Post on 06-Mar-2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk umat
manusia, menyeru mereka kepada aqidah tauhid, dan mengajari mereka
berbagai nilai dan metode pemikiran dan kehidupan yang baru. Al-Qur’an
memberikan petunjuk kepada mereka akan tingkah laku yang lurus dan benar,
dan mengarahkan mereka pada jalan yang benar dalam mendidik dan
membina diri secara benar, sehingga bisa mencapai kesempurnaan manusiawi
yang merealisasikan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Tidak diragukan lagi bahwa dalam al-Qur’an terdapat kekuatan
spiritual yang luar biasa dan mempunyai pengaruh mendalam atas diri
manusia. Al-Qur’an membangkitkan pikiran, menggelorakan perasaan,
menggugah kesadaran, dan menajamkan wawasan. Dan manusia yang berada
dalam pengaruh al-Qur’an seakan menjadi manusia baru yang diciptakan
kembali (Najati, 1997: 283-284).
Kajian tentang al-Qur’an akhir-akhir ini menemukan momentum
pengkajian dan bahkan mengindikasikan pengkajian al-Qur’an sebagai
sebuah tren dan lokomotif wacana pengembangan ilmu keIslaman. Bagi
kebanyakan umat Islam, al-Qur’an bukan hanya sebatas teks bacaan sehari-
2
hari setidaknya pada saat shalat tapi juga diyakini sebagai firman Tuhan
(Arkoun, 2003: 2)1.
Menurut Abdullah (2000: 10-19), setidaknya ada dua pendekatan
dasar dalam mengkaji al-Qur’an yaitu metode perbandingan dan metode
tematis. Metode perbandingan ini dapat dijumpai dalam tafsir karya Aisyah
Abdurrahman binti al-Syati yang berjudul al-tafsir al-Bayani lil al-Qur’an al-
Karim. Secara garis besar tafsir ini menelaah, mendalami dan
mendampingkan berbagai pemahaman dan pemikiran ahli tafsir terdahulu
dalam menguraikan dan memahami suatu ayat.
Metode kedua adalah metode tematis sebagaimana yang dipaparkan
oleh Quraish Shihab (1996: xiv-xv) dalam Wawasan Al-Qur’an: Tafsir
Maudhui atas Berbagai Persoalan Umat (al-Tafsir, al-Maudhu’i)2..
1 Umumnya umat Islam menilai al-Qur’an sebagai teks kitab suci, sehingga umat dilarang
mengkritisi al-Qur’an. Namun, ini berbeda dengan Nasr hamid Abu –Zayd, pemikir Islam asal Mesir, justru mengkaji al-Qur’an dengan teori analisa teks. Dengan teori linguistik ini, dia mengatakan bahwa teks al-Qur’an sangat terkait dengan tradisi dan setting sosial polotik lokalitas bangsa Arab Abad 14 abad silam, waktu ketika al-Qur’an diucapkan. Lihat Nasr Hahid Abu- Zayd, Tekstualitas al-Qur’an Kritik Ulumul Qur’an, terj. Khoiron Nahdhiyin, cetakan II, LkiS, Yogyakarta, 2002, hlm.11-13. sementara itu tradisi-tradisi, termasuk tradisi zahudi dan Kristen. Bagi Wansbrugh, al-Qur’an bukan hanya kreasi Muhammad, tetapi juga hasil kreasi umat Islam. Al-Qur’an merupakan kreasi hasil suatu perkembangan organic tradisi-tradisi selama suatu pereode transmisi yang sangat panjang yang mencapai titik akhir pada permulaan abad ke-3 H/9M. Tesis Wansbrough ini kemudian dikritik Fazlur Rahman, dengan menilai Wansbrugh belum memahami secara sepurna fenomena subtitusi ayat-ayat tertentu dengan ayat-ayat lainnya. Fenomena ini dalam al-Qur’an dikenal dengan istilah naskah. Lihat Fazlur Rahman , Mayor Themes of the Qur’an .dan bisa dilihat juga pada justisia Edisi 23, 2003 hlm.6
2 Metode ini menurut Quraish Shihab, bukanlah konsep yang baru tetapi sudah dikenal sejak masa Rasulullah namun ia baru berkembang jauh sesudah masa beliau. Dalam perkembangannya metode ini mengambil dua bentuk penyajian. Pertama : menyajikan kotak yang berisi pesan-pesan al Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja. Bentuk kedua dari metode ini berkembang pada tahun enam puluhan. Disadari oleh para pakar bahwa menghimpun pesan-pesan al Qur’an yang terdapat pada satu surat saja belum menuntaskan persoalan, sehingga diperlukan kajian yang menghimpun keseluruhan pesan yang terdapat dalam al Qur’an. Salah satu sebab yang mndorong kelahiran bentuk kedua ini adalah semakin melebar, meluas dan mendalamnya perkembangan keilmuan dan semakin kompleknya persoalan yang memerlukan bimbingan al Qur’an. Di sisi lain kesibukan dan kesempatan waktu yang tersedia bagi peminat tuntutan itu semakin menuntut gerak cepat untuk memperoleh informasi dan bimbingan.
3
Model tematik ini dapat dijumpai dalam tafsir karya Fazlur Rahman
(1996: 13) meskipun ia sendiri tidak menamakan buku atau karyanya sebagai
kitab tafsir, tetapi jika dibaca pendahuluan buku tersebut akan diperoleh
keterangan bahwa ia merasakan adanya kebutuhan mendesak di masyarakat
muslim untuk memperoleh bimbingan al-Qur’an sebagai “Hudalinnas”
(sebagai petunjuk bagi manusia), yang sudah dimodifikasi, diolah dan
dikonstruk sedemikian rupa lewat kekuatan kreatifitas akal; manusia
berdasarkan tuntutan perkembangan zaman untuk memenuhi bimbingan
spiritual serta menanamkan nilai-nilai spiritual ilahi yang transendental dan
sekaligus teraplikasikan secara imanen dalam kehidupan manusia.
Kehidupan manusia di era modernisasi yang telah merambah ke
seluruh penjuru dunia telah membuat manusia terlena dengan kemegahan dan
kemajuan yang ada. Banyak orang terpukau dengan modernisasi, mereka
menyangka bahwa dengan modernisasi itu serta merta akan membawa
kesejahteraan. Mereka lupa bahwa dibalik modernisasi yang serba gemerlap
memukau itu ada gejala yang dinamakan the agony of modernization, yaitu
azab sengsara karena modernisasi (Hawari, 1997: 3). Kemajuan teknologi dan
modernisasi yang cepat telah membawa banyak perubahan dunia. Akibat
kemajuan teknologi dan modernisasi berbagai sektor seperti pertanian,
perhubungan, komunikasi, kerja, mode dan industri diharuskan menghasilkan
produk yang banyak dalam waktu sesingkat mungkin. Orientasi hidup
menjadi materialis, akibatnya tuntutan kebutuhan hidup semakin banyak dan
M. Quraish shihab, Wawasan al-Qur’an : Tafsir Maudu’I atas Berbagai Persoalan Ummat,Bandung: Mizan,1996, hlm. Xiv-xv
4
semakin mahal. Akibat meningkatnya kebutuhan-kebutuhan pada masyarakat
modern, maka orang dalam kehidupan selalu mengejar waktu, mengejar
benda dan mengejar prestice. Semuanya ini akan membawa hidup seperti
mesin, tidak mengenal istirahat dan ketenteraman. Hidupnya dipenuhi oleh
ketegangan perasaan (tension), karena keinginanya menghindari perasaan
tertekan, jika semua yang diinginkan tidak terpenuhi. Hubungan antara
manusia yang pada mulanya bersifat persaudaraan menjadi bersifat
kepentingan. Persaingan dalam mencari keperluan-keperluan hidup yang
makin hari makin meningkat, telah membawa manusia hidup menjadi lebih
gelisah dan lebih renggang antara satu sama lain (Daradjat, 2001: 4). Maka
pada abad ke-20 masehi adalah suatu abad yang oleh ilmuwan disebut abad
kecemasan (The Age of anxiety).
Perasaan cemas, iri hati, sedih, merasa rendah diri, pemarah, ragu,
takut dan kekhawatiran yang tidak beralasan dalam masyarakat modern
menurut Daradjat (2001: 17-25) merupakan gejala gangguan mental.
Kesehatan mental yang terganggu berpengaruh buruk terhadap kesejahteraan
dan kebahagiaan. Gejala-gejala gangguan mental dapat dilihat dari perasaan,
pikiran, tingkah laku dan kesehatan badan. Dari segi perasaan, gejalanya
menunjukkan rasa gelisah, iri, dengki, risau, kecewa, putus asa, bimbang dan
rasa marah. Dari segi pikiran dan kecerdasan, gejalanya menunjukkan sifat
lupa dan tidak mampu mengkonsentrasikan pikiran kepada suatu pekerjaan
karena kemampuan berpikir menurun. Dari segi tingkah laku, sering
menunjukkan tingkah laku yang tidak terpuji, seperti suka mengganggu
5
lingkungan, mengambil milik orang lain, menyakiti dan memfitnah. Hal
tersebut merupakan salah satu penyebab penyimpangan fungsional pada
sistem syaraf (nervous-system).
Disorder fungsional mental ini (nervous system) mencakup pula
disintegrasi sebagian dari kepribadian; khususnya dengan berkenaan dengan
tidak adanya atau berkurangnya hubungan antara pribadi dengan sekitarnya.
Hal ini merupakan bentuk gangguan fungsional pada sistem syaraf,
mencakup pula desintegrasi sebagian dari kepribadian, khususnya terdapat
berkurang atau tidak adanya kontak antara pribadi dengan sekitar, walaupun
orangnya masih memiliki wawasan/ insight. Menurut J.P. Chaplin dalam
bukunya Kartono (2000: 96-105) ini merupakan satu penyakit mental lunak
ditandai oleh (1) wawasan yang keliru mengenai sifat kesulitannya, (2)
konflik-konflik batin, (3) reaksi-reaksi kecemasan, (4) kerusakan parsial pada
struktur kepribadian, (5) sering disertai fobia-fobia, gangguan pencernaan,
dan tingkah laku obsesif-kompulsif (Kartono, 1989: 97), atau yang sering
disebut dengan psikoneurosa.
Psikoneurotik biasanya akan menimbulkan gejala-gejala seperti: (1) Histeria, yaitu gangguan / disorder psikoneurotik yang khas ditandai oleh emosionalitas ekstrim; mencangkup macam-macam gangguan fungsi psikis, sensoris, motoris, vasomotor (syaraf-syaraf yang membesarkan/mengecilkan pembuluh-pembuluh darah), dan alat pecernaan, sebagai produk dari represi terhadap macam-macam konflik dalam kehidupan kesadaran. (2) Bentuk-bentuk dissosiasi kepribadian. Seperti fugue, yaitu usaha melarikan diri disertai kondisi amnesia ( kehilangan ingatan), dan ada kondisi dissosiasi dengan lingkungan. (3) psikastenia, merupakan tipe psikoneurosa ditandai oleh reaksi-reaksi kecemasan dibarengi kompulsi, ide-ide fixed, obsesi dan ketegangan-ketegangan fobik (akibat fobia). (4) Tics (gangguan berupa gerak facial/wajah) yaitu macam-macam gerak facial atau gerak muka/wajah seperti dipaksakan, berupa gerak-gerak pengejangan yang habitual dari satu kelompok kecil otot-otot tertentu, yang menurut J.P. Chaplin disebut
6
kejangan (kedutan, gerenyet) otot yang kadang-kadang diserai bunyian/vokalisasi.
Dari fenomena di atas di berbagai sisi kehidupan modern sedang
mengalami alienasi dan deviasi (Nasir, 1997: 6) eksistensi sehingga
memunculkan tekanan jiwa yang mengarah pada psikoneurotik serta di sisi
lain terjadi perkembangan yang menarik terhadap pemahaman terhadap al-
Qur’an yang salah satunya adalah metode tematik. Menurut Usman Nadjati,
dalam bukunya al-Qur’an dan ilmu jiwa dijelaskan bahwa salah satu jalan
keluarnya adalah melakukan dzikrullah, karena menurutnya hal ini akan
mampu sebagai terapi terhadap psikoneurotik tersebut (Najati, 1985: 328),
sehingga diperlukan kajian tematik tentang dzikir ini.. Dari sinilah maka
dalam penelitian ini mencoba mencari implementasi konseptual untuk melihat
sejauh mana al-Qur’an memberikan alternatif bagi persoalan modernitas
sehingga judul : “Konsep Dzikir Menurut al Qur’an Sebagai Terapi Mental
Penderita Psikoneurotik : Studi Analisis Bimbingan Konseling Islam”,
menjadi kajian menarik yang perlu perhatian lebih lanjut.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas maka muncul
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep dzikir menurut al Qur’an ?
2. Bagaimana implementasi dzikir menurut al Qur’an sebagai terapi mental
penderita psikoneurotik ditinjau dari bimbingan konseling Islam ?
7
C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
Beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana konsep dzikir menurut al Qur’an.
2. Untuk mengetahui bagaimana impiementasi dzikir menurut al Qur’an
sebagai terapi mental penderita psikoneurotik ditinjau dari bimbingan
konseling Islam.
Adapun signifikansi atau manfaat dari penelitian ini meliputi dua
aspek, yaitu:
1. Aspek teoritis
Hasil Penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah ilmu
yang berkaitan dengan bimbingan konseling Islam di Fakultas Dakwah
IAIN Walisongo.
2. Aspek praktis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat mendiskripsikan manfaat-
manfaat dzikir bagi rohani yang pada akhirnya diharapkan dapat
memberikan pemahaman yang komprehensif tentang manfaat dzikir bagi
kesehatan, sehingga dapat memberikan sumbangan bagi keilmuan bahwa
dzikir mempunyai peranan yang penting dalam kesehatan rohani.
D. Tinjauan Pustaka
Dari hasil survai kepustakaan di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo
Semarang, penelitian yang mengkaji tentang dzikir menurut Qur’an dengan
metode tematik sebagai terapi mental penderita psikoneurotik belum pernah
8
dilakukan, tetapi ada beberapa penelitian yang secara tidak langsung terkait
yaitu penelitian yang berjudul “Dzikir Sebagai Alternatif Pendekatan Dakwah
Islam Dalam Penyembuhan Mental Disorder”.
Penelitian tersebut ditulis oleh Abdul Kholil pada tahun 1997 yang
secara garis besar menyatakan bahwa dzikir merupakan salah satu alternatif
pendekatan jiwa kepada Yang Maha Kuasa, guna menemukan ketenangan
batiniyah sehingga orang yang memiliki mental yang tidak sehat dapat mulai
menemukan jati diri agar dapat menyelesaikan permasalahan hidupnya
melalui jalan yang benar dan tidak melampiaskannya kepada hal yang bersifat
negatif. Hal ini dapat terlaksana dengan bantuan bimbingan penyuluhan yang
merupakan salah satu metode dakwah Islamiyah. Dan klien dapat menemukan
ketengan batin dan dapat menyelesaikan persoalan hidup secara lebih bijak
dengan berdasar nilai-nilai ajaran agama Islam.
Penelitian lain tentang hal ini dapat ditemukan juga dalam : “Pengaruh
Ibadah Shalat Dan Dzikir Terhadap Kepribadian Pasien Di RSJ (Rumah Sakit
Jiwa) Semarang” yang ditulis oleh Uswatun pada tahun 1992. Dalam
penelitiannya tersebut dia berpendapat bahwa shalat yang khusu’ (konsentrasi)
sama dengan meditasi dengan menggunakan perasaan, keluhan dan
permasalahan kepada Allah. Dengan shalat orang akan memperoleh kelegaan
batin, karena ia merasa Allah mendengarkan, memperhatikan dan menerima
permohonannya tersebut maka ia akan dapat menjadikannya shalat sebagai
pengobatan jiwanya. Sedangkan dzikir adalah mengingat Allah dengan cara
mengucapkan kalimat Allah yang dapat diartikan sebagi gerakan hati dengan
9
menyebut asma Allah terus-menerus sebagi pengawas hati agar tidak mudah
tergoda oleh perbuatan dosa yang akan dapat menumbuhkan kegelisahan
individu, serta dzikir amal yang berarti melaksanakan seluruh perintah Allah.
Jadi salah satu manfaat dzikir adalah adanya gerakan tubuh dan hati yang
diarahkan sepenuhnya kepada Allah. Dan hasil dari penelitian ini adalah
pasien mulai melaksanakan kewajiban beribadah tersebut yang tentunya
melalui proses bimbingan dan penyuluhan (salah satu metode dakwah Islam)
dengan menggunakan pendekatan individu maupun kelompok dengan
menerapkan metode Psikoterapi Islam yaitu shalat dan dzikir.
Penelitian ketiga tentang hal ini dilakukan oleh Ahmadi pada tahun
2000 yang berjudul ; “Shalat Dan Dzikir Sebagai Terapi Terhadap Gangguan
Kejiwaan : Tinjauan Historisitas Dan Normativitas”. Inti dalam penelitian ini
dia menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang positif antara shalat dan dzikir
yang dilakukan oleh seseorang terhadap kualitas kejiwaan. Menurutnya hal ini
ditemukan secara langsung dalam al-Qur’an baik dalam dimensi historisitas
maupun normativitas.
Berbeda dengan penelitian di atas, dalam penelitian ini penulis
berangkat dari sebuah fenomena sosial masyarakat yang kini sedang
mendalami kehidupan di era modern, dengan perubahan-perubahan sosial
yang cepat dan komunikasi tanpa batas, di mana kehidupan berorientasi pada
materialistik, sekuleristik, rasionalistik dengan kemajuan IPTEK di segala
bidang. Kondisi ini ternyata tidak selamanya memberikan kesejahteraan, tetapi
justru menjadi abad kecemasan (The age of anxiety).
10
Peluang yang diberikan dzikir dalam memberikan solusi atas problem
manusia. Memungkinkan penelitian untuk melakukan analisis terhadap konsep
dzikir menurut al-qur’an sebagai terapi terhadap mental penderita
psikoneurotik. Argumen-argumen tersebut menunjukkan perbedaan yang
mendasar antara penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya.
Sehingga penelitian ini bisa menambah khasanah keilmuan dalam penelitian-
penelitian yang pernah diteliti sebelumnya.
E. Kerangka Teoritik
Dzikir menurut Miftah Farid (1997: 25), secara bahasa dzikir bermula
dari dzkara, yadzkuuru, dzukr/dzikr, merupakan perbuatan dengan lisan
(menyebut, menuturkan) atau dan dengan hati (mengingat/menyebut dan
mengingat). Ada yang berpendapat bahwa dzukr (bidlammi) saja bisa berarti
pekerjaan hati dan lisan, sedang dzikr (bilkasri) khusus pekerjaan lisan. Dalam
peristilahan kata, dikr tidak terlalu jauh pengertiannya dengan makna-makna
lughawinya semula. Bahkan kamus-kamus modern seperti Al-Munjid, Al-
Munawir, Al-Qamus al-Ashri dan sebagainya, sudah pula menggunakan
pengertian-pengertian istilah seperti adz-dzikr = membaca tasbih,
mengagungkan Allah dan seterusnya (Bisri, 1997: 169). Pengertian-pengertian
ini semua dapat dilihat di banyak lafal dzikr yang dituturkan dalam Al-Qur’an.
Bahkan seringkali pengertian dzikr (dalam berbagai shieghatnya) dalam
kitab suci itu merupakan cakupan dari makna-makna lughawinya sekaligus.
Dalam kitab Al-Adzkaar-nya yang terkenal, Imam Nawawi (631-676 H),
menyebutkan : “ Dzikir itu bisa dengan hati, bisa dengan lisan. Dan yang
11
terbaik adalah yang dengan hati dan dengan lisan sekaligus. Kalau harus
memilih antara keduanya, maka dzikir dengan hati saja lebih baik dari dzikir
dengan lisan saja” (Nawawi, 1984: 45).
Para ahli berbeda pendapat mengenai dzikir. Dzikir dapat diartikan
sebagai kehidupan hati dan faktor yang menyebabkan hati manusia menjadi
hidup, juga sebagai faktor yang menghidupkan rumah seseorang
(Jauziyah,2002: viii). Abu bakar Aceh mendefinisikan dzikir sebagai ucapan
yang dilakukan dengan lidah atau mengingat akan Tuhan dengan hati, ucapan
atau ingatan yang mempersucikan Tuhan dan membersihkannya daripada
sifat-sifat yang tidak layak untuk-Nya, selanjutnya memuji dengan puji-pujian
dan sanjungan dengan sifat-sifat yang sempurna, sifat-sifat yang menunjukkan
kebesaran dan kemurnian (Atjeh, 1985: 276). Sedangkan Hasan Albana dalam
Mujid (1985: 14) memberikan pengertian zikir sebagai semua apa saja yang
mendekatkan diri kepada Tuhan dan semua ingatan yang menjadikan diri kita
dekat dengan Tuhan.
Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa zikir
adalah mengingat dengan sepenuh keyakinan akan kebesaran Tuhan, dengan
segala sifatNya serta menyadari bahwa dirinya senantiasa berada dalam
pengawasan Allah, seraya selalu menyebut asma Allah dalam hati dan atau
lisan.
Psikoneurotik merupakan sekelompok reaksi psikis yang dicirikan
secara khas dengan unsur kecemasan, yang secara tidak sadar diekspresikan
dengan menggunakan mekanisme pertahanan diri (Kartono, 2000: 97). JP.
12
Chaplin mendefinisikan Psikoneurotik sebagai suatu penyakit mental lunak
yang ditandai oleh wawasan yang keliru mengenai sifat kesulitannya, konflik-
konflik batin, reaksi kecemasan, kerusakan parsial pada struktur kepribadian,
disertai fobia-fobia, gangguan pencernakan dan tingkah laku obsesif
kompulsif (Kartono, 2000: 97). Jadi psikoneurotik dapat diartikan sebagai
bentuk dari mental disorder fungsional pada sistem syaraf yang ditandai
dengan unsur kecemasan, gelisah, ketakutan dan konflik batin, namun
penderita masih memiliki wawasan atau insight.
Istilah bimbingan dan konseling sering dipandang sama, tidak
memiliki perbedaan fundamental, namun ada pendapat yang menyatakan
keduanya berbeda, baik dasar-dasarnya maupun cara kerjanya. Pandangan ini
menganggap konseling lebih identik dengan psikoterapi, sedang bimbingan
lebih identik dengan pendidikan (Surya,1988: 23)3 Bimbingan merupakan
proses memberikan bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli kepada individu
dengan menggunakan sarana yang ada, berdasarkan norma-norma yang
berlaku, sedangkan konseling adalah proses pemberian bantuan yang
dilakukan wawancara konseling oleh seorang ahli (konselor) kepada individu
yang sedang mengalami masalah (klien) yang bermuara pada teratasinya
masalah yang dihadapi klien.
3 Psikoterapi adalah sejenis pengobatan yang digunakan oleh seseorang yang terlatih
khusus (psikoterapis) terhadap kesulitan (penderitaan/gangguan) yang bersifat emosional dengan jalan meletakkan hubungan yang bersifat professional dengan seorang penderita, dengan tujuan menghilangkan, mengubah, atau memperlambat gejala-gejala yang ada atau menjadi perantara dalam berbagai gangguan kelakuan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan positif pada kepribadian penderita.
13
Dari diskripsi di atas terdapat hubungan yang menarik antara dzikir,
psikoneurotik dan bimbingan konseling Islam. Dzikir merupakan upaya
mendekatkan diri kepada Allah, yang mengandung unsur psiko terapiutik,
sehingga dzikir dapat digunakan sebagai metode terapiutik bagi penderita
psikoneurotik. Hal ini dikarenakan dzikir memiliki kekuatan spiritual atau
kerohanian yang membangkitkan rasa percaya diri dan optimisme. Kedua
aspek tersebut merupakan dimensi yang esensial bagi penyembuhan suatu
penyakit di samping tindakan secara medis.
Kaitannya dengan bimbingan konseling Islam, Dzikir dapat dijadikan
sebagai salah satu metode layanan bimbingan konseling Islam. Di mana
prosesnya adalah seorang konselor membantu klien yang sedang mengalami
permasalahan, sehingga ia merasa tidak bahagia. Ketidakbahagiaan tersebut
seharusnya mendapatkan pemecahan masalah, tentunya disesuaikan dengan
kadar kemampuan masing-masing orang. Menurut Tohari Musnamar, salah
satu alternatif yang dapat dilakukan kaitannya dengan layanan bimbingan
konseling Islami adalah dengan berdzikir (Musnamar,1992: 33-39) sehingga
yang bersangkutan merasa terselesaikan masalahnya dan merasa damai.
Dari sinilah dapat dipahami bahwa dzikir yang dilakukan secara
kontinyu dapat mendatangkan ketenangan dan keseimbangan mental spiritual
yang tercermin dalam perilaku sehari-hari. Sehingga secara langsung dapat
dijadikan sebagai metode layanan bimbingan konseling Islami, di mana dalam
hal ini terjalin suatu hubungan antara klien dengan manusia dan lingkungan
sekitarnya. Dengan demikian klien akan dapat menyelesaikan permasalahan
14
yang sedang dihadapinya dan akhirnya mendapatkan kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat.
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
1.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian literer sehingga termasuk
jenis penelitian kualitatif, karena data-data yang disajikan berupa
pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan dzikir dan
psikoneurotik.
1.2. Pendekatan Penelitian
Berkaitan dengan judul yang diangkat, maka diperlukan
pendekatan-pendekatan yang diharapkan mampu memberikan
pemahaman yang mendalam dan komprehensif. Ada tiga pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini. Pertama : pendekatan filosofis.
Filsafat berarti mencari hakekat sesuatu, berusaha menautkan sebab
dan akibat dan serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman
manusia (Nata, 2000: 42-43). Dari definisi tersebut diketahui bahwa
filsafat pada intinya berupaya menjelaskan inti, hakekat, atau
mengenai sesuatu yang berada di balik obyek formanya. Filsafat
mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat di balik
yang bersifat lahiriah. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
pendekatan filsafat dengan landasan bahwa manusia diciptakan dalam
15
kondisi fitrah4, memiliki naluri keagamaan (memiliki nilai Illahiyah),
di samping manusia sebagai mahluk itu sendiri, sehingga atas dasar
inilah manusia dipandang sebagai mahluk secara utuh, yaitu manusia
yang memiliki bio-psikososio-religious.
Kedua : pendekatan sosiologis. Sosiologi adalah suatu ilmu
yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan
struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling
berkaitan. Dengan ilmu ini suatu fenomena sosial dapat dianalisa
dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas
sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari proses tersebut
(Nata, 2000: 38-39). Dalam penelitian ini penulis menggunakan
pendekatan sosiologis dikarenakan sosiologi dapat digunakan sebagai
salah satu pendekatan memahami kehidupan manusia di masyarakat
baik intern yaitu manusia dikodratkan sebagai mahkluk individu yang
cenderung untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Dan ekstern yaitu
manusia dikodratkan untuk hidup bersama dan saling membutuhkan
antara satu dengan yang lain di dalam masyarakat. Untuk memahami
manusia seutuhnya diperlukan pendekatan sosiologis ini, sehingga
permasalahan sosial individu dapat diketahui secara rinci, penyebab
dan kemungkinan solusinya.
Ketiga : pendekatan psikologis. Psikologi atau ilmu jiwa
adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku
4. Mengenal fitrah dijelaskan dalam al-Qur’an : disadari atau tidak manusia membutuhkan
penciptaan (39: 8, 49). Suara fitrah manusia muncul atau terdengar dan menjerit memanggil Robb-
16
yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, bahwa perilaku
seseorang yang nampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh
keyakinan yang dianutnya. Seseorang ketika berjumpa mengucapkan
salam dan rela berkorban untuk kebenaran adalah merupakan gejala-
gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama.
Ilmu jiwa agama sebagaimana diungkapkan oleh Zakiah Daradjat
tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut
seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan
agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang
menggambarkan sikap batin seseorang (Nata, 2000: 50). Dalam
penelitian ini penulis menggunakan pendekatan psikologi dikarenakan
dengan pendekatan psikologi dapat diketahui tingkat keagamaan yang
dihayati, dipahami dan diamalkan sesorang, juga dapat di gunakan
sebagai alat untuk memasukkan agama kedalam jiwa. Sehingga
seseorang yang mengalami gangguan kejiwaan dengan mengunakan
terapi dzikir ini jiwanya akan mengalami ketenangan.
2. Sumber Data
Di dalam penelitian ini, pengumpulan data-data yang berkaitan
dengan masalah yang dibahas akan dilakukan dengan jalan penelitian
kepustakaan (library research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian
terhadap sumber-sumber tertulis (Irawan, 1999: 65)
Nya manakala manusia dihadapkan malapetaka (31: 32; 17: 77- 69)
17
Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini adalah sumber
primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber pokok yang
dalam hal ini adalah al- Qur’an yang diterbitkan oleh Departemen Agama
Republik Indonesia tahun1989. Adapun data yang lain adalah data
sekunder yang berposisi sebagai data pelengkap. Data sekunder ini
diantaranya adalah :
- Muhammad Fu’ad Abd al Baqi, al-Mu’jam al-Fahras li Alfazhal
Qur’an al Karim, Beirut, Dar al Fikr, 1987.
- Quraish Shihab, Tafsir al Misbah : Pesan Kesan dan Keserasian
Qur’an, Jakarta : Lentera Hati, 2002
- Hamka, Tafsir al Azhar, Jakarta : Panji Mas, 1983
- Muhammad Afif Ansori, Dzikir Demi Kedamaian Jiwa, Solusi
Tasawuf atas Problem Manusia Modern, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2003
- Dadang Hawari, Do’a Dan Dzikir Sebagai Pelengkap Terapi Medis;
Jakarta : Primayasa, 1997
- Zakiyah Daradjat Kesehatan Mental; Jakarta : Gunung Agung 2001.
3. Metode Analisis Data
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa objek materi penelitian ini
adalah konsep dzikir menurut al- Qur’an, maka dalam menganalisis data,
penulis menggunakan metode analitis kritis. Metode ini merupakan
pengembangan dari metode deskriptif. Jika metode tersebut terakhir hanya
berhenti pada pendeskripsian atau penggambaran gagasan manusia tanpa
18
suatu analisis yang bersifat kritis, maka metode analitis kritis adalah
merupakan deskripsi yang disertai dengan analisis yang bersifat kritis.
Fokus penelitian analitis kritis adalah mendeskripsikan, membahas dan
mengkritik gagasan primer yang selanjutnya dikonfrontrasikan dengan
gagasan primer yang lain dalam upaya melakukan studi perbandingan
hubungan dzikir dalam al-Qur’an sebagai pengembangan bimbingan dan
konseling Islam. Sehingga dalam penelitian ini perlu digunakan metode
penafsiran dzikir dalam al-Qur’an dengan menggunakan metode tematik
yaitu memperlakukan apa yang harus dipahami dari al-Qur’an secara
obyektif, dan hal itu dimulai dengan pengumpulan seluruh surat-surat dan
ayat-ayat tentang topik yang ingin diteliti.
Adapun beberapa langkah-langkah yang harus ditempuh sebagai
mana yang dikemukakan oleh Yuyun Suria Sumatri (1997: 41) dalam
Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan; Mencari Paradikma
Keberagamaan.
- Pertama, mendeskripsikan gagasan primer yang menjadi objek
penelitian.
- Kedua membahas gagasan primer tersebut, yang pada hakekatnya
memberikan panafsiran terhadap gagasan yang telah dideskripsikan.
- Ketiga melakukan kritik terhadap gagasan primer yang telah
ditafsirkan tersebut.
- Keempat melakukan studi analitik yaitu studi terhadap serangkaian
gagasan primer dalam bentuk perbandingan, hubungan
19
pengembangan model rasional dan penelitian historis, kelima
mengumpulkan hasil penelitian.
Langkah-langkah yang peneliti gunakan dalam menganalisis data
yang telah terkumpul adalah sebagai berikut :
a. Peneliti mendiskripsikan data yang telah diperoleh, yang berkaitan
dengan zikir menurut al-Qur’an dan psikoneurotik.
b. Setelah didiskripsikan, tahap selanjutnya adalah menganalisis data
diskriptif tersebut dengan menggunakan pendekatan bimbingan
konseling Islam untuk menemukan keterpaduan proses terapi mental
penderita psikoneurotik.
G. Sistematika Penulisan
Dalam rangka menguraikan pembahasan di atas, maka peneliti berusaha
menyusun kerangka penelitian secara sistematis, agar pembahasan lebih
terarah dan mudah dipahami serta yang tak kalah penting adalah uraian-uraian
yang disajikan nantinya mampu menjawab permasalahan yang telah
disebutkan, sehingga tercapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Sebelum
menginjak pada bab pertama dan bab-bab berikutnya yang merupakan satu
pokok pikiran yang utuh, maka penulisan skripsi ini diawali dengan bagian
muka yang memuat halaman judul, nota pembimbing, pengesahan, motto,
persembahan kata pengantar dan daftar isi.
Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
kerangka teori dan metode penelitian yang meliputi : jenis pendekatan
20
filosofis, sosiologis dan psikologis, penegasan istilah, sumber data,
pengumpulan data dan analisis data.
Bab kedua, merupakan landasan teori yang mendasari penulisan dalam
pembahasan skripsi. Bab ini mendiskripsikan secara umum konsep bimbingan
konseling Islam dan kesehatan mental yang terdiri dari dua sub bab, sub bab
pertama tentang Bimbingan Konseling Islam, yang meliputi pengertian
Bimbingan Konseling Islam, landasan dan fungsi Bimbingan Konseling Islam
asas-asas Bimbingan Konseling Islam, Bab ini juga mendiskripsikan tentang
kesehatan mental yang terdiri dari pengertian kesehatan mental, Pandangan
Islam mengenai kesehatan mental, Psikoneurotik sebagai gangguan kesehatan
mental, dan prinsip-prinsip dan langkah dalam mencapai kesehatan mental.
Bab ketiga. Bab ini mendiskripsikan secara umum konsep dzikir
menurut al- Qur’an yang terdiri dari definisi dzikir, dzikir dalam al-Qur’an,
ayat-ayat dzikir dalam al-Qur’an, pemaknaan ayat dzikir dalam al-Qur’an,
dzikir dalam Islam, Pemetaan Konsep dzikir dalam al-Qur’an berdasarkan
wilayah Makiyah-Mahdaniyah, Pemetaan konsep dzikir dalam al-Qur’an
berdasarkan kronologi Makiyah, Konsep dzikir menurut al-Qur’an dalam
bingkai ayat-ayat Makiyah, Hikmah dzikir dalam al-Qur’an. Bab ini juga
mengkaji tentang Gangguan Kejiwaan Psikoneurotik, terdiri dari tiga sub anak
bab yaitu: Pengertian tentang psikoneurotik, Faktor penyebab gangguan
psikoneurotik, Macam-macam gangguan psikoneurotik.
Bab keempat. Bab ini berisi analisa sesuai dengan pembahasan pada bab
kedua dan ketiga, yang terdiri dua sub bab yaitu Analisis bimbingan konseling
21
Islam terhadap konsep dzikir dalam al-Qur’an sebagai terapi mental penderita
psikoneurotik yang terdiri dari fungsi dzikir sebagai terapi psikoneurotik,
implementasi konsep dzikir dalam al-Qur’an sebagai terapi mental penderita
psikoneurotik.
Bab kelima. adalah penutup. Bab ini memuat kesimpulan yang
merupakan hasil dari pengkajian dan analisis terhadap mental penderita
psikoneurotik analisis bimbingan konseling Islam. Setelah kesimpulan diikuti
saran-saran, penutup dan lampiran-lampiran serta biodata penulis.