras Abubakar atau Umar, bahkan kritik yang kerap
ditujukan kepada Usman karena sikapnya yang selalu
cenderung memberikan jabatan kepada saudara-saudaranya.
Padahal secara sosio kultural masyarakat Arab dikenal sangat
keras dan susah diatur, sehingga Abu Bakar yang bijaksana
terpaksa mengubah sikap setelah menjadi Khalifah menjadi
tegas terhadap pihak-pihak yang membangkang. Profil Usman
bin Affan r.a. sebagaimana dicatat dalam sejarah memang
memiliki watak lembut dan pemalu, hal ini diakui sendiri oleh
Rasulullah SAW : umatku yang paling sayang adalah Abu
Bakar, yang paling kokoh dalam agama Allah adalah Umar,
dan yang paling pemalu adalah Utsman ( Syafiie, 1996 : 442).
Bahkan Rasul SAW memerlukan berpakaian rapi dan
duduk pada tempatnya bila berhadapan dengan Utsman, tidak
seperti menghadapi Abu Bakar dan Umar hingga ditegur oleh
Aisyah R.A dan Rasulullah menjawab : Utsman itu seorang
pemalu, seandainya aku mengizinkan masuk kepadanya,
padahal aku sedang berbaring, niscaya ia akan malu untuk
masuk dan ia akan kembali dimana aku tidak dapat memenuhi
keperluan yang karenanya ia datang. Hai Aisyah, tidakkah aku
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 50
malu kepada orang, yang mana malaikat malu kepadanya
(Syafiie, 1996 : 442).
Karakter Usman R.A yang lembut dan pemalu secara
tidak langsung berpengaruh pada pola kepemimpinan-nya,
sehingga dalam menanggulangi tuntutan masyarakat, dan
mengartikulasikan kepentingan, beliau lebih mengutamakan
responsiveness daripada effectiveness. Sehingga di masa
Khalifah Utsman partai-partai politik tumbuh dan ber-
kembang. Keadaan ini diakibatkan oleh kekuasaan Islam yang
semakin luas sampai ke seantero Jazirah Arab, Iraq, Syiria,
Mesir, Afrika lainnya, Armenia, Persia dan Kepulauan
Mediterania, yang pada masing-masing tempat tersebut
memiliki beraneka ragam ras. Kaliber umat Islam tidak lagi
seperti generasi pertama (Muhajirin dan Anshar) yang
ditandai dengan iman yang kuat, sehingga pada generasi-
generasi berikutnya ini perasaan perbedaan ras muncul.
Mereka mencari sistem politik ideal, dengan menggunakan
opini mereka sendiri yang kemudian berkembang menjadi
partai-partai politik (Syafiie, 1996 : 442).
Walaupun demikian sikap-sikap mulia Khalifah
Utsman bin Affan R.A dapat ditemukan di setiap aspek
perilakunya. Sebagai contoh sikap menghormati Usman
terhadap pembantunya, Utsman tidak tega membangunkan
salah seorang pelayannya di tengah malam untuk menyedia-
kan air wudhu ketika Utsman hendak melaksanakan shalat
malam. Meskipun kondisi fisik Utsman yang sudah uzur dan
lemah, namun Utsman mengambil sendiri air wudhunya.
Utsman beranggapan bahwa seorang pelayanpun berhak
menikmati tidur dan istirahatnya, tanpa terganggu. Bahkan
Ernita Dewi, M.Hum
~51
Utsman tidak ingin berlindung di belakang seseorang dalam
menghadapi tebasan pedang orang-orang yang ingin mem-
bunuhnya. Utsman tidak ingin nyawanya ditukar dengan
tetesan darah orang yang ingin melindungi dirinya (Khalid,
1985 : 311).
4. Khalifah Ali bin Abu Thalib R.A
Ali bin Abi Thalib R.A lahir pada tahun 601 M, dalam
usia 9 tahun beliau sudah masuk Islam. Ali R.A dilantik
menjadi Khalifah pada tanggal 23 Juni 656 M, dan jabatan
tersebut hanya beliau pangku selama 4 tahun 9 bulan (656-
661). Pidato pelantikan beliau berisikan kewajiban me-
negakkan keadilan sebagai syarat utama yang harus
dijalankan oleh seorang pemimpin. Ali R.A berkata : Berlaku
adillah terhadap manusia dan bersabarlah menghadapi
kebutuhan mereka, sebab mereka itu adalah perbendaharaan
rakyat ... janganlah kamu hambat seseorang dari memenuhi
kebutuhan dan janganlah kamu tolak mereka mengenai
permintaannya dan sekali-kali jangan engkau jual pakaian
musim dingin, pakaian musim panas dan hewan milik rakyat,
begitu pula hambanya, untuk menagih pajak (kharaj) dan
jangan sekali-kali kamu memukul seseorang hanya karena
satu dirham yang tidak dapat dilunasi (Syafiie, 1996 : 443)
Kepada petugas Dinas Pendapatan beliau mengatakan
sebagai berikut: Datangilah mereka dengan baik dan tenang,
hingga engkau berada di tengah-tengah mereka dan me-
nyalami mereka. Jangan engkau abaikan memberi salam,
kemudian engkau katakan “Hai hamba Allah, saya di utus oleh
wali Allah dan khalifah-Nya kepadamu untuk mengambil hak
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 52
Allah dalam hartamu yang kamu tunaikan kepada wali-Nya.”
Jika seseorang mengatakan “tidak” maka janganlah engkau
mengulangi pertanyaan kepadanya. Jika seseorang memberi
pemberian kepadamu maka hadapilah dia tanpa menakut-
nakutinya, mengancamnya, memberatkannya atau menekan-
nya. Terimalah apa yang diberikan kepadamu berupa emas
dan perak. Jika dia mempunyai kambing atau unta maka
janganlah memasuki kandangnya kecuali dengan izinnya,
karena kebanyakan hewan itu adalah miliknya. Bila engkau
mendatangi kandang, maka janganlah engkau memasuki
dengan keras dan kasar. Janganlah engkau sekali-kali
menakut-nakuti hewan dan janganlah sekali-kali menyakiti
pemiliknya. Bagilah harta itu ke dalam dua bagian, kemudian
suruhlah pemiliknya untuk memilih. Jika ia telah memilih,
maka janganlah sekali-kali mengambil apa yang telah dipilih-
nya. Engkau terus berbuat demikian sehingga tinggal padanya
sesuatu sebagai penunaian hak Allah pada hartanya. Maka
ambillah hak Allah itu (zakat) kemudian jika dia meminta
pembebasanmu, maka berikanlah (Syafiie, 1996 : 443-444)
Dalam pidato Ali R.A pada kesempatan yang lain beliau
berpesan: Wajib atas seorang imam untuk menetapkan
hukum sesuai dengan apa yang diturunkan kepada Allah dan
memenuhi amanat. Apabila dia berbuat yang demikian, wajib-
lah rakyat mendengarkan ucapannya dan taat kepada pe-
rintahnya, dan memenuhi apabila mereka dipanggil.
Dalam pidato yang lain Ali R.a berpesan: “Adalah wajib
atas kamu sekalian taat kepadaku, baik dalam urusan yang
kamu sukai ataupun yang kamu benci, selama aku me-
merintah kamu dalam hal ketaatan kepada Allah. Tetapi
Ernita Dewi, M.Hum
~53
apabila aku memerintah kepada kalian untuk bermaksiat
kepada Allah, maka tidak ada kewajiban taat atas seseorang di
dalam maksiat. Ketaatan hanya wajib dalam perbuatan ke-
baikan (Syafiie, 1996: 444).
Dalam hal pengangkatan dewan penasehat dalam suatu
pemerintahan, Ali R.A pernah memberikan nasehat kepada
salah seorang gubernurnya yang berkuasa di Mesir, Malik
Asytar. Dalam suratnya Ali R.A, mengingatkan Malik Asytar
untuk tidak meminta nasehat kepada orang kikir, karena sifat
kikir yang dimilikinya akan mengotorkan kemurahan hati
pemimpin dan menimbulkan rasa takut pemimpin akan ke-
miskinan. Jangan pula mengangkat seorang penasehat yang
pengecut, karena sifat pengecut akan menipumu dalam pe-
ngambilan keputusan. Seorang penasehat tidak boleh serakah,
karena sifat keserakahan yang dimilikinya, lambat laun akan
mempengaruhinya untuk cenderung bersikap serakah, yang
pada akhirnya membuat seorang pemimpin menjadi tiran.
Menurut Ali R.A, sifat kikir, pengecut, dan serakah meng-
halangi tumbuhnya rasa percaya seseorang kepada Allah SWT
(Azzam, 1979: 171).
Penasehat yang paling buruk adalah penasehat pe-
nguasa yang zalim yang sama-sama bertanggungjawab atas
kezalimannya. Selanjutnya Ali R.A menginginkan seorang pe-
mimpin mengangkat penasehat dari kelompok orang yang
berkepribadian luhur dan memiliki kecerdasan serta visionir.
membiarkan seorang pemimpin harus bergaul dengan orang-
orang yang adil dan taqwa, serta bersikap tegas terhadap
orang-orang yang merayu dan memuji kepemimpinannya
secara berlebihan. Sebab pujian dan rayuan yang tidak sehat
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 54
akan merangsang tumbuhnya rasa bangga dalam diri pe-
mimpin, sehingga menimbulkan sikap angkuh dan sombong
(Azzam, 1973: 172).
Khalifah Ali R.A biasa juga disebut imam, karena orang-
orang Syiah menganggap bahwa ayah Hasan dan Husain ini
merupakan pemimpin (imam) yang tepat, sesuai dengan
sabda Rasulullah SAW, bahkan juga Umar R.A pernah men-
delegasikan wewenang atau sebagai pejabat khalifah se-
mentara kepada Ali R.A di waktu Umar keluar kota, seperti
yang dilakukan Nabi SAW. Selain itu juga di belakang nama Ali
R.A juga sering dibubuhkan singkatan Karamullahu Wajah
(KW), karena muka yang mulia ini tak pernah menyembah
berhala dari kecil (Syafiie, 1996 : 444).
Kepemimpinannya sebagai khalifah menempati posisi
yang rumit, bukan saja pemberontakan belum reda seluruh-
nya, tetapi juga Mu’awiyah yang dari setapak ke setapak
memperoleh kekuasaan, semakin kuat di Utara dan Timur laut
Madinah, dan tidak berkenan menjadi subordinat atau pe-
merintah daerah dari pemerintahan Islam Madinah, tetapi
seakan-akan menjadikan daerahnya sebagai suatu state yang
merdeka dan berdiri sendiri.
Ali bin Abi Thalib R.A sangat menekankan pentingnya
seorang pemimpin memperdulikan nasib orang miskin. Ali
R.A berkata : ingat, takutlah kepada Allah ketika menghadapi
orang fakir miskin yang tidak memiliki pelindung, tipis
harapan, dan tanpa daya upaya. Demi Allah, lindungilah hak-
hak orang-orang yang miskin, karena di tangan pemimpinlah
letak tanggung jawab untuk memberi perlindungan. Berikan
kepada fakir miskin dari harta Baitul Mal (kas negara) guna
Ernita Dewi, M.Hum
~55
meningkatkan taraf hidupnya, baik mereka itu hidup dekat
dengan jangkauan penglihatanmu atau berada jauh darimu.
Jangan sampai kesibukanmu (pemimpin) melupakan mereka,
jangan jadikan kepentingan mereka sebagai sesuatu yang
kurang penting dibandingkan kepentingan dirimu. Pilihlah
pejabat pemerintahan orang-orang yang berhati lembut,
taqwa dan dapat memberikan informasi akurat tentang
keadaan rakyatmu. Penuhilah kebutuhan hidup orang-orang
miskin, agar engkau tidak perlu melakukan pembelaan diri di
hadapan Allah SWT pada hari akhirat kelak (Azam,1979:185).
Pola kepemimpinan Ali R.A berlandaskan pada sikap
adil dan sangat peduli kepada sesama. Ali R.A memiliki
kepekaan sosial yang sangat tinggi terutama pada hal-hal yang
berhubungan dengan kebutuhan rakyatnya. Dengan ber-
pedoman kepada al-Quran dan teladan Rasulullah SAW, ke-
pemimpinan Ali R.A merupakan citra pemimpin ideal yang
patut dicontoh oleh pemimpin di zaman sekarang ini.
@
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 56
Ernita Dewi, M.Hum
~57
BAB III KEPEMIMPINAN
DALAM KONTEKS PEMIKIRAN YUNANI
A. Perspektif Plato Tentang Pemimpin Ideal
Berbicara perkembangan ilmu politik, pemerintahan,
dan kepemimpinan, sebagian sarjana yang mencoba mengkaji
teori dan praktek politik serta ketatanegaraan tersebut,
biasanya tidak lupa melihat situasi yang terjadi di zaman
Yunani purba, sekitar abad 500-300 SM, yang sangat boleh
jadi merupakan cikal bakal kelahiran ilmu politik dan pe-
merintahan (Haricahyono, 1991: 1).
Sepanjang perjalanan sejarah filsafat, Plato tercatat
sebagai salah satu murid Socrates yang paling cemerlang.
Plato lahir di Athena, dari keluarga politisi yang berdarah
bangsawan pada tanggal 29 Mei 429 SM, saat berkecamuknya
perang Peloponnesian (Stumpf, 1975: 49-50). Socrates adalah
sosok yang dikagumi Plato, untuk kemudian menjadi gurunya
yang sangat disegani. Pada awalnya Plato bercita-cita menjadi
seorang politikus, hal ini dipengaruhi oleh lingkungan
keluarganya sebagai keluarga politisi yang banyak memberi
input bagi pemimpin di negaranya, realitas tersebut membuat
Plato merasa bertanggung jawab terhadap kehidupan politik
di negerinya. Plato sangat menentang sistem demokrasi yang
diberlakukan di Athena, bahkan Plato melihat ketidak-
sanggupan demokrasi yang dijalankan di Athena untuk
menghasilkan pemimpin-pemimpin yang bertanggung jawab.
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 58
Keruntuhan demokrasi Athena berawal dengan di-
eksekusinya Socrates, seorang pemikir besar yang pe-
mikirannya diikuti Plato. Kenyataan tersebut membuat Plato
pesimis sehingga memadamkan ambisinya menjadi seorang
politikus, yang pada gilirannya memotivasi Plato mem-
formulasikan suatu konsep kepemimpinan negara yang di-
warnai oleh otoritas dan ilmu pengetahuan. Plato ber-
kesimpulan bahwa negara itu ibarat sebuah kapal, dimana se-
orang nahkoda memiliki kewenangan untuk melayari kapal
dengan ketrampilan dan ilmu pelayaran yang dimilikinya.
Demikian pula dengan negara, seorang pemimpin harus me-
miliki ilmu pemerintahan yang memadai, untuk membawa
rakyatnya kepada kehidupan yang lebih baik, adil dan
makmur.
Setelah kematian Socrates, Plato terpanggil untuk
meneruskan pemikiran-pemikiran Socrates, yang tidak
pernah ditulisnya menjadi sebuah karya tulis yang sistematis
dan menarik, sekaligus mewujudkan impiannya untuk me-
nuangkan idea tentang konsep negara dan hukum dalam
bukunya; Republic, Politeia (tentang negara), Politikus
(tentang abdi negara), dan Nomor (tentang undang-undang)
(Haricahyono, 1994: 44). Pada usia 40 tahun, Plato mencoba
merealisasikan cita-citanya tentang negara ideal dan penguasa
yang adil melalui kepemimpinan penguasa Dionysios I, ketika
berada di istana di kota Sirakus, Sisilia. Akan tetapi keinginan
Plato tersebut ditentang keras oleh raja Dionysios I, dan
hampir saja Plato dijual sebagai budak di pasar kota Aegina
akibat argumentasinya yang kontroversial dengan kebijakan
Istana. Saat transaksi terjadi, seorang teman Plato melihat
Ernita Dewi, M.Hum
~59
dan membatalkan transaksi tersebut. Setelah itu Plato kembali
ke Athena dan mendirikan sekolah ”akademia” dari uang
tebusan yang ditolak temannya. Akademi tersebut menjadi
sekolah pertama dan favorit tempat dimana Plato mengajar.
Meskipun Plato demikian sibuk di akademinya, Plato masih
menyempatkan diri kembali sebanyak dua kali ke Sisilia untuk
mencoba mempengaruhi para penguasa di sana, tetapi tidak
pernah berhasil. Akhirnya Plato menghabiskan sisa umurnya
mengabdi di Akademia hingga meninggal pada tahun 348 SM
(Suseno, 1997: 15).
Dalam kepustakaan filsafat, Plato sering kali disebut
sebagai pencetus ajaran alam cita (idea), sedangkan aliran
filsafat yang dikembangkannya sering disebut dengan
idealisme. Ajaran tersebut diilhami dari pergaulannya dengan
kaum sofis. Sebagaimana kaum Sophis, Plato juga ber-
anggapan bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui pe-
ngamatan panca indera adalah relatif. Tiada kebajikan tanpa
pengetahuan, dan pengetahuan tidak hanya terbatas pada
pengamatan saja, sebab pengetahuan itu muncul dari alam
bukan benda. Ajaran pemikiran di atas telah menjadikan Plato
ahli pikir pertama yang menerima paham adanya alam yang
bukan benda. Pembahasan filsafat Plato mencapai klimaksnya
kita Plato berbicara tentang negara, latar belakang dari
uraiannya ini dilatar belakangi oleh pengalaman pahitnya
ketika mengamati politik yang dijalankan di Athena. Seluruh
aktivitas Plato hanya tertumpu pada perbaikan keadaan
negara dari yang dirasakan buruk. Baik pendirian akademia di
Athena maupun intervensinya dalam dinamika perpolitikan di
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 60
Sisilia, bertujuan untuk memasukkan ide negaranya (Bertens,
1979: 114).
Menurut Plato, negara itu muncul disebabkan oleh
kebutuhan dan keinginan masyarakat semata. Lebih lanjut
ditegaskan, bahwa kebutuhan dan keinginan manusia saling
berbeda dan saling bertentangan antara satu dengan lainnya,
maka mau tidak mau mereka harus bekerjasama agar ke-
butuhan yang saling berbeda-beda itu bisa diwujudkan. Dalam
kerjasama tersebut, masing-masing orang akan mempunyai
tugas dan fungsinya sendiri sesuai dengan kemampuannya.
Kalau yang demikian berjalan baik diperkirakan semua ke-
pentingan dan kebutuhan tiap-tiap orang akan bisa terpenuhi
secara lebih memuaskan. Adanya kebersamaan dan kesatuan
inilah nantinya yang akan membentuk masyarakat atau
negara. Masyarakat atau negara muncul karena keinginan dan
kesepakatan manusia untuk mempersatukan diri untuk
mencapai tujuan bersama (Haricahyono, 1991: 45).
Tujuan hidup manusia yang paling utama adalah
eudaimonia, “well-being” atau hidup yang lebih baik. Hidup
yang baik hanya dapat dicapai dalam kehidupan polis (negara
kota). Plato tetap memihak pada cita-cita Yunani paling klasik,
bahwa hidup manusia sebagai masyarakat adalah hidup dalam
polis. Ia menolak pendapat modern yang menyeleweng dari
tradisi Yunani, suatu argumentasi yang timbul dari kaum Sofis
yang beranggapan bahwa negara terbentuk karena nomos
(adat kebiasaan) dan bukan karena physis (kodrat). Plato
bersama muridnya Aristoteles tetap berpegang teguh pada
keyakinan dan argumentasinya, bahwa manusia secara
Ernita Dewi, M.Hum
~61
alamiah adalah makhluk sosial yang sangat membutuhkan
kehidupan bersama dalam suatu Negara (Bertens, 1975: 115).
Kebaikan tertinggi didapatkan oleh manusia dalam
negara ideal seperti yang dicontohkan Plato dalam bukunya
Politeia. Konsepsi Plato tentang negara ideal merupakan
implikasi filosofis dari doktrinnya tentang idea. Tujuan hidup
Plato dapat dilihat dari obsesinya tentang bentuk negara yang
teratur yang di dalamnya terdapat masyarakat yang ber-
pendidikan. Pandangan negara ideal ini dicetuskan oleh Plato
setelah melihat sistem pemerintahan Athena yang tidak stabil,
yakni bergantinya sistem aristokrasi, oligarkhi, dan demokrasi
yang cenderung mengabaikan kebahagiaan bagi masyarakat.
Plato lebih senang mendasarkan pemikiran negaranya ber-
dasarkan sistem pemerintahan pada idea yang tertinggi yaitu
idea kebaikan. Kemauan untuk melaksanakan idea kebaikan
tersebut tergantung pada akal budi. Tujuan pemerintahan
yang benar ialah mendidik warga negara mempunyai budi
yang hanya bersumber dari pengetahuan, dengan demikian,
ilmu harus berkuasa dalam suatu negara. Itulah sebabnya
Plato mengatakan bahwa “kesengsaraan dunia tidak akan
berakhir sebelum filosof menjadi raja atau raja menjadi
filosof”. Rakyat kata Plato tidak dapat mengharapkan negara
menjadi baik apabila orang-orang yang berkuasa tidak ber-
pendidikan dan berperilaku yang baik (Azhar, 1997: 24).
Kepemimpinan yang dikomandoi oleh orang yang
bodoh akan mengantarkan masyarakat pada kesengsaraan
dan ketidak-adilan. Maka yang berhak menjadi pemimpin
hanya-lah orang-orang yang berilmu, adil, dan bijaksana
seperti filosof, supaya rakyat mendapat pelindung yang
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 62
mampu membawa kebahagiaan dalam hidupnya. Oleh karena
itu keadilan menjadi sumber utama demi pencapaian hidup
yang sempurna menjadi tema paling spesifik dalam
pembahasan kenegaraan Plato, sebagaimana uraian yang
terdapat dalam bukunya “Republik”. Kisah yang dituliskan
Plato dalam bukunya tersebut adalah dialog yang panjang
antara Socrates dan Thrasymachus tentang keadilan. Negara
bagi Plato di-ciptakan untuk kebaikan rakyatnya, maka ke-
adilan sebagai kebaikan tertinggi harus diterapkan. Pe-
laksanaan keadilan adalah perintah yang harus dilaksanakan
oleh penguasa untuk mengantarkan rakyatnya kepada ke-
bahagiaan. Penting-nya keadilan ditegaskan secara radikal
oleh Plato, dengan mengatakan bahwa adanya negara men-
cerminkan awal lahirnya keadilan tanpa keadilan suatu
negara tidak akan pernah merasakan kesenangan yang hakiki.
Keadilan hanya mampu dipraktikkan oleh orang yang
bijaksana, mampu melakukan semua pekerjaan dengan baik,
dan sanggup menyelesaikan semua permasalahan yang di
bebankan kepadanya, sebaliknya ketidakadilan akan terlihat
dari sifat orang yang ceroboh, tidak mampu melaksanakan
tugas dengan memuaskan (Plato, 1935: 26,31)
Plato menjelaskan bahwa keadilan hanya mampu di-
terapkan dalam suatu negara ideal dengan membagi struktur
masyarakat menjadi tiga kelompok, yaitu: pertama, kelompok
filosof yang mendapat amanah untuk memerintah, karena
filosof mempunyai pemahaman “yang baik” sehingga akan
lebih arif dan bijaksana dalam memimpin negara. Kedua,
golongan kesatria atau prajurit, bertugas menjaga keamanan
negara dan mengawasi warga negara agar selalu tunduk pada
Ernita Dewi, M.Hum
~63
pemimpinnya. Para prajurit harus tinggal di asrama-asrama
dan selalu siap siaga menjalankan perintah negara. Ketiga,
golongan rakyat biasa yaitu para petani dan pekerja, yang
menopang hidup pada ekonomi rakyat (Azhar, 1997: 25).
Andaikata tiap-tiap golongan ini bisa menjalankan fungsi dan
wewenangnya secara teratur dan seimbang menurut tempat-
nya, maka keadilan dengan sendirinya akan tercipta (Hujbers,
1995: 23).
Menurut Plato negara melambangkan keadaan di alam
semesta yang memiliki keteraturan dan keseimbangan
(Zainuddin, 1992: 187). Kemudian Plato mengkonotasikan
antara negara dengan manusia yang mempunyai tiga
kemampuan yaitu : kehendak, akal pikiran, dan perasaan. Ke-
tiga hal tersebut disamakan dengan struktur sosial di atas
(golongan raja-filosof, prajurit, dan rakyat biasa) (Kusnardi,
1994: 16). Pentingnya negara ideal merupakan salah satu
warisan filsafat Plato yang mendambakan tegaknya hukum
dan keadilan dalam suatu negara. Keadilan menurut Plato
adalah keharmonisan dan keselarasan dengan sejumlah ke-
lompok sosial, keadilan juga berarti memberikan kepada
setiap orang akan haknya dan membiarkan setiap warga
negara melakukan tugasnya secara proporsional sesuai
dengan sifat alamiahnya. Para pembuat aturan negara harus
melihat situasi orang yang diberikan tugas negara sesuai
dengan kehidupannya. Pemikiran yang melandasi konsep
keadilan itu berpijak pada asumsi bahwa seorang individu
bukanlah sepotong jiwa yang terisolasi dan bebas melakukan
apa saja yang ia sukai, tetapi merupakan seorang anggota yang
terikat dalam tatanan universal yang harus menundukkan
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 64
keinginan dan kesukaan pribadinya pada kesatuan organik
secara kolektif (Muslehuddin, 1991: 34-35).
Bertitik tolak pada keharmonisan dan keadilan yang
dimiliki manusia, Plato mencoba membagi jiwa kepada tiga
fungsi yaitu ; keinginan (epithynia), energik (thymos), dan
rasional (logos). Bila keinginan dan energik berada di bawah
komando rasio, maka akan timbul manusia yang harmonis dan
adil. Berdasarkan analogi pembagian jiwa ini, Plato
menganggap negara sebagai manusia besar, sebagai
organisme yang terdiri dari tiga bagian atau golongan, yang
identik dengan pembagian jiwa manusia. Dalam konteks
negara, epithynia diistilahkan oleh Plato sebagai petani,
thymos sebagai prajurit, dan logos sebagai pemegang pucuk
pimpinan kekuasaan. Sebenarnya Plato tidak membicarakan
tentang golongan produktif, karena Plato sudah sangat puas
bila masing-masing golongan yang dibentuknya mampu mem-
praktikkan keutamaan pengendalian diri, dan menanggung
kesejahteraan para prajurit serta pemimpin. Konsepsi ini
benar-benar merefleksikan Plato sebagai seorang aristokrat
dan bukan rakyat biasa. Fokus perhatian Plato tertumpu pada
golongan kedua sebab dari golongan inilah pemimpin harus
direkrut. Golongan ini harus hidup dengan cara komunistis,
tanpa uang atau milik pribadi lainnya, tanpa isteri dan anak-
anak. Prajurit harus mengerahkan segala perhatiannya kepada
pertahanan negara, maka adanya hak milik pribadi dan
keluarga sendiri bisa menyebabkan konsentrasi prajurit untuk
mempertahankan negara akan terganggu. Siang malam
seorang prajurit harus tinggal di asrama dan mendapat
pendidikan yang ketat. Dalam pikiran prajurit harus
Ernita Dewi, M.Hum
~65
ditanamkan pentingnya keberanian sebagai cita-cita tertinggi
(Weij, 1988: 17).
Kandidat seorang pemimpin harus dididik dan di-
besarkan dalam panti asuhan negara, untuk dapat terpilih
mencapai jabatan yang terbaik dalam negara. Setiap anak diuji
bakat dan kemampuannya dalam sistem yang telah ditetap-
kan, yang kurang berani dan kurang energik serta tidak
memiliki wawasan yang luas, dia akan di tempatkan dalam
golongan produktif (menjadi petani atau pedagang). Bila lebih
gesit dan berani ditempatkan dalam golongan prajurit, se-
dangkan yang cerdas akan mendapatkan pendidikan khusus
filosofis di bidang ajaran idea, selama lima tahun, dari usia tiga
puluh sampai tiga puluh lima tahun. Sesudah lima belas tahun
mereka harus melakukan latihan lapangan dengan me-
ngemban tugas pemerintahan dan baru pada usia 50 tahun
diizinkan tampil sebagai pemimpin. Plato pernah menulis
kalimat termasyhur untuk hal ini “kesengsaraan negara-
negara bahkan umat manusia tidak akan berakhir… hingga
para filsuf menjadi penguasa di dunia ini atau penguasa yang
sekarang menjabat sebagai raja atau pemerintah mempelajari
filsafat dengan sungguh-sungguh sehingga kekuasaan politik
dan filsafat terdapat di tangannya”. Di tangan kepemimpinan
seperti itulah keadilan dan kebijaksanaan akan terealisasikan
(Weij, 1988: !8). Pemimpin yang berjiwa filsuf akan mampu
menegakkan keadilan dan kebenaran dengan kemampuan
rasionya, dan akan mampu memimpin dengan kebijaksanaan
karena sudah dapat mengontrol emosi tidak sehatnya.
Mengenai bentuk negara, Plato mencoba mengemuka-
kan bentuk-bentuk negara yang mungkin timbul sesuai
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 66
dengan sifat-sifat tertentu dari jiwa manusia. Bentuk negara
yang paling sesuai dan menempati tingkat terbaik pertama
adalah negara dengan sistem aristokrasi (kekuasaan berada di
tangan beberapa orang penting saja), di sinilah para cendekia-
wan ditempatkan sesuai dengan keahliannya. Namun
kemerosotan mungkin saja terjadi karena suatu bentuk
negara tidak ada yang kekal dalam pandangan Plato, selalu
berubah sesuai dengan perkembangan keinginan manusia.
Keruntuhan sistem aristokrasi melahirkan sistem timokrasi,
suatu bentuk pemerintahan yang ingin mencapai ke-
mansyhuran dan kehormatan semata, tanpa pernah memper-
dulikan masalah keadilan. Timokrasi pada akhirnya akan
memunculkan oligarkhi yang menyerahkan kekuasaan kepada
golongan hartawan. Semua kekayaan negara menjadi milik
hartawan yang kemudian memunculkan perlawanan dari
orang-orang miskin terhadap hartawan maka lahirlah
demokrasi, sebagai jawaban terbaik untuk mendamaikan
kelompok yang bertikai.
Demokrasi ternyata tidak mampu menjadi sistem
terbaik karena demokrasipun terperangkap dalam kesalahan
memaknai kemerdekaan yang berakhir pada kekacauan atau
anarkhi. Sistem pemerintahan anarkhi membutuhkan seorang
pemimpin yang keras, diktator, dan mampu mengatasi krisis
kemasyarakatan. Maka datanglah masa tirani, yaitu bentuk
pemerintahan yang paling jauh dari cita-cita keadilan, sebab
seorang tiran selalu mengorbankan rakyat untuk kepentingan
pribadinya. Dari dialektik bentuk negara ini, Plato ingin me-
negaskan bahwa aristokrasi merupakan bentuk pemerinta-
Ernita Dewi, M.Hum
~67
han terbaik yang mampu menerapkan keadilan secara me-
nyeluruh ( Schmid, 1988: 16-17)
Plato memandang aristokrasi merupakan satu-satu-
nya bentuk pemerintahan yang ideal, hal ini sangat di-
pengaruhi oleh latar belakang dirinya sebagai seorang
bangsawan sekaligus seorang aristokrat sejati, ditambah lagi
dengan kebenciannya terhadap praktek demokrasi yang di-
jalankan di Athena, yang hanya menguntungkan kelompok
penguasa tanpa memperdulikan kepentingan orang banyak
sehingga demokrasi menjadi sistem politik yang “berbahaya”
dan tidak praktis bagi Plato. Padahal aristokrasi juga memiliki
banyak kelemahan, apalagi akan sangat sulit mencari seorang
pemimpin seperti filosof yang memiliki kelebihan, ke-
utamaan, visi yang jauh ke depan, dan ilmu pengetahuan yang
sempurna. Faktor inilah yang memunculkan image bahwa
bentuk negara dalam persepsi Plato adalah sesuatu yang
utopis dan sangat tidak mungkin untuk diwujudkan (Azhar,
1997: 26)
Satu hal yang paling ironis dari pemikiran politik Plato
adalah penghapusan segala bentuk hak-milik atas nama
pribadi. Baik itu harta kekayaan maupun keluarga. Apalagi
untuk penjaga dan pembantu, keduanya tidak boleh ber-
ambisi untuk memiliki uang, dan harus menerima hidup ber-
sama dalam suatu komunitas dan anggaran belanja tahunan
yang telah ditentukan sesuai dengan kebutuhan. Tidak ada
harta dan tidak ada keluarga, supaya tidak mengganggu tugas
negara yang diembannya. Bagi pemikir-pemikir politik se-
sudah Plato, konsep ini menimbulkan kontradiksi yang ber-
kepanjangan. Plato seakan tidak menyadari, bahwa dalam
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 68
struktur negara yang ditawarkannya mengandung pelecehan
dan penindasan terhadap hak-hak asasi manusia secara
alamiah. Tidak mungkin seseorang dapat hidup tanpa
memikirkan kebahagiaan pribadinya sendiri. Namun Plato
tetap berpegang teguh bahwa susunan negara yang diusulkan-
nya dalam Politeia, merupakan bentuk negara paling ideal,
seperti yang dikatakannya, ”suatu contoh yang terdapat di
langit, supaya setiap orang dapat melihat dan membentuknya
dalam hatinya sendiri”. Pemikiran Plato ini sangat sulit
diwujudkan mungkin Plato sendiri juga sadar, bahwa masih
ada banyak persoalan yang harus diperhitungkan, namun ia
mencoba memberikan suatu alternatif yang terbaik bagi
negara dengan tidak mengabaikan faktor-faktor lainnya
(Bertens, 1979: 119)
Penegasan yang sangat konkrit diberikan oleh Plato
bahwa pemimpin suatu masyarakat atau pemerintahan harus-
lah orang-orang yang berilmu dan memiliki kemampuan
untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi rakyat-
nya. Kriteria pemimpin ideal bagi Plato harus datang dari
kalangan filsuf, mereka telah dididik dan dinyatakan secara
intelektual mampu menjadi pemimpin. Sebab jika pemimpin
adalah orang yang bodoh lalu, dengan cara apa pemimpin
tersebut akan mengajak rakyatnya menuju pada kehidupan
yang lebih baik.
2. Kepemimpinan ideal Menurut Aristoteles
Menelusuri perkembangan ilmu politik, pemerintahan
dan kepemimpinan, seseorang biasanya menoleh kepada pe-
mikiran Plato dan Aristoteles. Plato sering disebut sebagai
Ernita Dewi, M.Hum
~69
bapak filsafat politik, sementara Aristoteles di tempatkan se-
bagai bapak ilmu politik, paling tidak begitulah diskursus
yang berkembang di negara-negara Barat (Haricahyono,
1991: 1).
Aristoteles lahir pada tahun 384 SM di Stageira, tepat-
nya di Semenanjung Chalcidese wilayah Mecedenia se-belah
Utara Yunani. Walaupun orang tuanya bertempat tinggal di
Mecedonia, namun keluarga Aristoteles berasal dari Yunani.
Aristoteles dilahirkan dari keluarga menengah, dan bukan
seperti halnya Plato yang lahir dari keluarga bangsawan.
Ayahnya bernama Nichomackus, sahabat dan dokter keluarga
Amyntas II, Raja Mecedonia (Rapar, 1993: 1). Pada usia 18
tahun Aristoteles masuk ke Akademia Plato, ia belajar dan
tinggal di Akademia tersebut sampai Plato meninggal dunia
pada tahun 347 SM (Siswanto, 1998: 7). Di Akademia Plato,
Aristoteles mempelajari berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu
Politik, Filsafat, Matematika, dan Etika. Aristoteles tergolong
murid yang senang membaca dan memiliki kegemaran me-
ngumpulkan buku-buku, sehingga dalam waktu relatif singkat
rumahnya telah menjadi perpustakaan, dan tidak meng-
herankan apabila Plato, sang guru yang lebih tua menyebut
Aristoteles sebagai “rumah si tukang baca”. Aristoteles adalah
salah seorang murid di antara sekian banyak murid Plato,
namun Aristoteles lebih cepat dikenal karena ia tidak sekedar
bernaung di bawah keagungan dan kemasyhuran sang guru,
Aristoteles lebih mengembangkan cara berpikirnya jauh
melampaui apa yang didapatkan dari Plato (Rapar, 1993: 3).
Tepat pada 342 SM, Aristoteles diundang oleh raja
Philippos dari Macedonia untuk mendidik putra mahkota,
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 70
Alexander yang berusia 13 tahun. Kesempatan dan ke-
hormatan ini tidak disia-siakan oleh Aristoteles, ia memenuhi
undangan tersebut dan segera menuju Mecedonia. Alexander
diangkat menjadi raja menggantikan ayahnya pada usia 19
tahun. Bersamaan dengan itu pula, tugas Aristoteles sebagai
guru Alexander pun berakhir di istana Pella tersebut. Akhir-
nya Aristoteles kembali ke kota asalnya, Stageira untuk
kemudian menulis sebuah karangan yang diperuntukkan
kepada Alexander perihal Monarchi dan tentang Pendirian
Perantauan. Pemikiran Aristoteles yang sudah demikian ber-
kembang, menyebabkan ia tidak lagi kembali ke Akademia,
namun ia mendirikan sekolah sendiri yang diberi nama
Lykeion.
Setelah kematian Alexander Agung pada 323 SM, ter-
jadilah gerakan anti Mecedonia yang bertujuan melepaskan
Athena dari kerajaan Mecedonia. Dalam ketakutan yang amat
sangat karena dianggap sebagai aktor intelektual di balik
pergerakan tersebut, Aristoteles segera melarikan diri dari
Athena. Peristiwa ini mendorong Aristoteles menyerahkan
pimpinan Lykeion ke tangan muridnya, Theophrastos, dan
Aristoteles melarikan diri ke Khalkis, tempat asal ibunya.
Menurut rumor Yunani kuno, Aristoteles melarikan diri
dengan alasan “ia tidak akan membiarkan Athena berdosa
terhadap filsafat untuk kedua kali” (sebagaimana tragedi
menimpa Socrates). Pada tahun berikutnya, tepatnya pada
322 SM, ia jatuh sakit dan meninggal dunia di tempat
pelariannya dalam usia 62 tahun (Bertens, 1979: 126-127).
Dalam kesempatan lain, Aristoteles juga disebut
sebagai bapak empirisme dalam bidang politik, sebab
Ernita Dewi, M.Hum
~71
klasifikasi negara yang diformulasikannya disandarkan atas
pengumpulan fakta yang ada tentang negara. Dalam
pandangan Aristoteles, ilmu politik dikatakan sebagai ilmu pe-
ngetahuan praktis yang dibedakan dari ilmu teoritis dan
produktif. Ketika penyusunan buku Politika berlangsung,
Aristoteles mengadakan penyelidikan terlebih dahulu ter-
hadap 158 konstitusi-konstitusi yang berlaku dalam polis-
polis (negara kota) di Yunani, dengan memakai metode
induktif (empiris). Politika adalah sebuah karya Aristoteles
yang memperbincangkan ilmu politik secara terperinci dan
lebih sistematis bila dibandingkan dengan buku Republik
karya Plato (Azhar,1997: 26-27)
Mendiskusikan tentang adanya negara, Aristoteles se-
pendapat dengan Socrates dan Plato untuk menolak pendirian
kaum sofis, bahwa negara didasarkan pada adat kebiasaan,
bukan suatu kondrat alamiah yang telah dimiliki manusia
sebagai makhluk sosial sebagaimana pemahaman politik
Aristoteles yang mengungkapkan, bahwa manusia secara
natural adalah Zoon Politikon, makhluk yang hidup dalam
polis, demikian pula dengan negara, terbentuk secara alamiah
(Bertens,1979: 163). Manusia tidak dapat hidup sendiri,
terasing tanpa interaksi dengan orang lain. Manusia tidak
memiliki kemampuan yang cukup untuk menyelesaikan dan
mempersiapkan semua kebutuhan hidupnya sendiri, semua
permasalahan yang dihadapi sudah tentu membutuhkan
intervensi orang lain, agar masalah yang dihadapi tersebut
dapat terselesaikan. Itulah kenyataan yang tidak dapat di-
pungkiri oleh manusia manapun. Ikrar dari keinginan untuk
bersatu dalam wadah yang lebih besar, diwujudkan dengan
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 72
membentuk negara. Aristoteles secara tegas menjelaskan,
bahwa eksistensi suatu negara diperuntukkan demi pe-
menuhan hasrat moral dan intelektual manusia. Negara di-
tegakkan untuk menciptakan kehidupan yang baik bukan
demi kehidupan semata. Negara yang merupakan kesatuan
terbesar dari kumpulan keluarga dan sekelompok masyarakat
(desa) diharapkan mampu mencukupi kebutuhan hidup
dengan sempurna dan juga memberikan kebahagiaan dan ke-
muliaan dalam hidup (Stumpf, 1975: 109)
Sebagai organisasi terbesar, negara mempunyai misi
dan tujuan mulia, yaitu kebaikan yang tertinggi (the highest)
bagi manusia dan bukan sekedar kebaikan semata. Hal ini
mendorong negara untuk senantiasa memberi jaminan
kebaikan, ketentraman, serta dapat membentengi warganya
dari ancaman dan serangan, baik yang datangnya dari dalam
maupun dari luar sebagai akibat ketidakadilan. Sehingga ter-
wujud kesejahteraan bersama yang sebesar-besarnya, karena
hanya di dalam kesejahteraan bersama itu (kesejahteraan
umum), kesejahteraan individual dapat diperoleh, yang pada
gilirannya tercipta kenikmatan hidup bagi seluruh rakyatnya
baik secara kualitas maupun kuantitas. Dengan demikian jelas,
bahwa tujuan utama negara ialah menjamin terciptanya ke-
bahagiaan lahir batin dan manusia merupakan objek ke-
sejahteraan dari tujuan negara tersebut. Dalam kehidupan
bernegara, penguasa tidak boleh memperhatikan individu
atau sekelompok masyarakat tertentu, akan tetapi penguasa
negara harus menunjukkan perhatiannya kepada seluruh
warga negara baik terhadap elit politik pemerintah, golongan
Ernita Dewi, M.Hum
~73
menengah maupun terhadap masyarakat di tingkat akar
rumput.
Menurut Aristoteles negara ideal ialah negara yang
sanggup memanusiakan manusia mencapai tingkat kebaikan
tertinggi yang diikuti oleh moralitas terpuji yang mem-
bedakan manusia dengan makhluk lain. Aristoteles me-
nambahkan, bahwa negara tidak semata-mata dijadikan
tempat menetap dan mempertemukan manusia dengan se-
sama untuk menjalin persahabatan, akan tetapi negara me-
miliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan
bagi rakyatnya, menegakkan supremasi hukum yang di-
imbangi dengan nilai-nilai keadilan, dan memberikan tempat
yang sama di mata hukum terhadap warga negara serta ter-
jamin hak dan kewajibannya. Namun Aristoteles masih me-
ragukan, bahwa semua negara mampu memberikan hal ter-
baik untuk rakyatnya. Kegagalan, ketidaksanggupan seorang
penguasa sering dijadikan alasan utama tidak terwujudnya ke-
sejahteraan umum (bonum commune atau common welfare).
Aristoteles berasumsi bahwa kegagalan dan ketidak-
sanggupan seorang pemimpin membawa rakyatnya ke arah
kebaikan disebabkan oleh penyimpangan dan ketidakcocokan
sistem negara yang diterapkan. Oleh karena itu Aristoteles
menawarkan tiga bentuk pemerintahan yang baik dan buruk
dalam suatu komparasi yaitu; Monarkhi (kekuasaan yang ber-
ada di tangan satu orang), Aristokrasi (kekuasaan yang di
pegang oleh sekelompok orang atau kaum bangsawan), dan
politeia (kekuasaan yang berada dalam genggaman banyak
orang). Sedangkan bentuk negara tidak baik ialah: Tirani se-
bagai penyimpangan Monarkhi, dimana kekuasaan tertinggi
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 74
yang berada di tangan satu orang digunakan untuk
kepentingan penguasa secara absolut. Oligarkhi bentuk pe-
nyimpangan dari Aristokrasi, yaitu menjadikan kekuasaan se-
bagai alat untuk memperkaya diri, meningkatkan popularitas
dan melanggengkan kekuasaan dengan rakyat sebagai objek
pemerasan. Demokrasi adalah bentuk penyimpangan dari
politeia yaitu, bentuk kekuasaan yang berada di tangan
banyak orang terutama rakyat miskin, ditakutkan kekuasaan
akan dipergunakan untuk kepentingan rakyat miskin tersebut
karena kemiskinannya.
Berpijak pada bentuk negara dalam komparasi sebagai-
mana tersebut di atas, maka bentuk negara ideal menurut
Aristoteles adalah negara berbentuk Monarkhi, yaitu ke-
kuasaan berada di tangan satu orang filsuf-raja, sebab ke-
pemimpinan merekalah yang mampu mengantarkan negara
kepada kesempurnaan. Ideal dalam persepsi Aristoteles ber-
sifat realistis bukan hanya berada di alam ide atau gagasan
seperti yang dikemukakan oleh Plato.
Bentuk lain dari menifestasi negara ideal adalah ter-
singkapnya keadilan dan kebenaran di tengah-tengah ke-
hidupan masyarakat. Keadilan yang diinginkan Aristotels
adalah keadilan yang bermanfaat bagi masyarakat secara ke-
seluruhan, dalam arti memberikan hak yang sama atas pem-
bagian harta benda yang ada di dunia secara merata dan pe-
laksanaannya dikontrol oleh hukum. Keadilan juga dipahami
Aristoteles sebagai bentuk ketaatan terhadap undang-undang,
sebab segala sesuatu yang ditetapkan undang-undang adalah
adil dan sesuai dengan hukum, sedangkan ketidakadilan di-
Ernita Dewi, M.Hum
~75
tandai dengan pelanggaran terhadap undang-undang itu
sendiri.
Aristoteles membedakan dua bentuk keadilan yaitu
keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan yang per-
tama, ditentukan oleh pembuat undang-undang, yang
distribusinya memuat jasa, hak dan kebaikan bagi anggota-
anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsional,
sedangkan keadilan yang kedua menjamin, mengawasi, dan
memelihara distribusi dan melawan serangan-serangan
illegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh
hakim dan menstabliskan kembali status Quo dengan cara me-
ngembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan
cara mengganti rugi miliknya yang hilang.
Dalam persoalan harta, secara pribadi Aristoteles
sangat mengakui adanya kepemilikan harta pribadi masing-
masing individu tanpa adanya perampasan, penghapusan hak
milik oleh negara. Sebab demi kebahagiaan rakyat, maka
negara harus memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk
menikmati kesenangan hidup salah satunya melalui ke-
pemilikan harta pribadi. Pelarangan terhadap kepemilikan
harta pribadi sama artinya mengangkangi janji negara untuk
memberikan kebebasan kepada rakyatnya. Aristoteles me-
ngecam sikap Sokrates dan Plato yang merumuskan undang-
undang penghapusan milik pribadi. Dalam pandangan
Aristoteles, tindakan Plato dan Sokrates tersebut merupakan
suatu kekeliruan besar karena telah mengesampingkan hak
rakyat demi tujuan negara semata. (Stumpf, 1975: 109)
Sebagai organisasi terbesar, negara mempunyai misi
dan tujuan mulia, yaitu kebaikan yang tertinggi (the highest)
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 76
bagi manusia dan bukan sekedar kebaikan semata. Hal ini
mendorong negara untuk senantiasa memberi jaminan ke-
baikan, ketentraman, serta dapat membentengi warganya dari
ancaman dan serangan, baik yang datangnya dari dalam mau-
pun dari luar sebagai akibat ketidakadilan, sehingga terwujud
kesejahteraan bersama yang sebesar-besarnya, karena hanya
di dalam kesejahteraan bersama itu (kesejahteraan umum),
ke-sejahteraan individual dapat diperoleh, yang pada
gilirannya tercipta kenikmatan hidup bagi seluruh rakyatnya
baik secara kualitas maupun kuantitas. Dengan demikian jelas,
bahwa tujuan utama negara ialah menjamin terciptanya
kebahagiaan lahir dan batin dan manusia merupakan objek
kesejahteraan dari tujuan negara tersebut. Dalam kehidupan
bernegara, penguasa tidak boleh memperhatikan individu
atau sekelompok masyarakat tertentu, akan tetapi penguasa
negara harus menunjukkan perhatiannya kepada seluruh
warga negara baik terhadap elit politik pemerintah, golongan
menengah maupun terhadap masyarakat di tingkat akar
rumput.
Ernita Dewi, M.Hum
~77
BAB IV
CATATAN PENTING FILSUF ISLAM
UNTUK CALON PEMIMPIN
A. Versi al-Farabi
Berbeda dengan kebiasaan filsuf muslim lainnya, al-
Farabi tidak mempublikasikan secara transparan tentang
riwayat hidupnya, dan tidak seorangpun di antara
pengikutnya yang menulis tentang silsilah kehidupannya
seperti yang dilakukan oleh al Juzjani untuk gurunya Ibnu
Sina. Biografi yang agak panjang tentang dirinya hanya
didapatkan dalam Wafayat al-A’yan-nya Ibn Khilikan, akan
tetapi terdapat banyak kelemahan dan diragukan
keasliannya (Syarif, 1996: 56). Publik secara umum mengenal
al-Farabi dengan nama lengkap Abu Nashar bin Mohammad
bin Mohammad bin Tarkhan bin Unzalagh. Sebutan al Farabi
dinisbahkan kepadanya sesuai dengan nama kota tempat
tinggal semasa ia masih kecil. Dalam teks-teks Latin abad per-
tenggakan ia dikenal dengan nama Alfarabius atau Avennasar
(Arsyad, 1995: 98).
Al-Farabi dilahirkan di kota kecil bernama Wasij,
wilayah Farab, termasuk wilayah Turkistan, pada tahun 257
H atau 870 M, dari ayah berkebangsaan Persia dan ibu
berkebangsaan Turki. Al-Farabi meninggal dunia pada tahun
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 78
339 H bertepatan dengan tahun 950 M (Sjadzali, 1990: 49).
Kepribadian dan kecerdasan al-Farabi mulai terlihat se-
menjak ia kecil. Dalam olah kata, tutur bahasa ia mempunyai
kecakapan yang luar biasa. Al Farabi menguasai bahasa Arab,
Iran, Turkistan dan Kurdistan dengan sangat fasih (Mustafa,
1997: 126). Ibn Khilikan mencatat bahwa al-Farabi mampu
berbicara dalam tujuh puluh bahasa (Sharif, 1995: 450). Mula-
mula ia belajar di Farab dan Bukhara, kemudian tinggal di
Baghdad selama 42 tahun (Ahmad, 1984: 230) Dia tidak saja
menguasai dengan baik ilmu agama dan linguistik, tetapi juga
mendalami ilmu hukum, hadits dan tafsir. Al-Farabi juga
belajar Matematika, Filsafat bahkan Ilmu Kedokteran (Sharif,
1995: 450).
Selama ia tinggal di Baghdad yang dikenal sebagai
pusat ilmu pengetahuan, al-Farabi tidak menyia-nyiakan
kesempatan, ia belajar pada Abu Bisyir Matta bin Yunus
seorang ilmuan Kristen Nastura terkenal dan banyak men-
terjemahkan karya tulis Plato serta pemikir-pemikir Yunani
lainnya. Belum puas dengan apa yang didapatkan dari
gurunya tersebut, al-Farabi kembali belajar dengan ilmuan
Kristen lainnya di Harran, Yuhana bin Heilan, pada zaman
Khalifah Abbasiyah Muqtadir (Syadzali,1990: 49). Dalam
waktu yang relatif singkat, al-Farabi meninggalkan Harran dan
kembali ke kota Baghdad untuk memperdalam ilmu falsafah.
Di sini Farabi menghabiskan waktu lebih kurang tiga puluh
tahun untuk menulis dan membuat ulasan terhadap buku-
buku filsafat Yunani. Karena kepandaian dalam meng-
interpretasikan pemikiran Plato dan Aristoteles, ia dijuluki
Magister Secundus (Guru Kedua) yang menghidupkan kembali
Ernita Dewi, M.Hum
~79
ajaran Aristoteles yang rasional sekaligus menjadi tokoh
utama dalam bidang logika (Rakhmat, 1996: 15)
Semasa hidupnya al-Farabi menghabiskan waktunya
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, sehingga ia tidak me-
miliki kesempatan mengenal dengan dekat para penguasa
Abbasiyah ketika itu. Al-Farabi seorang penulis yang sangat
produktif, dalam daftar yang disusun Kifti dan Ibn Abi Saibah,
karangannya mencakup 17 komentar, 15 risalah dan 600
ratus buku dalam berbagai disiplin ilmu (Ahmad, 1994: 231).
Dalam bidang filsafat, etika dan kemasyarakatan terdapat
delapan belas buku yang telah ditulisnya, tiga di antaranya
tentang teori politik, yaitu :
1. Ara-Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah (Pandangan-pandangan
Para Penghuni Negara yang Utama)
2. Tahshil al-Sa’adah ( Jalan mencapai kebahagiaan) ; dan
3. Al-siyasah al Madaniah (Politik Kenegaraan) (Sjazdali,
1990; 49)
Al-Farabi hidup pada zaman kekuasaan Abbasiyah di-
guncang oleh berbagai gejolak, kerusuhan dan pertentangan.
Farabi lahir pada masa pemerintahan Khalifah Mu’tamid dan
meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Muti’, suatu
periode yang paling kacau dan tidak ada stabilitas politik sama
sekali. Ketika itu timbul berbagai macam rongrongan bahkan
pemberontakan terhadap kekuasaan Abbasiyah dengan ber-
bagai motif: agama, suku dan kebendaan. Banyak anak-anak
raja terdahulu dan penguasa lama berusaha mengambil alih
kembali wilayah, dan harta kekayaan yang mereka klaim
sebagai harta nenek moyang mereka, khususnya orang-orang
Persia dan Turki. Mereka mencoba melakukan teror terhadap
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 80
khalifah yang sah dengan bantuan kelompok Syi’ah keturunan
Ali bin Abi Thalib, yang beranggapan bahwa pucuk pimpinan
pemerintahan Islam hanya berhak di pegang oleh keturunan
Abbas, paman Nabi SAW. Situasi politik menjadi lebih kalut
lagi dengan menghilangnya Imam Muhammad Mahdi (Imam
XII dari Syi’ah Imamiyah), pada usia lima tahun.
Mungkin karena situasi politik yang demikian, dan juga
karena perkenalannya dengan karya tulis filsuf Yunani seperti
Plato dan Aristoteles, membuat Farabi lebih senang ber-
khalwat, menyendiri dan merenung, merasa terpanggil untuk
mencari pola kehidupan bernegara dan bentuk negara yang
ideal. Kenyataan bahwa Farabi dalam hidupnya tidak dekat
dengan penguasa dan tidak menduduki jabatan penting dalam
pemerintahan, memberikan keuntungan dan kerugian bagi
dirinya. Keuntungan karena ia tidak dekat dengan penguasa
maka ia memiliki kebebasan dalam berpikir tanpa harus ber-
usaha menyesuaikan gagasannya dengan pola politik yang
ada. Kerugiannya dengan tidak menduduki suatu jabatan
penting dalam pemerintahan, Farabi tidak punya peluang
untuk belajar dari pengalaman dalam pengelolaan urusan ke-
negaraan, dan juga untuk menguji kebenaran teorinya dengan
kenyataan politik yang terjadi di tengah kehidupan bernegara
pada zamannya (Sjadzali, 1990: 50).
Pemikiran politik Farabi dapat dikatakan tidak ber-
dasarkan fakta melainkan objektif sesuai dengan idealisme-
nya. Filsafat kenabian yang dikemukakan erat hubungannya
dengan teori politiknya. Dalam pemikiran Farabi, politik
menduduki tempat yang terpenting karena semua bagian
filsafatnya mempunyai tujuan politik, namun politik bukanlah
Ernita Dewi, M.Hum
~81
tujuan, tetapi sebagai sarana untuk mendapatkan tujuan akhir
manusia, yaitu kebahagiaan (Daudy, 1985: 49)
Oleh karena itu pendirian politik Farabi didasarkan
atas konsepsi usaha bersama dari manusia untuk mencapai
kebahagiaan tertinggi dalam masyarakat. Untuk itu masing-
masing pribadi harus menyadari kekurangannya dengan
saling bekerjasama untuk mencapai kesempurnaan (Ahmad,
1968, 38). Sejalan dengan Plato, Aristoteles dan Ibnu Abi
Rabi’, Farabi berpendapat bahwa manusia adalah makhluk
sosial yang mempunyai kecenderungan alamiah untuk ber-
masyarakat karena keterbatasannya untuk memenuhi segala
kebutuhan hidup, tanpa bantuan dan kerjasama dengan orang
lain (Azhar, 1977: 77).
Adanya kerjasama akan menghasilkan tujuan untuk
tercapainya kebahagiaan material dan spirituil dunia dan
akhirat, itulah harapan yang dimiliki oleh setiap manusia.
Hasrat untuk bergaul menjadi pendorong utama adanya
masyarakat yang menjadi bibit awal lahirnya negara. Negara
yang didasarkan atas persetujuan bersama dari anggota
masyarakat yang berbeda latar belakang intelektual, berjanji
untuk saling memberi demi tercapainya masyarakat adil dan
makmur penuh dengan kebahagiaan. Pendapat Farabi ini di-
kenal dengan Theory of the Compact for Mutual Renunciation
of Rights, yang berarti semua warga negara secara ikhlas dan
sukarela bersedia untuk tidak mendahulukan hak-hak pribadi
dan menjunjung tinggi cita-cita bersama (Ahmad,1968:51)
Kebahagiaan hidup yang diidamkan dalam suatu
negara tidak akan pernah tercapai apabila masing-masing
individu tidak mau menyamakan persepsi dan visi bersama,
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 82
bahkan cenderung untuk memaksakan kehendak, untuk mem-
peroleh apa yang diinginkan oleh segelintir orang dengan me-
ngorbankan masyarakat banyak. Perasaan senasib dan sepe-
nanggungan harus ditanamkan dalam diri masing-masing
individu, sehingga ia mampu hidup dengan selalu melihat ke
arah penderitaan orang lain. Keinginan seperti ini muncul
dalam pemahaman hakekat negara bagi Farabi, yang me-
ngatakan bahwa negara ibarat satu tubuh yang hidup. Se-
bagaimana tubuh manusia (The body politics as the body
physical) yang menyusun suatu kesatuan dan segenap bagian-
nya saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Jika tubuh
mempunyai jantung (heart) sebagai organ tertinggi dalam
tubuh manusia yang mengatur jalannya darah ke seluruh sel-
sel, begitu juga dengan negara yang membutuhkan seorang
kepala negara yang dinamakan “Rais Awwal” (Supreme Head),
yang memiliki wewenang untuk mengatur kekuasaannya dan
membagikan kepada seluruh masyarakat sampai ke daerah
terpencil sekalipun.
Di sinilah pentingnya memilih seorang penguasa yang
mampu melaksanakan kewajibannya secara adil dan bijak-
sana. Kebersamaan tersebut akhirnya membuahkan perasaan
yang sama antara penguasa dan rakyat, bila pemimpin me-
rasakan kenikmatan maka rakyatnyapun harus merasakan hal
yang sama, sebaliknya bila pemimpin menderita maka se-
yogyanyalah rakyat ikut merasakan. Inilah interpretasi dari
satu tubuh, andaikan kepala yang sakit anggota tubuh lainnya
pun dengan sendirinya merasakan hal yang sama. Deskripsi
yang diberikan oleh Farabi tentang kehidupan bersama ini
sangat identik dengan konsep hidup dalam ajaran Islam yang
Ernita Dewi, M.Hum
~83
dikenal dengan istilah “persaudaraan Islam” (Islamic Brother-
hood), yang pertama sekali dicetuskan pada saat Nabi
Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah. Kaum
Ashar (penduduk asli Madinah) menyambut kaum Muhajirin
(penduduk Makkah) dengan suka cita dan penuh keakraban,
memberi bantuan dalam bentuk apapun dari harta benda
sampai dengan tenaga tanpa mengharapkan pamrih. Sifat ini
dinamakan iestar yang kemudian menjadi cikal bakal
munculnya inspirasi Farabi untuk mengemukakan ide ber-
negara atas dasar” berjanji meniadakan hak masing-masing”
(Ahmad. 1969: 56)
Meniadakan hak masing-masing bukanlah berarti se-
orang individu tidak memiliki wewenang penuh terhadap
harta benda yang menjadi miliknya, tetapi sikap sosial dari se-
seorang yang perlu dipertajam, sehingga kehidupan bersama
dapat diterjemahkan sebagai bentuk kehidupan yang saling
memberi, menerima, tolong menolong dan tenggang rasa
antara sesama. Sikap hidup seperti ini jauh dari rasa egois
dan individualis, seperti kehidupan di zaman modern se-
karang ini.
Keinginan untuk menciptakan kebersamaan yang
hakiki, memang tidak mudah, dan Farabi sangat menyadari
hal itu, apalagi ia merupakan pemikir pertama yang ber-
pendapat bahwa manusia tidak sama antara satu dengan yang
lain. Kehidupan manusia sangat dipengaruhi oleh faktor iklim,
lingkungan dan makanan yang dikonsumsi. Menurut Farabi
faktor-faktor tersebut memegang peranan penting dalam
pembentukan watak, pola pikir, perilaku, wawasan, dan adat
istiadat setiap individu, sehingga pribadi seseorang akan jauh
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 84
berbeda dengan yang lainnya. Dalam memahami perbedaan
tersebut Farabi lebih realistis dibandingkan Plato yang
cenderung memahami kebersamaan sebagai keharusan
mutlak yang dimiliki oleh manusia, Farabi memberikan
wewenang penuh pada masyarakat untuk mengwujudkan per-
samaan, kesatuan, dan keseragaman di antara umat manusia
berdasarkan karakter dan kemauan masyarakat itu sendiri
(Sjazdali,1990: 51)
Mengawali perbincangan tentang masyarakat, Farabi
mencoba memahami masyarakat dengan tiga klasifikasi,
yaitu: masyarakat yang sempurna dan masyarakat yang tidak
sempurna. Masyarakat sempurna terbagi lagi menjadi tiga,
masyarakat sempurna besar, masyarakat sempurna sedang
dan masyarakat sempurna kecil. Masyarakat sempurna besar
adalah masyarakat yang mempunyai komitmen bersama
untuk bersatu, saling membantu, dan bekerja sama.
Masyarakat sempurna sedang adalah masyarakat yang terdiri
dari satu bangsa dan menetap di suatu wilayah tertentu,
sedangkan masyarakat sempurna kecil adalah masyarakat
yang tinggal dalam satu kota, dikenal juga dengan istilah
negara kota. Bagi Farabi bentuk masyarakat yang sempurna
hanya terdapat dalam negara kota. Adapun masyarakat yang
tidak sempurna adalah potret penghidupan sosial di tingkat
desa, kampung, lorong dan keluarga. Keluarga merupakan
tipe masyarakat yang paling tidak sempurna dibandingkan
dengan yang lain. Keluarga adalah bagian dari masyarakat,
masyarakat adalah bagian dari negara kota, kehadiran
keluarga dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk melayani
kepentingan negara kota. Akan tetapi Farabi tidak bisa
Ernita Dewi, M.Hum
~85
menyebut unit sosial dari masyarakat ini sebagai bentuk
masyarakat sempurna, karena tidak dapat berswasembada
dan mandiri dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya,
baik kebutuhan ekonomi, sosial budaya dan spiritual
(Sjazdali,1990: 52)
Mengikuti alur pemikiran Farabi tentang bentuk
masyarakat sempurna, maka masyarakat sempurna kecil atau
negara kota (negara) sebagai kesatuan politik yang terbaik
menjadi fokus observasi Farabi yang kemudian berkembang
lagi menjadi bentuk-bentuk negara. Negara yang paling baik
disebutnya sebagai negara utama, sedangkan kebalikannya
adalah negara yang bodoh, negara yang rusak, negara yang
merosot. Negara utama atau bahagia ibarat tubuh manusia
yang sempurna dan sehat, semua aktivitas berjalan dengan
baik dan terkoordinasi dengan rapi. Semua warga negara
mampu menempatkan dirinya dengan baik pada setiap
proporsinya tanpa melenceng jauh dari ketentuan yang telah
disepakati. Di peringkat pertama terdapat seorang pimpinan
dan sejumlah warga yang kredibilitasnya mengimbangi sang
pimpinan dan masing-masing memiliki bakat dan keahlian
untuk melaksanakan tugas-tugas, untuk mendukung
kebijakan atasan, Di bawah mereka terdapat sekelompok
warga yang bertugas mengerjakan dan membantu tugas
seorang kepala beserta stafnya. Kemudian di bawah mereka
terdapat kelompok lain yang bertugas membantu rekan-rekan
yang di atasnya, dan seterusnya sampai pada kelas terakhir
dan terendah yang terdiri dari warga-warga, yang bertugas
melayani kelas-kelas yang lain sampai pada tingkatan orang-
orang yang tidak dilayani oleh siapapun (Sjazdali,1990:54).
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 86
Sebuah negara yang hanya mampu menciptakan
penderitaan berkepanjangan bagi rakyatnya, sehingga rakyat
tidak pernah mengetahui apa itu kebahagiaan, Farabi me-
nyebut negara tersebut sebagai negara bodoh, rusak dan
sesat. Bentuk negara ini adalah kebalikan dari negara utama.
Negara yang bodoh itu ada bermacam-macam. Ada negara
yang sangat primitif yang hanya mencukupi kebutuhan
rakyatnya secara terbatas, seperti makanan, minuman,
pakaian, tempat tinggal, perkawinan dan bekerja sama untuk
mewujudkan keperluan tersebut. Dari negara yang primitif
meningkat ke yang lebih maju, yaitu negara yang mendorong
rakyatnya untuk meningkatkan kehidupan materi dan pe-
numpukan kekayaan.
Dalam negara yang bodoh, penguasa memberikan
anjuran pada rakyatnya terbatas hanya untuk menikmati ke-
hidupan dengan makanan, minuman, seks dan hiburan. Ada
yang cuma menginginkan ketenaran semata, melakukan
ekspansi dan penaklukan negara-negara lain, untuk ke-
sombongan, dan ada negara dalam kualifikasi negara bodoh
yang masing-masing dari rakyatnya menikmati kebebasan
melakukan apa yang diinginkan yang pada akhirnya me-
nimbulkan anarkhi (Sjadzali, 1990: 57).
Bentuk negara bodoh menyiratkan kehidupan yang
semata-mata mengunggulkan kepentingan duniawi dengan
pemenuhan hasrat biologis yang sangat mencolok. Kehidupan
dalam negara bodoh tidak pernah mempertimbangkan hal-
hal yang immaterial, karena rakyat hanya diperkenalkan pada
kebahagiaan yang semu. Padahal kebahagiaan yang di-
dambakan oleh setiap manusia adalah kebahagiaan abadi,
Ernita Dewi, M.Hum
~87
kemakmuran dan keadilan yang menyeluruh dalam suatu
negara yang menghargai rakyatnya dengan baik, bukan
negara yang mendahulukan ambisi dengan menjadikan
rakyat sebagai tumbal yang tidak berdosa.
Menciptakan negara utama (ideal) bukanlah tugas yang
mudah. Suatu negara yang menghimpun beragam corak
individu tidak gampang menerima perintah dan dijalankan
dengan sebaik-baiknya. Banyak yang justru menyimpang dan
melakukan tindakan sendiri, walaupun bertentangan dengan
kesepakatan bersama. Untuk menciptakan masyarakat yang
ideal dibutuhkan intervensi dan tangan bijaksana seorang
pemimpin yang mampu mengayomi rakyatnya dengan penuh
perhatian. Tentu saja tidak setiap individu mampu me-
lakukannya. Dibutuhkan seseorang yang benar-benar
sanggup menjalankan tugas ini, bukan hanya dia sebagai
tokoh kharismatik dan didukung oleh banyak rakyat, se-
hingga dia dapat dipilih menjadi pemimpin tanpa mem-
pertimbangkan kualitas diri yang dimilikinya. Bagi Farabi
sebagaimana dikutip oleh Ahmad (1968: 141), memberikan
kriteria yang sangat berat untuk seorang pemimpin, yaitu:
seorang kepala negara utama adalah anggota masyarakat
atau manusia yang paling sempurna, dari kelas yang tertinggi
serta dibantu oleh orang-orang yang selevel dengannya. Me-
miliki dua belas kualitas luhur dari sisi moralitas, dan yang
sebagian telah melekat dalam dirinya yang di bawa sewaktu
lahir sebagai watak yang alami dan fitri, namun sebagian
yang lain harus ditumbuhkan melalui pendidikan, pengajaran
serta pelatihan yang terus menerus, terarah dan disiplin.
Oleh karenanya pembinaan dan pembentukan pribadi calon
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 88
pemimpin dilakukan di bawah pengawasan yang ketat.
Menurut Farabi pemimpin ideal adalah Nabi, sebab Nabi
adalah manusia pilihan yang telah teruji integritasnya, serta
mendapatkan kebenaran langsung dari Allah SWT melalui
Jibril. Namun untuk zaman sekarang dan seterusnya, ketika
Nabi sudah tidak ada lagi, maka pemimpin ideal dan terbaik
hanyalah para filsuf atau imam (penguasa tertinggi yang di-
kenal dengan sebutan imam yang adil).
Adapun dua belas kualitas luhur yang ditetapkan
Farabi untuk calon pemimpin adalah; (1) lengkap anggota
badannya; (2) baik daya pemahamannya; (3) tinggi
intelektualitasnya, (4) pandai mengemukakan pendapatnya
dan mudah dimengerti uraiannya; (5) pencinta pendidikan
dan gemar mengajar; (6) tidak loba atau rakus dalam hal
makanan, minuman dan wanita; (7) pencinta kejujuran dan
pembenci kebohongan; (8) berjiwa besar dan berbudi luhur;
(9) tidak memandang penting kekayaan dan kesenangan-
kesenangan duniawi yang lain; (10) pencinta keadilan dan
pembenci perbuatan zalim; (11) tanggap dan tidak sukar
diajak menegakkan keadilan bahkan sebaliknya sulit untuk
melakukan atau menyetujui tindakan keji dan kotor; dan (12)
kuat pendirian terhadap hal-hal yang menurutnya harus
dikerjakan, penuh keberanian, tinggi antusiasmenya, bukan
penakut dan tidak berjiwa lemah atau kerdil (Ahmad, 1968:
141)
Dua belas sikap terpuji yang disyaratkan Farabi untuk
calon pemimpin memang agak sulit didapatkan dari se-
seorang. Sikap tersebut menjadi semakin utopis lagi me-
ngingat banyaknya individu yang setelah menduduki pucuk
Ernita Dewi, M.Hum
~89
pimpinan semakin terobsesi untuk mempertahankan kepe-
mimpinan dengan berbagai cara. Sikap adil sebagai salah satu
syarat utama pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat sering dilupakan karena kerakusan dan itu men-
jadi awal kehancuran suatu negara. Sulitnya mencari tipe pe-
mimpin yang ditawarkan Farabi, bukan berarti seorang pe-
mimpin boleh sembarangan saja, seleksi harus tetap di-
laksanakan, setidaknya orang yang berilmu dan beriman, se-
hingga kebijakan-kebijakan yang bernafaskan kezaliman
dapat lebih dieliminasi. Kebahagiaan sejati hanya didapatkan
dengan tindakan-tindakan yang mulia, kebajikan yang utama
dan kepemimpinan yang benar-benar ditegakkan atas niat
yang tulus.
2. Versi Ibnu Sina
Abu Ali al-Husein ibn Abdillah ibn Hasan ibn Ali ibn
Sina adalah nama panjang seorang filsuf ternama dalam dunia
Islam dan mendapat gelar kehormatan sebagai Syaikh ar-Ra’is.
Akan tetapi dia lebih dikenal dengan panggilan nama akhir-
nya saja yaitu Ibnu sina. Dilahirkan di desa Efsyanah
(kawasan Bukhara) pada tahun 370 H./1980 M, dari keluarga
yang bermazhab Syi’ah (Daudy, 1986: 66). Ayahnya bernama
Abdullah berasal dari Balkah, pernah menjadi Gubernur di
wilayah Bukhara yang diangkat oleh penguasa Samaniyah,
Nuh II bin Mansur. Ibunya bernama Astarah, berasal dari desa
Afshanah, Persi, yang sekarang lebih dikenal dengan
Afghanistan (Ahmad, 1974: 28). Ibn Sina dibesarkan di daerah
kelahirannya, Bukhara, dan di sanalah Ibn Sina mempelajari
berbagai disiplin ilmu, seperti : filsafat, kedokteran, politik dan
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 90
ilmu-ilmu agama lainnya, sampai dia mampu menghafal al-
Quran dengan sangat sempurna (Daudy, 1986: 66).
Ibnu Sina meninggalkan Bukhara pada usia 22 tahun,
setelah ayahnya meninggal dunia dan ia pergi ke Jurjan. Di
Jurjan ia mulai mengajar dan mengarang. Tetapi karena
kondisi yang tidak kondusif di Jurjan, Ibnu Sina sering ber-
pindah dari satu tempat ke tempat lain sampai akhirnya ia
tiba di Hamadah, dan menghabiskan sisa hidupnya di sana
(Mustofa, 1997: 189) Ibnu Sina adalah sosok manusia karier
yang hidup penuh dengan perjuangan, di tengah dunia muslim
mengalami perubahan pesat dan kegelisahan jiwanya tidak
dapat memberikan kemerdekaan, serta kedamaian yang di-
perlukan oleh kesibukannya sebagai seorang intelektual
besar. Dalam kondisi pikirannya yang kacau, Ibnu Sina masih
sanggup menyelesaikan sejumlah karya monumental di ber-
bagai disiplin ilmu pengetahuan. Kesibukannya menulis dan
keasyikannya menekuni bidang politik membuat kondisi ke-
sehatannya menurun, akibatnya Ibnu Sina menderita sakit
perut yang luar biasa, dan akhirnya Ibnu Sina meninggal
dunia pada tahun 428H./1037 M, dalam usia 57 tahun (Jamil,
1984: 141-142).
Diskursus tentang pemikiran pemerintahan dan ke-
pemimpinan dalam Islam kurang lengkap terasa, tanpa meng-
hadirkan pemikiran brilian dari Ibnu Sina yang juga dijuluki
dokter, politikus, dan negarawan. Satu-satunya tokoh yang
mampu menyatukan profesi yang bertolak belakang antara
satu dengan lainnya. Akan tetapi nama Ibnu Sina sering di-
lupakan dalam pembahasan ilmu politik, bukan saja oleh
kalangan pemikir politik dunia Islam, bahkan dunia Barat
Ernita Dewi, M.Hum
~91
sekalipun sangat jarang mengambil Ibnu Sina sebagai salah
satu tokoh penggagas ilmu pemerintahan. Padahal Ibnu Sina
juga memiliki konsep pemerintahan yang tidak kalah unggul-
nya dengan teori-teori kenegaraan lainnya.
Keingin-tahuannya tentang dunia politik sudah diawali
semenjak dia remaja, ayahnya yang merupakan salah seorang
tokoh terkemuka dari aliran Isma’iliyah kelompok yang
menjadi bagian integral dari partai Syi’ah, selalu melibatkan
Ibnu Sina dalam perbincangan mengenai berbagai persoalan
aktual yang terjadi, juga ketika pelebaran sayap kekuasaan
aliran ismailiyah sampai ke Bukhara, di bawah pimpinan pe-
merintahan Fatimiyah yang berpusat di Mesir (Ahmad,
1974:41) Pengalaman yang diberikan oleh orang tuanya
secara tidak langsung tersebut telah mengantarkan Ibnu Sina
menjadi administrator di Samaniyah, menteri pertama di
Hamadan, dan untuk kedua kalinya dipercayakan menjadi
perdana menteri di tempat yang sama, dan terakhir sebagai
penasehat agung di Isfahan (Ahmad, 1974: 83).
Keterlibatannya langsung dalam kancah politik men-
jadikan Ibnu Sina melihat secara jelas semua peristiwa yang
terjadi di masyarakat. Seringnya ia mengadakan lawatan ke
daerah-daerah tempat dimana ia dipercaya untuk menjabat
tugas pemerintahan, membuka wawasan Ibn Sina tentang apa
yang seharusnya dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya
dan apa keinginan yang paling utama yang didambakan
rakyat. Dalam perjalanan karier politiknya Ibnu Sina juga
mengalami kegetiran yang luar biasa, akibat dari mem-
perjuangkan cita-cita politik yang dianutnya, ia pernah
menjadi buronan yang di kejar-kejar sampai beberapa kali
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 92
masuk penjara. Ibnu Sina dikenal sangat konsisten dengan
pendiriannya dan sangat gigih dalam memperjuangkan nasib
rakyat. Dia selalu memihak pada kepentingan rakyat dengan
segala konsekwensinya, daripada menundukkan wajah ter-
hadap kezaliman. Untuk rakyat, Ibnu Sina pernah meletakkan
jabatannya sebagai menteri pertama (Ahmad, 1974: 230).
Oleh karena itu ide tentang negara dalam konsepsi Ibn
Sina lebih mengarah pada kehidupan realistis, jauh lebih
transparan bila dibandingkan dengan pemikiran Farabi yang
hanya mencita-citakan sebuah negara ideal tanpa pernah
terlibat langsung dalam pemerintahan di masa kehidupannya.
Keterlibatannya di bidang politik, tidak membuat Ibnu
Sina melupakan tugasnya dalam bidang ilmu pengetahuan.
Dia juga seorang dokter istana yang sangat dihormati karena
kepintarannya. Dia juga banyak mengarang buku-buku
tentang filsafat umum, metafisika, psikologi, logika, sastra,
theologi, tafsir dan buku tentang tasawuf. Kebiasaan hidupnya
yang selalu bergaul dengan orang-orang istana membuat ia
lebih berani dan siap menduduki jabatan politis.
Ibnu Sina berpendapat bahwa politik tidak bisa di-
lepaskan dari agama karena hampir semua pembahasan dari
ilmu-ilmu Islam berkaitan dengan politik, seperti masalah
terjadinya dan berakhirnya dunia, fiqh, dan ibadah. Adapun
yang paling mendominasi bidang politik antara ilmu-ilmu ter-
sebut antara lain; 1) ilmu akhlak 2) ilmu mengatur rumah
tangga 3) ilmu tata negara, dan 4) ilmu nubuwwah (kenabian)
(Ahmad, 1974: 186). Meskipun diakui buku-buku politik Ibnu
Sina sangat sedikit jumlahnya, akan tetapi uraian yang di-
berikannya sangat padat, sehingga dapat tersusun menjadi
Ernita Dewi, M.Hum
~93
suatu teori dalam ilmu politik. Buku-buku politik Ibnu Sina
yang telah diterbitkan antara lain :
1. As Syifaa’, bab (maqalah) ke 10 dari ilmu metafisika.
Bab ke 10 ini dibaginya kepada 5 pasal : 1. Tentang awal
dan akhir dunia (mabda’ wal ma’ad); 2. Menetapkan
nubuwah dan cara-cara dakwah yang dijalankan Nabi; 3.
Ibadah dan faedahnya untuk dunia dan akhirat; 4. Pem-
bentukan negara dan rumah tangga dengan segala aturan-
nya secara umum; dan 5. Khalifah dan imam serta wajib
taat kepadanya, juga penegasan tentang politik, mua’malat
(ekonomi dan sosial), dan akhlak.
2 Risaalah as-Siyaasah (Book on Politics), berisikan tentang
ilmu politik. Risalah ini diperoleh dalam kumpulan tiga
belas buah risalah yang masih ditulis tangan di per-
pustakaan Leiden Nederland. Buku tersebut telah dijual ke-
pada Muhammad bin Ahmad pada tahun 408 Hijrah, ditulis
Ibnu Sina 20 tahun sebelum kematiannya. Dipublikasikan
pertama sekali oleh Majalah al- Masyriq yang pimpin oleh
Abu Luis Makluf dari Yesuit pada tahun 1906. Dalam buku
as-Siyasah sebagaimana dikutip Dr. Muhammad Yusuf
Musa isinya menguraikan tentang keluarga dan susunan
rumah tangga, serta pendidikan. Ibnu Sina telah berusaha
menghimpun ketiga unsur tersebut menjadi bagian integral
negara yang tidak bisa dipisahkan. Membicarakan negara
berarti mempersoalkan politik, berarti juga membicarakan
keluarga dan rumah tangga, juga membicarakan pen-
didikan. Secara ringkas pendapat Ibnu Sina adalah sebagai
berikut:
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 94
a. Negara adalah suatu badan politik
b. Rumah tangga adalah sumber utama dari negara dan
sumber inspirasi, dan
c. Pendidikan adalah jalan yang paling esensial untuk
negara (Ahmad,1974:187)
3. Fi aqsam al ‘ulum al ‘aqliyah ( On the division of the Rational
Sciences) Klasifikasi Ilmu-ilmu Akal
Buku ini memunculkan ide-ide Ibnu Sina tentang ilmu-ilmu
rasional yang dimulai dengan ilmu filsafat dan cabang-
cabangnya, kemudian bagian ilmu yang teoritis ilmiyah dan
ilmu yang praktis. Dalam bukunya tersebut Ibnu Sina me-
masukkan ilmu alam, matematika, metafisika, dan logika.
Ilmu metafisika tercakup di dalamnya wahyu Tuhan dan
kenabian. Walaupun karangannya ini tidak secara spesifik
menjelaskan politik, tetapi di dalamnya terdapat uraian
politik, ekonomi bahkan moral secara jelas juga hubungan
antara ketiga ilmu tersebut dalam suatu negara, sebagai-
mana halnya hubungan antara negara, rumah tangga dan
individu (Ahmad, 1974: 190)
4. Fi Itsbat an Nubuwat (On the Ptoof of Prophecies)
menetapkan adanya kenabian. Karangannya ini mem-
perjelas kedekatan hubungan pemikiran politik Ibnu Sina
dengan ajaran Islam. Bagi Ibnu Sina Nabi Muhammad SAW
adalah sosok pemimpin yang paling ideal dan sistem pe-
merintahan yang dipraktikkan Nabi Muhammad SAW
adalah model politik yang patuh dicontoh (Ahmad, 1974:
192)
5. Al Arzaaq (On Economics) tentang pembahagian rezeki.
Dalam buku ini Ibnu Sina menyusun secara rapi
Ernita Dewi, M.Hum
~95
perbincangan tentang ekonomi mulai dari ekonomi rumah
tangga sampai ekonomi rakyat dan negara. Dijelaskan juga
tentang prinsip-prinsip ekonomi dan praktiknya yang ber-
kaitan erat dengan neraca anggaran yang harus dilakukan
mencakup pengeluaran dan pemasukan. Ibnu Sina ber-
keyakinan bahwa ekonomi memegang peranan penting
dalam membentuk suatu negara (Ahmad,1974:194)
6. Tadaabier ul manaazil ‘an as siyaasah al Ilaahiyah
(penyusunan kekeluargaan dan politik Ketuhanan). Buku
tersebut menggambarkan karakter dari politik yang ber-
dasarkan ketuhanan yang diinginkan oleh Ibnu Sina yaitu
sifat kekeluargaan.
7. Tadbier ul junud wal mamaaliek wal ‘asaakir wa arzaaqihim
wa kharaj al mamaaliek (Book on the army and finance)
tentang pertahanan dan angkatan bersenjata, gaji dan
keuangan negara (Ahmad, 1974: 195)
Judul panjang dari buku tersebut menggambarkan dengan
jelas tentang hal-hal yang berhubungan dengan keuangan
dalam negara. Keuangan negara digunakan sebesar-besar-
nya untuk keperluan pertahanan sampai ke gaji angkatan
bersenjata adalah uang yang berasal dari rakyat dan sudah
seharusnya politik pertahanan adalah politik kerakyatan.
Keseluruhan karangan Ibnu Sina tentang politik telah
disusun oleh Zainal Abidin Ahmad dalam sebuah buku yang
diberi judul Negara Adil dan Makmur menurut Ibnu Sina. Ibnu
Sina menjadi orang pertama yang mencetuskan ide tentang
negara adil dan makmur. Walaupun tidak dapat dipungkiri
bahwa inspirasinya muncul dengan bantuan pemikiran politik
Plato, Aristoteles, dan juga gurunya Farabi. Ibnu Sina telah
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 96
berusaha menyusun pemikiran tersebut secara sistematis,
dengan memasukkan ajaran Islam sebagai landasan prinsip-
nya, dan garis tegas untuk idenya. Ditambah lagi dengan pe-
ngalaman pribadi dan lawatan yang dilakukan ke berbagai
daerah ketika dia menjabat sebagai Perdana Menteri. Ke-
nyataan tersebut telah membuat Ibn Sina mampu secara
konsisten untuk menyusun ide kenegaraannya.
Teori adil dan makmur dalam pemahaman Ibnu Sina
dimulai dari faktor ekonomi. Belajar dari sejarah Islam, Ibnu
Sina mempunyai keyakinan bahwa soal ekonomi menjadi
sumber revolusi sosial yang sangat signifikan. Dia menyadari
bahwa pembentukan masyarakat Islam pertama dimulai oleh
Nabi Muhammad SAW, dengan menyusun perekonomian
umat Islam. Kaum anshar yang memiliki banyak harta ke-
kayaan menyumbangkan hak miliknya kepada kaum
muhajirin yang tidak memiliki apapun, sehingga terbentuk ke-
harmonisan antara yang kaya dengan miskin (Ahmad, 1974:
11).
Sebagaimana pandangan Plato dan Aristoteles tentang
manusia sebagai makhluk sosial yang cenderung hidup
bersama, sampai munculnya keinginan untuk membentuk
negara, berpengaruh pada alam pikir Ibnu Sina, ia sependapat
bahwa manusia tidak akan bisa hidup sendiri tanpa bantuan
yang lain. Namun Ibnu Sina mendukung adanya milik pribadi
setiap manusia. Dia menolak paham milik bersama Plato, yang
tidak mengakui milik pribadi. Walaupun pada bukunya Nomoi
Plato akhirnya menerima akan keharusan adanya hak milik
perseorangan. Ibnu Sina berpegang teguh pada prinsipnya
tentang hak milik pribadi yang bersumber pada ajaran Islam.
Ernita Dewi, M.Hum
~97
Ibnu Sina juga sangat menekankan bahwa negara harus
bertanggung jawab pada terwujudnya kesejahteraan rakyat,
dan atas penghidupan yang layak bagi seluruh rakyat di
bawah kekuasaannya. Seorang pemimpin tidak boleh menyia-
nyiakan rakyatnya dalam penderitaan, yang membuat mereka
menjadi budak dalam negaranya sendiri.
Pembicaraan kenegaraan Ibnu Sina lebih banyak me-
libatkan rakyat sebagai subjek, dan Ibnu Sina sangat sedikit
membicarakan tentang kepala negara sebagaimana yang di-
lakukan Farabi. Ibn Sina melihat kepala negara bukanlah
sumber kekuasaan dari negara, tetapi lebih merupakan akibat
dari kekuasaan yang berada di tangan rakyat. Maka per-
bincangan tentang rakyat lebih ditempatkan sebagai yang
utama, baik rakyat secara pribadi maupun dalam keluarga.
Corak pemikiran Ibnu Sina ini lebih berorientasi dari
bawah ke atas (buttom up) bukan dari atas ke bawah (top
down). Ibnu Sina tidak mengesampingkan kehadiran rakyat
sebagai pribadi yang sangat memegang peranan penting
dalam pembentukan negara. Dari pribadi (individu), muncul
keluarga yang kemudian berkembang dalam organisasi yang
lebih besar. Setiap pribadi manusia harus diberikan pen-
didikan yang cukup, sehingga ia mampu menjadi warga
negara yang baik. Pendidikan pribadinya direalisasikan untuk
keluarga yang berakibat positif bagi eksistensi negara. Secara
tegas, Ibnu Sina mengatakan adanya kepala keluarga akan
memunculkan kepala pemerintahan yang memiliki sifat ke-
bapakan, bagian dari rakyat yang mampu memimpin keluarga
besar yang bernama negara. Dari sini Ibnu Sina sudah mulai
menanamkan prinsip kerakyatan. Dengan prinsip ini Ibnu Sina
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 98
mulai menyusun politik kerakyatan, dan ekonomi kerakyatan
(Ahmad, 1974: 21)
Berbeda dengan gurunya al-Farabi yang menulis secara
khusus teorinya tentang negara Al Madinah Al Fadhilah
(Negara Utama). Ibnu Sina tidak memberikan judul khusus
tentang negara, hanya saja dalam bukunya As Syifa’ bab ke 10
ia menyebutkan 3 nama tentang ide negara yang dicita-
citakannya:
a. Al Madinah Al Fadhilah (negara Colectivis) yang bercorak
kemasyarakatan. Meskipun judul yang digunakannya
sama dengan al-Farabi, tetapi penerjemahannya lebih di-
orientasikan kepada sifat yang tepat dan idenya yang
hakiki,
b. Al Madinah al ‘Adilah (negara adil) yaitu negara yang
berpegang teguh pada hukum dan menjunjung tinggi ke-
adilan. Keadilan yang diinginkan Ibnu Sina meliputi se-
luruh aspek ekonomi dengan pembagian yang adil dan
merata,
c. Al Madinah al Hasanah al Siyrah (negara moral) yaitu
negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Tidak
hanya warga secara pribadi yang harus bersikap dan ber-
tindak dengan akhlak yang utama, tetapi negara dan
masyarakat haruslah tunduk kepada hukum moral yang
tidak tertulis (Ahmad, 1974: 160).
Interpretasi yang dikemukakan Ibnu Sina tentang
pentingnya hidup bernegara jauh lebih mendalam dari filsuf
Yunani ataupun al-Farabi. Ibnu Sina tidak memberikan tempat
pada masyarakat yang tidak bernegara, seperti halnya yang
diberikan oleh al-Farabi dengan nama masyarakat yang belum
Ernita Dewi, M.Hum
~99
sempurna. Nama yang demikian tidak ada dalam konsepsi
Ibnu Sina. Syarat utama bagi suatu negara ialah adanya hukum
dan keadilan, ada pemimpin yang membuat dan melaksana-
kan hukum tersebut, dan melindungi keadilan. Sebagaimana
dikatakan Ibnu Sina manakala kebenaran sudah nyata, maka
pastilah hidupnya manusia berkumpul bersama manusia lain,
dan berkumpul ini tidaklah sempurna tanpa adanya
masyarakat yang dengan segala sebab-sebab yang harus di-
lakukannya. Masyarakat tersebut memerlukan adanya hukum
dan keadilan. Adanya hukum dan keadilan memerlukan ada-
nya pembuat hukum dan pelaksana keadilan. Pembuat hukum
dan pelaksana keadilan harus sanggup berbicara dengan
rakyat dalam bahasa yang mudah dimengerti, dan mampu
menjadikan rakyat taat atas hukum tersebut. Pembuat hukum
dan pelaksanaan keadilan haruslah dari rakyat. Tidaklah
boleh manusia mengikuti pemikirannya masing-masing, se-
hingga terjadinya perselisihan dan beranggapan bahwa pen-
dapatnya yang benar dan adil, semua yang bertentangan
dengan dia adalah salah dan zalim. Maka adanya pembuat
hukum dan pelaksana keadilan sangat diperlukan untuk me-
melihara kehidupan manusia, melebihi perlunya bulu mata
dengan alis matanya, begitu juga adanya tulang-tulang pada
lutut kakinya, dan segala kepentingan lain yang sangat di-
butuhkan. Bahkan manfaat yang paling banyak untuk ke-
pentingan hidup dan terciptanya manusia yang baik di dunia
ialah dengan membuat hukum dan keadilan sebagaimana
yang telah diterangkan oleh Ibnu Sina.
Tidaklah mungkin inayah Tuhan Yang Maha Esa meng-
hendaki adanya berbagai manfaat bagi manusia dengan tidak
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 100
menghendaki adanya hukum, dan keadilan yang menjadi
sendi kebutuhan itu. Tidak mungkin Tuhan sebagai First
Principle dan malaikat yang mengetahui segala kebutuhan
manusia tidak mengetahui perlunya hukum dan keadilan,
sebagaimana tidak mungkin bahwa Dia yang mengetahui
segala peraturan yang diadakan dan yang dibutuhkan untuk
mengatur segala jalan kebaikan, tetapi tidak diadakannya.
Bagaimana dapat diterima akal bahwa segala sesuatu yang
ter-gantung pada hukum dan keadilan itu sudah terjadi,
sedang hukum dan keadilan itu sendiri tidak diperoleh
(Ahmad, 1974: 215).
Penjelasan yang diberikan Ibnu Sina mempunyai arti
bahwa tidak mungkin berdirinya suatu negara tanpa adanya
hukum yang ditaati oleh rakyatnya, dan hukum tersebut di-
laksanakan dengan keadilan. Jika manusia membutuhkan
negara sebagai suatu persekutuan hidup yang sah dan resmi
maka syarat yang terpenting untuk negara adalah hukum dan
keadilan. Secara ringkas dapat dikualifikasikan bahwa negara
yang diinginkan oleh Ibnu Sina adalah; 1) negara memerlukan
adanya hukum, 2) hukum haruslah berisikan keadilan, 3)
hukum dan keadilan memerlukan adanya pembuat hukum
dan pelaksana keadilan yaitu pemerintah, 4) pembuat hukum
dan pelaksana keadilan haruslah manusia yang mampu ber-
komunikasi langsung dengan rakyat, 5) hukum dan keadilan
adalah untuk mengatur kebutuhan hidup rakyatnya.
Supremasi hukum dan keadilan menjadi target utama
yang harus dijalankan dalam suatu negara. Tanpa hukum dan
keadilan suatu negara tidak akan terbentuk. Ibn Sina me-
nuntut lebih baik tidak ada kesempurnaan tubuh asalkan
Ernita Dewi, M.Hum
~101
dalam suatu negara ada hukum dan keadilan. Mungkin ini ber-
lebihan, namun Ibnu Sina ingin memperlihatkan betapa
pentingnya keadilan dan hukum demi tegaknya negara dan
terwujudnya sistem kemasyarakatan yang baik. Keadilan bagi
Ibnu Sina mencakup seluruh lini kehidupan, dimulai dari ke-
adilan di bidang pemerataan ekonomi sampai kepada pe-
netapan hukuman bagi orang yang melakukan pelanggaran
harus sesuai dengan perbuatan jahat yang dilakukan.
Negara dalam perspektif Ibnu Sina harus berlandaskan
pada musyawarah untuk mencapai mufakat, tidak ada tempat
bagi diktator dan otoritas individu. Negara juga berdasarkan
pada azas gotong royong, saling tolong-menolong, berjiwa
kolektif yang disebut oleh Ibnu Sina Madilah al Fadhillah
(Negara Kolletif). Semua permasalahan yang menyangkut
rakyat dan negara harus diatur oleh undang-undang, dan
undang-undang tersebut harus dijalankan dan dipatuhi.
Undang-undang yang dibuat harus bersandarkan kepada al
Quran dan hadits nabi, sebab Allah SWT, telah mengutus nabi
–nabi untuk memimpin manusia dan membimbing manusia ke
jalan yang suci dan benar. Oleh karena itu manusia harus
senantiasa mentaati peraturan yang sejalan dengan ajaran
agama Islam (Ahmad, 1974: 217). Memang pemikiran Ibnu
Sina terpengaruh dengan ajaran agama yang dianutnya, yaitu
agama Islam.
Menurut Ibnu Sina tugas menjadi pemimpin me-
rupakan tugas yang sangat berat, oleh karena itu Ibnu Sina
menetapkan beberapa syarat seorang pemimpin antara lain :
(1) mempunyai kecerdasan akal yang mendalam (2) memiliki
akhlak mulia (3) memiliki keberanian (4) memiliki visi dan
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 102
misi yang jelas (5) dan mengerti hukum syari’ah secara baik
yang termanifestasi dari pemikirannya, serta disetujui secara
umum .
Berbeda dengan al-Farabi, Ibnu Sina tidak me-
masukkan syarat filosof yang bersifat nabi sebagai syarat lain
dari seorang pemimpin. Hanya yang paling penting seorang
pemimpin bagi Ibnu Sina harus cerdas, berakhlak mulia, dan
mengetahui secara mendalam tentang syariah Islam sebagai
landasan utama pelaksanaan suatu pemerintahan. Secara jelas
memang hampir tidak ada pembahasan yang terperinci
mengenai bentuk atau tipe seorang pemimpin menurut Ibnu
Sina. Akan tetapi apabila dikaji dari pernyataan Ibnu Sina
berikut ini, ”manakala kebenaran ini sudah nyata, maka pasti-
lah hidup manusia berkumpul bersama manusia lainnya, dan
berkumpul ini tidaklah sempurna tanpa adanya masyarakat,
hidup dengan segala sebab-sebab yang harus dilakukannya.
Masyarakat memerlukan hukum sunnah dan keadilan. Adanya
hukum dan keadilan memerlukan adanya pembuat hukum
dan pelaksanaan keadilan. Pembuat hukum dan pelaksana
keadilan harus mampu berbicara dengan rakyat (dalam
bahasa yang dimengerti), dan sanggup menjadikan mereka
mentaati segala peraturan hukum itu. Pembuat hukum dan
pelaksana keadilan itu haruslah manusia (dari rakyat)”.
Statemen Ibnu Sina itu menyiratkan bahwa kepemimpinan
yang dinginkan oleh Ibnu Sina harus bersandarkan pada
hukum Islam.
Ernita Dewi, M.Hum
~103
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 104
BAB V
KONSEPSI KEPEMIMPINAN
MENURUT MUJADDIN ISLAM
A. Ibnu Taimiyah
Nama lengkapnya Taqi al-Din Abul-Abbas Ibnu Abdul
Halim Ibnu Abdus-Salam Ibnu Taimiyah. Ia lahir pada 22
Januari 1262 M/ 661 H di Harran, dekat Damaskus Syria
(Azhar, 1997: 92). Lima tahun setelah jatuhnya Baghdad ke
tangan bangsa Tatar, yang berarti berakhirnya dinasti
Abbasyiah. Pada usia 6 tahun ia mengikuti ayahnya pindah ke
Damaskus untuk menghindari kekejaman bangsa Tatar.
Ayahnya, Abu al-Mahasin Abdu al-Halima bin Abdullah adalah
seorang ahli fiqh Hanbaly juga ahli tafsir dan hadits yang
sekaligus menjadi guru pertama bagi Ibnu Taimiyah, sebelum
dia belajar pada guru lain seperti Ali Zain al-Din al-
Muqaddasi, Najm al-Din bin Asakir, Zainab binti Maki dan be-
berapa guru lainnya. Di usia 20 tahun ketika ayahnya me-
ninggal dunia, Taimiyah mulai menunjukkan perhatian besar
untuk mempelajari fiqh Hanbali, di samping mendalami ilmu-
ilmu al-Qur’an, hadits, dan teologi (Sjazali, 1990: 79). Ibnu
Taimiyah segera menduduki jabatan-jabatan yang pernah di-
percayakan kepada ayahnya untuk menjadi guru, hakim, dan
menjadi khatib di mesjid-mesjid. Disitulah awal kariernya
yang kontroversial dimulai sampai ia menjadi seorang pemikir
Ernita Dewi, M.Hum
~105
yang sangat bebas dengan didukung oleh ketajaman intuisi,
setia pada kebenaran, piawai dalam berpidato, penuh ke-
beranian dan sangat tekun.
Ibnu Taimiyah mempunyai semua persyaratan yang
dapat mengantarkannya menjadi pribadi yang luar biasa.
Namun sangat disesalkan cara berpikirnya yang bebas, justru
menimbulkan permusuhan dengan pengikut-pengikut mazhab
Syafi’i sehingga jabatan itu dilepas dari tangannya (Jindan,
1995: 21). Akan tetapi namanya terlanjur terkenal di dunia
Islam dan Taimiyah ditugaskan untuk berkhutbah jihad me-
lawan suku Mongol yang menyerbu Suriah, serta me-
naklukkan Damaskus. Khutbahnya menggembleng rakyat dan
menggugah Sultan Mesir, al-Nasir untuk mengangkat senjata
melawan orang-orang Mongol. Pada perang dahsyat di Marj-
as-Shafar 1902 M, Ibnu Taimiyah berjuang dengan gagah
berani menjatuhkan pasukan Mongol sehingga pasukan itu
terusir dan menderita kerugian besar. Sejak saat itu hingga
akhir hidupnya, Taimiyah memulai hidupnya dengan keras
dan sengsara. Pandangan bebasnya seolah-olah menjadi
kutukan bagi hidupnya. Taimiyah menyarankan oposisi di ber-
bagai daerah yang menimbulkan amarah para pemuka pe-
merintahan. Pada tahun 1307 M, Taimiyah bersama saudara-
nya dipenjara selama 4 tahun karena dituduh mempertalikan
sifat manusia dengan sifat Tuhan.
Setelah dibebaskan Taimiyah dijadikan guru besar di
sekolah yang di dirikan oleh Sultan Mesir. Tujuh tahun setelah
pengabdiannya, Taimiyah diizinkan pulang ke Damaskus
untuk diangkat menjadi guru besar, tetapi sengketa besar
dengan Sultan membawa Taimiyah kembali ke penjara
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 106
beberapa bulan (Ahmad, 1984: 102). Ibnu Taimiyah adalah
penganut keunggulan hati nurani individual yang memiliki
corak berpikir bebas, yang memunculkan kontroversi muslim
ortodoks dan konvensional. Kutukannya yang mematikan
terhadap praktek-praktek pemujaaan orang suci dan pe-
nganutnya menimbulkan dendam di hati Sultan, dan terpaksa
mengurung Taimiyah di benteng Damaskus pada 1326 M. Di
tempat tersebut Taimiyah tekun menulis al-Quran dan surat
selebaran lainnya tentang persoalan yang kontroversial.
Taimiyah wafat di penjara pada 1327 M, kabar kematiannya
membuat suram kota Damaskus (Ahmad, 1984: 103).
Ibnu Taimiyah dikenal sebagai pemikir yang memiliki
intuisi yang tajam, setia kepada kebenaran, piawai dalam
berpidato, dan lebih dari itu Taimiyah memiliki keberanian
dan ketekunan. Ia memiliki semua persyaratan yang me-
ngantarkannya kepada pribadi yang luar biasa (Jindan, 1995:
21).
Ibnu Taimiyah hidup pada masa dunia Islam
mengalami puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial dan
dekadensi akhlak serta moral. Kekuasaan pemerintah tidak
lagi berada di tangan khalifah yang bertahta di Baghdad, me-
lainkan pada penguasa-penguasa wilayah atau daerah yang
bergelar sultan, raja atau amir. Tetapi wilayah kekuasaan
akhirnya dipersempit atau bahkan direbut oleh penguasa-pe-
nguasa dari timur atau oleh Krusades dari barat. Jatuhnya
Baghdad ke tangan Tatar, yang berarti berakhirnya dinasti
Abbasyiah merupakan puncak proses disintegrasi tersebut.
Seiring runtuhnya dinasti Abbasyiah menjadikan tiap pe-
nguasa wilayah bebas menggunakan gelar khalifah. Dari
Ernita Dewi, M.Hum
~107
sekian banyak sultan yang ada pada waktu itu hanya dinasti
baru Mamalik di Mesir yang mendapatkan legitimasi ke-
agamaan bagi kekuasaannya dengan mengangkat pangeran
Abu al-Kasim Ahmad bin Amir al-Mukminin, paman khalifah
Musta’sim yang dibunuh bangsa Tatar di Baghdad. Dengan
gelar al-Munstashir bi-Allah, sedangkan Ibnu Taimiyah sendiri
yang berada di Damaskus berada di bawah kekuasaan
Mamalik. Masyarakat di mana Ibnu Taimiyah hidup khususnya
di seluruh wilayah kekuasaan Mamalik sangat heterogen
dalam hal kebangsaan, status sosial, agama, aliran, budaya dan
hukum. Akibatnya sering terjadi perang dan mobilitas pen-
duduk dari berbagai bangsa. Kerawanan-kerawanan dan ke-
rusuhan sangat mudah terjadi dalam kehidupan bernegara,
sehingga stabilitas politik dan keserasian sosial sangat sukar
diciptakan. Yang lebih parah lagi, masalah yang muncul tidak
hanya pada perbedaan agama, tetapi banyaknya mazhab ter-
masuk mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Ibnu
Taimiyah sering keluar masuk penjara bukan karena me-
musuhi penguasa semata, sebagai tokoh dari mazhab Hanbali
tidak jarang Taimiyah dipenjara karena ketajaman kritiknya
terhadap kebiasaan memuja para Nabi dan para wali (Sjazali,
1990: 81).
Dampak dari kemerosotan politik dan agama yang
dialami Taimiyah selama perjalanan hidupnya, membuat jiwa
Ibnu Taimiyah dipenuhi rasa keyakinan dan keimanan akan
keagungan dan ketinggian Islam. Ibnu Taimiyah mulai me-
nyusun sasaran perjuangan yang cukup bervariasi, dari per-
juangan membalas serangan yang dilancarkan musuh-musuh
Islam dengan kekuatan-kekuatan senjata, sampai perjuangan
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 108
untuk mengembalikan kaum muslimin pada ‘aqidah Salafiyah,
‘aqidah firqah Najiyah (golongan yang selamat) yaitu ‘aqidah
tauhid dalam hakikat yang tinggi. Setiap denyut nadi
kehidupannya senantiasa diwarnai jihad yang berke-
sinambungan baik dengan senjata maupun pena hingga
mengantarnya ke penjara Damaskus. Di tempat yang sama
Taimiyah menghembuskan nafas terakhirnya bertepatan pada
Minggu malam (malam Senin) 20 Dzulqaidah 728 H. men-
jelang detik-detik terakhir kehidupannya Ibnu Taimiyah selalu
mengulang-ulang ayat Allah “Sesungguhnya kaum muttaqin
itu berada di Syurga dan sungai yang mengalir, di tempat yang
disenangi di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa”.
Karya tulis Ibnu Taimiyah dalam bidang politik yang
paling penting tertuang dalam bukunya yang berjudul Al-
Siyasah al-Syar’iyah fi Islah al-Ra’i wa al-Ra’iyah (Politik ber-
dasarkan Syari’ah bagi perbaikan penggembala dan gembala).
Dari judulnya saja sudah tersirat maksud Ibnu Taimiyah untuk
memperbaiki situasi masyarakat dan mengikis habis segala
kebobrokan baik moral maupun sosial sebagai akibat dari
malapetaka yang menimpa umat Islam karena perang dengan
Krusades yang tidak kunjung reda serta serbuan bangsa Tatar.
Ibnu Taimiyah beranggapan, kehancuran suatu umat disebab-
kan oleh buruknya para pemimpin dan kurang tepatnya
aparatur negara yang dipilih baik di tingkat pemerintahan
pusat maupun daerah (Sjazali, 1990: 82). “
Jika pemimpin rusak maka, rusaklah rakyat yang di-
pimpinnya. Demikianlah fenomena menyedihkan yang selalu
menghantui pikiran Ibnu Taimiyah. fenomena ini menjadi
sebab utama kerusakan kaum muslimin, terampasnya negara
Ernita Dewi, M.Hum
~109
dan kehormatan, serta mendorong musuh-musuh Islam me-
nyerang kaum muslimin. Lebih lanjut dikatakan Ibnu
Taimiyah gejala ini merupakan virus utama dari segala jenis
penyakit yang diderita kaum muslimin pada waktu itu
(Taimiyah, 1995: viii).
Kondisi di atas mendorong Ibnu Taimiyah untuk mem-
formulasikan suatu rumusan pemerintahan Islam ber-
dasarkan keyakinan bahwa umat Islam hanya dapat mungkin
diatur oleh pemerintahan yang baik. Orientasi pemikiran
politik Taimiyah yang bersendikan agama didasarkan atas
firman Allah dalam al-Quran surat an Nisa’ ayat 58 dan 59
yang artinya: ”Sesungguhnya Allah Menyuruh kamu me-
nyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan
menyuruh kamu ketika menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepada
kamu, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat. Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan
Rasul-Nya dan pemimpin-pemimpin di antara kamu, jika
kamu berbeda pendapat tentang sesuatu maka kembalikan hal
tersebut kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar per-
caya kepada Allah dan hari kiamat, sikap demikian itu lebih
utama bagimu dan akan lebih baik kesudahannya”.
Menurut Taimiyah makna ayat 58 surat An-Nisa’ di
atas diperuntukkan bagi para pemimpin negara. Demi ter-
ciptanya kehidupan bernegara yang serasi sudah seharusnya
seorang pemimpin menyampaikan amanah kepada pihak yang
berhak menerimanya, dan bertindak adil dalam mengambil
keputusan atas sengketa sesama masyarakat, sedangkan ayat
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 110
59, ditujukan kepada rakyat. Rakyat diperintahkan supaya
taat kepada Allah dan Rasul, juga kepada pemimpin dengan
melaksanakan segala perintahnya selama tidak bertentangan
dengan agama. Apabila terjadi perbedaan pendapat di antara
sesama manusia, maka solusinya adalah kembali kepada Allah
(al-Quran) dan Rasul-Nya (Sunnah).
Ibnu Taimiyah sangat menekankan kewajiban para
pemimpin negara untuk menyampaikan amanah kepada pihak
yang berhak dan berlaku adil, dalam memutuskan sengketa
supaya terjadi perpaduan kebijaksanaan politik yang adil dan
pemerintahan yang baik (Sjazali, 1990: 83). Perkataan
amanah yang harus disampaikan oleh seorang pemimpin
mempunyai dua manifestasi: pertama, dalam penunjukan
pejabat-pejabat negara; kedua, dalam pengelolaan kekayaan
negara dan pengurusan serta perlindungan atas harta benda
yang merupakan hak milik rakyat. Pengangkatan aparatur
pemerintahan harus dilakukan oleh seorang pemimpin
dengan cara yang objektif tanpa terpengaruh oleh nepotisme,
dan petugas tersebut memiliki kecakapan dan kemampuan
untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Keharusan me-
nyelenggarakan seleksi menurut Taimiyah tidak hanya ter-
batas pada jabatan pejabat tinggi tetapi kepada jabatan-
jabatan kemasyarakatan, seperti iman mesjid, muadzin, guru,
kepala pasar, dan kepala desa.
Apabila seorang pemimpin mengangkat wakil-wakil
atau pembantunya dari orang yang kurang mampu untuk
menduduki suatu jabatan, sedangkan masih terdapat orang
yang lebih cakap untuk jabatan itu, menurut Taimiyah
pemimpin tersebut telah melakukan pengkhianatan terhadap
Ernita Dewi, M.Hum
~111
Allah SWT, rasul, dan umat Islam. Interpretasi ini didasarkan
kepada sabda Nabi Muhammad SAW, yaitu :
1. Sabda nabi kepada Abu Dzat, bahwa kepemimpinan itu
suatu amanah, yang pada hari kiamat nanti menjadi
sumber kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang
melaksanakannya dengan benar dan mempercayakannya
kepada yang berhak.
2. Sabda nabi, jika amanah sudah hilang, maka tunggulah
kehancuran, dan amanah itu akan hilang kalau ke-
pemimpinan diserahkan kepada orang yang bukan
ahlinya (yang tidak memiliki kecakapan dan kemampuan
untuk menduduki jabatan tersebut).
Masalah yang paling menyibukkan Ibnu Taimiyah me-
ngenai kekuasaan adalah bagaimana kemaslahatan masyarakat
dapat lebih dulu direalisasikan dari masalah lain. Untuk itu
dibutuhkan bantuan dari orang yang mampu untuk me-
wujudkan kemaslahatan tersebut. Tentu saja dengan ber-
pegang teguh pada unsur kepribadiannya. Faktor yang paling
penting terciptanya kemaslahatan harus lebih kuat daripada
faktor yang bisa menimbulkan kerusakan (Huwaidi, 1982:
183).
Statement di atas dimaksudkan Ibnu Taimiyah bahwa
seorang pemimpin haruslah orang kuat dan bukan orang yang
lemah supaya mampu melindungi rakyatnya. Titik tolak Ibnu
Taimiyah dalam hal ini didasarkan pada do’a Umar bin
Khattab yang mengadu kepada Allah tentang kekuatan orang
zalim dan kelemahan orang yang dapat dipercaya. Maka yang
harus dilakukan dalam setiap kekuasaan adalah mengambil
yang bermanfaat. Apabila ada dua orang pemimpin, yang satu
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 112
lebih dapat dipercaya dan yang satu lagi lebih banyak me-
miliki kekuatan, maka harus diprioritaskan yang lebih ber-
manfaat dan yang sedikit mudharatnya, seperti komandan
perang harus diserahkan kepada orang yang lebih kuat dan
pemberani walaupun ia memiliki sifat yang kurang baik, dari
pada orang yang lemah meskipun ia sangat amanah. Per-
nyataan Ibnu Taimiyah ini diperkuat dengan riwayat Imam
Ahmad yang pernah ditanya tentang dua orang yang harus
dipilih menjadi komandan perang, yang satu kuat namun ia
zalim dan satunya lagi shaleh tapi lemah. Menjawab per-
tanyaan tersebut Imam Ahmad menetapkan pemimpin perang
diserahkan kepada orang yang kuat meskipun zalim, karena
kekuatan yang dimilikinya akan sangat bermanfaat untuk
kejayaan umat muslim, sedangkan kezalimannya akan ter-
pulang untuk dirinya sendiri.
Nabi SAW juga pernah mengangkat Khalid bin Walid
sebagai komandan perang setelah ia menyatakan keislaman-
nya, padahal sebelumnya Khalid pernah melakukan per-
buatan yang sangat tidak direstui Nabi SAW, sementara itu
ada seorang bernama Abu Dzar dengan sikapnya yang sangat
lurus apabila dibandingkan Khalid namun tidak diserahkan
tampuk kepemimpinan, disebabkan Abu Dzar orang yang
lemah (Taimiyah, 1995: 14-15).
Ibnu Taimiyah sangat mengakui sulitnya mencari se-
orang pemimpin yang memiliki kekuatan dan juga amanah
sekaligus. Kebanyakan dari manusia hanya memiliki satu sifat
di antara dua sifat yang menjadi syarat kepemimpinan. Hal ini
mengharuskan seorang rakyat untuk lebih mengutamakan
penempatan seseorang sesuai dengan proporsinya. Bila
Ernita Dewi, M.Hum
~113
pemimpinnya seorang yang sangat amanah dan memiliki
kemampuan yang luar biasa, ia dapat dijadikan pemimpin
tetapi ia harus memilih wakilnya yang memiliki kekuatan
untuk dapat melindungi dirinya dan rakyat yang dipimpinnya,
sehingga akan terwujud suatu konfigurasi yang sesuai dan
penuh keseimbangan demi terwujudnya masyarakat yang
sejahtera lahir dan batin.
Ibnu Taimiyah tidak memfokuskan pemikirannya pada
perbincangan bentuk pemerintahan Islam tetapi ia lebih
banyak menampilkan bahasan mengenai urgensi kekuasaan
dalam menerapkan syariat dan kewajiban umat untuk me-
matuhinya. Paradigma Ibnu Taimiyah tentang Syariat Islam
menjadi sumber kekuasaan final dan sandaran mutlak bagi
segala bentuk kekuasaan, dan kekuatan yang bertujuan untuk
mengalihkan gerakan Islam dari pengaruh theokrasi, yaitu
suatu bentuk pemerintahan yang berada dalam cengkeraman
Tuhan, sedangkan Ibnu Taimiyah lebih mengarahkan pe-
mikirannya ke sistem pemerintahan yang nomokrasi yaitu
sistem pemerintahan yang didasarkan pada hukum atau
undang-undang resmi (al- Quran dan Hadits). Metodologi yang
diterapkan Ibnu Taimiyah untuk mengalihkan perhatian dari
lambang khalifah kepada urgensi atau kewajiban umat Islam
untuk memiliki kekuasaan politik adalah dengan menerapkan
sistem syariat melalui berbagai upaya kerja sama antara
umara dan ulama. Suatu negara Islam tidak wajib mempunyai
seorang khalifah sebagai penguasa tunggal yang menjadi ciri
umum masyarakat yang islami. Suatu bentuk pemerintahan
yang menetapkan syariat sebagai penguasa tertinggi adalah
gambaran dari pemerintahan Islam yang memenuhi syarat.
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 114
Disamping itu syarat pokok yang mendasari kekuasaan negara
Islam adalah dengan mendasari perilaku masyarakatnya pada
ajaran-ajaran Islam sebagai basis dan norma utama tegaknya
negara Islam.
Taimiyah tidak melupakan status individu yang me-
rupakan bagian dari konsepsinya tentang negara. Ia menyebut
istilah negara, dengan wilayah (susuan atau rancangan ke-
percayaan), mencerminkan penekanannya pada fungsi ke-
percayaan negara. Taimiyah memandang pegawai (abdi)
negara sebagai wakil-wakil Allah yang ditunjuk untuk me-
merintah rakyat sekaligus orang-orang kepercayaan (wukala’)
rakyat itu sendiri, yang berkewajiban melindungi berbagai
kepentingan mereka. Hadis yang digunakan untuk melandasi
pendapatnya adalah: ”Ketahuilah bahwa tanggung jawab
pemerintahan itu hanyalah suatu kepercayaan ; pada hari
pembalasan tanggung jawab itu justru akan memukul balik
pemegangnya, kecuali bila ia melaksanakan tugas dengan adil
dan memenuhi segenap kewajiban yang berkaitan dengan
pemerintahan itu”. Sabda Nabi ini disampaikan kepada
sahabat yang ditugaskan untuk memimpin pemerintahan di
salah satu provinsi Islam. Hadis lain yang dikutip Ibnu
Taimiyah menyebutkan bahwa: “Tidak ada pemerintahan
kepercayaan Allah yang berhak masuk surga jika pe-
merintahannya dilaksanakan dengan mengibuli masyarakat”.
Dari kedua hadis tersebut yang paling masyhur tentang sisi
penting tanggung jawab sosial dan individu yang paling sering
dikutip Ibnu Taimiyah dalam al-Siyasah al-Shar’iyyah adalah :”
semua orang di kalangan kamu sekalian adalah pemimpin dan
Ernita Dewi, M.Hum
~115
kamu semua akan diminta pertanggungjawaban atas ke-
pemimpinannya”.
Hadis-hadis tersebut menyiratkan klaim individu ter-
hadap negara, bukan hukum alam, bukan hukum positif,
namun hukum syariat yang mengharuskan para abdi negara
untuk melihat diri sendiri sebagai orang kepercayaan dan
perantara yang dipercayai Allah untuk memimpin masyarakat
(rakyat) ke jalan yang lurus. Kepemimpinannya nanti akan di-
mintai penjelasan secara terperinci di Mahkamah Allah pada
hari pembalasan nanti. Bila seorang abdi negara melakukan
tugasnya dengan baik, maka ia akan memperoleh balasan
kenikmatan yang setimpal, demikian juga andaikan seorang
abdi negara melakukan perbuatan yang menyimpang bahkan
menyakiti hati rakyat, Allah SWT akan membalas per-
buatannya dengan hukuman secara setimpal. Melihat ke-
nyataan ini sudah seharusnya pemimpin yang Islam merasa
gemetaran dan berhati-hati dengan jabatan yang dipercaya-
kan kepadanya.
Pelaksanaan pemerintahan Islam harus bertanggung
jawab penuh kepada Allah dan masyarakat serta kepada
segenap anggotanya secara individual. Oleh karena itu pe-
merintah berkewajiban untuk melaksanakan nilai-nilai moral
keadilan, persamaan, dan kebebasan. Khusus masalah ke-
adilan Taimiyah melihatnya sebagai syarat pokok bagi semua
bentuk pemerintahan yang sah, baik pemerintahan Islam
maupun yang non Islam. Alasan yang dikemukakan adalah :
keadilan merupakan ciri alamiah segala sesuatu. Jika keadilan
menjadi basis pemerintahan, maka kesuksesan akan sangat
mudah untuk diraih, siapapun yang mengendalikan pe-
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 116
merintahan. Sebaliknya suatu pemerintahan yang zalim akan
mudah terjerumus dalam kehidupan tanpa arti meskipun
terbungkus dengan bermacam kewajiban pemerintahan. Nilai
keadilan dianggap begitu penting dalam pemikiran politik
Ibnu Taimiyah sehingga tempatnya berada di atas keimanan
bila dikaitkan dengan masalah pemerintahan. Menurut pen-
dapatnya,” Allah mendukung negara yang adil meski bercorak
atheistik, namun Dia tidak akan memberikan dukungan pada
negara yang tidak adil kendati di jalankan atas dasar
keimanan (Jindan,1995: 100).
Ucapan Ibnu Taimiyah ini memang terkesan sangat
ekstrem, dan sepertinya telah melanggar ketentuan umum
dengan menempatkan keadilan di atas keimanan, tetapi
karena Ibnu Taimiyah sangat terobsesi dengan suatu negara
yang benar-benar menegakkan keadilan sebagai landasan
utama kekokohan dan kemakmuran sebuah negara, per-
nyataan tersebut terluncur secara sempurna dari pikirannya.
Taimiyah sangat mendambakan negara yang benar-benar baik
dan sesuai dengan tuttutan agama Islam, tidak seperti model
kekuasaan yang dipraktikkan di masa kehidupannya.
Negara yang menjadikan hukum Allah sebagai pe-
doman pemerintahan, tidak boleh mengesampingkan unsur
keadilan dalam pelaksanaan sistem pemerintahannya. Prinsip
keadilan merupakan bagian dari hukum Allah itu sendiri
seperti ditegaskan dalam berbagai ayat al-Quran dan hadits
yang dijadikan sandaran Ibnu Taimiyah. Salah satu hadits
tersebut berasal dari Musnad Ibnu Hanbal menyebutkan:
makhluk yang paling dicintai Allah adalah pemimpin yang adil
Ernita Dewi, M.Hum
~117
sedang makhluk yang paling dibenci adalah pemimpin yang
zalim (Taimiyah, 1995: 22).
Lebih dari itu ketika menafsirkan ayat al-Quran (al-
Baqarah : 24), Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa kandungan
Firman Allah itu penegasan yang menyatakan keadilan me-
rupakan syarat paling penting bagi seorang pemimpin yang
sah. Dengan demikian pemimpin yang zalim tidak patut ditaati
karena kezaliman yang dilakukan telah memupus fungsi ke-
pemimpinannya. Konsekuensi penekanan pada keadilan pe-
merintahan yang sah memberi arti bahwa individu dan pe-
merintahan Islam mempunyai hak dan kewajiban untuk me-
nuntut keadilan dari pemegang kekuasaan politik (Jindan,
1995: 100).
Ibnu Taimiyah juga menekankan persamaan (equality)
sebagai nilai moral lain yang tercantum dalam syari’at dan
mempunyai pengaruh nyata pada kedudukan individu dalam
masyarakat Islam. Taimiyah mengaitkan persamaan dan
keadilan seraya mengajukan alasan bahwa semua manusia
mempunyai asal usul yang sama. Oleh karena itu, sungguh
tidak adil jika beberapa di antara manusia memandang diri
lebih tinggi dari orang lain. Keadilan menuntut agar semua
orang diperlakukan atas dasar persamaan. Taimiyah juga me-
nyadari bahwa persamaan dan esensi tidak akan menghapus
munculnya ketidaksamaan dalam fungsi, baik akal maupun
wahyu, maka Taimiyah mengakui keberagaman atau
differensiasi fungsi, sebagaimana dicontohkan tubuh manusia
dengan organ–organ yang beraneka ragam. Argumentasinya
ini berpijak pada ayat al-Quran yang menjelaskan adanya per-
bedaan di antara manusia sebagai bagian dari rencana Allah :
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 118
“Kami akan mengujimu dengan berbagai anugerah yang telah
Kami berikan kepadamu” (Q.S. 6: 165).
Lebih lanjut Ibnu Taimiyah menafsirkan syariat dengan
cara yang sanggup untuk menjamin kebebasan yang luas
terhadap individu khususnya dalam bidang ekonomi. Untuk
mempertahankan kekayaan perorangan dari cengkeraman ke-
kuasaan masyarakat, bahwa semua kebaikan di dunia telah
diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan hanya
Allah saja yang membagikan kekayaan di kalangan individu
yang beraneka ragam. Negara tidak berhak mengambil alih
kekayaan pribadi karena perilaku itu akan merusak rancangan
segala sesuatu yang berasal dari Allah. Ibnu Taimiyah juga
mengharapkan adanya keseimbangan agar orang-orang kaya
agar dapat hidup berdampingan secara damai dengan orang
miskin. Dengan kata lain, prinsip kompetisi harus diganti
dengan azas koperasi atau kerja sama dan saling tolong
menolong (Jindan, 1995: 101).
Banyaknya persoalan yang harus diselesaikan dalam
kehidupan manusia menjadi awal yang tidak bisa dinafikan
untuk terbentuknya negara dan pemerintahan yang berfungsi
untuk mengelola urusan umat. Di samping itu berdirinya
suatu negara juga dilandasi oleh adanya perintah agama yang
paling agung karena agama tidak mungkin tegak tanpa ada
pemerintahan. Umat manusia tidak mungkin memenuhi ke-
butuhannya sendiri tanpa kerjasama dengan pihak lain dalam
suatu masyarakat, dan masyarakat membutuhkan seorang pe-
mimpin untuk mengatur dan mengelola semua kepentingan
masyarakat yang tidak mungkin diselesaikan sendiri. Pe-
mimpin yang dipilih mestilah orang yang benar-benar mampu
Ernita Dewi, M.Hum
~119
menegakkan keadilan, mengajak kepada kebaikan, dan me-
larang apa-apa yang telah dilarang oleh Allah SWT (Sjazali,
1990: 89) Pemimpin dengan kewenangan dan kekuasaan
pemerintahan yang telah dipercayakan kepadanya sebagai
amanah, yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh rakyat
juga Allah SWT, sebagai pencipta dirinya dan mempercayai dia
menjadi pemimpin, tidak boleh mengkhianati amanah dengan
melakukan hal-hal yang menyakiti hati rakyatnya. Seorang
pemimpin harus berjalan atas ketentuan hukum Islam se-
bagaimana yang tertuang dalam al-Quran dan hadits. Tidak
ada alasan bagi pemimpin yang islami untuk memper-
tahankan kekuasaan dengan melakukan tindakan yang me-
langgar perintah agama. Bila perbuatan tersebut dilakukan
maka rakyat berkewajiban untuk mencabut kembali ke-
percayaan yang telah diberikan kepadanya, dan diserahkan
kepada orang lain yang memang mampu untuk menjalankan
amanah berat tersebut
Secara singkat dapat dirumuskan, Ibnu Taimiyah me-
netapkan dua syarat utama bagi seorang pemimpin, yaitu :
a. Syarat In’qad (syarat sah pengangkatan seorang pe-
mimpin), dalam kategori enam syarat antara lain : muslim,
laki-laki, baligh, berakal, adil, dan mampu melaksanakan
amanah.
b. Syarat afdhaliyah (syarat keutamaan), syarat ini bisa di-
tetapkan jika di dukung oleh nash yang sahih atau ter-
masuk kategori hukum yang ditetapkan dengan nash yang
sahih pula (An-Nabani, 1998: 66-70).
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 120
B. Murthadha Muthahhari
Murthadha Muthahhari lahir pada 2 Februari 1919
dari keluarga saleh, di Khurasan. Ayahnya, Muhammad Husein
Muthahhari, seorang Hujjatul Islam terkenal dan sangat di-
hormati. Muthahhari dibesarkan dalam didikan ayahnya yang
sangat bijak, hingga mencapai usia 12 tahun. Pada Ramadhan
1356 H, ia hijrah ke Qum dan belajar di bawah bimbingan
gurunya, Ayatullah Khomeini dan Boroujerdi. Minat besar
Muthahhari dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan sudah
tampak semenjak ia menduduki bangku kuliah. Di antara
karya-karya filsuf kenamaan yang telah telaahnya adalah
karya; Aristoteles, Will Durant, Sartre, Freud, Bertran Russel,
Einstein, Erich Fromm, Alexis Carrel, dan sejumlah pemikir
Barat lainnya. Salah satu guru utamanya di bidang filsafat
adalah: Allamah Thabathaba’i, seorang ulama besar yang telah
menghasilkan berbagai karya filsafat dan penyusun tafsir al-
Qur’an terkenal, al-Mizan.
Dalam usia 36 tahun, Muthahhari sudah mengajar ilmu
logika, filsafat dan fiqh di Fakultas Teologia Universitas
Taheran. Selama mengajar, Muthahhari juga pernah di-
percayakan sebagai ketua jurusan filsafat pada fakultas yang
sama. Kecemerlangan pemikiran dan keluasan ilmunya, dapat
diamati pada sejumlah mata kuliah yang diasuhnya, antara
lain; fiqh, al-Ushul, Ilmu Kalam, al-Irfan (tasawuf), logika dan
filsafat. Pada tanggal 2 Mei 1979, tepatnya dalam usia 60
tahun, Muthahhari meninggal dunia di Iran, setelah di-
berondong oleh sejumlah pemuda dari kelompok Furqan
Ernita Dewi, M.Hum
~121
akibat perjuangannya yang menentang penyelewengan
(Muthahhari, 1993: 4).
Memahami pemikiran politik Muthahhari, tidak dapat
dilepaskan dari pemikiran wilayah faqih (pemerintahan faqih)
yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut : Allah adalah
pencipta, hakim mutlak yang mengatur alam semesta dan
segala isinya. Allah memilih manusia sebagai khalifah di bumi.
Untuk keselamatan manusia di bumi, Allah memilih di antara
manusia orang-orang yang memilih unsur-unsur kepribadian
yang luhur, merekalah yang berhak memimpin umat. Pe-
merintahan nabi, para imam, sudah berlalu, sekarang umat
berada dalam kepemimpinan fuqaha. Sebagai pemimpin umat,
fuqaha harus memenuhi 3 persyaratan, yaitu : pertama fuqaha
(mujtahid mutlak yang mampu menetapkan kesimpulan
tentang hukum-hukum syara’ dari sumber-sumbernya); kedua
‘Adalah (tetap teguh menjalankan syari’at Islam dan memiliki
pribadi yang bersih, saleh dan taqwa); tiga Kifaah (memiliki
kecerdasan dan pengetahuan yang luas sehingga terampil me-
ngurus kehidupan umat. Inilah tiga hal esensial yang mutlak
harus ada pada ulama (Muthahhari, 1992: 13).
Pemahaman Muthahhari tentang pemimpin yang me-
negakkan keadilan berkaitan erat dengan aliran Syiah yang
dipegangnya dan beranggapan bahwa keadilan adalah bagian
daripada tauhid yang menyangkut empat persoalan yakni ;
keadilan, akal, kebebasan dan kebijakan. Kelompok Syiah juga
disebut sebagai kaum ‘adaliyah (mengakui keadilan Allah).
Pemikiran Syiah ini hampir sama dengan Mu’tazilah namun
Syiah berbeda dalam membahas persoalan kebebasan, di
mana Syiah tidak menafsirkan adanya pelimpahan kebebasan
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 122
secara mutlak kepada manusia sebagaimana yang dipahami
oleh Mu’tazilah karena paham Syiah menghindari pemberian
kebebasan mutlak kepada manusia, yang akan menafikan
kebebasan yang Maha Benar dan dianggap sebagai bentuk
penuhanan manusia dan penyekutuan tugas-tugas Tuhan.
Syiah mendukung prinsip keadilan dengan konsepnya yang
komprehensif, tanpa harus mengorbankan tauhid fi’li atau
tauhid zati. Keadilan telah memperoleh posisinya yang benar
di samping tauhid. Keadilan dan Tauhid adalah dua sifat yang
‘alawi, sedangkan jabr dan tasbih adalah dua hal yang bersifat
umawi. Syiah telah menegaskan prinsip keadilan, kehormatan
akal, dan kebebasan memilih pada manusia serta penetapan
hukum yang bijak di dunia ini tanpa harus menodai tauhid zati
atau tauhid fi’li. Mazhab Syiah juga menetapkan kebebasan
manusia tanpa harus menjadikannya mitra di dalam kerajaan
Tuhan dan tanpa menjadikan kehendak Tuhan terpaksa dan
terkalahkan oleh kehendak manusia. Syiah mengakui qadha
dan taqdir Tuhan tanpa harus mengubah manusia menjadi
sekedar alat yang dijalankan menuju qadha dan taqdir Tuhan
tersebut.
Dalam mazhab Teologi Syiah persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan tauhid telah dipecahkan dalam bentuk yang
benar-benar memanifestasikan Tauhid. Manifestasi dari ke-
adilan Ilahi sangat berpengaruh dalam pembentukan dan
penetapan syariat terhadap ilmu-ilmu keislaman sejak abad
pertama hijriah. Prinsip keadilan mendapat prioritas khusus
dari dalam pembahasan kaum Syiah sehingga Syiah disebut
kelompok “adaliyah”. Keadilan juga menjadi prinsip teologis
yang membedakan Syiah dengan kelompok-kelompok lain.
Ernita Dewi, M.Hum
~123
Muthahhari sebagai bagian dari pengikut Syiah menempatkan
keadilan sebagai salah satu rukun iman dalam mazhabnya.
Persoalan-persoalan keadilan juga menjadi bagian dari
lapangan sosial yang sudah diperbincangkan sejak awal Islam
dan tingkat aplikasi keadilan di kalangan masyarakat umum.
Pemikiran-pemikiran yang menyangkut keadilan
menjadi sangat krusial bagi seorang muslim termasuk seorang
imam atau pemimpin itu harus berlaku adil. Demikian juga
dengan qadhi (hakim), saksi di pengadilan, saksi thalaq atau
ruju’, imam Shalat Jumát, masing-masing disyaratkan satu
orang yang adil seiring dengan sabda Rasulullah SAW,
“Seutama-utama jihad adalah menyatakan yang benar kepada
penguasa tirani”. Statement nabi tersebut harus menjadi
ucapan seseorang dan perlu diketahui bahwa kalimat pendek
tersebut telah mendorong keberanian dan memberi andil
yang besar terhadap pembentukan barisan kaum muslim.
Sejarah keadilan dari segi aplikasinya dan pengguncangannya
terhadap masyarakat Islam, merupakan persoalan yang
sangat luas, serta akan terus diperdebatkan seiring per-
putaran zaman. Muthahhari memunculkan pertanyaan
tentang sejarah keadilan secara ilmiah atau amaliah, mengapa
teologi Islam di urutan pertama sebelum persoalan lain, dan
mengapa kata-kata keadilan begitu melekat pada telinga
politik Islam, hal ini tentu memiliki sumber rahasia yang
sangat khas.
Menjawab pertanyaan tersebut, Muthahhari memulai
argumentasinya dengan uraian, bahwa benang hijau yang
menghubungkan munculnya keadilan dalam masyarakat
Islam, secara ilmiah atau amaliah, sumber pertama yang harus
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 124
dikaji adalah pesan-pesan yang terdapat dalam al-Qur’an al-
Karim. Kitab agung ini benar-benar menjadi kitab yang me-
naburi benih-benih pemikiran keadilan pada sanubari dan
jiwa manusia, kemudian menyirami dan menumbuhkannya
dalam bentuk pemikiran dan filosofis, praktis dan sosial. Al-
Qur’an secara tegas memunculkan keadilan dan kezaliman
dari fenomena yang berbeda-beda, antara lain: keadilan pe-
rekayasaan, keadilan tasyri’iy, keadilan moral, dan keadilan
sosial. Al-Qur’an menjelaskan bahwa bentuk keadilan tersebut
didasarkan pada landasan keseimbangan dan pemerataan
pada pemilikan hak dan kemampuan. Titik tolak yang diambil
Muthahhari untuk menjelaskan tentang keadilan, sebagai-
mana firman Allah dalam Qur’an surat 3 (18) “ Allah me-
nyatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia, yang menegakkan
keadilan. Para Malaikat dan juga orang-orang yang berilmu
menyatakan yang demikian…; atau bahwa keadilan me-
rupakan tolak ukur bagi Allah SWT dalam penciptaan: dan
Allah telah meninggikan langit, dan Dia meletakkan neraca
(keadilan) (Q.S, 55: 7). Rasulullah SAW menjelaskan ayat
tersebut dengan sabdanya :”dengan keadilan tegaklah langit
dan bumi”.
Keadilan tasyri’iy, Muthahhari mencoba membahasnya
dengan penjelasan bahwa al-Qur’an memberikan perhatian
yang sangat istimewa untuk masalah ini, yaitu terpeliharanya
prinsip keadilan di dalam hukum yang relatif dan dalam
perundang-undangan hukum (tasyri’iy qanuny). Al-Quran se-
bagai mu’jizat bagi umat muslim menjelaskan bahwa tujuan
diutusnya para Nabi adalah untuk menegakkan sistem ke-
manusiaan dan memimpin kehidupan manusia atas dasar
Ernita Dewi, M.Hum
~125
keadilan. Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul
Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata yang telah
kami turunkan bersama mereka al-Kitab neraca (keadilan)
supaya mereka tegak dengan keadilan. Firman Allah tersebut
adalah perintah yang secara tegas diperuntukkan pada
manusia untuk menegakkan supremasi hukum dan me-
melihara prinsip keadilan dalam penetapan hukum, sehingga
manusia mendapat bimbingan ke arah kehidupan yang ber-
perikeadilan dan berperikemanusiaan. Rasul sebagai pe-
mimpin yang dipercaya mampu mengantarkan umatnya ke
arah penghidupan yang lebih baik, telah diutus oleh Allah juga
dengan misi untuk menegakkan keadilan, karena dengan
tegaknya keadilan maka langit dan bumipun akan tegak ber-
diri dengan kokoh.
Pembentukan sistem sosial atas dasar keadilan, per-
tama sekali didasarkan pada hukum tasy’riiy dan qanuny yang
adil, baru kemudian direalisasikan. Dalam perspektif al-Quran
al-karim kepemimpinan (imamah atau qiyadah) sebagai per-
janjian Ilahi (ahdan ilahiyah) yang darinya akan lahir per-
juangan menentang kezaliman dan menciptakan kebahagiaan
dengan bantuan keadilan. Nabi-nabi yang bertugas sebagai
pembawa amanah tentang kebenaran dari Allah SWT kepada
manusia, sekaligus menjadi pemimpin bagi umatnya dalam
menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Para nabi di-
berikan kelebihan yang luar biasa dengan diawasi langsung
oleh Allah SWT melalui malaikat, sehingga memungkinkan
bagi nabi untuk menjalankan tugasnya dengan baik . Hal ini di-
buktikan dengan terpilihnya nabi Ibrahim sebagai imamah. Al-
Quran menjelaskan “ Dan ingatlah ketika Ibrahim di uji oleh
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 126
Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan).
Lalu Ibrahim menunaikannya, Allah berfirman: Sesungguhnya
Aku akan menjadikanmu pemimpin untuk seluruh manusia.
”Ibrahim berkata: “Dan (saya) memohon juga termasuk dari
keturunan ku. “Allah berfirman : Perjanjian ini tidak akan
diterima oleh orang-orang yang zalim (Q.S, 2 : 124). Ketika
Allah SWT menetapkan Nabi Ibrahim sebagai pemimpin, Nabi
Ibrahim mengharapkan keturunan-keturunannnya juga men-
jadi pemimpin. Kepemimpinan merupakan perjanjian Tuhan
yang tidak boleh dipegang oleh orang-orang yang zalim dan
tidak bertanggung jawab. Al-Quran al- Karim di beberapa ayat
menyebutkan bahwa manusia yang mempunyai moral berarti
menjadi pemilik keadilan, dan ketika berbicara tentang per-
selisihan, penetapan hukum dan orang yang patut di pegang
pendapatnya, al-Quran menunjuk orang yang mempunyai
keadilan.
Keadilan dalam pemikiran Islam berada dalam
lingkaran Qur’ani yang dimulai dari Tauhid hingga Maad (hari
akhirat), dari Nubuwwah (kenabian) hingga imamah dan ke-
pemimpinan : dari cita –cita individual hingga tujuan sosial.
Dengan demikian keadilan menjadi pendamping bagi tauhid
untuk mencapai kesempurnaan bagi seseorang dan tanda ke-
sejahteraan masyarakat, ketika keadilan dihubungkan dengan
tauhid dan maad, keadilan mempunyai makna terhadap
pandangan manusia tentang wujud dan alam. Ini berarti, pada
dasarnya keadilan itu menjadi pandangan dunia (world view).
Keadilan dalam kaitannya dengan nubuwwah dan perundang-
undangan menjadi tolak ukur dan standar untuk mengetahui
hukum, di samping memberi keleluasaan bagi akal untuk
Ernita Dewi, M.Hum
~127
berijtihad setelah mendapatkan ketentuan yang ada dalam al-
Quran dan sunnah. Keadilan dalam perbincangan ke-
pemimpinan dipandang sebagai kelayakan dan cita-cita
manusia, dan untuk masalah sosial dinamakan tanggung
jawab.
Muthahhari berpendapat bahwa apabila kita melihat
seseorang tidak mempunyai sikap jelek terhadap orang lain,
tidak melanggar hak-hak di antara mereka, tidak
membedakan sebagian orang dari sebagian yang lain, ia
bekerja pada suatu daerah dan bertanggung jawab terhadap
negara, memperlakukan masyarakat secara sama dan tidak
mengenal pilih kasih, apabila terjadi perbedaan pendapat
yang dibelanya adalah orang teraniaya dan ditentangnya
orang yang menganiaya, maka dapatlah dipandang orang
tersebut memiliki kesempurnaan. Sikap hidup seperti itu
menunjukkan sikap baik sehingga orang tersebut dapat
disebut orang adil.
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 128
BAB VI
MEWUJUDKAN PEMIMPIN IDEAL
DALAM APLIKASI
Perjuangan mewujudkan pemerintahan yang adil
dengan seorang pemimpin yang ideal harus terus di-
kumandangkan seiring dengan perkembangan manusia dalam
bernegara. Tidak seorangpun menyetujui bila negara yang
dibangun atas keyakinan bersama untuk memberikan ke-
sejahteraan dan kebahagiaan bagi rakyat – dalam istilah Plato
disebut Common Bonum dan Common Welfare- kemudian ber-
ubah menjadi pemerintahan tirani yang penuh kezaliman.
Masing-masing individu dalam kehidupan bermasyarakat
berhak menuntut diperlakukan secara adil dan berkewajiban
melawan segala bentuk penindasan. Sikap ini dipandang
rasional dan manusiawi mengingat pentingnya pemimpin me-
negakkan keadilan dan memprioritaskan kepentingan rakyat
di atas kepentingan pribadinya.
Pemimpin Islam adalah orang yang paling bertanggung
jawab terhadap kehidupan rakyat jelata. Mata, telinga, dan
pikiran harus mampu menjangkau ke setiap sudut wilayah
kekuasaannya, agar setiap air mata rakyat yang mengalir
dapat diketahui oleh pemimpinnya. Sebagai negarawan
Ernita Dewi, M.Hum
~129
muslim, tanggung jawab yang luar biasa telah ditunjukkan
dalam kepemimpinan Rasulullah SAW, yang rela me-
ngorbankan harta dan jiwanya bagi keselamatan umatnya.
Sikap ini kemudian mewarnai kepemimpinan para sahabat
sepeninggal beliau, setidaknya seperti terlihat dari kritik
tajam seorang wanita miskin yang ditujukan kepada Umar R.A,
yang membuat Umar ketakutan dan sedih akibat kelalaiannya
menjalankan amanat sebagai pemimpin. Umar ibnu Khattab
R.A memohon wanita miskin tersebut memaafkan dirinya.
Suatu sikap yang sangat utopis dilakukan oleh pemimpin
dewasa ini, yang selalu berkata bahwa dia sudah banyak
berbuat untuk kesejahteraan rakyatnya, padahal kita tahu
bahwa kebiasaan pemimpin sekarang sangat kurang peduli
pada rakyatnya. Sikap kepemimpinan Umar juga diikuti oleh
Abu Bakar R.A, Usman R.A, dan Ali R.A sebagai pemimpin ideal
yang telah teruji dan mendapat jaminan surga.
Ilustrasi dari kepedulian seorang pemimpin kepada
rakyatnya ditunjukkan oleh Rasulullah yang sering tidak
makan sampai berhari-hari, dan hanya tidur di pelepah kurma
demi membantu umatnya. Rasulullah SAW sebagai seorang
pemimpin senantiasa setia berada di barisan depan dalam
setiap pertempuran, bahkan beliau ikut serta mengangkat
pangki ketika membangun mesjid. Sikap yang sama juga di-
tunjukkan oleh Umar bin Khathab R.A yang suatu ketika
pernah ditemukan tidur di lapangan terbuka saat seseorang
mencari khalifah yang disangkanya berada di dalam istana
yang megah. Kesederhanaan hidup Nabi SAW dan para
sahabatnya membuktikan bahwa kekuasaan bagi seorang
muslim bukanlah segala-galanya, dan bukan sarana untuk
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 130
mendapatkan fasilitas hidup yang berlebihan. Memang sudah
sepantasnya seorang pemimpin harus di layani dengan baik
dan bersahaja oleh rakyatnya, namun tidak dengan cara ber-
lebihan, karena hal tersebut akan memicu ke arah gaya ke-
hidupan yang hanya mau dilayani dan tidak mau melayani.
Kondisi bangsa Indonesia yang saat ini telah semakin
terpuruk akibat krisis ekonomi, krisis kepercayaan, tingginya
hutang dengan negara-negara maju, munculnya berbagai
penyakit, terjadinya bencana alam, maraknya korupsi, terasa
belum terlambat bagi pemimpin, aparatur negara dan rakyat
untuk bersama-sama membangun negeri ini menuju
kehidupan adil dan makmur. Optimisme harus dibangun ber-
samaan dengan dibangunnya kesadaran, bahwa ketidakadilan
dan kezaliman merupakan perbuatan tidak terpuji yang akan
mengakibatkan runtuhnya sendi-sendi kehidupan berbangsa
dan bernegara. Langkah ke depan untuk membangun puing-
puing reruntuhan menuju kesejahteraan adalah kewajiban
setiap komponen bangsa. Semua pihak harus menyadari dan
menyesali semua tindakan kezaliman, dan sebagai bangsa
yang beragama memohon ampun serta petunjuk kepada Allah
SWT adalah sikap terpuji yang patut dibanggakan.
Untuk mengembalikan citra kepemimpinan pada
hakekat yang sebenarnya, maka seorang pemimpin harus
mampu mengorbankan kepentingan pribadinya demi ke-
pentingan rakyat banyak. Jangan berjuang untuk mem-
perkaya diri sendiri, tapi berjuanglah untuk mensejahterakan
rakyat. Pola hidup sederhana sebagaimana yang dipraktikkan
oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya, perlu diaplikasikan
kembali oleh para pemimpin di zaman sekarang ini, karena
Ernita Dewi, M.Hum
~131
pola hidup sederhana akan mengantarkan pribadi seorang
pemimpin menjadi tawadhu’ dan tidak memiliki ambisi dalam
bidang materi. Kepuasan telah diperolehnya secara bathiniah
dan bukan secara fisik. Kebahagiaan fisik merupakan refleksi
dari kebahagiaan semu yang tidak tetap, dan selalu tidak puas
dengan apa yang sudah dimiliki, akan tetapi kebahagiaan
bathiniah, merupakan kebahagiaan hakiki yang didapatkan
sejalan dengan suara hati.
Ari Ginanjar Agustian (2003:3), mengutip contoh-
contoh pemimpin perusahaan yang menempati urutan orang
terkaya di dunia, sebagai figur orang-orang yang hidup dalam
kesederhanaan. Soichiro, pendiri Honda Motor adalah pe-
mimpin dari 43 perusahaan yang berada di 28 negara. Ke-
hidupan Soichiro jauh dari predikatnya sebagai pemimpin
perusahaan besar, ia tidak memiliki harta pribadi dan tinggal
di rumah yang sederhana. Satu-satunya hobi yang amat di-
sukainya adalah melukis di atas kain sutera. Bahkan ia tidak
memberikan warisan kepada anak-anaknya, kecuali me-
ngajarkan kepada mereka agar sanggup berusaha sendiri dan
hidup mandiri.
Perusahaan lainnya di Jepang, Kyoto Ceramics, yang
bergerak di bidang semi-konduktor mampu mencapai omzet
400 juta US Dollar dalam setahun. Keuntungan bersihnya
setelah di potong pajak adalah 12%. Akan tetapi cara hidup
pemimpinnya, amatlah sederhana yaitu “memandang rendah
kemewahan” (Agustian, 2003 : 3).
Pastinya kita bertanya, kekuatan apa yang ada di balik
kepribadian mereka, sehingga mereka mampu menciptakan
imperium bisnis raksasa kelas dunia, padahal mereka bukan-
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 132
lah pengejar harta. Hal ini terbukti dari cara hidup mereka
yang sangat sederhana, juga dari filosofis bisnisnya, yang
bukan berorientasi pada pemuasan dan memperoleh uang
yang banyak (Agustian, 2003 : 4).
Sikap hidup seperti ini telah beberapa abad yang lalu
dijalani oleh rasulullah dan para sahabatnya. Sebagaimana
yang dicontohnya oleh Umar R.A yang mendapat julukan al-
Faruq dari Rasulullah SAW. Umar yang 13 tahun lebih muda
dari rasul Allah itu, lahir dari seorang bangsawan Quraisy
yang kaya raya. Meski demikian, khalifah kedua yang pada
zamannya telah membentangkan kejayaan Islam dari Mesir,
Syam, Iraq, dan kerajaan Persia, selalu hidup penuh ke-
sederhanaan. Bahkan Umar R.A sering ditemui tidur di alam
terbuka dengan pakaian sederhana yang jauh dari ke-
mewahan, sebagaimana kebiasaan penguasa Romawi yang
hidup dalam kesenangan dan kemewahan.
Pemimpin-pemimpin besar seperti Rasulullah SAW dan
para sahabat, juga pemimpin-pemimpin sekarang yang dapat
menjalankan amanahnya secara baik, di dalam diri mereka
terdapat kekuatan luhur dari nilai-nilai spiritual yang ter-
pancar dari sikap dan perbuatannya. Nilai-nilai spiritualisme
itu mampu menghasilkan lima hal yaitu: integritas atau
kejujuran, energi atau semangat, inspirasi atau ide dan
inisiatif, wisdom atau kebijaksanaan, dan keberanian dalam
mengambil keputusan (Agustian, 2003: 5)
Spritualisme terbukti mampu membawa seseorang
menuju tangga kesuksesan dan berperan besar dalam men-
ciptakan seseorang menjadi powerful leader. Sikap inipun
dapat mengantarkan seorang pemimpin menjadi pemimpin
Ernita Dewi, M.Hum
~133
ideal dan dicintai, karena tidak seorangpun di dunia ini yang
tidak menyukai pemimpin yang jujur, adil dan bertanggung
jawab. Apabila seorang pemimpin menginginkan dirinya
menjadi sukses maka dia perlu menunjukkan sifat-sifat yang
baik, seperti: jujur, berpikiran maju, kompeten, dapat
memberi inspirasi, cerdas, adil, berpandangan luas, suka
mendukung, terus terang, bisa diandalkan, suka bekerja sama,
tegas, berdaya imajinasi, berambisi, berani, penuh perhatian,
matang/ dewasa dalam berpikir dan bertindak, loyal, mampu
menguasai diri, dan mandiri (Agustian,2003: 5-6)
Karakter jujur menduduki posisi teratas yang
menjadikan seorang pemimpin berhasil dalam kepemim-
pinannya. Jujur merupakan modal awal untuk membangun
kepercayaan rakyat untuk pemimpin. Apabila kejujuran tidak
ada lagi, maka kepercayaan rakyat hilang, dan seorang
pemimpin akan salah arah dalam kepemimpinannya. Di-
samping itu sikap adil sangat diperlukan untuk menciptakan
keharmonisan dan kesetaraan hidup masyarakat yang di-
pimpinnya.
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 134
BAB VII
PENUTUP
Saat ini bangsa Indonesia hidup dalam kondisi yang
multi krisis, terutama krisis kepercayaan rakyat terhadap pe-
mimpin. Banyaknya kasus yang terungkap tentang kisah
nyata pemimpin dari tingkat tinggi maupun rendah, me-
lakukan korupsi dan bertindak tidak jujur terhadap amanah
rakyat, telah membuat luka hati dan rasa tidak percaya rakyat
kepada pemimpinnya. Kondisi ini sangat menakutkan, karena
apabila pemimpin tidak lagi menjadi panutan maka rakyat
akan bertindak brutal dan kehilangan kendali dalam ber-
tindak. Seharusnya pemimpin menjadi contoh bagi rakyat
untuk melakukan perbuatan mulia, yang bertujuan men-
ciptakan kenyamanan dan kesejahteraan bagi rakyat. Negara
Indonesia sekarang ini kehilangan kepercayaan rakyat untuk
para pemimpin, padahal kepercayaan merupakan modal
utama pelaksanaan pembangunan ke arah yang lebih baik.
Kondisi seperti ini tidak seharusnya berlanjut, kita
masih memiliki kesempatan memperbaiki diri menjadi lebih
baik dari sebelumnya. Mari kita kembali belajar dari pe-
mimpin-pemimpin besar dunia Islam, yang dapat menjadi
pemimpin yang dicintai, berpengaruh, bahkan eksistensinya
abadi sampai dengan sekarang ini. Mereka adalah pemimpin
yang memimpin berdasarkan al-Quran dan sunnah, serta
Ernita Dewi, M.Hum
~135
selalu mendengar suara hati terdalam, yang senantiasa
membisikkan kebaikan dan kemuliaan. Menjalani hidup penuh
kesederhanaan, jujur, adil, berkata benar dan bertanggung
jawab terhadap komitmen yang telah dibuatnya.
Pemimpin-pemimpin Indonesia saat ini baik di tingkat
presiden, gubernur, bupati, camat, dan pemimpin lainnya,
dapat belajar dari kesuksesan kepemimpinan nabi dan para
sahabat. Walaupun itu terasa sulit, tetapi bila diniatkan untuk
bekal di hari akhirat, maka hal itu akan terasa ringan. Begitu
juga dengan teori-teori yang dikemukakan oleh para pemikir
Islam tentang pemimpin ideal, selayaknya dibaca dan di-
jalankan agar seorang pemimpin mendapatkan tempat di hati
rakyat dan mendapatkan surga di sisi Allah SWT.
Hendaknya seorang pemimpin mengikis habis obsesi
dirinya menjadi pemimpin untuk memperkaya diri dan kroni-
kroninya, dengan mengkhianati amanah yang telah dipercaya-
kan kepadanya. Sungguh perbuatan tersebut akan di balas
oleh Allah SWT, dengan siksaan yang amat pedih. Sejatinya
pemimpin sekarang, memulai hidup sederhana dan men-
jauhkan kemewahan agar ambisi terhadap harta benda dapat
tereliminasi. Apabila pemimpin kita terus merujuk dirinya
pada gaya hidup materialistis, dengan menjadikan harta
sebagai tujuan terakhir, maka dapat dipastikan kepemim-
pinannya tidak berhasil, akibat dibutakan oleh kepentingan
pribadi yang pada ujungnya dapat menghancurkan kehidupan
rakyat banyak
Kepada Allah SWT kita memohon petunjuk dan
hidayah, agar godaan dunia yang melenakan kita kepada harta
benda dan kekuasaan, dapat kita lawan dengan bantuan Allah
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 136
SWT. Untuk semua rakyat Indonesia kita harapkan dapat
memilih pemimpin-pemimpin yang hatinya berlandaskan
iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Janganlah memilih
pemimpin karena uangnya, tapi pilihlah pemimpin yang
memang dia memiliki sifat dan kriteria seorang pemimpin.
Ernita Dewi, M.Hum
~137
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 138
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahnya, 1989, PT. Al Ma'arif, Bandung
Al-Farabi, Abu Nashr, 1959, Kitab Ara’ahl al-Madinah al-
Fadhilah, dalam Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama,
Bulan Bintang, Jakarta
Al-Ghazali, 1967, Al-Tibbr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk, terj,
Ahmadi Thaha, Nasihat Bagi Penguasa, Mizan, Bandung
Agustian, Ari Ginanjar, 2001, E S Q Emotional Spritual
Quotient, Penerbit arga, Jakarta
------------, 2003, E S Q Power, Penerbit Arga, Jakarta
Al-Maududi, Abul A'la, 1940, Manhaj Ingilabi Islam, alih
bahasa: M. Thalib, "Proses Terbentuknya Negara Islam",
LSI, Yogyakarta
---------, 1987, Syari’at dan Hak-Hak Azasi Manusia, dalam
Harun Nasution dan Bachtiar Effendi (penyunting), Hak
Azasi Manusia dalam Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta
Ahmad, Mumtaz, ed, 1986, State Politics and Islam, America
Trust Publications, Washington
Ahmad, Zainal Abidin, 1973, Piagam Nabi Muhammad SAW,
Bulan Bintang, Jakarta
Ernita Dewi, M.Hum
~139
---------, 1974, Negara Adil dan Makmur Menurut Ibnu Sina,
Bulan Bintang, Jakarta
---------, 1974, Ibnu Siena (Avicenna) Sarjana dan filosof Besar
Dunia, Bulan Bintang, Jakarta
Anoraga, Pandji, 1990, Psikologi Kepemimpinan, Rineka Cipta,
Jakarta.
Aristotle,1962, The Politics, Penguin Books Inc, Ambasador
Road, Baltimore, Maryland, U.S.A
Azhar, Muhammad, 1997, Filsafat Politik, Perbandingan antara
Islam dan Barat, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Azhari, Muhammad Tahir, 1992, Negara Hukum: Suatu Studi
tentang Prinsip-Prinsipnya dilihat dari segi Hukum
Islam, Implimentasinya Pada Periode Negara Madinah
dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta
Azzam, Salim, 1974, Concept of Islamic State, terj, Malikul
Awwal, Beberapa Pandangan tentang Pemerintahan
Islam, Mizan, Bandung
Bertens, K., 1979, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogyakarta
Daudy, Ahmad, 1986, Kuliah Filsafat Islam, Bulan Bintang,
Jakarta
Djaelani, Abdul Kadir, 1994, Sekitar Pemikiran Politik Islam,
Media Da'wah, Jakarta
----------, 1995, Negara Ideal menurut Konsepsi Islam, Bina
Ilmu, Surabaya
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 140
Effendi, Djohan. ed., 1986, Iqbal, Pemikiran Sosial dan Sajak-
Sajaknya, PT Pantja Simpati, Jakarta
Esposito, John. L, 1984, Islam and Politics, Syracuse University
Press, New York
Faris, Muhammad Abdul Qadir, 1987, An-Nidamu al-Siyasi fi
al-Islam, terj, Noer Ali, Hakikat Sistem Politik Islam,
PLP2M, Yogyakarta
Firdaus. A.N 2000, Detik-Detik Terakhir kehidupan Rasulullah,
Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta
Fowler. H.W., Fowler, F.G., 1964, The Concise Oxford
Dictionary of Current English, Oxford University
London
Haikal, Hussain Muhammad, 1995, Hayat Muhammad, terj, Ali
Audah, Intermasa, Jakarta
Haricahyono, Cheppy, 1991, Ilmu Politik dan Perspektifnya,
Tiara Wacana Yogyakarta
Hart, Michael, 1985, Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam
Sejarah, P.T. Midas Surya Grafindo, Jakarta
Huijbers, Theo, 1995, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta
Jamil, Ahmad, 1984, Hundred Great Muslim, Ferozsons, Ltd,
Lahore, Pakistan
Jindan, Ibrahim Khalid, 1979, The Islamic Theory of
Government according to Ibn Taimiyah, Georgetown
University, Washington D.C.
Ernita Dewi, M.Hum
~141
Kartono, Kartini,1998, Pemimpin dan Kepemimpinan, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta
Khadduri, Majid, 1984, The Islamics Conceptions of Justice, Terj,
Mochtar Zoerni, Teologi Keadilan, Risalah Gusti,
Surabaya
Khalid, Muhammad Khalid, 1985, Mengenal Pola
Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Peri Hidup
Khalifah Rasulullah, C.V Diponegoro, Bandung
Kusnardi, M., Saragih, Bintan R, 1994, Ilmu Negara, Gaya
Media Pratama, Jakarta
--------, 1990, Nidhamul Hukmi fil Islam, terj, M. Thalib, Politik
dan Negara dalam Islam, Al Ikhlas, Surabaya
Mustofa, H. A, 1997, Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung
Muslehuddin, Muhammad, 1991, Philosophy of Islamic Law,
alih bahasa : Yudian Wahyuni Asmin, "Filsafat Hukum
Islam dan Pemikiran Orientalis",Cet.I, Tiara Wacana,
Yogyakarta
Muthahhari,Murthadha, 1981, Al-'Adl al-Ilahy, alih bahasa:
Agus Effendi, "Keadilan Ilahi", 1992, Mizan, Bandung
----------,1985, Society and History, The council for Ten Day
Daws Celebration, Taheran
---------,1990, Man and Universe, terj, Satrio Pandito, Imamah
dan Khalifah, Pustaka Firdaus Jakarta
---------, 1992, Perspektif al-Quran tentang Manusia dan Agama,
Mizan, Bandung
Pemimpin Ideal dalam Wacana dan Aplikasi
~ 142
Nasution, Harun, 1994, Islam Rasional: Gagasan dan
Pemikiran, Mizan, Bandung
Ndara, Talizidulu, 2003, Kybernologi (Ilmu Pemerinatahan
baru), Rineka Cipta, Jakarta
Plato, 1958, The Republics, Translated and Introduction by
A.D. Lindsay, London J. M. Dent & Sons Ltd
Qara'ati, Muchsin, 1991, Lesson From Qur'an, alih bahasa :
Yudi Kurniawan, "Al Quran Menjawab Dilema Keadilan",
Cet. I, CV. Firdaus, Jakarta
Rapar, J.H., 1988, Filsafat Politik Aristoteles, P.T Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Salim, Abd.Muin,1994, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam al-
Quran, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Schmid, Von, J. J, 1988, Grote Denkers Over Staat En Recht (Van
Plato to Kant), alih bahasa, Wiratno. R, "Ahli-Ahli Pikir
Besar Tentang Negara dan Hukum", Cet. VI,
Pembangunan, Jakarta
Sharif, M. M. ed., 1995, History of Muslim Philosophy, Low
price Publications, Delhi
Siswanto, Joko, 1998, Sistem-Sistem Metafisika Barat dari
Aristoteles sampai Derrida, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Sjadzali, Munawir, 1991, Islam and Governmental System:
teachings, history and reflections, INIS, Jakarta
Stumpf, Samuel Enoch, 1975, A History of Philosophy Socrates
to Sartre, MC, Graw Hill Book Company, Vanderbilt
University, New York
Ernita Dewi, M.Hum
~143
Suseno, Franz Magnis, 1997, 13 Tokoh Etika, Sejak Zaman
Yunani sampai abad ke 16, Kanisius, Yogyakarta
----------, 1998, Jika Rakyat Berkuasa, Upaya Membangun
Masyarakat Madani Dalam Kultur Feodal, ed., Tim
Maula, Pustaka Hidayah, Bandung
Syafi’ie, Inu Kencana, 1995, Ilmu Pemerintahan dan al-Quran,
Bumi Aksara, Jakarta
---------, 2000, Al Quran dan Ilmu Administrasi, Rineka Cipta,
Jakarta
---------, 1996, Al Quran dan ilmu Politik, Rineka Cipta, Jakarta
Taimiyah, Ibnu, 1951, As Siyasah Asy Syar’iyah fii Islahir Raa’i
war Ra’iyyah, Terj, Munawar Rufi, Siyasah Syar’iyah
Etika Politik Islam, Risalah Gusti, Surabaya
----------, 1951, As Siyasah Asy Syar’iyah fii Islahir Raa’i war
Ra’iyyah, Terj, Muh Munawwir az Zahidi,
Kebijaksaanaan Politik Nabi SAW, Dunia Ilmu, Surabaya
Weij, P. A. Van Der, 1998, Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia,
Gramedia, Jakarta
~~
144