Post on 01-Jan-2016
description
1
ASPEK BUDAYA PERUMAHAN DAN
PERMUKIMAN
NAMA KELOMPOK :
GILBER PAYUNG (D52112251)
CHRISTIAN WILLIAM (D52112252)
DYENTI (D52112253)
ANDI AWISTI AKRAR (D52112254)
GITA YERSICHA TANDEPADANG (D52112255)
PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA
JURUSAN ASRITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2013
2
KATA PENGANTAR
Terpujilah Tuhan sumber segala pengetahuan dan kasih setia. Segala
puji syukur dari segenap hati, penulis haturkan kehadirat Tuhan yang maha kuasa,
atas rahmat karunia-nya yang senantiasa mengasihi, melindungi, dan membimbing
penulis di dala menyelesaikan penyusunan laporan ini.
Adapun maksud dan tujuan penulisan laporan ini adalah untuk
mengetahui dan mengidentifikasi aspek budaya pada sistem perumahan dan
permukiman, khususnya di Indonesia.
Penulis telah berupaya semaksimal mungkin, agar penulisan laporan ini
dapat memenuhi harapan semua pihak. Namun demikian, penulis menyadari
sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
dengan senang hati penulis bersedia menerima kririk dan saran yang sifatnya
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan laporan ini.
Akhirnya penulis berharap, semoga penulisan ini ada manfaatnya bagi
para pembaca. Dan semoga Tuhan senantiasa menyertai kita semua. Amin.
Gowa, September 2013
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………… 2
DAFTAR ISI………………………………………………….. 3
BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………….. 4
1.1 Latar belakang…………………………………………….. 4
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………. 5
1.3 Tujuan……………………………………………………… 5
1.4 Manfaat ……………………………………………………. 5
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA.....……………………………….. 6
2.1 Pengertian Rumah………………………………………….. 6
2.2 Pengertian Perumahan……………………………………… 7
2.3 Pengertian Permukiman……………………………………. 7
2.4 Fungsi Rumah……………………………………………… 8
2.5 Lingkungan Permukiman………………………….……….. 9
2.6 Pengertian Budaya…………………………………………. 10
BAB 3 PEMBAHASAN……………………………………….. 11
3.1 Aspek Budaya………………………………………………. 11
3.2 Budaya dalam Struktur Ruang Perumahan dan Permukiman. 12
3.3 Studi Kasus: Permukiman Tradisional Toraja……………… 15
BAB 4 PENUTUP……………………………………………… 24
4.1 Kesimpulan…………………………………………………. 24
DAFTAR PUSTAKA……………………...…………………… 25
4
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Permukiman merupakan wujud dari ide pikiran manusia dan
dirancang semata-mata untuk memudahkan dan mendukung setiap
kegiatan atau aktifitas yang akan dilakukannya. Permukiman merupakan
gambaran dari hidup secara keseluruhan, sedangkan rumah adalah bagian
dalam kehidupan pribadi. Pada bagian lain dinyatakan bahwa rumah
adalah gambaran untuk hidup secara keseluruhan, sedangkan permukiman
sebagai jaringan pengikat dari rumah tersebut. Oleh karena itu,
permukiman merupakan serangkaian hubungan antara benda dengan
benda, benda dengan manusia, dan manusia dengan manusia. Hubungan
ini memiliki suatu pola dan struktur yang terpadu (Rapoport dalam
Sudirman Is, 1994).
Dalam aspek budaya yang turut mempengaruhi sistem
permukiman, dapat dijumpai pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai
dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat
tertentu. Hal tersebut diatas memiliki pengaruh cukup besar dalam
pembentukan suatu lingkungan hunian atau permukiman, khususnya pada
permukiman tradisional. (Rapoport, 1985).
Terdapat suatu elemen utama dari hal yang sakral tersebut
pada permukiman tradisional. Jika permukiman dianggap sebagai suatu
lingkungan yang diperadabkan, maka bagi kebanyakan masyarakat
tradisional di lingkungan tersebut, menurut ketentuan, merupakan
lingkungan yang sakral atau disucikan. Alasan pertama adalah karena
orang-orang banyak berpandangan bahwa masyarakat-masyarakat
tradisional selalu terkait dengan hal-hal yang bersifat religius. Agama dan
kepercayaan merupakan suatu hal yang sentral dalam sebuah permukiman
tradisional. Hal tersebut tidak dapat terhindarkan, karena orang-orang akan
terus berusaha menggali lebih dalam untuk mengetahui makna suatu
lingkungan yang sakral atau disucikan, karena hal itu menggambarkan
5
suatu makna yang paling penting. Kedua, sebuah pandangan yang lebih
pragmatik, adalah bahwa hal yang sakral tersebut serta ritual keagamaan
yang menyertainya dapat menjadi efektif untuk membuat orang-orang
melakukan sesuatu di dalam sesuatu yang disahkan atau dilegalkan.
Ritual-ritual yang mengandung nilai-nilai keagamaan adalah
suatu cara ampuh untuk baik mengesahkan maupun memelihara
kebudayaannya. Elemen-elemen fisik yang dipergunakan dapat membantu
untuk mengingatkan orang-orang akan ritual keagamaan, sebagai wadah
yang dapat menunjang untuk hal-hal yang berkaitan dengan ritual
keagamaan, dan mengungkapkan baik ritual keagamaan maupun bagan-
bagan dan kosmologi yang mendasarinya dalam bentuk yang permanen,
dan sering mengesankan.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana pengaruh aspek budaya pada pola dan sistem perumahan dan
permukiman?
1.3. Tujuan
Untuk mengetahui hubungan dan keterkaitan antara aspek budaya dengan
sistem perumahan dan permukiman
1.4. Manfaat
Memberikan gambaran hubungan keterkaitan antara aspek budaya dengan
sistem perumahan dan permukiman.
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Rumah
Menurut UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman, rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat
tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.
Menurut John F.C Turner, 1972, dalam bukunya Freedom To
Build mengatakan, “Rumah adalah bagian yang utuh dari permukiman,
dan bukan hasil fisik sekali jadi semata, melainkan merupakan suatu
proses yang terus berkembang dan terkait dengan mobilitas sosial ekonomi
penghuninya dalam suatu kurun waktu. Yang terpenting dan rumah adalah
dampak terhadap penghuni, bukan wujud atau standar fisiknya.
Selanjutnya dikatakan bahwa interaksi antara rumah dan penghuni adalah
apa yang diberikan rumah kepada penghuni serta apa yang dilakukan
penghuni terhadap rumah”.
Menurut Siswono Yudohusodo (Rumah Untuk Seluruh Rakyat,
1991: 432), rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal
atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Jadi, selain berfungsi sebagai
tempat tinggal atau hunian yang digunakan untuk berlindung dari
gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya, rumah merupakan tempat
awal pengembangan kehidupan.
Kebijakan dan strategi nasional penyelenggaraan perumahan
dan permukiman menyebutkan bahwa rumah merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia disamping pangan, sandang, pendidikan dan
kesehatan. Selain berfungsi sebagai pelindung terhadap gangguan
alam/cuaca dan makhluk lainnya, rumah juga memiliki peran sosial
budaya sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya dan nilai
kehidupan, penyiapan generasi muda, dan sebagai manifestasi jati diri.
Dalam kerangka hubungan ekologis antara manusia dan lingkungannya
maka terlihat jelas bahwa kualitas sumber daya manusia di masa yang akan
datang sangat dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukimannya.
7
(Sumber: Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman
Departemen Permukiman dan Prasarana Permukiman )
2.2. Pengertian Perumahan
Menurut UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman, perumahan berada dan merupakan bagian dari permukiman,
perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana
dan sarana lingkungan (pasal 1 ayat 2).
Pembangunan perumahan diyakini juga mampu mendorong
lebih dari seratus macam kegiatan industri yang berkaitan dengan bidang
perumahan dan permukiman (Sumber: Kebijakan dan Strategi Nasional
Perumahan dan Permukiman Departemen Permukiman dan Prasarana
Permukiman )
2.3. Pengertian Permukiman
Menurut Undang-Undang No 4 Tahun 1992 Pasal 3,
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung,
baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan
lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai
bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana
lingkungan yang terstruktur (pasal 1 ayat 3).
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 menyebutkan
bahwa penataan perumahan dan permukiman berlandaskan asas manfaat,
adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri
sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup.
Jadi, pemukiman adalah suatu wilayah atau area yang
ditempati oleh seseorang atau kelompok manusia. Pemukiman memiliki
kaitan yang cukup erat dengan kondisi alam dan sosial kemasyarakatan
sekitar.
8
2.4. Fungsi Rumah
Menurut Turner (1972:164-167), terdapat tiga fungsi yang
terkandung dalam rumah:
1. Rumah sebagai penunjang identitas keluarga, yang diwujudkan dalam
kualitas hunian atau perlindungan yang diberian rumah. Kebutuhan
tempat tinggal dimaksudkan agar penghuni mempunyai tempat
tinggal atau berteduh secukupnya untuk melindungi keluarga dari
iklim setempat.
2. Rumah sebagai penunjang kesempatan keluarga untuk berkembang
dalam kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi atau fungsi
pengembangan keluarga. Fungsi ini diwudkan dalam lokasi tempat
rumah itu didirikan. Kebutuhan berupa akses ini diterjemahkan dalam
pemenuhan kebutuhan sosial dan kemudahan ke tempat kerja guna
mendapatkan sumber penghasilan.
3. Rumah sebagai penunjang rasa aman dalam arti terjaminnya
kehidupan keluarga di masa depan setelah mendapatkan rumah,
jaminan keamanan lingkungan perumahan yang ditempati serta
jaminan keamanan berupa kepemilikan rumah dan lahan.
4. Rumah sebagai kebutuhan dasar manusia, perwujudannya bervariasi
menurut siapa penghuni atau pemiliknya. Berdasarkan hierarchy of
need (Maslow, 1954:10), kebutuhan akan rumah dapat didekati
sebagai:
a. Physiological needs (kebutuhan akan makan dan minum),
merupakan kebutuhan biologis yang hampir sama untuk setiap
orang, yang juga merupakan kebuthan terpenting selain rumah,
sandang, dan pangan juga termasuk dalam tahap ini.
b. Safety or security needs (kebutuhan akan keamanan),merupakan
tempat berlindung bagi penghuni dari gangguan manusia dan
lingkungan yang tidak diinginkan.
c. Social or afiliation needs (kebutuhan berinteraksi), sebagai tempat
untuk berinteraksi dengan keluarga dan teman.
9
d. Self actualiztion needs (kebutuhan akan ekspresi diri), rumah
bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi menjadi tempat untuk
mengaktualisasikan diri.
2.5. Lingkungan Permukiman
Lingkungan permukiman merupakan suatu sistem yang terdiri
dari lima elemen, yaitu (K. Basset dan John R. Short, 1980, dalam
Kurniasih) :
1. Nature (unsur alami), mencakup sumber-sumber daya alam seperti
topografi, hidrologi, tanah, iklim, maupun unsur hayati yaitu vegetasi
dan fauna.
2. Man (manusia sebagai individu), mencakup segala kebutuhan
pribadinya seperti biologis, emosional, nilai-nilai moral, perasaan, dan
perepsinya.
3. Society (masyarakat), adanya manusia sebagai kelompok masyarakat.
4. Shells (tempat), dimana mansia sebagai individu maupun kelompok
melangsungkan kegiatan atau melaksanakan kehidupan.
5. Network (jaringan), merupakan sistem alami maupun buatan manusia,
yang menunjang berfungsinya lingkungan permukiman tersebut
seperti jalan, air bersih, listrik, dan sebagainya.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada dasarnya suatu
permukiman terdiri dari isi (contents) yaitu manusia, baik secara
individual maupun dalam masyarakat dan wadah yaitu lingkungan fisik
permukiman lingkungan fisik permukiman yang merupakan wadah bagi
kehidupan manusia dan merupakan pengejawantahan dari tata nilai, sistem
sosial, dan budaya masyarakat yang membentuk suatu komunitas sebagai
bagian dari lingkungan permukiman tersebut.
10
2.6. Pengertian Budaya
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia dari W.J.S.
Poerwadarminta, budaya sama dengan pikiran, akal budi (penulis: intuisi);
kebudayaan = hasil kegiatan, dan penciptaan batin (akal budi) manusia,
seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat, dan sebagainya. Jadi,
kebudayaan dapat berarti benda abstrak atau non materi maupun benda
materil. Menurut kamus Poerwadarminta dan juga kamus Inggris –
Indonesia dari John M. Echols & Shadily: kebudayaan = culture = kultur.
Jadi norma-norma, kaidah kehidupan adat istiadat merupakan kebudayaan
juga (a man of culture = seorang yang baik tingkah lakunya, sopan santun,
beradat) (Budihardjo 1996:2-3). Menurut Budhisantoso dalam Krisna
(2005:15), kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam usahanya
mempertahankan keturunan dan meningkatkan taraf kesejahteraan dangan
segala keterbatasan kelengkapan jasmaninya serta sumber–sumber alam
yang ada di sekitarnya. Kebudayaan juga dapat dikatakan sebagai
perwujudan tanggapan manusia terhadap tantangan–tantangan yang
dihadapi dalam proses penyesuaian diri mereka dengan lingkungan, baik
sebagai makhluk biologis maupun makhluk budaya.
Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan–
kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat (Taylor dalam Soekanto 2003:172).
11
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Aspek Budaya
Amos Rapoport (1983) juga menyatakan bahwa permukiman
dapat dilihat sebagai suatu bentang lahan budaya (cultural landscape
feature) terutama permukiman tradisional yang wujud fisiknya sangat
besar kaitannya dengan budaya, dimana ciri-cirinya adalah:
1. Di dalamnya terdapat hubungan/kaitan antara berbagai elemen dan
juga sifat dan elemen-elemen tersebut, termasuk antara lingkungan
binaan dengan lingkungan alami.
2. Mempunyai ciri dan karakteristik yang khas, umumnya mengandung
budaya yang spesifik.
3. Tidak dirancang oleh seorang perancang. Perancangan merupakan
suatu konsep yang lebih luas yang merupakan perwujudan dan
keputusan-keputusan dan pilihan-pilihan manusia, sebuah pilihan
diantara berbagai alternatif yang memungkinkan.
4. Terdapat sifat-sifat spesifik dan pilihan-pilihan tersebut yaitu
didasarkan atas hukum yang berlaku, merefleksikan budaya pada
kelompoknya.
5. Merupakan sistem pilihan dan gaya hidup, meliputi pilihan-pilihan
bagaimana menentukan material, waktu dan sumber-sumber
simbolik.
6. Bentang budaya misalnya permukiman adalah merupakan sebuah
produk dan sistem pilihan tersebut.
7. Konservasi-preservasi dan bentang budaya yang merupakan suatu
tingkatan dan kualitas lingkungan. Konservasi dan prisip-prinsip
dalam bentang budaya tradisional dapat diterapkan dalam rancangan
yang baru.
8. Kualitas lingkungan, yang menyangkut persepsi (terkait dengan
psikologikal, sosio kultur) dan standar (terkait dengan studi fisik dan
lingkungan).
12
3.2. Budaya dalam Struktur Ruang Perumahan dan Permukiman
Rapoport dalam Wikantiyoso (1997:26) mengemukakan
bahwa permukiman tradisional merupakan manifestasi dari nilai sosial
budaya masyarakat yang erat kaitannya dengan nilai sosial budaya
penghuninya, yang dalam proses penyusunannya menggunakan dasar
norma–norma tradisi. Lawson dalam Sasongko (2002:119) menambahkan
bahwa beberapa norma–norma tersebut mungkin murni dari kesepakatan
warga, tetapi sebagian besar lainnya adalah dari kebutuhan dan karakter
masyarakatnya sendiri (sebelum perancangan disusun secara profesional),
perancangan dan kreatifitas ruang lebih bersifat sosial dan vernakular serta
terlihat lebih memperhatikan aspek budaya. Sejalan dengan pendapat
tersebut, Wikantiyoso (1997:26-29) juga menambahkan bahwa
permukiman tradisional adalah aset kawasan yang dapat memberikan ciri
ataupun identitas lingkungan. Identitas kawasan tersebut terbentuk dari
pola lingkungan, tatanan lingkungan binaan, ciri aktifitas sosial budaya
dan aktifitas ekonomi yang khas. Pola tata ruang permukiman
mengandung tiga elemen, yaitu ruang dengan elemen–elemen
penyusunnya (bangunan dan ruang di sekitarnya), tatanan (formation)
yang mempunyai makna komposisi serta pattern atau model dari suatu
komposisi.
Menurut Habraken dalam Wikantiyoso (1997:27), sebagai
suatu produk komunitas, bentuk lingkungan permukiman merupakan hasil
kesepakatan sosial, bukan merupakan produk orang per orang. Artinya
komunitas yang berbeda tentunya memiliki ciri permukiman yang berbeda
pula. Suatu rumah dirancang dan suatu permukiman di tata
menggambarkan hubungan antara individu, keluarga dan komunitasnya
yang tentu saja bergantung pada masing–masing budaya. Konsekuensinya
adalah organisasi ruang dirumah, tatanan permukiman dan akses ke
fasilitas umum dipengaruhi oleh pandangan hidup komunitas tesebut.
Pada bagian lain Yi-Fu Tuan (1977) menyatakan bahwa untuk
menjelaskan makna dari organisasi ruang dalam konteks tempat (place)
13
dan ruang (space) harus dikaitkan dengan budaya. Budaya sifatnya unik,
antara satu tempat dengan tempat lain bisa sangat berbeda maknanya.
Selanjutnya manusia akan mengekspresikan dirinya pada lingkungan
tempat dia hidup, sehingga lingkungan tempat tinggalnya akan
diwujudkan dalam berbagai simbolisme sesuai dengan budaya mereka.
Bagaimana manusia memilih tempat tertentu dan menggunakan berbagai
kelengkapan, ataupun berbagai cara untuk berkomunikasi pada dasarnya
merupakan “bahasa” manusia. Pola ini tidaklah semata dilihat dalam
kaitan dengan lingkungan semata, akan tetapi pada waktu yang bersamaan
juga merupakan perwujudan budaya mereka (Locher 1978 dalam
Sasongko 2005:2-3).
Struktur ruang permukiman digambarkan melalui
pengidentifikasian tempat, lintasan, dan batas sebagai komponen utama,
selanjutnya diorientasikan melalui hirarki dan jaringan atau lintasan yang
muncul dalam lingkungan binaan mungkin secara fisik atau non fisik.
Untuk membentuk struktur ruang tidak hanya orientation yang terpenting,
tetapi juga objek nyata dari suatu identifikasi. Dalam suatu lingkungan
tempat suci berfungsi sebagai pusat yang selanjutnya menjadi orientasi dan
identifikasi bagi manusia, dan merupakan struktur ruang (Norberg-Schulz
1979 dalam Sasongko 2005:2-3).
Secara lebih nyata struktur ruang permukiman tradisional di
Korea menunjukkan tatanan ruang permukiman sangat dipengaruhi oleh
kepercayaan, mulai dari pemilihan lokasi sampai struktur ruang itu sendiri.
Pemilihan ruang untuk permukiman ditentukan dari falsafah feng-shui,
yakni lokasi terbaik adalah diantara gunung dan sungai (Han 1991).
Perumahan di Korea dalam satu desa bisa merupakan perumahan keluarga
atau clan houses. Dalam menempatkan rumah untuk keluarga memiliki
aturan: tempat yang paling atas digunakan untuk orang tua, selanjutnya
dibawahnya untuk anak laki laki dan selanjutnya cucu laki-laki. Lebih
lanjut dalam menentukan tatanan ruang permukiman ini, keterkaitan dan
pemaknaan lingkungan juga memiliki cakupan yang sangat luas, bukan
hanya dilihat dalam hal lingkungan sekitarnya saja, akan tetapi juga dalam
14
lingkup yang sangat luas seperti kedudukan dalan jagad raya, di bumi
tempat seseorang bertempat tinggal. Masyarakat Bali dalam menata ruang
permukimannya sangat memperhatikan sistem orientasi. Pandangan hidup
dasar mereka adalah adanya oposisi antara gunung dan laut atau kaja dan
kelod. Gunung (Agung) merupakan tempat para dewa, sedangkan laut
tempat para setan. Pada masyarakat di wilayah selatan, maka arah utara
dan selatan seperti umumnya, akan tetapi masyarakat utara sebagai ‘utara’
adalah Gunung Agung di selatan, dan ‘selatan’ adalah laut di utaranya.
Demikian juga dengan pelaksanaan ritual, dilakukan di sekitar
pembangunan rumah atau penetapan lokasi dan penentuan kapan mulai
bisa ditempati. Kegiatan ini nampak mengambil dari ide kosmologi hindu.
Berbagai acara ini sudah tertulis, akan tetapi dalam prakteknya para tukang
kayu sudah paham tentang acara semacam ini (Waterson 1990 dalam
Sasongko 2005:2-3).
Secara khusus ritual ditunjukkan sebagai peristiwa publik
yang ditampilkan pada tempat khusus (sacred places) atau pada waktu
tertentu. Para ahli antropologi juga sering lebih mengkaitkan dengan ritual
keagamaan dan masyarakat preliterate (Norget 2000 dalam Sasongko
2005:2-3). Salah satu bagian penting dalam ritual adalah rites of passage
yang merujuk pada: kelahiran, puber, perkawinan, kematian, dan berbagai
peristiwa krusial lain sebagai perubahan atau transisi dalam kehidupan
seseorang. Dalam interaksinya dengan alam dan pemahaman atas
keseimbangan alam baik sebagai makro kosmos maupun mikro kosmos,
manusia melakukan berbagai rangkaian ritual yang dilakukan secara terus
menerus. Diantara ritual bagian yang sangat penting adalah terkait dengan
daur hidup.
Hoebel & Frost 1976 dalam Sasongko (2005:2-3) menyatakan
bahwa siklus hidup manusia pada dasarnya terdiri dari empat bagian,
yakni, kelahiran, dewasa, bereproduksi dan mati. Pada berbagai budaya
manusia acara ini selalu ada dengan berbagai variasi dan intensitas yang
berbeda. Bagaimana peristiwa ritual mempengaruhi aktifitas masyarakat
dan penggunaannya dalam ruang permukiman, salah satunya disampaikan
15
oleh Hardie (1985) yang mempelajari masyarakat Tswana. Dalam hal ini
kelahiran dan kematian yang memiliki signifikansi terhadap kedatangan
dan kepergian ke dunia leluhur ini diamati memiliki hubungan dengan
ruang disekitar dimana peristiwa tersebut terjadi. Pola ini mempengaruhi
perilaku di dalam ruang pada saat tertentu, dan mengungkapkan
kepercayaan tentang alam raya dan tatanan kosmis yang dipahami oleh
masyarakat Tswana (Hardie 1985 dalam Sasongko 2005:2-3).
3.3. Studi Kasus: Permukiman Tradisional Toraja
3.3.1. Gambaran Umum Permukiman Tradisional Toraja
Menurut Jovak, dkk. (1988), permukiman tradisional Toraja
memiliki 3 tipe, yaitu permukiman yang berada di dataran tinggi (puncak
bukit atau gunung), permukiman yang berada di area yang terisolasi atau
terpencil, dan permukiman yang berada di dataran rendah.
Permukiman yang berada di dataran tinggi adalah permukiman
yang umum dijumpai di Toraja. Lokasi permukiman tradisional Toraja
pada umumnya berada di tempat ketinggian (puncak bukit atau gunung)
dan sangat sulit untuk dijangkau. Rumah-rumah dalam permukiman di
bangun berdekatan karena area yang sangat terbatas. Tongkonan dan
lumbung yang merupakan elemen utama yang tidak dapat dipisahkan
dalam permukiman tradisional Toraja dibangun melintang bersusun dari
utara ke selatan menyesuaikan dengan keadaan kontur tanah. Permukiman
di kelilingi oleh pohon-pohon bambu yang sangat lebat, sehingga tidak
terlihat dari luar. Pohon-pohon bambu ini secara tidak langsung berfungsi
sebagai benteng alami bagi area permukiman. Selain karena faktor
keamanan yaitu untuk melindungi diri dari serangan musuh atau hewan
liar, masyarakat toraja percaya bahwa semakin tinggi letak pembangunan
tongkonan maka semakin tinggi status atau derajat mereka.
Permukiman tradisional Toraja di area yang terisolasi atau
terpencil, biasanya dibangun di atas tebing-tebing yang curam dan terjal.
Sangat sulit untuk menjangkau permukiman tersebut. Tebing-tebing yang
16
curam dan terjal menjadi benteng alami untuk melindungi Permukiman
dari serangan musuh dan hewan liar. Area permukiman dikelilingi oleh
pagar kayu (biasanya ujung kayu sangat runcing). Jumlah tongkonan dan
alang tidak banyak dan dibangun dengan jarak yang berdekatan.
Gambar 3.1. Deretan Alang
Kendala terbesar dari permukiman yang berada di area dataran
tinggi dan terisolasi ini adalah, jauh dan sulitnya jalan menuju sawah dari
lokasi permukiman. Hal ini tentunya menyulitkan orang-orang yang
memiliki sawah tersebut untuk mengawasi dan mempertahankan sawah
mereka dari musuh. Selain itu, mereka sulit untuk mengurus hewan-hewan
peliharaan. Hewan-hewan peliharan harus digiring dan digembalakan ke
lembah tempat padang berada, kemudian mereka harus menggiring
kembali hewan-hewan tersebut ke permukiman yang berada di dataran
yang lebih tinggi. Hal lain yang menyulitkan adalah cukup jauhnya lokasi
mata air. Lokasi mata air yang berada di lembah mengharuskan mereka
naik turun mengambil air untuk kebutuhan mereka sehari-hari, terutama
untuk memasak.
Setelah tahun 1905, pemerintah Belanda memerintahkan
masyarakat Toraja yang bermukim di dataran tinggi untuk memindahkan
permukiman masyarakat toraja ke lembah. Dengan pertimbangan semakin
berkurangnya bahaya terhadap serangan musuh, masyarakat Toraja juga
17
merasa lebih cocok untuk bermukim di dataran rendah. Lokasi sawah dan
mata air menjadi lebih dekat dari lokasi permukiman.
Seperti permukiman yang berada di dataran tinggi,
permukiman di dataran rendah ini juga dikelilingi oleh pohon-pohon
bambu yang lebat. Di sekeliling permukiman juga terhampar sawah yang
luas. Pemandangan ini menjadikan permukiman nampak seperti pulau
yang dikelilingi oleh penghijauan. Rumah-rumah di dalam permukiman di
bangun tidak serapat seperti pada Permukiman di dataran tinggi, karena
permukiman memiliki area yang lebih luas. Letak tongkonan dan lumbung
dalam permukiman ini memiliki pola berjajar atau memanjang mengikuti
arah gerak matahari dari timur ke barat.
3.3.2. Elemen-Elemen dalam Permukiman Tradisional Toraja
Sebenarnya permukiman telah dibuat sedemikian rupa untuk
dapat didiami dan telah ada sebagai satu kesatuan yang telah tersusun
secara lengkap untuk mendukung setiap kegiatan, baik untuk upacara-
upacara adat ataupun tidak, bagi orang-orang yang bermukim di dalam.
Berbagai elemen-elemen di dalamnya dibuat dan disusun sedemikian rupa
(berdasarkan sistem kepercayaan atau kosmologi) untuk mendukung
setiap kegiatan yang dilakukan tersebut. Elemen-elemen tersebut sangat
menentukan dalam mengidentifikasi dan mengklasifikasikan “jiwa” dari
permukiman tersebut.
Peletakan setiap elemen-elemen dalam permukiman
tradisional toraja selalu berdasarkan sistem kepercayaan (aluk todolo)
yang mereka anut. Secara umum terdapat beberapa elemen penting dalam
permukiman tradisional Toraja, yaitu: tongkonan, lumbung (alang),
kandang, kebun (pa’la’), rante, sawah, dan liang (Palm, 1979). Tiap
elemen yang ada memiliki makna masing-masing dan merupakan suatu
sistem dari yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Toraja.
Tongkonan bagi orang toraja merupakan rumah pusaka yang
melambangkan sumber keturunan atau tempat berdiamnya nenek moyang,
sehingga menjadi asal mula silsilah seseorang. Karena itulah tongkonan
18
yang dimiliki secara turun-temurun oleh keluarga atau marga suku Toraja
dianggap sebagai simbol keluarga atau ikatan keluarga.
Kata Tongkonan berasal dari istilah dalam bahasa Toraja yaitu
"tongkon" yang berarti duduk. Hal ini dimungkinkan karena di tongkonan
inilah tempat bagi para keluarga duduk, bertemu, dan bermusyawarah
untuk membahas masalah-masalah penting misalnya saja tentang upacara
adat. Dalam pencatatan kebudayaan daerah, Tongkonan lebih banyak
diartikan rumah keturunan yang didirikan oleh seorang yang mula-mula
membangun sebuah permukiman bersama keluarganya. Dapat diartikan
bahwa tongkonan merupakan asal muasal berkembangnya sebuah
permukiman dan sekaligus menjadi pusat permukiman. Lingkungan alam
di sekeliling tongkonan merupakan wilayah yang menjadi tanah
tongkonan. Di tanah tongkonan inilah, menyusul dibangun rumah-rumah
kediaman bagi para pengikut tongkonan tersebut (Dep. P&K, 1983).
Dalam sebuah kelompok permukiman tidak selalu terdapat
sebuah tongkonan. Akan tetapi, sebuah kelompok permukiman selalu
terkait pada sebuah tongkonan yang menjadi sumber adat istiadatnya.
Demikian pula bentuk rumah penduduk tidak selalu mengikuti bentuk
tongkonan, tetapi bentuk tongkonan harus selalu megikuti ciri-ciri tertentu
sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh nenek moyang. Tongkonan dan
rumah kediaman penduduk di sekitar tongkonan selalu dibangun
menghadap ke Utara.
Di hadapan tongkonan, dibangun berbanjar dari timur ke barat
lumbung-lumbung padi atau dalam bahasa Toraja di sebut Alang. Bentuk
dasar lumbung atau alang mirip dengan bentuk tongkonan, hanya memiliki
ukuran lebih kecil. Jumlah alang menandakan kesejahteraan/ kekayaan
seseorang. Bagian bawah atau kolong Alang dapat digunakan sebagai
tempat untuk menerima tamu.
Salah satu elemen dalam permukiman tradisional adalah
kandang. Tidak ada aturan khusus dalam penempatan kandang bagi kerbau
(Bala) atau babi (Pangkung) dalam permukiman. Akan tetapi, kandang
biasanya diletakkan pada posisi yang mudah terlihat. Hal ini bertujuan agar
19
kandang lebih mudah untuk diawasi. Awalnya kolong tongkonan juga
dapat berfungsi sebagai kandang babi atau kerbau. Saat ini kerbau maupun
babi dibuatkan kandang tersendiri terpisah dan tidak di bawah atau kolong
tongkonan lagi.
Lahan garapan yaitu sawah (uma) bagi orang Toraja, secara
simbolik merupakan hal yang paling penting dan sangat berharga dalam
kehidupan orang-orang di Toraja. Semakin banyak atau luas sawah yang
dmiliki seseorang, maka semakin tinggi pula status sosial orang tersebut
di kalangan orang-orang di Toraja. Lokasi sawah berada di lembah,
sedangkan Permukiman tradisional Toraja pada umumnya berada jauh di
atas sebuah bukit atau gunung. Butuh waktu dan tenaga ekstra untuk
mencapai sawah. Selain itu, dengan kondisi seperti ini, penduduk akan
sangat sulit untuk mengawasi sawahnya.
Kebun atau Pa’lak biasanya lokasinya tidak jauh dari lokasi
permukiman atau tongkonan. Bambu dan ketela merupakan tanaman yang
paling banyak terdapat di sekitar permukiman tradisional toraja. Kedua
tanaman tersebut mempunyai banyak manfaat bagi orang toraja. Pohon
bambu yang banyak tumbuh subur di hutan-hutan tongkonan banyak
dimanfaatkan sebagai salah satu bahan bangunan untuk rumah dan
dijadikan wadah untuk minuman tuak. Sedangkan ketela yang dalam
bahasa toraja disebut Utan Bai banyak di tanam di kebun Merupakan
tanaman buat makanan babi.
Rante adalah dataran atau tempat untuk pelaksanaan upacara
pemakaman dan tempat penyembelihan hewan yang Merupakan salah satu
ritual dalam upacara pemakaman. Di area rante ini banyak terdapat batu-
batu besar yang disebut Menhir/ megalit, dalam bahasa Toraja disebut
simbuang batu. Terkadang di beberapa desa, rante dapat dijadikan tempat
untuk pasar regular. Secara umum lokasi rante berada di sebelah barat dari
tongkonan yang merupakan pusat permukiman tradisional.
Liang adalah kuburan yang berada di dinding tebing batu
karang. Letak liang biasanya tidak boleh dekat dengan permukiman
masyarakat atau tongkonan. Hal ini bertujuan agar mereka tidak bersedih
20
jika melihat liang dari nenek moyang atau keluarga yang telah meninggal.
Lokasi liang sebelah barat dari lokasi Permukiman.
Selain elemen-elemen yang telah disebutkan di atas, dalam
permukiman tradisional Toraja terdapat bangunan yang bergaya bugis
(rumah panggung) dan rumah melayu yang cenderung modern yang
dibangun dan berada di sekitar areal tongkonan. Tidak ada persyaratan
khusus tentang arah dan bentuk bangunan untuk rumah kediaman
penduduk ini.
3.3.3. Tentang Permukiman Tradisional Kaero
Permukiman tradisional Kaero masuk dalam wilayah lembang
Kaero di Kecamatan Sanggalla. Lembang Kaero terdiri dari 4 dusun, yaitu
Kasean, Kaero Tengah, Galintua, Tiangka. Permukiman tradisional Kaero
termasuk dalam dusun Kaero Tengah.
Gambar 3.2. Permukiman di Toraja
Permukiman tradisional Kaero merupakan permukiman yang
berada di dataran tinggi. Lokasi permukiman berada di ketinggian lebih
kurang 1000 meter di atas permukaan laut. Jalanan yang terjal dan berbatu
sangat menyulitkan pencapaian ke arah tongkonan tersebut. Bagi
seseorang yang tidak terbiasa mendaki gunung, perjalanan menuju
permukiman ini cukup membuat nafas tersengal-sengal, beberapa kali
21
harus berhenti untuk beristirahat kemudian baru dapat melanjutkan
kembali perjalanan. Jika tidak ingin berjalan kaki, disarankan untuk
menyewa ojek, sehingga perjalanan dapat lebih mudah dan praktis.
Jarak permukiman Kaero sekitar 30 km ke arah timur dari Kota
Makale. Perjalanan menuju tongkonan kaero, dapat ditempuh selama lebih
kurang 1 jam dari Kota Makale. Untuk mencapai permukiman tradisional
kaero dapat mengunakan angkutan umum ataupun ojek. Jika
menggunakan angkutan umum perjalanan hanya bisa sampai hingga di
bawah kaki Bukit Kaero, kemudian harus dilanjutkan dengan berjalan kaki
sekitar 20 menit.
Di sepanjang jalan menaiki bukit untuk menuju permukiman
Kaero, kita dapat jumpai banyak pohon coklat dan tanaman ketela atau
Utan Bai. Sebagian penduduk di permukiman Kaero memanfaatkan lahan
di lereng-lereng bukit untuk bercocok tanam. Pohon bambu dan pinus juga
banyak dijumpai tumbuh subur secara alami. Pohon-pohon ini tumbuh
dengan subur dan lebat menutupi pandangan ke arah permukiman.
Rumah-rumah penduduk di permukiman Kaero letaknya
berpencar, di lereng-lereng hingga di lembah-lembah. Jarak antara rumah
yang satu dengan rumah yang lain tidak begitu berjauhan. Hampir di setiap
rumah-rumah penduduk memiliki lumbung padi.
Bentuk rumah-rumah penduduk rata-rata rumah panggung
(rumah kayu). Bentuk rumah-rumah penduduk di areal permukiman
tradisional tidak selalu mengikuti bentuk tongkonan, tetapi bentuk
tongkonan harus selalu megikuti ciri-ciri tertentu sesuai dengan yang telah
ditetapkan oleh nenek moyang.
Arah rumah kediaman penduduk tidak menghadap ke utara.
Hal ini sangat berbeda dengan Tongkonan selalu dibangun menghadap ke
Utara. Lumbung untuk menyimpan padi hasil panen yang dapat dijumpai
hampir di setiap rumah penduduk letaknya tidak berhadapan dengan
rumah tinggal dan arahnya pun tidak menghadap ke Selatan.
Dalam permukiman tradisional kaero terdapat dua tongkonan,
yaitu: tongkonan Kaero dan Tongkonan Buntu Kaero. Kedua tongkonan
22
tersebut merupakan bagian dari Permukiman tradisional Kaero. Lokasi
Tongkonan Kaero ini berada di lereng bukit, sedangkan Tongkonan Buntu
Kaero terletak di atas bukit sebelah selatan dan tidak jauh lokasinya dari
lokasi Tongkonan Kaero. Dalam bahasa Toraja, kata Buntu berarti gunung
atau bukit, sedang Kaero adalah nama tempat lokasi tongkonan tersebut
dibangun. Hal ini sesuai dengan lokasi Tongkonan Buntu Kaero yang
memang berada di puncak bukit.
Tongkonan Buntu Kaero dan Tongkonan Kaero tidak
dibangun dalam waktu yang bersamaan. Tongkonan yang mula-mula
dibangun di Kaero adalah Tongkonan Buntu Tongko yang merupakan
cikal bakal pusat permukiman di Kaero, baru kemudian dibangun
Tongkonan Kaero. Di sekitar kedua tongkonan tersebut terdapat rumah-
rumah kediaman oleh penduduk yang masih terikat secara kekeluargaan
atau keturunan dari pemilik tongkonan tersebut.
Elemen-elemen dalam permukiman tradisional Kaero masih
terbilang lengkap dan dapat dilihat, seperti pada permukiman tradisional
Toraja pada umumnya. Selain 2 buah tongkonan, elemen lain seperti
seperti lumbung, kandang, rante, kandang, padang, kebun, sawah, dan
liang masih dapat kita temui. Sayangnya, beberapa elemen tesebut dalam
kondisi yang kurang terawat bahkan sudah banyak beralih fungsi.
Saat ini tongkonan buntu kaero tidak ada yang menjaga
ataupun mendiaminya lagi. Kondisinya sudah sangat memprihatinkan.
Tongkonan, 3 alang, 1 buah kandang babi dibiarkan begitu saja dan
beberapa bagian bangunan sudah mulai lapuk dan telah runtuh. Berbeda
Tongkonan Buntu Kaero, kondisi Tongkonan Kaero yang sebelumnya
pernah terbakar, telah dibangun kembali pada tahun1981 (RBP. Charles,
DKK., 1992).
Beberapa elemen yang lainnya, seperti lumbung tidak lagi
digunakan sebagai tempat menyimpan padi/ gabah. Kondisi lumbung
sudah mulai rapuh karena kurang terawat. Pada awalnya lumbung yang
letaknya di depan tongkonan berjumlah 5 buah namun 2 buah lumbung
telah roboh karena rusak dimakan usia.
23
Di sekitar tongkonan tidak tampak kandang kerbau, yang ada
hanya 5 kandang babi dan beberapa kandang ayam. Letak kandang tidak
beraturan.
Pekarangan dan Kebun yang berada di sekitar tongkonan
banyak di tanami Utan Bai sejenis ketela untuk makanan babi. Di sebelah
kebun banyak terdapat pohon bambu yang tumbuh dengan lebat dan subur.
Sebagian lahan kebun dan pekarangan di sekitar Tongkonan Kaero telah
dibangun rumah tinggal bagi keluarga yang masih keturunan dari
Tongkonan Kaero.
Sepertinya halnya lahan pekarangan dan kebun, lahan untuk
Rante pun sebagian telah dibangun sekolah dasar yang diperuntukkan bagi
anak-anak yang bertempat tinggal di Lembang Kaero. Rante ini berada di
sebelah barat Tongkonan Kaero. Lokasinya tidak jauh dari lokasi
tongkonan, sekitar 100 meter dari Lokasi Tongkonan Kaero.
Lokasi sawah penduduk yang bermukim di permukiman
tradisional Kaero ini sangat jauh dari lokasi permukiman. Penduduk harus
berjalan cukup jauh berjalan hingga mencapai kaki bukit untuk mencapai
sawah. Sawah dapat di jumpai dipinggir kiri dan kanan jalan utama
sebelum naik ke atas bukit menuju area permukiman penduduk. Lokasi
mata air pun cukup jauh. Untuk mengambil air, penduduk harus berjalan
sekitar 1 kilometer menuruni bukit.
Liang atau kuburan bagi keturunan yang berasal Tongkonan
Kaero terletak sangat jauh dari lokasi permukiman. Liang atau kuburan
dipahat pada dinding tebing berada di salah satu sisi dari bukit di Suaya.
Lokasi liang ini berada di sebelah Barat permukiman.
24
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Dalam sistem perumahan dan permukiman, unsur budaya
menjadi salah satu aspek yang penting untuk diteliti dan dibahas. Budaya
memegang peranan penting dalam perumahan dan permukiman, mulai dari
hal makro seperti struktur dan pola permukiman, hingga hal mikro seperti
gaya bangunan dan arsitektur sebuah rumah.
Aspek budaya pada perumahan dan permukiman tampak jelas
pada permukiman tradisional di setiap daerah. Jauh lebih jelas daripada
permukiman di kota. Hal ini karena aspek budaya sendiri erat kaitannya
dengan adat istiadat, kepercayaan, dan kekerabatan di suatu daerah.
Disamping memengaruhi struktur dan pola perumahan secara
fisik, budaya pun memengaruhi gaya hidup dan kebiasaan masyarakat
permukiman, yang mana gaya hidup sendirilah yang melahirkan suatu
kebudayaan. Dengan kata lain, aspek budaya memiliki hubungan timbal
balik dengan gaya hidup, tradisi dan kebiasaan masyarakat permukiman,
serta struktur ruang permukiman secara fisik.
25
DAFTAR PUSTAKA
Rapoport, A. 1993. Development, Culture, Change and Supportive Design. USA:
University of Wisconsin-Milwaukee.
Sasongko, I. 2002. Transformasi Struktur Ruang pada Permukiman Sasak, Kasus:
Permukiman Desa Puyung. Jurnal ASPI.2 (1):117-125.
Sasongko, I. 2005. Pembentukan Struktur Ruang Permukiman Berbasis Budaya
(Studi Kasus: Desa Puyung - Lombok Tengah). Jurnal Dimensi Teknik
Arsitektur. 33 (1):1-8.
Sasongko, I. 2005. Struktur Ruang Permukiman Karangsalah dan Segenter di Desa
Bayan. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur. 20 (1):16-25.
Wikantiyoso, R. 1997. Konsep Pengembangan: Transformasi Pola Tata Ruang
Tradisional Studi Kasus: Permukiman Tradisional Jawa di Kotagede
Yogyakarta – Indonesia. Science. 37:25-33.