Post on 09-Mar-2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Yogyakarta merupakan provinsi yang menjadi salah satu daerah
tujuan utama wisata di Indonesia. Faktor utama yang membuat
Yogyakarta sebagai daerah yang Istimewa adalah nilai budaya yang masih
kental, oleh sebab itu wisata budaya menjadi salah satu daya tarik utama
pariwisata Yogyakarta. Keistimewaan dari Yogyakarta tidak hanya
dituangkan dalam bentuk sistem pemerintahan, budaya, kesenian
tradisional atau kuliner saja, keistimewaan Yogyakarta juga telah
dituangkan dalam bentuk souvenir khas.
PT Aseli Dagadu Djokdja atau yang populer dengan nama
“Dagadu” merupakan merek souvenir nomor satu di Yogyakarta. Dagadu
menawarkan produk- produk yang menggambarkan Kota Yogyakarta
dalam bentuk kata-kata dan grafik yang menarik sehingga produk mereka
sangat cocok untuk dijadikan oleh-oleh yang khas dari Kota Yogyakarta.
Produk yang ditawarkan antara lain kaos, mug, gantungan kunci, tas kain,
topi dan sticker. Saat ini Dagadu telah memilki empat gerai resmi, yaitu
Yogyatorium, POSYANDU 1(Pos Pelayanan Dagadu), POSYANDU 2,
serta DPRD (Djawatan Pelajan Resmi Dagadu).
PT Aseli Dagadu Djokdja telah eksis sebagai salah satu brand
Khas Yogyakarta selama kurang lebih dua puluh tahun. Eksistensi Dagadu
2
menciptakan istilah “belum ke Jogja jika belum ke Dagadu”. Hal ini
mengisyaratkan bahwa belum lengkap rasanya jika datang ke Yogyakarta
tetapi tidak singgah dan membeli produk-produk Dagadu sebagai buah
tangan ataupun kenang – kenangan dari Kota Yogyakarta. Sebagai
perusahaan yang telah eksis dan memiliki omzet yang hampir selalu
meningkat tiap tahunnya, tentunya perjalanan Dagadu sebagai brand
souvenir utama di Yogyakarta memiliki permasalahan dan tantangan yang
harus dihadapi, salah satunya adalah munculnya pihak-pihak yang
berusaha menjiplak dan menggunakan merk, produk, maupun desain yang
dimiliki Dagadu secara ilegal demi meraih keuntungan. Penyelesaian
masalah ini tentunya membutuhkan solusi yang bijak dan tidak hanya
melihat dari sudut pandang Dagadu sendiri, karena jumlah pembajakan
produk Dagadu sudah sangat besar dan melibatkan masyarakat sekitar,
khususnya pedagang di Malioboro. Untuk mempertahankan eksistensi dan
nama dari PT Aseli Dagadu Djokdja tentunya dibutuhkan kekuatan
menejemen pemasaran dan menejemen pendukung lainnya yang
terorganisir secara baik dan kokoh.
Pemalsuan merupakan permasalahan dan ancaman bagi para
pelaku bisnis, khususnya untuk bisnis yang telah memiliki “nama” dan
citra yang baik dimata masyarakat. Dewasa ini kasus pemalsuan semakin
marak dan meresahkan para pelaku bisnis, karena selain merugikan dari
sisi finansial perusahaan, image perusahaanpun akan menurun.
Pembajakan tidak hanya merugikan pihak perusahaan yang bersangkutan,
3
konsumen juga akan dirugikan akibat penggunaan barang- barang tiruan
dengan kualitas produk yang dibawah standar perusahaan aseli, dan negara
pun akan merugi karena tidak adanya pajak yang dikeluarkan oleh
perusahaan ilegal pelaku pemalsuan.
Kasus pemalsuan atau pembajakan masih berlanjut sampai saat ini.
Menurut Direktur Jenderal HKI Departemen kehakiman RI, alasan sulitnya
pemberantasan pembajakan produk disebabkan oleh lemahnya penegakan
hukum, namun kelemahan penegakan hukum dirasa hanya merupakan
salah satu variabel saja dari maraknya pembajakan. Masih ada banyak
variabel lain yang juga perlu dipertimbangkan, seperti sosial, budaya dan
ekonomi (Lai & Zaichkowski, 1999 dalam Hidayat dan Mizerski, 2005).1
Tingkat keuntungan yang menggiurkan, kemajuan teknologi, terbukanya
pasar dan banyaknya permintaan dari konsumen menjadi alasan lain dari
begitu berkembangnya produk-produk palsu. Penghitungan kerugian
finansial, tingkat penjualan dan keuntungan dari penjualan produk-produk
palsu sangat sulit dilakukan karena bisnis seperti ini adalah bisnis yang
tidak tercatat secara jelas. Kalaupun terdapat data, hanya merupakan data
yang menggambarkan secara kasar (Callan, 1998 dalam Hidayat dan
Mizerski, 2005).2 Untuk membantu memperkirakan kerugian dan dampak
dari pemalsuan produk, Organisation of Economic Cooperation and
Development (OECD) dan World Customs Organization memperkirakan
1 e-journal.uajy.ac.id/478/2/1MM01549.pdf Diakses pada Selasa, 11 Maret 2014
pukul 10.20 WIB
2 Ibid
4
bahwa pada tahun 2010 terdapat kurang lebih 7 – 10% produk palsu yang
beredar dari total perdagangan dunia. Perdagangan illegal tersebut
diperkirakan akan terus meningkat hingga 400% (mulail tahun 1990) dan
dapat dapat mencapai nilai $ 2.000.000.000 pada tahun 2020 (Sahin dan
Atilgan dalam Anas dan Katherine, 2005).3 Data Masyarakat Indonesia
Anti Pemalsuan (MIAP) tahun 2010 menyebutkan bahwa kerugian akibat
pemalsuan yang terjadi di Indonesia mencapai Rp 37.000.000.000.0000
dan mencakup dua belas sektor industri. Angka tersebut melonjak
sembilan kali lipat jika dibandingkan data pada tahun 2005 dengan
kerugian sebesar Rp 4.400.000.000.000. Dari ke-12 industri yang
dirugikan karena pemalsuan tersebut, proporsi kerugian terbesar dialami
oleh industri kosmetik dengan proporsi kerugian sebesar 16%; kemudian
diikuti oleh industri pestisida sebesar 15%; industri obat-obatan, minuman
non-alkohol, rokok, kulit, sepatu dan alas kaki, peralatan kantor dan
elektronik, suku cadang mobil sebesar 10%; industri pompa air, lampu
sebesar 4%; dan terakhir industri pelumas mesin dan kendaraan sebesar
3%. (MIAP dalam Anas dan Katherine, 2005).4
Upaya hukum atas tindak pemalsuan suatu produk atau merek
dagang telah ada sejak jaman dahulu kala. Sekitar tahun 800 – 400 SM
pada Zaman Yunani Kuno telah difungsikan merek untuk suatu produk
3 http://journal.uii.ac.id/index.php/JSB/article/viewFile/995/926 Diakses pada Selasa, 10
Maret 2014 pukul 10.30 WIB
4 Ibid
5
tembikar. Merek dagang digunakan untuk membedakan antara tembikar
Yunani dengan tembikar lainnya. Tembikar buatan bangsa Yunani
nampaknya merupakan tembikar yang terkenal. Walaupun belum
ditemukan bukti tertulis, para ahli percaya bahwa upaya hukum
terhadap tindakan kriminal pembajakan pada jaman tersebut telah
dilakukan. Tindakan terhadap pembajak secara tertulis ditemukan pada
awal abad ke empat belas. Ketika itu hukuman terhadap pembajak sangat
keras, bahkan digolongkan sebagai tindakan barbar, seperti penguasa lokal
mengeluarkan aturan akan menggantung semua pedagang yang diketahui
memproduksi minuman anggur dengan merek „Rudesheimer‟ palsu
(Jennings, 1989 dalam Anas dan Katherine, 2005).5
Produk-produk Dagadu palsu marak beredar dipasaran sejak sekitar
tahun 1998. Saat ini produk-produk Dagadu palsu masih dapat ditemui,
namun dengan jumlah yang sudah jauh lebih sedikit. Permasalahan
pembajakan produk Dagadu dengan kuantitas yang cukup besar serta
jangka waktu yang lama tentunya akan memberi dampak negatif bagi PT
Aseli Dagadu Djokdja dan juga para konsumen, khususnya para wisatawan
yang datang ke Yogyakarta. Dagadu dapat dikatakan sebagai merek
souvenir yang mewakili Kota Yogyakarta sebagai icon pariwisata. Apabila
produk Dagadu yag dibeli oleh wisatawan merupakan produk palsu
dengan kualitas rendah, akan menimbulkan kesan yang buruk bagi
wisatawan, sehingga berdampak terhadap citra dari Yogyakarta sebagai
5 Ibid hlm. 4
6
Kota Pariwisata. Dengan predikat sebagai Kota Pariwisata tebaik nomor
dua di Indonesia, Yogyakarta tentunya harus menjaga citra yang telah
terbentuk dengan memberikan pelayanan dan produk pariwisata terbaik
kepada wisatawan, salah satunya produk souvenir atau oleh – oleh yang
akan menjadi kenang – kenangan yang akan dibawa pulang oleh
wisatawan kota atau negara mereka.
PT Aseli Dagadu Djokdja tentunya tidak tinggal diam dengan gencar
dan maraknya peredaran Dagadu palsu dipasaran. Hal ini dibuktikan
dengan eksistensi dari PT Aseli Dagadu Djokdja yang terus berkembang
dan tidak “termakan” oleh produk-produk Dagadu palsu. Hal tersebut
tentunya dapat diraih dengan perjuangan yang besar dan diikuti dengan
strategi-strategi yang telah dikonsultasikan dan dirancang secara matang
agar dapat menciptakan strategi yang efektif sehingga dapat
mempertahankan PT Aseli Dagadu Djokdja sebagai Brand Souvenir
Alternatif nomor satu di Yogyakarta.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja strategi yang dilakukan PT Aseli Dagadu Djokdja dalam
menangani pembajakan produk?
2. Bagaimana efek dari kasus pembajakan produk PT Aseli Dagadu
Djokdja terhadap perusahaan dan wisatawan?
3. Apakah strategi yang dilakukan PT Aseli Dagadu Djokdja dalam
mengatasi pembajakan sudah cukup efektif?
7
1.3 TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui strategi yang telah dilakukan PT Aseli Dagadu Djokdja
dalam menghadapi pembajakan produk.
2. Mengetahui efek dari kasus pembajakan terhadap PT Aseli Dagadu
Djokdja terhadap perusahaan dan wisatawan.
3. Mengetahui efektifitas dari strategi pemecahan masalah pembajakan
yang dilakukan PT Aseli Dagadu Djokdja.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
1.4.1 Manfaat praktis
Penelitian ini dapat membantu memberikan saran dan solusi dari
permasalah pembajakan produk atau merek, khususnya pada produk –
produk pariwisata.
1.4.2 Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi wawasan kepada pembaca
mengenai hukum hak cipta, hak kepemilikan intelektual, dan pembajakan,
terutama kepada pihak-pihak akademisi dan pengusaha, khususnya dalam
bidang pariwisata, sehingga praktek-praktek pembajakan dapat dihindari
atau menjadi salah satu solusi apabila tertimpa kasus pembajakan.
8
1.5 TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian mengenai PT Aseli Dagadu Djokdja dan penelitian
tentang kasus pembajakan telah dilakukan oleh beberapa akademisi
sebelumnya. Pada tahun 2008, Hada Fatattul Noofa dari Sekolah Vokasi
Universitas Gadjah Mada telah menulis sebuah Tugas Akhir berjudul
Upaya Pemasaran PT Aseli Dagadu Djokdja Dalam Memposisikan Diri
Sebagai Icon Pariwisata Yogyakarta. Tugas Akhir ini berisi tentang sistem
pemasaran dan analisa SWOT dari PT Aseli Dagadu Djokdja.
Selain itu, penelitian lainnya tantang PT Aseli Dagadu Djokdja dari
sisi strategi pemasaran telah ditulis oleh Solehatun Natasha yang
merupakan mahasiswa dari Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga pada
tahun 2010 dengan judul skripsi Strategi Komunikasi Pemasaran Terpadu
(Integrated Marketing Communications) dalam mengokohkan Brand PT
Aseli Dagadu Djokdja. Skripsi ini berisi tentang bagaimana strategi
komunikasi pemasaran terpadu dalam mengokohkan brand dari PT Aseli
Dagadu Djokdja.
Selain dari sisi sistem pemasaran, penelitian dari PT Aseli Dagadu
Djokdja dari segi hukum telah di lakukan pada tahun 2012 oleh Fitria Dian
Saputra dari Universitas Negeri Semarang dengan judul skripsi
Perlindungan Hukum terhadap Merek Dagang di PT Aseli Dagadu
Djokdja atas Aksi Pelanggaran Merek. Skripsi ini membahas mengenai
bentuk pelanggaran – pelanggaran, perlindungan, serta sanksi hukum
9
terhadap aksi pembajakan yang dilakukan oleh oknum pemalsu produk
dan merek dari PT Aseli Dagadu Djokdja.
Penelitian dari segi teori-teori mengenai kasus pembajakan produk
serta teori strategi menghadapi kasus pembajakan telah ditulis dalam
sebuah jurnal berjudul Pembajakan Produk: Problema, Strategi Dan
Antisipasi Strategi pada tahun 2005 oleh Anas Hidayat dari Fakultas
Ekonomi Universitas Islam Indonesia dan Katherine Mizerski dari School
of Marketing, Edith Cowan University Western Australia. Jurnal ini
membahas tentang teori-teori pembajakan dan strategi menghadapi
masalah pembajakan produk.
Hal yang membedakan penelitian yang dilakukan penulis dengan
penelitian sebelumnya adalah penulis melakukan analisis dari teori-teori
strategi pemberantasan kasus pembajakan yang telah ada dan
menggabungkannya dengan startegi-strategi yang diterapkan oleh PT Aseli
Dagadu Djokdja dalam memerangi kasus pembajakan. Penulis juga
menganalisis efektifitas dari strategi yang telah dilakukan oleh PT Aseli
Dgadu Djokdja. Dampak materil dan non-materil dari kasus pembajakan
yang dialami oleh PT Aseli Dagadu Djokdja juga menjadi pembahasan
penting dalam penelitian yang dilakukan penulis. Selain itu penulis juga
mengumpulkan dan menggabungkan beberapa teori dan hasil penelitian
yang telah ada sebelumnya kedalam penelitian yang dilakukan sebagai
sebuah referensi.
10
1.6 LANDASAN TEORI
1.6.1 Wisata
Menurut UU No.9 Thn 1990 BAB I Pasal 1 wisata merupakan
kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan
secara sukarela dan bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya
tarik wisata.
Oka A. Yoeti dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar
Pengertian Hospitaliti dan Pariwisata memaparkan bahwa dalam
melakukan aktivitas wisata, pada dasarnya terdapat 3 hal yang menjadi
keinginan wisatawan saat berkunjung, yaitu :
1. Something to see
Pada setiap daya tarik wisata (DTW) hendaknya selalu ada yang
menarik untuk dilihat untuk disaksikan, aneh, unik dan langka yang
menjadi daya tarik, mengapa wisatawan perlu datang ke DTW
tersebut serta memiliki objek dan atraksi wisata yang berbeda
dengan apa yang dimiliki oleh DTW yang menjadi pesaing.
2. Something to do
Pada suatu DTW selain memiliki banyak hal yang dapat dilihat,
hendaknya memiliki banyak rekreasi yang dapat dilakukan,
sehingga tidak monoton.
11
3. Something to buy
Hal ini merupakan hal yang penting dalam bisnis pariwisata.
Wisatawan tidak dapat dipisahkan dari oleh-oleh sebagai kenang-
kenangan. Oleh karena itu cindera mata yang khas harus disediakan
dalam bentuk apapun, walaupun bukan produksi langsung dari
DTW tersebut.
Salah satu aktivitas wisata yang diinginkan wisatawan adalah
something to buy yang merupakan aktivitas penting bagi wisatawan saat
berwisata. Wisatawan tentunya menginginkan sesuatu untuk dibawa
pulang sebagai kenang – kenangan ataupun buah tangan untuk keluarga
dan kerabat. Salah satu produk yang dapat dijadikan sebagai oleh – oleh
atau kenanga – kenangan dari sebuah tempat wisata adalah souvenir khas
dari tempat wisata yang dikunjungi. PT Aseli Dagadu Djokdja sebagai
icon souvenir khas alternatif ternama di Yogyakarta tentunya menjadi
sebuah daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Selain teori yang dipaparkan oleh Oka A. Yoeti, teori lain tentang
pentingnya sektor yang berhubungan dengan aktivitas belanja dijelaskan
oleh Leiper. Berdasarkan klasifikasinya terdapat tujuh sektor utama dalam
Industri Pariwisata (Leiper, 1990 dalam Pitana, 2009), yaitu:
12
1. Sektor pemasaran
Mencakup semua unit pemasaran dalam Industri Pariwisata,
misalnya kantor biro perjalanan dan cabangnya, kantor maskapai
penerbanga, kantor promosi daerah tujuan wisata tertentu, dsb.
2. Sektor perhubungan
Mencakup semua bentuk dan macam transportasi publik,
khususnya yang beroperasi sepanjang jalur transit yang
menghubungkan tempat asal wisatawan dengan tujuan wisatawan.
Misalnya, perusahaan penerbangan, bus, penyewaan mobil, kereta
api, dsb.
3. Sektor akomodasi
Sebagai penyedia tempat tinggal sementara dan pelayanan yang
berhubungan dengan hai itu, seperti penyediaan makanan dan
minuman.
4. Sektor daya tarik wisata/atraksi wisata
Sektor ini terfokus pada penyediaan daya tarik atau atraksi wisata
bagi wisatawan. Misalnya, taman budaya, hiburan, event olah raga
dan alam, dsb.
5. Sektor tour operator
Mencakup perusahaan penyelenggara dan penyedia paket wisata.
13
6. Sektor pendukung/rupa-rupa
Sektor ini mendukung terselenggaranya kegiatan wisata baik di
negara/tempat asal wisatawan, sepanjang rute transit, maupun di
negara/tempat tujuan wisata. Misalnya, toko oleh-oleh / souvenir.
7. Sektor pengkoordinasi/regulator
Mencakup peran pemerintah selaku regulator dan asosiasi dibidang
pariwisata selaku penyelenggara pariwisata, baik ditingkat lokal,
regional, maupun internasional. Misalnya, Dinas Pariwisata
Provinsi, Perhimpunan Hotel dan Restoran, dsb.
Terdapat persamaan aspek yang ditemukan melalui dua pendapat
ilmuwan mengenai hal yang dipertanyakan wisatawan yang dipaparkan
oleh Oka A. Yoeti dan klasifikasi pariwisata yang paling penting menurut
Leiper, yaitu dibutuhkannya toko cinderamata/oleh-oleh khas dari
kota/destinasi wisata yang dikunjungi oleh wisatawan sebagai kenang-
kengan, oleh-oleh ataupun sebagai bukti telah berkunjung ke suatu kota/
destinasi.
Secara definitif wisata belanja adalah wisata yang menawarkan
belanja sebagai kegiatan utama, ketika wisatawan dapat mencari segala
kebutuhan barang yang diinginkan mulai dari belanja antik hingga belanja
barang modern. Mulai dari pasar tradisional hingga pasar mewah
(Ismayati, 2010).
14
1.6.2 Pemasaran
Pariwisata merupakan sektor yang membutuhkan banyak bidang
agar dapat berkembang. Salah satu bidang yang memiliki peran penting
dalam pariwisata adalah bidang pemasaran. berikut ini adalah definisi
mengenai hal – hal yang berkaitan dengan pemasaran :
1. Manajemen pemasaran adalah seni dan ilmu memilih pasar sasaran
dan meraih, mempertahankan serta menumbuhkan pelanggan dengan
menciptakan, menghantarkan, dan mengkomunikasikan nilai
pelanggan yang unggul (Kotler dan Keller dalam Sunyoto, 2013).
Pemasaran dalam pariwisata dilakukan untuk memperkenalkan produk
pariwisata yang dimiliki agar diketahui atau dikenal para wisatawan
sehingga memungkinkan mereka untuk membeli atau menggunakan
produk pariwisata yang ditawarkan.
2. Strategi pemasaran adalah serangkaian tujuan dan sasaran, kebijakan
dan aturan yang memberi arah kepada usaha-usaha pemasaran
perusahaan dari waktu ke waktu, pada masing-masing tingkatan dan
acuan serta alokasinya, terutama sebagai tanggapan perusahaan dalam
menghadapi lingkungan dan keadaan persaingan yang selalu berubah
(Sunyoto, 2013:55).
Salah salah satu strategi pemasaran yang banyak dipakai adalah
Strategi Marketing Mix. Strategi Marketing Mix merupakan kombinasi
variabel atau kegiatan yang merupakan inti dari sistem pemasaran variabel
yang dapat dikendalikan oleh perusahaan untuk mempengaruhi reaksi para
15
pembeli atau konsumen. Empat unsur dalam Strategi Marketing Mix
dikenal dengan 4P, yaitu product, price, place, dan promotion (Sunyoto,
2013:60).
1.6.3 Merek
Merek adalah suatu tanda yang berupa gambar, nama, huruf, angka,
susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki
daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan
jasa.6
Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-
sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang
sejenis lainnya.7
Dasar Pertimbangan UU Merk-Perusahaan dan Merk-Perniagaan
adalah perlu diadakan UU tentang Merk-Perusahaan dan Merk-
Perniagaan sehingga khalayak ramai dilindungi terhadap tiruan barang-
barang yang memakai suatu merk yang sudah dikenalnya sebagai merk
barang-barang yang bermutu baik (Kansil, 1990).
6http://www.patenindonesia.co.id/merek-2/apa-yang-dimaksud-merek/ Diakses
pada Rabu 5 Maret 2014 pukul 09.56
7 Ibid hlm. 14
16
1.6.4 Hak Cipta
Sebuah merek memerlukan hak cipta agar dapat dipatenkan dan
terhindar dari masalah pembajakan. Secara definitif hak cipta merupakan
hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara
otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan-
pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal
2 Ayat 1 UU Hak Cipta, 2002 dalam Soelistyo, 2011).
Menurut Suyud Margono dalam bukunya yang berjudul Hukum
Hak Cipta Indonesia, Perlindungan hukum HAKI (Hak Atas Kekayaan
Intelektual) oleh WIPO8 dan oleh praktik negara-negara, dikelompokan
secara tradisional ke dalam dua kelompok kekayaan intelektual, yaitu:
1. Kekayaan industrial (Invensi teknologi, merk, desain
industri, rahasia dagang dan indikasi geografis)
2. Hak cipta dan hak-hak yang berkaitan (karya tulis, karya
musik, rekaman suara, pertunjukan pemusik, aktor dan
penyanyi).
Menurut pasal 1 UU Paten, pengertian paten adalah hak khusus
yang diberikan Negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang
teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri
penemuannya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada orang
lain untuk melaksanakannya (Kansil, 1990).
8 WIPO didirikan berdasarkan Convention Establishing the World International Property
Organization, yang ditandatangani 14 Juli 1976 di Stockholm dan mulai berlaku tahun 1970.
WIPO menjadi organisasi internasional bagian dari United Nation (PBB) pada Desember 1970.
17
1.6.5 Pembajakan dan pemalsuan
Sebuah merek yang tidak dilindungi hak cipta atau hak paten
beresiko untuk mengalami kasus pembajakan. Pengertian pembajakan
menurut KBBI (1997: 775) adalah penjiplakan atau pengambilan
karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya
seolah karangan dan pendapat sendiri.
Pembajakan produk didefinisikan sebagai upaya mengkopi /
memalsukan produk, bungkus dan konfigurasi yang berkaitan dengan
produk tersebut, sehingga seperti produkaslinya, serta memasar-kannya
untuk keuntungan sendiri (Lynch, 2002 dalam Dewanthi, 2008).9
Pemalsuan adalah tindakan pelanggaran dan penyalahan terhadap
hak legal dari sang pemilik intellectual property (Clark, 1997 dalam
Dewanthi, 2008).10
Secara teknik, kata pemalsuan merujuk hanya pada
kasus pelanggaran hak merek dagang, namun dalam prakteknya
pemalsuan juga mencakup tindakan pembuatan sebuah barang yang
bentuk fisiknya sengaja dibuat sangat mirip dengan aslinya, sehingga
terkadang menyesatkan konsumen dalam mencari barang asli yang
hendak dibeli konsumen tersebut (Organization for Economic Co-
operation and Development, 2007 dalam Dewanthi, 2008).11
9 http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126654-6016-Pengaruh%20faktor-
Pendahuluan.pdf Diakses pada Jumat 14 Maret 2014 pukul 10.06 WIB
10
Ibid
11
Ibid
18
Pembajakan dapat dikatakan sebagai bisnis yang menggiurkan bagi
sebagian orang. Alasan seseorang atau suatu oknum melakukan
pembajakan produk (Anas dan Katherine, 2005)12
antara lain :
1. Harga dapat dijual jauh lebih murah dibandingkan aslinya
sehingga dapat menghasilkan keuntungan yang sangat
menjanjikan bagi para pembajak (Zaichkowsky & Simpson, 1996
dalam Anas dan Katherine, 2005).
2. Penyebaran dan perkembangan teknologi yang sangat pesat yang
memungkinan seluruh lapisan masyarakat untuk mengakses
memberikan inspirasi kepada pembajak untuk melakukan
produksi dari produk bajakan secara massal yang dibuat identik
dengan produk aslinya (Nill & Shultz II, 1996 dalam Anas dan
Katherine, 2005).
3. Resiko bisnis sangat rendah karena menjanjikan biaya produksi dan
over head yang sangat murah yang jauh lebih murah dibandingkan
proporsi biaya produksi yang dikeluarkan oleh produk asli,
karena bahan baku yang digunakan berkualitas tanpa standard,
biaya investasi kecil, dan tidak perlu mengeluarkan biaya riset
dan pengembangan (Nill & Shultz II, 1996 dalam Anas dan
Katherine, 2005).
12 http://journal.uii.ac.idindex.phpJSBarticleviewFile995926 Diakses pada
Selasa, 10 Maret 2014 pukul 10.30 WIB
19
4. Memiliki pasar potensial yang sangat besar karena besarnya
proporsi konsumen dengan penghasilan menengah ke bawah
yang tidak terjangkau membeli produk asli. Disamping itu,
infrastruktur hukum yang masih lemah juga menjadi bagian daya
tarik melakukan pembajakan produk (Bush, Bloch dan Dawson,
1989 dalam Anas dan Katherine, 2005).
5. Sulit berkompetisi dengan produk-produk yang telah begitu kuat
dan popular dimata konsumen. Memproduksi produk bajakan
dirasa dapat mempermudah proses pemasaran karena dapat
mendompleng popularitas produk aslinya (Nill & Shultz II, 1996
dalam Anas dan Katherine, 2005).
1.6.6 Strategi
Dalam memerangi kasus pembajakan, diperlukan strategi – strategi
yang tepat dan efektif. Pengertian strategi adalah penetapan sasaran dan
tujuan jangka panjang sebuah perusahaan, dan arah tindakan serta alokasi
sumber daya yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan itu
(Chandler dalam Yeni, 2013).13
Strategi adalah kebijakan dan keputusan kunci yang digunakan
oleh manajemen yang mempunyai dampak yang besar pada kinerja
keuangan. (Robert & Bradley dalam Yeni, 2013).14
13 http://yeninawatl.blogspot.com/2013/01/makalah-strategi-bersaing.html
Diakses pada Senin, 20 januari 2014, pukul 11.35WIB
14
Ibid
20
Pada sebuah jurnal berjudul Pembajakan produk : problema,
strategi, dan antisipasi strategi oleh Anas dan Katherine tahun 2005
menyebutkan bahwa hasil review tulisan-tulisan ilmiah di berbagai
sumber telah ditemukan berbagai strategi dan taktik yang telah
formulasikan oleh para ahli pemasaran. Beberapa bentuk strategi anti
pembajakan dan contoh penerapannya dari beberapa karya tulis yang
berhasil dikumpulkan sebagai berikut:
1. Warning strategy
Perusahaan pemegang merek asli memberikan peringatan secara
aktif kepada para konsumennya terhadap produk perusahaan
tersebut yang dipalsukan.
2. Withdrawal strategy
Perusahaan pemegang merek asli mengawasi dan memilih
secara ketat distributor yang memasarkan produknya di pasar
yang dicurigai produk bajakan sangat banyak dijual.
3. Prosecution strategy
Perusahaan pemegang merek asli melibatkan tim penyidik
yang dibentuk oleh perusahaan sendiri untuk melakukan
penyelidikan secara aktif tempat-tempat yang dicurigai sebagai
pembuat produk palsu dari perusahaan tersebut.
21
4. Hands-Off strategy
Perusahaan pemegang merek asli membiarkan pembajakan
produknya karena berbagai alasan. Misalnya, biaya untuk
memerangi pemebajakan melalui upaya hukum sangat tinggi
dan hasilnya seringkali tidak maksimal. Ukuran pasar yang tidak
terlalu besar di suatu negara untuk produk tertentu sering
dipandang tidak signifikan untuk diperangi karena produk
tersebut hanya dipasarkan dalam lingkup domestik, dan
kualitasnya sangat rendah sehingga mudah dikenali sebagai
produk palsu. Kebijakan ini terutama hanya digunakan untuk
negara-negara terbelakang atau mulai masuk ke kategori
berkembang yang ingin menikmati produk-produk dengan
merek terkenal.
5. Monitoring strategy
Perusahaan pemegang merek asli memandang bahwa distributor
adalah pemegang kunci penyebaran produk palsu yang beredar
dipasaran. Karena itu, pendekatan dengan distributor untuk
membangun loyalitas akan lebih efektif dalam menghentikan
produk bajakan. Distributor didorong untuk memegang
peranan aktif dengan cara melaporkan setiap temuan yang
mencurigakan terhadap kemungkinan produk palsu. Strategi
ini biasanya di ikuti dengan berbagai macam insentif untuk
22
mendorong keaktifan distributor untuk memerangi
pembajakan produk.
6. Modification Strategy
Perusahaan pemegang merek asli melakukan upaya menciptakan
metode pelabelan dengan dibantu temuan-temuan teknologi
terkini untuk membedakan produk asli dan produk palsu.
Nampaknya upaya ini memberikan harapan yang baik, tetapi
tidak berapa lama pelabelan deteksi digunakan, para pembajak
juga mampu mengantisipasi deteksi tersebut. Hal ini tidak
mengherankan karena penyebaran teknologi canggih sudah
semakin mudah dan akses untuk menguasainya semakin
terbuka untuk berbagai lapisan dan golongan masyarakat
(Chaudhry & Walls 1996 dalam Anas dan Katherine, 2005).
7. Consultation
Perusahaan pemegang merek asli melakukan peran aktif
bekerjasama dengan lembaga pemerintah maupun dengan
pemegang merek asli lainnya. Dengan lembaga pemerintah,
dalam kaitannya memberikan masukan dan membangun lobi
dengan politikus dan penegak hukum untuk memperkuat
penegakan hukum dan pembuatan produk hukum.
23
8. Awareness, Action and Assertion
Harvey (1987) memberikan alternatif strategi yang lebih
komprehensif karena dipandang lebih memberikan hasil
lebih baik dengan melalui tiga langkah strategi yang dilakukan
dalam satu kesatuan, yaitu meningkatkan „awareness‟,
mengembangkan „action‟ plan, and melakukan „assertion‟
atas hak perusahaan untuk memerangi pembajakan produk.
Langkah pertama adalah memberikan kesadaran kepada semua
pelaku bisnis yang terlibat dalam produk yang dijual, baik
konsumen, distributor maupun pelaksana penegak hukum,
melalui berbagai lobi, media dan publikasi. Misalnya
perusahaan memberikan daftar distributor dan pengecer yang
diberi hak penjualan produknya secara resmi kepada
konsumen melalui iklan. Disamping itu, perusahaan
sebaiknya juga menjadi anggota aktif di berbagai asosiasi
anti pembajakan produk, misalnya IACC (International Anti
Counterfeiting Coalition). Dengan bergabungnya perusahaan
pemilik merek asli diberbagai asosiasi baik internasional
maupun domestik diharapkan tindakan memerangi
pembajakan lebih memberikan hasil yang nyata. Indikator
yang dapat disebut „hasil nyata‟ tersebut, misalnya perusahaan
dapat mempertahankan atau meningkatkan kemam-puan
menghasilkan laba pertahun, perusahaan mampu meningkatkan
24
nilai perusahaan melalui harga saham yang kuat, dan
kemampuan membayar pajak ke pemerintah juga semakin besar.
Langkah selanjutnya adalah melaksanakan tindakan nyata
dalam upaya meningkatkan „awareness’ melalui semua staf
perusahaan dari tingkat atas sampai ke bawah, terutama salah
satu manajer diberi kekuasaan untuk selalu berkomunikasi
dengan media massa tentang segala aktifitas dan kerugian
yang ditimbulkan oleh pembajakan produk. Demikian juga,
perusahaan didorong aktif terlibat pada asosiasi anti pembajakan
dengan memperjuangkan plan yang sudah digariskan oleh
perusahaan. Harvey (1987) menyarankan perusahaan membuat
divisi khusus untuk menangani berbagai masalah yang
menyangkut pembajakan produk. Langkah terakhir adalah
melakukan „assertion‟ strategi dengan melakukan kampanye
atau pernyataan aktif kepada pemerintah melalui berbagai
lobi yang dilakukan oleh chairman perusahaan dalam rangka
mempengaruhi pembuatan peraturan dan hukum yang lebih
tegas dan kuat.
25
1.7 METODE PENELITIAN
1.7.1 Bahan dan Materi Penelitian
Bahan dan materi penelitian berupa data perkembangan PT Dagadu dari
awal mula munculnya pembajakan pada tahun 1998 sampai tahun 2013.
1.7.2 Alat
Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data di lapangan antara lain :
1. Kamera
Kamera digunakan untuk mengabadikan gambar gerai PT Dagadu,
para karyawan, konsumen, serta produk-produk yang diproduksi dari
PT Aseli Dagadu Djokdja.
2. Voice Recorder
Voice recorder digunakan untuk merekam suara pada saat wawancara
dengan narasumber.
3. Notes dan alat tulis
Peralatan ini berfungsi untuk mencatat hasil dari wawancara maupun
mencatat data-data yang dianggap penting saat melakukan wawancara,
observasi ataupun survey di lapangan.
4. Laptop
Alat ini diguakan untuk mengumpulkan dan mengolah hasil dari data
dan informasi yang telah dikumpulkan.
26
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang dilakukan untuk memperoleh data antara lain:
1. Observasi
Penulis melakukan tinjauan langsung ke lapangan untuk
mengetahui kegiatan dan kondisi perusahaan secara langsung.
Kegiatan yang dilakukan dalam teknik observasi ini antara lain
kunjungan ke kantor pusat Dagadu dan Gerai Yogyatorium.
Observasi ke kantor pusat Dagadu bertujuan untuk melakukan
wawancara dengan Direktur Utama Dagadu, Bapak A. Noor Arief
dan Kepala Bidang Pemasaran, Bapak Kristopha Muhammad.
Penulis juga melakukan observasi di Gerai Yogyatorium
yang merupakan gerai terbaru dan terbesar dari Dagadu. Observasi
ke Gerai Yogyatorium bertujuan untuk mengetahui situasi gerai
serta melihat dan mengenal jenis dan kualitas produk-produk aseli
dari Dagadu.
2. Wawancara
Penulis melakukan wawancara dengan Direktur Utama PT
Aseli Dagadu Djokdja yang juga merupakan salah satu pencetus
Dagadu, Bapak A. Noor Arief mengenai cara penanganan Dagadu
dalam memberantas kasus pembajakan yang dialami perusahaan
dan untuk mengenal Dagadu secara garis besar, serta mengetahui
asal – usul Dagadu.
27
Selain wawancara dengan Direktur Utama Dagadu, penulis
juga melakukan wawancara dengan Kepala Bidang Pemasaran,
Bapak Kristopha Muhammad yang bertujuan untuk mengetahui
strategi – strategi Dagadu dalam memberantas pembajakan, strategi
untuk mempertahankan merek perusahaan, dan untuk mengetahui
secara rinci efek dari munculnya produk – produk palsu Dagadu.
3. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan dengan cara mencari dan
mempelajari data dari buku-buku referensi dan bahan lainnya yang
dapat menunjang keakuratan data dan analisis dalam penelitian.
Studi pustaka ini dilakukan ke Perpustakaan Pusat UGM,
Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya, STUPADATA, serta internet.
Data sekunder yang digunakan penulis antara lain
Perencanaan Pengembangan Destinasi Pariwisata oleh
Kusudianto Hadinoto, Pengantar Pariwisata oleh Ismayati, Hak
Milik Intelektual oleh Kansil,. Kepariwisataan oleh Hari A.
Karyono, Hukum Hak Cipta Indonesia oleh Suyud Margono,
Strategi Komunikasi Pemasaran Terpadu (Intregrated
Marketing Communication) dalam Mengokohkan Brand PT Aseli
Dagadu Djokdja oleh Solehatun Natasha, Upaya Pemasaran
PT Aseli Dagadu Djokdja dalam Mempromosikan Diri
Sebagai Icon Pariwisata Yogyakarta oleh Hada Fattatul Noofa,
Pengantar Ilmu Pariwisata oleh I. Gede. Pitana, Perlindungan
28
Hukum terhadap Merek Dagang di PT Aseli Dagadu Djokdja
atas Aksi Pelanggaran Merek oleh Fitri Dian Saputra, Hak Cipta
Tanpa Moral oleh Henry Soelistyo, Manajemen Pemasaran
(Pendekatan Konsep, Kasus, dan Psikologi Bisnis) oleh
Danang Sunyoto, UUD No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan,
Metode Penelitian Pariwisata oleh Wirdiyanta, Pemasaran
Pariwisata Terpadu dan Dasar – Dasar Pengertian Hospitaliti dan
Pariwisata oleh Oka A. Yoeti.
1.7.4 Analisis Hasil
Analisis penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah kualitatif
deskriptif, yakni analisis penelitian yang bertujuan membuat deskripsi atas
sebuah fenomena sosial atau alam secara sistematis, faktual dan akurat.
Metode penelitian ini dapat memberikan gambaran serta mengupas lebih
dalam permasalahan pembajakan produk yang dialami oleh PT Aseli
Dagadu Djokdja.
Langkah – langkah yang dilakukan dalam analisis hasil antara lain,
penulis melakukan observasi dan wawancara terlebih dahulu mengenai
produk dan masalah pembajakan di PT Aseli Dagadu Djokdja dengan
mengunjungi gerai dan mewawancarai narasumber yang berkaitan dengan
data observasi yang dibutuhkan penulis. Setelah mendapatkan data dari
lapangan, penulis melakukan tinjauan pustaka mengenai teori – teori kasus
pembajakan dan menggabungkan data hasil observasi dengan teori yang
telah ada sehingga terbentuklah sinkronasi antara teori dengan hasil data di
29
lapangan. Setelah menemukan kesinambungan antara data primer dan
sekunder, dapat diketahui bahwa sebagian besar data dari hasil observasi
yang berupa strategi dari PT Aseli Dagadu Djokdja dalam menghadapi
pembajakan sesuai dengan teori – teori yang telah ada, namun Dagadu
tidak mengaplikasikan seluruh teori dalam menangani kasus pembajakan
yang mereka alami. Dari hasil analisis penulis, Dagadu menggunakan lima
strategi yang sesuai dengan teori, yaitu Warning Strategy, Withdrawal
Strategy, Prosecution Strategy, Modification Strategy, dan Consultation.
1.8 SISTEMATIKA PENULISAN
Penelitian berjudul Strategi PT Aseli Dagadu Djokdja dalam Menghadapi
Kasus Pembajakan di ini terdiri dari IV bab, yaitu:
BAB I: PENDAHULUAN
Bab I meliputi pembahasan tentang latar belakang penulis
menentukan judul Strategi PT Aseli Dagadu Djokdja dalam
Menghadapi Kasus Pembajakan sebagai judul skripsi. Selain itu
pada bab ini juga dijelaskan tentang rumusan permasalahan yang
berisi tentang strategi yang dilakukan, dampak yang timbul dan
efektifitas dari strategi yang telah dilakukan. Bab ini juga
menjelaskan tujuan dari penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, landasan teori yang menjadi acuan dari penelitian, metode
penelitian yang digunakan, serta sistematika penulisan.
30
BAB II: PROFIL PERUSAHAAN
Bab II berisi tentang profil dari pada PT Aseli Dagadu Djokdja
secara garis besar, meliputi visi dan misi, lokasi gerai, stuktur
organisasi, manajemen perekrutan pegawai dan mengenai produk
yang ditawarkan oleh pada PT Aseli Dagadu Djokdja.
BAB III: PEMBAHASAN PERMASALAHAN
Bab III merupakan bab inti yang memaparkan tentang kasus
pembajakan yang dialami PT Aseli Dagadu Djokdja, membahas
strategi yang yang telah dan akan dilakukan perusahaan untuk
meluruskan kasus pembajakan yang masih berlanjut sampai saat
ini, dampak yang muncul karena adanya kasus pembajakan, dan
efektifitas dari strategi-strategi yang telah dilakukan PT Aseli
Dagadu Djokdja dalam memerangi kasus pembajakan.
BAB IV: PENUTUP
Bab IV merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan
dan saran dari pembahasan yang telah dipaparkan pada bab
sebelumnya.