Post on 06-Mar-2019
BAB 1
1. Latar Belakang
Dewasa ini, berbagai elemen masyarakat di Indonesia telah mampu mengakses
informasi dengan media yang lebih beragam dari sebelumnya. Perkembangan dari segi teknologi
merupakan faktor penting yang ada di balik perubahan tersebut. Semakin mudah dan murahnya
bagi setiap orang untuk menjangkau suatu informasi melalui media membuat teknologi dan alat
alat penunjangnya bagaikan kebutuhan primer dalam kehidupan masa sekarang.
Media baru kemudian mencuat namanya setelah mampu membuktikan keefektifan dan
keefisiensiannya dalam menunjang kehidupan manusia. Selain sebagai media komunikasi antar
manusia, new media dimanfaatkan juga oleh sebagian kelompok untuk melakukan pendekatan-
pendekatan dalam tujuannya mensosialisasikan suatu kegiatan yang memerlukan dukungan
massa. Media baru dianggap sebagai cara yang mampu menjangkau kalangan luas dan salah satu
sisi positifnya adalah memerlukan waktu yang singkat.
Statistik pertumbuhan pengguna internet di Indonesia yang menunjukkan peningkatan
signifikan dari tahun ke tahun juga menjadi salah satu faktor pendorong semakin tingginya
pengaruh media baru dalam kehidupan masyarakat. Salah satu bagian dari media baru adalah
media sosial. Media sosial memberikan fasilitas komunikasi dua arah yang tidak kita dapatkan
dari media sebelumnya seperti televisi, radio, atau media massa. Audiens memiliki hak yang
bebas untuk memberikan feedback berupa komentar, sanggahan, dukungan, dan sebagainya.
Munculnya media baru, merubah berbagai tatanan yang sebelumnya sukar dicapai
dalam media lama, salah satunya gerakan sosial, sehingga muncul pula istilah gerakan sosial
baru. Gerakan sosial baru merupakan sebuah gerakan kontemporer yang bertujuan
mempengaruhi masyarakat luas mencapai suatu kesadaran tertentu untuk peka terhadap berbagai
isu yang mulai mengacu pada ketidakadilan dalam struktur kehidupan sehari-hari. Umumnya
gerakan sosial baru akan menjadi gerakan sosial kolektif yang salah satu wujudnya adalah
terbentuknya komunitas virtual berbasis media online. Gerakan sosial baru memberikan
kebebasan pada berbagai kelas, pekerjaan, dan usia untuk membangun kekuatan selagi mereka
peduli pada isu yang sama.
Jogja Darurat Agraria merupakan ragam gerakan yang mengadopsi media baru
khususnya media sosial sebagai medium untuk memperkenalkan, menyebarkan, dan
menginformasikan gerakan komunal mereka kepada masyarakat. Isu sentral yang diangkat oleh
gerakan ini adalah konflik-konflik agraria atau pertanahan yang terjadi di propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta berkenaan dengan klaim Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond.
Perihal klaim ini ada kaitannya dengan sejarah pertanahan Daerah Istimewa Yogyakarta di masa
lampau yang ketika itu disebut Mataram Islam. Perjanjian-perjanjian pada masa silam dengan
VOC terutama Perjanjian Giyanti menjadi akar konflik pertanahan yang berlanjut sampai saat
ini.
Mataram Islam, atau sejak Perjanjian Giyanti dibagi menjadi duawilayah dan salah satu
baginnya kemudian disebut sebagai Kasultanan Yogyakarta, tercatat mengalami beberapa fase
perubahan dalam aturan pertanahan. Pada tahun 1918 diterbitkan Rijksblad Kasultanan No 16
dan Rijksblad Pakualaman No 18 yang menyatakan bahwa seluruh tanah yang tidak memiliki
hak eigendom (hak milik) resmi, menjadi milik Kasultanan Yogyakarta. Fase selanjutnya yakni
pemberlakuan UUPA tahun 1960 pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX di
Yogyakarta pada 1984 melalui Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984, mengakhiri dualisme
hukum pertanahan daerah dan nasional, Kepres tersebut menyatakan bahwa hukum pertanahan
daerah tidak berlaku lagi termasuk Rijksblad Kasultanan dan Pakualaman. Fase terakhir adalah
Undang Undang Keistimewaan (UUK) yang disahkan pada masa pemerintahan Sultan
Hamengku Buwono X tepatnya pada 31 Agustus 2012 yang salah satunya menyatakan
Kasultanan dan Pakualaman merupakan badan hukum yang berhak menjadi subjek kepemilikan
tanah. Pada fase terakhir ini Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond gencar diberlakukan
kembali dan menjadi awal mula konflik pertanahan pada beberapa titik lokasi di DIY seperti
proyek bandara serta tambang pasir besi Kulonprogo, restorasi Gumuk Pasir Parangkusumo, dan
konflik agraria di pantai Watu Kodok Gunungkidul. Jogja Darurat Agraria kemudian muncul
sebagai bentuk keresahan akan berbagai rencana penggusuran yang tidak sesuai regulasi dan
klaim tanah warga oleh pihak keraton yang dilegitimasi UUK.
Salah satu ragam gerakan sosial baru ini lahir dari ketidak puasan serta kritik pegiat,
seniman, dan masyarakat terhadap pemerintah yang dianggap membuat kebijakan-kebijakan
yang merugikan rakyat dan hanya mementingkan profit pihak tertentu. Meski pemerintah
membuat kebijakan atas nama kemajuan ekonomi dan pariwisata, namun perlu dikaji ulang
apakah kebijakan tersebut benar-benar nantinya mampu mensejahterakan rakyat atau justru
sebaliknya, bersifat menjebak dan dalam jangka panjang maupun jangka pendek justru akan
merugikan masyarakat Yogyakarta. Kelebihan dari media sosial salah satunya mampu
menjangkau tidak hanya pengguna lokal dan nasional, namun juga internasional.
Sebelum kemunculan gerakan Jogja Darurat Agraria, gerakan Jogja Ora Didol lebih dulu
tampil di ranah media online dan mengangkat isu yang lebih general berkaitan dengan berbagai
kebijakan rancangan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat. Fenomena yang paling sering
dibahas adalah mengenai perizinan pembangunan hotel yang terus digelontorkan dan izin
tambang pasir besi di Kabupaten Kulonprogo. Menurut BPS Yogyakarta jumlah hotel baik yang
berbintang maupun tidak berbintang pada tahun 2003 adalah 1043, sedangkan menurut
Perhimpunan Hotel dan Restauran Indonesia pada 10 tahun kemudian yakni tahun 2013, jumlah
hotel melonjak di angka 1160. Selain Jogja Ora Didol, di daerah lain gerakan serupa juga muncul
dan dapat dikatakan mampu memperoleh perhatian yang cukup besar dari khalayak pengguna
media sosial sehingga menjadi isu nasional, yakni Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan
Kendeng (JMPPK) di Rembang dan Bali Tolak Reklamasi. Jogja Darurat Agraria muncul
kemudian dengan format serupa JMPPK Rembang dan Bali Tolak Reklamasi.
Akun resmi Jogja Darurat Agraria tercatat memang belum lama hadir di situs Twitter
maupun Facebook, yakni sekitar Agustus 2016. Namun, kehadirannya mampu lebih
„merapihkan‟ informasi tentang gerakan tersebut di mana sebelumnya masyarakat cukup sulit
menemukan informasi lengkap mengenai isu pertanahan di DIY dalam satu sumber di dunia
siber.
Ketertarikan peneliti terhadap gerakan sosial baru yang terjadi di media baru terutama
media sosial serta dorongan untuk menyajikan informasi lebih komprehensif terkait konflik
agraria di Yogyakarta menjadi dasar keinginan penulis menyusun kajian yang lebih sistematis.
2. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana upaya yang ditunjukkan oleh akun resmi media sosial Jogja Darurat
Agraria di dunia siber dalam memfasilitasi warga menghadapi konflik agraria di
DIY?
Bagaimana respon pengguna sosial media yang mengakses Facebook dan Twitter
gerakan Jogja Darurat Agraria?
3. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana gerakan sosial Jogja Darurat Agraria bergerak
secara dinamis dalam komunitas online.
Untuk mengetahui respon khalayak terutama masyarakat online terhadap
gerakan Jogja Darurat Agraria dan kaitannya dengan gerakan offline atau di
dunia nyata.
Untuk mengetahui sejauh mana media sosial berperan dalam dinamika suatu
gerakan di era media baru.
4. Manfaat Penelitian
Menunjukkan sebesar apa pengaruh media baru sehingga dapat menjelaskan
bagaiman di era teknologi seperti sekarang, kehidupan manusia sulit
dipisahkan dari berbagai macam tren di bidang tersebut.
Memberikan uraian yang sistematis tentang salah satu gerakan kolektif yakni
Jogja Darurat Agraria dalam dunia virtual, sehingga ke depannya diharapkan
mampu memberi sumbangsih dalam bidang tersebut maupun dalam
penelitian-penelitian terkait.
5. Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan dua teori utama yakni teori media sosial dan gerakan sosial
baru. Teori media sosial digunakan dalam menyoroti lokasi terjadinya interaksi dengan pengguna
internet yakni di dunia siber tepatnya pada media sosial Facebook dan Twitter. Sedangkan teori
gerakan sosial baru menyoroti bagaimana pergerakan Jogja Darurat Agraria dalam memfasilitasi
warga DIY menghadapi konflik pertanahan seperti upaya publikasi, advokasi, dan studi literatur.
Teori media sosial maupun gerakan sosial baru dapat dilihat secara bersamaan dalam gerakan
ini. Media sosial menunjukkan ruang gerak, sedangkan gerakan sosial baru menunjukkan cara
Jogja Darurat Agraria bergerak melalui publikasi media sosial.
A. Teori Media Sosial
1. Definisi Media Sosial
a. Definisi Media
Mengungkapkan definisi media, bisa dipahami dengan melihat dari proses komunikasi itu
sendiri. Proses komunikasi memerlukan tiga hal yakni objek, organ, dan medium.
(Meyrowitz,1999; Moores,2005; Williams,2003). Perlu disertakan juga ungkapan popular yang
dicetuskan McLuhan “the medium is the message”, bahwa saat ini kekuatan media bukan hanya
kemampuannya menyajikan konten, tapi pesan yang dibawanya mampu mengubah pola
komunikasi, budaya komunikasi, sampai bahasa dalam komunikasi manusia. Media
berkontribusi menciptakan makna dan budaya (Nasrullah,2015:4).
Salah satu pandangan yang berupaya memahami kata „medium‟ agar lebih menjelaskan
bagaimana media beroperasi adalah pandangan Meirowitz (1999) yang menyebutkan ada tiga
ungkapan untuk melihat medium. Pertama, medium sebagai saluran yang membawa pesan.
Semisal televisi menayangkan pertandingan sepak bola, pesan yang dibawa adalah audio dan
visual, sedangkan yang memainkan emosi penonton dan menimbulkan reaksi adalah isi
pesannya. Kedua, medium adalah bahasa. Media memiliki sesuatu yang unik yang bisa mewakili
ekspresi atau mengandung suatu pesan. Pengalaman emosi dengan perantara medium bisa jadi
sama dan bisa pula berbeda antara pembuat pesan dengan penerima pesan.
Ketiga, medium sebagai pesan. Medium tidak bisa hanya dipandang sebagai teks semata,
namun juga harus dilihat dari sisi konteks, bagaimana pemilihan konten dan gramatikal membuat
karakteristik medium menjadi berbeda baik secara penampilan, psikologis, maupun sosiologis.
b. Definisi Sosial
Definisi sosial dalam sosial media, erat kaitannya dengan informasi, kesadaran,
komunikasi, komunitas, hingga kolaborasi. Individu-individu dalam komunitas tidak hanya
berada dalam sebuah lingkungan, anggota komunitas harus berkolaborasi hingga bekerja sama
karena inilah karakter dari sosial itu sendiri (Fuchs, 2014:5). Dalam ranah sosiologi, definisi
sosial untuk sosial media merujuk pada kenyataan sosial (Emile Durkheim), relasi sosial (Max
Weber), komunitas dan kebersamaan (Ferdinand Tonnies), dan kerjasama (Karl Marx).
c. Definisi Media Sosial
Fuchs mengawali definisi media sosial dengan perkembangan Web 2.0 yang
dipopulerkan oleh O‟Reilly (2005). Sebelumnya, Web 1.0 sekedar merupakan penghubung antar
individu dengan perangkat komputer, sementara Web 2.0 hadir kemudian dengan menyertakan
kelebihan yakni melibatkan individu untuk memublikasi bersama, saling mengolah dan
melengkapi data, web sebagai platform atau program yang bisa dikembangkan, sampai pada
pengguna dengan jaringan dan alur yang sangat panjang. Dari penjelasan sebelumnya, media
sosial kemudian dapat dilihat dari perkembangan hubungan individu dengan perangkat media.
(Fuchs,2008)
Web 1.0 : karakteristik kerja komputer Web 1.0 berdasarkan pengenalan individu
terhadap individu lain (human cognition) yang berada dalam sebuah sistem jaringan.
Web 2.0 : karakteristik kerja komputer Web 2.0 berdasarkan bahaimana individu
berkomunikasi (human communication) dalam jaringan antarindividu
Web 3.0 : karakteristik kerja komputer Web 3.0 berdasarkan teknologi dan relasi yang
terlihat dari bagaimana users bekerja sama (human co-operation)
Fuchs melanjutkan definisi media sosial dari berbagai literatur penelitian (Fuchs, 2014:35-36
dalam Nasrullah,2015:11) :
1. Mandibergh (2012) : media sosial adalah media yang mewadahi kerja sama di antara
pengguna yang menghasilkan konten (user generated content).
2. Shirky (2008) : media sosial dan perangkat lunak sosial merupakan alat untuk
meningkatkan kemampuan pengguna untuk berbagi, bekerja sama di antara pengguna
dan melakukan tindakan secara kolektif yang semuanya berada di luar kerangka
institusional maupun organisasi.
3. Boyd (2009) : media sosial adalah kumpulan perangkat lunak yang memungkinkan
individu maupun komunitas untuk berkumpul, berbagi, berkomunikasi, dan dalam kasus
tertentu saling berkolaborasi atau bermain.
Media sosial memiliki kekuatan pada user generated content di mana konten dihasilkan
oleh pengguna, bukan oleh editor sebagaimana di institusi media massa.
4. Van Dijk (2013) : media sosial adalah platform media yang memfokuskan pada eksistensi
pengguna yang memfasilitasi mereka dalam beraktifitas maupun berkolaborasi . Karena
itu media sosial dapat dilihat sebagai medium (fasilitator) online yang menguatkan
hubungan antarpengguna sekaligus sebagai sebuah ikatan sosial.
5. Meike dan Young (2012) : media sosial adalah konvergensi antara komunikasi personal
dalam arti saling berbagi di antara individu dan media publik untuk berbagi kepada siapa
saja tanpa ada kekhususan individu.
Rulli Nasrullah memberikan kesimpulan bahwa definisi media sosial adalah medium di
internet yang memungkinkan pengguna merepresentasikan dirinya maupun berinteraksi, bekerja
sama, berbagi, berkomunikasi dengan pengguna lain, dan membentuk ikatan sosial secara
virtual. (Nasrullah,2015:11)
2. Karakteristik Media Sosial
Gane dan Beer (2008) secara khusus mendefinisiskan karakter dari media siber. Media sosial
sendiri merupakan salah satu platform yang muncul di media siber. Media sosial memiliki
karakteristik khusus yang tidak dimiliki media siber yang lainnya.
Ada batasan-batasan tertentu yang perlu ditarik agar dapat menjadi pembeda media sosial dengan
media yang lainnya. Berikut 6 karakteristik media sosial :
1. Jaringan Antarpengguna
Kata jaringan bisa dipahahami dalam terminologi bidang teknologi seperti ilmu
komputer yang berarti infrastruktur yang menghubungkan antara komputer maupun
perangkat keras lainnya. Koneksi ini diperlukan karena komunikasi bisa terjadi jika
antarkomputer terhubung termasuk di dalamnya perpindahan data (Castells, 2002).
Akan tetapi konsep jaringan menjadi sulit dipetakan dalam teori karena kata tersebut
tidak hanya mewakili terminologi bidang informasi saja, tetapi sudah meluas dalam
bidang antropologi, sosiologi, budaya, dan berbagai ilmu sosial akibat mobilitas
masyarakat (Loon, 2006). Castells (2002) menambahkan media sosial terbangun dari
struktur sosial yang terbentuk di dalam jaringan atau internet, struktur atau organisasi
sosial yang terbentuk di internet berdasarkan jaringan informasi yang pada dasarnya
beroperasi berdasarkan teknologi informasi dalam mikroelektronik, jaringan
antarpengguna merupakan jaringan yang secara teknologi dimediasi oleh perangkat.
Jaringan ini kemudian membentuk komunitas yang akan memunculkan nilai-nilai
sebagaimana dalam masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa internet menjadi bukan hanya
sekedar alat, namun juga memberikan kontribusi nilai-nilai dalam masyarakat virtual.
The network is the message, and the internet is the messenger (Castells, 2002: xxxi)
2. Informasi
Dalam interaksi di media sosial, informasi diproduksi, dipertukarkan, dan dikonsumsi.
Hal ini menjadikan informasi sebagai bentuk baru dari kapitalisme. Pengguna media
sosial merepresentasikan dirinya melalui identitas, memproduksi konten, dan melakukan
interaksi berdasarkan informasi. Informasi menjadi semacam komoditas yang dikonsumsi
pengguna, bukan hanya mengkonsumsi, pengguna sekaligus memproduksi dan
mendistribusi informasi. Dari kegiatan ini, antar pengguna membentuk sebuah jaringan
yang pada akhirnya bermuara pada institusi masyarakat jejaring. Dari sisi institusi, media
sosial dibangun berdasarkan informasi yang dikodekan (encoding) kemudian didistribusi
melalui berbagai perangkat sampai terakses ke pengguna (decoding). Setiap orang yang
ingin terhubung dengan media sosial harus memasukkan identitas pribadinya. Data
menjadi representasi pengguna, terutama yang belum pernah bertemu secara offline,
terlepas data tersebut palsu atau tidak. Dari data-data tersebut, kemudian bisa terbentuk
jaringan di media sosial misalnya berdasarkan kesamaan kegemaran, daerah, minat, dan
sebagainya. (Nasrullah,2015:19-20)
3. Arsip
Arsip menjadi sebuah karakter yang menjelaskan bahwa informasi telah tersimpan dan
dapat diakses kapanpun dan melalui perangkat apapun. (Caroll & Romano, 2011: 142).
Ketika kita menerima permintaan pertemanan di facebook, akses terhadap informasi
milik pengguna lain langsung terbuka, jaringan pertemanan juga dapat dibaca misalnya
dengan adanya friend suggestion. Gane & Beer (2008) memaparkan bahwa teknologi
online telah membuka kemungkinan-kemungkinan baru dari penyimpanan gambar
(bergerak atau diam), suara, juga teks yang secara meningkat dapat dikses secara massal
dan dari manapun, kondisi ini terjadi karena pengguna hanya memerlukan sedikit
pengetahuan teknis untuk menggunakannya.
4. Interaksi
Salah satu karakteristik dasar dari media sosial yang telah disebutkan sebelumnya ialah
jaringan antarpengguna. Untuk memperluas hubungan pertemanan, jaringan harus
dibangun melalui interaksi. Berbagai jenis interaksi bisa dijumpai di media sosial,
memberikan „like‟ di facebook atau „retweet‟ di twitter merupakan contoh interaksi yang
sederhana. Contoh interaksi lain adalah video yang diunggah di youtube yang menjadi
viral karena banyak dibagikan bukan hanya melalui laman youtube, tapi juga melalui
platform lain, kemudian mendapat tanggapan dari semakin banyak pengguna. David
Holmes (2005) menyatakan bahwa interaksi merupakan salah satu pembeda karakter
media lama dengan media baru. Khalayak media lama adalah khalayak yang pasif,
sedangkan khalayak media baru merupakan khalayak yang aktif dan saling berinteraksi
dengan sesama pengguna maupun dengan produser konten.
5. Simulasi Sosial
Baudrillard (1994) mengungkapkan gagasan bahwa kesadaran akan yang real di benak
khalayak semakin berkurang dan digantikan dengan realitas semu. Kondisi ini karena
imaji yang disajikan media secara terus menerus sehingga khalayak sulit membedakan
antara yang nyata dengan yang ada di layar. Khalayak seolah berada di antara realitas dan
ilusi sebab tanda yang ada di media seperti telah terputus dari realitas.
Simulakra kemudian digunakan Baudrillard untuk menggambarkan bagaimana realitas di
media adalah ilusi, sebuah penanda yang tidak lagi menjadi tanda awal tapi sudah
menjadi tanda baru. Baudrillard menyebutnya sebagai „a copy of a copy with no
original‟. Media sosial memungkinkan siapapun untuk menjadi siapa saja, bahkan
pengguna yang sama sekali berbeda dengan realitasnya. Media tidak lagi menampilkan
realitas, tetapi sudah menjadi realitas itu sendiri, bahkan apa yang ada di media lebih
nyata dari realitas itu sendiri.
Realitas media merupakan hasil proses simulasi, di mana representasi yang ada di media
telah diproduksi dan direproduksi oleh media menjadi realitas tersendiri yang terkadang
apa yang direpresentasikan berbeda atau malah bertolak belakang (Baudrillard, 1994).
6. Konten Oleh Pengguna
Konten oleh pengguna atau user generated content (UGC) merupakan relasi simbiosis
dalam budaya media baru yang memberikan kesempatan dan keleluasaan pengguna untuk
berpartisipasi (Lister et al., 2003:221). Situasi ini menjadi pembeda yang jelas antara
media baru dengan media lama di mana khalayak hanya sebatas menjadi objek yang pasif
dalam distribusi pesan. Media baru, termasuk di dalamnya media sosial menawarkan
perangkat atau alat serta teknologi baru yang memungkinkan khalayak untuk
mengarsipkan, memberi keterangan, menyesuaikan, dan menyirkulasi ulang konten
media (Jenkins, 2002).
7. Penyebaran
Medium ini tidak hanya menghasilkan konten yang dibangun dari dan dikonsumsi oleh
penggunanya, tetapi juga didistribusikan sekaligus dikembangkan oleh penggunanya
(Benkler, 2012; Cross, 2011). Praktik ini merupakan ciri khas media sosial yang
menunjukkan bahwa khalayak aktif menyebarkan konten sekaligus mengembangkannya
3. Jenis-jenis Media Sosial
1. Social Networking
Social networking atau jaringan sosial merupakan medium paling populer dalam kategori
media sosial. Situs jejaring sosial memungkinkan anggota untuk berinteraksi satu sama
lain tidak hanya pada pesan teks, tapi juga termasuk foto dan video yang mungkin
menarik pengguna lain. Semua publikasi merupakan real time, memungkinkan anggota
untuk berbagi informasi seperti apa yang sedang terjadi (Saen, 2014).
Kehadiran situs jejaring sosial merupakan media sosial yang digunakan untuk
memublikasi konten, seperti profil, aktifitas, atau bahkan pendapat pengguna; juga
sebagai media yang memberikan ruang bagi komunikasi dan interaksi dalam jejaring
sosial di ruang siber (Nasrullah, 2014).
Facebook, salah satu jejaring sosial yang dikaji dalam penelitian ini merupakan salah satu
situs jejaring sosial. Karakter dari media sosial ini adalah masing-masing pengguna
membentuk jaringan pertemanan baik yang sering bertemu di dunia nyata, maupun
jaringan pertemanan baru yang biasanya terbentuk berdasarkan sesuatu yang sama.
Dalam akun facebook Jogja Darurat Agraria misalnya, terbentuk jaringan baru atas
kepedulian yang sama terhadap kasus-kasus agraria yang terjadi di Yogyakarta. Khalayak
yang tergabung dalam grup ini memiliki „ketertarikan‟ terhadap isu darurat agraria di
Yogyakarta,
baik mereka yang berperan sebagai aktor gerakan, masyarakat Yogyakarta secara umum,
masyarakat luar Yogyakarta yang turut memerhatikan, aktifis, mahasiswa, terdampak,
bahkan tidak menutup kemungkinan lembaga terkait yang juga memiliki akun facebook
dan pihak-pihak yang kontra dengan isu yang diangkat oleh akun tersebut.
2. Blog
Blog merupakan media sosial yang memungkinkan penggunanya untuk mengunggah
aktivitas keseharian, saling mengomentari, dan berbagi, baik tautan web lain, informasi,
dan sebaginya. Istilah blog berasal dari kata “weblog”, yang pertama kali diperkenalkan
oleh Jorn Berger pada 1997 merujuk pada jurnal pribadi online (Nasrullah, 2014: 29).
Blogger bisa disamakan dengan penulis, dapat memublikasikan cerita atau peristiwa
kepada publik yang disebarkan dan menjadi perbincangan terkait pihak berwenang. Para
blogger itu merupakan rekan terpercaya dan perspektif atau pandangannya sangat
berpengaruh (Breakenridge, 2012: 80). Mulanya, gerakan Jogja Ora Didol juga
menggunakan blog sebagai sarana menampilkan informasi yakni Wordpress dan Tumblr.
Kiriman terakhir yang terpublikasi di Tumblr tercantum bulan Maret 2014, sedangkan
pada Wordpress Januari 2015
3. Microblogging
Microblogging merupakan jenis media sosial yang menfasilitasi pengguna untuk menulis
dan memublikasikan aktivitas atau pendapatnya.
Secara historis, kemunculan Twitter merupakan penanda awal lahirnya microblogging.
Twitter hanya menyediakan ruang tertentu maksimal 140 karakter. Twitter juga dipilih
peneliti sebagai sosial media yang menjadi objek penelitian. Selain dapat menjalin
jaringan dengan pengguna lain, menyebarkan informasi, dan membahas isu terhangat,
Twitter juga mampu mempromosikan pendapat atau pandangan orang lain melalui
retweet dan favorite, juga memiliki fasilitas hastag atau tagar (tanda pagar) untuk
menandai suatu peristiwa terkait aktivitas menjadikan peristiwa tersebut menjadi hangat
bahkan viral atau diistilahkan sebagai trending topic.
4. Media Sharing
Saxena (2014) menyebutkan bahwa media sharing adalah situs media sosial yang
memungkinkan anggota untuk menyimpan dan berbagi gambar, podcast, dan video
secara online. Kebanyakan dari media sosial ini adalah gratis meskipun beberapa juga
mengenakan biaya keanggotaan berdasarkan fitur dan layanan yang diberikan.
5. Social Bookmarking
Penanda sosial atau social bookmarking merupakan media sosial yang bekerja untuk
mengorganisasi , menyimpan, mengelola, dan mencari informasi atau berita tertentu
secara online (Nasrullah, 2015: 44). Beberapa contoh dari social bookmarking adalah
Delicious.com, Digg.com, dan Reddit.com.
6. Wiki
Wiki merupakan media konten bersama di mana situs ini memberikan keleluasaan para
penggunanya untuk berkolaborasi. Mirip dengan kamus atau ensiklopedi, wiki
menghadirkan kepada pengguna pengertian, sejarah, hingga rujukan buku atau tautan
tentang suatu kata (Nasrullah, 2015: 46).
4. Realitas Sosial dalam Media Sosial
Media sosial merupakan medium digital tempat realitas sosial terjadi dan ruang-waktu
para penggunnya berinteraksi (Nasrullah, 2015: 51). Berbagai nilai-nilai berkembang di
dalamnya setelah melalui serangkaian proses yang membentuk nilai-nilai tersebut seperti dalam
masyarakat atau komunitas offline. Realitas yang terjadi di media sosial merupakan modifikasi
dari nilai-nilai maupun regulasi yang ada di masyarakat online.
Gotved (2006) mengembangkan pemahaman Boudreau dan Newman (2006) melalui
realitas sosial siber. Dalam model tersebut, dengan menggunakan perspektif konstruksi sosial,
interaksi sosial merupakan landasan awal budaya maupun struktur sosial. Ketiga sisi model,
yakni interaksi sosial, budaya, maupun struktur sosial, pada akhirnya akan membentuk apa yang
disebut dengan realitas sosial sebagai sebuah pusat. Untuk memahami realitas sosial tersebut,
semua elemen yang ada tidak dapat dipisahkan. Untuk membaca model ini bisa dilihat dengan
cara interaksi sosial menghasilkan budaya dan dari budaya membentuk struktur seterusnya
kembali ke interaksi dan berputar searah jarum jam, namun semua elemen ini harus dilihat secara
bersamaan (Gotved, 2006b: 469).
Dalam realitas sosial siber, kata sosial yang mengikuti interaksi dan struktur dihilangkan, hal ini
karena dalam dunia virtual, baik manusia maupun mesin berpotensi menciptakan realitas.
Mengenai Realitas Sosial Siber Dimensi Ruang dan Waktu
Waktu merupakan dimensi yang dalam segitiga realitas sosial siber akan menghasilkan
kategori pemaknaan, orientasi, dan regulasi. Orientasi dan struktur selanjutnya menghasilkan
regulasi atau bagaimana berkomunikasi di media virtual.
Sementara konsep ruang merupakan konsep tempat, lokasi, wilayah, geografis, maupun
keberadaan. Dimensi ruang memunculkan perspektif terhadap konstruksi atau rekonstruksi,
penampakan, maupun praktik yang berada di luar dimensi waktu. Di ranah ini semua bahasa,
realitas, objek, analogi, ekspresi, maupun objek yang berada di dunia nyata dikonstruksi atau
direkonstruksi di dunia siber.
Level Realitas di Media Sosial
Realitas sosial siber Gotved menunjukkan adanya skema kompleks dalam memandang
realitas di media sosial. Realitas tidak hanya sekedar peristiwa belaka, namun setidaknya ada
relasi, bahkan negosiasi antara offline dengan online. Rulli Nasrullah dalam Media Sosial,
Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi mengemukakan empat level dalam melihat
realitas sosial siber di media sosial, yaitu :
1. Level ruang media yang menekankan pada keterlibatan pengguna.
2. Level dokumen media yang menekankan pada teks.
3. Level objek media yang menekankan pada konteks.
4. Level pengalaman yang menekankan pada hubungan dunia virtual dengan dunia nyata.
Teks dalam media siber tidak bisa dijangkau langsung oleh pengindraan manusia. Dibutuhkan
perangkat keras tertentu untuk kemudian direproduksi ke perangkat yang lainnya supaya dapat
dibaca berulang-ulang. Modifikasi terhadap teks dapat terjadi di media sosial . Teks dalam
perkembangannya tidak hanya berbentuk huruf, namun juga telah dimodifikasi dengan gambar,
video, dan sebagainya. Teks berlangsung terus-menerus, sehingga komunikasi bisa menjadi
artefak yang terdokumentasi (Cantoni & Tardini, 2006 dalam Nasrullah, 2014).
5. Budaya Siber di Media Sosial
Budaya siber dapat dimaknai sebagai praktik sosial maupun nilai-nilai dari komunikasi
dan interaksi antar pengguna yang muncul di ruang siber dari hubungan antar manusia dan
teknologi maupun antarmanusia dengan perantara teknologi. Budaya itu diproduksi,
didistribusikan, dan dikonsumsi melalui jaringan internet dan jaringan yang dibentuk di antara
pengguna (Nasrullah, 2015: 78)
Castells (2004) menyebut bahwa internet merupakan artefak kebudayaan sehingga dapat
dieksplorasi menggunakan perspektif etnografi melalui konstruksi teknologi dan konteks.
Selanjutnya Gane dan Beer (2008: 97) memberikan sudut pandang untuk melihat bagaimana
interaksi yang terjadi di media siber bisa bermakna. Interaksi di media siber bisa bermakna jika
ada sebuah struktur yang dibangun dari perangkat keras maupun perangkat lunak dari berbagai
sistem media, kemudian struktur tadi melibatkan manusia dan adanya desain maupun perangkat
sebagai variable-variabel yang bebas digunakan. Konsep untuk menjelaskan tentang komunikasi
yang terjadi antara pengguna yang termediasi oleh media baru dan memberikan kemungkinan-
kemungkinan baru yang selama ini ada dalam proses komunikasi interpersonal, sehingga bisa
diartikan sebagai konsep yang menghapuskan sekat-sekat yang ada, sebagai contoh antara
pemerintah dengan warga negara.
Membahas budaya siber, akan membawa pada pembahasan mengenai khalayak. Posisi
khalayak dalam media sosial adalah khalayak memiliki kuasa dalam memilih media dan
menciptakan makna terhadap pesan. Khalayak bersifat heterogen, mereka hadir dari berbagai
lapisan sosial dan cenderung saling tidak mengetahui sebelumnya. Pendekatakan dalam melihat
khalayak yang aktif ini sering disebut sebagai uses and gratification atau penggunaaan dan
kepuasan dalam bermedia. Sven Windahl (1985) menyebut bahwa khalayak dimotivasi oleh
kebutuhan dan tujuan yang didefinisikan sendiri. Khalayak aktif menggunakan media
berdasarkan tujuan yang ingin mereka capai.
Fenomena sosial, budaya, relasi, serta khalayak di dalam dunia siber, lantas
menghasilkan konsep masyarakat jejaring. Konsep ini digunakan untuk memahami bagaimana
fenomena sosial budaya termasuk relasi sosial terjadi di internet (Castells, 2002). Fenomena
sosial budaya itu dipahami dalam sebuah struktur sosial yang tidak baku dan tidak ada batasan
bagi perkembangan anggota, budaya, dan aspek-aspek lainnya.
Dapat dikatakan, prosedur dalam jaringan ini sebagaimana yang terjadi dalam struktur
sosial masyarakat offline, hanya saja masyarakat jejaring keberadaan strukturnya dalam batasan
teknologi semata. Semua prosedur merupakan mekanisme teknis yang diterapkan sesuai dengan
logika teknologi. Setiap level dalam masyarakat jejaring bisa berinteraksi dengan level di
atasnya, sementara dalam masyarakat offline struktur masyarakatnya cenderung bertingkat dan
tidak serta merta level di bawah bisa berkomunikasi dengan level teratas. (Nasrullah, 2015 : 113)
B. Teori Gerakan Sosial Baru
Gerakan sosial dapat diartikan sebagai sebuah bentuk gerakan koletif yang melibatkan
elemen masyarakat demi mewujudkan kepentingan bersama dan tatanan sosial yang lebih adil.
Gerakan sosial acapkali muncul karena dorongan dan faktor ketidakpuasan akan keadaan yang
sedang terjadi dan memberikan dampak negatif yang dirasa akan semakin meluas. Perubahan
sosial diharapkan bisa diupayakan salah satunya dengan gerakan sosial.
Konflik sosial pada esensinya merupakan sebuah konsep interaksional. Konflik sosial
mengandaikan adanya dua atau lebih orang atau kelompok dalam sebuah situasi saling
mengajukan klaim dan bertarung satu sama lain, serta melibatkan isu-isu dan persoalan-
persoalan. Karena konflik selalu ada dalam masyarakat, maka potensi kemunculan gerakan sosial
akan selalu ada pula, sebuah gerakan sosial selalu diawali dengan gerakan kolektif.
Definisi konflik adalah sebuah perjuangan yang tujuannya ialah untuk mencapai tujuan-
tujuan jangka pendek dan secara simultan menetralisir, mencederai, atau mengeliminasi pesaing-
pesaingnya (Coser, L., 1956 : 8). Sedangkan aksi kolektif konfliktual dapat didefinisikan sebagai
usaha kolektif dari sekelompok orang untuk mencapai tujuan-tujuan jangka pendek, tujuan-
tujuan jangka menengah dan nilai-nilai yang dianut bersama, bahkan meski berhadapan dengan
penentangan dan konflik. (Singh, R., 2010 : 26).
Gerakan sosial dibentuk oleh proses-proses mempersoalkan dan menuntut secara sadar,
mempertaruhkan dan menantang kelembaman hak istimewa dari masyarakat dan dari kelompok-
kelompok yang memiliki hak istimewa, negara dan sistem otoritas, dan hal ini mengarah kepada
proses pembangunan dan pembaharuan masyarakat kembali (Singh, R., 2010 : 43). Untuk
memahami lebih jauh perihal Gerakan Sosial Baru (GSB), terlebih dulu dibutuhkan adanya
penjelasan mengenai berubahnya representasi masyarakat dan gerakan sosial.
Perubahan yang dimaksud di sini adalah dari modernity ke post-modernity, dari society ke
post society, dan dari sociology ke post sociology. Modernitas merupakan suatu gerak maju
dalam sejarah yang melibatkan transformasi kualitas dan bentuk-bentuk kehidupan sosial dari
masyarakat sederhana menjadi lebih kompleks, dari peran yang terbaur menjadi lebih
terdiferensiasi. Dicirikan dalam kemampuannya mengarahkan masyarakat dan komunitas untuk
mengejar keberhasilan material dan prestasi individual. Modernitas dianggap sebagai proyek
ideologi Eropa-sentris untuk mengubah masyarakat non-Eropa dengan kekhasan yang
ditunjukkan dalam formalisme, impersonalisme, dan anomi (Touraine, A., 1987: 208). Post
modernitas menyimbolkan kritik terhadap modernitas. Gagasannya adalah konsepsi bahwa
transformasi sosial dari masyarakat dan kebudayaan secara umum tidak dengan sendirinya
mengikuti sebuah jalur unilinier tunggal, namun plural dan polimorf. Postmodern menyangkal
adanya kebudayaan yang superior dan inferior serta membenci ide mengenai masyarakat pusat
dan pinggiran. (Singh, Rajendra., 2010 : 59)
Wujud teknologis dan instrumental dari modernitas tercermin dalam fenomena
industrialisme. Apabila postmodernitas secara umum dipertentangkan dengan daya-daya
modernitas, maka konsepsi post industrial dipahami sebagai perluasan dan kelanjutan dari
masyarakat industrial di mana penekanan perbedaannya ada pada perubahan antara nilai tukar
produksi barang, yang pada post industrialis berubah melibatkan komunikasi dan informasi
sehingga produksi lebih terfokus pada tanda, sugersti, persuasi, dan pesan. Industrialisme
merupakan invasi terhadap dimensi ekonomi dari kehidupan manusia, sedangkan post
industrialisme merupakan invasi terhadap lahir batin secara menyeluruh. Masyarakat menjadi
penerima pasif dari pesan-pesan terkontrol yang muncul dari pusat kekuasaan, negara, dan pasar.
Salah satu respon krusial terhadap post modern dan post industrial adalah bentuk-bentuk aksi
kolektif dan gerakan sosial yang baru, yang berjuang membela masyarakat sipil dalam isu ras,
gender, perdamaian, dan ekologis. (Singh, Rajendra., 2010 : 68-70)
Post society memberikan penekanan dan mengakui adanya proses semakin menguat dan
mendalamnya relasi-relasi interpersonal yang menolak masyarakat fungsionalis yang melihat
masyarakat sebagai sistem totalitas, sehingga banyak melahirkan kehidupan sosial kolektif yang
memicu adanya gerakan sosial. Bersamaan itu muncul pula post sociology yang berupaya
mendalami manusia secara lebih subjektif dan menghidupkan kembali konsep individu, berbeda
dengan konsep modernisme yang lebih menjadikan masyarakat sebagai objek dengan konsep-
konsep makro seperti sistem sosial, organisasi sosial, kelas, status, dan peran. Post society dan
post sociology diproyeksikan dalam sosiologi mikro yang bertujuan memulihkan kembali
kelompok dan individu kepada aksi dan pengalamannnya. (Singh, Rajendra., 2010 : 86-88)
Perubahan masyarakat menyebabkan melebarnya jarak antara negara dan masyarakat
sipil, di sisi lain, menampilkan bentuk baru masyarakat. Aksi kolektif dan volunterisme tampak
meningkat utamanya dalam isu humanis, kultural, dan non materialistik. Wacana ideologis yang
meneriakkan anti kapitalisme, revolusi kelas, dan perjuangan kelas pada gerakan sosial „lama‟
tidak nampak pada gerakan sosial baru, bahkan GSB tidak tertarik pada gagasan revolusi dan
penggulingan sistem pemerintahan, isu-isu humanistik mendominasi ranah GSB. Tampilan GSB
adalah plural, berbagai isu yang dekat dengan masyarakat menjadi topik yang disuarakan. GSB
dapat diartikan sebagai refleksi pemberontakan kultural individu kontemporer yang menentang
meningkatnya mekanisasi sistem kontrol dan pengawasan oleh negara terhadap masyarakat.
Ciri-ciri GSB pertama adalah pertahanan diri komunitas dan masyarakat melawan
meningkatnya ekspansi aparatus negara dan kontrol sosial. Menurut Laclau dan Mouffle (1985:
163-164) yang termasuk dalam GSB adalah beragam perjuangan urban, ekologis, anti otoritarian,
anti institusionalis, feminis, anti rasis, etnik, dan regional. Ciri kedua, GSB secara radikal
merubah paradigma Marxis yang menjelaskan konflik dan kontradiksi dalam istilah kelas dan
konflik kelas, menjadi perjuangan lintas kelas pada isu-isu kemanusiaan, berhubungan dengan
kondisi mendasar keberadaan manusia serta mungkin bagi keberadaan yang layak di masa depan.
Komitmen GSB melintasi paradigma kelas. Ketiga, GSB pada umumnya mengabaikan model
organisasi serikat buruh industri dan politik kepartaian. Keempat, GSB memiliki pluralitas cita-
cita, berbeda dengan gerakan klasik, GSB umumnya transnasional. Wilayah aksi, strategi, dan
cara mobilisasi mereka adalah global. GSB menanggapi persoalan atas planet tempat manusia
bertahan hidup, mendukung pelestarian alam di mana manusia menjadi bagiannya. (Singh,
Rajendra., 2010 : 124-130)
Aktor-aktor sosial GSB pada garis besarnya berasal dari basis sosial yang luas, tidak
terbagi-bagi, melintasi kategori-kategori sosial ihwal gender, pendidikan, okupasi, atau kelas.
Para aktornya tidak terkotakkan pada pembagian tertentu seperti ploretariat, kelas buruh, pekerja,
industri, dan petani.
Aktor-aktor GSB beroperasi bukan dalam kepentingan kelas mereka tetapi berjuang demi
kepentingan kemanusiaan. Aktor GSB menolak basis identifikasi diri yang mapan. Mereka
bukan, dalam bahasa politik kanan atau kiri, liberal atau konservatif, dan tidak juga dikenali
berdasarkan sebuah kelas, gender, suku, umur, dan lokalitas. (Singh, Rajendra., 2010 : 132)
Gerakan sosial baru menciptakan ruang demokrasi yang semakin luas bagi masyarakat
untuk menyuarakan aspirasinya. Seperti yang telah disebutkan, gerakan sosial baru menjadikan
berbagai kelas dalam masyarakat melebur dan menjadi tidak terkotak-kotakkan. Dalam kasus
Jogja Darurat Agraria ini misalnya, aktor yang peduli terhadap fenomena yang sedang terjadi
tidak hanya dari kalangan masyarakat Yogyakarta yang secara langsung nantinya akan menerima
dampaknya, namun juga dari kalangan akademisi seperti mahasiswa dan dosen, politikus, dan
seniman yang menaruh perhatian serta kekhawatiran yang sama.
Keterkaitannya dengan media baru kemudian menjadi jelas terutama di era serba digital
seperti sekarang ini, sebuah gerakan membutuhkan media yang mampu mengabarkan berita
secara efisien, cepat dan luas, sehingga media baru merupakan komponen yang tepat untuk
melengkapi eksistensi gerakan sosial baru.
6. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif etnografi online. Metode
penelitian kualitatif adalah metode yang disampaikan dalam bentuk narasi untuk
menggambarkan dan menjelaskan secara detail dan jelas pada fenomena yang akan diteliti.
Sedangkan etnografi online dipilih karena internet merupakan suatu wilayah yang bersifat
interaktif. Internet selalu bergerak aktif, informasi yang terdapat di dalamnya dibuat dan dibuat
kembali (Christine Hine, 2001). Kendala dari penelitian etnografi online adalah posisi peneliti
dengan subyek penelitian yang asimetris. Hal ini rentan menimbulkan bias informasi terkait
dengan perbedaan persepsi, interpretasi pesan, dan sebagainya. Hine menambahkan, peneliti
etnografi online dituntut mempertanyakan asumsi yang berlaku di internet, peneliti sebisa
mungkin melakukan interpretasi dan re-interpretasi data sehingga sebisa mungkin terhindar dari
bias data.
Internet merupakan struktur yang kompleks, relasinya berdasarkan konteks yang
digunakan sehingga peneliti etnografi online menempatkan internet sebagai artefak kultural. Hal
ini dikarenakan informasi yang ada di internet bersifat kepingan-kepingan yang tidak
menyeluruh sehingga sulit menjangkau informan, lokasi, bahkan kultur yang ada secara utuh.
Oleh karena itu, peneliti diharapkan menjadi bagian dari komunitas, namun tetap dalam posisi
objektif. Etnografi online tidak mengharuskan adanya tatap muka, tetapi dalam prosesnya, baik
peneliti maupun informan harus dirasakan kehadiran keduanya agar data yang dihasilkan
mendekati realitas yang terjadi di dunia siber.
Penelitian dilakukan terhadap akun resmi Jogja Darurat Agraria di Twitter dan Facebook.
Tagar #JogjaDaruratAgraria nantinya akan membantu membawa peneliti ke khalayak yang
menaruh perhatian terhadap isu tersebut.
2. Lokus
Penelitian akan difokuskan terhadap akun resmi Jogja Darurat Agraria di facebook dan
twitter. Peneliti menggunakan teknik online research sehingga dapat mengamati terjadinya
gerakan sosial yang terjadi di dalam media sosial dan pengaruhnya terhadap gerakan di dunia
nyata. Akun resmi Jogja Darurat Agraria dianggap cukup memberikan informasi yang
mendeskripsikan konflik agraria di Yogyakarta, ditambah tagar #JogjaDaruratAgraria serta
dokumen pendukung yang ditautkan pada kirimannya sehingga diharapkan dapat menunjukkan
ada gerakan sosial yang terjadi meskipun dalam tataran dunia siber. Penelitian dibatasi dalam
kurun waktu tertentu yakni 19 September 2016 sampai 19 Oktober 2016 di mana terdapat
berbagai variasi gerakan sepanjang waktu yang dipilih.
3. Sumber Informasi
Akun Twitter Jogja Darurat Agraria (@JDA_SG_PAG)
@JDA_SG_PAG merupakan akronim dari Jogja Darurat Agraria, Sultanaat Grond, dan
Paku Alamanaat Grond. Sultanaat Grond dan Paku Alamanaat Grond merupakan bagian
dari Undang Undang Keistimewaan yang mengatur tentang pertanahan di Yogyakarta di
mana tanah dengan tanda tersebut sepenuhnya menjadi hak milik kesultanan atau paku
alaman. Salah satu sumber utama konflik agraria di Yogyakarta adalah adanya
pematokan Sultanaat Grond atau Paku Alamanaat Grond yang menandakan wilayah
tersebut diklaim merupakan hak milik kesultanan atau pakualaman di tanah yang sudah
ditempati oleh warga.
Tagar (Tanda Pagar) #JogjaDaruratAgraria di Twitter
Twitter merupakan situs media sosial microblogging yang memberikan fasilitas tagar
untuk menandai suatu fenomena agar dapat ditelusuri dengan lebih mudah oleh
pengguna.
Tagar juga memungkinkan suatu fenomena menjadi lebih viral dengan adanya menu
trending topic jika banyak pengguna yang membicarakan topik tersebut. Tagar
#JogjaDaruratAgraria dianggap mampu melengkapi penelitian ini dalam melihat respon
pengguna atas isu tersebut selain melalui retweet dan favorite.
Halaman Facebook Jogja Darurat Agraria
Facebook menjadi salah satu situs rujukan dalam penelitian ini karena karakter yang tidak
dibatasi dalam setiap kiriman. Facebook juga menyediakan fasilitas yang memungkinkan
pengguna memberikan komentar langsung di bawah kiriman yang ada sehingga dapat
menyajikan interaksi antar pengguna.
4. Teknik Pengumpulan Data
Etnografi online sesuai namanya, mengadopsi teknik etnografi yang merupakan
penelitian berbasis observasi partisipasi yang memadukan berbagai teknik pengumpulan data di
dalamnya. Perbedaan keduanya terlihat jelas pada medium yang menjadi perantara etnografi
online, yakni komputer, sehingga meskipun melewati alur penelitian yang serupa, cara peneliti
berpartisipasi, praktek observasi, pengumpulan data, analisis data, teknik dan instrumen
penelitian, olah data, dan interpretasi datanya akan berbeda.
Etnografi yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada metode etnografi online dari
Robert V. Kozinets. Robert V. Kozinets memperkenalkan metode etnografi online miliknya
tersebut dengan nama netnography. Interaksi sosial saat ini bukan hanya terjadi ketika adanya
tatap muka antar manusia atau kelompok manusia, digitalisasi memunculkan jenis interaksi baru
yang dimediasi oleh perangkat digital, sehingga etnometodologi sebagai salah satu metode yang
mengkaji bagaimana seseorang memberi makna kepada dunia sosialnya dituntut untuk
beradaptasi dengan perkembangan komputerisasi masa kini. (Kozinets, R., 2010)
Dengan berbagai interaksi yang terjadi di dalamnya, dunia siber dan non siber kemudian
menjadi sebuah dunia yang saling terkait. Berbagai fenomena sosial yang muncul belakangan
seringkali tidak dapat dilepaskan dari peran internet terutama dalam pola penyebaran
informasinya yang relatif membutuhkan waktu singkat. Etnografi online menjadi metode yang
mengamati setiap pergerakan dan detail-detail interaksi secara cermat, peneliti dalam interpretasi
datanya, menjadi harus lebih berhati-hati melihat konteks dan pemaknaan dari objek yang diteliti
Langkah 1 : merumuskan pertanyaan penelitian atau topik yang akan diteliti
Langkah 2 : mengidentifikasi dan memilih komunitas yang akan diteliti
Langkah 3 : observasi partisipan dalam komunitas online dan pengumpulan data
Langkah 4 : analisis data dan interpretasi temuan
Langkah 5 : penyusunan laporan penelitian dan implikasi teoritikal
Alur tersebut adalah alur penelitian etnografi sederhana Robert Kozinets. Setelah
menentukan pertanyaan penelitian dan komunitas online yang akan diteliti, observasi langsung
mutlak diperlukan dalam pengumpulan data salah satunya agar peneliti dapat membaca pola-pola
kecenderungan interaksi dalam komunitas tersebut. Data dalam etnografi online dapat berupa
teks, gambar, animasi, suara, foto, dan audio visual. Dari sini dapat dibaca bagaimana komunitas
tersebut merepresentasikan diri di media online, pemetaan aktor yang terlibat aktif dalam
interaksi di media online, dan ikatan yang terjalin antar aktor maupun partisipan. Dalam
pengumpulan datanya peneliti menggunakan teknik-teknik berikut.
Online Direct Observation
Observasi langsung melalui media online (online direct observation) merupakan aktivitas
observasi dimana observer secara langsung mengamati perilaku yang terobservasi
(observee). Dengan kata lain observasi langsung melalui media online merupakan
aktivitas observasi langsung dengan memanfaatkan internet sebagai medianya (dalam
Penelitian Skripsi Tania, Syaifa. 2011: 19).
Dalam penelitian ini, peneliti mengamati setiap kiriman yang dilansir oleh masing-
masing sumber dan menunjukkan upaya-upaya yang berkaitan dengan gerakan kolektif
yang mengharapkan perubahan terhadap tatanan yang sudah ada. Peneliti juga akan
menunjukkan bagaimana relasi, interaksi, dan budaya kemudian dapat terbentuk di
dalamnya.
Wawancara online
Wawancara menjadi salah satu teknik yang digunakan peneliti dalam upaya validasi data
dan reinterpretasi agar data yang disajikan nantinya minim bias. Seperti yang telah
disebutkan bahwa dalam etnografi online, posisi peneliti dan informan adalah asimetris.
Sehingga untuk menghindari kesalahpahaman dan mendukung validasi data, wawancara
online diupayakan menjadi solusinya. Wawancara dibatasi seputar apa yang sudah terjadi
di dunia siber dan bukan untuk menggali informasi lebih dalam dari temuan observasi.
Sejarah Kasus dan Analisis Dokumen
Teknik yang terakhir digunakan peneliti untuk melengkapi data mengenai latar belakang
serta perkembangan kasus melalui tautan-tautan yang disarankan dalam kiriman-kiriman
sumber informasi.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan peneliti yang memilih metode etnografi online
terkait perbedaannya dengan etnografi konvensional. Lingkungan tempat berlangsungnya
penelitian etnografi online adalah lingkungan yang termediasi sehingga berbagai teknik
pengumpulan data memanfaatkan artefak yang sepenuhnya tidak dipengaruhi oleh peneliti,
sedangkan etnografi konvensional menerapkan metode tatap muka sehingga peneliti memiliki
keterlibatan langsung dalam kelompok yang akan memengaruhi data yang diperoleh.
Interaksi non tatap muka menyebabkan peneliti tidak dapat membaca gerak tubuh dan
sepenuhnya memanfaatkan artefak kultural sebagai data etnografi, selain itu dalam etnografi
online terdapat berbagai akun anonim atau pseudonim, meski begitu hal ini tidak lantas
menjadikan akurasi data menjadi lemah karena dilihat dari sisi keamanan dan interaksi yang
termediasi justru fenomena ini memungkinkan seseorang lebih „jujur‟ dan „terbuka‟ daripada
interaksi mereka di dunia offline. (Kozinets, R., 2010)
Memilih etnografi online juga mewajibkan peneliti untuk melihat lebih jeli komunitas
online yang dipilih dalam hal interaksi yang dibangun, partisipan atau anggota komunitas, bahasa
yang digunakan, dan topik yang menjadi concern komunitas tersebut. Analisis data etnografi
tidak diperbolehkan abai pada hal-hal tersebut. Dalam penyusunan data etnografi online,
penyajian data yang runtut dan terstruktur mutlak diperlukan agar dapat dengan jelas
menjelaskan jawaban atas pertanyaan penelitian.
7. Tinjauan Pustaka
Penelusuran penulis terhadap literatur tentang Gerakan Sosial Baru di Dunia Siber,
Etnografi Online Media Sosial dalam Akun Twitter dan Halaman Facebook Gerakan Jogja
Darurat Agraria belum ada. Namun, sebelumnya telah ada berbagai penelitian mengenai gerakan
sosial baru di Yogyakarta.
Pertama, penelitian karya ilmiah oleh M. Tashfin Faraz dari Jurusan Sosiologi Agama,
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta diperoleh
kesimpulan orientasi Gerakan Sosial Banser Lalu Lintas yang sebelumnya berorientasi
keagamaan telah meluas menjadi bhakti kemasyarakatan dan tidak dikhususkan untuk kalangan
NU saja. Kegiatan yang dilakukan antara lain pengawalan kyai, pengawalan jamaah haji menuju
asrama haji, pengawalan iringan pengantin, membantu evakuasi korban bencana, pengamanan
hari raya natal, serta pengamanan arus mudik-balik lebaran.
Kedua, penelitian ilmiah Putik Rofiana dari Jurusan Sosiologi, Universitas Negeri
Sebelas Maret, Surakarta diperoleh kesimpulan gerakan sosial baru Walkability City di
Umbulharjo Yogyakarta yang diprakarsai oleh WALHI Yogyakarta yang dilatarbelakangi hak
para pejalan kaki yang terabaikan, menyebabkan WALHI-Yogyakarta melakukan suatu gerakan
sosial baru melalui sebuah aksi kolektif. Gerakan sosial baru yang bernama gerakan walkability
city ini mempunyai karakteristik yaitu medan, taktik, aktor, dan tujuan. (1) Medan dalam
penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di Kecamatan Umbulharjo. Masyarakat di
Kecamatan Umbulharjo dibangun pemikiran atau paradigma berpikirnya dari tidak tahu menjadi
tahu, dari tidak paham menjadi paham terkait gerakan walkability city. (2) Taktik yang
digunakan WALHI-Yogyakarta adalah menggunakan strategi advokasi. Strategi advokasi ini
digunakan dalam mewujudkan gerakan walkability city sebagai gerakan sosial baru di
Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Tahapan strategi advokasi WALHI-Yogyakarta yaitu
perencanaan, observasi, tindakan, dan refleksi. (3) Aktor yang terlibat dalam gerakan ini adalah
WALHI-Yogyakarta yang bekerjasama dengan KPBB. (4) Tujuan dari gerakan walkability city
adalah mewujudkan gerakan walkability city sebagai gerakan sosial baru untuk mendukung Kota
Yogyakarta istimewa bagi pejalan kaki
Ketiga, penelitian ilmiah oleh Ahmad Izudin dari Konsentrasi Pekerjaan Sosial
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta diperoleh kesimpulan perjuangan serikat petani
DIY termasuk dalam kategori new social movement dengan kondisi yang merupakan cita-cita
bersama di mana gerakan bersifat terbuka, ekspresif, eksploitatif, dan demokratis, namun pada
saat yang sama memiliki arah strategis dalam menghapus status quo terhadap rezim dan
kebijakan pro kapitalisme. Serikat petani DIY memiliki tiga agenda konseptual yakni strategi
kegiatan berbasis kepentingan, strategi gerakan berbasis hak, dan trategi gerakan berbasis
kekuatan. Serikat petani di DIY paling aktif berada di Bantul dan Kulonprogo.
8. Glosarium
AMDAL : AMDAL adalah singkatan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Dalam
Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
disebutkan bahwa AMDAL merupakan kajian mengenai dampak besar dan penting untuk
pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada Iingkungan
hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan.
Etnografi Online : Penelitian berbasis observasi partisipasi yang memadukan berbagai teknik
pengumpulan data di dalamnya. Perbedaan dengan etnografi konfensional adalah medium
yang menjadi perantara etnografi online, yakni komputer, sehingga meskipun melewati alur
penelitian yang serupa, cara peneliti berpartisipasi, praktek observasi, pengumpulan data,
analisis data, teknik dan instrument penelitian, olah data, dan interpretasi datanya akan
berbeda.
Hashtag : Kata atau frase tanpa spasi yang diawali dengan simbol hash ("#"). Ini adalah bentuk
tag metadata. Kata-kata dalam pesan pada microblogging dan jejaring sosial seperti Twitter,
Facebook, Google+ atau Instagram dapat ditandai dengan menempatkan "#" di depan
mereka.
Kasultanan Yogyakarta : Bagian wilayah kerajaan mataram islam setelah perjanjian Giyanti yang
dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono I-X (sekarang)
Mataram Islam : Kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada abad ke-17. Merupakan
cikal bakal Yogyakarta, Surakarta, dan Mangkunegaran.
Pakualamanaat Grond : Tanah di Yogyakarta yang merupakan hak milik Pakualaman.
Panitikismo : Lembaga keraton DIY yang bertugas mengelola pertanahan di Yogyakarta.
Siber : Segala bentuk media yang menggunakan wahana internet dalam melaksanakan kegiatan
jurnalistik, serta memenuhi persyaratan Undang-Undang Pokok Pers dan Standar
Perusahaan Pers yang ditetapkan oleh Dewan Pers.
Sultanaat Grond : Tanah di Yogyakarta yang merupakan hak milik Kasultanan.
UUPA : Undang-undang Pokok Agraria yang mengaturtentang pertanahan nasional, disahkan
pada 24 September 1960.
UUK : Undang-undang nomor 13 tahun 2012yang mengatur keistimewaan Yogyakarta.
Peraturan yang hanya berlaku di DIY berdasarkan keistimewaan yang dimiliki suatu wilayah
secara historis.