Post on 17-Mar-2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Industri rokok di tanah air telah memainkan peranan dan dampak
perekonomian yang tidak kecil di tengah masyarakat. Sejarah panjang
industri rokok yang sudah mengakar ratusan tahun lalu sejak zaman
penjajahan telah membuat industri ini kuat dan besar.1
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah perokok
terbesar di dunia setelah China, AS, dan Rusia. Jumlah batang rokok yang
dikonsumsi di Indonesia mengalami peningkatan dari 182 miliar batang pada
2001 (Tobacco Atlas 2002) menjadi 260,8 miliar batang pada 2009 (Tobacco
Atlas 2012),2 sementara pada tahun 2013 tercatat 341,9 miliar batang.3
Konsumsi rokok tumbuh rata-rata 4,4% per tahun selama 2005-2012
dan diperkirakan tumbuh 4%-5% di 2013. Global Adult Tobacco Survey
(GATS) Indonesia 2011 juga menunjukkan bahwa prevalensi merokok di
Indonesia secara umum meningkat dari 27% pada 1995 menjadi 36,1% di
1 Chairul Umam, Menelisik Politik Hukum RUU Pertembakauan, Jurnal Rechtsvinding:
Media Pemberdayaan Hukum Nasional, ISSN 2089 – 9009 Rechtsvinding Online,
http://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/MENELISIK%20POLITIK%20HUKUM%20RUU
%20PERTEMBAKAUAN.pdf. Di akses pada tanggal 10 Maret 2015 pukul 18.34 WIB. 2 Faisal Rino Bernando, , M. Ajie M, dkk, Industry Update, Office of Chief Economist,
Volume 3Februari 2013, hal. 2, www.bankmandiri.co.id/indonesia/eriview-
pdf/NCEQ16157183.pdf di akses pada tanggal 20 Maret 2015 pukul 18.42 WIB. 3 Widayatama, Tugas Akhir, Analisis Kebangkrutan Metode Springate Pada Industri Rokok
Wismilak Inti Makmur, Universitas Widyatama, hal 1,
repository.widyatama.ac.id/xmlui/bitstream/handle/.../Bab%201.pdf di akses pada tanggal 20
Maret 2015 pukul 18.30 WIB.
2
2011.4 Prevalensi perokok nasional 29,2% dengan rerata jumlah rokok 12
batang/hari, tertinggi di Lampung (34,3%), Bengkulu 34,1% dan Gorontalo
(32,6%). Prevalensi perokok usia di atas 15 pada 2001 dan 2007 adalah
31,5% dan 34,2% cenderung meningkat. Perokok perempuan 2001-2007
(1,3% menjadi 5,2%) meningkat empat kali lebih besar. Pada kelompok umur
15-19 tahun, pada 1995 sebesar 7,1% meningkat menjadi 19,9% pada 2007.5
Tingginya jumlah perokok di Indonesia menyebabkan industri rokok
menjadi salah satu penyumbang pajak terbesar. Menurut data Kementerian
Keuangan, pada tahun 2008 industri rokok menyumbang Rp 51,3 triliun dan
terus meningkat menjadi Rp 83,3 triliun dalam APBN-P 2012.6 Susiwijono
Moegiarso selaku Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai
Kementerian Keuangan seperti meyebutkan penerimaan di sektor cukai masih
didominasi produk tembakau, di antaranya rokok, dari penerimaan cukai
Februari 2014 sebesar Rp 12,9 triliun, 98 persen disumbang oleh hasil
tembakau.7 Dalam RAPBN-P 2015, penerimaan cukai rokok ditargetkan
4 Faisal Rino Bernando, , M. Ajie M, dkk, Industry Update, Office of Chief Economist,
Volume 3Februari 2013, hal. 2, www.bankmandiri.co.id/indonesia/eriview-
pdf/NCEQ16157183.pdf di akses pada tanggal 20 Maret 2015 pukul 19.10 WIB. 5 Nasrin Kodim, Kontroversi Rokok dan Tembakau Menggadaikan Kesehatan Anak
Bangsa, Medika: Jurnal Kedokteran Indonesia, Edisi No 12 Vol XXXIX - 2013 – Editorial,
http://jurnalmedika.com/edisi-tahun-2013/edisi-no-12-vol-xxxix-2013/639-editorial/1435-
kontroversi-rokok-dan-tembakau-menggadaikan-kesehatan-anak-bangsa di akses pada tanggal 20
Maret 2015 pukul 18.20 WIB. 6 Joko Tri Haryanto, Urgensi Pajak Rokok, Artikel Umum,
www.kemenkeu.go.id/sites/default/.../Urgensi%20Pajak%20Rokok.pdf diakses pada tanggal 20
Maret 2015, pukul 19.46 WIB 7 Maria Yuniar, Rokok Sumbang Penerimaan Cukai Terbanyak, Tempo.co, Portal Berita
Online, Senin, 24 Maret 2014 | 10:43 WIB,
http://www.tempo.co/read/news/2014/03/24/090564806/Rokok-Sumbang-Penerimaan-Cukai-
Terbanyak diakses pada tanggal 20 Maret 19.16 WIB
3
mencapai 136,12 triliun. Target ini meningkat Rp 15,56 triliun dibandingkan
target yang tercatat di APBN 2015, yang hanya Rp 120,56 triliun.8
Peningkatan konsumsi tembakau di Indonesia sejak tahun 1970
disebabkan oleh rendahnya harga rokok, peningkatan jumlah penduduk,
peningkatan pendapatan rumah tangga dan proses mekanisasi industri rokok.
Undang – Undang Cukai menetapkan bahwa tarif cukai adalah untuk
menurunkan konsumsi produk tembakau dan mengendalikan distribusinya
karena produk tembakau berbahaya bagi kesehatan. Peningkatan tarif cukai
tembakau adalah cara yang paling efektif untuk mengurangi kerugian
kesehatan dan ekonomi akibat konsumsi tembakau.9
Pemungutan cukai tembakau pertama di Indonesia dimulai pada
zaman kolonial Belanda pada tahun 1932 berdasarkan Tabsacccijns
Ordonnantie, Stbl. 1932 Nomor 517 ; 3.10 Kebijakan cukai tembakau pasca
Indonesia merdeka telah berganti sebanyak tiga kali yaitu; Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1947 tentang Cukai Tembakau, Undang-Undang nomor 11
Tahun 1995 tentang Cukai, dan terakhir digantikan oleh Undang-Undang
Nomor 39 tahun 2007.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 merupakan perubahan atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Salah satu
8 Redaksi Kata Data News and Research, Target Penerimaan Cukai Rokok Dinaikkan Rp
15 Triliun, 27 Januari 2015, http://katadata.co.id/berita/2015/01/27/target-penerimaan-cukai-
rokok-dinaikkan-rp-15-triliun, diakses pada tanggal 20 Maret 119.26 WIB 9 Sarah Barber, Sri Moertiningsih Adi oetomo, Abdillah Ahsan dan Diah hadi Setyo naluri,
Aspek Ekonomi Tembakau di Indonesia disadur dari Ekonomi Tembakau di Indonesia, Artikel
Umum http://www.worldlungfoundation.org/ht/a/GetDocumentAction/i/6571. diakses pada
tanggal 20 Maret 21.00 WIB 10 Surono, Mengenal Lebih Mendalam Pungutan Cukai, dipresentasikan di acara
Widyaswara, Pusdiklat Bea dan Cukai, 02-11-13
4
perubahannya antara lain adanya kenaikan tarif cukai rokok. Dengan
peraturan yang baru tersebut pemerintah dapat menaikkan pendapatan APBN
dari cukai. Menyimak Laporan Tahunan Bank Indonesia tahun 2008 dan
Laporan Dana Bagi Hasil Cukai dan 2010, menunjukkan bahwa nilai
pendapatan negara dari cukai rokok mulai tahun 2001 hingga tahun 2010
terus meningkat dengan laju rata-rata sebesar 18% per tahun, dan mencapai
sekitar Rp 56 triliun pada tahun 2010 dari Rp. 11,1 triliun pada tahun
2001.11
Keberadaan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai tidak
terlalu banyak perubahan terutama dalam cara dan basis perhitungan besaran
cukainya serta pemberlakuan cukai yang beragam, yang menjadi baru adalah
bahwa cukai hasil tembakau kini dimasukkan perhitungan dana bagi hasil
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah penghasil tembakau, sehingga
melahirkan istilah’Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau’ (DBH-CHT)
yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84
/PMK.07/2008.12
Ada beberapa hal yang ingin dicapai dalam UU Cukai hasil
amandemen ini, antara lain:13
1. Meningkatnya peranan cukai sebagai instrumen pengawasan dan
pengendalian serta salah satu sumber penerimaan negara untuk
11 http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-16230-Chapter1-206398.pdf. 12 Gugun El Guyanie, dkk, Ironi Cukai Tembakau: Karut Marut Hukum & Pelaksanaan
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau di Indonesia, Indonesia Berdikari, 2013, Hal 23 13 Ester Maria Chandra, Kajian Eksistensi Barang Kena Cukai Pada Minuman Ringan
Berkarbonasi, FISIP UI, 2009 Dalam Warta Bea Cukai Edisi 395, Oktober 2007
5
disesuaikan dengan perkembangan sosial ekonomi dan kebijakan
pemerintah;
2. Undang-Undang ini mempertegas sifat atau karateristik Barang
Kena Cukai sehingga memberikan landasan dan kepastian hukum
dalam upaya menambah atau memperluas objek cukai degan
memperhatikan aspirasi dan kemampuan masyarakat;
3. Dalam rangka transparansi pembuatan kebijakan cukai pemerintah
telah membuat roadmap kebijakan cukai yang mempertimbangkan
aspek penerimaan, tenaga kerja dan kesehatan sehingga disepakati
besarnya tarif tertinggi untuk hasil tembakau yaitu 57% dan 80%
untuk Barang Kena Cukai lainnya;
4. Dalam mengoptimalkan penerimaan Negara dari sektor cukai,
undang-undang ini mengatur penyempurnaan sistem administrasi
pemungutan cukai, peningkatan upaya penegakan hukum (law
enforcement), penyesuaian sistem penagihan, penyesuaian sistem
pembukuan dan penggunaan dokumen cukai serta dokumen
pelengkap cukai dalam bentuk elektronik.
5. Undang-Undang ini mengatur kode etik pegawai, pemberian
sanksi terhadap pejabat bea dan cukai yang salah menghitung atau
menetapkan serta premi kepada pegawai bea dan cukai atau orang
yang berjasa dalam menanggulangi pelanggaran di bidang cukai;
6. Menjadi dasar untuk alokasi Dana Bagi Hasil Cukai bagi Propinsi
penghasil cukai hasil tembakau.
6
Pengertian cukai menurut Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun
2007 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang
Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang
tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam
undang-undang, di mana sifat atau karakteristik yang ditetapkan antara lain
meliputi: 1). konsumsinya perlu dikendalikan; 2). peredarannya perlu
diawasi; 3). pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi
masyarakat atau lingkungan hidup; atau 4). pemakaiannya perlu pembebanan
pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Pengertian cukai menurut undang-undang ini membuka peluang untuk
adanya penambahan jenis barang atau jasa yang dapat dikenakan cukai. Pasal
4 ayat (1) UU Cukai mengatur bahwa cukai dikenakan terhadap BKC (Barang
Kena Cukai) yang terdiri dari:
1. etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang
digunakan dan proses pembuatannya;
2. minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun, dengan
tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya,
termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol;
3. hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris,
dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan
digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam
pembuatannya.
7
Di dalam undang-undang tersebut juga diatur mengenai peluang
penambahan atau pengurangan BKC, yakni pada pasal 4 ayat (2) yang
menyebutkan bahwa penambahan dan pengurangan jenis BKC diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa
penambahan dan pengurangan jenis BKC disampaikan kepada alat
kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) yang
membidangi keuangan untuk mendapatkan persetujuan dan dimasukkan
dalam Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (RUU – APBN). Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka dalam
hal diperlukan, pemerintah dapat menambah BKC sepanjang memenuhi salah
satu dari 4 (empat) karakteristik sebagaimana diatur di dalam pasal 2 Undang-
Undang Cukai.
Dengan mempertegas sifat dan karateristik Barang Kena Cukai, maka
hal ini dapat menjadi landasan dan kepastian hukum untuk melakukan
perluasan barang kena cukai sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Cukai. Melalui penambahan objek cukai, ada dua hal yang dapat dicapai oleh
pemerintah, yaitu berjalannya fungsi penerapan cukai sebagai alat
pengawasan dan pegendalian sekaligus meningkatkan penerimaan cukai.
Pengawasan dan pengendalian terkait dengan tingginya konsumsi
rokok di Indonesia didasarkan pada Konstitusi, UUD Negara Republik
Indonesia 1945 Pasal 28H menyebutkan: “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
8
Kemudian UU No. 39 Tahun 2009 tentang HAM Pasal 9 ayat (3)
menyebutkan : “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat.”. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 113 ayat 1
menyebutkan: “Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat
adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan
perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan”. Ayat 2 “Zat adiktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang
mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang
penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau
masyarakat sekelilingnya”.
Tujuan dari UU Cukai adalah untuk menghambat pemakaian barang-
barang yang dikenakan masuk ke dalam karakteristik undang-undang di atas
guna untuk mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan keseimbangan, tuntutan
masyarakat secara nasional maupun internasional menghendaki adanya
kepedulian pemerintah yang lebih tinggi terhadap aspek kesehatan
masyarakat. Salah satu tuntutan ini berasal dari forum Internasional yaitu
rekomendasi yang dikeluarkan dalam Framework Convention On Tobacco
Control (FCTC) pada tahun 2003 dan mulai di implementasikan sejak tahun
2005. tetapi hingga saat ini pemerintah Indonesia belum meratifikasi
konvensi yang digagas oleh World Health Organization (WHO) tersebut.
Standar ganda antara pengawasan, pengendalian dan peningkatan
penerimaan Negara tidak dapat dilepaskan oleh fakta bahwa penerimaan
pajak dari cukai merupakan yang terbesar nomor tiga setelah Penerimaan
9
Pajak Penghasilan (pph non migas/income tax), Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang Mewah
(PPNBM).14 Bahkan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Agung Kuswandono
mengatakan, penerimaan terbesar cukai berasal dari Hasil Tembakau (HT)
yang berkontribusi 95,95%, diikuti oleh MMEA (Minuman Mengandung Etil
Alkohol) 3,88%, dan EA (Etil Alkohol) 0,017%.15
Cukai tembakau di Indonesia berkembang pesat, dapat dipastikan
bahwa kenaikan cukai tembakau akan naik setiap tahun. Gambaran besarnya
kenaikan cukai tembakau dapat di lihat dalam table dibawah ini.
Tabel 01.
Perkembangan Cukai Tembakau di Indonesia, 2000 – 2008
14 Subdit Humas dan Penyuluhan Bea dan Cukai, Penerimaan Cukai Terbesar Nomor Tiga,
Karawang, 11 September 2014, http://beacukai.go.id/?page=media-center/galeri-
kegiatan/penerimaan-cukai-terbesar-nomor-tiga.html, diakses pada tanggal 24 Maret 2015, pukul
23.33 WIB. 15 Irene Harty, DJBC: Penerimaan Cukai Masih Jadi Realisasi Terbesar Semester I/2014,
17 Juli 2014 12:04 WIB, http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/07/17/266901/djbc-
penerimaan-cukai-masih-jadi-realisasi-terbesar-semester-i-2014, diakses pada tanggal 24 Maret
2015, pukul 23.33 WIB diakses pada tanggal 24 Maret 2015, pukul 22.03 WIB
10
Tabel 02.
Perkembangan Cukai Tembakau di Indonesia, 2007 – 2013
Mengingat dominasi penerimaan cukai hasil tembakau dibanding
pungutan cukai lainnya, wajar saja apabila konsentrasi terhadap kebijakan
cukai Hasil Tembakau (HT) ini terlihat lebih intensif. Sejak tahun 2001
pemerintah secara reguler menetapkan kebijakan kenaikan tarif cukai
hasil tembakau setiap akhir tahun. Hampir dapat dikatakan bahwa tarif
cukai hasil tembakau akan selalu naik setiap tahunnya.
Disisi lain kebijakan pemerintah menaikkan cukai rokok tersebut
ternyata mengakibatkan sejumlah pabrik rokok menengah ke bawah merasa
berat dan dapat menghancurkan perusahaan rokok kecil. Perlu diketahui
bahwa kenaikan tarif cukai rokok adalah sebesar batas maksimum 57 persen
dari sebelumnya 55 persen. Di bawah ini akan ditampilkan data produksi
rokok nasional sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2005 sebagaimana
tertera pada tabel dibawah ini.
Tabel 03.
Produksi Rokok dan Hasil Cukai Nasional Tahun 1997 – 2005
Tahun Produksi Rokok
(Milyar/Batag)
Cukai
Triliun
Rp
Keterangan
1997 216.30 4.56 Produksi cukup besar
2000 239.50 11.30 Produksi meningkat secara signifikan
11
2001 222.00 17.40
Produksi turun, namun nilai cukai
meningkat. Pemerintah menaikkan
tarif cukai dan dampak pemberlakuan
Harga Jual Eceran (HJE)
2002 214.00 23.30 Produksi turun
2003 192.00 26.30 Produksi turun
2004 203.80 29.10 Produksi rokok kembali meningkat
2005 220.00 32.60
157,2 miliar batang atara lain
diproduksi oleh enam pabrik rokok
besar, sedangkan kontribusi cukai
mencapai Rp. 28,5 triliun (86.1%)
Sumber: Diolah Berdasarkan Data Biro Pusat Statistik, 2006
Nilai pendapatan negara dari sektor tembakau cukup besar bahkan
lebih besar dari pendapatan dari mineral (emas, batubara, nikel) yang pada
tahun 2011 hanya mampu menyumbang pendapatan sebesar Rp. 15
Triliun, jauh dibandingkan pendapatan dari tembakau yang mencapai Rp.
77 Triliun.16
Tabel 04.
Produksi Rokok dan Hasil Cukai Nasional Tahun 2009 – 2014
Tahun Produksi Rokok
(Milyar/Batag)
Cukai
Triliun Rp
2009 245.0 54.3
2010 284.4 59.3
2011 311.0 77.0
2012 341.9 103.02
2013 192.00 114.82
2014 365.0 118.0
Sumber : Kementerian Perindustrian dan
Dirjen Bea Cukai, diolah
Dari tahun 2009 sampai 2012 produksi rokok meningkat cukup
signifikan, tetapi pada tahun 2013 mengalami penurunan yag sangat drastis,
walaupun kemudian naik lagi. Jika melihat penerimaan Negara dari tabel 3
16 Lihat website http://komunitaskretek.or.id/?p=2770 Tembakau Primadona Indonesia
diakses pada 01 April 2015, Pukul 19,21 WIB
12
dan tabel 4 dapat dilihat bahwa kenaikan dan penurunan rokok tidak
sebanding dengan jumlah penerimaan Negara dari hasil cukai.
Kemudian beralih pada perkembangan perusahaan rokok di Indonesia,
berdasarkan Data Statistik Industri Besar dan Sedang (BPS), pada tahun 1981
industri rokok hanya dikelompokan menjadi 2 bagian, yaitu industri rokok
kretek (31420) dan industri rokok putih (31430). Mulai tahun 1990, industri
rokok kretek dirinci lebih spesifik lagi menjadi 2 bagian, yaitu industri rokok
kretek (31420) yang terdiri dari Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret
Kretek Mesin (SKM), serta industri rokok lainnya (31440) yang terdiri dari
rokok klembak menyan, rokok klobot dan cerutu.17
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat jumlah industri
rokok di dalam negeri cenderung merosot dalam 5 tahun terakhir. Pada 2007,
jumlah industri rokok mencapai lebih dari 4.000 perusahaan, sedangkan pada
2012 menyusut menjadi 1.530 perusahaan.18 Data Kementerian Perindustrian
dan Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia menyebutkan pada 2009,
jumlah perusahaan rokok mencapai 3.255 unit dan pada tahun 2013 hanya
1.133 unit.19 Dan pada tahun 2014 menurut Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai (DJBC) saat ini ada sekitar 1.320 pabrik tersebar di Pulau Jawa dan
sedikit Sumatra. Dari 1.320 pabrik tersebut hanya ada 4 pabrik rokok besar,
17 Tri Wibowo, Potret Industri Rokok Di Indonesia, Kajian Ekonomi Dan Keuangan, Vol.
7, No. 2, Juni 2003 18 Jumlah Pabrik Menciut, Cukai Rokok Justru Melonjak,
http://finance.detik.com/read/2013/12/24/155239/2450780/1036/jumlah-pabrik-menciut-cukai-
rokok-justru-melonjakhttp://finance.detik.com/read/2013/12/24/155239/2450780/1036/jumlah-
pabrik-menciut-cukai-rokok-justru-melonjak diakses pada tanggal 1 April 2015 pukul 19.28 WIB 19 Industri Rokok: Investasi Di Jateng Capai Rp6 Triliun,
http://industri.bisnis.com/read/20141210/12/381114/industri-rokok-investasi-di-jateng-capai-rp6-
triliun diakses pada tanggal 1 April 2015 pukul 19.35 WIB
13
seperti Philip Morris-Sampoerna, Djarum, Gudang Garam, dan BAT-Bentoel,
sisanya merupakan perusahaan menengah kecil yang banyak memproduksi
rokok murah.20
Yang menarik dari jumlah perusahaan rokok adalah terjadi pada tahun
2009 dengan jumlah 3.255 unit dan pada tahun 2013 hanya terdapat 1.133
unit, penulis berasumsi bahwa penurunan secara signifikan jumlah
perusahaan yang gulung tikar salah satu faktor penyebabnya adalah karena
kebijakan yang terdapat dalam Undang-Undang Cukai yang didalamnya
dicantumkan bahwa tarif tertinggi untuk hasil tembakau yaitu 57% dan di saat
yang sama pelaku industri harus membayar Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (PDRD) yang dipatok Undang-Undang sebesar 10% dari cukai yang
dibayarkan industri.
Tidak hanya industri kelas menengah bawah yang merasakan dampak
dari keberadaan Undang-Undang Cukai ini, tetapi juga perusahaan rokok
besar, sepanjang 2014, sudah ada 3 (tiga) perusahaan rokok besar yang
mengurangi jumlah karyawannya untuk menekan biaya produksi. Mereka
adalah PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) yang pada 31 Mei lalu menghentikan
produksi pabrik Sigaret Kretek Tangan (SKT) di Jember dan Lumajang.
Kebijakan tersebut membuat 4.900 karyawan terkena Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK). Awal September 2014, PT Bentoel International Investama Tbk
(RMBA) menawarkan pengunduran diri sukarela kepada 1.000 pekerjanya
sebagai langkah efisiensi. Setelah pengurangan pekerja tersebut, Bentoel
20 Catatan Agus Pambagio: Menyabung Nyawa dengan Rokok Murah,
http://news.detik.com/read/2014/05/28/104022/2593697/103/menyabung-nyawa-dengan-rokok-
murah diakses pada tanggal 1 April 2015 pukul 19.40 WIB
14
menghentikan produksi delapan pabrik dari total 11 pabrik milik perusahaan.
Sehingga hanya tersisa tiga pabrik saja yang beroperasi. Terakhir, pada 9
Oktober 2014, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) menawarkan program
pensiun dini kepada pekerjanya di Kediri, Jawa Timur. Tawaran tersebut
diterima oleh 2.088 pekerja SKT borongan.21
Dan yang paling mengkhawatirkan adalah merebaknya peredaraan
rokok ilegal bersamaan dengan ketatnya regulasi. Diperkirakan peredaran
rokok illegal mencapai 4%-6% dari total produksi rokok yang mencapai 320-
340 miliar batang per tahun pada tahun 2014.22 Ketua Gabungan Produsen
Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti menyatakan kasus
rokok illegal mulai berkembang pada tahun 2003 saat pemerintah menaikkan
tarif cukai 3 (tiga) kali dalam setahun. Dan pada tahun 2007, Direktorat
Jendral Bea dan Cukai berhasil mengungkap 237 kasus rokok illegal di dalam
negeri pada periode tujuh bulan pertama 2007. Jumlah tersebut melonjak
signifikan dibandingkan tahun 2006 tang hanya total 25 kasus. Dari 237 kasus
rokok illegal paling marak dengan peredarannya berada di Kudus, Jawa
Tengah. Dikarenakan jumlah pabrik rokok di Kudus mencapai 1.930 unit atau
41% dari total pabrik rokok nasional pada tahun 2007.23
21 Kenaikan Cukai Rokok: Perusahaan Rokok Kecil Terancam Gulung Tikar, Rabu,
15/10/2014 18:22 WIB, http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20141015182229-92-
6516/perusahaan-rokok-kecil-terancam-gulung-tikar/ diakses pada tanggal 2 April 2015, pukul
20.21wib 22 Industri Rokok, Produksi Pabrik Kecil Turun Hingga 30 Persen,
http://industri.bisnis.com/read/20141222/257/385137/industri-rokok-produksi-pabrik-kecil-turun-
hingga-30-persen diakses pada tanggal 2 April 2015, pukul 20.30 WIB 23 Potensi Kerugian Negara Capai Rp. 2,4 Miliar, BC ungkap 237 kasus rokok illegal,
http://www.ortax.org/ortax/?mod=berita&page=show&id=116&q=rokok&hlm=29 diakses pada
tanggal 2 April 2015, pukul 20.50 WIB
15
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa keberadaan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11/ Tahun 1995 tentang Cukai
mengakibatkan banyaknya peredaran rokok illegal di Surakarta?,
2. Bagaimana peran, fungsi dan wewenang Kantor Pengawasan dan
Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madaya Pabean B Surakarta dalam
menangani kasus rokok illegal di Surakarta?, dan
3. Bagaimana model pencegahan yang ideal untuk menekan peredaran rokok
illegal?
C. Orisinalitas
Sebagai pijakan dalam penelitian ini, peneliti mengemukakan
beberapa hasil penelitian terdahulu. Hal ini dimaksudkan agar posisi
penelitian ini jelas arahnya, apakah melanjutkan, menolak ataukah
mengambil aspek bagian lain dari penelitian sebelumnya. Penelitian terdahulu
yang dipaparkan mempunyai kesamaan secara tematik, meskipun tidak terkait
langsung dengan persoalan penelitian, tetapi penelitiannya mempunyai
kemiripan.
Beberapa studi yang peneliti temukan dan memiliki relevansi dengan
permasalahan yang dikembangkan dalam penelitian ini antara lain:
Yohanes R. Sri Agoeng Hardjito, 2008, dalam penelitiannya mengkaji
masalah ketaatan pengusaha pabrik rokok dalam membayar cukai. Dalam
penelitiannya menggunakan metode dengan pendekatan yuridis normatif,
16
yang ditunjang dengan pendekatan yuridis sosiologis dengan menggunakan
desain penelitian di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai tipe
A2 Kudus.
Hasil penelitiannya, untuk membatasi peredaran rokok, instrumen
yang digunakan oleh Undang-Undang Cukai adalah Tarif Cukai dan Harga
Jual Eceran. Dengan Tarif dan Harga Jual Eceran yang relatif tinggi dapat
mengurangi peredaran rokok di samping juga dapat meningkatkan
penerimaan Negara. Pengusaha rokok yang tidak taat dalam membayar cukai
adalah pengusaha golongan kecil sekali karena tidak dapat bersaing dengan
tarif cukai dan harga jual eceran yang terlalu tinggi. Diperlukan treatment
khusus terhadap kelompok pengusaha kecil berupa pencabutan izin bahkan
pengenaan pidana sehingga tidak mengganggu kestabilan kelompok
pengusaha rokok lainnya. Ketentuan pidana yang terdapat dalam Undang-
Undang Cukai masih kurang tepat dan kurang lengkap sehingga tidak efektif
dan efisien dalam pencegahan peredaran rokok ilegal.
Penelitian tentang rokok illegal juga dilakukan oleh Fitrah Al-Akbar
Iswan, 2012, Fitrah melakukan penelitian tentang fungsi penyidik pegawai
negeri sipil (PPNS) Bea dan Cukai dalam melakukan penanganan tindak
pidana pemalsuan pita cukai hasil tembakau. Penelitian ini menggunakan
metode Yuridis Empiris, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan
memastikan seberapa jauh fungsi penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Bea
dan Cukai dalam pengembanannya di bidang penindakan dan penyidikan di
lapangan dan ada faktor-faktor utama penyebab tidak terlaksannya suatu
17
proses penyidikan tindak pidana pemalsuan pita cukai hasil tembakau
maupun indikasi ketidakefektifan pelaksanaan penyidikan yang dilakukan
oleh tim penyidik pegawai negeri sipil bea dan cukai.
Prof. Dr Jeane Neltje Saly, melakukan penelitian pada tahun 2014
tentang efektivitas peraturan terkait pengendalian produk tembakau terhadap
kesehatan. Dalam penelitian ini, disimpulkan dua poin, (1) Peraturan
perundang-undangan yang mengatur dampak tembakau terhadap kesehatan
belum memadai, (2) dilema yang dihadapi pemerintah dalam menjalankan
pembangunan. Hal itu antara lain pajak dari produksi tembakau dua kali yaitu
bea dan cukai yang sangat menunjang pemerintah dalam pendanaan
pembangunan ekonomi, sementara perlindungan kesehatan demi mencapai
kesejahteraan rakyat juga merupakan suatu hal yang perlu dilakukan.
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengeksplanasikan bahwa keberadaan UU Cukai sebagai salah
satu faktor menurunnya industri rokok dalam negeri dan
mengakibatkan peredaran rokok illegal di Surakarta;
b. Untuk mendeskripsikan peran, fungsi dan wewenang Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B
Surakarta dalam menangani kasus peredaran rokok illegal; dan
c. Untuk membangun model pencegahan yang ideal untuk menekan
18
peredaran rokok illegal.
2. Manfaat Penelitian
2.1 Secara teoritis
Apabila tujuan penelitian dalam rangka penyusunan tesis ini
dapat dicapai, maka penelitian ini diharapkan akan mempunyai
kontribusi, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis temuan
dalam penelitian ini dapat memberikan kontribusi antara lain sebagai
berikut:
1) Memberikan pemahaman bahwa peraturan perundang-undangan
yang berlaku bisa memberikan dampak negatif lain bagi
masyarakat dan Negara terkait rokok illegal;
2) Memberikan pengertian dan gambaran secara rinci tentang tugas
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Surakarta; dan
3) Memberikan kontribusi terhadap upaya pembangunan model
pencegahan yang ideal untuk menekan peredaran rokok illegal.
2.2 Secara Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan
refleksi bagi para pembuat hukum, khususnya dalam pembangunan
hukum nasional di bidang perekonomian rakyat. Sudah saatnya para
pejabat dalam tataran law making institutions untuk kembali kepada
konstruksi awal pengelolaan sumber daya alam khususnya sumber
daya alam berbasis Pancasila sebagai Grundnorm dengan pemenuhan
kesejahteraan masyarakat. Kesadaran ini penting agar rakyat Indonesia
19
tidak semakin terpuruk dalam perdagangan bebas dengan segala atribut
kapitalismenya.
E. Landasan Teori
Untuk mengungkap problematika yang telah diajukan pada bagian
perumusan masalah diajukan beberapa teori sebagai unit maupun pisau
analisis. Untuk menjawab permasalahan pada rumusan masalah pertama dan
kedua menggunakan bekerjanya hukum dalam masyarakat dari Robert B.
Seidmann. Dan untuk rumusan masalah ketiga mendasarkan pada konsep
ideal tentang hubungan cukai untuk mengendalikan peredaran rokok illegal di
Indonesia.
1. Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat: Robert B. Seidmann
Manusia tidak dapat hidup sendiri sehingga selalu hidup bersama.
Dalam kehidupan bersama itu diperlukan “sesuatu” agar hubungan antar
manusia dapat berlangsung lancar.24 Untuk memperlancar hubungan itu
manusia memerlukan norma atau kaidah. Secara garis besar norma dapat
dibedakan menjadi norma etika dan norma hukum atau hukum.
Basis bekerjanya hukum adalah masyarakat, maka hukum akan
dipengaruhi oleh faktor-faktor atau kekuatan sosial mulai dari tahap
pembuatan sampai dengan pemberlakuan. Proses menjalankan aturan
hukum selain dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal di sekelilingnya
seperti : adat istiadat, norma agama, kehidupan sosial ekonomi bahkan
24 Budiman N.P.D Sinaga, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, Yogyakarta, UII
Press, 2005, hal. 7
20
politik tetapi juga pengaruh faktor internal yang bersumber dalam diri
manusia itu sendiri. Jika suatu aturan telah memenuhi kaidah yuridis dan
memasukkan unsur-unsur sosiologis dan filosofisnya tidaklah peraturan
tersebut telah berakhir dibuat. Undang-Undang dapat dikatakan berfungsi
sejak undang-undang tersebut berlaku efektif dalam masyarakat dan sejak
itulah sebenarnya manusia secara individu dapat memaknai dan
menafsirkan ke arah mana peraturan atau hukum tersebut ditindaklanjuti
baik berupa pola pikir yang terucap dalam lisan maupun tulisan. Philippe
Nonet dan Philip Selznick menyebutkan terdapat hubungan hukum dengan
variabel lain di luar hukum yang secara realitas mempunyai korelasi yang
signifikan. Pengaruh internal yang penulis bicarakan di atas disebut oleh
Philippe Nonet dan Philip Selznick sebagai hubungan hukum dengan
tatanan moral.25
Hukum dapat bekerja dan berfungsi tidak sekedar apa yang
diharapkan oleh pembuat peraturan hukum, tetapi perlu diteliti pada
komponen elemen yang tidak bekerja sebagaimana mestinya. Maksudnya
tidak bekerja itu, bisa datangnya dari pembuat peraturan hukum, atau dari
para penerap peraturan/pelaksana, atau dari pemangku peran. Selain itu
dapat dikaji kendala-kendala eksternal global yang menyebabkan hukum
tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Seperti ada tekanan-
25 Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition. Toward Responsive
Law, Harper & Row, New York, Hagerstown, San Francisco, London, 1978. Dalam Saefullah,
Jembatan Syari’ah Islam Dalam Hukum Positif Di Indonesia ( Pencarian, Pembebasan dan
Pencerahan melalui Hukum Tidak Tertulis : Hukum Sosiologis ). Uin.maliki.malang.co.id
21
tekanan dari pihak luar negeri yang tergabung dalam organisiasi
internasional.
Mengenai proses bekerjanya hukum dalam masyarakat, Robert B.
Siedman mengemukakan bahwa ada tiga komponen utama pendukung
bekerjanya hukum dalam masyarakat. Ketiga komponen tersebut meliputi
(1) Lembaga pembuat peraturan; (2) Lembaga penerap peraturan; (3)
Pemegang peran. Dari tiga komponen dasar tersebut Robert B. Siedman
mengajukan beberapa dalil sebagai berikut: Pertama, setiap peraturan
hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang peran
diharapkan bertindak. Kedua, bagaimana seseorang pemegang peran itu
akan bertindak sebagai suatu respon terhadap peraturan hukum merupakan
fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya,
aktivitasnya dari lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks sosial
politik dan lain-lain. Ketiga, bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu
akan bertindak sebagai respon terhadap peraturan-peraturan hukum
merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan, sanksi-
sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya
yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang
peran. Keempat, bagaimana pembuat Undang-Undang itu akan bertindak
merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku
mereka, sanksi-sanksi, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial,
22
politik, ideologi dan lain-lainn yang mengenai diri mereka serta umpan
balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi.26
2. Konsep Tentang Hubungan Cukai Untuk Mengendalikan Peredaran
Rokok Illegal di Indonesia
Pajak tidak langsung yang dikenakan karena adanya konsumsi atas
barang dan jasa, di mana pengenaan pajaknya dilakukan dengan asumsi
yang menunjukkan kemampuan seorang untuk membayar. Pajak tidak
langsung beban pajaknya dapat digeser ke depan atau ke belakang. Cukai
merupakan bagian dari pajak tidak langsung, yang dikenakan pajak karena
mengkonsumsi barang-barang tertentu, dimana secara teoritis didasarkan
pada asumsi bahwa konsumsi adalah index yang menunjukkan
kemampuan seseorang untuk membayar. Jadi semakin besar kemampuan
untuk membayar maka semakin besar kemampuan untuk membeli. Cukai
adalah pajak selektif dan umumnya menggunakan ad valorum system atas
penjualan eceran. 27
Filosofi dari pajak ini adalah untuk mengurangi atau jika dapat
menghilangkan konsumsi atau produksi barang-barang yang dianggap
memberi dampak negatif terhadap masyarakat dengan mengenakan
sejumlah pungutan untuk mempertinggi harga jual barang tersebut.28
Industri Hasil Tembakau secara umum merupakan penyumbang cukai
terbesar di berbagai negara penghasil tembakau di dunia, juga bagi
26 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung:Alumni, 1980, hal 27 27 Irwansyah Lubis, Menggali Potensi Pajak Perusahaan dan Bisnis Dengan Pelaksanaan
Hukum, Kompas Gramedia, Jakarta, 2010, hal 196 28 Ibid
23
Indonesia.29 Indonesia menyumbang 2,1% dari persediaan daun tembakau
di seluruh dunia. Hampir seluruh produksi daun tembakau digunakan
untuk produksi rokok domestik dan produk-produk tembakau lainnya,30
Berdasarkan data yang diterbitkan Lembaga Demografi Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, Southeast Asia Tobacco Control Alliance,
dan Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Indonesia bahkan
menduduki urutan ketiga dengan jumlah perokok terbanyak di dunia
setelah Cina dan India. Pada 2012, diperkirakan terdapat 62,3 juta perokok
di Indonesia. Meningkat dari 2011 dengan jumlah perokok sebanyak 61,4
juta perokok.31
Dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN, tingkat
cukai rokok di Indonesia berada di posisi ke dua terendah (37%), hanya
lebih tinggi dari Kamboja (20%). Tingkat cukai rokok tertinggi di ASEAN
terjadi di Singapura (74%) dan Thailand (70%). Tingkat cukai rokok di
kedua negara tersebut sudah sesuai dengan rekomendasi WHO bahwa
tingkat cukai rokok haruslah lebih dari 2 per 3 dari harga ecerannya. Oleh
karena amanat UU No. 39 Tahun 2007 dimana tingkat cukai rokok
maksimal 57% maka tingkat cukai rokok di Indonesia masih memiliki
banyak ruang untuk ditingkatkan ke kondisi yang maksimal.
29 Anton Rahmadi, ”Efektivitas Fatwa Haram Rokok dan Alternatif Industri Tembakau”,
http://belida.unmul.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=86&Itemid=2. diakses
pada 26 Agustus 2015. 30 ”Struktur Industri dan Pertanian Tembakau”, http://www.naikkan-hargarokok.com
/tfiles/file/BukuEkonomiTembakauInd/EkonomicTobaccoIndonesiaBabV.pdf., diakses pada 26
Agustus 2015. 31 Perokok Indonesia Terbanya se Asia Tenggara,
http://www.tempo.co/read/news/2013/10/10/090520749/Perokok-Indonesia-Terbanyak-se-Asia-
Tenggara
24
Tabel 05.
Tingkat Cukai Rokok dan Harga Rokok Lokal di Beberapa Negara, Tobacco
Atlas 2009
No Negara
Tingkat
Cukai Rokok (%)
Terhadap HJE
Harga Rokok Lokal
(US$ per Bungkus)
1 Singapura 73,76 6,71
2 Thailand 69,54 1,34
3 Selandia Baru 69,1 7,08
4 Korea Selatan 63,09 2,15
5 Jepang 63 2,64
6 Australia 62,09 7,41
7 Malaysia 49 1,86
8 Filipina 47,5 0,57
9 Laos 45,04 0,46
10 Vietnam 45 0,7
11 Cina 37,5 1,7
12 Indonesia 37 1,24
13 Kamboja 19,8 0,85
Salah satu cara yang dibuat oleh WHO (World Health Organization)
untuk mencegah/menekan jumlah perokok adalah dengan cara membuat
sebuah konvensi atau perjanjian dalam bentuk hukum internasional untuk
pengendalian masalah tembakau yang dinamakan FCTC (Framework
Convention on Tobacco Control). Konvensi mengenai Kerangka Kerja
Pengendalian Tembakau, merupakan traktat internasional pertama yang
dibahas dalam forum Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO, World Health
Organization) yang berisi seluruh negara anggota Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Dan sampai saat ini, pemerintah Indonesia belum menandatangani
dan meratifikasi FCTC tersebut.
Pemerintah kemudian mengeluarkan Roadmap Industri Hasil
Tembakau 2006–2020. Roadmap Industri Hasil Tembakau 2006 – 2020
25
akan melalui tahapan-tahapan kegiatan sehingga dapat dicapai masyarakat
merokok tetapi sehat, mampu menampung lapangan kerja, dan dapat
menyumbang penerimaan negara khususnya melalui cukai. Rokok-rokok
ilegal akan memperoleh prioritas penanganannya, selain memperbaiki
struktur industri. Kebijakan cukai dinilai masih terlalu rumit sehingga ke
depan perlu disederhanakan. Ijin-ijin perusahaan baru perlu dibatasi dan
diperlukan pengawasan yang efektif, khususnya untuk menghasilkan rokok
dengan kandungan bahan berbahaya yang rendah kandungan tar, nikotin,
dan bahan-bahan berbahaya yang lain akan mendapat prioritas dalam
penanganannya.32
Rincian jangka waktu untuk mencapai tujuan tersebut di atas adalah
sebagai berikut:33
2007–2010: Urutan prioritas pada aspek keseimbangan tenaga
kerja dengan penerimaan negara dan kesehatan masyarakat.
2010–2015: Urutan prioritas pada aspek penerimaan negara,
kesehatan masyarakat, dan tenaga kerja
2010–2020: Prioritas pada aspek kesehatan masyarakat melebihi
aspek tenaga kerja dan penerimaan negara.
Pada tahun 2020 diharapkan pemerintah tidak lagi
mempertimbangkan penerimaan Negara melalui cukai, pajak, dan lain-lain
32 Imam Haryono, Road Map 2007–2020 Industri Hasil Tembakau dan Kebijakan Cukai
(Departemen: Perindustrian, Perdagangan, Keuangan, Kesehatan,Pertanian,Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, serta Gappri, dan Gaprindo) Direktorat Minuman dan Tembakau, Departemen
Perindustrian, artikel, hal 70 - 71 33 Ibid
26
serta penyerapan tenaga kerja sebagai prioritas, tetapi akan lebih
mengedepankan aspek perlindungan masyarakat dari dampak negatif IHT.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
a. Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di wilayah Surakarta. Penentuan lokasi
penelitian ini dilakukan secara purposive, yang didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan, yaitu : pertama, karena di daerah ini bukan
merupakan tempat industri rokok kategori besar. Kedua, peredaran
rokok di Surakarta cukup tinggi.
b. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengeksplanasikan bahwa keberadaan UU Cukai sebagai
salah satu faktor menurunnya industri rokok dalam negeri dan
mengakibatkan peredaran rokok illegal di Surakarta;
2. Untuk mendeskripsikan peran, fungsi dan wewenang Kantor
Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B
Surakarta dalam menangani kasus peredaran rokok illegal;
3. Untuk mengeksplorasi model pencegahan yang ideal untuk
menekan peredaran rokok illegal.
c. Pendekatan
Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan
dengan pendekatan non-doktrinal yang kualitatif. Hal ini disebabkan di
27
dalam penelitian ini, hukum tidak hanya dikonsepkan sebagai
keseluruhan asas-asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga dan
proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam
masyarakat.
Dengan demikian di dalam penelitian ini akan dicoba dilihat keterkaitan
antara faktor hukum dengan faktor-faktor ekstra legal yang berkaitan
dengan objek yang diteliti.
d. Jenis Data
Penelitian ini membutuhkan dua jenis data yang berasal dari dua sember
yang berbeda, yaitu :
a. Data Primer
Yaitu data-data yang berasal dari sumber data utama, yang berwujud
tindakan-tindakan sosial dan kata-kata,34 dari pihak-pihak yang
terlibat dengan objek yang diteliti (sesuaikan dengan objek masing-
masing).
Adapun data-data primer ini akan diperoleh melalui para informan
dan situasi sosial tertentu, yang dipilih secara purposive, dengan
menentukan informan dan situasi sosial awal terlebih dahulu.35
Wawancara dan observasi tersebut akan dihentikan apabila
dipandang tidak lagi memunculkan varian informasi dari setiap
penambahan sampel yang dilakukan. 36
34 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya Offset,
Bandung, hal. 112 35 Sanapiah Faisal, Op. Cit, hal 56.
28
b. Data Sekunder
Yaitu data yang berasal dari bahan-bahan pustaka, baik yang
meliputi :
1) Dokumen-dokumen tertulis, yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan (hukum positif Indonesia), artikel ilmiah,
buku-buku literatur, dokumen-dokumen resmi, arsip dan
publikasi dari lembaga-lembaga yang terkait;
2) Dokumen-dokumen yang bersumber dari data-data statistik, baik
yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah, maupun oleh
perusahaan, yang terkait denga fokus permasalahannya.
e. Metode Analisis
Data yang telah terkumpul dan telah diolah akan dibahas dengan
menggunakan metode analisis kualitatif, yang dilakukan melalui
tahapan-tahapan sebagai berikut :
a. Sesuai dengan metode pendekatan yang digunakan, maka dalam
penelitian ini analisis akan dilakukan dengan metode analisis
secara kualitatif. Dalam hal ini analisis akan dilakukan secara
berurutan antara metode analisis domain, analisis taksonomis,
dan analisis komponensial. Penggunaan metode-metode tersebut
akan dilakukan dalam bentuk tahapan-tahapan sebagai berikut :
1) Pertama akan dilakukan analisis domain, dimana dalam tahap
ini peneliti akan berusaha memperoleh gambaran yang
36 Ibid, hal 61.
29
bersifat menyeluruh tentang apa yang yang tercakup di suatu
pokok permasalahan yang diteliti. Hasilnya yang akan
diperoleh masih berupa pengetahuan ditingkat permukaan
tentang berbagai domain atau kategori-kategori konseptual.
2) Bertolak dari hasil analisis domain tersebut di atas, lalu akan
dilakukan analisis taksonomi untuk memfokuskan penelitian
pada domain tertentu yang berguna dalam upaya
mendiskripsikan atau menjelaskan fenomena yang menjadi
sasaran semula penelitian. Hal ini dilakukan dengan mencari
struktur internal masing-masing domain dengan
mengorganisasikan atau menghimpun elemen-elemen yang
berkesamaan di suatu domain.
3) Dari domain dan kategori-kategori yang telah diidentifikasi
pada waktu analisis domain serta kesamaan-kesamaan dan
hubungan internal yang telah difahami melalui analisis
taksonomis, maka dalam analisis komponensial akan dicari
kontras antar elemen dalam domain. Dengan mengetahui
warga suatu domain (melalui analisis domain), kesamaan dan
hubungan internal antar warga di suatu domain (melalui
analisis taksonomis), dan perbedaan antar warga dari suatu
domain (melalui analisis komponensial), maka akan
diperoleh pengertian yang komprehensip, menyeluruh rinci,
dan mendalam mengenai masalah yang diteliti.
30
4) Tahap terakhir dari analisis data ini adalah dengan
mengadakan pemeriksaan keabsahan data, dengan tujuan
untuk mengecek keandalan dan keakuratan data, yang
dilakukan melalui dua cara, yaitu : pertama, dengan
menggunakan teknik triangulasi data, terutama triangulasi
sumber, yang dilakukan dengan jalan :
(a) membandingkan data hasil pengamatan dengan data
hasil wawancara;
(b) membandingkan apa yang dikatakan orang di depan
umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi;
(c) membandingkan keadaan dan perspektif dengan
berbagai pendapat yang berbeda stratifikasi sosialnya;
(d) membanding hasil wawancara dengan isi suatu dokumen
yang berkaitan; Kedua, pemeriksaan sejawat melalui
diskusi analitik.
b. Setelah semua tahapan analisis tersebut dilakukan, pada tahapan
akhirnya akan dilakukan pula penafsiran data, di mana teori-teori
yang ada diaplikasikan ke dalam data, sehingga terjadi suatu
dialog antara teori di satu sisi dengan data di sisi lain. Dengan
malalui cara ini, selain nantinya diharapkan dapat ditemukan
beberapa asumsi, sebagai dasar untuk menunjang, memperluas
atau menolak, teori-teori yang sudah ada tersebut, diharapkan
juga akan ditemukan berbagai fakta empiris yang relevan dengan
31
kenyataan kemasyarakatannya.
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan
dengan pendekatan non-doktrinal yang kualitatif. Hal ini disebabkan di
dalam penelitian ini, hukum tidak hanya dikonsepkan sebagi keseluruhan
asas-asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam
masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga dan proses-proses
yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam masyarakat.
Dengan demikian di dalam penelitian ini akan dicoba dilihat
keterkaitan antara faktor hukum dengan faktor-faktor ekstra legal yang
berkaitan dengan objek yang diteliti.
Tipe kajian dalam penelitian ini lebih bersifat deskriptif, karena
bermaksud menggambarkan secara jelas (dengan tidak menutup
kemungkinan pada taraf tertentu juga akan
mengeksplanasikan/memahami) tentang berbagai hal yang terkait dengan
objek yang diteliti, yaitu (1) hubungan antara keberadaan UU Cukai
dengan maraknya rokok illegal (2) tugas, peran, fungsi dan wewenang
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B
Surakarta dan (3) memberikan model peraturan tentang cukai dan
tembakau dalam hubungannya dengan pemerintah pusat dan daerah.
3. Sumber Data
Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, akan dikumpulkan
melalui tiga cara, yaitu : melalui wawancara, observasi dan studi
32
kepustakaan, yang dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut :
a. Pada tahap awal, di samping akan dilakukan studi kepustakaan, yang
dilakukan dengan cara cara, mencari, mengiventarisasi dan
mempelajari peraturan perundang-undangan, doktrin-doktrin, dan data-
data sekunder yang lain, yang berkaitan dengan fokus
permasalahannya,
b. Lalu akan dilakukan wawancara secara intensif dan mendalam
terhadap para informan, dan dan observasi tidak terstruktur, yang
ditujukan terhadap beberapa orang informan dan berbagai situasi.
Kedua cara yang dilakukan secara simultan ini dilakukan, dengan
maksud untuk memperoleh gambaran yang lebih terperinci dan mendalam,
tentang apa yang tercakup di dalam berbagai permasalahan yang telah
ditetapkan terbatas pada satu fokus permasalahan tertentu, dengan cara
mencari kesamaan-kesamaan elemen, yang ada dalam masing-masing
bagian dari fokus permasalahan tertentu, yang kemudian dilanjutkan
dengan mencari perbedaan-perbedaan elemen yang ada dalam masing-
masing bagian dari fokus permasalahan tertentu.
4. Metode Penentuan Subjek
Pada umumnya dalam riset kualitatif penarikan sampel tidak
didasarkan pada teknik probabilitas tetapi menggunakan teknik non
probabilitas karena tujuan penarikan sampel dalam riset kualitatif bukan
untuk melakukan generalisasi sampel, tetapi untuk memperoleh informasi
dari gejala atau individu yang sedang diteliti. Maka cara pemilihan
33
dilakukan secara sengaja untuk memilih individu-individu tertentu yang
mempunyai informasi banyak mengenai hal yang sedang diteliti.37
Teknik penarikan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan teknik snowball, yaitu memilih unit-unit yang mempunyai
karakteristik langka dan unit-unit tambahan yang ditunjukkan oleh
responden sebelumnya, misalnya responden pertama menunjuk temannya
kemudian teman tersebut menunjuk lagi ke teman lainnya dan
seterusnya.38
5. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah :
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan adalah pengumpulan data yang diperoleh dengan
membaca, mempelajari, dan menganalisis berbagai data sekunder yang
berkaitan dengan obyek penelitian
b. Wawancara
Yaitu cara untuk memperoleh data dengan jalan mengadakan tanya
jawab secara langsung antara penulis dengan pihak yang dipandang
mengerti dan memahami objek yang diteliti yaitu dengan para pejabat
dan masyarakat sekitar hutan.
6. Teknik Analisis Data
Teknik yang akan dilakukan menggunakan analisis taksonomi,
37 Jonathan sarwono, Mixed Metods: Cara Menggabung Riset Kuantitatif dan Riset
Kualitatif Secara Benar, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, Hal 81 38 Ibid, Hal 81-82
34
dengan tujuan untuk memfokuskan penelitian pada domain tertentu yang
berguna dalam upaya mendiskripsikan atau menjelaskan fenomena yang
menjadi sasaran semula penelitian. Hal ini dilakukan dengan mencari
struktur internal masing-masing domain dengan mengorganisasikan atau
menghimpun elemen-elemen yang berkesamaan di suatu domain.
Pada tahapan akhirnya akan dilakukan pula penafsiran data,
dimana teori-teori yang ada diaplikasikan ke dalam data, sehingga terjadi
suatu dialog antara teori di satu sisi dengan data di sisi lain. Dengan
malalui cara ini, selain nantinya diharapkan dapat ditemukan beberapa
asumsi, sebagai dasar untuk menunjang, memperluas atau menolak, teori-
teori yang sudah ada tersebut, diharapkan juga akan ditemukan berbagai
fakta empiris yang relevan dengan kenyataan kemasyarakatannya