Bab I Pendahuluan 1.1. Latar...
Transcript of Bab I Pendahuluan 1.1. Latar...
1
Bab I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Peran pemerintah diantaranya adalah melakukan redistribusi pendapatan,
penyediaan barang publik, dan perlindungan sosial (Gramlich, 1990). Pemerintah
menjalankan fungsi tersebut untuk semua warga negaranya. Ketika luas wilayah
dan jumlah penduduknya terlalu besar maka tugas pemerintah menjadi berat
dalam menjalankan fungsi tersebut, maka sistem multi-level government sangat
diperlukan. Sistem multi-level government ini tidak mengubah sistem yang ada,
namun lebih sebagai bentuk pendekatan pemerintah pusat pada daerah di
bawahnya (Lee et al., 2008). Oates (1972) menyatakan bahwa ketika pemerintah
pusat harus menyediakan barang publik kepada seluruh rakyatnya, maka terdapat
keterbatasan dalam hal mengetahui preferensi masyarakat daerah akan barang
publik yang diinginkan. Sistem desentralisasi akan meningkatkan economic
welfare bagi masyarakat di daerah dibanding apabila barang publik disediakan
secara seragam oleh pemerintah pusat melalui sistem sentralisasi.
Sistem multi-level government berfungsi pula dalam pemerataan fiskal
(fiscal equalization). Prinsip utamanya adalah transfer dari daerah yang lebih kaya
kepada daerah yang lebih miskin sehingga setiap daerah memiliki kemampuan
yang kurang lebih sama untuk melayani dan menyediakan sejumlah layanan
publik. Jumlah dan kualitas layanan publik yang sama di setiap daerah sering
menjadi kunci dari konsep pemerataan antardaerah. Dalam sistem multi-level
government, daerah juga dapat diberikan kekuasaan di bidang fiskal dalam bentuk
desentralisasi fiskal. Inti dari desentralisasi fiskal adalah kondisi dimana daerah
2
dapat melakukan koleksi pajak serta memperoleh keleluasaan dalam
membelanjakan anggarannya (Burki et al., 1999, dan Mahi, 2003).
Desentralisasi fiskal sendiri dapat dijelaskan dengan berbagai pendekatan
teori, salah satunya adalah dengan teori kontrak (North, 1981). Dalam teori ini
negara dan institusi yang ingin berhubungan akan membentuk suatu kerangka
hukum yang memungkinkan adanya aturan main antara pihak-pihak yang
melakukan kontrak. Dalam hal desentralisasi fiskal, maka yang menjadi aturan
main antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah terkait pendelegasian
wewenang di bidang fiskal adalah undang-undang tentang desentralisasi fiskal.
Pemerintah pusat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada pemerintah
daerah yang dianggap lebih tahu preferensi masyarakatnya. Ketika menerima
pendelegasian, pemerintah daerah dapat menghadapi masalah trade-off antara
memaksimalkan produk sosial (social product) konstituennya atau
memaksimalkan penerimaan pajak. Ketika pemerintah daerah lebih
memperhatikan konstituennya demi kepentingan politis, maka sulit untuk
mengharapkan penerimaan pajak yang besar dari konstituen tersebut. Konstituen
yang merupakan kelompok kepentingan yang berpengaruh, dapat melakukan
pembalasan (retaliation) dengan mengalihkan hak suaranya (Furubotn dan
Richter, 1998). Terkait struktur hak kepemilikan (property right), pimpinan
daerah menghadapi pilihan antara ingin memaksimalkan kepentingan pemerintah
pusat atau memaksimalkan kepentingan pribadinya melalui monopoly rent,
sehingga untuk stabilisasi kekuasaan, maka penguasa dapat memilih struktur hak
kepemilikan yang kurang efisien dibanding pilihan maksimisasi tujuan. Krueger
(1974) menyatakan bahwa secara ekonomi politik, demi kepentingan stabilisasi
3
daerah, pimpinan pemerintah daerah akan mempertahankan investor berpengaruh
yang sebenarnya bertindak rent seeking, supaya tidak lari ke daerah lain, demi
menjaga reputasi politisnya. Pemilihan struktur property right yang kurang efisien
dibanding pilihan maksimisasi tujuan desentralisasi seperti yang diinginkan oleh
pemerintah pusat oleh North (1981) disebut sebagai path dependence, sementara
Hax (1996) menyebutnya sebagai kondisi bounded rationality dalam menghadapi
situasi konflik kepentingan. Levi (1988) dalam kasus di Perancis menunjukkan
hal tersebut sebagai dorongan pemerintah untuk membentuk institusi ekonomi
yang bertentangan dengan efisiensi. Pada konteks desentralisasi fiskal, maka
kendala-kendala ini dapat mengakibatkan pimpinan daerah berpotensi memilih
tindakan yang memaksimalkan kepentingannya sendiri yang mengakibatkan
pelaksanaan desentralisasi menjadi kurang maksimal. Pada kondisi ini,
penerimaan pajak pemerintah daerah menjadi kurang optimal.
Dalam desentralisasi fiskal, keberadaan path dependence dapat membuat
kurangnya kemandirian fiskal pemerintah daerah. Di Indonesia, pemerintah
daerah berusaha menggantungkan sumber penerimaan anggarannya kepada pusat,
terlihat sejak tahun 2008 sekitar lima puluh persen lebih dana APBN mengalir ke
daerah, baik melalui dana perimbangan maupun melalui belanja kementerian dan
lembaga. Pada APBN 2013, pos dana transfer langsung ke daerah direncanakan
sebesar Rp518,9 triliun (Nota Keuangan dan RAPBN 2013). Besarnya dana
transfer ke daerah disertai kurangnya pengawasan pusat membuat daerah
berpotensi melakukan moral hazard dalam mengeksekusi penerimaan maupun
pengeluarannya. Kondisi ini mengakibatkan peran pemerintah daerah yang
menerima pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat untuk melakukan
4
peningkatan PAD, di sisi penerimaan daerah, dan fungsi pelayanan kepada
masyarakatnya, di sisi pengeluaran daerah, menjadi tidak maksimal.
Dana transfer ke daerah merupakan penerimaan pemerintah daerah
sekaligus pengeluaran bagi pemerintah pusat. Oleh karena itu, pemerintah pusat
berusaha memaksimalkan outcome dari adanya pengeluaran ini. Beratnya beban
dana transfer yang harus dikelola, membuat pemerintah pusat memberikan
diskresi di sisi penerimaan daerah. Diharapkan pemerintah daerah mempunyai
kesungguhan mengelola APBD berdasarkan tata kelola pemerintahan yang baik
dengan mengedepankan akuntabilitas segenap aparatur pemerintahan di daerah.
Pemberian diskresi kewenangan oleh pemerintah pusat seharusnya diikuti dengan
upaya daerah dalam meningkatkan penerimaan pajaknya. Harapannya agar daerah
menjadi lebih mandiri secara fiskal dan tidak selalu menggantungkan dana
pemerintah pusat dalam mendanai program dan kegiatan yang memberi nilai
tambah masyarakat daerah. Namun, tampaknya pemerintah daerah dapat
berperilaku suboptimal dalam meningkatkan PADnya. Kondisi ini terjadi karena
tidak adanya instrumen kebijakan khusus yang dapat mendorong pemerintah
daerah melakukan tugas dan kewajibannya secara maksimal. Pemerintah daerah
berada dalam keadaan indifferent antara meningkatkan penerimaan pajaknya atau
tidak.
Di sisi pengeluaran daerah, pemerintah pusat mempunyai kepentingan
yaitu perbaikan kualitas belanja daerah (quality of spending). Daerah diharapkan
mampu menyediakan barang publik dan memberikan layanan yang baik kepada
masyarakat daerah. Namun, tidak adanya instrumen pengawasan terhadap
pengeluaran daerah, dapat membuat daerah dalam kondisi indifferent antara
5
meningkatkan pelayanan publiknya atau hanya sekedar memenuhi standar
pelayanan minimal (SPM) saja.
Pemberian dana yang besar tanpa adanya pengawasan pada
penggunaannya dapat menimbulkan penyalahgunaan. Ada potensi konflik
kepentingan yang dapat menimbulkan masalah keagenan (Eisenhardt, 1989). Di
bidang desentralisasi fiskal, masalah keagenan terjadi ketika pihak yang menerima
wewenang, didefinisikan sebagai agen, memiliki informasi yang tidak diketahui
pihak pemberi wewenang, yakni prinsipal. Sebagai agen, pemerintah daerah
mempunyai informasi lebih banyak di bidang penerimaan dan penggunaan
budgetnya sendiri dibandingkan pemerintah pusat sebagai prinsipal. Dalam
kondisi ini pemerintah daerah berpotensi mengutamakan kepentingannya sendiri
dan menjadi tidak bertindak untuk kepentingan pemerintah pusat lagi. Penjelasan
di atas dapat dirumuskan dalam masalah keagenan pada gambar berikut ini.
Sumber : Gibbons, R (1998), Furubotn & Rihcter (1998); diolah
Gambar 1-1. Perbedaan Kepentingan antara Prinsipal dan Agen
Q
Q*
e
Cq Cq*
BT Production Function of Principal
Utility Function of Agent
Outcome Optimum Prinsipal
(Kondisi informasi simetris)
Maximisasi Utiliti Agen (Kondisi informasi asimetris)
Biayaa
Keterangan: Q=Outcome
Cq=Biaya Prinsipal e= noise term BT= Biaya Transaksi
Outcome Prinsipal
6
Kondisi informasi simetris di atas dapat dijelaskan dengan konsep primal dual
dimana minimisasi pengeluaran pemerintah pusat ke daerah akan sama dengan
maksimisasi utiliti dari pemerintah daerah. Apabila informasi keduanya menjadi
tidak sempurna atau dalam kondisi tidak simetris, maka keinginan dan tujuan
pemerintah pusat tidak dapat diterjemahkan dengan baik oleh pemerintah daerah.
Pemerintah daerah berpotensi memperjuangkan kepentingannya sendiri. Perilaku
selfish pemerintah daerah ini tidak dapat diobservasi oleh pemerintah pusat,
sehingga outcome pemerintah pusat menjadi Q*, berkurang sebesar variabel ε,
noise term, yang merupakan kondisi ketidakpastian (Q=Q*+ε) akibat adanya
masalah antara prinsipal-agen. Peningkatan anggaran ke daerah, yang tidak lain
merupakan peningkatan biaya bagi pemerintah pusat, tidak diimbangi dengan
kenaikan outcome dan bahkan di sisi lain justru meningkatkan variabel
ketidakpastian, sehingga tercipta biaya transaksi sebesar BT (BT=Cq* - Cq) yang
merupakan biaya yang sebenarnya tidak perlu dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
Permasalahan perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen terkait
dengan hubungan pemerintah pusat dan daerah menjadi menarik dan menantang
untuk diteliti. Dan hal ini menjadi fokus dalam penelitian ini. Ketika beban
pemerintah pusat semakin besar sementara outcome-nya kecil, maka transfer dana
ke daerah akan dikompensasi dengan penambahan kewenangan pemungutan pajak
oleh daerah. Adanya konflik kepentingan prinsipal-agen membuat daerah masih
menggantungkan dananya pada transfer pemerintah pusat. Kebijakan transfer dana
perimbangan kurang dikaitkan dengan sisi kinerja pemerintah daerah. Bahkan
formulasi pada DAU justru menurunkan penerimaan dana transfer bagi daerah
yang berhasil meningkatkan sumber penerimaan daerahnya. Akibatnya
7
ketergantungan yang tinggi pada dana pusat akan selalu berlangsung dan hal ini
membuat upaya peningkatan penerimaan daerahnya menjadi kurang optimal.
Rendahnya penerimaan daerah menjadi kendala dalam upaya penyediaan
pelayanan publik. Muncul permasalahan bagi daerah yakni apakah akan berusaha
menaikkan sumber penerimaan melalui upaya pajak daerah atau menurunkan
kualitas dan kuantitas pelayanan kepada masyarakat.
1.2. Perdebatan Teoritis
Teori federalisme fiskal dapat menjelaskan implementasi desentralisasi
fiskal. Teori ini mengemukakan bahwa pada suatu pemerintahan yang
didesentralisasikan, terdapat beberapa level pemerintahan yang membawa
konsekuensi pembiayaan di tiap level tersebut (Musgrave 1959, Oates 1972).
Ketika pemerintah di level bawah diberikan wewenang untuk menjalankan tugas
penyediaan barang publik oleh pemerintah di level atasnya, maka pemerintah
yang memberikan wewenang juga harus menyediakan dana untuk level
pemerintah yang diberi tugas. Asumsi yang digunakan adalah asumsi ekonomi
neoklasik, di mana pemerintah pusat merupakan social planner yang bersifat
benevolent dengan memberikan grants kepada daerah (Weingast, 2007). Menurut
mereka, federalisme fiskal melihat desentralisasi dari sudut pandang ekonomi
melalui konsep welfare. Teori ini menyebutkan bahwa penyediaan barang publik
didesentralisasikan kepada pemerintah daerah agar sesuai dengan preferensi
populasi daerah masing-masing. Pembiayaan dari adanya pengeluaran ini
sebagian besar dilakukan oleh pemerintah pusat sebagai social plannner untuk
mengatasi perbedaan kemampuan fiskal masing-masing daerah (Tresch, 2002).
8
Banyak penelitian mengenai sistem desentralisasi menggunakan dasar neoklasik
yang dikembangkan pada beberapa topik seperti intergovernmental transfer
maupun pertumbuhan daerah (Wiseman (1964 dan 1987); Peacock (1972);
Dafflon (1977 dan 1978); Breton dan Scott (1978); serta Martinez-Vazquez, J dan
R. McNab (2005)).
Beberapa penelitian lain tidak sependapat dengan teori ini, seperti Inman
(1988) yang membuktikan bahwa teori grants antar-pemerintahan ini tidak dapat
menjelaskan struktur program untuk kasus di US. Fisman-Gatti (2002) juga
menjelaskan untuk kasus di US, kenaikan transfer federal akan meningkatkan
penyalahgunaan dana tersebut. Selain itu, teori fiskal federalisme berpotensi
membuat elit daerah menjadi penguasa tunggal dalam sistem desentralisasi
(Tanzi, 2000; Bardhan dan Mookherjee, 2002; Sonin, 2003; serta Slinko,
Yakovlev, dan Zhuravskaya, 2005).
Terdapat pandangan yang menyebutkan bahwa elemen kelembagaan
dalam desentralisasi tidak dapat diabaikan dan seharusnya dimasukkan ke dalam
analisis. Model yang ada selama beberapa dekade terlalu menyederhanakan
realitas yang mempunyai permasalahan kompleks (Corbridge, 2008). Beberapa
studi memasukkan unsur kelembagaan dalam pelaksanaan desentralisasi. Leach,
Mearns et al. (1999) menyatakan bahwa pendekatan yang sesuai untuk
memahami desentralisasi adalah menggunakan teori pilihan publik dan ekonomi
kelembagaan baru (NIE, New Institutional Economics). Peneliti lain, Osei-Kufuor
dan Owolabi (2013) menjelaskan bahwa perspektif institusional akan memberikan
pengertian yang lebih baik dalam melaksanakan sistem desentralisasi. Jaya (2010)
dalam kasus desentralisasi di Indonesia mengetengahkan, bahwa secara teori,
9
Indonesia membutuhkan suatu sistem ekonomi kelembagaan baru yang kuat untuk
menurunkan biaya transaksi yang disebabkan pengaruh negatif sistem yang ada.
Melihat pentingnya sistem kelembagaan dalam analisis pelaksanaan desentralisasi
suatu negara, maka penelitian ini menggunakan teori ekonomi kelembagaan baru
dengan pendekatan konsep primal-dual dari teori ekonomi neoklasik untuk
menganalisis pelaksanaan desentralisasi di Indonesia.
1.3. Perdebatan Empiris
Literatur menunjukkan bahwa penelitian mengenai desentralisasi fiskal
dapat dikelompokkan kepada dua garis besar pandangan, yakni pandangan yang
memberikan dukungan bahwa desentralisasi akan membawa pada kondisi yang
lebih baik, dan pandangan bahwa penerapan desentralisasi akan memperburuk
ekonomi, karena pemberian otonomi yang terlalu luas justru akan membawa pada
masalah lain yang serius.
Pandangan pertama diwakili oleh beberapa peneliti, seperti Tiebout (1956)
yang menjelaskan bahwa desentralisasi fiskal akan memberikan peningkatan
welfare melalui perpindahan penduduk yang membentuk homogenitas preferensi
di tingkat populasi lokal, yang tidak dapat direfleksikan pada tingkat nasional.
Pandangan ini kemudian dikuatkan oleh Oates (1972) yang menyatakan bahwa
desentralisasi akan meningkatkan economic welfare pada masing-masing daerah.
Kemudian Lessmann (2009) melakukan penelitian atas pengaruh fiskal
desentralisasi terhadap disparitas regional. Hasilnya adalah tingkat desentralisasi
mempunyai pengaruh yang baik terhadap disparitas regional, artinya semakin
tinggi degree dari desentralisasi fiskal, semakin kecil tingkat disparitas regional.
10
Bryson dan Cornia (2000) juga menjelaskan pada kasus di Slovakia bahwa
pelaksanaan desentralisasi membawa peningkatan penerimaan pemerintah daerah
di negara tersebut.
Namun peneliti lain berpendapat sebaliknya, misalnya Epple (2012) yang
menjelaskan bahwa untuk kasus pajak properti, sistem sentralisasi akan lebih
efisien sehingga akan meningkatkan welfare masyarakatnya, sebaliknya
pengenaan pajak properti pada sistem desentralisasi tidak efisien, hal ini
disebabkan preferensi komunitas gagal mencapai efisiensi karena adanya
eksternalitas. Nicholson-Crotty (2009) menjelaskan bahwa pada sistem
desentralisasi, pemberian transfer bantuan pemerintah federal kepada pemerintah
daerah akan menurunkan local government effort untuk meningkatkan penerimaan
pajaknya. Untuk kasus di Swiss, Schelker (2005) berpendapat tingkat
desentralisasi yang lebih tinggi akan menyebabkan lower income tax rates yang
menyebabkan penerimaan pajak menjadi berkurang. Keen dan Kotsogiannis
(2002) mengetengahkan bahwa apabila states menggunakan basis pajak tidak
bergerak, maka ekuilibrium state taxes akan terlalu rendah, hal ini disebabkan
adanya eksternalitas horisontal. Hochman et al. (1995) menggunakan metode
deskriptif menjelaskan bahwa desentralisasi penuh akan tidak efisien, jalan
keluarnya adalah memasukkan variabel institusional, geografi berdasarkan teritori
sehingga penyediaan barang publik akan lebih efisien. Marlow (1998) dengan
asumsi monopoli pemerintah berargumen bahwa pergeseran tanggung jawab
melalui desentralisasi akan membawa pada slowing atau falling dari ukuran sektor
publik dan pertumbuhan di US. Beberapa pandangan lain walaupun tidak tegas
mendukung dikemukakan oleh Brueckner (2004) yang menjelaskan bahwa tanpa
11
adanya kondisi yang kurang baik, dimana dispersi preferensi yang rendah, maka
sisi buruk desentralisasi akan mendominasi.
Penelitian yang mengaitkan desentralisasi dengan upaya pajak (tax effort)
belum banyak dilakukan. Huang et al. (2012) menjelaskan bahwa desentralisasi
fiskal di China memberikan pengaruh positif terhadap upaya pajak daerah. Jha et
al. (2011) mengemukakan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal di India justru
sebaliknya menurunkan penerimaan pajak daerah. Ukuran upaya pajak penelitian
tersebut adalah jumlah koleksi pajak pemerintah daerah.
Berdasarkan beberapa perdebatan pandangan pro dan kontra pelaksanaan
desentralisasi fiskal dan pengaruhnya terhadap upaya pajak daerah maka, pertama,
penelitian ini dilakukan untuk mengetahui upaya pajak dan kaitannya dengan
pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Kedua, penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui apakah terjadi informasi simetris atau tidak, antara pemerintah pusat
dan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia. Ketiga,
mengetahui pengaruh penalti terhadap anggaran pengeluaran daerah dalam
upayanya menyediakan barang publik. Dengan mengetahui kondisi ini, maka akan
diperoleh strategi kebijakan untuk sistem desentralisasi fiskal yang lebih baik.
1.4. Perdebatan Metodologis
Penelitian mengenai desentralisasi fiskal telah banyak dilakukan. Beberapa
diantaranya dilakukan dengan metode kualitatif. Sebagian di antaranya adalah
Oates (1972) yang berargumen secara deskriptif, mengemukakan bahwa dengan
desentralisasi, pemerintah dapat menyediakan barang publik secara optimal.
Bryson dan Cornia (2000) dengan data empiris mencoba membandingkan
12
pencapaian desentralisasi dan melihat pemerintahan lokal sebagai bagian
keberhasilan transisi ekonomi di dua negara Czech dan Slovakia. Pemerintah
daerah di Czech masih sangat tergantung kepada pusat dan mempunyai masalah
prinsipal-agen. Pemerintah daerah mengejar kepentingannya sendiri yang dengan
adanya peningkatan dana transfer pemerintah federal akan menimbulkan moral
hazard. Sementara di negara tetangganya, Slovakia, pelaksanaan desentralisasi
fiskal telah berjalan dengan baik melalui adopsi sistem pajak barat dengan
peningkatan penerimaan pemerintah daerah. Hochman et al. (1995) menunjukkan
faktor instutitusional ruang (space matters) dalam mendesain penyediaan barang
publik lokal. Ketika faktor institusional geografi, dipertimbangkan, maka
desentralisasi penuh tampaknya tidak efisien, oleh karena itu diketengahkan
sistem berdasarkan terirori dengan memperluas teritori sebagai pemerintahan
metropolitan.
Namun beberapa pandangan lain menegaskan bahwa penelitian mengenai
pelaksanaan desentralisasi lebih baik apabila menggunakan analisis kuantitatif
dengan model ekonometri. Penggunaan ekonometri dengan data empiris lebih
mempunyai dasar pembuktian bila dibandingkan hanya dengan metode kualitatif
deskriptif. Beberapa penelitian mengenai desentralisasi yang menggunakan
analisis kuantitatif dengan ekonometri adalah Schelker (2005). Dia menggunakan
Ordinary Least Square (OLS) dan Weighted Least Square (WLS) untuk
menganalisis pengaruh desentralisasi pajak pada efisiensi desentralisasi di Swiss.
Dengan warga yang mobile, individu kaya akan bermigrasi ke daerah yang
pajaknya rendah, sedangkan yang miskin berharap akan berpindah tempat ke
daerah dengan welfare spending yang lebih tinggi. Lessmann (2009) dengan OLS,
13
2SLS, dan generalized method of moments (GMM) menginvestigasi hubungan
antara desentralisasi fiskal dan ketimpangan regional. Regresi data cross-section
menunjukkan bahwa dengan high degree of fiscal decentralization
memperlihatkan disparitas regional yang rendah, sedangkan regresi data panel
menunjukkan bahwa peningkatan tingkat desentralisasi akan membawa pada
penurunan disparitas dalam negara. Peneliti lain, Sean (2009) menggunakan OLS
panel fixed effect untuk mengetahui tingkat grant-in-aid yang dapat menurunkan
upaya pajak. Upaya pajak diukur dengan rasio koleksi pajak negara bagian
dengan kapasitas pajak absolutnya. Medicaid disbursement berpengaruh secara
negatif pada upaya pajak baik di negara bagian yang liberal maupun konservatif,
namun kenaikan grant ini tidak diikuti dengan penurunan pajak dalam jumlah
yang sama, dikarenakan adanya beberapa penyesuaian seperti inflasi. Campbell
(2004) dengan OLS dan 2SLS mengintegrasikan dua model perilaku pemerintah
daerah, yakni Leviathan dan fiscal illusion dalam overlapping wilayah pemerintah
daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan anggaran desentralisasi
akan menurunkan pengeluaran di tingkat minicipal, sementara pada tingkat county
tidak berpengaruh. Dalam model fiscal illusion, pemerintah akan
menyembunyikan beban pajak (burden of taxes) untuk mendapatkan keuntungan
dari pengeluaran publik. Ada beberapa pandangan yang mengemukakan bahwa
untuk metode kuantitatif, penggunaan Jaringan Syarat Tiruan (JST) mempunyai
nilai kesalahan estimasi yang lebih kecil dibandingkan dengan ekonometri
(Mirmirani dan Li, 2004; Bharat et.al.,1997; Hill et al.,1996). Namun penelitian
tersebut dilakukan di bidang lain dan bukan pada pelaksanaan desentralisasi.
14
Metode lain yang dipakai dalam penelitian desentralisasi, khususnya yang
terkait dengan penyediaan barang publik adalah dengan metode eksperimen.
Melalui metode eksperimen, diharapkan akan terlihat pola perilaku dalam
penyediaan barang publik. Coz dan Sadiraj (2007) menarik kesimpulan dari hasil
eksperimen bahwa terdapat subjek eksperimen yang bersifat altruism yang
memberikan kontribusinya tanpa melihat apakah orang lain berkontribusi atau
bertindak free-ride. Namun pada umumnya dalam eksperimen, sebagian besar
subjek cenderung hanya mau sedikit berkontribusi untuk barang publik (Graves,
2010; Andreoni, 1990, 1995; Sudgen, 1984); ). Untuk mengatasi kegagalan
penyediaan barang publik, maka perlu adanya penalti bagi yang kurang atau tidak
mau berkontribusi (Carpenter, 2007; Gachter dan Fehr, 2000).
Pro dan kontra metode kualitatif deskriptif dan kuantitatif pada penelitian
di atas dilakukan menggunakan asumsi neoklasik. Sedangkan pada eksperimen
barang publik masih sedikit yang menggunakan hubungan prinsipal dan agen.
Penelitian mengenai desentralisasi fiskal dengan pendekatan prinsipal-agen yang
telah melepas asumsi neo-klasik memang masih belum banyak dilakukan. Jaya
(2004, 2007) untuk kasus Indonesia, melihat hubungan antara rakyat dan
pemerintah melalui prinsipal-agen. Terdapat aktifitas oportunistik karena
informasi yang tersedia pada kedua belah pihak tidak simetris. Tommasi (2007)
menggunakan analisis prinsipal-agen dalam persamaan menyimpulkan bahwa
bentuk desentralisasi lebih menguntungkan bagi rakyat.
Membandingkan dan mempertimbangkan beberapa metode penelitian di
atas, maka penelitian ini menggunakan model prinsipal-agen dengan alat analisis
JST (Jaringan syaraf Tiruan, artificial neural network) dan laboratorium
15
eksperimen untuk menganalisis pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia.
Analisis dilakukan dengan mengaitkan sisi penerimaan dan sisi pengeluaran
daerah dengan pendekatan primal-dual.
1.5. Model Prinsipal-Agen
Awal perbedaan kepentingan representative agent dalam ekonomika
dimulai dari teori perusahaan yang melakukan pemisahan antara kepemilikan dan
pengawasan perusahaan.Pemisahan tersebut kemudian berkembang menjadi suatu
teori manajerial perusahaan (Baumol 1959 dan Williamson 1963). Teori ini
kemudian diperluas menjadi corporate economy (Marris dan Wood 1971) dan
corporate society (Marris 1974). Dalam kerangka pemisahan ini, Williamson
(1963) menjelaskan bahwa manajemen perusahaan mempunyai suatu preferensi
pengeluaran, sehingga terdapat konflik antara:
a. maksimisasi profit yang mewakili kepentingan pemilik (shareholders),
b. maksimisasi utiliti manajemen yang tidak mewakili kepentingan pemilik.
Manajerial mengejar kepentingan sendiri yang tidak membawa pada kondisi
maksimum dari present value aliran investasi (Marris dan Mueller, 1980). Teori
mengenai perusahaan ini kemudian memunculkan masalah atau konflik antara
pemilik dan pihak manajemen yang selanjutnya membawa pada suatu teori
keagenan.
Alchian dan Demsetz (1972) mengatasi permasalahan pengukuran
produktifitas pekerja (employee) dalam hubungannya dengan rewardnya. Mereka
menolak asumsi zero cost yang dianggapnya sebagai kondisi di mana
produktifitas menghasilkan reward secara otomatis. Menurut mereka, tidak ada
16
perfect zero cost dalam hal ini. Salah satu jalan keluar untuk meningkatkan
produktifitas adalah melakukan kontrak bilateral antara pemilik perusahaan atau
owner, disebut sebagai central-agent, dengan beberapa beberapa agen (joint
input) dalam suatu tim proses produksi. Hal ini dapat mengurangi pengawasan
pemilik terhadap pekerja.
Model prinsipal-agen yang lebih baru dikemukakan oleh Ross (1973) yang
kemudian menjadi asal mula teori ekonomi keagenan (The economic theory of
agent) dan Mitnick (1973) yang lebih ke arah teori institusi keagenan (The
institutional theory of agent). Ross (1973) menjelaskan bahwa hubungan
keagenan muncul antara dua pihak (atau lebih), ketika satu pihak, disebut agen,
bertindak sebagai wakil atau kepentingan pihak lain, disebut prinsipal, dalam
masalah keputusan (decision). Sedangkan teori umum konsep keagenan dan
hubungan keagenan dibangun oleh Mitnick (1973, 1974). Definisi hubungan
keagenan menurut Mitnick adalah ada satu pihak (disebut agen) “bertindak untuk”
pihak lain (yang disebut prinsipal). “Bertindak” disini mengandung arti
melakukan keputusan untuk dan atas nama prinsipal dengan tujuan utama
meningkatkan value organisasi sesuai harapan prinsipal. Namun pada
kenyataannya, agen juga dapat bertindak untuk kepentingannya sendiri yang tidak
sesuai dengan keinginan prinsipal. Jensen dan Meckling (1976) dengan
menggunakan teori ekonomi organisasi mencoba mendefinisikan perusahaan
sebagai suatu fiksi hukum yang dikarakterisasi sebagai nexus of contract yang
mempunyai hubungan keagenan. Hubungan keagenan adalah suatu kontrak di
mana satu orang atau lebih (prinsipal) memperkerjakan orang lain (agen) untuk
kepentingannya dan mendelegasikan keputusannya pada agen. Jika kedua pihak
17
memaksimalkan utilitasnya, maka agen tidak selalu dalam kondisi kepentingan
prinsipal yang terbaik. Penjelasan teori keagenan yang digunakan untuk
mengorganisir hubungan terbaik antara satu pihak, yang menentukan pekerjaan
(prinsipal), dan pihak lain yang melakukannya (agen), dikemukakan oleh
Eisenhardt (1989). Teori ini berpendapat bahwa dalam kondisi informasi tidak
sempurna dan uncertainty dapat memunculkan tindakan moral hazard oleh agen,
yaitu kondisi di mana prinsipal tidak yakin apakah agen telah merepresentasikan
kemampuannya secara maksimal setelah penandatanganan kontrak antara
prinsipal dan agen. Pada kondisi ini, prinsipal tidak mengetahui informasi secara
sempurna terhadap tindakan agen. Studi awal mengenai moral hazard dilakukan
oleh Spence dan Zeckhause (1971) mengenai analisis kontrak asuransi. Pemegang
polis akan berubah perilakunya demi mendapatkan keuntungan dari klaim
asuransi.
Beberapa studi memberikan pendapat bahwa teori mengenai negara
sangat mirip dengan teori perusahaan. Shepsle & Weingast, (1987) menjelaskan
bahwa teori perusahaan sama dengan desain kongres untuk pengembangan
legislator. Penjelasan ini didukung oleh studi yang dilakukan Weingast (1988,
1989) dan Weingast & Marshall (1988). Studi lain yang secara tegas
menjelaskan persamaan perusahaan dan negara dilakukan oleh Moe (1984, 1991),
Weingast (1984), serta McCubbins et al. (1989). Mereka menunjukkan adanya
kemiripan antara perusahaan dan negara. Apabila di perusahaan pemegang
otoritasnya adalah manajer maka di birokrasi pemegang otoritasnya adalah
penguasa, dan keduanya mempunyai potensi yang sama untuk bertindak selfish.
Apabila di perusahaan tujuannya adalah maksimisasi profit dengan kendala biaya,
18
maka tujuan negara adalah maksimisasi produk sosial dengan kendala anggaran.
Pemakai output di perusahaan adalah konsumen sedangkan di level negara adalah
rakyat. Baik pada perusahaan maupun negara dapat terjadi konflik dalam
mencapai tujuan. Dari sisi pendelegasian wewenang juga mempunyai kemiripan
antara perusahaan dengan institusi birokrasi. Pemberi wewenang di perusahaan
merupakan pemilik perusahaan atau pemegang saham, sedangkan penerima
wewenang untuk melakukan keputusannya adalah pimpinan perusahaan, seperti
direktur atau manajer. Sedangkan pada konteks negara, pemberi wewenang adalah
rakyat sedangkan penerima mandatnya adalah lembaga legislatif, eksekutif, atau
yudikatif. Pada konteks kenegaraan di bidang eksekutif, pemberi wewenang
adalah presiden sedangkan penerima mandat untuk mengambil keputusan adalah
menteri dan pejabat setingkat. Di bidang hubungan pemerintah pusat dan daerah
melalui sistem desentralisasi maka pemberi wewenang adalah pemerintah pusat
dan penerima wewenangnya adalah pemerintah daerah. Pada hubungan ini apabila
dilihat dari konsep prinsipal-agen maka pemerintah pusat disebut sebagai
prinsipal sedangkan pemerintah daerah disebut agen.
Pada implementasi desentralisasi fiskal di Indonesia, pemberian wewenang
oleh pemerintah pusat kepada daerah dilakukan berdasarkan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah. Aturan tersebut merupakan rules of the game pelaksanaan desentralisasi
fiskal di Indonesia. Dengan pemberian wewenang ini, seharusnya daerah
bertindak untuk dan atas nama kepentingan pemberi wewenang. Namun pada
kenyataannya, pemerintah daerah mempunyai kepentingan tersendiri yang dapat
19
tidak sejalan dengan kepentingan pemerintah pusat. Data APBN tahun 2007
sampai 2013 menunjukkan bahwa besaran dana transfer ke daerah mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun, sedangkan data APBD tahun yang sama
memperlihatkan bahwa sebagian besar anggaran daerah dipakai untuk belanja
pegawai. Hal ini memperlihatkan bahwa dana untuk penyediaan barang publik di
daerah dikalahkan oleh dana yang digunakan untuk kepentingan birokrasinya
sendiri. Banyak pimpinan daerah serta jajarannya yang terkena kasus korupsi di
daerah. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengawasan maupun lemahnya
kontrol kepada daerah. Kondisi ini menunjukkan indikasi adanya informasi yang
tidak simetris antara pemerintah pusat dan daerah. Informasi yang tidak simetris
antara pemerintah pusat, sebagai prinsipal, dengan pemerintah daerah, sebagai
agen, dapat membawa permasalahan yang lebih besar dalam proses pelaksanaan
desentralisasi. Birokrasi daerah sebagai penerima wewenang pusat seharusnya
bertindak untuk kepentingan pemberi wewenang, namun ternyata lebih
memperjuangkan kepentingannya sendiri. Masyarakat merasakan kurangnya
penyediaan barang publik, sarana dan prasarana publik kurang baik. Layanan
publik yang ada dirasa tidak maksimal, karena proses birokrasi lamban maupun
sikap pegawai daerah yang kurang melayani. Permasalahan tersebut akan
membawa pada inefisiensi ekonomi. Menurut Eisenhardht (1989), kondisi ini
merupakan representasi tindakan moral hazard dalam konsep hubungan prinsipal-
agen. Pemerintah daerah sebagai agen melakukan tindakan yang tidak dapat
diobservasi oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah mempunyai kepentingan
sendiri yang tidak sejalan dengan kepentingan pusat. Terdapat konflik
kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah. Ada potensi bahwa sumber dana
20
APBD lebih mengharapkan dana transfer pemerintah pusat sehingga upaya pajak
pemerintah daerah tidak optimal, sedangkan di sisi belanjanya, pemerintah daerah
lebih banyak menggunakannya untuk kepentingan birokrasi daerah sendiri.
Padahal pemerintah pusat sebagai prinsipal, menginginkan dana transfer
perimbangan digunakan untuk layanan publik maupun penyediaan barang publik
agar menjadi stimulus fiskal bagi pertumbuhan daerah. Dengan adanya konflik
kepentingan tersebut maka tindakan daerah menjadi sulit diketahui secara
sempurna oleh pemerintah pusat. Pada saat bersamaan, pemerintah pusat tidak
lagi mengetahui apakah agen telah merepresentasikan kemampuannya secara
maksimal sesuai keinginannya. Terdapat kondisi yang saling berhubungan ketika
pemerintah pusat dan daerah mempunyai konflik kepentingan maka di saat itu
juga pemerintah pusat tidak mempunyai informasi sempurna terhadap tindakan
agen. Hal ini merepresentasikan adanya informasi tidak simetris antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, seperti penjelasan sebelumnya.
Pentingnya mengetahui apakah pada pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia
terjadi kondisi informasi simetris atau asimetris antara pemerintah pusat dan
daerah, juga menjadi tujuan dari penelitian ini.
1.6. Konsep Primal Dual
Di dalam ekonomika mikro, masalah optimisasi dapat direpresentasikan
di dalam dua jalan yang berbeda yakni primal dan dual. Pemilihan bentuk
optimisasi dari suatu permasalahan tergantung pada informasi yang diperoleh
dalam proses pencapaian solusi optimisasi. Namun yang terpenting, apapun jalan
yang digunakan hasilnya adalah sama. Konsep primal dual ini sudah menjadi
21
standar suatu solusi optimisasi dalam literatur mikroekonomika. Beberapa bidang
ekonomika dapat menggunakan konsep primal dual untuk solusi optimisasi,
seperti perusahaan, perusahaan dengan konsumen, maupun konsumen saja
tergantung permasalahan yang ada.
Dalam pendekatan konsumen, konsep primal bertujuan memaksimalkan
fungsi utiliti dari konsumen dengan kendala anggaran (subject to budget
constraint) sehingga diperoleh suatu solusi optimal dari masalah primal (primal
problem). Konsep seperti ini akan menghasilkan solusi permintaan Marshallian,
yang dapat diilustrasikan pada Gambar 1.2. Terdapat barang X1 dan X2 dengan
kendala anggaran (budget constraint) yang bersifat tetap sebesar X1 X2. Oleh
karena itu, solusi optimal bagi konsumen adalah mengubah preferensinya melalui
fungsi utiliti dengan pilihan U1, U2, dan U3. Solusi optimal bagi konsumen pada
kondisi ini adalah pada titik X* dimana titik ini merupakan perpotongan dari
fungsi utiliti yang menunjukkan preferensi yang paling optimal dengan fungsi
anggarannya.
Gambar 1.2. Konsep Primal
Garis Anggaran
.X* U2
U1
U3
Fungsi Utiliti
Masimumkan Fungsi Utiliti
X1
X2
22
Penurunan matematis untuk konsep primal di atas dilakukan dengan
menggunakan lagrangian dan dirumuskan sebagai berikut:
dimana,
U(x) : Fungsi utiliti
µ : Fungsi lagrangian y : Kendala anggaran p : Harga barang x x : Jumlah barang x
Pada konsep dual, konsumen akan meminimalkan fungsi pengeluarannya
dengan kendala fungsi utilitinya (subject to utility function), sehingga akan
diperoleh suatu solusi optimal untuk masalah dual. Solusi optimal yang diperoleh
melalui konsep dual menghasilkan solusi permintaan Hicksian, yang dapat dilihat
pada Gambar 1.3 di bawah ini. Seperti gambar sebelumnya, pada Gambar 1.3
terdapat dua pilihan barang X1 dan X2 dengan kendala fungsi utiliti, U, yang
bersifat tetap. Solusi optimal untuk kondisi seperti ini adalah mengubah garis
kendala anggaran naik turun di sekitar garis anggaran X1 X2, sehingga diperoleh
fungsi pengeluaran yang paling minimal dalam kaitannya dengan fungsi utiliti.
n
max U(x) + µ[y – Σ pix
i]
x, y i=1
23
Gambar 1.3. Konsep Dual
Solusi optimal bagi konsumen pada masalah dual ini adalah pada titik X*, dimana
titik ini merupakan perpotongan dari fungsi anggaran dengan fungsi utiliti yang
ada. Seperti halnya penurunan matematis konsep primal, maka konsep dual dapat
dirumuskan dengan lagrangian sebagai berikut:
dimana, p : Harga barang x x : Jumlah barang x
U(x) : Fungsi utiliti
λ : Fungsi lagrangian
υ : Tingkat utiliti
n
Min Σ pixi + λ(υ− U(x))
x,υ i=1
X2
Garis Anggaran
.X* U Fungsi Utiliti
Minimumkan
Pengeluaran
X1
24
Dari kedua pencarian solusi optimal melalui konsep primal dual terlihat
bahwa kedua solusi optimal akan menghasilkan nilai yang sama. Artinya baik
pencarian solusi optimal melalui konsep primal maupun konsep dual akan
diperoleh solusi optimal di titik X*. Kondisi ini hanya terjadi ketika terdapat
informasi simetris pada kedua pendekatan baik primal maupun dual. Fungsi
tujuan dari pendekatan primal akan menjadi kendala pada pendekatan dual,
demikian pula sebaliknya, fungsi tujuan pada pendekatan dual akan menjadi
kendala pada pendekatan primal. Apabila tidak simetris, maka solusi optimal
pendekatan primal akan berbeda dengan pendekatan dual.
1.7. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya
Tidak dipungkiri bahwa beberapa peneliti telah melakukan penelitian
mengenai masalah desentralisasi. Penelitian desentralisasi fiskal seperti ini telah
banyak dilakukan dan sebagian besar dari penelitian tersebut dilakukan dengan
metode deskriptif maupun kuantitatif menggunakan metode ekonometrika.
Penelitian dengan metode deskriptif dilakukan oleh Araral (2009),
Eisenhauer (2006), Bryson dan Cornia (2000), Hochman et al.(1995). Sementara
penelitian mengenai desentralisasi yang menggunakan analisis regresi dilakukan
oleh Schelker (2005) dengan Ordinary Least Square dan Weight Least Square
kemudian Lessmann (2009) menggunakan Ordinary Least Square, dan GMM.
Sean (2009) juga menggunakan OLS dengan panel fixed effect) sementara
Hyytinen dan Väänänen (2006) menggunakan regresi probit dan poisson
sedangkan Campbell (2004) menggunakan OLS dan 2SLS. Sementara Jaya
25
(2004, 2007) dengan analisis prinsipal-agen melihat hubungan antara rakyat dan
pemerintah yang pada prakteknya mempunyai potensi aktifitas oportunistik
karena informasi yang tersedia pada kedua belah pihak tidak simetris.
Sebagai alternatif analisis, penelitian ini menggunakan gabungan model
empiris Jaringan Syaraf Tiruan (JST) dan eksperimen, dimana pada beberapa
studi sebelumnya, penelitian mengenai desentralisasi masih banyak dilakukan
dengan metode deskriptif maupun analisis regresi. Lebih tegasnya, yang
membedakan penelitian ini dengan sebelumnya, adalah:
1) Penelitian ini menganalisis desentralisasi fiskal menggunakan model prinsipal-
agen dengan konsep primal dual yang diaplikasikan pada sistem penerimaan
dan pengeluaran pemerintah daerah.
2) Dari penurunan matematis aplikasi tersebut, penelitian ini menemukan
hubungan sistem penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah melalui
konsep primal-dual, dalam hal ini minimisasi pengeluaran dan maksimisasi
utiliti.
3) Dengan konsep ini dapat diketahui upaya pajak tiap daerah.
4) Dengan konsep ini juga dapat diketahui hubungan pemerintah pusat dan daerah
apakah simetris atau tidak.
5) Menggunakan analisis JST dan metode eksperimen untuk menganalisis
pelaksanaan desentralisasi di Indonesia yang kerangka penulisannya
dituangkan dalam bentuk esai.
26
1.8. Kontribusi Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik di bidang teori,
empiris, maupun kebijakan. Singkatnya, penelitian ini diharapkan:
1) Sebagai studi awal dalam ekonomika kelembagaan yang menggunakan model
prinsipal-agen untuk menganalisis pelaksanaan desentralisasi di Indonesia yang
dituangkan dalam derivasi persamaaan teori neoklasik. Diharapkan studi ini
dapat memberikan kontribusi di bidang metodologi, dimana pada pembuktian
derivasi persamaan dari fenomena pelaksanaan desentralisasi fiskal di
Indonesia terdapat hal yang menghubungkan antara sistem penerimaan dan
pengeluaran pemerintah daerah melalui konsep primal-dual, yakni minimisasi
pengeluaran dan maksimisasi utiliti.
2) Sebagai alternatif kebijakan dalam pengambilan keputusan pemangku
kepentingan di bidang desentralisasi fiskal melalui suatu model ketidakpastian
dengan mempertimbangkan sisi behavioral.
1.9. Sistematika Penulisan
Tulisan ini akan terbagi menjadi dua esai, yakni esai satu dan esai dua.
Esai satu adalah esai mengenai aplikasi model prinsipal-agen sisi penerimaan
desentralisasi fiskal sedangkan esai dua adalah aplikasi untuk sisi
pengeluarannya. Penurunan matematis untuk kedua aplikasi mengadopsi model
prinsipal-agen dengan konsep primal dual menggunakan metode Kuhn-Tucker
dengan memasukkan variabel incentive compatibility dan participation constraint.
Analisis aplikasi model prinsipal-agen untuk sisi penerimaan pemerintah daerah
27
akan menggunakan data empiris sedangkan untuk aplikasi model prinsipal-agen
pada sisi pengeluaran akan menggunakan eksperimen laboratorium.
Alasan pemilihan analisis empiris pada esai satu karena banyak studi
mengenai upaya pajak (revenue tax effort) di beberapa negara dilakukan dengan
menggunakan model empiris, seperti di negara berkembang (Lotz dan Morss,
1967 serta Gupta, 2007), Bangladesh (Islam, 1979), negara-negara Arab (Eltony,
2002), Indonesia (Alfirman, 2003). Analisis data pada beberapa studi tersebut
pada umumnya dilakukan dengan metode statistik seperti regresi. Tidak seperti
penelitian tersebut di atas, esai satu pada penelitian ini menggunakan metode
artifisial neural network (jaringan syaraf tiruan, selanjutnya disebut JST) untuk
menganalisis data empiris. Penggunaan alat analisis ini pada esai satu didasarkan
pada bukti empiris bahwa analisis JST pada beberapa studi ilmu sosial di sisi hasil
estimasi mempunyai nilai error yang lebih kecil dibanding metode statistik seperti
Ordinary Least Square (OLS), Multiple Regression Analysis, Vector
Autoregressive (VAR) maupun Linear Probability Model, Logistic Regression
Model (Chen (2005), Hill et al. (1996), Bharat dan Bain (1997), Binner et al.
(2004), Mirmirani dan Li (2004).
Sedangkan alasan penggunaan metode eksperimen pada esai dua
disebabkan analisis data kuantitatif dengan microfoundation kurang dapat
menangkap fenomena dari sisi perilaku. Dikarenakan esai dua lebih menekankan
pengamatan perilaku pemerintah daerah yang di satu sisi menghadapi kendala
keterbatasan anggaran sedang di sisi lain harus menyediakan layanan kepada
masyarakat, maka perilaku (behavior) dari aktivitas subjek tersebut dapat
diobservasi dengan baik apabila dilakukan dengan metode eksperimen. Telah
28
banyak penelitian mengenai pengeluaran negara dilakukan dengan metode
eksperimen, khususnya dalam hal penyediaan barang publik. Seperti eksperimen
barang publik yang subjek eksperimennya bertindak altruism (Becker,1974;
Andreoni dan Miller, 2002; Cox dan Sadiraj, 2007), penyediaan barang publik
yang dipengaruhi beauty, gender and stereotypes (Andreoni dan Petrie, 2007),
kontribusi terhadap barang publik dimana subjek bertindak warm-glow altruism
(Andreoni, 1989, 1990), subjek pelaku kontribusi barang publik bertindak
inequality aversion (Fehr dan Schmidt, 1999), subjek eksperimen bertindak
confusion versus altruism (Andreoni, 1995), serta tindakan reciprocity yang
dilakukan oleh kontributor barang publik (Sugden, 1984).
Pengorganisasian penulisan ini dilakukan sesuai konseptual alur penelitian
Zikmund (2003) pada Gambar 1.4. Alur penelitian dimulai dari permasalahan
pelaksanaan desentralisasi fiskal karena perbedaan kepentingan baik di sisi
penerimaan maupun pengeluaran, sehingga pencapaian tujuan desentralisasi fiskal
seperti yang diinginkan oleh pemerintah pusat sebagai pemberi wewenang
menjadi kurang maksimal. Pandangan ekonomi yang mengakomodir
permasalahan di atas adalah ekonomika kelembagaan baru (NIE) dengan
ekonomi neoklasik. Identifikasi sumber masalah utama adalah apakah terdapat
informasi yang tidak sempurna antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah?
Pemilihan model yang dipilih untuk kondisi dimana terdapat pemberi wewenang
dan penerima wewenang adalah model prinsipal-agen. Tulisan dilanjutkan dengan
metode analisis pada aplikasi model prinsipal-agen. Aplikasi untuk penerimaan
daerah dilakukan dengan studi data sekunder menggunakan alat analisis jaringan
syaraf tiruan (JST). Aplikasi untuk pengeluaran daerah dilakukan dengan
29
eksperimen laboratorium. Selanjutnya dijelaskan landasan teori untuk masing-
masing aplikasi yakni penerimaan maupun pengeluaran daerah. Kedua landasan
teori ini dianalisis melalui konsep primal dual yang diaplikasikan pada data
sekunder untuk dapat diambil kesimpulan apakah terjadi informasi simetris atau
tidak simetris dalam penerapan desentralisasi fiskal di Indonesia. Selengkapnya
pokok pikiran tulisan ini dapat dilihat pada model konseptual di Gambar 1.4
berikut ini.
Gambar 1.4. Model Konseptual