Bab I Pendahuluan 1.1. Latar...

29
1 Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Peran pemerintah diantaranya adalah melakukan redistribusi pendapatan, penyediaan barang publik, dan perlindungan sosial (Gramlich, 1990). Pemerintah menjalankan fungsi tersebut untuk semua warga negaranya. Ketika luas wilayah dan jumlah penduduknya terlalu besar maka tugas pemerintah menjadi berat dalam menjalankan fungsi tersebut, maka sistem multi-level government sangat diperlukan. Sistem multi-level government ini tidak mengubah sistem yang ada, namun lebih sebagai bentuk pendekatan pemerintah pusat pada daerah di bawahnya (Lee et al., 2008). Oates (1972) menyatakan bahwa ketika pemerintah pusat harus menyediakan barang publik kepada seluruh rakyatnya, maka terdapat keterbatasan dalam hal mengetahui preferensi masyarakat daerah akan barang publik yang diinginkan. Sistem desentralisasi akan meningkatkan economic welfare bagi masyarakat di daerah dibanding apabila barang publik disediakan secara seragam oleh pemerintah pusat melalui sistem sentralisasi. Sistem multi-level government berfungsi pula dalam pemerataan fiskal (fiscal equalization). Prinsip utamanya adalah transfer dari daerah yang lebih kaya kepada daerah yang lebih miskin sehingga setiap daerah memiliki kemampuan yang kurang lebih sama untuk melayani dan menyediakan sejumlah layanan publik. Jumlah dan kualitas layanan publik yang sama di setiap daerah sering menjadi kunci dari konsep pemerataan antardaerah. Dalam sistem multi-level government, daerah juga dapat diberikan kekuasaan di bidang fiskal dalam bentuk desentralisasi fiskal. Inti dari desentralisasi fiskal adalah kondisi dimana daerah

Transcript of Bab I Pendahuluan 1.1. Latar...

Page 1: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

1

Bab I

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Peran pemerintah diantaranya adalah melakukan redistribusi pendapatan,

penyediaan barang publik, dan perlindungan sosial (Gramlich, 1990). Pemerintah

menjalankan fungsi tersebut untuk semua warga negaranya. Ketika luas wilayah

dan jumlah penduduknya terlalu besar maka tugas pemerintah menjadi berat

dalam menjalankan fungsi tersebut, maka sistem multi-level government sangat

diperlukan. Sistem multi-level government ini tidak mengubah sistem yang ada,

namun lebih sebagai bentuk pendekatan pemerintah pusat pada daerah di

bawahnya (Lee et al., 2008). Oates (1972) menyatakan bahwa ketika pemerintah

pusat harus menyediakan barang publik kepada seluruh rakyatnya, maka terdapat

keterbatasan dalam hal mengetahui preferensi masyarakat daerah akan barang

publik yang diinginkan. Sistem desentralisasi akan meningkatkan economic

welfare bagi masyarakat di daerah dibanding apabila barang publik disediakan

secara seragam oleh pemerintah pusat melalui sistem sentralisasi.

Sistem multi-level government berfungsi pula dalam pemerataan fiskal

(fiscal equalization). Prinsip utamanya adalah transfer dari daerah yang lebih kaya

kepada daerah yang lebih miskin sehingga setiap daerah memiliki kemampuan

yang kurang lebih sama untuk melayani dan menyediakan sejumlah layanan

publik. Jumlah dan kualitas layanan publik yang sama di setiap daerah sering

menjadi kunci dari konsep pemerataan antardaerah. Dalam sistem multi-level

government, daerah juga dapat diberikan kekuasaan di bidang fiskal dalam bentuk

desentralisasi fiskal. Inti dari desentralisasi fiskal adalah kondisi dimana daerah

Page 2: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

2

dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam

membelanjakan anggarannya (Burki et al., 1999, dan Mahi, 2003).

Desentralisasi fiskal sendiri dapat dijelaskan dengan berbagai pendekatan

teori, salah satunya adalah dengan teori kontrak (North, 1981). Dalam teori ini

negara dan institusi yang ingin berhubungan akan membentuk suatu kerangka

hukum yang memungkinkan adanya aturan main antara pihak-pihak yang

melakukan kontrak. Dalam hal desentralisasi fiskal, maka yang menjadi aturan

main antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah terkait pendelegasian

wewenang di bidang fiskal adalah undang-undang tentang desentralisasi fiskal.

Pemerintah pusat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada pemerintah

daerah yang dianggap lebih tahu preferensi masyarakatnya. Ketika menerima

pendelegasian, pemerintah daerah dapat menghadapi masalah trade-off antara

memaksimalkan produk sosial (social product) konstituennya atau

memaksimalkan penerimaan pajak. Ketika pemerintah daerah lebih

memperhatikan konstituennya demi kepentingan politis, maka sulit untuk

mengharapkan penerimaan pajak yang besar dari konstituen tersebut. Konstituen

yang merupakan kelompok kepentingan yang berpengaruh, dapat melakukan

pembalasan (retaliation) dengan mengalihkan hak suaranya (Furubotn dan

Richter, 1998). Terkait struktur hak kepemilikan (property right), pimpinan

daerah menghadapi pilihan antara ingin memaksimalkan kepentingan pemerintah

pusat atau memaksimalkan kepentingan pribadinya melalui monopoly rent,

sehingga untuk stabilisasi kekuasaan, maka penguasa dapat memilih struktur hak

kepemilikan yang kurang efisien dibanding pilihan maksimisasi tujuan. Krueger

(1974) menyatakan bahwa secara ekonomi politik, demi kepentingan stabilisasi

Page 3: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

3

daerah, pimpinan pemerintah daerah akan mempertahankan investor berpengaruh

yang sebenarnya bertindak rent seeking, supaya tidak lari ke daerah lain, demi

menjaga reputasi politisnya. Pemilihan struktur property right yang kurang efisien

dibanding pilihan maksimisasi tujuan desentralisasi seperti yang diinginkan oleh

pemerintah pusat oleh North (1981) disebut sebagai path dependence, sementara

Hax (1996) menyebutnya sebagai kondisi bounded rationality dalam menghadapi

situasi konflik kepentingan. Levi (1988) dalam kasus di Perancis menunjukkan

hal tersebut sebagai dorongan pemerintah untuk membentuk institusi ekonomi

yang bertentangan dengan efisiensi. Pada konteks desentralisasi fiskal, maka

kendala-kendala ini dapat mengakibatkan pimpinan daerah berpotensi memilih

tindakan yang memaksimalkan kepentingannya sendiri yang mengakibatkan

pelaksanaan desentralisasi menjadi kurang maksimal. Pada kondisi ini,

penerimaan pajak pemerintah daerah menjadi kurang optimal.

Dalam desentralisasi fiskal, keberadaan path dependence dapat membuat

kurangnya kemandirian fiskal pemerintah daerah. Di Indonesia, pemerintah

daerah berusaha menggantungkan sumber penerimaan anggarannya kepada pusat,

terlihat sejak tahun 2008 sekitar lima puluh persen lebih dana APBN mengalir ke

daerah, baik melalui dana perimbangan maupun melalui belanja kementerian dan

lembaga. Pada APBN 2013, pos dana transfer langsung ke daerah direncanakan

sebesar Rp518,9 triliun (Nota Keuangan dan RAPBN 2013). Besarnya dana

transfer ke daerah disertai kurangnya pengawasan pusat membuat daerah

berpotensi melakukan moral hazard dalam mengeksekusi penerimaan maupun

pengeluarannya. Kondisi ini mengakibatkan peran pemerintah daerah yang

menerima pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat untuk melakukan

Page 4: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

4

peningkatan PAD, di sisi penerimaan daerah, dan fungsi pelayanan kepada

masyarakatnya, di sisi pengeluaran daerah, menjadi tidak maksimal.

Dana transfer ke daerah merupakan penerimaan pemerintah daerah

sekaligus pengeluaran bagi pemerintah pusat. Oleh karena itu, pemerintah pusat

berusaha memaksimalkan outcome dari adanya pengeluaran ini. Beratnya beban

dana transfer yang harus dikelola, membuat pemerintah pusat memberikan

diskresi di sisi penerimaan daerah. Diharapkan pemerintah daerah mempunyai

kesungguhan mengelola APBD berdasarkan tata kelola pemerintahan yang baik

dengan mengedepankan akuntabilitas segenap aparatur pemerintahan di daerah.

Pemberian diskresi kewenangan oleh pemerintah pusat seharusnya diikuti dengan

upaya daerah dalam meningkatkan penerimaan pajaknya. Harapannya agar daerah

menjadi lebih mandiri secara fiskal dan tidak selalu menggantungkan dana

pemerintah pusat dalam mendanai program dan kegiatan yang memberi nilai

tambah masyarakat daerah. Namun, tampaknya pemerintah daerah dapat

berperilaku suboptimal dalam meningkatkan PADnya. Kondisi ini terjadi karena

tidak adanya instrumen kebijakan khusus yang dapat mendorong pemerintah

daerah melakukan tugas dan kewajibannya secara maksimal. Pemerintah daerah

berada dalam keadaan indifferent antara meningkatkan penerimaan pajaknya atau

tidak.

Di sisi pengeluaran daerah, pemerintah pusat mempunyai kepentingan

yaitu perbaikan kualitas belanja daerah (quality of spending). Daerah diharapkan

mampu menyediakan barang publik dan memberikan layanan yang baik kepada

masyarakat daerah. Namun, tidak adanya instrumen pengawasan terhadap

pengeluaran daerah, dapat membuat daerah dalam kondisi indifferent antara

Page 5: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

5

meningkatkan pelayanan publiknya atau hanya sekedar memenuhi standar

pelayanan minimal (SPM) saja.

Pemberian dana yang besar tanpa adanya pengawasan pada

penggunaannya dapat menimbulkan penyalahgunaan. Ada potensi konflik

kepentingan yang dapat menimbulkan masalah keagenan (Eisenhardt, 1989). Di

bidang desentralisasi fiskal, masalah keagenan terjadi ketika pihak yang menerima

wewenang, didefinisikan sebagai agen, memiliki informasi yang tidak diketahui

pihak pemberi wewenang, yakni prinsipal. Sebagai agen, pemerintah daerah

mempunyai informasi lebih banyak di bidang penerimaan dan penggunaan

budgetnya sendiri dibandingkan pemerintah pusat sebagai prinsipal. Dalam

kondisi ini pemerintah daerah berpotensi mengutamakan kepentingannya sendiri

dan menjadi tidak bertindak untuk kepentingan pemerintah pusat lagi. Penjelasan

di atas dapat dirumuskan dalam masalah keagenan pada gambar berikut ini.

Sumber : Gibbons, R (1998), Furubotn & Rihcter (1998); diolah

Gambar 1-1. Perbedaan Kepentingan antara Prinsipal dan Agen

Q

Q*

e

Cq Cq*

BT Production Function of Principal

Utility Function of Agent

Outcome Optimum Prinsipal

(Kondisi informasi simetris)

Maximisasi Utiliti Agen (Kondisi informasi asimetris)

Biayaa

Keterangan: Q=Outcome

Cq=Biaya Prinsipal e= noise term BT= Biaya Transaksi

Outcome Prinsipal

Page 6: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

6

Kondisi informasi simetris di atas dapat dijelaskan dengan konsep primal dual

dimana minimisasi pengeluaran pemerintah pusat ke daerah akan sama dengan

maksimisasi utiliti dari pemerintah daerah. Apabila informasi keduanya menjadi

tidak sempurna atau dalam kondisi tidak simetris, maka keinginan dan tujuan

pemerintah pusat tidak dapat diterjemahkan dengan baik oleh pemerintah daerah.

Pemerintah daerah berpotensi memperjuangkan kepentingannya sendiri. Perilaku

selfish pemerintah daerah ini tidak dapat diobservasi oleh pemerintah pusat,

sehingga outcome pemerintah pusat menjadi Q*, berkurang sebesar variabel ε,

noise term, yang merupakan kondisi ketidakpastian (Q=Q*+ε) akibat adanya

masalah antara prinsipal-agen. Peningkatan anggaran ke daerah, yang tidak lain

merupakan peningkatan biaya bagi pemerintah pusat, tidak diimbangi dengan

kenaikan outcome dan bahkan di sisi lain justru meningkatkan variabel

ketidakpastian, sehingga tercipta biaya transaksi sebesar BT (BT=Cq* - Cq) yang

merupakan biaya yang sebenarnya tidak perlu dikeluarkan oleh pemerintah pusat.

Permasalahan perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen terkait

dengan hubungan pemerintah pusat dan daerah menjadi menarik dan menantang

untuk diteliti. Dan hal ini menjadi fokus dalam penelitian ini. Ketika beban

pemerintah pusat semakin besar sementara outcome-nya kecil, maka transfer dana

ke daerah akan dikompensasi dengan penambahan kewenangan pemungutan pajak

oleh daerah. Adanya konflik kepentingan prinsipal-agen membuat daerah masih

menggantungkan dananya pada transfer pemerintah pusat. Kebijakan transfer dana

perimbangan kurang dikaitkan dengan sisi kinerja pemerintah daerah. Bahkan

formulasi pada DAU justru menurunkan penerimaan dana transfer bagi daerah

yang berhasil meningkatkan sumber penerimaan daerahnya. Akibatnya

Page 7: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

7

ketergantungan yang tinggi pada dana pusat akan selalu berlangsung dan hal ini

membuat upaya peningkatan penerimaan daerahnya menjadi kurang optimal.

Rendahnya penerimaan daerah menjadi kendala dalam upaya penyediaan

pelayanan publik. Muncul permasalahan bagi daerah yakni apakah akan berusaha

menaikkan sumber penerimaan melalui upaya pajak daerah atau menurunkan

kualitas dan kuantitas pelayanan kepada masyarakat.

1.2. Perdebatan Teoritis

Teori federalisme fiskal dapat menjelaskan implementasi desentralisasi

fiskal. Teori ini mengemukakan bahwa pada suatu pemerintahan yang

didesentralisasikan, terdapat beberapa level pemerintahan yang membawa

konsekuensi pembiayaan di tiap level tersebut (Musgrave 1959, Oates 1972).

Ketika pemerintah di level bawah diberikan wewenang untuk menjalankan tugas

penyediaan barang publik oleh pemerintah di level atasnya, maka pemerintah

yang memberikan wewenang juga harus menyediakan dana untuk level

pemerintah yang diberi tugas. Asumsi yang digunakan adalah asumsi ekonomi

neoklasik, di mana pemerintah pusat merupakan social planner yang bersifat

benevolent dengan memberikan grants kepada daerah (Weingast, 2007). Menurut

mereka, federalisme fiskal melihat desentralisasi dari sudut pandang ekonomi

melalui konsep welfare. Teori ini menyebutkan bahwa penyediaan barang publik

didesentralisasikan kepada pemerintah daerah agar sesuai dengan preferensi

populasi daerah masing-masing. Pembiayaan dari adanya pengeluaran ini

sebagian besar dilakukan oleh pemerintah pusat sebagai social plannner untuk

mengatasi perbedaan kemampuan fiskal masing-masing daerah (Tresch, 2002).

Page 8: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

8

Banyak penelitian mengenai sistem desentralisasi menggunakan dasar neoklasik

yang dikembangkan pada beberapa topik seperti intergovernmental transfer

maupun pertumbuhan daerah (Wiseman (1964 dan 1987); Peacock (1972);

Dafflon (1977 dan 1978); Breton dan Scott (1978); serta Martinez-Vazquez, J dan

R. McNab (2005)).

Beberapa penelitian lain tidak sependapat dengan teori ini, seperti Inman

(1988) yang membuktikan bahwa teori grants antar-pemerintahan ini tidak dapat

menjelaskan struktur program untuk kasus di US. Fisman-Gatti (2002) juga

menjelaskan untuk kasus di US, kenaikan transfer federal akan meningkatkan

penyalahgunaan dana tersebut. Selain itu, teori fiskal federalisme berpotensi

membuat elit daerah menjadi penguasa tunggal dalam sistem desentralisasi

(Tanzi, 2000; Bardhan dan Mookherjee, 2002; Sonin, 2003; serta Slinko,

Yakovlev, dan Zhuravskaya, 2005).

Terdapat pandangan yang menyebutkan bahwa elemen kelembagaan

dalam desentralisasi tidak dapat diabaikan dan seharusnya dimasukkan ke dalam

analisis. Model yang ada selama beberapa dekade terlalu menyederhanakan

realitas yang mempunyai permasalahan kompleks (Corbridge, 2008). Beberapa

studi memasukkan unsur kelembagaan dalam pelaksanaan desentralisasi. Leach,

Mearns et al. (1999) menyatakan bahwa pendekatan yang sesuai untuk

memahami desentralisasi adalah menggunakan teori pilihan publik dan ekonomi

kelembagaan baru (NIE, New Institutional Economics). Peneliti lain, Osei-Kufuor

dan Owolabi (2013) menjelaskan bahwa perspektif institusional akan memberikan

pengertian yang lebih baik dalam melaksanakan sistem desentralisasi. Jaya (2010)

dalam kasus desentralisasi di Indonesia mengetengahkan, bahwa secara teori,

Page 9: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

9

Indonesia membutuhkan suatu sistem ekonomi kelembagaan baru yang kuat untuk

menurunkan biaya transaksi yang disebabkan pengaruh negatif sistem yang ada.

Melihat pentingnya sistem kelembagaan dalam analisis pelaksanaan desentralisasi

suatu negara, maka penelitian ini menggunakan teori ekonomi kelembagaan baru

dengan pendekatan konsep primal-dual dari teori ekonomi neoklasik untuk

menganalisis pelaksanaan desentralisasi di Indonesia.

1.3. Perdebatan Empiris

Literatur menunjukkan bahwa penelitian mengenai desentralisasi fiskal

dapat dikelompokkan kepada dua garis besar pandangan, yakni pandangan yang

memberikan dukungan bahwa desentralisasi akan membawa pada kondisi yang

lebih baik, dan pandangan bahwa penerapan desentralisasi akan memperburuk

ekonomi, karena pemberian otonomi yang terlalu luas justru akan membawa pada

masalah lain yang serius.

Pandangan pertama diwakili oleh beberapa peneliti, seperti Tiebout (1956)

yang menjelaskan bahwa desentralisasi fiskal akan memberikan peningkatan

welfare melalui perpindahan penduduk yang membentuk homogenitas preferensi

di tingkat populasi lokal, yang tidak dapat direfleksikan pada tingkat nasional.

Pandangan ini kemudian dikuatkan oleh Oates (1972) yang menyatakan bahwa

desentralisasi akan meningkatkan economic welfare pada masing-masing daerah.

Kemudian Lessmann (2009) melakukan penelitian atas pengaruh fiskal

desentralisasi terhadap disparitas regional. Hasilnya adalah tingkat desentralisasi

mempunyai pengaruh yang baik terhadap disparitas regional, artinya semakin

tinggi degree dari desentralisasi fiskal, semakin kecil tingkat disparitas regional.

Page 10: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

10

Bryson dan Cornia (2000) juga menjelaskan pada kasus di Slovakia bahwa

pelaksanaan desentralisasi membawa peningkatan penerimaan pemerintah daerah

di negara tersebut.

Namun peneliti lain berpendapat sebaliknya, misalnya Epple (2012) yang

menjelaskan bahwa untuk kasus pajak properti, sistem sentralisasi akan lebih

efisien sehingga akan meningkatkan welfare masyarakatnya, sebaliknya

pengenaan pajak properti pada sistem desentralisasi tidak efisien, hal ini

disebabkan preferensi komunitas gagal mencapai efisiensi karena adanya

eksternalitas. Nicholson-Crotty (2009) menjelaskan bahwa pada sistem

desentralisasi, pemberian transfer bantuan pemerintah federal kepada pemerintah

daerah akan menurunkan local government effort untuk meningkatkan penerimaan

pajaknya. Untuk kasus di Swiss, Schelker (2005) berpendapat tingkat

desentralisasi yang lebih tinggi akan menyebabkan lower income tax rates yang

menyebabkan penerimaan pajak menjadi berkurang. Keen dan Kotsogiannis

(2002) mengetengahkan bahwa apabila states menggunakan basis pajak tidak

bergerak, maka ekuilibrium state taxes akan terlalu rendah, hal ini disebabkan

adanya eksternalitas horisontal. Hochman et al. (1995) menggunakan metode

deskriptif menjelaskan bahwa desentralisasi penuh akan tidak efisien, jalan

keluarnya adalah memasukkan variabel institusional, geografi berdasarkan teritori

sehingga penyediaan barang publik akan lebih efisien. Marlow (1998) dengan

asumsi monopoli pemerintah berargumen bahwa pergeseran tanggung jawab

melalui desentralisasi akan membawa pada slowing atau falling dari ukuran sektor

publik dan pertumbuhan di US. Beberapa pandangan lain walaupun tidak tegas

mendukung dikemukakan oleh Brueckner (2004) yang menjelaskan bahwa tanpa

Page 11: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

11

adanya kondisi yang kurang baik, dimana dispersi preferensi yang rendah, maka

sisi buruk desentralisasi akan mendominasi.

Penelitian yang mengaitkan desentralisasi dengan upaya pajak (tax effort)

belum banyak dilakukan. Huang et al. (2012) menjelaskan bahwa desentralisasi

fiskal di China memberikan pengaruh positif terhadap upaya pajak daerah. Jha et

al. (2011) mengemukakan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal di India justru

sebaliknya menurunkan penerimaan pajak daerah. Ukuran upaya pajak penelitian

tersebut adalah jumlah koleksi pajak pemerintah daerah.

Berdasarkan beberapa perdebatan pandangan pro dan kontra pelaksanaan

desentralisasi fiskal dan pengaruhnya terhadap upaya pajak daerah maka, pertama,

penelitian ini dilakukan untuk mengetahui upaya pajak dan kaitannya dengan

pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Kedua, penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui apakah terjadi informasi simetris atau tidak, antara pemerintah pusat

dan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia. Ketiga,

mengetahui pengaruh penalti terhadap anggaran pengeluaran daerah dalam

upayanya menyediakan barang publik. Dengan mengetahui kondisi ini, maka akan

diperoleh strategi kebijakan untuk sistem desentralisasi fiskal yang lebih baik.

1.4. Perdebatan Metodologis

Penelitian mengenai desentralisasi fiskal telah banyak dilakukan. Beberapa

diantaranya dilakukan dengan metode kualitatif. Sebagian di antaranya adalah

Oates (1972) yang berargumen secara deskriptif, mengemukakan bahwa dengan

desentralisasi, pemerintah dapat menyediakan barang publik secara optimal.

Bryson dan Cornia (2000) dengan data empiris mencoba membandingkan

Page 12: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

12

pencapaian desentralisasi dan melihat pemerintahan lokal sebagai bagian

keberhasilan transisi ekonomi di dua negara Czech dan Slovakia. Pemerintah

daerah di Czech masih sangat tergantung kepada pusat dan mempunyai masalah

prinsipal-agen. Pemerintah daerah mengejar kepentingannya sendiri yang dengan

adanya peningkatan dana transfer pemerintah federal akan menimbulkan moral

hazard. Sementara di negara tetangganya, Slovakia, pelaksanaan desentralisasi

fiskal telah berjalan dengan baik melalui adopsi sistem pajak barat dengan

peningkatan penerimaan pemerintah daerah. Hochman et al. (1995) menunjukkan

faktor instutitusional ruang (space matters) dalam mendesain penyediaan barang

publik lokal. Ketika faktor institusional geografi, dipertimbangkan, maka

desentralisasi penuh tampaknya tidak efisien, oleh karena itu diketengahkan

sistem berdasarkan terirori dengan memperluas teritori sebagai pemerintahan

metropolitan.

Namun beberapa pandangan lain menegaskan bahwa penelitian mengenai

pelaksanaan desentralisasi lebih baik apabila menggunakan analisis kuantitatif

dengan model ekonometri. Penggunaan ekonometri dengan data empiris lebih

mempunyai dasar pembuktian bila dibandingkan hanya dengan metode kualitatif

deskriptif. Beberapa penelitian mengenai desentralisasi yang menggunakan

analisis kuantitatif dengan ekonometri adalah Schelker (2005). Dia menggunakan

Ordinary Least Square (OLS) dan Weighted Least Square (WLS) untuk

menganalisis pengaruh desentralisasi pajak pada efisiensi desentralisasi di Swiss.

Dengan warga yang mobile, individu kaya akan bermigrasi ke daerah yang

pajaknya rendah, sedangkan yang miskin berharap akan berpindah tempat ke

daerah dengan welfare spending yang lebih tinggi. Lessmann (2009) dengan OLS,

Page 13: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

13

2SLS, dan generalized method of moments (GMM) menginvestigasi hubungan

antara desentralisasi fiskal dan ketimpangan regional. Regresi data cross-section

menunjukkan bahwa dengan high degree of fiscal decentralization

memperlihatkan disparitas regional yang rendah, sedangkan regresi data panel

menunjukkan bahwa peningkatan tingkat desentralisasi akan membawa pada

penurunan disparitas dalam negara. Peneliti lain, Sean (2009) menggunakan OLS

panel fixed effect untuk mengetahui tingkat grant-in-aid yang dapat menurunkan

upaya pajak. Upaya pajak diukur dengan rasio koleksi pajak negara bagian

dengan kapasitas pajak absolutnya. Medicaid disbursement berpengaruh secara

negatif pada upaya pajak baik di negara bagian yang liberal maupun konservatif,

namun kenaikan grant ini tidak diikuti dengan penurunan pajak dalam jumlah

yang sama, dikarenakan adanya beberapa penyesuaian seperti inflasi. Campbell

(2004) dengan OLS dan 2SLS mengintegrasikan dua model perilaku pemerintah

daerah, yakni Leviathan dan fiscal illusion dalam overlapping wilayah pemerintah

daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan anggaran desentralisasi

akan menurunkan pengeluaran di tingkat minicipal, sementara pada tingkat county

tidak berpengaruh. Dalam model fiscal illusion, pemerintah akan

menyembunyikan beban pajak (burden of taxes) untuk mendapatkan keuntungan

dari pengeluaran publik. Ada beberapa pandangan yang mengemukakan bahwa

untuk metode kuantitatif, penggunaan Jaringan Syarat Tiruan (JST) mempunyai

nilai kesalahan estimasi yang lebih kecil dibandingkan dengan ekonometri

(Mirmirani dan Li, 2004; Bharat et.al.,1997; Hill et al.,1996). Namun penelitian

tersebut dilakukan di bidang lain dan bukan pada pelaksanaan desentralisasi.

Page 14: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

14

Metode lain yang dipakai dalam penelitian desentralisasi, khususnya yang

terkait dengan penyediaan barang publik adalah dengan metode eksperimen.

Melalui metode eksperimen, diharapkan akan terlihat pola perilaku dalam

penyediaan barang publik. Coz dan Sadiraj (2007) menarik kesimpulan dari hasil

eksperimen bahwa terdapat subjek eksperimen yang bersifat altruism yang

memberikan kontribusinya tanpa melihat apakah orang lain berkontribusi atau

bertindak free-ride. Namun pada umumnya dalam eksperimen, sebagian besar

subjek cenderung hanya mau sedikit berkontribusi untuk barang publik (Graves,

2010; Andreoni, 1990, 1995; Sudgen, 1984); ). Untuk mengatasi kegagalan

penyediaan barang publik, maka perlu adanya penalti bagi yang kurang atau tidak

mau berkontribusi (Carpenter, 2007; Gachter dan Fehr, 2000).

Pro dan kontra metode kualitatif deskriptif dan kuantitatif pada penelitian

di atas dilakukan menggunakan asumsi neoklasik. Sedangkan pada eksperimen

barang publik masih sedikit yang menggunakan hubungan prinsipal dan agen.

Penelitian mengenai desentralisasi fiskal dengan pendekatan prinsipal-agen yang

telah melepas asumsi neo-klasik memang masih belum banyak dilakukan. Jaya

(2004, 2007) untuk kasus Indonesia, melihat hubungan antara rakyat dan

pemerintah melalui prinsipal-agen. Terdapat aktifitas oportunistik karena

informasi yang tersedia pada kedua belah pihak tidak simetris. Tommasi (2007)

menggunakan analisis prinsipal-agen dalam persamaan menyimpulkan bahwa

bentuk desentralisasi lebih menguntungkan bagi rakyat.

Membandingkan dan mempertimbangkan beberapa metode penelitian di

atas, maka penelitian ini menggunakan model prinsipal-agen dengan alat analisis

JST (Jaringan syaraf Tiruan, artificial neural network) dan laboratorium

Page 15: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

15

eksperimen untuk menganalisis pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia.

Analisis dilakukan dengan mengaitkan sisi penerimaan dan sisi pengeluaran

daerah dengan pendekatan primal-dual.

1.5. Model Prinsipal-Agen

Awal perbedaan kepentingan representative agent dalam ekonomika

dimulai dari teori perusahaan yang melakukan pemisahan antara kepemilikan dan

pengawasan perusahaan.Pemisahan tersebut kemudian berkembang menjadi suatu

teori manajerial perusahaan (Baumol 1959 dan Williamson 1963). Teori ini

kemudian diperluas menjadi corporate economy (Marris dan Wood 1971) dan

corporate society (Marris 1974). Dalam kerangka pemisahan ini, Williamson

(1963) menjelaskan bahwa manajemen perusahaan mempunyai suatu preferensi

pengeluaran, sehingga terdapat konflik antara:

a. maksimisasi profit yang mewakili kepentingan pemilik (shareholders),

b. maksimisasi utiliti manajemen yang tidak mewakili kepentingan pemilik.

Manajerial mengejar kepentingan sendiri yang tidak membawa pada kondisi

maksimum dari present value aliran investasi (Marris dan Mueller, 1980). Teori

mengenai perusahaan ini kemudian memunculkan masalah atau konflik antara

pemilik dan pihak manajemen yang selanjutnya membawa pada suatu teori

keagenan.

Alchian dan Demsetz (1972) mengatasi permasalahan pengukuran

produktifitas pekerja (employee) dalam hubungannya dengan rewardnya. Mereka

menolak asumsi zero cost yang dianggapnya sebagai kondisi di mana

produktifitas menghasilkan reward secara otomatis. Menurut mereka, tidak ada

Page 16: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

16

perfect zero cost dalam hal ini. Salah satu jalan keluar untuk meningkatkan

produktifitas adalah melakukan kontrak bilateral antara pemilik perusahaan atau

owner, disebut sebagai central-agent, dengan beberapa beberapa agen (joint

input) dalam suatu tim proses produksi. Hal ini dapat mengurangi pengawasan

pemilik terhadap pekerja.

Model prinsipal-agen yang lebih baru dikemukakan oleh Ross (1973) yang

kemudian menjadi asal mula teori ekonomi keagenan (The economic theory of

agent) dan Mitnick (1973) yang lebih ke arah teori institusi keagenan (The

institutional theory of agent). Ross (1973) menjelaskan bahwa hubungan

keagenan muncul antara dua pihak (atau lebih), ketika satu pihak, disebut agen,

bertindak sebagai wakil atau kepentingan pihak lain, disebut prinsipal, dalam

masalah keputusan (decision). Sedangkan teori umum konsep keagenan dan

hubungan keagenan dibangun oleh Mitnick (1973, 1974). Definisi hubungan

keagenan menurut Mitnick adalah ada satu pihak (disebut agen) “bertindak untuk”

pihak lain (yang disebut prinsipal). “Bertindak” disini mengandung arti

melakukan keputusan untuk dan atas nama prinsipal dengan tujuan utama

meningkatkan value organisasi sesuai harapan prinsipal. Namun pada

kenyataannya, agen juga dapat bertindak untuk kepentingannya sendiri yang tidak

sesuai dengan keinginan prinsipal. Jensen dan Meckling (1976) dengan

menggunakan teori ekonomi organisasi mencoba mendefinisikan perusahaan

sebagai suatu fiksi hukum yang dikarakterisasi sebagai nexus of contract yang

mempunyai hubungan keagenan. Hubungan keagenan adalah suatu kontrak di

mana satu orang atau lebih (prinsipal) memperkerjakan orang lain (agen) untuk

kepentingannya dan mendelegasikan keputusannya pada agen. Jika kedua pihak

Page 17: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

17

memaksimalkan utilitasnya, maka agen tidak selalu dalam kondisi kepentingan

prinsipal yang terbaik. Penjelasan teori keagenan yang digunakan untuk

mengorganisir hubungan terbaik antara satu pihak, yang menentukan pekerjaan

(prinsipal), dan pihak lain yang melakukannya (agen), dikemukakan oleh

Eisenhardt (1989). Teori ini berpendapat bahwa dalam kondisi informasi tidak

sempurna dan uncertainty dapat memunculkan tindakan moral hazard oleh agen,

yaitu kondisi di mana prinsipal tidak yakin apakah agen telah merepresentasikan

kemampuannya secara maksimal setelah penandatanganan kontrak antara

prinsipal dan agen. Pada kondisi ini, prinsipal tidak mengetahui informasi secara

sempurna terhadap tindakan agen. Studi awal mengenai moral hazard dilakukan

oleh Spence dan Zeckhause (1971) mengenai analisis kontrak asuransi. Pemegang

polis akan berubah perilakunya demi mendapatkan keuntungan dari klaim

asuransi.

Beberapa studi memberikan pendapat bahwa teori mengenai negara

sangat mirip dengan teori perusahaan. Shepsle & Weingast, (1987) menjelaskan

bahwa teori perusahaan sama dengan desain kongres untuk pengembangan

legislator. Penjelasan ini didukung oleh studi yang dilakukan Weingast (1988,

1989) dan Weingast & Marshall (1988). Studi lain yang secara tegas

menjelaskan persamaan perusahaan dan negara dilakukan oleh Moe (1984, 1991),

Weingast (1984), serta McCubbins et al. (1989). Mereka menunjukkan adanya

kemiripan antara perusahaan dan negara. Apabila di perusahaan pemegang

otoritasnya adalah manajer maka di birokrasi pemegang otoritasnya adalah

penguasa, dan keduanya mempunyai potensi yang sama untuk bertindak selfish.

Apabila di perusahaan tujuannya adalah maksimisasi profit dengan kendala biaya,

Page 18: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

18

maka tujuan negara adalah maksimisasi produk sosial dengan kendala anggaran.

Pemakai output di perusahaan adalah konsumen sedangkan di level negara adalah

rakyat. Baik pada perusahaan maupun negara dapat terjadi konflik dalam

mencapai tujuan. Dari sisi pendelegasian wewenang juga mempunyai kemiripan

antara perusahaan dengan institusi birokrasi. Pemberi wewenang di perusahaan

merupakan pemilik perusahaan atau pemegang saham, sedangkan penerima

wewenang untuk melakukan keputusannya adalah pimpinan perusahaan, seperti

direktur atau manajer. Sedangkan pada konteks negara, pemberi wewenang adalah

rakyat sedangkan penerima mandatnya adalah lembaga legislatif, eksekutif, atau

yudikatif. Pada konteks kenegaraan di bidang eksekutif, pemberi wewenang

adalah presiden sedangkan penerima mandat untuk mengambil keputusan adalah

menteri dan pejabat setingkat. Di bidang hubungan pemerintah pusat dan daerah

melalui sistem desentralisasi maka pemberi wewenang adalah pemerintah pusat

dan penerima wewenangnya adalah pemerintah daerah. Pada hubungan ini apabila

dilihat dari konsep prinsipal-agen maka pemerintah pusat disebut sebagai

prinsipal sedangkan pemerintah daerah disebut agen.

Pada implementasi desentralisasi fiskal di Indonesia, pemberian wewenang

oleh pemerintah pusat kepada daerah dilakukan berdasarkan Undang-undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Nomor 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan

Daerah. Aturan tersebut merupakan rules of the game pelaksanaan desentralisasi

fiskal di Indonesia. Dengan pemberian wewenang ini, seharusnya daerah

bertindak untuk dan atas nama kepentingan pemberi wewenang. Namun pada

kenyataannya, pemerintah daerah mempunyai kepentingan tersendiri yang dapat

Page 19: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

19

tidak sejalan dengan kepentingan pemerintah pusat. Data APBN tahun 2007

sampai 2013 menunjukkan bahwa besaran dana transfer ke daerah mengalami

peningkatan dari tahun ke tahun, sedangkan data APBD tahun yang sama

memperlihatkan bahwa sebagian besar anggaran daerah dipakai untuk belanja

pegawai. Hal ini memperlihatkan bahwa dana untuk penyediaan barang publik di

daerah dikalahkan oleh dana yang digunakan untuk kepentingan birokrasinya

sendiri. Banyak pimpinan daerah serta jajarannya yang terkena kasus korupsi di

daerah. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengawasan maupun lemahnya

kontrol kepada daerah. Kondisi ini menunjukkan indikasi adanya informasi yang

tidak simetris antara pemerintah pusat dan daerah. Informasi yang tidak simetris

antara pemerintah pusat, sebagai prinsipal, dengan pemerintah daerah, sebagai

agen, dapat membawa permasalahan yang lebih besar dalam proses pelaksanaan

desentralisasi. Birokrasi daerah sebagai penerima wewenang pusat seharusnya

bertindak untuk kepentingan pemberi wewenang, namun ternyata lebih

memperjuangkan kepentingannya sendiri. Masyarakat merasakan kurangnya

penyediaan barang publik, sarana dan prasarana publik kurang baik. Layanan

publik yang ada dirasa tidak maksimal, karena proses birokrasi lamban maupun

sikap pegawai daerah yang kurang melayani. Permasalahan tersebut akan

membawa pada inefisiensi ekonomi. Menurut Eisenhardht (1989), kondisi ini

merupakan representasi tindakan moral hazard dalam konsep hubungan prinsipal-

agen. Pemerintah daerah sebagai agen melakukan tindakan yang tidak dapat

diobservasi oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah mempunyai kepentingan

sendiri yang tidak sejalan dengan kepentingan pusat. Terdapat konflik

kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah. Ada potensi bahwa sumber dana

Page 20: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

20

APBD lebih mengharapkan dana transfer pemerintah pusat sehingga upaya pajak

pemerintah daerah tidak optimal, sedangkan di sisi belanjanya, pemerintah daerah

lebih banyak menggunakannya untuk kepentingan birokrasi daerah sendiri.

Padahal pemerintah pusat sebagai prinsipal, menginginkan dana transfer

perimbangan digunakan untuk layanan publik maupun penyediaan barang publik

agar menjadi stimulus fiskal bagi pertumbuhan daerah. Dengan adanya konflik

kepentingan tersebut maka tindakan daerah menjadi sulit diketahui secara

sempurna oleh pemerintah pusat. Pada saat bersamaan, pemerintah pusat tidak

lagi mengetahui apakah agen telah merepresentasikan kemampuannya secara

maksimal sesuai keinginannya. Terdapat kondisi yang saling berhubungan ketika

pemerintah pusat dan daerah mempunyai konflik kepentingan maka di saat itu

juga pemerintah pusat tidak mempunyai informasi sempurna terhadap tindakan

agen. Hal ini merepresentasikan adanya informasi tidak simetris antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah, seperti penjelasan sebelumnya.

Pentingnya mengetahui apakah pada pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia

terjadi kondisi informasi simetris atau asimetris antara pemerintah pusat dan

daerah, juga menjadi tujuan dari penelitian ini.

1.6. Konsep Primal Dual

Di dalam ekonomika mikro, masalah optimisasi dapat direpresentasikan

di dalam dua jalan yang berbeda yakni primal dan dual. Pemilihan bentuk

optimisasi dari suatu permasalahan tergantung pada informasi yang diperoleh

dalam proses pencapaian solusi optimisasi. Namun yang terpenting, apapun jalan

yang digunakan hasilnya adalah sama. Konsep primal dual ini sudah menjadi

Page 21: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

21

standar suatu solusi optimisasi dalam literatur mikroekonomika. Beberapa bidang

ekonomika dapat menggunakan konsep primal dual untuk solusi optimisasi,

seperti perusahaan, perusahaan dengan konsumen, maupun konsumen saja

tergantung permasalahan yang ada.

Dalam pendekatan konsumen, konsep primal bertujuan memaksimalkan

fungsi utiliti dari konsumen dengan kendala anggaran (subject to budget

constraint) sehingga diperoleh suatu solusi optimal dari masalah primal (primal

problem). Konsep seperti ini akan menghasilkan solusi permintaan Marshallian,

yang dapat diilustrasikan pada Gambar 1.2. Terdapat barang X1 dan X2 dengan

kendala anggaran (budget constraint) yang bersifat tetap sebesar X1 X2. Oleh

karena itu, solusi optimal bagi konsumen adalah mengubah preferensinya melalui

fungsi utiliti dengan pilihan U1, U2, dan U3. Solusi optimal bagi konsumen pada

kondisi ini adalah pada titik X* dimana titik ini merupakan perpotongan dari

fungsi utiliti yang menunjukkan preferensi yang paling optimal dengan fungsi

anggarannya.

Gambar 1.2. Konsep Primal

Garis Anggaran

.X* U2

U1

U3

Fungsi Utiliti

Masimumkan Fungsi Utiliti

X1

X2

Page 22: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

22

Penurunan matematis untuk konsep primal di atas dilakukan dengan

menggunakan lagrangian dan dirumuskan sebagai berikut:

dimana,

U(x) : Fungsi utiliti

µ : Fungsi lagrangian y : Kendala anggaran p : Harga barang x x : Jumlah barang x

Pada konsep dual, konsumen akan meminimalkan fungsi pengeluarannya

dengan kendala fungsi utilitinya (subject to utility function), sehingga akan

diperoleh suatu solusi optimal untuk masalah dual. Solusi optimal yang diperoleh

melalui konsep dual menghasilkan solusi permintaan Hicksian, yang dapat dilihat

pada Gambar 1.3 di bawah ini. Seperti gambar sebelumnya, pada Gambar 1.3

terdapat dua pilihan barang X1 dan X2 dengan kendala fungsi utiliti, U, yang

bersifat tetap. Solusi optimal untuk kondisi seperti ini adalah mengubah garis

kendala anggaran naik turun di sekitar garis anggaran X1 X2, sehingga diperoleh

fungsi pengeluaran yang paling minimal dalam kaitannya dengan fungsi utiliti.

n

max U(x) + µ[y – Σ pix

i]

x, y i=1

Page 23: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

23

Gambar 1.3. Konsep Dual

Solusi optimal bagi konsumen pada masalah dual ini adalah pada titik X*, dimana

titik ini merupakan perpotongan dari fungsi anggaran dengan fungsi utiliti yang

ada. Seperti halnya penurunan matematis konsep primal, maka konsep dual dapat

dirumuskan dengan lagrangian sebagai berikut:

dimana, p : Harga barang x x : Jumlah barang x

U(x) : Fungsi utiliti

λ : Fungsi lagrangian

υ : Tingkat utiliti

n

Min Σ pixi + λ(υ− U(x))

x,υ i=1

X2

Garis Anggaran

.X* U Fungsi Utiliti

Minimumkan

Pengeluaran

X1

Page 24: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

24

Dari kedua pencarian solusi optimal melalui konsep primal dual terlihat

bahwa kedua solusi optimal akan menghasilkan nilai yang sama. Artinya baik

pencarian solusi optimal melalui konsep primal maupun konsep dual akan

diperoleh solusi optimal di titik X*. Kondisi ini hanya terjadi ketika terdapat

informasi simetris pada kedua pendekatan baik primal maupun dual. Fungsi

tujuan dari pendekatan primal akan menjadi kendala pada pendekatan dual,

demikian pula sebaliknya, fungsi tujuan pada pendekatan dual akan menjadi

kendala pada pendekatan primal. Apabila tidak simetris, maka solusi optimal

pendekatan primal akan berbeda dengan pendekatan dual.

1.7. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya

Tidak dipungkiri bahwa beberapa peneliti telah melakukan penelitian

mengenai masalah desentralisasi. Penelitian desentralisasi fiskal seperti ini telah

banyak dilakukan dan sebagian besar dari penelitian tersebut dilakukan dengan

metode deskriptif maupun kuantitatif menggunakan metode ekonometrika.

Penelitian dengan metode deskriptif dilakukan oleh Araral (2009),

Eisenhauer (2006), Bryson dan Cornia (2000), Hochman et al.(1995). Sementara

penelitian mengenai desentralisasi yang menggunakan analisis regresi dilakukan

oleh Schelker (2005) dengan Ordinary Least Square dan Weight Least Square

kemudian Lessmann (2009) menggunakan Ordinary Least Square, dan GMM.

Sean (2009) juga menggunakan OLS dengan panel fixed effect) sementara

Hyytinen dan Väänänen (2006) menggunakan regresi probit dan poisson

sedangkan Campbell (2004) menggunakan OLS dan 2SLS. Sementara Jaya

Page 25: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

25

(2004, 2007) dengan analisis prinsipal-agen melihat hubungan antara rakyat dan

pemerintah yang pada prakteknya mempunyai potensi aktifitas oportunistik

karena informasi yang tersedia pada kedua belah pihak tidak simetris.

Sebagai alternatif analisis, penelitian ini menggunakan gabungan model

empiris Jaringan Syaraf Tiruan (JST) dan eksperimen, dimana pada beberapa

studi sebelumnya, penelitian mengenai desentralisasi masih banyak dilakukan

dengan metode deskriptif maupun analisis regresi. Lebih tegasnya, yang

membedakan penelitian ini dengan sebelumnya, adalah:

1) Penelitian ini menganalisis desentralisasi fiskal menggunakan model prinsipal-

agen dengan konsep primal dual yang diaplikasikan pada sistem penerimaan

dan pengeluaran pemerintah daerah.

2) Dari penurunan matematis aplikasi tersebut, penelitian ini menemukan

hubungan sistem penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah melalui

konsep primal-dual, dalam hal ini minimisasi pengeluaran dan maksimisasi

utiliti.

3) Dengan konsep ini dapat diketahui upaya pajak tiap daerah.

4) Dengan konsep ini juga dapat diketahui hubungan pemerintah pusat dan daerah

apakah simetris atau tidak.

5) Menggunakan analisis JST dan metode eksperimen untuk menganalisis

pelaksanaan desentralisasi di Indonesia yang kerangka penulisannya

dituangkan dalam bentuk esai.

Page 26: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

26

1.8. Kontribusi Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik di bidang teori,

empiris, maupun kebijakan. Singkatnya, penelitian ini diharapkan:

1) Sebagai studi awal dalam ekonomika kelembagaan yang menggunakan model

prinsipal-agen untuk menganalisis pelaksanaan desentralisasi di Indonesia yang

dituangkan dalam derivasi persamaaan teori neoklasik. Diharapkan studi ini

dapat memberikan kontribusi di bidang metodologi, dimana pada pembuktian

derivasi persamaan dari fenomena pelaksanaan desentralisasi fiskal di

Indonesia terdapat hal yang menghubungkan antara sistem penerimaan dan

pengeluaran pemerintah daerah melalui konsep primal-dual, yakni minimisasi

pengeluaran dan maksimisasi utiliti.

2) Sebagai alternatif kebijakan dalam pengambilan keputusan pemangku

kepentingan di bidang desentralisasi fiskal melalui suatu model ketidakpastian

dengan mempertimbangkan sisi behavioral.

1.9. Sistematika Penulisan

Tulisan ini akan terbagi menjadi dua esai, yakni esai satu dan esai dua.

Esai satu adalah esai mengenai aplikasi model prinsipal-agen sisi penerimaan

desentralisasi fiskal sedangkan esai dua adalah aplikasi untuk sisi

pengeluarannya. Penurunan matematis untuk kedua aplikasi mengadopsi model

prinsipal-agen dengan konsep primal dual menggunakan metode Kuhn-Tucker

dengan memasukkan variabel incentive compatibility dan participation constraint.

Analisis aplikasi model prinsipal-agen untuk sisi penerimaan pemerintah daerah

Page 27: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

27

akan menggunakan data empiris sedangkan untuk aplikasi model prinsipal-agen

pada sisi pengeluaran akan menggunakan eksperimen laboratorium.

Alasan pemilihan analisis empiris pada esai satu karena banyak studi

mengenai upaya pajak (revenue tax effort) di beberapa negara dilakukan dengan

menggunakan model empiris, seperti di negara berkembang (Lotz dan Morss,

1967 serta Gupta, 2007), Bangladesh (Islam, 1979), negara-negara Arab (Eltony,

2002), Indonesia (Alfirman, 2003). Analisis data pada beberapa studi tersebut

pada umumnya dilakukan dengan metode statistik seperti regresi. Tidak seperti

penelitian tersebut di atas, esai satu pada penelitian ini menggunakan metode

artifisial neural network (jaringan syaraf tiruan, selanjutnya disebut JST) untuk

menganalisis data empiris. Penggunaan alat analisis ini pada esai satu didasarkan

pada bukti empiris bahwa analisis JST pada beberapa studi ilmu sosial di sisi hasil

estimasi mempunyai nilai error yang lebih kecil dibanding metode statistik seperti

Ordinary Least Square (OLS), Multiple Regression Analysis, Vector

Autoregressive (VAR) maupun Linear Probability Model, Logistic Regression

Model (Chen (2005), Hill et al. (1996), Bharat dan Bain (1997), Binner et al.

(2004), Mirmirani dan Li (2004).

Sedangkan alasan penggunaan metode eksperimen pada esai dua

disebabkan analisis data kuantitatif dengan microfoundation kurang dapat

menangkap fenomena dari sisi perilaku. Dikarenakan esai dua lebih menekankan

pengamatan perilaku pemerintah daerah yang di satu sisi menghadapi kendala

keterbatasan anggaran sedang di sisi lain harus menyediakan layanan kepada

masyarakat, maka perilaku (behavior) dari aktivitas subjek tersebut dapat

diobservasi dengan baik apabila dilakukan dengan metode eksperimen. Telah

Page 28: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

28

banyak penelitian mengenai pengeluaran negara dilakukan dengan metode

eksperimen, khususnya dalam hal penyediaan barang publik. Seperti eksperimen

barang publik yang subjek eksperimennya bertindak altruism (Becker,1974;

Andreoni dan Miller, 2002; Cox dan Sadiraj, 2007), penyediaan barang publik

yang dipengaruhi beauty, gender and stereotypes (Andreoni dan Petrie, 2007),

kontribusi terhadap barang publik dimana subjek bertindak warm-glow altruism

(Andreoni, 1989, 1990), subjek pelaku kontribusi barang publik bertindak

inequality aversion (Fehr dan Schmidt, 1999), subjek eksperimen bertindak

confusion versus altruism (Andreoni, 1995), serta tindakan reciprocity yang

dilakukan oleh kontributor barang publik (Sugden, 1984).

Pengorganisasian penulisan ini dilakukan sesuai konseptual alur penelitian

Zikmund (2003) pada Gambar 1.4. Alur penelitian dimulai dari permasalahan

pelaksanaan desentralisasi fiskal karena perbedaan kepentingan baik di sisi

penerimaan maupun pengeluaran, sehingga pencapaian tujuan desentralisasi fiskal

seperti yang diinginkan oleh pemerintah pusat sebagai pemberi wewenang

menjadi kurang maksimal. Pandangan ekonomi yang mengakomodir

permasalahan di atas adalah ekonomika kelembagaan baru (NIE) dengan

ekonomi neoklasik. Identifikasi sumber masalah utama adalah apakah terdapat

informasi yang tidak sempurna antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah?

Pemilihan model yang dipilih untuk kondisi dimana terdapat pemberi wewenang

dan penerima wewenang adalah model prinsipal-agen. Tulisan dilanjutkan dengan

metode analisis pada aplikasi model prinsipal-agen. Aplikasi untuk penerimaan

daerah dilakukan dengan studi data sekunder menggunakan alat analisis jaringan

syaraf tiruan (JST). Aplikasi untuk pengeluaran daerah dilakukan dengan

Page 29: Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/79024/potongan/S3-2015... · 2 dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam membelanjakan

29

eksperimen laboratorium. Selanjutnya dijelaskan landasan teori untuk masing-

masing aplikasi yakni penerimaan maupun pengeluaran daerah. Kedua landasan

teori ini dianalisis melalui konsep primal dual yang diaplikasikan pada data

sekunder untuk dapat diambil kesimpulan apakah terjadi informasi simetris atau

tidak simetris dalam penerapan desentralisasi fiskal di Indonesia. Selengkapnya

pokok pikiran tulisan ini dapat dilihat pada model konseptual di Gambar 1.4

berikut ini.

Gambar 1.4. Model Konseptual