Post on 04-Mar-2019
8
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Manajemen Sumber Daya Manusia
2.1.1 Pengertian Manajemen Sumber daya Manusia
Menurut Gary Dessler (2011), manajemen sumber daya manusia adalah
kebijakan dan praktik menentukan aspek “manusia” atau sumber daya manusia
dalam posisi manajemen, termasuk merekrut, menyaring, melatih, memberi
penghargaan, dan penilaian.
Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2006) mendefinisikan manajemen
sumber daya manusia merupakan rancangan sistem-sistem formal dalam sebuah
organisasi untuk memastikan penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien
guna mencapai tujuan-tujuan organisasional.
Sedangkan menurut Stephen P. Robbins & Mary Coulter (2009),
manajemen sumber daya manusia adalah mengenai penggunaan karyawan secara
organisasional untuk mendapatkan atau memelihara keunggulan kompetitif
terhadap para pesaing.
Jadi, berdasarkan pendapat para ahli diatas manajemen sumber daya
manusia adalah suatu ilmu dan seni dalam bagaimana cara mengatur hubungan
dan peranan sumber daya (tenaga kerja) yang dimiliki oleh tiap individu secara
efisien dan efektif serta dapat digunakan secara maksimal sehingga tujuan
perusahaan dapat tercapai.
2.2 Motivasi
2.2.1 Pengertian Motivasi
Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2006), motivasi adalah
keinginan dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut bertindak.
Orang biasanya bertindak karena satu alasan yaitu untuk mencapai tujuan.
Menurut Munandar (2008), motivasi adalah suatu proses dimana
kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang melakukan serangkaian kegiatan yang
mengarah kepada tercapainya tujuannya tertentu.
9
Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge (2008) mendefinisikan motivasi
sebagai proses yang menjelaskan intensitas, arah dan ketekunan usaha untuk
mencapai suatu tujuan.
Sedangkan menurut George and Jones (2005), motivasi kerja adalah suatu
kekuatan psikologis di dalam diri seseorang yang menentukan arah perilaku
seseorang di dalam organisasi, tingkat usaha, dan kegigihan di dalam menghadapi
rintangan.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
motivasi adalah merupakan dorongan psikologis dari dalam diri seseorang atau
individu untuk melakukan sesuatu terhadap tugas dan tanggung jawabnya guna
mencapai tujuan.
2.2.2 Teori Motivasi Herzberg’s (Two-Factor Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Frederick Herzberg dalam Robbins (2008)
dengan asumsi bahwa hubungan seorang individu dengan pekerjaan adalah
mendasar dan bahwa sikap individu terhadap pekerjaan bisa sangat baik
menentukan keberhasilan atau kegagalan.
Herzberg memandang bahwa kepuasan kerja berasal dari keberadaan faktor
intrinsik dan ketidakpuasan kerja berasal dari ketidakberadaan faktor-faktor
ekstrinsik. Faktor-faktor ekstrinsik (hygiene factors) meliputi : (1) Upah, (2)
Kondisi kerja, (3) Keamanan kerja, (4) Status, (5) Prosedur perusahaan, (6) Mutu
penyeliaan, (7) Mutu hubungan interpersonal antar sesama rekan kerja, atasan, dan
bawahan
Sedangkan faktor intrinsik atau yang biasa disebut dengan motivators
meliputi : (1) Pencapaian prestasi, (2) Pengakuan, (3) Tanggung Jawab, (4)
Kemajuan, (5) Pekerjaan itu sendiri, (6) Kemungkinan berkembang. Tidak adanya
kondisi-kondisi ini bukan berarti membuktikan kondisi sangat tidak puas. Tetapi
jika ada, akan membentuk motivasi yang kuat yang menghasilkan prestasi kerja
yang baik.
Implikasi penelitian Herzberg terhadap manajemen dan praktik SDM
adalah orang mungkin tidak termotivasi untuk bekerja lebih keras walaupun
manajer mempertimbangkan dan menyampaikan faktor–faktor hygiene dengan
hati-hati untuk menghindari ketidakpuasan karyawan. Herzberg menyarankan
10
bahwa hanya motivator yang membuat karyawan mencurahkan lebih banyak usaha
dan dengan demikian meningkatkan kinerja karyawan.
2.2.3 Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik adalah sumber energi yang merupakan inti dari sifat aktif
seorang individu. Motivasi intrinsik mengacu pada keterlibatan seseorang dalam
kegiatan yang sepenuhnya dilakukan untuk kesenangan dan kepuasan dari
partisipasi belaka. Kepuasan dan kesenangan itu berasal dari suatu kegiatan yang
dilakukannya bukan dari sumber alasan eksternal. Seseorang termotivasi secara
intrinsik ketika dia melakukan kegiatan atau pekerjaan secara sukarela, tanpa
harapan tidak ada imbalan materi atau alasan eksternal (Deci & Ryan dalam
Badhuri & Kumar 2010). Sedangkan menurut Sucaromana (2013) motivasi
intrinsik adalah motivasi untuk terlibat dalam kegiatan untuk kepentingan sendiri.
Menurut Frederick Herzberg dalam Stephen P. Robbins (2008), faktor-faktor yang
mempengaruhi motivasi intrinsik yang berkaitan dengan isi pekerjaan, antara lain
sebagai berikut:
a. Achievement (Pencapaian)
Keberhasilan seorang pegawai dapat dilihat dari pencapaian prestasinya. Agar
seorang karyawan dapat berhasil dalam melaksanakan pekerjaannya, maka
seorang pemimpin harus memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk
mendapatkan prestasi kerja dan kinerja yang tinggi.
b. Recognition (Pengakuan)
Sebagai lanjutan dari pencapaian prestasi yang telah dilakukan karyawan, maka
seorang pemimpin harus memberikan pernyataan pengakuan terhadap
pencapaian prestasi karyawannya tersebut. Pengakuan oleh atasan dapat
dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
• Langsung menyatakan keberhasilan di tempat pekerjaannya, lebih baik
dilakukan sewaktu ada orang lain
• Memberikan surat penghargaan
• Memberi hadiah berupa uang tunai
• Memberikan kenaikan gaji atau promosi
c. The Work It Self (Pekerjaan Itu Sendiri)
11
Besar kecilnya tantangan yang dirasakan oleh karyawan dari pekerjaannya. Besar
kecilnya tantangan sangat mempengaruhi kinerja karyawan. Sejauh mana
karyawan memandang pekerjaannya sebagai pekerjaan yang menarik,
memberikan kesempatan belajar dan peluang untuk menerima tanggung jawab.
d. Responsibility (Tanggung Jawab)
Agar tanggung jawab benar menjadi faktor motivator bagi bawahan, pimpinan
harus menghindari supervise yang ketat, dengan membiarkan bawahan bekerja
sendiri sepanjang pekerjaan itu memungkinkan dan menerapkan prinsip
partisipasi. Diterapkannya prinsip partisispasi membuat bawahan sepenuhnya
merencanakan dan melaksanakan pekerjaannya.
e. Advancement (Kemajuan)
Pengembangan merupakan salah satu faktor motivator bagi bawahan. Pemimpin
dapat memulainya dengan melatih bawahannya untuk pekerjaan yang lebih
bertanggung jawab. Bila ini sudah dilakukan selanjutnya pemimpin memberi
rekomendasi tentang bawahan yang siap untuk pengembangan, untuk menaikkan
pangkatnya, dikirim mengikuti pendidikan dan pelatihan lanjutan. Sehingga
memungkinkan karyawannya untuk maju dalam pekerjaannya.
Motivasi intrinsik dalam realitasnya lebih memiliki daya tahan yang lebih kuat
dibanding motivasi ekstrinsik. Hal ini terjadi karena faktor ekstrinsik dapat saja
justru mengakibatkan daya motivasi individu berkurang ketika faktor ekstrinsik
tersebut mengecewakan seorang individu.
2.2.3.1 Indikator Motivasi Intrinsik
Menurut Badhuri & Khumar (2011) terdapat 4 indikator motivasi
intrinsik yaitu diantaranya:
1. Kesenangan dalam bekerja
2. Kepercayaan diri
3. Otonomi dalam bekerja
4. Tugas atau kewajiban
12
2.3 Otonomi Kerja (Job Autonomy)
2.3.1 Pengertian Otonomi Kerja
Breaugh 1985 (dalam Weston 2012) mendefinisikan otonomi kerja sebagai
sejauh mana para pekerja dapat melakukan kontrol dan pengaruh atas aktivitas
pekerjaan mereka dan organisasi kerja. Hal ini mengacu pada lingkup kebebasan
untuk mengambil keputusan tentang isi, metode, penjadwalan dan kinerja tugas
pekerjaan.
Robbins & Coulter (2009) mendefinisikan otonomi kerja sebagai
kebebasan yang diberikan kepada pekerja individu, secara substansial,
kemandirian dan keleluasaan untuk merencanakan pekerjaan dan menetukan
prosedur yang digunakan untuk menyelesaikannya. Hal ini mencakup kesempatan
untuk mengatur pekerjaan sendiri, kebebasan melaksanakan pekerjaan, kebebasan
berpikir dan bertindak.
Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2006) otonomi kerja
adalah tingkat kebebasan dan keleluasaan individual dalam kerja dan penjadwalan
kerja.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas maka dapat disimpulkan bahwa
otonomi kerja merupakan kebebasan atau wewenang yang diberikan pimpinan
kepada karyawannya dalam mengatur dan melaksanakan pekerjaannya serta
mengatasi masalah yang ada di dalamnya.
2.3.2 Hubungan Otonomi Kerja dan Motivasi
Menurut SDT (dalam Galleta 2011), sejauh mana lingkungan kerja
mendukung dan mempromosikan otonomi kerja karyawan, memungkinkan mereka
untuk mengaktifkan perilaku kerja yang positif dan otonom. Kondisi ini dianggap
sebagai faktor fundamental yang mampu mempromosikan motivasi kerja
karyawan, kesejahteraan dan kepuasan (Camerino & Mansano Sarquis, 2010;
Camerino, Conway, & Lusignani, 2005). Sejalan dengan temuan tersebut, meta-
analisis yang dilakukan oleh Humphrey, Nahrgang, dan Morgeson (2007)
menunjukkan bahwa persepsi otonomi kerja berhubungan positif dengan hasil
pekerjaan, seperti kinerja, kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan motivasi
intrinsik. Gagné dan Deci (2005) menyatakan bahwa kebutuhan otonomi adalah
13
dasar munculnya motivasi intrinsik yang merupakan motivasi untuk melakukan
suatu kegiatan untuk dirinya sendiri didorong oleh kepentingan murni dan
kesenangan (Deci, Connell, & Ryan, 1989). Job Characteristic Model (JCM,
Hackman & Oldham, 1976) menyarankan bahwa pekerjaan otonomi adalah sejauh
mana pekerjaan memungkinkan kebebasan, hak diskresi dan kemandirian untuk
jadwal kerja, membuat keputusan, dan memilih prosedur dan metode untuk
melakukan kegiatan (Morgeson & Humphrey, 2006).
Dengan pekerjaan yang sangat independen, karyawan dapat melihat hasil
kerja sebagai sebagian yang tergantung dari usaha mereka, merasa secara pribadi
bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan tindakan. Oleh karena itu, di
antara karakteristik pekerjaan, otonomi kerja dapat mengaktifkan keadaan
psikologis kritis yang memfasilitasi beberapa negara positif karyawan seperti
motivasi intrinsik (Pierce, Jussila, & Cummings, 2009). Richer et al. (2002) dalam
studi longitudinal menunjukkan bahwa karakteristik pekerjaan berpengaruh positif
terhadap diri ditentukan motivasi, meskipun tidak jelas bagaimana masing-masing
dimensi secara khusus berkaitan dengan motivasi kerja. Namun, otonomi kerja
mampu merangsang tingkat tinggi komitmen pada organisasi (Parker, Wall &
Cordery, 2001), komitmen afektif khusus mengenai kesediaan karyawan untuk
mempertahankan keanggotaan pada organisasi dan bekerja untuk membantu untuk
mencapai tujuannya (Meyer & Allen, 1991; Mowday, Steers & Porter, 1979).
2.3.3 Indikator Otonomi Kerja
Breaugh 1985 (dalam Malarkodi M et al 2012), mengembangkan 3 skala
penilaian (indikator) dalam otonomi kerja yaitu:
1. Work Method Autonomy
Merupakan kebijakan yang diberikan kepada seseorang untuk memilih cara dan
prosedur apa yang digunakan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.
2. Work Schedule Autonomy
Merupakan kebijakan yang diberikan kepada seseorang atas kontrol waktu dan
mengatur rangkaian penyelesaian tugas.
3. Work Criteria Autonomy
Merupakan kemampuan untuk memilih ujung alternatif tujuan dalam hal dimana
kinerja seseorang dinilai.
14
2.4 Komitmen Organisasi
2.4.1 Pengertian Komitmen Organisasi
Menurut Stephen Robbins (2008), komitmen organisasi adalah tingkat
sampai mana seorang karyawan memihak sebuah organsiasi serta tujuan-tujuan
dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut.
Menurut Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge (2008), komitmen
organisasi adalah tingkat sampai mana seorang karyawan memihak sebuah
organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaan
dalam organisasi tersebut.
Sedangkan Robert L. Mathis (2006) mendefinisikan komitmen organisasi
sebagai suatu keadaan dimana seorang individu memihak organisasi serta tujuan-
tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaannya dalam
organisasi.
Hal yang sama dinyatakan Newstrom dan Davis (dalam Purba 2009)
bahwa komitmen organisasi merupakan tingkat dimana individu memihak dan
ingin secara kontinyu berpartisipasi aktif dalam organisasi, yang tercermin melalui
karaktenistik: (a) adanya keyakinan yang kuat dan penerimaan atas nilai dan
tujuan organisasi, (b) kesediaan untuk mengusahakan yang terbaik bagi
organisasi, dan c) adanya keinginan yang pasti untuk bertahan dalam organisasi.
Komitmen organisasi merupakan keterikatan psikologis seorang pegawai pada
organisasinya, termasuk keterlibatan yang sangat dalam pada pekerjaannya,
loyalitas dan kepercayaan pada nilai-nilai yang ada pada organisasi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi adalah ikatan
psikologis sejauh mana seorang karyawan berpihak kepada organisasi dengan
menerima seluruh nilai dan tujuan organisasi serta seberapa besar keinginannya
untuk mempertahankan agar tetap berada dalam organisasi tersebut.
Allen & Meyer dalam Cut Zurnali (2010) mengemukakan bahwa komitmen
organisasional sebagai sebuah keadaan psikologi yang mengkarakteristikkan
hubungan karyawan dengan organisasi atau implikasinya yang mempengaruhi
apakah karyawan akan tetap bertahan dalam organisasi atau tidak, yang
teridentifikasi dalam tiga komponen yaitu:
1. Komitmen afektif (affective commitment), yaitu: keterlibatan emosional
seseorang pada organisasinya berupa perasan cinta pada organisasi.
15
2. Komitmen kontinyu (continuance commitment), yaitu: persepsi seseorang atas
biaya dan resiko dengan meninggalkan organisasi saat ini. Artinya, terdapat dua
aspek pada komitmen kontinyu, yaitu: melibatkan pengorbanan pribadi apabila
meninggalkan organisasi dan ketiadaan alternatif yang tersedia bagi orang
tersebut.
3. Komitmen normatif (normative commitment), yaitu: sebuah dimensi moral yang
didasarkan pada perasaan wajib dan tanggung jawab pada organisasi yang
mempekerjakannya.
2.4.2 Komitmen Afektif
Menurut Allen & Meyer (dalam Tjun Han et al 2012) Affective
Commitmen (AC) ikatan secara emosional yang melekat pada seorang
karyawan untuk mengidentifikasikan dan melibatkan dirinya dengan
organisasi. Komitmen afektif ini juga dapat dikatakan sebagai penentu yang
penting atas dedikasi dan loyalitas seorang karyawan.
Menurut Luthans (2006), komitmen afektif merupakan keterikatan
emosional anggota, identifikasi dan keterlibatan dalam organisasi.
Menurut Rhoades et al (dalam Tjun Han et al 2012) Kecenderungan seorang
karyawan yang memiliki komitmen afektif yang tinggi, dapat menunjukkan
rasa memiliki atas perusahaan, meningkatnya keterlibatan dalam aktivitas
organisasi, keinginan untuk mencapai tujuan organisasi dan keinginan untuk
dapat tetap bertahan dalam organisasi.
Dari berbagai pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
komitmen afektif adalah keterikatan emosional seorang karyawan terhadap
suatu organisasi karena karyawan merasa aman dan nyaman berada didalam
organisasi dan akan terus mempertahankan keanggotaannya didalam
organiasasi tersebut. Keterikatan itu yang menyebabkan karyawan menyakini
tujuan organisasi sebagai tanggung jawabnya.
2.4.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Komitmen Afektif
Menurut Meyer et al (dalam Tjun Han 2012) faktor-faktor yang
mempengaruhi komitmen afektif seseorang antara lain yaitu:
1. Karakteristik Individu
16
Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut
ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang
mengarahkan tindakan seorang individu. Robbins (2006) menyatakan bahwa:
Faktor-faktor yang mudah didefinisikan dan tersedia, data yang dapat
diperoleh sebagian besar dari informasi yang tersedia dalam berkas
personalia seorang pegawai mengemukakan karakteristik individu meliputi
usia, jenis kelamin, status perkawinan, banyaknya tanggungan dan masa
kerja dalam organisasi. Siagian (2008) menyatakan bahwa, Karakteristik
biografikal (individu) dapat dilihat dari umur, jenis kelamin, status
perkawinan, jumlah tanggungan dan masa kerja.
Berikut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi karakter individu
seseorang:
a) Umur
Hubungan antara umur dan kemampuan kerja menjadi persoalan-
persoalan yang kian penting selama dasawarsa terakhir. Setidaknya ada
tiga alasan. Pertama, berkembang luas kepercayan bahwa kemampuan
kerja akan berkurang sejalan dengan bertambahnya usia. Kedua, bahwa
realitas kekuatan kerja sesuai dengan usia. Dan yang ketiga di dalam
perundang-undangan Amerika untuk semua maksud dan tujuan, diluar
perundang-undangan perintah pengunduran diri.umur 70 tahun.
b) Gender
Sebagian orang mengatakan adanya perbedaan penting antara laki-laki
dengan perempuan yang dapat mempenagruhi performasi kerja yaitu
dalam hal: kemampuan memecahkan maslah, keterampilan menganalisis,
motivasi, keramahan (suka bergaul), dorongan kompetisi, dan
kemampuan belajar. Namun kenyataannya perbedaan tersebut tidak
konsisten. Dari hasil studi para psikolog telah ditemukan bahwa
kebanyakan wanita lebih mau menyesuaikan diri pada kewenangan, dan
laki-laki lebih agresif dan lebih ambisius dalam mencapai kesuksesan:
akan tetapi skali lagi perbedaan ini sangat kecil.
17
c) Masa Kerja
Hubungan masa kerja dengan dengan produktivitas seseorang yang
mempunyai masa kerja lebih lama tidak selamanya lebih produktif bila
dibandingkan pekerja baru. Hubungan masa kerja dengan absensi
berbanding lurus, maksudnya adalah seseorang yang lebih senior
cenderung lebih banyak absensi dibandingkan yunior. Hubungan masa
kerja dengan perpindahan adalah negatif atau berbanding lurus,
maksudnya bahwa yang lebih senior cenderung lebih banyak pindah
dibanding dengan yunior, karena fakta menunjukan masa kerja
sebelumnya merupakan kekuatan untuk pindah pada pekerjaan yang baru.
d) Marital Status (Status Perkawinan)
Hubungan status perkawinan dengan dengan produktivitas, absensi, dan
kepuasan kerja, tidak cukup studi untuk menggambarkan dampak status
perkawinan terhadap produktivitas, tetapi fakta menunjukan bahwa
pegawai yang sudah kawin memiliki angka absensi lebih kecil, menjalani
perpindahan lebih sedikit, dan kepuasan kerja lebih besar dibandingkan
pegawai yang belum menikah.
2. Karakteristik Organisasi
Karakteristik organisasi merupakan kondisi kerja internal dalam suatu organisasi
yang akan mempengaruhi motivasi kerja dari individu yang bekerja di dalam
lingkungan kerjanya. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan karakterisstik
organisasi antara lain: (a) peraturan personalia (b) pengaturan imbalan dan
budaya organisasi (c) kebijakan upah (d) kebijakan tunjangan karyawan.
3. Karakteristik Pekerjaan
Karakeristik pekerjaan merupakan upaya mengidentifikasikan karakteristik tugas
dari pekerjaan, bagaimana karakteristik itu digabung untuk membentuk
pekerjaan yang berbeda dan hubungannya dengan motivasi, kepuasan kerja dan
kinerja karyawan. Tujuannya adalah untuk mengatur penugasan-penugasan kerja
yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan organisasi, teknologi dan keperilakuan.
Jadi karakteristik pekerjaan adalah uraian pekerjaan yang menjadi pedoman
dalam bekerja dan dalam pelaksanaannya bisa mencapai kepuasan. Menurut
18
Hackman dan Oldham dalam Luthans (2005), Ada lima dimensi karakteristik
pekerjaan yaitu:
(a) Identitas Tugas
Adalah seberapa jauh seorang pekerja terlibat dalam penyelesaian seluruh
pekerjaan dan bagian-bagian pekerjaan yang bisa diidentifikasi. Dalam
hal ini melakukan suatu pekerjaan dari permulaan sampai selesai dengan
hasil yang nyata.
(a) Signifikansi Tugas
Adalah seberapa jauh suatu pekerjaan mempunyai arti penting dan
dampak substansial atas kehidupan atau pekerjaan orang lain, baik dalam
lingkup organisasi yang internal ataupun eksternal.
(b) Variasi Keterampilan
Adalah seberapa jauh jenis pekerjaan yang dilakukan seseorang
memerlukan keahlian yang berbeda didalam menyelesaikan pekerjaan,
yang melibatkan penggunaan sejumlah keterampilan individu dan bakat.
(c) Otonomi
Merupakan tingkatan sampai sejauh mana seseorang diberikan
kebebasan, kemandirian, dan keleluasaan untuk merencanakan pekerjaan
dan menentukan prosedur yang digunakan untuk menyelesaikannya.
(d) Umpan Balik
Merupakan tingkatan pelaksanaan kegiatan memperoleh masukan yang
jelas dan cepat dari suatu pekerjaan oleh individu sehingga diperoleh
informasi yang jelas tentang efektifitas kinerjanya.
4. Pengalaman Kerja
Menurut Kamus Bahasa Indonesia (Depdiknas 2005), “pengalaman dapat
diartikan sebagai yang pernah dialami (dijalani, dirasa, ditanggung, dsb)”.
Sedangkan Elaine B Johnson (2007) menyatakan bahwa “pengalaman
memunculkan potensi seseorang. Potensi penuh akan muncul bertahap seiring
berjalannya waktu sebagai tanggapan terhadap bermacammacam pengalaman”
Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
pengalaman kerja adalah sebagai suatu ukuran tentang lama waktu atau masa
kerjanya yang telah ditempuh seseorang dalam memahami tugas–tugas suatu
19
pekerjaan dan telah melaksanakannya dengan baik. Adapun indikator
pengalaman kerja diantaranya adalah sebagai berikut:
a) Lama waktu/masa bekerja
Ukuran tentang lama waktu atau masa kerja yang telah ditempuh
seseorang dapat memahami tugas-tugas suatu pekerjaan dan telah
melaksanakan dengan baik.
b) Tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki
Pengetahuan merujuk pada konsep, prinsip, prosedur, kebijakan atau
informasi lain yang dibutuhkan oleh karyawan. Pengetahuan juga
mencakup kemampuan untuk memahami dan menerapkan informasi pada
tanggung jawab pekerjaan. Sedangkan keterampilan merujuk pada
kemampuan fisik yang dibutuhkan untuk mencapai atau menjalankan
suatu tugas atau pekerjaan
c) Penguasaan terhadap pekerjaan dan peralatan
Tingkat penguasaan seseorang dalam pelaksanaan aspek-aspek teknik
peralatan dan tehnik pekerjaan
2.4.4 Indikator Komitmen Afektif
Adapun indikator dari komitmen afektif menurut Tjun Han et al
(2012) adalah sebagai berikut:
1. Memiliki makna yang mendalam secara pribadi
2. Rasa saling memiliki yang kuat dengan organisasi
3. Bangga memberitahukan hal organisasi kepada orang lain
4. Terikat secara emosional dengan organisasi
5. Senang apabila dapat bekerja sampai pensiun di organisasi
6. Senang berdiskusi mengenai organisasi dengan orang lain diluar organisasi
Menurut Allen & Meyer (1997) mendeskripsikan indikator afektif
komitmen yaitu individu dengan afektif komitmen yang tinggi memiliki
kedekatan emosional yang erat terhadap organisasi, hal ini berarti bahwa
individu tersebut akan memiliki motivasi dan keinginan untuk berkontribusi
secara berarti terhadap organisasi dibandingkan individu dengan afektif
komitmen yang lebih rendah. Berdasarkan hasil penelitian dalam hal role-job
performance, atau hasil pekerjaan yang dilakukan, individu dengan afektif
20
komitmen akan bekerja lebih keras dan menunjukkan hasil pekerjaan yang
lebih baik dibandingkan yang komitmennya lebih rendah. Individu dengan
afektif komitmen tinggi akan lebih mendukung kebijakan perusahaan
dibandingkan yang lebih rendah.
2.5 Turnover Intention
2.5.1 Pengertian Turnover Intention
Turnover intention pada dasarnya adalah keinginan karyawan untuk pindah
dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa
turnover intention adalah keinginan untuk berpindah, belum sampai pada tahap
realisasi yaitu melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat kerja lainya.
Intensi keluar merupakan ketidakpuasan terhadap pekerjaan yang dapat memicu
keinginan seseorang untuk keluar mencari pekerjaan yang baru (Widjaja dkk
2008)
Menurut Staffelbach (2008) turnover intention merupakan kemungkinan
yang bersifat subyektif dimana seorang individu akan merubah pekerjaannya
dalam jangka waktu tertentu dan merupakan pelopor dasar kepada turnover yang
sebenarnya.
Sedangkan Ilhami Yücel (2012) mendefinisikan turnover intention sebagai
faktor yang memediasi sikap yang mempengaruhi niat untuk berhenti bekerja dan
benar-benar keluar dari organisasi.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa turnover intention adalah
keinginan dari dalam diri seorang karyawan untuk berhenti dari pekerjaannya dan
keinginan untuk meninggalkan organisasi tersebut.
2.5.1 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Turnover Intention
Menurut Staffelbach (2008) faktor-faktor penyebab turnover intention
dikategorikan sebagai berikut :
1. Faktor Psikologi
Penentu psikologis merujuk pada proses mental dan perilaku karyawan,
seperti harapan, orientasi, kepuasan kerja, komitmen organisasi, keterlibatan
kerja atau efektifitas. Konsep turnover secara psikologis berkaitan dengan
faktor-faktor yang dipengaruhi oleh emosi karyawan, sikap atau persepsi.
21
Faktor Psikologi terdiri dari :
a) Psychological Contract atau Kontrak Psikologis
Mengacu pada keyakinan individu mengenai syarat dan ketentuan
perjanjian timbal balik pertukaran antara seseorang dan pihak lain.
Konsep kontrak psikologis didasarkan pada wawasan, bahwa motivasi
karyawan dan tingkat kinerja mereka harus dipelihara oleh organisasi
melalui insentif dan penghargaan (Brinkmann & Stapf, 2005). Kontrak
psikologis berisi semua harapan timbal yang balik tidak terungkapkan,
harapan dan keinginan karyawan atau atasan dan merupakan perjanjian
tambahan tidak dirumuskan dalam pekerjaan yang mengikat sah kontrak.
Jika pemenuhan keinginan dan harapan karyawan gagal untuk muncul
dalam jangka panjang dan kerugian tidak seimbang dengan keuntungan,
maka konflik batin pada karyawan akan semakin buruk. Jika seorang
karyawan tidak mampu membawa perubahan apapun, ketidakpuasan
akan terjadi dan kemudian merusak kontrak psikologis. (Brinkmann
&Stapf, 2005). Dasar dari kontrak psikologis didasarkan pada teori
pertukaran sosial, yang mengasumsikan bahwa perilaku manusia
dikendalikan oleh pemaksimalan utilitas individu (Brinkmann & Stapf,
2005). Manusia berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dan
meminimalkan biaya. Jika karyawan merasakan kontrak psikologis tidak
berjalan seperti semestinya, maka turnover intention akan lebih tinggi.
b) Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja adalah keadaan emosional menyenangkan yang
dihasilkan dari penilaian pekerjaan seseorang dalam mencapai atau
memfasilitasi pencapaian nilai pekerjaannya. Kepuasan kerja menjadi
keterikatan afektif seseorang. Hal ini dikonseptualisasikan sebagai respon
afektif dan emosional. Kepuasan didefinisikan sebagai sejauh mana
karyawan memiliki orientasi afektif yang positif terhadap pekerjaan oleh
organisasi. Orientasi afektif negatif terhadap organisasi akan muncul
ketika karyawan tidak puas. Kepuasaan kerja mencakup otonomi, pay
satisfaction, participation, fleksibilitas pekerjaan, job design dan
supervisory support.
22
c) Komitmen Organisasi
Mowday dan Steers mendefinisikan komitmen "sebagai kekuatan relatif
dari individu dalam identifikasi dengan dan keterlibatan dalam organisasi
tertentu”. Komitmen dapat dilihat sebagai loyalitas sebuah sebuah
organisasi atau suatu pekerjaan. Meyer dan Allen mengkonsepkan
Komitmen dalam tiga keadaan psikologis yang berbeda yang
mempengaruhi apakah karyawan akan tetap atau meninggalkan
organisasi
• Komitmen afektif: keterikatan emosional terhadap organisasi
• Komitmen berkelanjutan: pengakuan biaya yang terkait dengan
meninggalkan organisasi
• Komitmen normatif: kewajiban yang dirasakan untuk tetap
dengan organisasi
d) Job Insecurity
Job Insecurity merupakan kekhawatiran pribadi tentang kelangsungan
pekerjaan. Karyawan dapat merasa tidak aman meskipun tidak ada alasan
untuk itu. Namun, ketidakamanan pekerjaan lebih dikenal mengenai
ketidakpastian tentang pekerjaan di masa depan dalam pengembangan
pekerjaan dan diskontinuitas.
2. Faktor Ekonomi
Ketika reward sama dengan di tempat kerja lain, karyawan akan memutuskan
untuk tidak meninggalkan organisasi. Pandangan ekonomi menganalisis proses
turnover lebih menekankan pada interaksi antara penentuan variabel eksternal
seperti gaji atau peluang.
Faktor-faktor ekonomi terdiri dari :
• Upah
Upah pembayaran memainkan peran penting dalam pekerjaan pada masa
ini dan pada masa depan. Bahwa karyawan yang dibayar lebih tinggi
dalam tingkat hirarki yang sama cenderung untuk tetap bertahan dalam
organisasi.
• Peluang Eksternal
Peluang eksternal mengacu pada tersedianya alternatif, daya tarik dan
pencapaian dari pekerjaan di lingkungan. Interaksi antara kekuatan
23
penawaran dan permintaan ekonomi harus dipertimbangkan dalam
mengukur peluang eksternal. Ketersediaan ini terutama tentang seberapa
banyak peluang di luar organisasi. Daya tarik yang mengacu pada pay
level dari peluang tersebut. Pencapaian didefinisikan sebagai kepemilikan
keahlian yang dibutuhkan di dalam suatu pekerjaan.
• Company Size
Selama fase resesi di pertengahan tahun sembilan puluhan, organisasi
yang lebih kecil dihadapkan dengan tingkat turnover yang lebih tinggi,
sedangkan organisasi yang lebih besar mampu mempertahankan
karyawan mereka. Banyak orang beranggapan bahwa perusahaan-
perusahaan besar membayar gaji yang lebih tinggi, memiliki kesempatan
promosi yang lebih (mobilitas internal vertikal dan horisontal) dan
menawarkan keselamatan kerja yang lebih tinggi daripada perusahaan
kecil.
3. Faktor Demografis
Faktor demografis yang sering disebut juga sebagai karakteristik personal,
yang terdiri dari :
a) Usia
Faktor usia berkorelasi negatif dengan turnover intention. Orang yang
lebih muda memiliki tahap percobaan pada awal kehidupan profesional
mereka, sehingga lebih sering berpindah kerja.
b) Masa Jabatan
Individu memiliki masa jabatan yang lebih lama kemudian meninggalkan
organisasi akan dianggap tidak proporsional.
2.5.2 Indikator Turnover Intention
Menurut Widjaja dkk (2008), ada 6 indikator untuk mengukur turnover
intention yaitu diantaranya:
1. Keinginan mencari pekerjaan di bidang yang sama di perusahaan lainnya.
2. Keinginan mencari pekerjaan baru di bidang yang berbeda.
3. Keinginan untuk mencari profesi baru.
4. Adanya pemikiran untuk meninggalkan pekerjaan.
24
5. Karyawan telah mengevaluasi kerugian yang diakibatkan jika keluar dari
pekerjaan.
6. Karyawan memiliki kemungkinan untuk pindah pekerjaan pada waktu yang
akan datang.
2.5.3 Dampak dari Turnover
Turnover merupakan isu yang penting bagi sebuah organisasi. Menurut
Staffelbach (2008) ada 3 dampak negatif turnover yang mempengaruhi efektifitas
organisasi, yaitu:
1. Biaya Organisasi
Efisiensi organisasi telah terbukti sangat berkorelasi dengan tingkat turnover
yang rendah. Studi yang berhubungan dengan dampak dari turnover didominasi
oleh keprihatinan dengan efektivitas organisasi, yang didefinisikan sebagai
sejauh mana suatu sistem mencapai tujuannya. Dampak keuangan dari turnover
omset dinyatakan dalam istilah moneter. Ada tiga kategori utama harus yang
diperhatikan yang merupakan biaya turnover karyawan:
o Separation Cost / Biaya Perpisahan
- Biaya yang digunakan untuk wawancara keluar
- Biaya yang berkaitan dengan pemutusan atau perpisahan
(pembayaran pesangon)
o Replacement Cost / Biaya Penggantian
- Pemasangan iklan lowongan di berbagai media
- Biaya interview calon karyawan baru
o Training Cost / Biaya Pelatihan
- Kinerja dan norma yang berlaku
- Menyebarluaskan informasi yang relevan untuk sosialisasi organisasi
- Partisipasi dalam kegiatan on-the-job training
2. Gangguan Operasional
Gangguan operasional terjadi ketika peran pekerjaan memiliki ketergantungan
yang tinggi dalam perusahaan. Hilangnya anggota penting dalam sebuah
organisasi dapat mempengaruhi kemampuan anggota yang tersisa lainnya untuk
memenuhi tugas pekerjaan mereka.
25
3. Demoralisasi Keanggotaan Organisasi
Demoralisasi keanggotaan organisasi mengacu pada dampak turnover yang
terjadi pada sikap dari anggota yang tersisa. Jika seseorang memutuskan untuk
meninggalkan posisi alternatif dalam lingkungan eksternal, mungkin akan
memicu perasaan reflektif terhadap anggota yang tersisa, seperti
mempertanyakan motivasi mereka sendiri untuk tinggal di organisasi. Dengan
demikian turnover bisa menyebabkan penurunan sikap terhadap organisasi.
2.6 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No Penulis Judul Penelitian Hasil Penelitian
1 Maura Galletta, Igor
Portoghese & Adalgisa
Battistelli (2011)
Intrinsic Motivation,
Job Autonomy and
Turnover
Intention in the
Italian Healthcare:
The Mediating Role
of Affective
Commitment
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa hipotesis penelitian ini
didukung dan komitmen afektif
sepenuhnya dimediasi hubungan
antara pekerjaan otonomi,
motivasi kerja intrinsik dan
turnover intention. Temuan ini
memiliki implikasi penting
bagi organisasi kesehatan dengan
membantu untuk
mempromosikan lingkungan
kerja yang efektif
dan peluang besar tanggung
jawab kepada pekerja untuk
mengembangkan kegiatan mereka
sendiri.
2 Ahmad Faisal Mahdi,
Mohamad Zaid Mohd Zin,
Mohd Roslan Mohd Nor,
Ahamad Asmadi Sakat and
The Relationship
Between Job
Satisfaction and
Turnover Intention
Hasil dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa kedua
bentuk kepuasan kerja (intrinsik
dan kepuasan ekstrinsik)
26
No Penulis Judul Penelitian Hasil Penelitian
Abang Sulaiman Abang Naim
(2012)
memiliki hubungan terbalik
terhadap turnover intentions
karyawan.
3 İlhami Yücel1 (2012) Examining the
Relationships
among Job
Satisfaction,
Organizational
Commitment, and
Turnover Intention:
An Empirical Study
Hasil menunjukkan bahwa
Kepuasan kerja adalah salah satu
yang paling utama dari komitmen
organisasi dan turnover intention
jadi menyarankan bahwa
tingginya tingkat hasil kepuasan
kerja dalam komitmen yang lebih
tinggi dan turnover lebih rendah
sehingga kepuasan kerja
berpengaruh positif pada
komitmen afektif, komitmen
berkelanjutan, dan komitmen
normatif sementara itu
berdampak negatif terhadap
intensi turnover.
4 Elisa Moncarz, Jinlin Zhao,
Christine Kay (2009)
An exploratory
study of US lodging
properties:
organizational
practices on
employee turnover
and retention
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa budaya perusahaan,
perekrutan dan Promosi Pelatihan
mempengaruhi retensi karyawan
non-manajemen. Selain itu, Misi
Organisasi, Tujuan dan Arah serta
Pengakuan Karyawan, Imbalan
dan Kompensasi ditemukan
positif mengurangi perputaran
karyawan non-manajemen.
5 Laurel A Mcnall, Aline D
Nasuda & Jessica M. Nicklin
(2010)
Flexible Work
Arrangements, Job
Satisfaction, and
Turnover
Intentions:
The Mediating Role
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa ketersediaan pengaturan
kerja yang fleksibel seperti
flextime dan compressed work
week tampaknya membantu
karyawan mengalami pengayaan
27
No Penulis Judul Penelitian Hasil Penelitian
of Work-to-Family
Enrichment
(enrichment) lebih besar dari
pekerjaan ke rumah, yang, pada
gilirannya, berhubungan dengan
kepuasan kerja yang lebih tinggi
dan turnover intentions lebih
rendah
2.7 Kerangka Pemikiran
Keterangan:
Menggambarkan pengaruh secara simultan
Menggambaarkan pengaruh secara parsial
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
2.8 Hipotesis
Menurut Sekaran (2006), hipotesis bisa didefinisikan sebagai hubungan
yang diperkirakan secara logis diantara dua atau lebih variabel yang diungkapkan
dalam bentuk pertanyaan yang dapat diuji. Hubungan tersebut dapat diperkirakan
Motivasi
Intrinsik (X1)
Otonomi Kerja
(X2)
Komitmen
Afektif (Y)
Turnover
Intention (Z)
28
berdasarkan jaringan asosiasi yang dapat ditetapkan dalam kerangka teoritis yang
dirumuskan untuk studi penelitian.
Adapun hipotesis yang peneliti rancang adalah hipotesis yang
bersifat asosiatif atau verifikatif yang menjelaskan bagaimana hubungan dan
pengaruh atau kontribusi antar variabelnya. Berikut ialah hipotesis yang peneliti
rancang dalam penelitian ini:
1. Untuk T-1
Ho= Motivasi Intrinsik (X1) dan Otonomi Kerja (X2) tidak memiliki pengaruh
yang signifikan secara parsial maupun simultan terhadap Komitmen
Afektif (Y) Karyawan pada PD. Pasar Jaya
Ha= Motivasi Intrinsik (X1) dan Otonomi Kerja (X2) memiliki pengaruh yang
signifikan secara parsial maupun simultan terhadap Komitmen Afektif (Y)
Karyawan pada PD. Pasar Jaya
2. Untuk T-2
Ho= Motivasi Intrinsik (X1), Otonomi Kerja (X2) dan Komitemen Afektif (Y)
tidak memiliki pengaruh yang signifikan secara parsial maupun simultan
terhadap Turnover Intention (Z) Karyawan Pada PD. Pasar Jaya
Ha= Motivasi Intrinsik (X1), Otonomi Kerja (X2) dan Komitemen Afektif (Y)
memiliki kontribusi yang signifikan secara parsial maupun simultan
terhadap Turnover Intention (Z) Karyawan Pada PD. Pasar Jaya