Post on 29-Jan-2021
BAB I
1
A. Latar Belakang
Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (good governance) merupakan
prasyarat untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dan mencapai tujuan serta cita-cita
bangsa negara. Untuk penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan akuntabel,
dikembangkan suatu sistem pertanggungjawaban penyelenggaraan negara yang bersih
dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Undang-Undang Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN menyatakan
akuntabilitas sebagai salah satu asas umum dalam penyelenggaraan negara. Azas
akuntabilitas ini menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Laporan kinerja merupakan bentuk akuntabilitas dari pelaksanaan tugas dan fungsi
yang dipercayakan kepada setiap instansi pemerintah atas penggunaan anggaran.
Penyusunan laporan kinerja adalah pengukuran kinerja dan evaluasi serta
pengungkapan secara memadai hasil analisis terhadap pengukuran kinerja. Laporan
Kinerja Instansi Pemerintah Dinas Kesehatan merupakan tolok ukur keberhasilan dalam
pelaksanaan program kebijakan dan pengembangan kesehatan masyarakat. Informasi
yang diharapkan dari Laporan Kinerja adalah penyelenggaraan pemerintahan yang
dilakukan secara efesien, efektif dan responsif terhadap masyarakat, sehingga menjadi
masukan dan umpan balik bagi pihak-pihak yang berkepentingan serta dapat menjaga
kepercayaan masyarakat terhadap eksistensi suatu lembaga. Laporan kinerja ini akan
memberikan gambaran pencapaian kinerja Dinas Kesehatan Provinsi Bali dalam satu
tahun anggaran beserta dengan hasil capaian indikator kinerja dari masing-masing
Program yang ada di lingkungan Satuan Kerja Dinas Kesehatan Provinsi Bali (229000)
di tahun 2019.
B. Maksud dan Tujuan
Penyusunan laporan kinerja Dinas Kesehatan provinsi Bali (229000)
merupakan bentuk pertanggungjawaban kinerja pada tahun 2019 dalam mencapai
target dan sasaran program seperti yang tertuang dalam rencana strategis, dan
ditetapkan dalam dokumen penetapan kinerja Dinas Kesehatan provinsi Bali oleh
pejabat yang bertanggungjawab.
BAB I
2
C. Visi, Misi dan Strategi Organisasi
Visi yang hendak dicapai dalam periode Rencana Strategis Dinas Kesehatan
Provinsi Bali Tahun 2019-2023 adalah : ” Melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana”
Untuk mewujudkan visi tersebut ditempuh melalui 22 (dua puluh dua) misi yaitu
1. Memastikan terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, dan papan dalam jumlah dan kualitas yang memadai bagi kehidupan Krama Bali.
2. Mewujudkan kemandirian pangan, meningkatkan nilai tambah dan daya saing pertanian, dan meningkatkan kesejahteraan petani.
3. Mengembangkan pelayanan kesehatan masyarakat yang terjangkau, merata, adil dan berkualitas serta didukung dengan pengembangan sistem dan data base riwayat kesehatan Krama Bali berbasis kecamatan.
4. Memastikan tersedianya pelayanan pendidikan yang terjangkau, merata, adil, dan berkualitas serta melaksanakan wajib belajar 12 tahun.
5. Mengembangkan sistem pendidikan dasar dan pendidikan menengah berbasis keagamaan Hindu dalam bentuk Pasraman di Desa Pakraman/Desa Adat.
6. Mengembangkan sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi yaitu berkualitas dan berintegritas: bermutu, profesional dan bermoral serta memiliki jati diri yang kokoh yang dikembangkan berdasarkan nilai- nilai kearifan lokal Krama Bali.
7. Mengembangkan sistem jaminan sosial secara konprehensif dan terintegrasi bagi kehidupan Krama Bali sejak rnulai kelahiran, tumbuh dan berkembang sampai akhir masa kehidupannya.
8. Menghasilkan tenaga kerja yang kompeten, produktif, berkualitas dan memiliki daya saing tinggi serta memperluas akses kesempatan kerja di dalam dan di luar negeri.
9. Mengembangkan sistem jaminan sosial dan perlindungan tenaga kerja yang komperhensif, mudah dijangkau, bermutu, dan terintegrasi bagi Krama Bali yang bekerja di dalam dan di luar negeri.
10. Memajukan kebudayaan Bali melalui peningkatan pelindungan, pembinaan, pengembangan dan pemanfaatan nilai-nilai adat, agama, tradisi, seni, dan budaya Krama Bali
11. Mengembangkan tata kehidupan Krama Bali secara sekala dan niskala
berdasarkan nilai-nilai filsafat Sad Kertih yaitu Atma Kertih, Danu Kertih,
Wana Kertih, Segara Kertih, Jana Kertih, dan Jagat Kertih
12. Memperkuat kedudukan, tugas dan fungsi Desa Pakraman/ Desa Adat
dalam menyelengarakan kehidupan krama Bali yang meliputi Parahyangan,
Pawongan, dan Palemahan.
13. Mengembangkan destinasi dan produk pariwisata baru berbasis budaya
dan berpihak kepada rakyat yang terintegrasi antar kabupaten/kota se-Bali.
14. Meningkatkan promosi pariwisata Bali di dalam dan di luar negeri secara
bersinergi antar kabupaten/kota se- Bali dengan mengembangkan inovasi
dan kreatifitas baru.
15. Meningkatkan standar kualitas pelayanan kepariwisataan secara
konprehensif.
BAB I
3
16. Membangun dan mengembangkan pusat-pusat perekonomian baru sesuai
dengan potensi kabupaten/kota diBali dengan memberdayakan sumber daya
lokal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dalam arti luas.
17. Membangun dan mengembangkan industri kecil dan menengah
berbasis budaya (branding Bali) untuk memperkuat perekonomian Krama
Bali.
18. Meningkatkan pembangunan infrastruktur (darat, laut dan udara) secara
terintegrasi serta konektivitas antar wilayah untuk mendukung pembangunan
perekonomian serta akses dan mutu pelayanan publik di Bali.
19. Mengembangkan sistem keamanan terpadu yang ditopang dengan
sumber daya manusia serta sarana prasarana yang memadai untuk
menjaga keamanan daerah dan Krama Bali serta kearnanan para wisatawan.
20. Mewujudkan kehidupan Krama Bali yang demokratis dan berkeadilan
dengan memperkuat budaya hukum, budaya politik dan kesetaraan gender
dengan memperhatikan nilai-nilai budaya Bali.
21. Mengembangkan tata kehidupan Krama Bali, menata wilayah, dan
lingkungan yang, hijau, indah, dan bersih.
22. Mengembangkan sistem tata kelola pemerintahan daerah yang efektif
efisien, terbuka, transparan, akuntabel dan bersih serta meningkatkan
pelayan publik terpadu yang cepat, pasti dan murah
Sasaran
Sasaran Dinas Kesehatan Provinsi Bali, adalah meningkatnya ketersediaan
dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang bermutu bagi seluruh
masyarakat.
Indikator Kinerja
Indikator kinerja Dinas Kesehatan Provinsi Bali satker 229000 yaitu : terdapat 28
indikator dari 6 program/kegiatan yang ada
D. Tugas Pokok dan Fungsi
Mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2016, tentang
“Pembentukan Susunan Perangkat Daerah” dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 103
Tahun 2016, menyebutkan bahwa Dinas Kesehatan Provinsi Bali merupakan unsur
pelaksana pemerintahan Bidang Kesehatan dipimpin kepala Dinas, berkedudukan
dibawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Dinas
Kesehatan memiliki tugas membantu Gubernur melaksanakan urusan pemerintahan
bidang kesehatan yang menjadi kewenangan daerah, serta melaksanakan tugas
BAB I
4
dekonsentrasi sampai dengan dibentuk Sekretariat Gubernur sebagai Wakil Pemerintah
Pusat dan melaksanakan tugas pembantuan sesuai bidang tugasnya (Pasal 5 Bab III
Peraturan Gubernur 103 Tahun 2016).
Dinas Kesehatan dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada
pasal 6 Bab IV Peraturan Gubernur Nomor 10Tahun 2016, menyelenggarakan fungsi:
1. Perumusan kebijakan di bidang kesehatan masyarakat, pencegahan dan
pengendalian penyakit, pelayanan kesehatan, kefarmasian, alat kesehatan dan
perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT) serta sumber daya kesehatan;
2. Pelaksanaan evalusasi dan pelaporan di bidang kesehatan masyarakat,
pencegahan dan pengendalian penyakit, pelayanan kesehatan, kefarmasian,
alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT) serta sumber
daya kesehatan;
3. Pelaksanaan administrasi dinas sesuai dengan lingkup tugasnya; dan
4. Pelaksanaan fungsi lain yang di berikan oleh Gubernur terkait dengan bidang
kesehatan.
Susunan organisasi Dinas Kesehatan Provinsi Bali, sesuai pasal 3 Bab II Bagian
Kedua Pergub Nomor 103 Tahun 2016 adalah sebagai berikut :
a. Sekretariat;
b. Bidang;
c. Sub Bagian;
d. Seksi;
e. Kelompok Jabatan Fungsional; dan
f. UPT.
Salah satu bidang yang ada pada Dinas Kesehatan Provinsi Bali adalah Bidang
Kesehatan Masyarakat (229000). Bidang ini memperoleh Dana Dekonsentrasi (APBN)
yang pelaporannya ke direktorat Kesehatan Masyarakat Kementrian Kesehatan RI.
Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dijalankan oleh :
a. Seksi Kesehatan Keluarga Dan Gizi
b. Seksi Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja dan Olahraga;
c. Seksi Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat.
.
E. Potensi dan Permasalahan
Potensi dan permasalahan pembangunan kesehatan akan menjadi input dalam
menentukan arah kebijakan dan strategi Kementerian Kesehatan.
Angka Kematian Ibu diukur melalui jumlah kematian ibu dibagi dengan jumlah
kelahiran hidup kemudian hasilnya dibagi dengan 100.000 Kelahiran Hidup. Kematian
BAB I
5
Ibu merupakan kematian ibu pada masa kehamilan, persalinan dan nifas yang
disebabkan oleh faktor obstetrik dan non obstetrik. Angka Kematian Ibu (AKI) dan
Angka Kematian Bayi (AKB) serta Angka Kematian Balita (AKABA) merupakan indikator
pembangunan kesehatan dalam RPJMN 2015-2019 dan Sustainable Development
Goals (SDGs). Menurut data Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI),
Indonesia sudah mengalami penurunan Angka Kematian Ibu pada periode tahun 1994-
2012 yaitu pada tahun 1994 sebesar 390 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 1997
sebesar 334 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2002 sebesar 307 per 100.000
kelahiran hidup, tahun 2007 sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup namun AKI pada
tahun 2012 meningkat kembali menjadi sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Untuk
Angka Kematian Bayi dapat dikatakan mengalami penurunan on the track (terus
menurun) dan pada SDKI 2012 menunjukkan angka 32 per 1.000 kelahiran hidup. Dan
pada tahun 2015, berdasarkan data Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun
2015 baik AKI maupun AKB menunjukan penurunan dimana AKI menjadi 305/100.000
KH dan AKB 22,23 / 1000 KH.
Untuk Provinsi Bali, jumlah kematian ibu pada tahun 2017 mencapai 45 kematian
dengan jumlah kelahiran hidup sebesar 63.513 kelahiran hidup (68,64/100.000 KH).
Tahun 2018, jumlah kematian ibu secara absolut di Provinsi Bali sebesar 35 kasus,
sedangkan di tahun 2019 kematian ibu di provinsi Bali mengalami peningkatan
sebanyak 45 kasus. Bila dibandingkan dengan target, AKI di Provinsi Bali pada Tahun
2017 telah mencapai target, bahkan Angka Kematian Ibu lebih kecil dari target yang
ditentukan yaitu 95/100.000 KH. Bila dibandingkan dengan tahun 2016 terjadi
penurunan jumlah kasus kematian ibu, dimana tahun 2016 mencapai 50 Kematian
sedangkan di tahun 2017 mencapai 45 Kematian. Sehingga dari sisi indikator, Rencana
Strategis Dinas Kesehatan Provinsi Bali sebagai bagian didalam upaya penurunan AKI
dan AKB juga menunjukan keberhasilan tetapi pencapaian ini juga masih memberikan
gap bila dibandingkan dengan seluruh sasaran penduduk. Upaya yang terus dilakukan
untuk menurunkan Angka Kematian Ibu antara lain dengan meningkatkan akses untuk
kesehatan ibu dan calon ibu. Hal ini juga sangat didukung terhadap pelayanan ibu hamil
saat K1 dan K4. Dan sangatlah penting bidan-bidan didesa mengetahui berapa terdapat
ibu hamil di wilayah kerjanya dan sudahkah terakses pelayanan kesehatan.
Indikator persentase balita malnutrisi (gizi buruk) dan gizi kurang memberikan
gambaran tentang keadaan gizi balita. Balita gizi kurang merupakan balita yang memiliki
berat badan kurang -2 SD menggunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U).
Kondisi ini diharapkan untuk segera dapat diatasi dalam rangka mewujudkan pondasi
sumber daya manusia yang berkualitas. Balita yang mengalami gizi kurang berdasarkan
Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2017 lebih rendah (0,4 %) dibandingkan dengan
BAB I
6
tahun 2016 sebesar 8,6 %. Indikator persentase bumil KEK menggambarkan risiko
yang akan dialami ibu hamil dan bayinya dalam masa kehamilan, persalinan dan pasca
persalinan. Perkembangan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks saat ini, selain
masih menghadapi masalah kekurangan gizi, masalah kelebihan gizi juga menjadi
persoalan yang harus kita tangani dengan serius. Selain itu kita dihadapi dengan
masalah stunting. Stunting terjadi karena kekurangan gizi kronis yang disebabkan
oleh kemiskinan dan pola asuh tidak tepat, yang mengakibatkan kemampuan kognitif tidak
berkembang maksimal, mudah sakit dan berdaya saing rendah, sehingga bisa terjebak
dalam kemiskinan. Seribu hari pertama kehidupan seorang anak adalah masa kritis
yang menentukan masa depannya, dan pada periode itu anak Indonesia menghadapi
gangguan pertumbuhan yang serius. Yang menjadi masalah, lewat dari 1000 hari,
dampak buruk kekurangan gizi sangat sulit diobati. Untuk mengatasi stunting,
masyarakat perlu dididik untuk memahami pentingnya gizi bagi ibu hamil dan anak
balita. Secara aktif turut serta dalam komitmen global (SUN-Scalling Up Nutrition
dalam menurunkan stunting, maka Indonesia fokus kepada 1000 hari pertama
kehidupan (terhitung sejak konsepsi hingga anak berusia 2 tahun) dalam
menyelesaikan masalah stunting secara terintegrasi karena masalah gizi tidak hanya
dapat diselesaikan oleh sektor kesehatan saja (intervensi spesifik) tetapi juga oleh
sektor di luar kesehatan (intervensi sensitif). Hal ini tertuang dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan
Gizi.
Pelaksanaan UKS harus diwajibkan di setiap sekolah dan madrasah mulai dari
TK/RA sampai SMA/ SMK/MA, mengingat UKS merupakan wadah untuk
mempromosikan masalah kesehatan. Wadah ini menjadi penting dan strategis, karena
pelaksanaan program melalui UKS jauh lebih efektif dan efisien serta berdaya ungkit
lebih besar. UKS harus menjadi upaya kesehatan wajib Puskesmas. Peningkatan
kuantitas dan kualitas Puskesmas melaksanakan Pelayanan Kesehatan Peduli
Remaja (PKPR) yang menjangkau remaja di sekolah dan di luar sekolah. Prioritas
program UKS adalah perbaikan gizi usia sekolah, kesehatan reproduksi dan deteksi
dini penyakit tidak menular.
BAB I
7
F. Sistematika
Sistematika penulisan laporan kinerja Dinas Kesehatan Provinsi Bali adalah sebagai
berikut :
Ringkasan Eksekutif Kata Pengantar Daftar Isi BAB I
Penjelasan umum, penjelasan aspek strategis organisasi serta
permasalahan utama (strategic issued) yang sedang dihadapi.
BAB II
Menjelaskan uraian ringkasan/ ikhtisar perjanjian kinerja Dinas Kesehatan
Provinsi Bali tahun 2019.
BAB III
Penyajian capaian kinerja untuk setiap pernyataan kinerja sasaran strategis
sesuai dengan hasil pengukuran kinerja, dengan melakukan beberapa
hal sebagai berikut: Membandingkan antara target dan realisasi kinerja
tahun 2019; Analisis penyebab keberhasilan/kegagalan atau
peningkatan/penurunan kinerja serta alternatif solusi yang telah dilakukan; dan
melakukan analisa realisasi anggaran.
BAB IV
Penutup, Pada bab ini diuraikan simpulan umum atas capaian kinerja serta
langkah di masa mendatang yang akan dilakukan untuk meningkatkan
kinerjanya.
LAMPIRAN
Formulir PK : Pengukuran Kinerja
8
A. Perjanjian Kinerja
Perjanjian kinerja Dinas Kesehatan Provinsi Bali satker 229000 telah ditetapkan
dalam dokumen penetapan kinerja yang merupakan suatu dokumen pernyataan
kinerja/perjanjian kinerja antara atasan dan bawahan untuk mewujudkan target kinerja
tertentu dengan didukung sumber daya yang tersedia.
Indikator dan target kinerja yang telah ditetapkan menjadi kesepakatan yang
mengikat untuk dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan sebagai upaya mewujudkan
pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada masyarakat Indonesia. Perjanjian
penetapan kinerja tahun 2019 yang telah ditandatangani bersama oleh kepala
Dinas kesehatan Provinsi Bali dan Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat berisi
Indikator, antara lain:
B. Indikator Kinerja Program Kesehatan Masyarakat
Indikator kinerja program Kesehatan Masyarakat terdiri dari 6 program yang
masing-masing mempunyai indikator yang dianggap dapat merefleksikan kinerja
program, yang meliputi:
1) Program Pembinaan Gizi Masyarakat
a) Persentase Ibu Hamil KEK yang mendapat makanan Tambahan
b) Persentase ibu hamil yang mendapat Tablet Tambah Darah (TTD)
c) Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat asi
Esklusif
d) Persentase bayi baru lahir mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
e) Persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan
f) Persentase remaja putri yang mendapat Tablet Tambah Darah
(TTD)
2) Program Pembinaan Kesehatan Keluarga
a) Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1)
b) Persentase Ibu Hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal ke
empat (K4)
c) Persentase Puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan
untuk peserta didik kelas 1
BAB II
9
d) Persentase Puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan
untuk peserta didik kelas 7 dan 10
e) Persentasi puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan
remaja
f) Persentase Puskesmas yang melaksanakan kelas ibu hamil
g) Persentase Puskesmas yang melakukan Orientasi Program
Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K)
3) Program pembinaan upaya kesehatan kerja dan olahraga
a) Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan Kerja
Dasar
b) Jumlah Pos UKK yang terbentuk di daerah PPI/TPI
c) Persentase fasilitas pemeriksaan kesehatan TKI yang memenuhi
standar
d) Persentase puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan
olahraga pada kelompok masyarakat di wilayah kerjanya
4) Penyehatan Lingkungan
a) Jumlah desa/kelurahan yang melaksanakan STBM
b) Persentase sarana air minum yang dilakukan pengawasan
c) Persentase Tempat-tempat Umum (TTU) yang memenuhi syarat
kesehatan
d) Persentase RS yang melakukan pegelolaan Limbah Medis sesuai
standar
e) Persentase TPM yang memenuhi syarat kesehatan
f) Jumlah kabupaten/kota yang menyelenggarakan tatanan kawasan
sehat
5) Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
a) Persentase kabupaten/kota yang memiliki kebijakan PHBS
b) Persentase desa yang memanfaatkan dana desa untuk UKBM
c) Jumlah dunia usaha yang memanfaatkan CSRnya untuk program
kesehatan
d) Jumlah organisasi kemasyarakatan yang memanfaatkan sumber
dayanya untuk mendukung kesehatan
10
6) Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya pada
Program Pembinaan Kesehatan Masyarakat
a) Persentase realisasi kegiatan administrasi dukungan managemen
dan pelaksanaan tugas teknis lainnya program pembinaan
kesehatan masyarakat
Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Upaya
perbaikan status gizi masyarakat akan memberikan kontribusi nyata bagi
tercapainya tujuan pembangunan nasional terutama dalam hal penurunan prevalensi
gizi kurang pada balita dan anak Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) serta
Kurang Energi Kronis (KEK) pada ibu hamil, yang pada akhirnya akan dapat
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
Pemberian suplementasi gizi merupakan suatu upaya yang dapat dilakukan
dalam rangka mencukupi kekurangan kebutuhan gizi dari konsumsi makan harian
yang berakibat pada timbulnya masalah kesehatan dan gizi pada kelompok rawan
gizi. Salah satu program suplementasi yang saat ini dilaksanakan oleh pemerintah
yaitu Pemberian Makanan Tambahan pada balita, anak SD/MI dan ibu hamil.
Anemia adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin (Hb) dalam darahnya
kurang dari 12 gr% (Winkjosastro, 2002). Sedangkan anemia dalam kehamilan
adalah kondisi ibu dengan kadar haemoglobin dibawah 11 gr% pada trimester I dan
III atau kadar
11
Air Susu Ibu (MP-ASI) dan Kepmenkes Nomor 899/Menkes/SK/X/2009 Tentang
Spesifikasi Teknis Makanan Tambahan Anak Balita 2-5 Tahun, Anak Usia Sekolah
Dasar dan Ibu Hamil, disesuaikan dengan perkembangan hukum, ilmu pengetahuan
dan teknologi. Selanjutnya dalam rangka penyesuaian dengan kebutuhan zat gizi
pada tiap sasaran berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2013 serta
perbaikan tampilan produk Makanan Tambahan (MT) telah pula dilakukan
perubahan terhadap bentuk kemasan menyesuaikan dengan aturan pemberian.
Penilaian terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita pada KMS dapat
digunakan untuk menentukan status Gizi dengan indikator BB/U yang sifatnya untuk
mendeteksi awal terhadap permasalahan gizi balita
Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1) menggambarkan
keberlangsungan neonatal pada 6 jam sampai dengan 48 jam. Hal ini dilakukan
sebagai antisipasi atau skreening diawal kehidupan bayi.
Untuk indikator kinerja pada program promosi kesehatan menggambarkan
bagaimana gerakan masyarakat hidup sehat merupakan salah satu upaya
menggerakkan dan memberdayakan masyarakat agar senantiasa melakukan pola
hidup sehat. Demikian juga untuk pemanfaatan dana desa yang dapat menggunakan
dana tersebut untuk kemajuan dan perkembangan UKMB
.
12
A. Capaian Kinerja Organisasi
Perkembangan terbaru membuktikan bahwa manajemen tidak cukup hanya
memastikan bahwa proses pengelolaan manajemen berjalan dengan efisien. Diperlukan
instrumen baru, pemerintahan yang baik (good governance) untuk memastikan bahwa
manajemen berjalan dengan baik. Selain itu, budaya organisasi turut mempengaruhi
penerapan pemerintahan yang baik di Indonesia. Pengukuran kinerja dalam penyusunan
laporan akuntabilitas kinerja dilakukan dengan cara membandingkan target kinerja
sebagaimana telah ditetapkan dalam penetapan kinerja pada awal tahun anggaran
dengan realisasi kinerja yang telah dicapai pada akhir tahun anggaran.
Laporan kinerja merupakan bentuk akuntabilitas dari pelaksanaan tugas dan fungsi
yang dipercayakan kepada setiap instansi pemerintah atas penggunaan anggaran. Hal
terpenting yang diperlukan dalam penyusunan laporan kinerja adalah pengukuran kinerja
dan evaluasi serta pengungkapan (disclosure) secara memadai hasil analisis terhadap
pengukuran kinerja
1. Indikator Kinerja Program Gizi
a) Persentase Ibu Hamil KEK yang mendapatkan pemberian makanan
Tambahan
Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Upaya
perbaikan status gizi masyarakat akan memberikan kontribusi nyata
bagi tercapainya tujuan pembangunan nasional terutama dalam hal penurunan
prevalensi gizi kurang pada balita dan anak Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah
(SD/MI) serta Kurang Energi Kronis (KEK) pada ibu hamil, yang pada
akhirnya akan dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
Kegiatan pembinaan gizi masyarakat yang akan dicapai dalam rangka
pencapaian sasaran RPJMN 2015-2019, telah menetapkan 6 sasaran dan
indikator kinerja yaitu : 1) Persentase ibu hamil KEK yang mendapat makanan
tambahan, 2) Persentase ibu hamil yang mendapat Tablet Tambah Darah (TTD)
90 tablet selama masa kehamilan, 3) Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan
yang mendapat ASI eksklusif, 4) Persentase bayi baru lahir mendapat Inisiasi
Menyusu Dini (IMD), 5) Persentase balita kurus yang mendapat makanan
tambahan, 6) Persentase remaja puteri yang mendapat Tablet Tambah Darah
(TTD).
BAB III
13
Pemberian suplementasi gizi merupakan suatu upaya yang dapat dilakukan
dalam rangka mencukupi kekurangan kebutuhan gizi dari konsumsi makan
harian yang berakibat pada timbulnya masalah kesehatan dan gizi pada
kelompok rawan gizi. Salah satu program suplementasi yang saat ini
dilaksanakan oleh pemerintah yaitu Pemberian Makanan Tambahan pada
balita, anak SD/MI dan ibu hamil.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2016 tentang Standar Produk
Suplementasi Gizi merupakan penyempurnaan sekaligus pengganti dari
Kepmenkes Nomor 224/Menkes/SK/II/2007 Tentang Spesifikasi Teknis
Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) dan Kepmenkes Nomor
899/Menkes/SK/X/2009 Tentang Spesifikasi Teknis Makanan Tambahan Anak
Balita 2-5 Tahun, Anak Usia Sekolah Dasar dan Ibu Hamil, disesuaikan dengan
perkembangan hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya dalam
rangka penyesuaian dengan kebutuhan zat gizi pada tiap sasaran
berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2013 serta perbaikan
tampilan produk Makanan Tambahan (MT) telah pula dilakukan
perubahan terhadap bentuk kemasan menyesuaikan dengan aturan pemberian.
Pemberian Makanan Tambahan diberikan ke[ada sasaran utama yaitu Ibu hamil
KEK (LilA , 23,5 cm) serta balita Kurus (BB/TB
TABEL.1 PERSENTASE IBU HAMIL KEK MENDAPAT PMT
1 JEMBRANA
2 TABANAN
3 BADUNG
4 GIANYAR
5 KLUNGKUNG
6 BANGLI
7 KARANGASEM
8 BULELENG
9 DENPASAR
B A L I
NO KAB/KOTA
Berdasarkan grafik
Kronis (KEK) yang
Selama 3 bulan.
Faktor pendukung :
1. Kerjasama dan k
2. Peran serta mas
97.5
98.0
98.5
99.0
99.5
100.0
98.6
GRAFIK PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN
PERSENTASE IBU HAMIL KEK MENDAPAT PMT
JEMBRANA 276 272
TABANAN 488 488
BADUNG 677 677
GIANYAR 413 413
KLUNGKUNG 232 232
185 185
KARANGASEM 444 444
BULELENG 1282 1282
DENPASAR 707 707
4704 4700
KAB/KOTA
PMT IBU HAMIL KEK
Jumlah Ibu
Hamil KEK
Jumlah
bumil KEK
dapat MT
% bumil
KEK dapat
GRAFIK.1
diatas, terlihat bahwa masih ada ibu hamil Ku
ang ada sudah mendapat Makanan Tambahan
koordinasi lintas program yang baik
asyarakat
100 100 100 100 100 100 100 100 99.9
GRAFIK PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN IBU HAMIL KEK
14
98,6
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
99,9
% bumil
KEK dapat
MT
urang Energi
bahan Pemulihan
99.9
15
3. Tersedianya makanan tambahan sesuai kebutuhan Faktor penghambat :
1. Geografis
2. Sarana transportasi
Upaya mengatasi :
1. Melakukan kegiatan surveilans gizi
2. Adanya kunjungan dokter spesialis kandungan dan kebidanan ke
puskesmas
b) Persentase ibu hamil yang mendapatkan Tablet Tambah Darah (TTD)
Anemia defisiensi besi pada wanita hamil merupakan problema kesehatan
yang dialami oleh wanita diseluruh dunia terutama dinegara berkembang. Badan
kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) melaporkan bahwa prevalensi
ibu-ibu hamil yang mengalami defisiensi besi sekitar 35-75% serta semakin
meningkat seiring dengan pertambah usia kehamilan. Menurut WHO 40%
kematian ibu dinegara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan
dan kebanyakan anemia pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan
perdarahan akut, bahkan tidak jarang keduanya saling berinteraksi.Oleh karena
itu, pemerintah memberikan tablet tambah darah pada seluruh ibu hamil minimal
90 tablet selama kehamilan.
Pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) merupakan satu intervensi
untuk mencegah terjadinya anemia pada ibu selama proses kehamilan.
Sebaiknya ibu hamil mulai mengonsumsi TTD sejak konsepsi sampai akhir
trimester III. Indikator ini sebagai evaluasi kinerja apakah TTD sudah diberikan
kepada seluruh sasaran. Definisi Operasional
1) TTD adalah tablet yang sekurangnya mengandung zat besi
setara dengan 60 mg besi elemental dan 0,4 mg asam folat yang
disediakan oleh pemerintah maupun diperoleh sendiri.
2) Ibu hamil mendapat 90 TTD adalah jumlah ibu hamil usia kehamilan
akhir trimester III yang selama kehamilan mendapat minimal 90 TTD
terhadap jumlah sasaran ibu hamil usia kehamilan akhir trimester III
dikali 100%
16
TABEL 2. CAKUPAN IBU HAMIL MENDAPAT TABLET TAMBAH DARAH 90 TABLET
1 JEMBRANA 4348 4250 97,7
2 TABANAN 5710 5310 93,0
3 BADUNG 11502 11152 97,0
4 GIANYAR 7775 6761 87,0
5 KLUNGKUNG 2734 2805 102,6
6 BANGLI 3686 3319 90,0
7 KARANGASEM 6978 6865 98,4
8 BULELENG 11013 10365 94,1
9 DENPASAR 17187 17135 99,7
70933 67962 95,8
% bumil
dapat TTD
min 90
tablet
NO KAB/KOTA
B A L I
Ibu Hamil
Bumil
dapat TTD
min 90
tablet
Grafik 2
GRAFIK CAKUPAN IBU HAMIL MENDAPAT 90TABLET TAMBAH DARAH
TAHUN 2019
Berdasarkan grafik diatas, terlihat bahwa cakupan pemberian tablet tambah
darah 90 tablet pada ibu hamil di tingkat provinsi sudah mencapai 95,4% dan
terendah terdapat di Kabupaten Gianyar (87,0%)
97.7
93.0
97.0
87.0
102.6
90.0
98.4
94.1
99.7
95.8
75.0
80.0
85.0
90.0
95.0
100.0
105.0
GRAFIK IBUU HAMIL MENDAPAT 90 TABLET TAMBAH DARAH
17
Faktor pendukung :
1. Kerjasama dan koordinasi lintas program yang baik
2. Peran serta masyarakat
3. Tersedianya tablet tambah darah
Faktor penghambat :
1. Geografis
2. Sarana transportasi
3. Kurangnya tingkat pegetahuan ibu tentang pentingnya mengkonsumsi tablet
tambah darah
Upaya mengatasi masalah :
1. Melakukan konseling dan penyuluhan pada ibu hamil
c) Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapatkan ASI Esklusif
ASI eksklusif adalah intervensi yang paling efektif untuk mencegah kematian anak.
Hanya sepertiga penduduk Indonesia secara eksklusif menyusui anak-anak mereka
pada enam bulan pertama. Ada banyak hambatan untuk menyusui di Indonesia,
termasuk anggota keluarga dan dokter yang tidak mendukung. Beberapa ibu juga
takut menyusui akan menyakitkan dan tidak praktis, tapi salah satu kendala terbesar
adalah kesalahpahaman dari istilah 'eksklusif'.
Anak-anak yang diberi diberi ASI eksklusif 14 kali lebih kecil kemungkinannya
untuk meninggal dalam enam bulan pertama dari pada anak yang tidak disusui.
ASI juga dapat mengurangi kematian akibat infeksi saluran pernapasan akut
dan diare (Lancet, 2008). WHO merekomendasikan ibu diseluruh dunia untuk
menyusui secara eksklusif selama enam bulan pertama untuk mencapai
pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan yang optimal. selanjutnya, mereka
harus memberi makanan pendamping yang bergizi dan terus menyusui hingga
bayi berusia dua tahun atau lebih.
Definisi Operasional
1) Bayi umur 6 bulan adalah seluruh bayi yang mencapai umur 5 bulan 29
hari
2) Bayi mendapat ASI Eksklusif 6 bulanadalah bayi sampai umur 6 bulan
yang diberi ASI saja tanpa makanan atau cairan lain kecuali obat, vitamin
dan mineral sejak lahir
18
3) Persentase bayi umur 6 bulan mendapat ASI Eksklusif adalah jumlah
bayi mencapai umur 5 bulan 29 hari mendapat ASI Eksklusif 6 bulan
terhadap jumlah seluruh bayi mencapai umur 5 bulan 29 hari dikali
100%
PERSENTASE BAYI UMUR KURANG 6 BULAN MENDAPAT ASI EKSKLUSIF
1 JEMBRANA 1736 1483 85,4
2 TABANAN 5482 3713 67,7
3 BADUNG 5135 3628 70,7
4 GIANYAR 5776 4485 77,6
5 KLUNGKUNG 2633 1896 72,0
6 BANGLI 3164 2809 88,8
7 KARANGASEM 3265 2526 77,4
8 BULELENG 4110 2894 70,4
9 DENPASAR 2501 1500 60,0
33802 24934 73,8
PERSENTASE
ASI
EKSKLUSIF
B A L I
NO KAB/KOTA
Jumlah
Bayi lahir
hidup
Jumlah bayi
19
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa cakupan ASI Eksklusif pada bayi umur 6
bulan di Provinsi Bali sebesar 73,8%, sedang cakupan terendah terdapat di Kota
Denpasar yakni 60%.
Faktor pendukung :
1. Kerjasama dan koordinasi lintas program yang baik
2. Kemauan ibu dalam memberikan ASI eksklusif
3. Dukungan keluarga dalam mendukung pemberian ASI eksklusif
Faktor penghambat :
1. Gencarnya promosi susu formula
2. Kurangnya pengetahuan ibu
Upaya mengatasi masalah :
1. Melakukan konseling dan penyuluhan pada ibu hamil dan keluarga
d) Persentase bayi baru lahir mendapat Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
IMD atau Inisiasi Menyusui Dini merupakan langkah yang harus segera dilakukan
setelah bayi lahir dengan cara meletakkan bayi di atas perut (rahim) sang ibu.
Proses ini akan membuat bayi mencari puting ibu secara alamiah dengan
upayanya sendiri, untuk merangsang keluarnya ASI pertama kali.
IMD sangat erat kaitannya dengan kemampuan ibu untuk menghasilkan ASI
sebagai sumber nutrisi si kecil.ASI yang keluar karena IMD memberikan segala
macam nutrisi yang dibutuhkan bayi di awal kehidupan terutama untuk
pembentukan sel-sel otak. Bayi yang mendapatkan cukup ASI akan tumbuh
menjadi anak hebat yang memiliki kemampuan IQ dan
EQ. Kemampuan IQ (intelegensi) misalnya kemampuan berhitung, berbahasa
dan mempunyai memori kuat. Sedangkan, kemampuan EQ
(emosional) seperti memiliki rasa peduli terhadap sekitarnya, cepat
tanggap pada informasi baru juga mudah bersosialisasi.
Inisiasi Menyusu Dini dilaksanakan dengan tahapan, setelah bayi lahir dan
dipotong tali pusatnya, dengan tidak menghilangkan vernik (lender) pada tubuh
bayi kecuali di bagian wajah, bayi ditengkurapkan di perut ibu. Selanjutnya
dibutuhkan waktu paling cepat 1 jam hingga bayi menenukan putting susu ibunya.
Proses inilah yang disebut Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
20
Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dalam waktu 1 jam setelah kelahiran,
melindungi bayi yang baru lahir dari tertular infeksi dan mengurangi angka
kematian bayi baru lahir. IMD merupakan salah satu indikator keberhasilan
pelayanan kesehatan pada ibu hamil.
Definisi Operasional
1) Inisiasi Menyusu Dini (IMD)adalah proses menyusu dimulai segera
setelah lahir. IMD dilakukan dengan cara kontak kulit ke kulit antara
bayi dengan ibunya segera setelah lahir dan berlangsung minimal 1
(satu) jam
2) Persentase bayi baru lahir yang mendapat IMDadalah jumlah bayi
baru lahir hidup yang mendapat IMD terhadap jumlah bayi baru lahir
hidup dikali 100%
PERSENTASE BAYI BARU LAHIR MENDAPAT INISIASI MENYUSU DINI
JUMLAH %4 5 6
1 JEMBRANA 3.954 2.338 59,1
2 TABANAN 5.752 2.551 44,3
3 BADUNG 10.560 7.087 67,1
4 GIANYAR 6.593 2.910 44,1
5 KLUNGKUNG 2.665 1.433 53,8
6 BANGLI 3.262 1.848 56,7
7 KARANGASEM 6.878 4.680 68,0
8 BULELENG 9.338 5.661 60,6
9 DENPASAR 16.538 8.819 53,3
65.540 37.327 57,0
NO KAB/KOTA
B A L I
BAYI BARU LAHIR
JUMLAHMENDAPAT IMD
Tabel 4
21
Grafik.4
GRAFIK BAYI BARU LAHIR MENDAPAT INISIASI MENYUSU DINI
Berdasarkan grafik diatas, terlihat bahwa cakupan bayi mendapat Inisiasi
Menyusu Dini sudah mencapai dicapai target yang ditetapkan yaki 50%. Namun
demikian, masih ada beberapa kabupaten/kota dengan capaian dibawah target yakni
Kabupaten Tabanan, dan Gianyar dengan capaian terendah.
Faktor pendukung :
1. Kerjasama dan koordinasi lintas program yang baik
2. Pengetahuan ibu hamil
Faktor penghambat :
1. Kurangnya informasi tentang IMD kepada masyarakat
2. Kurangnya pengetahuan ibu
Upaya mengatasi masalah :
1. Melakukan konseling dan penyuluhan pada ibu hamil dan keluarga saat
pemeriksaan kehamilan
2. Meningkatkan penyuluhan dan pendampingan ibu hamil melalui kader dan
mahasiswa
3. Melakukan sosialisasi pada tenaga pelayanan kesehatan untuk melakukan IMD
sesuai standar yang ditetapkan
59.1
44.3
67.1
44.1
53.8 56.7
68.060.6
53.357.0
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
80.0
GRAFIK BAYI MENDAPAT IMD
22
e) Persentase balita kurus yang mendapat makanan tambahan
Gambaran prevalensi status gizi Balita diperoleh dari hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) yang menjadi salah satu dasar untuk menetapkan kebijakan berbasis
bukti hanya dilakukan 3-5 tahun sekali. Hasil yang berhasil dipotret adalah
prevalensi gizi kurang/kekurangan gizi (underweight) pada anak usia di bawah lima
tahun (Balita) serta prevalensi pendek dan sangat pendek (stunting) pada anak
usia di bawah dua tahun (Baduta).
Untuk mengawal upaya perbaikan gizi masyarakat sejak tahun 2014 telah
dilaksanakan surveilans gizi berupa Pemantauan Status Gizi (PSG) pada 34
provinsi, sebagai alat untuk monitoring dan evaluasi kegiatan dan dasar penentuan
kebijakan dan perencanaan kegiatan berbasis bukti yang spesifik wilayah. PSG
sebagai upaya monitoring dan evaluasi keberhasilan progam perbaikan gizi guna
memberikan petunjuk apakah program yang dijalankan sudah berdampak pada
penurunan masalah gizi seperti yang diharapkan yaitu menurunkan
prevalensi stunting, underweight dan wasting. Oleh karena itu, PSG perlu
dijalankan setiap tahun.
Pada 2014, PSG diselenggarakan di 134 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia,
sementara PSG 2015 dilaksanakan di 496 Kabupaten dan Kota di 34 Provinsi.
Pada 2016, PSG berhasil ditingkatkan lagi cakupannya, berhasil dilaksanakan di
514 kabupaten dan kota di 34 Provinsi.
PSG menyediakan data dan informasi status gizi Balita, remaja, dewasa, WUS, ibu
hamil dan nifas serta konsumsi Ibu hamil secara cepat, akurat, teratur, dan
berkelanjutan untuk penyusunan perencanaan dan perumusan kebijakan program
gizi.
Secara singkat, berikut adalah beberapa data yang terdapat di dalam Hasil PSG
2017 tersebut, antara lain: Informasi mengenai status gizi pada anak Balita
1. Balita yang memiliki tinggi badan dan berat badan ideal (TB/U
normal dan BB/TB normal) jumlahnya 61,1%. Masih ada 38,9%
Balita di Indonesia yang masing mengalami masalah gizi,
terutama Balita dengan tinggi badan dan berat badan (pendek –
normal) sebesar 23,4% yang berpotensi akan mengalami
kegemukan.
2. Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada Balita, terdapat 3,4%
Balita dengan gizi buruk dan 14,4% gizi kurang. Masalah gizi
buruk-kurang pada Balita di Indonesia merupakan masalah
23
kesehatan masyarakat yang masuk dalam kategori sedang
(Indikator WHO diketahui masalah gizi buruk-kurang sebesar
17,8%).
3. Prevalensi Balita pendek cenderung tinggi, dimana terdapat 8,5%
Balita sangat pendek dan 19,0% Balita pendek. Masalah Balita
pendek di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat
masuk dalam kategori masalah kronis (berdasarkan WHO
masalah Balita pendek sebesar 27,5%).
4. Prevalensi Balita kurus cukup tinggi dimana terdapat 3,1% balita
yang sangat kurus dan 8,0% Balita yang kurus. Masalah Balita
kurus di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang masuk dalam kategori akut (berdasarkan WHO diketahui
masalah Balita kurus sebesar 11,1%.
Tabel 5 Hasil PSG. Hasil PSG di Provinsi Bali
NO
KABUPATEN/
KOTA
PREVALENSI
BURUK/KURANG
KURUS/WASTED
PENDEK/STUNTED Masalah Gizi
2015
2016
2017
2015
2016
2017
2015
2016
2017
1
JEMBRANA
11,8
13,0
12,8 5,4
6,8
12,9
25,5
23,1
25,2 Akut+Kronis
2
TABANAN
9,0
5,9
7,7 2,8
5,0
6
19,0
15,8
16,2 Akut
3
BADUNG
4,7
2,6
7,4 5,6
4,3
7,8
13,6
11,5
14,8 Akut
4
GIANYAR
7,9
6,0
7,7 7,4
4,7
5,5
15,8
13,6
22,5 Akut+Kronis
5
KLUNGKUNG
8,0
12,2
5,2 5,5
8,9
3,9
13,1
20,3
16,3 -
6
BANGLI
10,1
11,9
10,2 6,2
6,0
4,3
28,6
25,7
28,4 Akut+kronis
7
KARANGASEM
9,4
14,4
13,5 6,8
5,7
5,2
27,5
26,1
23,6 Akut+Kronis
8
BULELENG
12,2
8,8
14,4 7,0
3,8
8,9
25,3
24,2
29,0 Akut+Kronis
9
DENPASAR
8,2
7,4
3,5 6,1
5,5
3,8
18,4
16,1
9,5 -
BALI
9,0
9,1
8,6 5,9
5,5
6,3
20,7
19,7
19,1 Akut
24
Indikator Berat Badan menurut Umur (BB/U) memberikan indikasi masalah
gizi secara umum karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi
badan. Berat badan menurut umur rendah dapat disebabkan karena pendek
(masalah gizi kronis) atau menderita atau menderita penyakit infeksi (masalah gizi
akut).
Berdasarkan data diatas terlihat bahwa prevalensi balita gizi kurang (BB/U 5%.
Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus antara
10,1% - 15,0%, dan dianggap kritis bila prevalensi kurus sudah di atas 15,0%
(UNHCR).
Berdasarkan data diatas terlihat, bahwa prevalensi balita kurus pada tahun 2015
dibandingkan tahun 2016 mengalami penurunan sebesar 0,4% dan meningkat
sebesar 0,8% bila dibandingkan tahun 2016 dan tahun 2017. Kondisi ini
menunjukkan bahwa prevalensi Balita kurus sudah tergolong masalah
kesehatan.
Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi masalah gizi
yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama.
Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan pola asuh/pemberian makan
25
yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi
pendek.
Gambar diatas menunjukkan bahwa prevalensi balita pendek (sangat pendek +
pendek) di Provinsi Bali masih baik, walaupun tahun 2015 sebesar 20,6% yang
tergolong masalah ringan (20 – 30%) dan tahun 2016 sebesar 19,7% tergolong
baik (
26
Definisi Operasional : 1) Balita kurus adalah anak usia 6 bulan 0 hari sampai dengan 59 bulan 29 hari
dengan status gizi kurus (BB/PB atau BB/TB - 3 SD sampai dengan < - 2 SD)
2) Makanan Tambahan adalah makanan yang dikonsumsi sebagai
tambahan asupan zat gizi diluar makanan utama dalam bentuk makanan
tambahan pabrikan atau makanan tambahan bahan pangan lokal
3) Persentase balita kurus mendapat makanan tambahan adalah jumlah
balita kurus yang mendapat makanan tambahan terhadap jumlah balita
kurus dikali 100%.
TABEL 7. PERSENTASE BALITA KURUS DAPAT PMT DI PROVINSI BALI
TAHUN 2019
1 JEMBRANA 276 272 98,6
2 TABANAN 488 488 100,0
3 BADUNG 677 677 100,0
4 GIANYAR 413 413 100,0
5 KLUNGKUNG 232 232 100,0
6 BANGLI 185 185 100,0
7 KARANGASEM 444 444 100,0
8 BULELENG 1282 1282 100,0
9 DENPASAR 707 707 100,0
4704 4700 99,9B A L I
Jumlah
Balita
Kurus
Jumlah
Balita kurus
dapat MT
% Jumlah
Balita kurus
dapat MT
NO KAB/KOTA
27
GRAFIK 5
Berdasarkan grafik tersebut, menunjukkan bahwa semua balita kurus yang
ditemukan, telah mendapat makanan tambahan.
Faktor pendukung :
1. Kerjasama dan koordinasi lintas program yang baik
2. Peran serta masyarakat
3. Tersedianya makanan tambahan sesuai kebutuhan
Faktor penghambat :
1. Geografis
2. Sarana transportasi
3. Masih sering terjadi interpretasi hasil penimbangan salah di posyandu
4. Banyaknya tugas rangkap bagi pelaksana gizi puskesmas
5. Kurangnya sarana antropometri kit di posyandu
6. Belum semua kabupaten kota dan provinsi memiliki kebijakan/regulasi
khususnya terkait stunting
7. Kurangnya dukungan pemegang kebijakan daerah dalam penanganan
masalah gizi
8. Kurangnya peran serta masyarakat dalam penimbangan balita di posyandu
Upaya mengatasi masalah :
1. Melakukan kegiatan surveilans gizi melalui kegiatan operasi timbang
2. Meyusun regulasi penanganan stunting di kabupaten/kota dan provinsi
100 100 100 100
93.0
100 100 100 100 99.9
88
90
92
94
96
98
100
102
GRAFIK BALITA KURUS MENDAPAT PMT
28
f) Persentase remaja putri yang mendapat tablet tambah darah (TTD)
Anemia Gizi adalah kekurangan kadar hemoglobin dalam darah yang disebabkan
karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb tersebut.
Remaja putri adalah masa peralihan dari anak menjadi dewasa , ditandai dengan
perubahan fisik dan mental. Perubahan fisik ditandai dengan berfungsinya alat
reproduksi seperti menstruasi (umur 10-19 th). Wanita usia subur adalah wanita
pada masa atau peroide dimana dapat mengalami proses reproduksi . Ditandai
masih mengalami menstruasi (umur 15-45 th).
Dampak apabila remaja puteri tidak diberikan tablet tambah darah akan berdampak
terhadap anemia. Anemia akan berdampak pada :
1. Menurunnya kesehatan reproduksi.
2. Terhambatnya perkembangan motorik, mental dan kecerdasan.
3. Menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar
4. Konsentrasi belajar menurun sehingga prestasi belajar rendah dan dapat
menurunkan produktivitas kerja.
5. Mengganggu pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak mencapai optimal.
6. Menurunkan tingkat kebugaran.
Berdasarkan data capaian pemberian tablet tambah darah pada remaja puteri di
Provinsi Bali dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Prevalensi anemia di Indonesia pada perempuan usia 15 tahun keatas
sebesar 22,7%. Remaja yang menderita anemia akan mengalami gangguan
kehamilan jika tidak segera ditangani. Pemberian TTD pada remaja putri
(rematri) usia 12 – 18 tahun sebagai upaya pencegahan anemia sejak dini.
Pemberian TTD rematri yang diikuti dengan KIE gizi dan kesehatan
diharapkan akan memperbaiki masalah-masalah pada periode berikutnya.
Perlu dilakukan monitoring pemberian TTD, untuk mengetahui pemenuhan
kebutuhan TTD pada remaja putri. Dalam kegiatan ini, diasumsikan seluruh
remaja putri wajib sekolah.
Definisi Operasional
1) Remaja Putri adalah remaja putri yang berusia 12 -18 tahun yang
bersekolah di SMP/SMA atau sederajat
2) TTD adalah tablet yang sekurangnya mengandung zat besi setara
dengan 60 mg besi elemental dan 0,4 mg asam folat yang disediakan
oleh pemerintah maupun diperoleh secara mandiri
60
3) Remaja putri mendapat TTD adalah jumlah remaja putri yang
mendapat TTD secara rutin setiap minggu sebanyak 1 tablet.
4) Persentase remaja putri mendapat TTD adalah jumlah remaja putri
yang mendapat TTD secara rutin setiap minggu terhadap jumlah
remaja putri yang ada dikali 100%
1 JEMBRANA 16.333 16.333 100,0
2 TABANAN 16.962 16.708 98,5
3 BADUNG 25.494 25.405 99,7
4 GIANYAR 22.488 22.488 100,0
5 KLUNGKUNG 9.139 9.139 100,0
6 BANGLI 9.933 9.933 100,0
7 KARANGASEM 16.680 16.680 100,0
8 BULELENG 32.374 32.374 100,0
9 DENPASAR 38.182 38.007 99,54
187.585 187.067 99,7 BALI
NOKABUPATEN /
KOTA
JUMLAH
REMAJA
PUTRI
JUMLAH
REMAJA PUTRI
YANG
% REMAJA
PUTRI YANG
MENDAPAT
Tabel 8
Grafik 6
100
98.5
99.7100 100 100 100 100
99.599.7
97.5
98
98.5
99
99.5
100
100.5
GRAFIK PERSENTASE REMAJA PUTRI MENDAPAT TABLET TAMBAH DARAH
60
Berdasarkan grafik diatas, terlihat bahwa capaian remaja putri mendapat tablet
tambah darah di Provinsi Bali mencapai 99,7%, Kabupaten Tabanan
memiliki capaian terendah yakni 98,5%.
Faktor pendukung :
1. Kerjasama dengan koordinasi lintas program dan linta sektor yang baik
2. Ketersediaan tablet tambah darah
Faktor penghambat :
1. Kurangnya informasi tentang manfaat pemberian tablet tambah darah
bagi remaja putri
2. Terbatasnya SDM di tingkat puskesmas
Upaya mengatasi masalah :
1. Melakukan sosialisasi di sekolah, media maupun workshop.
Saran :
Masih tingginya prevalensi masalah gizi yang ada di Provinsi Bali terutama
stunting, perlu dilakukan upaya – upaya sebagai berikut :
1. Penetapan regulasi penanganan stunting baik di kabupaten/kota
maupun provinsi
2. Pelaksanaan terintegrasi dalam penanganan stunting, baik
yang dilakukan oleh sektor kesehatan maupun diluar sektor kesehatan
3. Pemenuhan SDM yang sesuai di tingkat puskesmas
4. Pemenuhan sarana antropometri kit di tingkat posyandu
2. Indikator Program Kesga
a) Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1)
Cakupan Kunjungan Neonatal Pertama atau yang dikenal
KN1, merupakan indikator yang menggambarkan upaya kesehatan yang
untuk mengurangi risiko kematian pada periode neonatal yaitu 6
lahir, dengan cara mendeteksi sedini mungkin permasalahan yang mungkin
dihadapi bayi baru lahir, sekaligus memastikan pelayanan yang seharusnya
didapatkan oleh bayi baru lahir yang diantaranya terdiri dari konseling perawatan
bayi baru lahir, ASI eksklusif, pemberian Vitamin K1 injeksi (bila belum diberikan)
dan Hepatitis B 0 (nol) injeksi (bila belum dberikan). Kunjungan ini dilakukan
dengan pendekatan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda).Perhitungan cakupan
ini dilakukan dengan cara membandingkan bayi baru lahir yang mendapatkan
kunjungan neonatal pertama dengan jumlah selu
yang kemudian dikonversi dalam bentuk persentase.
Analisa Capaian Kinerja
1. Faktor Pendukung
a. Adanya peningkatan kapasitas, orientasi untuk tenaga kesehatan dalam
upaya peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan neonatal
b. Tersedianya NSPK kesehatan ibu , seperti Permenkes 97/2014 tentang
Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil,
Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, Serta
Pelayanan Kesehatan Seksual, Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu
esga
Persentase kunjungan neonatal pertama (KN1)
Cakupan Kunjungan Neonatal Pertama atau yang dikenal dengan sebutan dengan
KN1, merupakan indikator yang menggambarkan upaya kesehatan yang
untuk mengurangi risiko kematian pada periode neonatal yaitu 6 - 48 jam setelah
lahir, dengan cara mendeteksi sedini mungkin permasalahan yang mungkin
dihadapi bayi baru lahir, sekaligus memastikan pelayanan yang seharusnya
didapatkan oleh bayi baru lahir yang diantaranya terdiri dari konseling perawatan
bayi baru lahir, ASI eksklusif, pemberian Vitamin K1 injeksi (bila belum diberikan)
B 0 (nol) injeksi (bila belum dberikan). Kunjungan ini dilakukan
dengan pendekatan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda).Perhitungan cakupan
ini dilakukan dengan cara membandingkan bayi baru lahir yang mendapatkan
kunjungan neonatal pertama dengan jumlah seluruh bayi baru lahir di wilyahnya
yang kemudian dikonversi dalam bentuk persentase.
Analisa Capaian Kinerja
Grafik 7
Adanya peningkatan kapasitas, orientasi untuk tenaga kesehatan dalam
upaya peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan neonatal
Tersedianya NSPK kesehatan ibu , seperti Permenkes 97/2014 tentang
Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan
Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, Serta
Pelayanan Kesehatan Seksual, Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu
dengan sebutan dengan
KN1, merupakan indikator yang menggambarkan upaya kesehatan yang dilakukan
48 jam setelah
lahir, dengan cara mendeteksi sedini mungkin permasalahan yang mungkin
dihadapi bayi baru lahir, sekaligus memastikan pelayanan yang seharusnya
didapatkan oleh bayi baru lahir yang diantaranya terdiri dari konseling perawatan
bayi baru lahir, ASI eksklusif, pemberian Vitamin K1 injeksi (bila belum diberikan)
B 0 (nol) injeksi (bila belum dberikan). Kunjungan ini dilakukan
dengan pendekatan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda).Perhitungan cakupan
ini dilakukan dengan cara membandingkan bayi baru lahir yang mendapatkan
ruh bayi baru lahir di wilyahnya
Adanya peningkatan kapasitas, orientasi untuk tenaga kesehatan dalam
upaya peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan neonatal
Tersedianya NSPK kesehatan ibu , seperti Permenkes 97/2014 tentang
Persalinan, dan
Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, Serta
Pelayanan Kesehatan Seksual, Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu
60
c. Pelaksanaan Kelas Ibu (Kelas Ibu Hamil dan Kelas Balita)
d. Dukungan kegiatan luar gedung untuk kunjungan bayi dari dana BOK, dll
e. Monitoring dan evaluasi secara berjenjang
2. Faktor Penghambat
a. sistem pencatatan dan pelaporan yang belum sesuai seperti yang diharapkan
misalnya penolong persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan tidak mencatat
dengan benar pelayanan yang telah diberikan dan juga belum optimalnya
pemakaian form Manajemen Terpadu Bayi Muda pada kunjungan
neonatalmerupakan kendala dalam pencapaian KN1
b. masih kurangnya pemberdayaan keluarga/masyarakat terhadap penggunaan buku
KIA
c. kurangnya kepatuhan petugas dalam menjalankan pelayanan sesuai pedoman.
3. Upaya Pencapaian
Upaya peningkatan kuantitas dan kualitas pelaksanaan KN 1 di integrasikan dan
menjadi satu kesatuan dengan kegiatan upaya mendorong persalinan difasilitas
kesehatan. Melalui persalinan di fasilitas kesehatan maka diharapkan bayi yang
dilahirkan juga akan mendapatkan pelayanan sesuai standar.
Selain kegiatan yang telah diintegrasikan beberapa kegiatan terkait kunjungan
neonatal ini antara lain :
a. Sosialisasi kepada masyarakat saat event nasional sebagai contoh adalah saat
Perayaan Hari Anak Nasional Tahun 2017
b. Evaluasi pelaksanaan kunjungan neonatal dalam kaitannya dengan penurunan
AKB. Untuk menambah jumlah SDM kesehatan yang memahami kunjungan
neonatal maka dilaksanakan juga orientasi tim pengkaji AMP, Orientasi Skrining
Bayi Baru Lahir, dan Orientasi Tenaga Kesehatan dalam MTBM MTBS.
b) Persentase Ibu Hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal ke empat (K4)
Perssentase ibu hamil yang mendapatkan Pelayanan Antenatal
60
pada triwulan pertama, 1 kali pada triwulan kedua, dan 2 kali pada triwulan ketiga.
Standar waktu pelayanan antenatal tersebut dianjurkan untuk menjamin perlindungan
kepada ibu hamil, berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan dan penanganan
komplikasi (Kemenkes RI, 2010).
Pelayanan antenatal diupayakan agar memenuhi standar kualitas, yaitu :
a. Penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan;
b. Pengukuran tekanan darah;
c. Pengukuran Lingkar Lengan Atas (LILA);
d. Pengukuran tinggi puncak rahim (fundusuteri);
e. Penentuan status imunisasi tetanus dan pemberian imunisasi tetanus toksoid sesuai
status imunisasi;
f. Pemberian tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan;
g. Penentuan presentasi janin dan denyut jantung janin (djj);
h. Pelaksanaan temu wicara (pemberian komunikasi interpersonal dan konseling,
termasuk keluarga berencana);
i. Pelayanan tes laboratorium sederhana, minimal tes hemoglobin darah (Hb),
pemeriksaan protein urin dan pemeriksaan golongan darah (bila belum pernah
dilakukan sebelumnya); dan
j. Tatalaksana kasus.
Capaian pelayanan kesehatan ibu hamil dapat dinilai dengan menggunakan indikator
Cakupan K1 dan K4. Cakupan K1 adalah jumlah ibu hamil yang telah memperoleh
pelayanan antenatal pertama kali oleh tenaga kesehatan, dibandingkan jumlah sasaran ibu
hamil di satu wilayah kerja pada kurun waktu tahun. Sedangkan cakupan K4 adalah jumlah
ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai dengan standar paling sedikit
4 kali sesuai jadwal yang dianjurkan, dibandingkan jumlah sasaran ibu hamil di satu wilayah
dalam kurun waktu satu tahun. Indikator tersebut memperlihatkan akses pelayanan
kesehatan terhadap ibu hamil dan tingkat kepatuhan ibu hamil dalam memeriksakan
kehamilannya ke tenaga kesehatan.
Analisa Capaian Kinerja
Sumber : KomdatKesga2019
Dilihat dari grafik diatas, cakupan K1 dan K4 terendah ada di Kabupaten
yaitu K1 sebanyak 85,95%, K4
karena tidak semua kunjungan K1 murni ( kunjungan K1 saat triwulan I kehamilan)
sehingga bumil yang tidak K1 murni tidak standar untuk mendapat pelayanan K4 dima
standar pelayanan K4 adalah 1 kali kunjungan saat triwulan I, satu kali saaat triwulan II dan
dua kali kujungan saat triwulan III.
Renja Tahun 2017)
belum dapat dicapai oleh 9 kabupaten kota
triwulan I, penyebab lainnya adalah adanya kejadian abortus, kematian maternal, mobilitas
ibu hamil (perpindahan) dan sasaran proyeksi yang terlalu tinggi. Dari empat indikator
prioritas (K1,K4,PF dan Kn1) capaian teren
keseluruhan di provinsi Bali capaian rata
belum bisa mencapai target 100 %, begitu juga dengan K4 dan Persalinan di Faskes.
Analisa Capaian Kinerja
Grafik 8
cakupan K1 dan K4 terendah ada di Kabupaten Karangasem
terendah 83,83% Kabupaten Gianyar, hal ini disebabkan
karena tidak semua kunjungan K1 murni ( kunjungan K1 saat triwulan I kehamilan)
sehingga bumil yang tidak K1 murni tidak standar untuk mendapat pelayanan K4 dima
standar pelayanan K4 adalah 1 kali kunjungan saat triwulan I, satu kali saaat triwulan II dan
dua kali kujungan saat triwulan III. Target 99 % untuk K1 dan 97% untuk K4 (sesuai target
belum dapat dicapai oleh 9 kabupaten kota. Selain karena belum semua ibu hamil akses di
triwulan I, penyebab lainnya adalah adanya kejadian abortus, kematian maternal, mobilitas
ibu hamil (perpindahan) dan sasaran proyeksi yang terlalu tinggi. Dari empat indikator
prioritas (K1,K4,PF dan Kn1) capaian terendah ada di kabupaten Gianyar, sedangkan untuk
keseluruhan di provinsi Bali capaian rata-rata diatas 95%. Untuk Provinsi Bali, capaian K1
belum bisa mencapai target 100 %, begitu juga dengan K4 dan Persalinan di Faskes.
Karangasem
hal ini disebabkan
karena tidak semua kunjungan K1 murni ( kunjungan K1 saat triwulan I kehamilan)
sehingga bumil yang tidak K1 murni tidak standar untuk mendapat pelayanan K4 dimana
standar pelayanan K4 adalah 1 kali kunjungan saat triwulan I, satu kali saaat triwulan II dan
Target 99 % untuk K1 dan 97% untuk K4 (sesuai target
arena belum semua ibu hamil akses di
triwulan I, penyebab lainnya adalah adanya kejadian abortus, kematian maternal, mobilitas
ibu hamil (perpindahan) dan sasaran proyeksi yang terlalu tinggi. Dari empat indikator
dah ada di kabupaten Gianyar, sedangkan untuk
rata diatas 95%. Untuk Provinsi Bali, capaian K1
belum bisa mencapai target 100 %, begitu juga dengan K4 dan Persalinan di Faskes.
Kesenjangan pencapaian K1 ke K4 tidak
lebih baik lagi kedepannya karena akses ibu hamil di triwulan I (K1 Murni) adalah sebagai
upaya salah satu mendapat layanan ANC standar. Capaian KN 1 yang melebihi capaian
persalinan faskes terjadi di semua
kemungkinan disesbabkan oleh adanya kelahiran kembar (gemelli), perpindahan ibu hamil
dan sisa persalinan tahun sebelumnya.
Cakupan K1 dan K4 di Provinsi Bali dalam
Dari grafik 7 diatas dapat terlihat bahwa secara umum relatif stabil
namun terjadi penurunan cakupan K4
meningkat menjadi 94,49%. walaupun pada tahun 2013 sempat cakupan K4 melebihi
cakupan K1, dan tahun 2 Ada kesenjangan yang terjadi antara cakupan K1 dan K4
kesenjangan tertinggi terjadi tahun 2017 yaitu sebesar
antara cakupan K1 dan K4 sebes
Kesenjangan antara cakupan K1 dan K4 menunjukkan angka
lain jika kesenjangan K1 dengan K4 kecil maka hampir semua ibu hamil yang melakukan
kunjungan pertama pelayanan antenatal
pada kunjungan ke dua trisemester ketiga kehamilannya dengan kata lain seluruh ibu hamil
telah mendapatkan pelayanan kehamilannya sesuai dengan standar. Hal ini dapat
meminimalisir kematian ibu melahirkan. Berikut
Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2014
Kesenjangan pencapaian K1 ke K4 tidak melebihi 10%, namun kinerja nakes dituntut harus
lebih baik lagi kedepannya karena akses ibu hamil di triwulan I (K1 Murni) adalah sebagai
upaya salah satu mendapat layanan ANC standar. Capaian KN 1 yang melebihi capaian
persalinan faskes terjadi di semua kabupaten/kota, bahkan ada yang melebihi 100%, hal ini
kemungkinan disesbabkan oleh adanya kelahiran kembar (gemelli), perpindahan ibu hamil
dan sisa persalinan tahun sebelumnya.
Cakupan K1 dan K4 di Provinsi Bali dalam enam tahun terakhir dapat dilihat dibawah ini;
Grafik.7
diatas dapat terlihat bahwa secara umum relatif stabil untuk capaian K1
penurunan cakupan K4 mulai tahun 2014 sampai akhir 2017
walaupun pada tahun 2013 sempat cakupan K4 melebihi
cakupan K1, dan tahun 2 Ada kesenjangan yang terjadi antara cakupan K1 dan K4
kesenjangan tertinggi terjadi tahun 2017 yaitu sebesar. Pada tahun 2015 terjadi selisih
antara cakupan K1 dan K4 sebesar 5,4% dan pada tahun 2016 sebesar
Kesenjangan antara cakupan K1 dan K4 menunjukkan angka drop out K1-K4, dengan kata
lain jika kesenjangan K1 dengan K4 kecil maka hampir semua ibu hamil yang melakukan
kunjungan pertama pelayanan antenatal selalu berkunjung ke pelayanan kesehatan sampai
pada kunjungan ke dua trisemester ketiga kehamilannya dengan kata lain seluruh ibu hamil
telah mendapatkan pelayanan kehamilannya sesuai dengan standar. Hal ini dapat
meminimalisir kematian ibu melahirkan. Berikut trend capaian K4 dalam Renstra Dinas
Kesehatan Provinsi Bali Tahun 2014-2018 :
Grafik 9
melebihi 10%, namun kinerja nakes dituntut harus
lebih baik lagi kedepannya karena akses ibu hamil di triwulan I (K1 Murni) adalah sebagai
upaya salah satu mendapat layanan ANC standar. Capaian KN 1 yang melebihi capaian
kabupaten/kota, bahkan ada yang melebihi 100%, hal ini
kemungkinan disesbabkan oleh adanya kelahiran kembar (gemelli), perpindahan ibu hamil
ibawah ini;
untuk capaian K1,
mulai tahun 2014 sampai akhir 2017,tahun 2018
walaupun pada tahun 2013 sempat cakupan K4 melebihi
cakupan K1, dan tahun 2 Ada kesenjangan yang terjadi antara cakupan K1 dan K4 dengan
. Pada tahun 2015 terjadi selisih
ar 5,4% dan pada tahun 2016 sebesar 7,3 %.
K4, dengan kata
lain jika kesenjangan K1 dengan K4 kecil maka hampir semua ibu hamil yang melakukan
berkunjung ke pelayanan kesehatan sampai
pada kunjungan ke dua trisemester ketiga kehamilannya dengan kata lain seluruh ibu hamil
telah mendapatkan pelayanan kehamilannya sesuai dengan standar. Hal ini dapat
dalam Renstra Dinas
60
Mengacu pada dokumen Renstra Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2013-2018, Terlihat
pada grafik.9 diatas bahwa cakupan K4 sudah mencapai target pada tahun 2014, namun
pada tahun 2015-2016 mengalami penurunan, walaupun sampai tahun 2016 cakupan
sudah diatas 90%. Rendahnya cakupan K4 pada tahun 2017 seperti yang telah dijelaskan
pada grafik.5, masih jauh dari target Renstra, sehingga diperlukan perbaikan strategi
pelayanan ibu hamil termasuk pemantauan mulai di triwulan I kehamilan sehingga ibu hamil
bisa mendapat pelayanan standar selama masa kehamilannya.
Faktor Pendukung
a. Adanya peningkatan kapasitas, pelatihan untuk tenaga kesehatan dalam
upaya peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan antenatal terpadu dan
kelas ibu
b. Tersedianya NSPK kesehatan ibu , seperti Permenkes 97/2014 tentang
Pelayanan Kesehatan Masa Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan
Masa Sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, Serta
Pelayanan Kesehatan Seksual, Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu
c. Pelayanan antenatal sesuai standar minimal 4 kali selama kehamilan
merupakan komponen dari Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Kabupaten/Kota
d. Pelaksanaan Kelas Ibu (Kelas Ibu Hamil dan Kelas Balita)
e. Dukungan dana pelacakan ibu hamil, dan kegiatan luar gedung untuk
pemeriksaan ibu hamil dari dana BOK, dll
f. Adanya surveilans melalui PWS KIA
g. Monitoring dan evaluasi secara berjenjang
Faktor Penghambat
1. Ibu hamil masih ada yang datang tidak pada di trimester I karena:
a. Pengetahuan ibu hamil dan keluarga yang kurang, partisipasi masih belum
optimal
b. Faktor budaya setempat (belum ke tenaga kesehatan jika perut belum
kelihatan besar, takut hamilnya tidak jadi disebabkan keguguran yang
membuat malu)
c. Kondisi geografis yang sulit (daerah perbukitan dan pegunungan)
d. Kurangnya peran serta perangkat desa, tokoh masyarakat, dan tokoh
agama dalam memberikan promosi kesehatan khususnya informasi
pemeriksaan antenatal rutin ke tenaga kesehatan dan mendorong ibu hamil
mengikuti kelas ibu hamil
e. keterjangkauan di daerah sulit dan terpencil untuk mengakses ke fasilitas
dan tenaga kesehatan
60
2. Masih ada ibu hamil yang tidak tercatat pada kunjungan di trimester 3 (drop out)
karena :
a. Ada budaya masyarakat pada saat menjelang persalinan pulang ke
kampung halaman
b. Ada ibu hamil yang selalu berpindah-pindah tempat pelayanan dalam
kunjungan antenatal (ibu hamil antenatal dari Bidan ke Dokter spesialis dan
tidak kembali ke Bidan)
c. Pencatatan dan pelaporan masih belum optimal
Upaya Pencapaian
Berbagai pengembangan program dan kegiatan telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Provinsi Bali khususnya Seksi Kesehatan Keluarga dan gizi dalam rangka pencapaian
target K1 dan K4 tahun 2017 yaitu :
1) Peningkatan kualitas pelayanan antenatal
2) Peningkatan akses pelayanan antenatal
Dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan antenatal, Kementerian Kesehatan telah
mengembangkan pelayanan antenatal terpadu dengan melibatkan program terkait
(Gizi, imunisasi, penyakit menular, penyakit tidak menular, gangguan jiwa dan
sebagainya). Melalui pelayanan antenatal terpadu tersebut diharapkan ibu hamil
mendapatkan perlindungan secara menyeluruh, baik mengenai kehamilan dan
komplikasi kehamilan, serta intervensi lain yang perlu diberikan selama proses
kehamilan untuk kesehatan dan keselamatan ibu dan bayinya.
Disamping itu, dalam rangka meningkatkan akses pelayanan antenatal, Kementerian
Kesehatan telah mengembangkan upaya pemberdayaan keluarga dan masyarakat
melalui pendekatan Kelas Ibu Hamil (yang kemudian dimunculkan dalam bentuk
kegiatan ToT fasilitator kelas ibu). Yang selanjutnya kegiatan tersebut diteruskan oleh
provinsi, kabupaten/ kota dan puskesmas dalam bentuk kegiatan manajemen dan
teknis pelayanan antenatal guna mempercepat pencapaian target K1 dan K4. Dampak
dari kegiatan tersebut diharapkan dapat semakin mendekatkan akses pelayanan
antenatal yang berkualitas kepada ibu hamil, keluarga dan masyarakat hingga ke
pelosok desa (Kemenkes RI, 2011)
c) Persentase Puskesmas yang melaksanakan penjaringan kesehatan untuk
peserta didik kelas 1,7 dan 10
Peserta didik merupakan serangkaian kegiatan pemeriksaan kesehatan yang
dilakukan terhadap peserta didik untuk memilah siswa yang mempunyai masalah
kesehatan agar segera mendapatkan penanganan sedini mungkin. Kegiatan
penjaringan kesehatan siswa terdiri dari pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan
kebersihan perorangan (rambut, kulit dan kuku), pemeriksaan status gizi melalui
pengukuran antropometri, pemeriksaan ketajaman indera (penglihatan dan
pendengaran), pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut, pemeriksaan la
anemia dan kecacingan, pengukuran kebugaran jasmani dan deteksi dini masalah
mental emosional.
Analisa Capaian Kinerja
PELAYANAN KESEHATAN/PENJARINGAN KESEHATAN SISWA
10 PROVINSI BALI TAHUN 2018
Sumber : Seksi Kesga
Dari tabel diatas cakupan pelayanan kesehatan/penjaringan kesehatan tahun
2018 di Provinsi Bali sudah diatas target nasional yaitu 70%, kendala tetap ada namun
semua pengelola program remaja
kesehatan di sekolah siswa kelas 1, 7 dan 10 secara rutin setiap tahun ajaran dan
dilaporkan setiap triwulan ke dikes Kabupaten dan Provinsi.
Faktor Pendukung
1. Aspek legal yang memadai
Masuknya penjaringan kesehatan dalam RPJMN, Renstra dan SPM Bidang
Kesehatan Kab/Kota
kesehatan merupakan kegiatan prioritas dalam pembangunan kesehatan di
Indonesia.
78
80
82
84
86
88
90
92
94
Penjaringan Kelas I2018 93.79
per
sen
tase
CAKUPAN PENJARINGAN KESEHATAN KESEHATAN KELAS I, 7 DAN 10 PROVINSI BALI
pengukuran antropometri, pemeriksaan ketajaman indera (penglihatan dan
pendengaran), pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut, pemeriksaan laboratorium untuk
anemia dan kecacingan, pengukuran kebugaran jasmani dan deteksi dini masalah
PELAYANAN KESEHATAN/PENJARINGAN KESEHATAN SISWA KELAS 1, 7 DAN
10 PROVINSI BALI TAHUN 2018
Grafik.10
Dari tabel diatas cakupan pelayanan kesehatan/penjaringan kesehatan tahun
2018 di Provinsi Bali sudah diatas target nasional yaitu 70%, kendala tetap ada namun
semua pengelola program remaja dan UKS sudah melaksanakan penjaringan
ekolah siswa kelas 1, 7 dan 10 secara rutin setiap tahun ajaran dan
dilaporkan setiap triwulan ke dikes Kabupaten dan Provinsi.
Aspek legal yang memadai
Masuknya penjaringan kesehatan dalam RPJMN, Renstra dan SPM Bidang
Kesehatan Kab/Kota sebagai salah satu indicator, menjadikan penjaringan
kesehatan merupakan kegiatan prioritas dalam pembangunan kesehatan di
Penjaringan Penjaringan Kelas 7
Penjaringan Kelas 1083.71 93.73
CAKUPAN PENJARINGAN KESEHATAN KESEHATAN KELAS I, 7 DAN 10 PROVINSI BALI
TAHUN 2018
pengukuran antropometri, pemeriksaan ketajaman indera (penglihatan dan
boratorium untuk
anemia dan kecacingan, pengukuran kebugaran jasmani dan deteksi dini masalah
KELAS 1, 7 DAN
Dari tabel diatas cakupan pelayanan kesehatan/penjaringan kesehatan tahun
2018 di Provinsi Bali sudah diatas target nasional yaitu 70%, kendala tetap ada namun
sudah melaksanakan penjaringan
ekolah siswa kelas 1, 7 dan 10 secara rutin setiap tahun ajaran dan
Masuknya penjaringan kesehatan dalam RPJMN, Renstra dan SPM Bidang
sebagai salah satu indicator, menjadikan penjaringan
kesehatan merupakan kegiatan prioritas dalam pembangunan kesehatan di
60
Hal tersebut mendorong daerah untuk membuat kebijakan-kebijakan daerah
yang mendukung pelaksanaan penjaringan kesehatan, serta mendukung
Puskesmas dalam menjalankan kegiatan-kegiatan lainnya terkait kesehatan
usia sekolah di wilayah kerja.
2. Tersedianya biaya operasional
Adanya APBN Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang dialokasikan untuk
seluruh puskesmas, sangat mendukung Petugas Puskesmas dalam
melaksanakan kegiatan penjaringan kesehatan karena biaya transportasi dari
puskesmas ke sekolah dapat diakomodir melalui APBN BOK tersebut.
Faktor Penghambat
1. Keterbatasan SDM Puskesmas dibandingkan dengan jumlah sekolah/peserta
didik di wilayah kerja
2. Keterbatasan biaya pengadaan/pencetakkan formulir penjaringan kesehatan /
Buku Rapor Kesehatanku
3. Kurangnya koordinasi/ komitmen Lintas Sektor TP UKS di Kab/Kota,
Kecamatan, Puskesmas dan Sekolah dalam mendukung dan melaksanakan
penjaringan kesehatan
Upaya Pencapaian
1. Penguatan koordinasi Tim Pembina UKS/M Pusat dan daerah melalui Pertemuan
Evaluasi Akselerasi UKS/M
2. Bimbingan Teknis dan Supervisi Pembinaan dan Pelaksanaan UKS di daerah
melalui kegiatan Lomba Sekolah Sehat 2017
3. Peningkatan kapasitas petugas puskesmas melalui Pelatihan terintegrasi
pelayanan kesehatan usia sekolah dan remaja bagi tenaga kesehatan di
puskesmas
d) Persentase puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan remaja
Pencapaian puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan remaja
sudah melebihi target yang diharapkan dalam perjanjian kinerja (45%) yakni
sebesar : 100 %
Faktor Pendukung
1. Tersedianya biaya operasional
Adanya APBN Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang dialokasikan
untuk seluruh puskesmas, sangat mendukung Petugas Puskesmas dalam
melaksanakan kegiatan remaja karena biaya transportasi dari puskesmas ke
60
sekolah dapat diakomodir melalui APBN BOK tersebut baik saat penyuluhan
maupun pembinaan konselor sebaya
Faktor Penghambat
a. Keterbatasan SDM Puskesmas dibandingkan dengan jumlah
sekolah/peserta didik di wilayah kerja
b. Seringnya perpindahan pemegang program remaja di kabupaten/kota
c. Keterbatasan dana baik dari APBN maupun APBD dalam melatih
petugas program remaja (karena banyak pemegang program baru )
dan melatih konselor sebaya
Upaya Pencapaian
1. Bimbingan Teknis dan Supervisi Pembinaan dan Pelaksanaan
program remaja dan konselor sebaya dikabupaten/kota tahun
2018
2. Rencana Pelatihan Peningkatan kapasitas petugas puskesmas
yakni Puskesmas SN PKPR bagi tenaga kesehatan di puskesmas
ditahun 2019 melalui dana APBD dengan sasaran baru bisa 60
orang/puskesmas dari 120 puskesmas yang dimiliki.
e) Persentase Puskesmas yang melaksanakan kelas ibu hamil
Pelaksanaan kelas ibu hamil di puskesmas yang ada di wilayah bali (100%)
sudah bisa memenuhi target yang dituangkan dalam perjanjian kinerja (90%).
Faktor pendukung :
1) Orientasi kelas ibu pada tenaga kesehatan puskesmas, IBI dan RS baik
swasta maupun negeri
2) Tersedianya dana BOK dan ADD yang mensuprort kegiatan kelas Ibu
3) Pelaksanaan kelas ibu juga dijalankan pada Praktek Mandiri bidan dan
RS swasta sehingga menjadi daya tarik masyarakat
4) Keaktifan peran serta masyarakat
Faktor penghambat :
1) Masih terdapat bidan desa yang belum terlatih
2) Keterbatasan Anggaran BOK
3) Kehadiran ibu hamil tidak 100 % dalam pelaksanaan kelas ibu
4) Dukungan dan komitmen manajemen puskesmas untuk kualitas kelas
ibu
5) Sarana penunjang terbatas
60
f) Persentase Puskesmas yang melakukan Orientasi Program Perencanaan
Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K)
Persentase puskesmas yang melakukan orientasi program perencanaan
persalinan dan pencegahan komplikasi (P4K) sudah 100 %. Hal ini sudah
dapat melampaui target yang diharapkan dalam perjanjian kinerja (100%).
Faktor pendukung :
1) Pada setiap buku KIA sudah berisikan stiker P4K, sehingga dari awal ibu
hamil sudah disosialisasikan dan disiapkan seperti yang terdapat dalam
stiker
2) Dukungan dana BOK baik pengadaan maupun pemasangan stiker P4K
Faktor penghambat :
1) Terdapat salah satu kabupaten yang masih sulit dalam pemamfaatan
dana BOK
3. Indikator Program Upaya kesehatan Kerja dan olahraga
a) Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan Kerja Dasar
Target Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kesehatan Kerja Dasar
sebesar 80%. Capaian di Provinsi Bali sebesar 100% oleh karena semua
puskesmas sudah melaporkan LBKP
Grafik.11
b) Jumlah Pos UKK yang terbentuk di daerah PPI/TPI
Target Jumlah Pos UKK yang terbentuk di daerah PPI/TPI sebesar 38 pos
UKK. Di Provinsi Bali telah terbentuk 38 pos UKK namun untuk daerah PPTI
hanya terbentuk 2 Pos UKK dari 3 daerah PPI/TPI yang ada. Secara
keseluruhan jumlah pos UKK yang terbentuk di Kabupaten adalah sebagai
berikut :
100 100100 100 100 100 100 100 100 100
0
20
40
60
80
100
120
60
Grafik 12
Faktor Pendukung
1) Adanya dukungan pendanaan melalui dana APBD, APBN (Dekonsentrasi),
DAK Provinsi, DAK Kabupaten dan BOK Puskesmas
2) Adanya dukungan puskesmas melalui pengembangan puskesmas yang
melaksanakan program kesehatan kerja terutama SDM/ Tenaga yang
sudah dilatih
Faktor Penghambat
1) Masih rendahnya minat kelompok pekerja untuk membentuk pos UKK
2) Petugas pemegang program kesehatan kerja di puskesmas sering
berganti-ganti karena adanya mutasi
3) Kurangnya dukungan sarana dan prasarana untuk pembentukan pos UKK
Upaya Pencapaian
1) Melakukan bimbingan teknis ke Kabupaten/ Kota dan Puskesmas
2) Melakukan monitoring dan evaluasi ke Pos UKK
c) Persentase fasilitas pemeriksaan kesehatan TKI yang memenuhi standar
Target Persentase fasilitas pemeriksaan kesehatan TKI yang memenuhi
standar sebesar 100%. Capaian di Provinsi Bali sebesar 100%. RS yang
melakukan pemeriksaan kesehatan TKI yang memenuhi standar ditunjuk oleh
Kemenkes yaitu RS. Sanglah, RS. Sanjiwani Gianyar, RS. Bross dan Klinik
Padma Denpasar
2 8 4
2
23
1 0 1
10
51
0
10
20
30
40
50
60
60
d) Persentase puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan olahraga
pada kelompok masyarakat di wilayah kerjanya
Target Persentase puskesmas yang melaksanakan kegiatan kesehatan
olahraga pada kelompok masyarakat di wilayah kerjanya 60%. Capaian di
Provinsi Bali sebesar 100%.
Grafik.13
4. Indikator Penyehatan Lingkungan a) Jumlah Desa/ Kelurahan yang melaksanakan STBM (Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat)
Untuk mendorong peningkatan akses sanitasi layak di Provinsi Bali di lakukan
Strategi Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Target jumlah/ kelurahan
yang melaksanakan STBM adalah 222.
Grafik 14
100 100100 100 100 100 100 100 100 100
0
20
40
60
80
100
120
51 125 62 70 50 72 78125
43
676
0
100
200
300
400
500
600
700
800
60
Grafik tersebut menggambarkan peningkatan jumlah desa yang diintervensi
setiap tahunnya melalui pemicuan yang dilakukan oleh sanitarian Puskesmas.
Hingga tahun 2019 total jumlah desa yang dipicu oleh sanitarian sebanyak 676
desa. Namun dari 676 desa yang ada hanya 252 desa yang dinyatakan
berstatus Open Defecation Free (ODF).
Faktor Pendukung
1) Adanya dukungan pendanaan melalui dana APBD, DAK Provinsi, DAK
Kabupaten dan BOK Puskesmas
2) Adanya intervensi Pamsimas yang mendorong kepala desa untuk
mencapai status ODF
3) Adanya aturan adat dalam bentuk perarem yang mendukung implementasi
STBM
4) Adanya sinergi lintas sektor dengan TNI yang membantu pembangunan
jamban di masyarakat
5) Tersedianya sanitarian terlatih di 120 puskesmas untuk melakukan
pemicuan
6) Tersedianya sarana untuk melakukan pelaporan secara real time
Faktor Penghambat
1) Sanitarian kesulitan melakukan update data secara online/ sms
dikarenakan web STBM sering mengalami gangguan.
2) Tidak semua sanitarian terlatih dapat terampil dalam melakukan pemicuan
3) Banyak sanitarian yang lupa cara mengupdate data STBM
Upaya Pencapaian
1) Melakukan bimbingan teknis ke Kabupaten/ Kota dan Puskesmas
2) Melakukan monitoring dan evaluasi STBM
3) Advokasi pada pihak desa untuk menggunakan dana desa dalam kegiatan
STBM
4) Advokasi pada lembaga adat dalam penyusunan perarem di desa
5) Advokasi pada camat untuk mendorong desa ODF terutama bagi desa
penerima PAMSIMAS
6) Memperkuat sinergi lintas sektor (Majelis adat, TNI, Pramuka, PKK,
Universitas Udayana dan Poltekes)
7) Pembekalan STBM kepada mahasiswa kesling di Universitas Udayana dan
Poltekes
8) Sinergi lintas program dengan gizi melalui STBM Stunting
9) Pelatihan STBM stunting melalui dana DAK Kabupaten
60
45.0
32.0
58.8
32.2
77.1
3.4
13.619.1
32.038.1
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
80.0
90.0
100.0
b) Persentase sarana air minum yang dilakukan pengawasan
Target yang Persentase sarana air minum yang dilakukan pengawasan
adalah 50%. Penyelenggara air minum merupakan badan/usaha milik
pemerintah atau swasta yang menyediakan air minum bagi penduduk.
Penting dilakukan pengawasan secara berkala untuk menghindari terjadinya
KLB akibat air minum yang tidak layak.Untuk mengetahui kualitas air minum
secara bakteriologis dan kimia dilakukan pemeriksaan kualitas air pada badan
penyelenggara air minum di 9 Kabupaten/ Kota.
Grafik 15
Faktor Pendukung
1) Adanya dukungan pendanaan melalui dana APBD, DAK Provinsi, DAK
Kabupaten dan BOK Puskesmas
2) Tersedianya sanitarian terlatih di 120 puskesmas untuk melakukan
pengawasan air minum
3) Tersedianya sarana untuk melakukan pelaporan melalui e monev PKAM
Faktor Penghambat
1) Keterbatasan SDM yang ada tidak sebanding dengan jumlah sarana yang
diawasi
2) Tidak semua sanitarian melakukan pelaporan hasil pengawasan air minum
kedalam web PKAM
3) Tidak semua puskesmas memiliki sanitarian kit dalam melakukan
pengawasan
60
Upaya Pencapaian
1) Melakukan bimbingan teknis ke Kabupaten/ Kota dan Puskesmas
2) Melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan Pengawasan Kualitas Air
Minum
3) Mendorong kelompok-kelompok pengelola air minum di tingkat desa
seperti BPSPAM untuk bisa melakukan pengawasan internal terhadap
sarana air minum yang dikelola
c) Persentase Tempat-tempat Umum (TTU) yang memenuhi syarat
kesehatan
TargetPersentase Tempat-tempat Umum (TTU) yang memenuhi syarat
kesehatan yang tertuang dalam perjanjian kinerja adalah 58%. Tempat-Tempat
Umum (TTU) yang diawasi adalah Hotel, Tempat Ibadah, Sarana Pendidikan,
dan lainnya. Pada tahun 2019 TTU yang dapat diawasi dan memenuhi syarat
sebesar 85,5%.
Grafik 16
Faktor Pendukung
1) Adanya dukungan pendanaan melalui dana APBD, DAK Provinsi, DAK
Kabupaten dan BOK Puskesmas
2) Tersedianya sanitarian terlatih di 120 puskesmas untuk melakukan
pengawasan TTU
3) Adanya kerjasama lintas sektor dengan Dinas Perizinan yang
mengsyaratkan bahwa setiaphotel yang akan akan mengajukan klasifikasi
harus menyertakan hasil pengujian lab kesling
52.4
76.7
95.5 92.0 99.8
82.6 82.7
92.0 93.385.5
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
80.0
90.0
100.0
60
4) Adanya upaya dari pihak hotel dan sekolah untuk melakukan penilaian
kesehatan lingkungan di wilayahnya sendiri
Faktor Penghambat
1) Keterbatasan SDM yang ada tidak sebanding dengan jumlah sarana TTU
yang diawasi
2) Tidak semua puskesmas memiliki sanitarian kit dalam melakukan
pengawasan
3) Salah satu yang diawasi adalah p