Post on 06-Feb-2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Peranan penting dalam hidup dan kehidupan masyarakat diantaranya sebagai prasarana
dalam bidang Perindustrian, Perumahan, Jalan adalah tanah. Tanah dapat dinilai sebagai benda
tetap yang dapat digunakan sebagai tabungan masa depan. Tanah merupakan tempat pemukiman
dari sebagian besar umat manusia, disamping sebagai sumber penghidupan bagi manusia yang
mencari nafkah melalui usaha tani dan perkebunan, yang akhirnya tanah juga yang dijadikan
persemayaman terakhir bagi seorang yang meninggal dunia.1
Tanah juga mempunya nilai investasi bagi seorang yang mempunyai tanah. Pelepasan
hak atas tanah untuk kepentingan umum akan mendapatkan ganti rugi tidak hanya berupa uang
semata bisa berbentuk tanah dan yang lainnya. Pada dasarnya tanah memiliki nilai ekonomis dan
sosial jadi bisa melakukan pelepasan hak untuk kepentingan umum.
Jadi tidaklah benar seorang yang menjual tanah berarti menjual miliknya, yang benar dia
hanya menjual jasa memelihara dan menjaga tanah selama dikuasainya.2 Di sisi lain tanah harus
dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat secara adil dan merata,
juga harus dijaga kelestariannya.3
Tanah adalah sumber daya alam yang merupakan kebutuhan primer manusia. Hampir
tidak ada kegiatan manusia yang tidak berkaitan dengan tanah. Menjadi persoalan ketika
pembagunan harus dilakukan, sementara itu ketersediaan Negara (tanah yang dikuasai langsung
1 Abdurrahman, 1983, Masalah Hak-Hak Atas Tanah Dan Pembebasan Tanah di
Indonesia, Alumni, Bandung, hal. 1 2 Soedharyo Soimin, 1993, Status Hak dan Pengadaan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta,
hal. 82 3 Achmad Rubaie, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,
Bayumedia Publishing, Malang, hal. 1.
oleh Negara) sangat terbatas. Demi terlaksananya pembangunan, terpaksa tanah yang sudah
dipunyai atau dikuasai oleh rakyat, digunakan untuk memenuhi kebutuhan pembanguan fisik.
Dalam perolehan tanah untuk keperluan pembangunan itulah tidak jarang terjadi “benturan”.4
Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting
untuk membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Sehubungan dengan hal
tersebut, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(selanjutnya disebut UUPA) merupakan pelaksanaan langsug dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
yang menyatakan bahwa : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Ini merupakan pengejawantahan aspirasi Indonesia dalam pembaharuan hukum tanah
nasional. Nilai ekonomis hak atas tanah akan berbeda dengan hak yang melekat pada tanah
tersebut, dengan demikian ganti rugi yang diberikan atas tanah itu juga menentukan berapa besar
yang harus diterima dengan adanya hak berbeda itu. Mengenai tanah sebagai hak milik, bahwa
:“hak milik adalah hak terkuat dan terpenuh atas tanah.” Ketentuan ini tentunya memberikan
kekuatan hukum bagi masyarakat yang memiliki hak milik atas tanah.
Mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945, pemerintah perlu mengadakan pembangunan dalam segala aspek kehidupan
masyarakat. Salah satu upaya pemerintah dalam rangka pembangunan nasional adalah
pembangunan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan jalan raya, pemukiman rakyat,
pasar tradisional, pembangunan gedung mall dan sebagainya.
Pembangunan nasional untuk kepentingan umum seperti ini diperlukan lahan yang sangat
luas dan pemiliknya pun sangat banyak. Untuk memenuhi kebutuhan tanah tersebut dilakukan
4 Suparjo Sujadi, ed., 2011, Pergulatan Pemikiran Dan Aneka Gagasan Seputar Hukum
Tanah Nasional, BP FHUI, Depok, hal. 159.
pembebasan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip yang
terkandung di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan hukum tanah nasional khususnya
Penjelasan Umum Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, UU No. 2 Tahun 2012.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, bahwa bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak menguasai Negara tersebut, memberi wewenang
kepada negara, diantaranya untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa (Pasal 2 ayat (2) huruf a Undang-
Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960).
Menyelenggarakan penyediaan tanah dalam berbagai keperluan masyarakat dan negara,
pemerintah dapat mencabut hak-hak atas tanah dengan memberikan ganti kerugian yang layak
menurut cara yang diatur dengan undang-undang (Pasal 18 Undang-Undang tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960), apabila upaya melalui cara musyawarah
gagal membawa hasil (Penjelasan Umum Undang-Undang tentang Pencabutan Hak-Hak Atas
`Tanah dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya, UU No. 20 Tahun 1961). Hak menguasai
negara atas tanah, juga memberikan wewenang kepada Negara untuk mengatur.
Untuk melaksanakan wewenang pengaturan tersebut, hal yang sudah disadari oleh
pembentuk UUPA, bahwa hukum tanah yang dibangun itu harus didasarkan pada nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat Indonesia sendiri,yaitu hukum adat, secara teoritik, hukum tanah yang
dibangun berdasarkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Freiderich Carl Von Savigny,
mengatakan bahwa hukum itu bukan hanya dikeluarkan oleh penguasa publik dalam bentuk
perundang-undangan, namun hukum adalah jiwa bangsa (Volkgeist),5 dan pencabutan hak atas
tanah oleh negara untuk kepentingan umum harus dilakukan dengan pemberian ganti rugi yang
layak dan sebaiknya harus diperoleh melalui musyawarah, maka pengambilan hak atas tanah
untuk kepentingan umum, seharusnya akan diterima dan dipatuhi oleh masyarakat.
Menurut Habermas mengatakan bahwa validitas hukum ditentukan oleh konsensus yang
dibuat oleh elemen-elemen masyarakat. ia tidak melihat nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi
acuan validitas hukum itu sebagai nilai-nilai obyektif, karena itu, maka nilai-nilai itu harus
ditemukan melalui consensus bersama,6 sehingga sengketa akan relatif jarang terjadi. Akan tetapi
kenyataannya, pengadaan tanah untuk kepentingan umum, masih banyak menimbulkan sengketa
antara pemerintah dengan para pemilik tanah baik sebagai perseorangan maupun badan hukum
yang terkena proyek pembebasan tanah.
Saat ini sangat sulit melakukan pembangunan di atas tanah negara. Kenyataan
menunjukkan bahwa pembangunan membutuhkan tanah, tetapi di sisi lain tanah Negara yang
tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut semakin terbatas, karena tanah yang ada sebagian
telah dikuasai/dimiliki oleh masyarakat dengan suatu hak. Agar momentum pembangunan tetap
dapat terpelihara, khususnya pembangunan berbagai fasilitas untuk kepentingan umum yang
memerlukan bidang tanah, maka upaya hukum dari pemerintah untuk memperoleh tanah-tanah
tersebut dalam memenuhi pembangunan antara lain dilakukan melalui pendekatan pembebasan
hak maupun pencabutan hak.7
5 Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Kompas Media Nusantara,
Jakarta, hal. 164. 6 Reza A.A. Wattimena, 2007, Melampaui Negara Hukum Klasik, Locke-Rousseau-
Habermas, Kanisius, Yogyakarta, hal. xvi-xvii. 7 Chaizi Nasucha, 1994, Politik Ekonomi Pertanahan Dan Struktur Perpajakan Atas
Tanah, Kesaint Blanc, Jakarta, hal.74.
Jalan keluar yang ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah hak masyarakat.
Kegiatan “mengambil” tanah (oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah. Pembangunan yang
tengah giat dilakukan pemerintah saat ini kerap kali berbenturan dengan masalah pengadaan
tanah. Agar tidak melanggar hak pemilik tanah, pengadaan tanah tersebut mesti dilakukan
dengan memperhatikan prinsip- prinsip kepentingan umum (public interest) sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
Di Indonesia pengadaan tanah khususnya bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dilaksanakan
dengan cara pencabutan hak atas tanah. Dalam hal ini banyak permasalahan yang muncul karena
kelemahan regulasi. Wujud peraturan yang ada belum bisa memberikan jaminan kepastian
hukum terhadap pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Selain itu aspek
material dari semua peraturan yang ada, kurang memadai sehingga menimbulkan masalah.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sejak tahun 1961 telah berlaku Undang-
undang Nomor 20 Tahun 1961, kemudian dilanjutkan dengan kebijakan pemerintah melalui
PMDN (Peraturan Menteri Dalam Negeri) Nomor 15 Tahun 1975 jo PMDN Nomor 2 Tahun
1976, kemudian dicabut dan diganti dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum (selanjutnya disebut Keputusan Presiden 55/93),
sejak tanggal 17 Juni 1993, semua pengambilalihan tanah untuk kepentingan umum dilakukan
dengan peraturan ini yang pelaksanaannya ditunjang dengan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 (selanjutnya disebut
PMNA/Ka.BPN 1/1994).
Pada kenyataannya dalam pelaksanaannya tetap menimbulkan konflik dalam
musyawarah. Untuk itu perlu dikaji ulang keberadaan dari Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun
1993 karena sudah tidak sesuai sebagai landasan hukum dalam melaksanakan pembangunan
untuk kepentingan umum dan dikaitkan dengan telah berlakunya Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah.
Pengadaan tanah kemudian diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
yang kemudian dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Sampai dengan tahun
2012 Indonesia belum memiliki undang-undang yang mengatur secara khusus tentang Pengadaan
Tanah. Ditingkat Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), pengadaan tanah diatur dalam
Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun
2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Setelah melalui perjalanan waktu yang cukup panjang, Rancangan Undang-undang
(RUU) Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum akhirnya disahkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dalam sidang Paripurna tanggal 16 Desember 2011
yang lalu. Sesuai dengan Pasal 73 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, maka RUU tersebut menjadi sah sebagai undang-undang paling
lama 30 hari sejak RUU tersebut disahkan. Diharapkan dengan adanya Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang
disahkan pada tanggal 14 Januari 2012, maka Indonesia memiliki payung hukum setingkat
undang-undang guna memperlancar pelaksanaan pembangunan infrastruktur untuk kepentingan
umum. Namun bagaimana undang-undang ini dapat memberikan perlindungan hukum bagi
pemegang hak atas tanah yang terkena dampak bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 71
Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah.
Fakta yang ada pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
menimbulkan gejolak dalam praktiknya, dimana adanya pemaksaan dari para pihak baik
pemerintah yang menetapkan harga secara sepihak maupun pemilik tanah menuntut harga yang
dianggap tidak wajar, sementara itu perangkat hukum yang ada belum mampu mengakomodir
dua kepentingan yang berbeda tersebut, akhirnya terjadi dengan cara pemaksaan dan intimidasi
terhadap masyarakat dalam hal pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Sebenarnya pada Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 sudah ada acuan yang
dijadikan dasar ganti rugi tanah yang digunakan untuk kepentingan umum adalah Nilai Jual
Obyek Pajak (NJOP). Hal ini diatur dalam Pasal 15 Perpres Nomor 65 Tahun 2006 yang
menyatakan dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas nilai Jual Obyek Pajak
(NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun
berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia
nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang
bangunan dan nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di
bidang pertanian.
Pemerintah di sini justru dianggap sebagai upaya memaksakan kehendaknya untuk
memberikan ganti rugi berdasarkan NJOP. Hal ini disebabkan NJOP ini nilainya jauh di bawah
harga pasaran. Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tersebut di atas
penetapan ganti rugi dilakukan secara musyawarah (negosiasi) untuk mufakat (Pasal 37 sampai
Pasal 39). Namun hal ini nampaknya belum juga menyelesaikan masalah karena pemerintah
menginginkan harga serendah-rendahnya. Sedangkan pemilik tanah menuntut harga yang tinggi,
yang dianggap tidak wajar, sementara itu perangkat hukum yang ada belum mampu
mengakomodir dua kepentingan yang berbeda tersebut, sehingga sampai saat ini terjadi dengan
cara pemaksaan dan intimidasi terhadap masyarakat dalam hal pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum.
Seiring amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, pada Perpres Nomor 71 Tahun
2012 ketentuan ganti rugi berdasarkan NJOP di tiadakan, diganti dengan ketentuan Pasal 66
Perpres Nomor 71 Tahun 2012 yang mengatur bahwa nilai ganti rugi ditetapkan dengan
musyawarah dengan menggunakan nilai ganti rugi yang ditetapkan penilai yang ditunjuk sebagai
dasar musyawarah. Hal ini menunjukkan adanya norma kabur dalam pengaturan nilai ganti rugi,
yang berarti juga tidak memberikan perlindungan terhadap nilai ganti rugi tapi menyerahkan kepada
mekanisme musyawarah yang belum bisa dipastikan akan terjadi kesepakatan.
Akibat hukum bila musyawarah dan mufakat tidak mencapai kesepakatan, maka negara
dalam hal ini pemerintah akan tetap melaksanakan pengambilalihan tanah untuk kepentingan
umum dengan berdasarkan pada pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum di
Indonesia diderivasikan dari Hak Menguasai Negara. Selain itu dengan konsep fungsi sosial hak
atas tanah yang juga menjadi legitimasi negara dalam pengambilalihan hak atas tanah untuk
kepentingan umum ini. Sebenarnya pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum di
Indonesia menunjukkan dominasi kewenangan di tangan pemerintah sebagai lembaga eksekutif.
Pelibatan DPRD dan masyarakat setempat dalam rencana pembangunan terkesan hanya
prosedural-formal, karena persetujuan para wakil rakyat dan rakyat tersebut hanya terhadap suatu
kegiatan pembangunan tertentu tanpa dijelaskan konsekuensi apabila terjadi ketidaksetujuan.
Penelusuran kepustakaan baik melalui perpustakaan maupun surat kabar, majalah
mingguan, bulletin dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian8, terdapat beberapa
penelitian yang berkaitan dengan pengadaan tanah bagi pembangunan guna kepentingan umum
yaitu :
1. Tesis dari ADI AKBAR, NIM B4B 007 003, alumni Program Studi Magister
Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang, Tahun 2009dengan judul tesis
“Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Proyek Jalan Lingkar Utara Kota Tegal”.
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian tesis tersebut yakni:
a. Bagaimana proses pengadaan tanah untuk pembangunan proyek jalan lingkar utara
kota Tegal?
b. Kendala atau hambatan apa dalam proses pengadaan tanah tersebut dan bagaimana
upaya yang dilakukan?
2. Tesis dari WAHYU CANDRA ALAM, NIM B4B 008284 alumni Program Studi
Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang, Tahun 2010 dengan judul
tesis “Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Kurang Dari Satu Hektar Dan
Penetapan Ganti Kerugiannya”. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam
penelitian tesis tersebut yakni :
a. Bagaimanakah pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum dengan luas kurang dari satu hektar di Kota Tangerang?
8 Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007, The Legal Souyrces of Public Policy,
Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23
b. Bagaimanakah Penetapan Ganti Kerugiannya terhadap Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Dengan Luas Kurang Dari Satu Hektar di
Kota Tangerang?
Berdasarkan penelusuran dari tesis dengan judul dan pokok permasalahan seperti yang
dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Perlindungan Hukum bagi
Pemegang Hak Milik atas Tanah untuk Kepentingan Umum,” belum ada yang membahasnya,
sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah orisinalitas atau keasliannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini dapat dikemukakan dalam research questions sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan ganti rugi bagi pemegang hak milik atas tanah yang dipergunakan
untuk kepentingan umum?
2. Bagaimana akibat hukum apabila tidak terjadi kata sepakat dalam musyawarah?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan untuk mencari, menggali, menghubungkan
dan memprediksi suatu kejadian. Setiap penelitian hukum yang dilakukan memiliki tujuan yang
jelas dan terarah. Adapun tujuan dari penelitian hukum ini adalah:
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini yaitu untuk pengembangan
ilmu hukum terkait paradigma Science as a process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma
ini, ilmu hukum tidak akan mandek dalam penggalian atas kebenaran, khususnya terkait dengan
materi perlindungan hukum bagi pemilik hak atas tanah untuk kepentingan umum.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini adalah sebagai berikut
:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan ganti rugi bagi pemegang hak atas tanah
yang dipergunakan untuk kepentingan umum.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum apabila tidak terjadi kata sepakat
dalam musyawarah.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini yaitu sebgai
berikut:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Adapun yang menjadi manfaat teoritis dalam penelitian tesis ini yaitu, menambah
wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya terhadap hukum pertanahan di bidang kenotariatan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis yang didapat dari penelitiantesis ini yaitu, bagi kalangan
dibidang hukum pertanahan dapat dijadikan referensi atau pengetahuan tambahan dalam hal
mengambil hak milik atas tanah yang akan diperuntukkan bagi pembangunan untuk kepentingan
umum, manfaat bagi penulis adalah untuk mengembangkan ilmu hukum di bidang Hukum
Pertanahan dan Kenotariatan.
1.5 Landasan Teoritis
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, adapun
teori-teori dan konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian tesis ini yaitu :
1.5.1 Landasan Teoritis
1.5.1.1Teori Negara Hukum
Pasal 1 ayat (3) UUD 45, menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum,
bukan negara kekuasaan belaka.Suatu negara hukum, seperti diungkapkan oleh Frans Magnis
Suseno, adalah didasarkan pada suatu keinginan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas
dasar hukum yang baik dan adil. Hukum menjadi landasan dari segenap tindakan negara, dan
hukum itu sendiri harus baik dan adil. Baik karena sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
masyarakat dari hukum, dan adil karena maksud dasar segenap hukum adalah keadilan. Ada
empat alasan utama untuk menuntut agar negara diselenggarakan dan menjalankan tugasnya
berdasarkan hukum, yaitu: (1) kepastian hukum, (2) tuntutan perlakuan yang sama (3) legitimasi
demokratis, dan (4) tuntutan akal budi9.
Plato, adalah seorang filsuf Yunani, orang pertama kali melahirkan pemikiran tentang
paham “negara hukum” yang terkenal dalam tulisannya nomoi. Kemudian berawal dari
pemikiran tersebut, berkembanglah konsep continental dan rechtsstaat, konsep Anglo Saxon, dan
the rule of law serta konsep-konsep lainnya.10
Diskursus tentang negara hukum kemudian mulai berkembang saat mencuatnya
pemikiran tentang teori hukum alam, yang tumbuh di Eropa pada abad ke tujuh-belas hingga
abad ke delapan-belas. Secara umum, dalam teori negara hukum, dikenal adanya dua macam
konsepsi tentang negara hukum, yang terdiri dari konsep negara hukum dalam arti rechtsstaat,
9 Franz Magnis Suseno , 1988, Kuasa dan Moral, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
hal. 295. 10 Mohammad Tahir Azhari, 1992, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-
Prinsipnya Dlihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan
Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 73-74.
dan negara hukum dalam pengertian sebagai the rule of law. Istilah rechtsstaat dikenal dalam
negara-negara Eropa Kontinental, paham ini dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant,
Paul Laband, Julius Stahl, dan Fichte. The rule of law, dikembangkan dalam negara-negara anglo
saxon, para penganut common law, yang dipelopori oleh A.V. Dicey di Inggris. Namun
demikian, pada dasarnya kedua konsepsi tersebut memiliki satu maksud yang serupa, yaitu
adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan penghirmatan atas martabat manusia the
dignity of man.
Perbedaan rechtstaat dengan rule of law, dapat ditelusuri sejarah perkembangan dua
konsep yang berpengaruh tersebut. Konsep rechtstaat berasal dari Jerman dan konsep the rule of
law berasal dari Inggris. Istilah rechstaat mulai popular di Eropa sejak abad XIX, sedangkan
istilah the rule of law mulai populer dengan terbitnya sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun
1855 dengan judul Introduction to the Study of the Law of the Constitutions.
Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme, sehingga sifatnya
revolusioner. Paham negara rechtsstat dilukiskan dengan ”negara penjaga malam”
(nachtwakersstaat), tugas pemerintah dibatasi pada mempertahankan ketertiban umum dan
keamanan (de openbare orde en veligheid).
Dalam arti formal the rule of law berarti organized public power, atau kekuasaan umum
yang terorgainsasi. Dalam arti material, the rule of law didefinisikan sebagai rule of just law,
artinya dalam konsep the rule of law, di dalamnya tercakup pula keadilan yang sifatnya lebih
substantive dan esensial, tidak sekadar memfungsikan bunyi dari undang-undang tertulis.
Tentang persamaan di depan hukum, A.V Dicey menerangkan semua kelompok
masyarakat memiliki ketertundukan yang sama di mata hukum umum Negara, yang di jalankan
oleh peradilan umum. The Rule of Law tidak mengenal adanya pengecualian bagi pejabat
pemerintah atau orang-orang tertentu terhadap hukum yang mengatur warganegara secara
keseluruhan, seperti halnya ada pengadilan administrative..11
Berdasarkan uraian tentang rechtsstaat dan rule of law maka dapat disimpulkan bahwa
rechtsstaat dan the rule of law dengan tumpuanya masing-masing mengutamakan segi yang
berbeda. Konsep rechtsstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid yang kemudian menjadi
rechtmatigheid, sedangkan the rule of law mengutamakan equality before The law. Akibat
adanya perbedaan titik berat dan pengoperasian tersebut, munculah unsur-unsur yang berada
antara konsep rechtsstaat dan konsep the rule of law.
Konsep negara hukum Indonesia dipengaruhi juga oleh paham Eropa Kontinental
(rechtsstaat) dan Anglo Saxon (the rule of law), pengaruh kedua konsep negara hukum tersebut
dinyatakan Padmo Wahyono sebagai berikut :
”Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, dengan rumusan rechtsstaat, dengan
anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian negara hukum pada
umumnya (genusbegrip), disesuaikan dengan keadaan di Indonesia. Artinya digunakan
dengan ukuran pandangan hidup maupun pandangan bernegara kita.”12
Teori negara hukum ini dapat digunakan karena dalam suatu negara hukum, hukum yang
merupakan kekuasaan tertinggi dipakai untuk mengatur masyarakat. Dimana hukum merupakan
suatu sistem yang dapat berperan dengan baik dan tidak pasif, hukum juga mampu dipakai di
tengah masyarakat, jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan
dalam bidang penegakan hukum.
1.5.1.2Teori Perundang-Undangan
11 A.V Dicey, 2008, Introduction to the Study of the Law of the Constitutin (terj),
Nusamedia, Bandung, hal. 262. 12 Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cet. Ke-2,
Ghalai Indonesia, Jakarta, hal. 151
Untuk mengatur suatu Negara di perlukan undang-undang. Dalam hal pengadaan tanah
untuk kepentingan umum, undang-undang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk
mengatur penggunaan tanah, termasuk untuk kepentingan umum. Untuk menerangkan hal ini
diperlukan Teori Perundang-undangan.
Dapat kita lihat dalam Teori Perundang-Undangan disebutkan bahwa dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat beberapa asas yang perlu dipahami untuk
memastikan bahwa suatu perundang-undangan yang dihasilkan merupakan suatu produk
kekuasaan yang berdasarkan konsep negara hukum secara baik, atau disebut sebagai peraturan
perundang-undangan yang baik.13 Adapun asas-asas tersebut adalah:
1. asas undang-undang tidak berlaku surut;
2. Asas hierarki, atau tata urutan peraturan perundang-undangan menurut teori jenjang
norma hukum atau Stufenbautheorie yang dikemukakan Hans Kelsen.14 Asas ini
menyebutkan bahwa undang-undang yang dibuat oleh Penguasa yang lebih tinggi
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
3. Asas lex posteriore derogate lex priori (hukum yang baru mengalahkan hukum yang
lama).
4. Asas hukum lex spesialis derogate legi generalis (hukum yang lebih khusus
mengalahkan hukum yang bersifat umum jika pembuatnya sama).
Teori Stufenbau adalah teori mengenai sistem hukum oleh Hans Kelsen, yang
menyatakan bahwa sistem hukum yang berbentuk perundang-undangan merupakan sistem anak
tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegang
13 Bagir Manan, 1992, Dasar-dasar Perundang-Undangan Indonesia, Penerbit IND-
HILL.CO, Cetakan Pertama, Jakarta, hal. 13-15 14 Natabaya, 2008, Sistem Peraturam Perundang-Undangan Indonesia, Penerbit
Konstitusi Press dan Tatanusa, Jakarta, hal. 23-32.
pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus
berpegang pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm).
Menurut Kelsen norma hukum yang paling mendasar (grundnorm) bentuknya tidak
konkrit (abstrak),15 contoh norma hukum paling dasar dan abstrak adalah Pancasila.
Salah seorang tokoh yang mengembangkan Teori Stufenbau adalah Hans Nawiasky.
Teori Nawiasky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma
menurut teori ini adalah:16
1. Norma fundamental negara
2. Aturan dasar negara
3. Undang-undang formal. dan
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom.
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan
konstitusi atau Undang-Undang Dasar atau (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi hukum
dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi.
Penerapan teori pada struktur tata hukum di Indonesia, struktur hierarki tata hukum
Indonesia dan dikaitkan dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketepatan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
15 Hans Kelsen, 2006, Teori tentang Hukum (Penerjemah Soemadi), Konstitusi Press,
Jakarta, hal. 124-126. 16 Ibid.
5. Peraturan Presiden; dan
6. Peraturan Daerah, Provinsi, dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten Kota.
Pancasila dilihatnya sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan pengemudi. Hal ini
mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide yang tercantum dalam
Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila
sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak
dapat dilepaskan dari apa yang tercantum dalam Pancasila.
Dapat di simpulkan bahwa keberadaan suatu norma hukum harus lah berpegang pada
norma hukum yang lebih tinggi, dan sudah semestinya antar tingkatan norma hukum yang satu
dan yang lain saling mendukung dan melengkapi bukan saling mematahkan, atas dasar pancasila
sebagai cita hukum bangsa.
Menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik, juga perlu diperhatikan dari
aspek peraturan peralihan dan ketentuan penutup tentang pemberlakuan atau pengundangannya.
Pemahaman yang ada tentang segala peraturan di bidang yang sama/ada masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan atau diganti dengan yang baru, serta banyaknya peraturan yang
telah diganti (dan diperbarui), akan menjadi persoalan manakala masih terkandung makna bahwa
sepanjang dalam peratutan pengganti, pembaharu tersebut tidak secara tegas mengganti, berarti
norma yang di peraturan lama masih hidup dan berlaku. Dengan demikian, pengaturan yang
tegas tentang mana ketentuan yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku merupakan suatu
kedaan yang tidak boleh tidak harus terpenuhi dalam setiap penerbitan peratran perundang-
undangan.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik diperlukan asas-asas,
selain itu diperlukan pula syarat bahwa suatu perundang-undangan (undang-undang) harus
memiliki :
1. Landasan filosofis berarti bahwa hukum yang diberlakukan mencerminkan filsafat hidup
masyarakat (bangsa) di mana hukum tersebut diberlakukan yang intinya berisi nilai-nilai
moral, etika, budaya maupun keyakinan dari bangsa tersebut,17 sebagaimana dikenal
dalam adagium quid legex sine moribus (apa jadinya hukum tanpa moralitas).18.
2. Landasan sosiologis berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang diberlakukan
harus sesuai dengan keyakinan umum dan kesadaran hukum masyarakatnya agar
ketentuan tersebut dapat ditaati karena pemahaman dan kesadaran hukum masyarakatnya
sesuai dengan hal-hal yang diatur.
3. Landasan yuridis, berarti bahwa dalam membentuk undang-undang atau suatu peraturan
perundang-undangan, maka harus lahir dari pihak yang mempunyai kewenangan
membuatnya (landasan yuridis formal), mengakuan terhadap jenis peraturan yang
diberlakukan (landasan yuridis material)
Dalam suatu Negara penggunaan Teori Perundang-undangan sangat penting, dimana
untuk mengatur masyarakat perlu undang-undang. Dalam pengadaan tanah, undang-undang
memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur penggunaan tanah, termasuk untuk
kepentingan umum.
1.5.1.3Teori Kewenangan
17 Sukanda Husin, 2009, Hukum dan Perundanga-undangan, Pusat Pengembangan
Pendidikan Universitas Riau, Pekanbaru, hal. 17-18. 18 Friedman, W., 1960, Legal Theory 4th Edition, Steven & Sons Limited, London, hal.
229.
Teori kewenangan dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan umum, undang-undang
memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur penggunaan tanah termasuk untuk
kepentingan umum. Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering
ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu
saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan,
demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang.
Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah
dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the ruled).19
Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam kaitannya dengan
kewenangan sebagai berikut :
“Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaa yang berasal dari
Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan
Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-
orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan)
tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja.
Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan
untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik”.20
Indroharto mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi, dan
mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut :
Dalam wewenang yang diperoleh secara “atribusi”, yaitu pemberian wewenang
pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, disini
dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang baru”. Pada delegasi terjadilah
pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah
memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN
19 Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka, Jakarta, hal.
35-36 20 Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta
hal. 29
lainnya. Jadi, suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada
mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari
Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.21
Hal tersebut sejalan dengan pendapat beberapa sarjana lainnya yang mengemukakan
atribusi itu sebagai penciptaan kewenangan (baru) oleh pembentuk wet (wetgever) yang
diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang dibentuk baru untuk itu.
Tanpa membedakan secara teknis mengenai istilah wewenang dan kewenangan, Indroharto
berpendapat dalam arti yuridis : pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.
Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan memiliki makna
yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan
Yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu Negara dalam
proses penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu:
1. hukum;
2. kewenangan (wewenang);
3. keadilan;
4. kejujuran;
5. kebijakbestarian; dan
6. kebajikan.22
Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan
dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah
21 Indroharto, 1993, Usaha memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Pustaka Harapan, Jakarta , hal. 90 22 Rusadi Kantaprawira, 1998, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, Universitas Islam
Indonesia, Yogjakarta, hal. 37-38
hukum Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan antara istilah
kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya.
Istilah “bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam hukum privat.
Dalam konsep hukum di negara Indonesia istilah kewenangan atau wewenang seharusnya
digunakan dalam konsep hukum publik.23Secara yuridis, pengertian wewenang adalah
kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-
akibat hukum.24
Dalam penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan sistem pemerintahan
yang oleh K.C. Wheare dinyatakan, “first of all it is used to describe the whole system of
government of a country, the collection of rule are partly lega, in the sense that courts of law ill
recognized as law but which are not less effective in regulating the government than the rules of
law strictly so called”25 yang artinya pertama, dalam arti luas bahwa sistem pemerintahan dari
suatu negara adalah merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta mengatur
pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya, kedua yaitu dalam arti sempit
merupakan sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan ketatanegaraan suatu negara yang
dimuat dalam suatu dokumen atau beberapa dokumen terkait satu sama lain.
Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan
(Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar
wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari
23 Philipus M. Hadjon, 1998, Penataan Hukum Administrasi, FH UNAIR, Surabaya,
hal. 20 24 Paulus Efendie Lotulung, 1994, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 65 25 K.C. Wheare, 1975, Modern Constitutions, London Oxpord University Press,
London, pp.1.
Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara
dalam menjalankan fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh
undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.26
Kaitan teori kewenangan dengan penelitian ini yaitu kewenangan yang dimiliki oleh
pemerintah secara atribusi yaitu kewenangan untuk mengadakan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum, yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 pemerintah
mempunyai wewenang untuk menggunakan tanah hak milik masyarakat untuk pembangunan
kepentingan umum dengan memberikan ganti kerugian yang layak bagi hak atas tanah yang
diambil oleh pemerintah tersebut.
1.5.1.4 Teori Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang
diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut
untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan
dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat. Lili Rasjidi dan I.B Wysa
Putra berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang
sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.27 Bahwa
hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik
untuk memperoleh keadilan sosial.
Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia
adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum,
26 SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administrasi Di
Indonesia, Liberty, Yogjakarta, hal. 154 27 Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja
Rusdakarya, Bandung, hal. 118.
kegunaan hukum serta keadilan hukum. Meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar
tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.
Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat
merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Di samping itu
berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan
bagi seluruh rakyat. Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek
hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Menurut pendapat Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta
tentang fungsi hukum untuk memberi perlindungan adalah bahwa hukum itu ditumbuhkan dan
dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk penilaian manusia untuk menciptakan kondisi yang
melindungi dan memajukan martabat manusia serta untuk memungkinkan manusia menjalani
kehidupan yang wajar sesuai dengan martabatnya.28
Perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi yang salah satunya
adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa
terkecuali, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945), untuk itu setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus senantiasa
mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan harus mampu
menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut,
dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan kedudukan hukum bagi
setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali. Dalam konteks Ilmu Hukum, konsep
perlindungan hukum sering dimaknai sebagai suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan
oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada
28 Lili Rasjidi dan B Arief Sidharta, 2004, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi, PT.
Remaja Rosda Karya, Bandung, hal. 64.
korban dan saksi dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan dari pihak manapun yang
diberikan pada proses litigasi dan/atau non litigasi.
Dengan demikian Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-
subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan
pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:29
1. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum
terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan
maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau
batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban.
2. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda,
penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah
dilakukan suatu pelanggaran.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa salah satu sifat dan
sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam
bentuk adanya kepastian hukum. Selanjutnya hukum dapat melindungi hak dan kewajiban setiap
individu dalam masyarakat.
1.5.1.5 Konsep Pengadaan Tanah
29 Musrihah, 2000, Dasar dan Toeri Ilmu Hukum, PT. Grafika Persada, Bandung, hal. 30.
Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum adalah
setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang
berhak atas tanah tersebut (Pasal 1 angka 1 Keppres No. 55 Tahun 1993). Dalam Peraturan
Presiden No. 36 Tahun 2005 sebagai penganti Keppres di atas, disebutkan bahwa pengadaan
tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi
kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang
berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah (Pasal 1 angka 3 Perpres No. 36
Tahun 2005). Kemudian Perpres No. 65 Tahun 2006 mengubah lagi pengertian pengadaan tanah
setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberi ganti rugi kepada yang
melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan
dengan tanah.
Dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum menyatakan bahwa pengadaan tanah adalah kegiatan
menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang
berhak. Pihak yang berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki obyek pengadaan tanah.
Obyek Pengadaan Tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan dan
tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai.
Pengertian Pengadaan tanah selanjutnya dijabarkan dalam Peraturan Presiden Nomor 71
Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum dan
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Pengadaan Tanah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, pengadaan tanah adalah kegiatan pelepasan
hak atas tanah dengan memberikan ganti-rugi yang pemanfaatannya harus untuk kepentingan
umum.
Adapun asas pengadaan tanah untuk kepentingan umum berdasarkan penjelasan Pasal 2
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum “Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan berdasaarkan
asas : kemanusian, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan,
kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan”.
1. Kemanusiaan
Pengadaan tanah harus memberikan perlindungan serta penghormatan terhadap hak asasi
manusia, harkat, dan martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
2. Keadilan
Memberikan jaminan penggantian yang layak kepada pihak yang berhak dalam proses
pengadaan tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan
yang baik.
3. Kemanfaatan
Hasil pengadaan tanah mampu memberikan manfaat secara luas bagi kepentingan
masyarakat, bangsa dan Negara.
4. Kepastian
Memberikan kepastian hukum tersedianya tanah dalam proses pengadaan tanah untuk
pembangunan dan memberikan jaminan kepada pihak yang berhak untuk mendapatkan ganti
kerugian yang layak.
5. Keterbukaan
Pengadaan tanah untuk pembangunan dilaksanakan dengan memberikan akses kepada
masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan pengadaan tanah.
6. Kesepakatan
Proses pengadaan tanah dilakukan dengan musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan
untuk mendapatkan kesepakatan bersama.
7. Keikutsertaan
Dukungan dalam penyelenggaraan pengadaan tanah melalui partisipasi masyarakat, baik
secara langsung maupun tidak langsung, sejak perencanaan sampai dengan kegiatan
pembangunan.
8. Kesejahteraan
Pengadaan tanah untuk pembangunan dapat memberikan nilai tambah bagi kelangsungan
kehidupan pihak yang berhak dan masyarakat secara luas.
9. Keberlanjutan
Kegiatan pembangunan dapat berlangsung secara terus menerus, berkesinambungan, untuk
mencapai tujuan yang diharapkan.
10. Keselarasan
Pengadaan tanah untuk pembangunan dapat seimbang dan sejalan dengan kepentingan
masyarakat dan Negara.
1.5.1.6Konsep Kepentingan Umum
Pengertian dari istilah kepentingan umum merupakan suatu konsep yang sifatnya begitu
umum dan belum ada penjelasan secara lebih spesifik dan terinci untuk operasionalnya sesuai
dengan makna yang terkandung dalam istilah tersebut. Secara sederhana kepentingan umum
dapat dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan yang
luas, namun pengertian ini mempunyai batasan. Kepentingan umum adalah termasuk
kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat dengan memperhatikan
segi-segi sosial, politik, psikologis, dan hankamnas atas dasar asas-asas Pembangunan Nasional
dengan mengindahkan Ketahanan Nasional serta Wawasan Nusantara.30
Undang-Undang Pokok Agraria dalam Pasal 18, menyatakan bahwa “Untuk kepentingan
umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-
hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang
diatur dengan Undang-undang”.
Dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria maka kepentingan umum
termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas
tanah dapat dicabut, dengan memberikan ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur
dengan undang-undang. Kepentingan umum ini sama dengan dianut oleh Undang-Undang Pokok
Agraria hanya ditambah satu kriteria baru yakni untuk kepentingan pembangunan.
30 John Salindeho, 1988, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Cetakan Kedua, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 40.
Kepentingan umum dalam pelaksanaan pembebasan tanah yang diatur dalam Bijblad
Nomor 11372 juncto Bijblad Nomor 12476 yang telah dicabut dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 15 tahun 1975 tentang Ketentuan ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan
Tanah, dalam menimbang dinyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan akan tanah dalam
usaha-usaha pembangunan, baik yang dilakukan oleh instansi maupun untuk kepentingan swasta,
khususnya untuk keperluan Pemerintah dirasakan perlu adanya ketentuan mengenai pembebasan
tanah dan sekaligus mentukan besarnya ganti rugi atas tanah yang diperlukan secara teratur, tertib
dan seragam. Berdasarkan peraturan tersebut maka pembebasan tanah dapat dijalankan untuk
kepentingan swasta dan keperluan Pemerintah, asalkan untuk usaha pembangunan untuk
keperluan Pemerintah.
Dari segi yuridis pengertian kepentingan umum menurut pandangan Benhard Limbong
bahwa kepentingan umum dapat berlaku sepanjang kepentingan tersebut tidak bertentangan
dengan hukum positif maupun hukum yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat
yang penerapannya bersifat kasuistis. Ditinjau dari segi sosiologis, kepentingan umum adalah
adanya keseimbangan antara kepentingan individu, masyarakat, penguasa, dan negara yang
bertujuan untuk memelihara ketertiban dan mencapai keadilan di masyarakat yang luas dalam
bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, pendidikan dan
kesehatan.31
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
31 Bernhard Limbong, 2012, Hukum Agraria Nasional, Margaretha Pustaka, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Bernhard Limbong I ) hal.147.
Jenis penelitian ini termasuk ke dalam metodologi penelitian yang sangat penting untuk
mengetahui karakter penelitian yang akan diangkat. Beranjak dari adanya kekaburan norma
dalam Pasal 66 Peraturan President Nomor 71 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa “ nilai ganti
rugi di tetapkan dengan musyawarah dengan menggunakan nilai ganti rugi yang di tetapkan
penilai yang di tunjuk sebagai dasar musyawarah”, menimbulkan berbagai macam penafsiran
karena tidak adanya acuan yang di jadikan dasar ganti rugi tanah yang di gunakan untuk
kepentingan umum. Berbeda dengan ketentuan yang sebelumnya Pasal 15 Peraturan President
Nomor 65 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa “ dasar perhitungan ganti rugi didasarkan atas
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan musyawarah. Oleh karena itu, berdasarkan pada kekaburan
norma dalam ketentuan Pasal 66 Peraturan President Nomor 71 Tahun 2012, maka jenis
penelitian yang di gunakan adalah jenis penelitian normatif.
1.6.2 Jenis Pendekatan
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tiga jenis pendekatan untuk membahas
permasalahan yang ada, yaitu :
1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
Dalam pendekatan perundang-undangan (the statute approach) dilakukan penelitian yang
mensinkronkan perundang-undangan baik vertical maupun horizontal.32 Peneliti
menggunakan pendekaatan ini untuk menelaah perundang-undangan yang terkait dengan
permasalahan yang di bahas dalam peneltiain ini.
2. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Conseptual Approach)
Konsep hukum di gunakan untuk menganalisa konsep-konsep yang relevan dalam
penelitian ini sehingga memperoleh hasil yang diinginkan. Dengan kata lain dalam
32 Rony Hanitijo Sumitro, 1990, Metode Peneltian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal. 27.
pendekatan konsep peneliti merujuk pada konsep-konsep hukum yang dapat di temukan
dalam pendangan-pandangan para sarjana atau doktrin-doktrin hukum.
3. Pendekatan kasus (case approach)
Pendekatan yang memungkinkan peneliti untuk memahami kasus hukum tentang
pengadaan tanah untuk kepentingan umum secara lebih mendalam tentang suatu sistem
atau lembaga atau suatu pengaturan hukum tertentu sehingga dapat memperkecil
kekeliruan, baik dalam pemahaman maupun penerapan suatu lembaga atau ketentuan
hukum tertentu.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Untuk mengkaji dan membahas permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan
sumber bahan hukum yang berupa bahan-bahan hukum yang mencakup bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Sumber bahan hukum yang di gunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Sumber Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang berupa
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji,
terdiri dari:
a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum.
e. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
f. Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
g. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah
h. Peraturan President Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan
Atas Peraturan President Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
2. Bahan hukum sekunder yang di gunakan adalah :
a. Buku-buku hukum mengenai Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah dan Kepentingan
umum.
b. Jurnal-jurnal Ilmiah
c. Internet dan situs resmi.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang di gunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan studi dokumen atau studi kepustakaan. Teknik studi dokumen ini dilakukan
dengan cara mengumpulkan semua bahan-bahan hukum yaitu, peraturan perundang-undangan
dan bahan-bahan bacaan yang relevan untuk memperoleh data yang objektif dan akurat yang
terkait dengan masalah Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan
Umum.
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum yang di pergunakan dalam penelitian ini antara lain :
1. Teknik Deskripsi adalah teknik dasar analisis, yang tidak dapat di hindari
penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi
dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.
2. Teknik Interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti
penafsiran, gramatikal, historis, sistematis, teleologis, kontektual, dan lain-lain.
3. Teknik Kontruksi berupa pembentukan kontruksi yuridis dengan melakukan analogi dan
pembalikan proposisi.
4. Teknik Evaluasi adalah penilai berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju,
benar atau tidak benar, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan,
proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer
maupun dalam bahan hukum sekunder.
5. Teknik Argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus
didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan
permasalahan hukum makin banyak argument makin menunjukan kedalam penalran
hukum.
6. Teknik Sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum
atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun
antara yang tidak sederajat.33
33 Buku Pedoman, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Program
Studi Magister Hukum Universitas, hal. 55