Post on 06-Mar-2019
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Pengendalian Kualitas
Menurut Gasperz (1998, p1) pengendalian kualitas merupakan aktivitas teknik
dan manajemen, tentang bagaimana mengukur karakteristik kualitas dari output (barang
atau jasa) kemudian membandingkan hasil pengukuran tersebut dengan spesifikasi
output yang diinginkan pelanggan, serta mengambil tindakan perbaikan yang tepat
apabila ditemukan perbedaan antara performansi aktual dengan standar.
Pada dasarnya performansi kualitas ditentukan dan diukur berdasarkan
karakteristik kualitas yang terdiri dari beberapa sifat atau dimensi berikut:
1. Fisik : panjang, berat, diameter, tegangan, dan lain-lain.
2. Sensory (berkaitan dengan panca indera) : rasa, penampilan, warna, bentuk,
model, dan lain-lain.
3. Orientasi waktu : keandalan, kemampuan pelayanan, kebutuhan
pemeliharaan, waktu penyerahan produk dan lain-lain.
4. Orientasi biaya : berkaitan dengan dimensi biaya yang menggambarkan
harga atau ongkos dari produk yang harus dibayar konsumen.
Suatu pengukuran performansi kualitas dapat dilakukan pada tiga tingkatan, yaitu
pada tingkat proses, tingkat output, dan tingkat outcome. Pengukuran pada tingkat
proses, mengukur setiap langkah atau aktivitas dalam proses dan karakteristik input yang
diserahkan oleh supplier yang mengendalikan karakteristik output.
2.2 Bahan Baku
Bahan baku merupakan faktor utama di dalam perusahaan untuk menunjang
kelancaran proses produksi, baik dalam perusahaan besar maupun perusahaan kecil.
Dalam hal ini bahan baku adalah sebagai bagian dari aktiva yang meliputi bahan baku,
ataupun barang setengah jadi yang akan mengalami suatu proses produksi.
Agar kegiatan produksi dapat berjalan dengan baik, maka dibutuhkan sistem
pengendalian bahan baku sebagai bagian yang sangat vital dalam perusahaan. Pada
akhirnya sistem pengendalian bahan baku ini harus diselaraskan dengan semua unsur
perusahaan tanpa terkecuali. Pentingnya pengendalian bahan baku dikarenakan dalam
pelaksanaan kegiatan produksi barang membutuhkan bahan baku. Oleh karena itu di
dalam dunia usaha masalah bahan baku merupakan masalah yang sangat penting
(www.skripsi-tesis.com, 2007).
2.3 Penerimaan Sampel (Acceptance Sampling)
2.3.1 Definisi
Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p199), rencana penerimaan sampel
(Acceptance sampling plans) adalah prosedur yang digunakan dalam mengambil
keputusan terhadap produk-produk yang datang atau yang sudah dihasilkan perusahaan.
Sedangkan menurut Reksohadiprodjo, dkk (1986, p256) penerimaan sampel
berarti menerima atau menolak semua produk berdasarkan banyaknya produk yang
rusak dalam sampel. Pemeriksa akan diberitahu berapa yang perlu diperiksa dan berapa
barang rusak yang diperbolehkan, bila sama dengan yang ditentukan atau lebih sedikit
maka semua produk lolos, sedangkan bila jumlahnya lebih maka semua produk ditolak.
Ada tiga metode yang dapat digunakan, yaitu tidak mengadakan inspeksi
terhadap produk tersebut, mengadakan inspeksi 100% terhadap produk tersebut, atau
dengan penerimaan sampel. Penerimaan sampel bukan merupakan alat pengendali
kualitas, namun merupakan alat untuk memeriksa apakah produk atau bahan baku yang
datang ke perusahaan tersebut telah memenuhi spesifikasi. Penerimaan sampel
digunakan sebagai bentuk dari inspeksi antara perusahaan dengan pemasok, antara
pembuat produk dengan konsumen, atau antar divisi dalam perusahaan. Oleh karenanya
penerimaan sampel tidak melakukan pengendalian atau perbaikan kualitas proses,
melainkan hanya sebagai metode untuk menentukan disposisi terhadap produk yang
datang (bahan baku) atau produk yang telah dihasilkan (barang jadi) (Mitra,1993)
2.3.2 Jenis dan Klasifikasi Penerimaan Sampel
Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p201), dalam penerimaan sampel terdapat
dua jenis pengujian yang dapat dilakukan, yaitu :
1. Sebelum pengiriman produk akhir ke pelanggan, yaitu pengujian oleh produsen
yang disebut dengan the producer test the lot for outgoing quality
2. Setelah pengiriman produk akhir ke pelanggan, yaitu pengujian yang dilakukan
oleh konsumen atau disebut dengan the customer test the lot for incoming quality
Selanjutnya penerimaan sampel merupakan proses pembuatan keputusan yang
berdasarkan pada unit-unit sampel dari sejumlah produk yang dihasilkan perusahaan
atau yang dikirim oleh pemasok. Penerimaan sampel dapat dilakukan untuk data atribut
dan variabel, untuk data atribut dilakukan apabila inspeksi mengklasifikasikan tingkat
kesalahan atau cacat produk tersebut (Mitra, 1993). Dalam penerimaan sampel untuk
data variabel, karakteristik kualitas ditunjukkan dalam setiap sampel. Oleh karenanya,
dilakukan pula perhitungan rata-rata sampel dan penyimpangan atau deviasi standar
sampel tersebut. Apabila rata-rata berada diluar jangkauan penerimaan maka produk
tersebut akan ditolak. Selain terbagi menjadi untuk data atribut dan variabel, penerimaan
sampel juga mencakup pengambilan dan perbaikan dan pengambilan atau inspeksi
tanda mengadakan pengembalian atau perbaikan. Klasifikasi lain dalam penerimaan
sampel adalah pada peta teknik pengambilan sampelnya, yaitu sampel tunggal, sampel
ganda, dan sampel banyak. Prosedur pengambilan sampel pasti merupakan sampel
tunggal. Pengambilan sampel ganda berarti apabila sampel yang diambil tidak cukup
memberikan informasi, maka diambil lagi sampel yang lain. Pada pengambilan sampel
banyak, tambahan sampel dilakukan setelah sampel kedua. Menurut Mitra (1993), yang
terbaik dalam prosedur pengambilan sampel adalah pengambilan sampel tunggal, lalu
diikuti sampel ganda, baru kemudian yang terakhir sampel banyak.
Setelah berbagai pengambilan sampel dipahami, yang perlu diperhatikan pula
adalah syarat pengambilan pengambilan produk sebagai sampel, yaitu produk harus
homogen. Homogen yang dimaksud adalah berasal dari mesin yang sama, menggunakan
karyawan yang sama dalam proses, menggunakan input yang sama dan seterusnya.
Selain itu semakin banyak produk yang diambil sebagai sampel akan semakin baik,
walaupun biayanya akan semakin tinggi. Syarat terakhir adalah sampel yang diambil
harus dilakukan secara acak, sehingga semua produk yang ada memiliki kesempatan
yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Selanjutnya setelah semua syarat terpenuhi
maka prosedur yang dilakukan adalah dari sejumlah produk yang sama sejumlah N unit,
diambil sampel secara acak sebanyak n unit. Apabila ditemukan kesalahan (d) sebanyak
maksimun c unit, maka sampel ditolak, yang berarti seluruh produk homogen yang
dihasilkan tersebut juga ditolak.
2.3.3 Prosedur
Menurut Reksohadiprodjo, dkk (1986, p257) prosedur yang ditempuh dalam
proses pengambilan sampel ialah :
1. Menentukan persentase tujuan (objective percent), misalkan 2% atau 0,02
kerusakan
2. Memilih empat angka lain, yaitu :
2.1 Tingkat kualitas yang dapat diterima (acceptable quality level, AQL),
misalkan 1% atau 0,01 kerusakan; AQL ini selalu merupakan tingkat
kualitas yang lebih baik daripada persentase tujuan;
2.2 Pada AQL diperhitungkan juga 5% resiko produsen, α, yang seperti
diketahui artinya adalah keseluruhan barang yang mengandung kerusakan
sama atau lebih kecil daripada AQL dapat diterima 95% dan ditolak 5% dari
kesempatan pemeriksaan yang diadakan;
2.3 Persentase kerusakan keseluruhan barang yang dapat ditenggang (Lot
Tolerance Percent Defective, LTPD) misalkan 3% atau 0,03; konsumen
menginginkan agar rencana pemeriksaan dapat mengetahui dan menolak
keseluruhan barang bila kerusakan 3%
2.4 Resiko konsumen, β, biasanya ditetapkan sebesar 10% yang berarti bahwa
keseluruhan barang dengan kerusakan sebesar 3% ditolak 90% dari
kesempatan atau waktu; barang yang lebih buruk akan tak mendapatkan
kesempatan lolos dari pemeriksaan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengambil sampel adalah
(BestSimpelSystem.com, 2008) :
a. Sampel mengandung satu atau lebih unit produk yang diambil dari suatu lot dan
dipilih secara acak tanpa diketahui kualitasnya. Jumlah unit yang diambil disebut
sebagai ukuran sampel.
b. Apabila memungkinkan, jumlah unit sampel harus dipilih secara proporsi
terhadap jumlah lot sesuai kriteria-kriteria rasional.
c. Sampel dapat diambil setelah seluruh hasil produksi membentuk satu lot, atau
bisa juga diambil selama proses produksi.
Perencanaa sampel yang baik harus mempunyai karakteristik-karakteristik berikut
(BestSimpelSystem.com, 2008).
a. Indeks (AQL ataupun yang lainnya) yang dipilih harus mencerminkan kebutuhan
konsumen dan produsen, dan bukan dipilih semata-mata demi kebutuhan
statistik.
b. Resiko sampling harus diketahui secara kuantitatif (kurva OC = Operating
Characteristic). Produsen harus mempunyai perlindungan yang cukup dari
penolakan produk bagus. Konsumen harus mempunyai perlindungan yang cukup
dari penerimaan produk cacat.
c. Rencana sampel harus meminimalkan seluruh biaya inspeksi produk. Ini
memerlukan evaluasi yang mendalam tentang pemilihan jenis data (variabel atau
atribut) dan jenis penerimaan sampel (tunggal, ganda atau banyak). Juga
merefleksikan prioritas produk dan kegunaannya.
d. Rencana penerimaan sampel harus mempertimbangkan data lain, misalnya
process capability, data supplier, customer claim, dan lainnya.
e. Rencana penerimaan harus fleksibel terhadap perubahan jumlah lot, kualitas
produk dan factor lainnya.
f. Pengukuran atau pengecekan dapat memberikan informasi untuk estimasi
kualitas lot lainnya dalam satu proses.
g. Rencana penerimaan harus cukup mudah untuk dijelaskan dan
didokumentasikan.
Rencana penerimaan menunjukkan jumlah sampel yang akan diinspeksi dari suatu unit
lot lengkap dengan kriteria untuk menentukan apakah lot tersebut diterima atau ditolak.
2.3.4 Keunggulan dan Kelemahan
Keunggulan dan kelemahan dalam acceptance sampling menurut Besterfield
(1998), antara lain :
Keunggulannya
1. Lebih murah
2. Dapat meminimalkan kerusakan dan perpindahan tangan
3. Mengurangi kesalahan dalam inspeksi, dan
4. Dapat memotivasi pemasok bila ada penolakan bahan baku.
Sementara kelemahannya antara lain :
1. Adanya rasio penerimaan produk cacat atau penolakan produk baik
2. Sedikitnya informasi mengenai produk
3. Membutuhkan perencanaan dan pendokumentasian prosedur pengambilan
sampel, dan
4. Tidak adanya jaminan mengenai sejumlah produk tertentu yang akan memenuhi
spesifikasi.
2.3.5 Kurva OC (Operating Characteristic)
2.5.1 Definisi
Di dalam penerimaan sampel digunakan kurva OC yang dapat membantu dalam
menolak barang yang rusak dan menerima barang yang baik. Menurut Dorothea W.
Ariani (2004, p205) kurva OC merupakan kurva probabilitas penerimaan terhadap
produk yang dihasilkan.
Menurut Render, dkk (2001, p131). kurva OC menjelaskan seberapa baik suatu
rencana penerimaan membedakan antara lot yang baik dengan lot yang jelek. Suatu
kurva itu menggambarkan rencana tertentu, yaitu kombinasi dari n (ukuran sampel) dan
c (tingkat penerimaan). Kurva itu ditujukan untuk menunjukan kemungkinan rencana
tersebut menerima lot dengan tingkat mutu yang beragam. Dalam penerimaaan sample,
ada dua pihak yang terlibat, biasanya mencakup produsen dan konsumen. Dalam
menspesifikasinya, setiap pihak ingin menghindari kesalahan keputusan menerima atau
menolak lot, yang bisa menekan biaya. Produsen ingin menghindari kesalahan bahwa
telah menolak lot yang baik (risiko produsen). Hal ini terjadi karena produsen biasanya
bertanggung jawab mengganti produk yang rusak yang ada di lot dan ditolak atau
mengeluarkan biaya mengirim lot baru bagi konsumen. Di pihak lain konsumen ingin
menghindari kesalahan bahwa telah menerima produk yang jelek, karena produk rusak
yang telah diterima dalam lot biasanya merupakan tanggung jawab konsumen (risiko
konsumen). Kurva OC menunjukan bentuk rencana sampling tertentu, termasuk resiko
pengambilan keputusan yang salah.
2.5.2 Titik pada Kurva OC
AQL adalah Acceptance Quality Level yaitu presentase maksimum dari produk
ketidaksesuaian per unit, yang dapat dianggap sebagai rata-rata proses. Penerimaan
sampel atribut berdasarkan AQL adalah dengan mengambil sampel secara acak dari
suatu lot dan setiap unit diklasifikasikan sebagai acceptable (OK) atau defective (NOK).
Jumlah defective ini kemudian dibandingkan dengan suatu angka yang diizinkan dan
dibuat keputusan apakah lot tersebut akan diterima atau ditolak. Biasanya AQL dapat
dinyatakan dalam kontrak dengan supplier. Angka AQL untuk suatu produk tidak harus
sama dengan angka AQL untuk produk lainnya meskipun dari supplier yang sama.
Misalkan produk A lebih kritikal dari produk B, maka angka AQL untuk produk A lebih
kecil dari produk B (BestSimpelSystem.com, 2008).
Menurut Render, dkk (2001, p131) AQL adalah tingkat mutu terendah yang
masih bisa diterima. Lot dapat diterima bila tingkat mutunya sebesar AQL ini. Bila
AQL = 20 buah produk rusak dalam 1000 barang maka AQLnya adalah 20/1000 = 2%
tingkat kerusakan.
LTPD (Lot Tolerace Perfect Defective) atau sering disebut LQL (Limited Quality
Level) adalah tingkat mutu lot yang dianggap jelek. Lot akan ditolak bila tingkat mutu
sebesar LTPD. Bila tingkat disetujui adalah 70 produk rusak dari 1000 unit, maka
LTPDnya adalah 70/1000 = 7% produk cacat.
Untuk membuat rencana sampling, produsen dan konsumen harus
mendefinisikan bukan hanya lot yang baik dan lot yang tidak baik melalui AQL dan
LTPD, tetapi juga harus merinci tingkat resiko.
Resiko produsen (α) adalah kemungkinan menolak lot yang baik. Hal ini adalah
resiko mengambil sampel secara acak sehingga proporsi produk yang cacat lebih tinggi
daripada populasi seluruh seluruh unit. Lot dengan tingkat mutu AQL yang dapat
diterima tetap mempunyai kemungkinan ditolak sebesar α. Rencana sampling seringkali
dirancang untuk menetapkan resiko produsen pada tingkat α = 0,05 atau 5%.
Resiko konsumen (β) adalah kemungkinan menerima lot yang jelek. Hal ini
adalah resiko mengambil sampel acak yang menyebabkan kita melihat proporsi cacat
yang lebih rendah dari keseluruhan unit populasi. Nilai umum dari resiko konsumen
dalam rencana sampling adalah β = 0,10 atau 10%. Dalam statistik, kemungkinan
menolak lot yang baik disebut kesalahan tipe I. kemungkinan menerima lot yang buruk
disebut kesalahan tipe II. Kedua pasang α, AQL dan β, LQL dapat menentukan dua titik
pada kurva OC, kedua titik ini telah menentukan keseluruhan kurva OC dan juga nilai
yang dicari untuk n dan c. Dengan demikian kedua titik pada kurva menetapkan rencana
pengambilan sampel tertentu.
2.5.3 Penggunaan Kurva OC
Untuk menggambarkan kurva ini diperlukan rumus Pa = P (d ≤ c) dimana Pa
adalah probabilitas penerimaan, c adalah cacat produk yang disyaratkan, dan d adalah
jumlah cacat yang terjadi. Kurva ini dibuat dengan mencari hubungan antara probabilitas
penerimaan (Pa) dengan bagian kesalahan dalam produk yang dihasilkan. (p).
Pa = P (d ≤ c)
∑∑=
−
=
−−
==c
0d
dndc
0dp)(1p
d)!(nd!n!p(d)Pa
Untuk selanjutnya, perhitungan probabilitas penerimaan dapat digunakan Tabel
Distribusi Poisson. Apabila tidak ditemukan nilai probabilitasnya karena keterbatasan
nilai np, maka dapat digunakan cara interpolasi. Kurva OC yang seringkali ditemui
menyerupai kurva S. Berikut ini adalah contoh kurva OC yang dapat dilihat pada tabel
2.1 dan gambar 2.1.
Diketahui N= 2000, n = 50, c = 2
Tabel 2.1 Contoh Perhitungan Kurva OC
d Proporsi Kesalahan np 0 1 2 Pa
0,01 0,5 0,605 0,306 0,076 0,986 0,02 1 0,364 0,372 0,186 0,922 0,03 1,5 0,218 0,337 0,256 0,811 0,04 2 0,130 0,271 0,276 0,677 0,05 2,5 0,077 0,202 0,261 0,541 0,06 3 0,045 0,145 0,226 0,416 0,07 3,5 0,027 0,100 0,184 0,311 0,08 4 0,015 0,067 0,143 0,226 0,09 4,5 0,009 0,044 0,107 0,161 0,1 5 0,005 0,029 0,078 0,112 0,11 5,5 0,003 0,018 0,055 0,076 0,12 6 0,002 0,011 0,038 0,051 0,13 6,5 0,001 0,007 0,026 0,034 0,14 7 0,001 0,004 0,017 0,022 0,15 7,5 0,000 0,003 0,011 0,014
Sumber : Ariani (2004)
Maka kurva OC pada kasus diatas dapat digambarkan seperti pada gambar 2.1
Sumber : Ariani (2004)
Gambar 2.1 Contoh Kurva OC
Dari kurva OC tersebut ada dua hal yang dapat dilihat, yaitu AQL yang merupakan
kualitas konsumen terburuk yang akan diterima sebagai rata-rata proses dan LQL yang
merupakan kualitas konsumen terburuk yang akan diterima pada unit tertentu yang lebih
tinggi daripada AQL. LQL sering disebut dengan LTPD (Lot Tolerance Percent
Defective) atau RQL (Rejectable Quality Level). Dalam kurva OC, apabila Pa = 1- α
untuk unit produk maka proporsi kesalahan = p1 dan apabila Pa = β untuk unit produk
maka proporsi kesalahan = p2.
2.3.6 Kurva AOQ (Average Outgoing Quality)
Menurut Dorothea W. Ariani (2004, p212) AOQ adalah tingkat kualitas rata-rata
dari suatu departemen inspeksi. Di sini sampel yang diambil harus dikembalikan untuk
mendapatkan perbaikan bila produk tersebut rusak atau cacat. AOQ mengukur rata-rata
tingkat kualitas output dari suatu hasil produksi yang banyak dengan proporsi kerusakan
sebesar p. Apabila N adalah banyaknya unit yang dihasilkan dan n sebagai unit sampel
yang diinspeksi. Sementara p adalah bagian kesalahan atau ketidaksesuaian dan Pa
merupakan probabilitas penerimaan produk tersebut, maka rumus yang digunakan
adalah :
N)nN(pPaAOQ −×
=
Kurva ini memiliki titik puncak yang disebut dengan AOQL (Average Outgoing
Quality Limit). AOQL tersebut menunjukan kualitas rata-rata terburuk yang akan
meninggalkan bagian pengujian atau inspeksi dengan asumsi dilakukan pengambilan
untuk perbaikan tanpa mempedulikan kualitas produk yang datang. Pada titik itulah
mulai dilakukan perbaikan. AOQL jika mengukur kebaikan perencanaan sampel. Contoh
pembuatan kurva AOQ dapat dilihat pada tabel 2.2 dan gambar 2.2.
Tabel 2.2 Contoh Perhitungan Kurva AOQ
Proporsi Kesalahan Pa AOQ
0,01 0,986 0,0096 0,02 0,922 0,0180 0,03 0,811 0,0237 0,04 0,677 0,0264 0,05 0,541 0,0264 0,06 0,416 0,0243 0,07 0,311 0,0212 0,08 0,226 0,0176 0,09 0,161 0,0141 0,1 0,112 0,0109 0,11 0,076 0,0082 0,12 0,051 0,0060 0,13 0,034 0,0043 0,14 0,022 0,0030 0,15 0,014 0,0020
Sumber : Ariani (2004)
Sumber : Ariani (2004)
Gambar 2.2 Contoh Kurva AOQ
2.4 Evaluasi Kinerja Supplier
2.4.1 Definisi
Kinerja supplier perlu dimonitori secara kontinyu. Penilaian kinerja ini penting
sebagai bahan evaluasi yang nantinya bisa digunakan untuk meningkatkan kinerja
supplier atau sebagai bahan pertimbangan perlu tidaknya mencari suppplier alternatif.
Pada situasi dimana perusahaan memiliki lebih dari satu supplier untuk suatu sistem
tertentu, hasil evaluasi juga bisa dijadikan dasar dalam mengalokasi pesanan dimasa
depan. Tentunya beralasan bahwa supplier yang lebih bagus akan mendapat pesanan
lebih banyak. Dengan sistem tersebut supplier akan terpacu untuk meningkatkan kinerja
mereka.
Kriteria yang digunakan untuk memilih supplier bisa digunakan untuk menilai
kinerja supplier hanya saja perlu dibedakan. Penilaian kinerja supplier lebih pada hal-hal
seperti kualitas, ketepatan waktu, fleksibilitas, dan harga yang ditawarkan selama satu
periode tertentu.
2.4.2 Kriteria
Menurut I Nyoman Pujawan (2005, p146), memilih atau mengevaluasi supplier
merupakan kegiatan strategis terutama apabila supplier tersebut akan memasok item
yang kritis atau akan digunakan dalam jangka panjang sebagai supplier penting. Kriteria
pemilihan adalah salah satu hal penting dalam pemilihan supplier. Kriteria yang
digunakan tentunya harus mencerminkan strategi supply chain maupun karakteristik dari
item yang akan dipasok. Secara umum banyak perusahaan yang menggunakan kriteria-
kriteria dasar seperti kualitas barang yang ditawarkan, harga, dan ketepatan waktu
pengiriman. Namun terkadang pemilihan supplier membutuhkan berbagai kriteria lain
yang dianggap penting oleh perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Dickson selama
hampir 40 tahun yang lalu menunjukan bahwa kriteria pemilihan supplier bisa sangat
beragam. Tabel 2.3 menunjukan 22 kriteria yang diidentifikasikan oleh Dickson. Angka
pada kolom kedua menunjukan tingkat kepentingan dari masing-masing kriteria
berdasarkan kumpulan jawaban dari survey yang direspon 170 manajer pembelian di
Amerika Serikat. Namun tentu saja setiap perusahaan harus menentukan sendiri kriteria
yang digunakan dalam memilih supplier. berikut ini adalah kriteria yang digunakan
untuk proses memilih atau evaluasi kinerja supplier-supplier mereka :
• Banyaknya technical supports yang akan diberikan
• Banyaknya ide-ide inovatif
• Kemampuan supplier untuk berkomunikasi secara efektif untuk isu-isu penting
• Fleksibilitas yang ditunjukan oleh supplier
• Cycle time dan kecepatan respon
• Kemiripan tujuan dengan supplier
• Tingkat kepercayaan yang ada antara perusahaan dengan supplier
• Kekuatan hubungan pada berbagai dimensi
• Syarat-syarat finansial
• Pengalaman masa lampau bersama supplier
Tabel 2.3 Kriteria Pemilihan atau Evaluasi Supplier
Kriteria Skor Kualitas 3.5 Delivery 3.4 Performance history 3.0 Warranties and claim policies 2.8 Price 2.8 Technical capability 2.8 Financial position 2.5
Tabel 2.3 Kriteria Pemilihan atau Evaluasi Supplier (lanjutan)
Kriteria Skor Procedural compliance 2.5 Communication system 2.5 Reputation and position in industry 2.4 Desire of business 2.4 Management and organization 2.3 Operating controls 2.2 Repair service 2.2 Attitude 2.1 Impression 2.1 Packaging ability 2.0 Labor relation records 2.0 Geographical location 1.9 Amount of past business 1.6 Training aids 1.5 Reciprocal arrangements 0.6
Sumber : Dickson (1966) 2.4.3 Prosedur
Setelah kriteria ditetapkan dan beberapa kandidat supplier diperoleh maka
perusahaan harus melakukan pemilihan atau evaluasi. Dalam proses evaluasi perusahaan
mungkin harus melakukan perangkingan untuk menentukan mana supplier dengan
urutan tertinggi yang akan dijadikan supplier utama dan mana yang dijadikan supplier
cadangan. Salah satu metode yang cukup lumrah digunakan dalam merangking alternatif
berdasarkan beberapa kriteria yang ada adalah metode Analytical Hierarchy Process
(AHP). Bagian ini menjelaskan bagaimana aplikasi untuk merangking supplier,
prosesnya diringkas sebagai berikut :
Langkah 1
Manajer mengidentifikasi semua supplier potensial yang menjual item yang
dibeli perusahaan.
Langkah 2
Tentukan kriteria-kriteria evaluasi dengan membuat daftar berisi atribut-atribut
untuk dievaluasi pada tiap supplier.
Langkah 3
Manajemen memutuskan pentingnya tiap atribut bagi perusahaan dengan
menentukan bobot masing-masing kriteria. Proses pemberian bobot untuk
masing-masing kriteria dan sub kriteria akan dilakukan oleh manajer fungsional
(produksi, pengadaan, teknik, pemasaran, dan keuangan). Bobot bisa diberikan
secara terpisah kemudian digabungkan, atau diberikan secara bersama-sama
melalui proses konsensus. Pada model AHP, pemberian bobot dilakukan dengan
perbandingan berpasangan. Langkah-langkah untuk memperoleh bobot, yaitu
dengan melengkapi matriks dibawah diagonal dengan kebalikan yang diatasnya,
mencari jumlah tiap kolom, membagi nilai-nilai tersebut dengan jumlah kolom,
dan merata-ratakan ke samping.
Langkah 4
Tahap selanjutnya adalah mengevaluasi supplier dari setiap aspek diatas. Pada
dasarnya penilaian dilakukan pada tingkat sub kriteria. Nilai tiap kriteria akan
diperoleh dengan melakukan agregasi nilai berbobot dari masing-masing sub
kriteria yang bersangkutan. Disini merupakan tahap membandingkan baik
tidaknya supplier pada suatu aspek kriteria dengan menggunakan langkah yang
sama persis dengan langkah mendapatkan bobot diatas.
Langkah 5
Langkah terakhir adalah membuat ukuran gabungan tertimbang tiap atribut.
Caranya dengan mengalikan skor supplier untuk sebuah atribut dengan
kepentingan atribut. Penambahan dari gabungan angka untuk tiap supplier
menunjukan skor keseluruhan yang dapat dibandingkan dengan supplier lainnya.
Semakin tinggi gabungan angka, maka semakin dekat pula pertemuan supplier
dengan kebutuhan dan spesifikasi perusahaan.
2.5 AHP (Analytical Hierarchy Process)
2.5.1 Definisi
Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah salah satu bentuk metode
pengambilan keputusan yang pada dasarnya berusaha menutupi semua kekurangan dari
metode sebelumnya. Metode ini memiliki kemampuan memecahkan masalah yang
multi-objektif dan multi-kriteria yang berdasar pada perbandingan referensi dari setiap
elemen dalam hirarki. Jadi, model ini merupakan suatu model pengambilan keputusan
yang komprehensif (http://custombike.erudeye.net/Methods.aspx).
Menurut Marshall dan Oliver (1993, p278) AHP adalah sebuah metode yang
dikembangkan untuk merangkingkan beberapa alternatif keputusan secara matematis.
Tujuan utamanya adalah untuk menentukan bobot dari masing-masing atribut melalui
perbandingan berpasangan, serta menetukan bobot dari setiap alternatif keputusan
terhadap masing-masing atribut dengan menggunakan berbandingan berpasangan.
Sedangkan menurut Taylor III (2005, p17) proses analisis bertingkat (analytical
hierarchy process - AHP) yang dikembangkan oleh Thomas Saaty merupakan metode
untuk membuat urutan alternatif keputusan dan memilih yang terbaik pada saat
pengambilan keputusan memiliki beberapa tujuan, atau kriteria, untuk mengambil
keputusan tertentu.
AHP merupakan proses untuk menghitung nilai angka untuk merangking tiap
alternatif keputusan berdasarkan sejauh mana alternatif tersebut memenuhi kriteria
pembuat keputusan.
2.5.2 Langkah dan Prosedur
Berikut adalah ringkasan dari tahap matematis yang digunakan untuk membuat
rekomendasi keputusan berdasarkan AHP (Taylor III, 2005, p19) :
1. Mengembangkan matriks perbandingan pasangan untuk tiap alternatif
keputusan berdasarkan tiap kriteria.
Pada AHP pengambilan keputusan menentukan nilai atau skor tiap alternatif
untuk satu kriteria menggunakan perbandingan pasangan. Pada perbandingan
pasangan pembuat keputusan membandingkan dua alternatif berdasarkan suatu
kriteria tertentu dan mengindikasikan suatu preferensi. Perbandingan ini
dilakukan dengan menggunakan skala preferensi yang memberikan angka
numerik untuk tiap tingkat preferensi. Standar skala preferensi yang digunakan
AHP diperlihatkan pada tabel 2.4
Tabel 2.4 Skala Preferensi untuk Perbandingan Pasangan
Nilai Skala Tingkat Preferensi Kriteria A Kriteria B B/A
A sama pentingnya dengan B 1 1 1 A sedikit lebih penting dari B 3 1 1/3 A secara signifikan lebih penting dari B 5 1 1/5 A jauh lebih penting dari B 7 1 1/7 A secara absolute lebih penting dari B 9 1 1/9
Sumber : Pujawan (2005)
Matriks perbandingan pasangan memiliki jumlah baris dan kolom yang sesuai
dengan alternatif keputusan.
Tabel 2.5 Perbandingan Berpasangan Alternatif untuk Suatu Kriteria
Alternatif A1 A2 A3 ….. An
A1 a11 a12 a13 ….. a1n
A2 a21 a22 a23 ….. a2n
A3 a31 a32 a33 ….. a3n
…. …. …. …. …. ….
An an1 an2 an3 ….. annSumber : Taylor (2005) dan Rangkuman Penulis
An adalah alternatif yang akan dibandingkan dengan alternatif yang lain. a12
adalah hasil perbandingan alternatif A1 dengan alternatif A2, berarti nilai a21
merupakan kebalikan dari nilai a12.
2. Mengembangkan preferensi dalam kriteria
Langkah berikutnya dalam AHP adalah membuat prioritas alternatif keputusan
dalam tiap kriteria. Tahap dalam AHP ini disebut sintesis, tahapan dalam
menentukan skor preferensi adalah :
a. Menjumlahkan nilai pada tiap kolom pada matriks perbandingan pasangan.
Tabel 2.6 Menjumlahkan Nilai tiap Kolom
Alternatif A1 A2 A3 ….. An
A1 a11 a12 a13 ….. a1n
A2 a21 a22 a23 ….. a2n
A3 a31 a32 a33 ….. a3n
…. …. …. …. …. …. An an1 an2 an3 ….. ann
Total SA1 SA2 SA3 ….. SAnSumber : Taylor (2005) dan Rangkuman Penulis
b. Membagi nilai tiap kolom dalam matriks perbandingan pasangan dengan
jumlah kolom yang bersangkutan yang disebut matriks normalisasi.
Tabel 2.7 Normalisasi Perbandingan Berpasangan
A1 A2 A3 ….. An
A1 a11/SA1 a12/SA2 a13/SA3 ….. a1n/SAn
A2 a21/SA1 a22/SA2 a23/SA3 ….. a2n/SAn
A3 a31/SA1 a32/SA2 a33/SA3 ….. a3n/SAn
…. …. …. …. …. …. An an1/SA1 an2/SA2 an3/SA3 ….. ann/SAn
Sumber : Taylor (2005) dan Rangkuman Penulis
c. Hitung nilai rata-rata tiap baris pada matriks normalisasi yang disebut vektor
preferensi. Pada titik ini nilai pecahan dikonvesrsi terhadap matriksmenjadi
nilai desimal, preferensi ini dapat ditulis sebagai suatu preferensi matriks
dengan satu kolom yang disebut vektor.
Tabel 2.8 Merata-ratakan setiap baris
A1 A2 A3 ….. An Rata-rata A1 a11/SA1 a12/SA2 a13/SA3 ….. a1n/SAn AV1
A2 a21/SA1 a22/SA2 a23/SA3 ….. a2n/SAn AV2
A3 a31/SA1 a32/SA2 a33/SA3 ….. a3n/SAn AV3…. …. …. …. …. …. …. An an1/SA1 an2/SA2 an3/SA3 ….. ann/SAn AVn
Sumber : Taylor (2005) dan Rangkuman Penulis
AVn merupakan rata-rata dari setiap baris n.
d. Gabungkan vektor preferensi untuk tiap kriteria menjadi matriks preferensi
yang memperlihatkan preferensi tiap lokasi berdasarkan tiap kriteria.
Tabel 2.9 Matriks Preferensi Kriteria
Kriteria K1 K2 K3 ….. Kn
A1 AV11 AV12 AV13 ….. AV1n
A2 AV21 AV22 AV23 ….. AV2n
A3 AV31 AV32 AV33 ….. AV3n
…. …. …. …. …. …. Alte
rnat
if
An AVn1 AVn2 AVn3 ….. AVnnSumber : Taylor (2005) dan Rangkuman Penulis
Kn merupakan jenis-jenis kriteria, setiap kriteria memiliki nilai vektor yang
berbeda dari hasil perbandingan pasangan yang berbeda pula.
3. Membuat matriks perbandingan pasangan untuk tiap kriteria.
Tahap berikut pada AHP adalah menentukan tingkat kepentingan atau bobot dari
kriteria, yaitu merangking kriteria dari yang paling penting hingga kurang
penting. Hal ini dilakukan dengan cara serupa seperti merangking alternatif di
setiap kriteria dengan menggunakan perbandingan berpasangan.
Tabel 2.10 Perbandingan Berpasangan kriteria
Kriteria K1 K2 K3 ….. Kn
K1 k11 k12 k13 ….. k1n
K2 k21 k22 k23 ….. k2n
K3 k31 k32 k33 ….. k3n
…. …. …. …. …. ….
Kn kn1 kn2 kn3 ….. knnSumber : Taylor (2005) dan Rangkuman Penulis
4. Menghitung matriks normalisasi dengan membagi tiap nilai pada masing-
masing kolom matriks dengan jumlah kolom yang terkait.
Langkah berikutnya sama seperti mengembangkan preferensi dalam kriteria atau
yang disebut sintesis, perbedaannya hanya ada pada perbandingan berpasangan.
5. Membuat vektor preferensi dengan menghitung rata-rata baris pada
matriks normalisasi.
6. Hitung skor keseluruhan untuk tiap alternatif keputusan dengan
mengalihkan vektor preferensi kriteria (dari langkah lima) dengan matriks
kriteria (dari langkah 2d)
Skor keseluruhan untuk tiap lokasi ditentukan dengan mengalikan nilai pada
vektor preferensi kriteria dengan matriks kriteria sebelumnya dan menjumlahkan
hasilnya dengan rumus sebagai berikut.
Tabel 2.11 Perhitungan Skor atau Pembobotan
Kriteria Kriteria K1 K2 K3 ….. Kn
A1 AV11 AV12 AV13 ….. AV1n K1 WK1
A2 AV21 AV22 AV23 ….. AV2n X K2 WK2
A3 AV31 AV32 AV33 ….. AV3n K3 WK3…. …. …. …. …. …. …. WK4A
ltern
atif
An AVKn1 AVKn2 AVKn3 ….. AVKnn Kn WK5Sumber : Taylor (2005) dan Rangkuman Penulis
Skor A1 = WK1(AV11) + WK2(AV12) + WK3(AV13) + ………WKn(AV1n)
Skor A2 = WK1(AV21) + WK2(AV22) + WK3(AV23) + ………WKn(AV2n)
Skor A3 = WK1(AV31) + WK2(AV32) + WK3(AV33) + ………WKn(AV2n)
Skor An = WK1(AVn1) + WK2(AVn2) + WK3(AVn3) + ………WKn(AVnn)
7. Rangking alternatif keputusan berdasarkan nilai alternatif yang dihitung
pada langkah 6.
2.5.3 Konsistensi AHP
Menurut Taylor III (2005, p24) AHP dilakukan berdasarkan perbandingan
berpasangan yang digunakan pengambilan keputusan untuk menetapkan preferensi
antara alternatif keputusan untuk berbagai kriteria. Dalam hal ini validasi dan
konsistensi pernyataan penting, preferensi yang dibuat untuk satu perbandingan
pasangan harus konsisten dengan perbandingan pasangan yang lain. Inkonsistensi dapat
terjadi apabila pengambil keputusan membuat pernyataan lisan mengenai berbagai
perbandingan pasangan. Nilai suatu indeks konsistensi (consistency index - CI) dapat
dihitung untuk mengukur tingkat inkonsistensi dalam perbandingan pasangan.
Perhitungan indeks konsistensi (CI) dimulai dengan menghitung perbandingan
berpasangan kriteria dikalikan dengan bobot kriterianya seperti pada tabel 2.12.
Tabel 2.12 Perkalian Matriks berpasangan dengan Bobot Kriteria
Kriteria kriteria K1 K2 K3 ….. Kn
K1 k11 k12 k13 ….. k1n WK1
K2 k21 k22 k23 ….. k2n X WK2
K3 k31 k32 k33 ….. k3n WK3
…. …. …. …. …. …. …. Kn kn1 kn2 kn3 ….. knn WKn
Sumber : Taylor (2005) dan Rangkuman Penulis
Hasil dari perkalian martiks dan bobot kriteria (Un) adalah sebagai berikut.
k11(WK1) + k12(WK2) + k13(WK3) + k1n(WKn) = U1
k21(WK1) + k22(WK2) + k23(WK3) + k2n(WKn) = U2
k31(WK1) + k32(WK2) + k33(WK3) + k1n(WKn) = U3
kn1(WK1) + kn2(WK2) + kn3(WK3) + knn(WKn) = Un
Berikutnya, masing-masing nilai Un ini dibagi dengan bobot terkait kemudian hasilnya
dirata-rata, sebut saja hasil rata-ratanya V.
U1/ WK1 + U2/ WK2 + U3/ WK3 + Un/ WKn
n
indeks konsistensi, CI dihitung dengan rumus : 1nn
−−λ
dimana n = jumlah item yang dibandingkan
λ = nilai rata-rata yang dihitung sebelumnya
Jika CI = 0, maka pengambilan keputusan dikatakan sangat konsisten. Namun umumnya
perusahaan tidak sepenuhnya konsisten, maka tingkat konsistensi ynag dapat diterima
ditentukan dengan membandingkan CI terhadap indeks acak (random index - RI), yang
merupakan indeks konsistensi dari matriks perbandingan yang dibuat secara acak. Nilai
RI seperti pada tabel 2.13. Tergantung dari jumlah item (n), yang dibandingkan.
Tabel 2.13 Nilai RI untuk Perbandingan n Item
n 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
RI 0 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51
Sumber : Taylor III (2005)
Tingkat konsistensi atas perbandingan pasangan pada matriks kriteria keputusan
ditentukan dengan menghitung rasio CI terhadap RI.
Secara umum, tingkat konistensi dikatakan memuaskan jika CI/RI < 0,10, jika CI/RI >
0,10, maka kemungkinan terdapat inkonsistensi yang serius dan hasil AHP mungkin
tidak berarti.
2.5.4 Penilaian Perbandingan Multipartisipan
Dalam menentukan keputusan penilaian melibatkan banyak responden yang
memberikan pendapat yang berbeda-beda. Namun perhitungan AHP hanya
membutuhkan satu matriks perbandingan berpasangan. Maka untuk menyatukan semua
pendapat responden digunakan metode perataan geomertis (Geometric Average).
Dengan rumus aij = nn
21 k.....kk ××
Dimana, aij = nilai skala pada baris i kolom j
kn = nilai perbandingan
n = jumlah responden
rumus tersebut menyatakan bahwa bila terdapat n responden melakukan perbandingan
berpasangan, maka untuk mendapat suatu nilai tertentu, masing-masing nilai harus
dikalikan satu sama lain sesuai kolom dan baris yang sama, kemudian hasil hasil
perkalian tersebut dipangkatlan dengan 1/n.
2.6 Portofolio Supplier Relationship
Menurut I Nyoman Pujawan (2004, p157), salah satu yang menjadi tugas penting
bagian pengadaan adalah menciptakan hubungan yang proporsional dengan supplier.
Hubungan yang proporsional adalah hubungan yang secara tepat mencerminkan
kepentingan tiap-tiap supplier. Untuk menciptakan model hubungan tersebut,
perusahaan perlu membuat klasifikasi supplier berdasarkan berbagai kriteria yang
relevan. Berikut ini diperkenalkan suatu portfolio yang bisa digunakan sebagai patokan
umum dalam melakukan diferensiasi hubungan dengan supplier yang memiliki tingkat
kepentingan yang berbeda-beda bagi perusahaan. Ada dua faktor yang bisa digunakan
dalam merancangan hubungan dengan supplier. Yang pertama adalah tingkat
kepentingan strategis item yang dibeli oleh perusahaan karena semakin strategis posisi
suatu item dalam perusahaan, maka semakin diperlukan hubungan yang dekat dan
berorientasi jangka panjang dengan supplier tersebut. Strategis tidaknya suatu item
dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut :
1. Kontribusi item terhadap kegiatan atau kompetensi inti perusahaan
2. Nilai pembelian
3. Image atau brand name dari supplier
4. Resiko ketidaktersediaan item yang bersangkutan
Faktor yang kedua adalah tingkat kesulitan mengelola pembellian item tersebut.
Semakin tinggi tingkat kesulitannya, semakin banyak diperlukan inventaris dari
manajemen. Secara umum tingkat kesulitan mengelola pembelian suatu item ditentukan
oleh beberapa hal seperti :
1. Kompleksitas dan keunikan item
2. Kemampuan supplier dalam memenuhi permintaan
3. Ketidakpastian (ketersediaan, kualitas, harga, waktu pengiriman)
Tinggi Bottleneck suppliers Critical strategic suppliers Sulit mencari substitusi Penting atau strategis Pasar monopoli substitusi sulit Supplier baru sulit masuk
Non-critical suppliers Leverage suppliers Ketersediaan cukup Ketersediaan cukup Item-item cukup standar Substitusi dimungkinkan
Tin
gkat
Kes
ulita
n
Substitusi dimungkinkan Nilainya relatif tinggi Rendah Nilainya relatif rendah Rendah Tinggi Tingkat Kepentingan
Sumber : Pujawan (2004) Gambar 2.3 Commodity Portfolio Matrix
Dengan menggunakan dua faktor tersebut, kita bisa mendapatkan empat
klasifikasi supplier seperti terlihat pada gambar 2.3. Supplier yang diklasifikasikan
sebagai non-critical suppliers memiliki tingkat kepentingan dan kesulitan rendah serta
relatif mudah untuk ditangani. Sebaliknya critical strategic suppliers adalah mereka
yang memasok barang atau jasa dengan nilai yang besar dan barang atau jasa tersebut
kritis bagi perusahaan dengan tingkat kesulitan dan kepentingan yang tinggi. Pada
bagian kiri atas adalah bottleneck suppliers dimana mereka merupakan supplier dengan
tingkat kesulitan yang tinggi dan tingkat kepentingan yang rendah. Sedangkan
klasifikasi terakhir yaitu leverage suppliers merupakan kebalikan dari bottleneck
suppliers dimana supplier-supplier tersebut memasok item dengan tingkat kepentingan
yang tinggi bagi perusahaan namun relatif mudah diperoleh karena spesifikasinya yang
standar dan memiliki banyak supplier yang dapat memasoknya.
2.6.1 Non-Critical Suppliers
Supplier jenis ini merupakan supplier yang memiliki tingkat kepentingan rendah
dan relatif mudah untuk ditangani. Barang-barang yang relatif standar, ketersedaiaannya
cukup, mudah dicari substitusinya, dan nilainya relatif rendah merupakan ciri-ciri dari
supplier ini. Perlakuan atau model hubungan untuk supplier yang termasuk non-critical
suppliers, fokus manajemen hendaknya pada penyederhanaan proses pembelian dengan
member otoritas bagi tingkat manajemen yang lebih rendah untuk mengambil keputusan
pembelian dan mengurangi proses-proses yang memakan waktu dan biaya. Karena item-
item yang dipasok biasanya relatif standard dan tidak bernilai strategis, kriteria utama
dalam keputusan pembelian adalah harga per unit.
2.6.2 Critical Strategic Suppliers
Kebalikan dari non-critical suppliers, critical strategic suppliers adalah mereka
yang memasok barang atau jasa dengan nilai yang besar dan barang atau jasa tersebut
kritis bagi perusahaan. Perlakuan atau model hubungan terhadap masing-masing
supplier tentunya berdeda. Mudah dipahami bahwa model hubungan yang bersifat
kemitraan dengan orientasi jangka panjang tidak akan cocok untuk semua jenis supplier.
Hubungan yang bersifat jangka panjang membutuhkan investasi bersama dari pihak
perusahaan maupun supplier. Hal ini hanya rasional dilakukan untuk critical strategic
suppliers karena investasi pada kelompok ini perlu dilakukan agar supplier dapat
memasok barang dan jasa dengan kualitas yang lebih baikdan pengiriman yang lebih
tepat waktu.
2.6.3 Bottleneck Suppliers
Bottleneck suppliers merupakan pemasok item-item yang sebenarnya tidak
terlalu penting bagi perusahaan dan nilai transaksinya juga relatif rendah, namun barang
atau jasa tersebut tidak mudah diperoleh. Ini mungkin disebabkan karena supplier
barang atau jasa tersebut relatif sedikit sedangkan yang membutuhkan banyak.
Perlakuan model hubungan yang dilakukan perusahaan pada kelompok ini adalah
dengan menaruh perhatian yang signifikan, karena ketidak tersediaan item-otem yang
dipasok akan menjadi penghambat. Biasanya ketidaktersediaan yang rendah diakibatkan
tidak banyak supplieryang mau memasok item tersebut. Alasanya bisa karena secara
alamiah barang tersebut tidak mudah diperoleh atau karena tidak banyak nilai
ekonomisnya bagi supplier sehingga tidak banyak yang berminat untuk memproduksi
atau memasoknya. Terhadap supplier-supplier seperti ini perusahaan bisa meningkatkan
standarisasi atau penyederhaan spesifikasi barang atau jasa sehingga dapat lebih mudah
diperoleh.
2.6.4 Leverage Suppliers
Klasifikasi terakhir ini merupakan kebalikan dari bottleneck suppliers. Yang
termasuk ke dalam leverage adalah supplier yang relatif mudah untuk dikelola karena
banyak pemasok yang berkompeten, item-item yang dipasok bisa disubstitusi dan
ketersediaannya cukup. Oleh karena itu biasanya perusahaan memiliki posisi tawar yang
bagus. Fokus manajemen seharusnya adalah mempertahankan posisi tawar tersebut.
Pada kasus tertentu mungkin perusahaan dapat mengubah model hubungan kemitraan
jangka panjang, namun hal itu hanya perlu dilakukan bila ada potensi perbaikan yang
cukup signifikan.
Masing-masing klasifikasi supplier diatas memiliki perlakuan atau model
hubungan yang berbeda. Pada gambar 2.4 terdapat ringkasan fokus manajemen dari
setiap kategori tersebut yang dibuat dalam bentuk matriks.
Tinggi Bottleneck supplier Critical strategic supplier Penyederhanaan atau Strategi partnership, fokus standarisasi item keunggulan strategis Non-critical supplier Leverage supplier Simplifikasi proses, fokus Pelihara kekuatan tawar ke harga per unit menawar terhadap supplier
Tin
gkat
Kes
ulita
n
Rendah Rendah Tinggi Tingkat Kepentingan Sumber : Pujawan (2004)
Gambar 2.4 Fokus Manajemen untuk Setiap Kelompok