Post on 05-Dec-2014
description
BAB 1
PENDAHULUAN
Tonsilitis adalah penyakit yang umum. Hampir semua anak mengalami setidaknya
satu episode tonsillitis. Di Amerika Serikat, antara 2,5% hingga 10,9% dari anak-
anak dapat didefinisikan sebagai carier. Prevalensi rata-rata carier dari anak
sekolah untuk kelompok A Streptococcus, penyebab dari radang amandel, adalah
15,9% dalam satu penelitian. Pada anak sekolah usia 5-18 tahun di Amerika
Serikat Streptococcus beta hemmoliticus group A (SBHGA) didapatkan sebanyak
20-40%. Walaupun tonsilofaringitis akut dapat disebabkan oleh berbagai bakteri,
namun SBHGA mendapat perhatian yang lebih besar karena dapat menyebabkan
komplikasi yang serius, diantaranya demam rematik, penyakit jantung rematik,
penyakit sendi rematik, dan glomerulonefritis.1
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia)
ada tahun 1994-1996, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis
akut (4,6%) yaitu sebesar 3,8%. Insidensi tonsilitis kronik di RS Dr. Kariadi
Semarang yang dilaporkan oleh Aritmoyo (1978) sebanyak 23,36% dan 47% di
antaranya pada usia 6-15 tahun. Sedangkan Udaya (1999) di RSUP Hasan Sadikin
pada periode April 1997 sampai dengan Maret 1998 menemukan 1024 pasien
tonsilitis kronik atau 6,75% dari seluruh kunjungan.2
Secara umum, penatalaksanaan tonsilitis kronis dibagi dua, yaitu
konservatif dan operatif. Terapi konservatif dilakukan untuk mengeliminasi kausa,
yaitu infeksi dan mengatasi keluhan yang mengganggu. Bila tonsil membesar dan
menyebabkan sumbatan jalan nafas, disfagia berat, gangguan tidur, terbentuk
abses atau tidak berhasil dengan pengobatan konvensional, maka operasi
tonsilektomi perlu dilakukan.3
1
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi dan Fisiologi
Embriologi
Pada permulaan pertumbuhan tonsil, terjadi invaginasi kantong brakial ke II ke
dinding faring akibat pertumbuhan faring ke lateral. Selanjutnya terbentuk fosa
tonsil pada bagian dorsal kantong tersebut, yang kemudian ditutupi epitel. Bagian
yang mengalami invaginasi akan membagi lagi dalam beberapa bagian, sehingga
terjadi kripta. Kripta tumbuh pada bulan ke 3 hingga ke 6 kehidupan janin, berasal
dari epitel permukaan. Pada bulan ke 3 tumbuh limfosit di dekat epitel tersebut
dan terjadi nodul pada bulan ke 6, yang akhirnya terbentuk jaringan ikat limfoid.
Kapsul dan jaringan ikat lain tumbuh pada bulan ke 5 dan berasal dari mesenkim,
dengan demikian terbentuklah massa jaringan tonsil.4
Anatomi Tonsil5-8
Gambar 1 Anatomi Tonsil
2
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan
ikat dengan kriptus di dalamnya. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar
limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatine (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil Tuba
Eusthacius (lateral band dinding faring/Gerlach`s tonsil).
Gambar 2 Cincin Waldeyer
Fungsi
Mengenai fungsi dari tonsil, masih terdapat kontroversi, tetapi ada beberapa hal
yang dapat diterima, yaitu:
1. Membentuk zat-zat anti yang terbentuk di dalam sel plasma saat reaksi
seluler
2. Mengadakan limfositosis dan limfositolisis
3. Menangkap dan menghancurkan benda-benda asing maupun
mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh melalui hidung dan mulut
4. Memproduksi hormon, khususnya hormon pertumbuhan.
3
a. Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa
tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil
terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:
Lateral – m. konstriktor faring superior
Anterior – m. palatoglosus
Posterior – m. palatofaringeus
Superior – palatum mole
Inferior – tonsil lingual
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat,
folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri
dari jaringan linfoid).
Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior
adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor
faring superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut,
mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah
otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba eustachius dan dasar
tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral esofagus, sehingga
pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak terluka. Pilar anterior
dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah
terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring.
Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat, yang
disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini,
4
tetapi para klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang
menutupi 4/5 bagian tonsil.
Plika Triangularis
Di antara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika
triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa
embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil
dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau
terpotongnya pangkal lidah.
Perdarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna, yaitu:
a.maksilaris eksterna (a.fasialis) dengan cabangnya a.tonsilaris dan
a.palatina asenden;
a.maksilaris interna dengan cabangnya a.palatina desenden;
a.lingualis dengan cabangnya a.lingualis dorsal;
a.faringeal asenden.
Gambar 3 Vaskularisasi pada tonsil
5
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh a.lingualis dorsal dan
bagian posterior oleh a.palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh a.tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh a.faringeal
asenden dan a.palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar
kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M.
Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.
Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke-V melalui ganglion
sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.
Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari
keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada
tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat
sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel
dendrit dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses
transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin
spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2
fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif;
2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan
antigen spesifik.
6
Ukuran tonsil
T0 : Tidak ada tonsil (post tonsilektomi)
T1 : Tonsil terbatas pada fossa tonsilaris (belum melewati plika anterior)
T2 : Sudah melewati plika anterior, belum melewati plika posterior
T3 : Sudah melewati plika posterior, hampir menutupi uvula
T4 : Sudah menutupi uvula
Gambar 2.4 Ukuran pada tonsil
b. Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid
yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun
teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong
diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian
tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus.
Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring
terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke
fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada
masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal
antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.
7
c. Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen
sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.
2.2 Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsila palatina yang merupakan bagian dari cincin
waldeyer. Cincin waldeyer terdiri dari susunan kelenjar limfa yang terdapat di
dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsil
faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba eustachius (lateral band
dinding faring/ gerlach’s tonsil). Penyebaran infeksi melalui udara (air borne
droplets), tangan dan ciuman dapat terjadi pada semua umur terutama pada anak.5
2.3 Etiologi
Tonsilitis akut sering mengenai anak-anak usia sekolah, tetapi juga dapat
mengenai orang dewasa. Jarang mengenai bayi dan usia lanjut > 50 tahun.
Penyebab terserang tonsilitis akut adalah streptokokus beta hemolitikus grup A,
yaitu sekitar 50% dari kasus. Bakteri lain yang juga dapat menyebabkan tonsilitis
akut adalah Haemophilus influenza dan bakteri dari golongan pneumokokus dan
stafilokokus. Kadang streptococcus non hemoliticus atau streptococcus viridens.
Virus juga kadang ditemukan sebagai penyebab tonsilitis akut. Seperti
Adenovirus, ECHO, Virus influenza serta herpes.5,8,9
Pada tonsilitis kronis, dapat berupa komplikasi dari tonsilitis akut, infeksi
tonsil subklinis tanpa serangan akut, sering mengenai anak-anak dan dewasa
muda, jarang pada orang tua > 50 tahun, infeksi kronis pada sinus dari gigi dapat
menjadi faktor predisposisi.5,8,9
2.4 Klasifikasi
8
2.4.1 Tonsilitis Akut
Tonsil terdiri dari epitel permukaan yang berlanjut dengan garis orofaring,
kripta-kripta yang seperti invaginasi tabung dari epitel permukaan dan
jaringan limfoid. Infeksi akut pada tonsil dapat melibatkan komponen-
komponen tersebut dan diklasifikasikan sebagai:8
a. Tonsilitis kataral akut atau superfisial. Disini tonsilitis merupakan
bagian dari faringitis dan sering diakibatkan infeksi virus.
b. Tonsilitis folikular akut. Infeksi menyebar ke dalam kripta yang
menjadi penuh dengan nanah, sehingga memberikan gambaran kripta
seperti titik-titik kuning.
c. Tonsilitis parenkimal akut. Disini substansi tonsil turut terlibat, tonsil
menjadi besar dan merah.
d. Tonsilitis membranosa akut. Tipe ini satu tingkat lanjut dari tonsilitis
folikular akut ketika eksudasi dari kripta bergabung membentuk
memran pada permukaan tonsil.
Gambar 5 Tonsilitis Membranosa
2.4.2 Tonsilitis Difteri5,8
9
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun
dan frekuensi tertinggi pada usia 2 – 5 tahun walaupun pada orang dewasa
masih mungkin menderita penyakit ini.
Gambaran klinik dibagi dalam tiga golongan, yaitu gejala umum,
gejala lokal dan gejala akibat eksotoksin.
Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan
suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan,
badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan
Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu
membentuk membran semu. Membran ini dapat meluas ke palatum
mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat
menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada
dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada
perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar
limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeester’s
hals.
Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini
akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung
dapat terjadi miokarditis sampai gagal jantung, mengenai saraf
kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot
pernafasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.
Diagnosis ditegakkan berdarasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan
bawah membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteria.
Penatalaksanaannya dapat diberikan anti difteri serum (ADS) tanpa
menunggu hasil kultur, dengan dosis 20.000 – 100.000 unit tergantung
dari umur dan beratnya penyakit. Antibiotik penisilin atau eritromisin 25 –
50 mg/kgBB dibagi dalam tiga dosis selama 14 hari. Kortikosteroid 1,2
mg/kgBB/hari. Antipiretik untuk simtomatis. Karena penyakit ini menular,
10
pasien harus diisolasi dengan beristirahat di tempat tidur selama 2 – 3
minggu.
Komplikasi yang dapat terjadi berupa laringitis difteri, miokarditis,
kelumpuhan otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot faring
serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau,
kelumpuhan otot-otot pernafasan dan albuminuria.
2.4.3 Tonsilitis Kronik8
a. Tonsilitis folikular kronik. Disini kripta tonsil penuh dengan material
seperti keju yang terinfeksi yang memberikan gambaran pada
permukaannya bintik-bintik kuning.
b. Tonsilitis parenkimal kronik. Terjadi hiperplasi dari jaringan limfoid.
Tonsil menjadi sangat besar dan mengganggu dalam berbicara, proses
makan dan respirasi. Serangan kekurangan oksigen saat tidur dapat
terjadi.
c. Tonsilitis fibroid kronik. Tonsil berukuran kecil tetapi terinfeksi,
dengan riwayat nyeri tenggorok yang berulang.
2.5 Gambaran Klinis
Pada Tonsilitis akut keluhan pasien biasanya berupa nyeri tenggorokan, sulit
menelan, demam yang bervariasi dari 38 – 40oC dan dapat berhubungan dengan
dingin serta kekakuan, sakit telinga yang merupakan nyeri alih dari tonsil atau
hasil otitis media akut sebagai komplikasinya, dan gejala konstitusional seperti
sakit kepala, nyeri sendi, malaise, konstipasi, nyeri perut. Tanda-tanda pada
tonsilitis akut dapat berupa nafas yang bau, kelenjar getah bening jugulodigastrik
membesar dan sakit, hiperemis plika, palatum, dan uvula, kemerahan dan
pembengkakan pada tonsil dengan bintik kuning berisi nanah pada kripta
(tonsilitis folikular akut) atau membran putih pada permukaan medial tonsil yang
dapat diusap secara mudah dengan penyeka (tonsilitis membranosa akut) atau
tonsil dapat sangat membesar dan padat sehingga hampir bertemu di garis tengah
bersamaan dengan edema dari uvula dan palatum (tonsilitis parenkimal akut).8-14
11
Gambar 6 Tonsilitis akut
Pada tonsilitis kronik, pasien mengeluh nyeri tenggorokan atau amandel
yang berulang, iritasi kronik pada tenggorokan dengan batuk, nafas berbau
(halitosis) akibat nanah pada kripta, sulit berbicara, sulit menelan dan perasaan
tercekik saat tidur (ketika tonsil membesar dan obstruktif). Pada pemeriksaan
didapati tonsil dapat membesar yang kadang bertemu di garis tengah (tipe
parenkimal kronik), bercak kuning pada permukaan medial tonsil (tipe folikular
kronik), tonsil berukuran kecil tapi tekanan pada plika anterior mengekspresikan
nanah seperti keju (tipe fibroid kronik). Pembesaran kelenjar getah bening
jugulodigastrik adalah tanda nyata, terutama saat serangan akut dapat membesar
dan terasa sakit.8,9
2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik.
Tonsil membengkak dan tampak bercak-bercak perdarahan. Ditemukan
12
nanah dan selaput putih tipis yang menempel di tonsil. Membran ini bisa
diangkat dengan mudah tanpa menyebabkan perdarahan. Dilakukan
pembiakan apus tenggorokan di laboratorium untuk mengetahui bakteri
penyebabnya.5,9
AKUTKRONIS EKSASERBASI
AKUTKRONIS
Tonsil hiperemis + + -
Tonsil edema + + +/-
Kriptus melebar - + +
Destruitus +/- + +
Perlengketan - + +
Tabel 1 Perbedaan Tonsilitis akut, tonsillitis kronis eksaserbasi akut dan
tonsillitis kronis
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tonsilitis akut8,13,14
Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 7-10 hari dan obat
kumur atau obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan
eritromisin atau klindamisin.
Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari
komplikasi selama 2-3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3x
negatif.
Pemberian antipiretik dan analgesik untuk simtomatis nyeri lokal dan
demam.
Penatalaksanaan tonsilitis kronik5,8
13
Pengobatan konservatif yang terdiri dari kebersihan mulut dengan obat
kumur/hisap, diet, dan mengobati infeksi penyerta seperti pada gigi,
hidung dan sinus.
Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi
konservatif tidak berhasil/rekuren dan sudah menimbulkan gangguan
berbicara, menelan maupun respirasi.
Tonsilektomi12-15
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan
prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu,
tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini,
indikasi utama adalah obstruksi saluran nafas dan hipertrofi tonsil. Berdasarkan
The American Academy of Otolaryngology&; Head and Neck Surgery (AAO-
HNS) tahun 1995, indikasi tonsilektomi terbagi menjadi:
a. Indikasi Absolut
Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas, nyeri
telan yang berat, gangguan tidur atau komplikasi penyakit-penyakit
kardiopulmonal.
Abses peritonsiler (Peritonsillar abscess) yang tidak menunjukkan
perbaikan dengan pengobatan dan drainase, kecuali jika dilakukan fase
akut.
Tonsillitis yang mengakibatkan kejang demam.
Tonsil yang diperkirakan memerlukan biopsi jaringan untuk
menentukan gambaran patologis jaringan.
b. Indikasi Relatif
Jika mengalami tonsilitis 3 kali atau lebih dalam satu tahun dan tidak
menunjukkan respon sesuai harapan dengan pengobatan
medikamentosa yang adekuat
Bau mulut atau bau nafas tak sedap (halitosis) yang menetap akibat
tonsillitis kronis yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik.
14
Tonsillitis kronis atau berulang yang diduga sebagai carrier kuman
Streptokokus yang tidak menunjukkan respon positif terhadap
pemberian antibiotika.
Pembesaran tonsil di salah satu sisi (unilateral) yang dicurigai
berhubungan dengan keganasan (neoplastik)
Kontraindikasi Tonsilektomi :
Riwayat penyakit perdarahan
Risiko anestesi yang buruk atau riwayat penyakit yang tidak terkontrol
Anemia
Infeksi akut
Komplikasi Tonsilektomi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakkan dengan anestesi lokal
maupun umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan
komplikasi tindakan bedah dan anestesi.
a. Komplikasi Anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.
Komplikasi yang dapat ditemukan berupa:
Laringospasme
Gelisah pasca operasi
Mual muntah
Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemia
Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan
henti jantung
Hipersensitif terhadap obat anestesi
b. Komplikasi Bedah
Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah kasus).
Perdarahan dapat terjadi selama operasi, segera sesudah operasi
atau di rumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000
15
pasien. Sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan
dalam jumlah yang sama membutuh transfusi darah.
Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut
saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot
faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut
sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari
setelah operasi.
Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernafas, gangguan terhadap suara
(1:10.000), aspirasi. Otalgia, pembengkakan uvula, stenosis faring,
lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia.
2.8 Komplikasi13-14
Komplikasi tonsilitis akut dapat berupa:
Tonsilitis kronik dengan serulang berulang. Hal ini dapat terjadi akibat
resolusi yang tidak komplit pada infeksi akut.
Abses pertonsil. Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan
palatum mole, abses ini terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan
biasanya disebabkan oleh streptococcus group A.
Abses Parafaringeal
Abses Servikal akibat supurasi dari kelenjar getah bening jugulodigastrik.
Otitis media akut. Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba
auditorius (eustachius) dan dapat mengakibatkan otitis media yang dapat
mengarah pada ruptur spontan gendang telinga.
Demam rematik, yang sering berhubungan dengan tonsilitis akibat kuman
streptokokus grup A beta-hemolitikus.
Glomerulonefritis akut
Endocarditis bakteri subakut. Tonsilitis akut pada pasien dengan penyakit
katub jantung dapat mengalami komplikasi endokarditis, biasanya akibat
infeksi streptokokus viridans.
16
Komplikasi tonsilitis kronik dapat berupa:
Abses peritonsil
Abses parafaringeal
Abses intratonsilar. Merupakan akumulasi nanah pada substansi tonsil
yang memblok pembukaan kripta pada tonsilitis folikular akut, ditandai
dengan nyeri lokal dan disfagia. Tonsil tampak membesar dan merah.
Pemberian antibiotika dan drainase abses diperlukan; tonsilektomi juga
diindikasikan.
Tonsilolit (kalkulus pada tonsil). Terlihat pada tonsilitis kronik ketika
kripta terblok. Garam inorganik kalsium dan magnesium mengalami
deposit sehingga terbentuk formasi batu yang secara gradual membesar
dan menjadi ulkus sekitar tonsil. Sering pada usia dewasa dan
menimbulkan sensasi tidak nyaman.
Kista tonsilar. Akibat pembendungan kripta tonsilar dan tampak seperti
bengkak kekuningan pada tonsil. Sering tidak bergejala dan sangat mudah
didrainase.
Infeksi fokal pada demam rematik, glomerulonefritis akut, kelainan mata
dan kulit.
BAB 3
KESIMPULAN
17
Tonsilitis adalah peradangan tonsila palatina yang merupakan bagian dari cincin
waldeyer. Cincin waldeyer terdiri dari susunan kelenjar limfa yang terdapat di
dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsil
faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba eustachius (lateral band
dinding faring/ gerlach’s tonsil). Penyebaran infeksi melalui udara (air borne
droplets), tangan dan ciuman dapat terjadi pada semua umur terutama pada anak.
Tonsilitis akut sering mengenai anak-anak usia sekolah, tetapi juga dapat
mengenai orang dewasa. Jarang mengenai bayi dan usia lanjut > 50 tahun.
Penyebab terserang tonsilitis akut adalah streptokokus beta hemolitikus grup A,
yaitu sekitar 50% dari kasus. Bakteri lain yang juga dapat menyebabkan tonsilitis
akut adalah Haemophilus influenza. Pada tonsilitis kronis, dapat berupa
komplikasi dari tonsilitis akut.
Tonsilitis dapat diklasifikasi menjadi tonsilitis akut, tonsilitis difteri dan
tonsilitis kronik dengan diagnosis serta penanganan yang berbeda-beda.
Penatalaksanaan dari tonsilitis dapat secara konservatif maupun operatif. Terapi
konservatif dilakukan untuk mengeliminasi kausa, yaitu infeksi dan mengatasi
keluhan yang mengganggu. Bila tonsil membesar dan menyebabkan sumbatan
jalan nafas, disfagia berat, gangguan tidur, terbentuk abses atau tidak berhasil
dengan pengobatan konvensional, maka operasi tonsilektomi perlu dilakukan
dengan mempertimbangkan indikasi, kontraindikasi serta komplikasi yang
mungkin timbul.
DAFTAR PUSTAKA
18
1. Shah, K. Udayan. Tonsolitis and Peritonsilar abcess. 2009. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape,com/article-overview. [Diakses pada 21 Desember
2011]
2. Farokah. Laporan Penelitian : Hubungan Tonsilitis Kronik dengan Prestasi
Belajar Siswa Kelas II Sekolah dasar di Kota Semarang. 2005. Diunduh dari:
http://eprints.undip.ac.id/12393/1/2005FK3602.pdf (Diakses pada 17
Desember 2011)
3. Reeves, Charlene J., Roux, Gayle, Lockhart, Robin. Keperawatan Medikal
Bedah Edisi 1. Jakarta: Salemba Medika, 2001.
4. Ballenger JJ. Anatomi Bedah Tonsil. Dalam: Ballenger JJ, ed. Penyakit
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi 13. Jakarta: Binarupa
Aksara. 1994. Hal 321-7
5. Rusmardjono & Soepardi. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI, 2007; hal 223-4.
6. Wiatrak, BJ, Woolley AL. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease. Dalam:
Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery 4th ed. Hal 4136-52
7. Liston, S.L. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring,
Esofagus dan Leher. Dalam: Adams, Boies dan Higler. eds. Buku Ajar
Penyakit THT Boies Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997; hal 263-71
8. Dhingra, PL. Acute and Chronic Tonsillitis. Dalam Diseases of Ear, Nose and
Throat fourth edition. Elsevier; hal 239-43.
9. Grevers, G,. Pharynx and Esophagus. Dalam: Probst, R., Grevers, G., Iro, H.
eds. Basic Otorhinolaryngology A Step-by-Step Learning Guide. USA: Georg
Thieme Verlag, 2006; Hal 113-9.
10. Bull, P.D. The Tonsils and Oropharynx. Dalam: Disease of The Ear, Nose and
Throat Ninth Edition. USA: Blackwell Science. 2002; hal 111-4
11. Bull, T.R. The Fauces and the Tonsils. Dalam: Color Atlas of ENT Diagnosis
4th edition, revised and expanded. USA: Georg Thieme Verlag, 2003; hal 189-
95.
19
12. Pediatric Otolaryngology. Dalam: Toronto Notes: Otolaryngology. 2008; hal
41-3.
13. Pediatric Otolaryngology. Dalam: Irish, J., Papsin B., Chan, Y., Panu, N.,
Propst, E. eds. Otolaryngology – Head & Neck Surgery. 2006; hal 28-9,50.
14. Dhillon, R.S., East, C.A. An Illustrated Coloured Text: Ear, Nose and Throat
and Head and Neck Surgery Second Edition. UK:Churchill Livingstone, 2000;
hal 73-5
15. National Guideline Primary Care Management Guidelines Tonsilitis. 2002.
Diunduh dari: http://www.cdhb.govt.nz/waitlist/PDF/pcmg_tonsillitis.pdf
[Diakses pada 22 Desember 2011]
20