Post on 17-Feb-2015
description
4
TINJAUAN PUSTAKA
Tulang
Kerangka tubuh terbentuk dari tulang rawan, tulang dan persendian.
Tulang merupakan jaringan ikat khusus, karena mempunyai fungsi khusus serta
komponennya terdiri dari sel-sel khusus yang berbeda dengan jaringan ikat
lainnya (Astawan 2002). Tulang memiliki fungsi penting bagi tubuh yaitu
melindungi dan menyokong organ-organ internal dan sebagai tempat melekatnya
otot dan tendon (Price & Wilson 2006). Tulang juga berperan dalam fungsi
metabolik dengan menyediakan sumber kalsium untuk memelihara keseimbangan
kadar kalsium dalam darah serta menyediakan beberapa faktor pertumbuhan
(growth factor) seperti transforming growth factor (TGF-ß) yang berperan dalam
remodelling (Dellmann & Eurell 1998).
Tulang dapat dibentuk dari differensiasi jaringan ikat secara langsung atau
bagian dari perubahan dan pertumbuhan tulang rawan sebelumnya. Jaringan ini
memiliki kemampuan sebagai tempat penyimpanan mineral, khususnya kalsium
dan hampir sebagian besar berupa kristal hidroksiapatit. Bahan tersebut yang
membedakan tulang dengan jaringan ikat lainnya, termasuk tulang rawan
(Samuelson 2007).
Tulang memiliki komponen seluler yang terdiri dari berbagai macam sel
tulang. Sel tersebut antara lain prekursor osteogenik atau osteoprogenitor,
osteoblas, osteosit dan osteoklas serta elemen hematopoetik dari sumsum tulang
(Kalfas 2001). Sedangkan komponen ekstraseluler terdiri dari bahan organik dan
anorganik pembentuk matriks (Samuelson 2007).
Komponen Seluler Tulang
Bagian luar permukaan tulang dikelilingi oleh lapisan jaringan yang
disebut periosteum, kecuali pada bagian ujung persendian sinovial (Samuelson
2007). Periosteum terdiri dari pembuluh darah, lapisan tebal jaringan ikat fibrosa
(kapsul) dan stem sel atau sel osteogenik (Gambar 1A) yang akan berkembang
menjadi sel osteoblas. Tulang memiliki ruang internal yaitu ruang sentral atau
ruang sumsum tulang. Ruang tersebut dilapisi oleh selapis jaringan tipis yang
disebut endosteum (Gambar 1B). Lapisan endosteum terdiri dari selapis sel
5
osteogenik dan memiliki jaringan ikat yang sangat sedikit dibandingkan dengan
lapisan periosteum (Samuelson 2007).
Gambar 1 A. Gambaran permukaan luar tulang, lapisan fibrosa (3), lapisan
osteogenik (9), sumsum tulang (5), periosteum (10), B. Permukaan dalam tulang, endosteum (2), osteosit (8) dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) (Bacha & Bacha 2000)
Komponen seluler tulang terdiri dari sel osteogenik atau osteoprogenitor,
osteoblas, osteosit, osteoklas, (Samuelson 2007; Dellman & Eurell 1998) dan
unsur-unsur hematopoetik dari sumsum tulang (Kalfas 2001).
Sel osteogenik atau sel osteoprogenitor memiliki peranan penting dalam
perkembangan dan remodelling tulang (Samuelson 2007). Sel tersebut terdapat
pada lapisan periosteum, saluran Haver’s, Volkmann, dan kanalis medullaris. Sel
osteoprogenitor merupakan sel primitif turunan sel mesenkimal yang dapat
membentuk sel osteoblas (Mills 2007).
Osteoblas adalah sel yang bertanggung jawab untuk mensintesis,
mentransfer dan mengatur komponen bahan organik matriks tulang yang disebut
osteoid atau prebone (Mills 2007). Bahan organik tersebut berupa kolagen,
proteoglycans dan glycoprotein. Osteoblas berasal dari sel osteogenik yang ada
pada permukaan tulang. Bentuk osteoblas dalam keadaan metabolisme aktif
cenderung lebih kuboid dan basophilic. Saat osteoblas dalam keadaan tidak aktif
mensintesis osteoid, sel ini berbentuk gepeng dan bersifat kurang basophilic
(Samuelson 2007).
Osteoblas yang masuk ke dalam matrik tulang maka dinamakan osteosit.
Osteosit muda sebenarnya tidak benar-benar bermigrasi ke dalam matriks tulang,
tetapi terisolasi di sekitar matriks, dengan demikian osteosit merupakan osteoblas
dewasa yang terkapsulasi dan termineralisasi oleh matriks tulang. Sel tersebut
berada pada ruang berbentuk oval atau disebut lakuna. Penjuluran dari sel-sel
A B
6
osteosit akan membentuk kanalikuli. Penjuluran kanalikuli terbentuk secara radial.
Antara kanalikuli tersebut saling dihubungkan dengan formasi gab junction.
Koneksi filopodial gap junctions ini berfungsi sebagai ”life support line” yaitu
menyediakan jalur lintasan nutrisi dan jalur lintasan sisa-sisa metabolisme dari sel
ke sel lainnya (Samuelson 2007).
Osteosit memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan osteoblas,
memiliki sedikit organel dan sitoplasma. Peranan osteosit adalah memelihara
lingkungan ekstraseluler yang termineralisasi. Ketika distimulasi oleh hormon
paratiroid (PTH), osteosit mampu mengeluarkan mineral berupa kalsium secara
cepat dengan mensekresikan enzim hidrolase. Proses ini dikenal dengan osteolisis
osteosit (Samuelson 2007).
Gambar 2 Osteoblas, osteosit, matriks tulang (Caceci 2007)
Osteoklas adalah multinukleat giant sel yang memiliki 6-50 atau lebih inti
sel yang berperan dalam penyerapan dan remodelling jaringan tulang (Samuelson
2007). Ukuran diameternya sekitar 40 sampai 100µm (Dellman & Eurell 1998).
Sitoplasma bersifat acidophilic, kaya akan lisosom, memiliki banyak mitokondria
dan apparatus Golgi. Osteoklas berasal dari organ sumsum tulang dan merupakan
derivat dari gabungan monosit. Pada proses pertumbuhan dan dalam remodelling
tulang, osteoklas akan secara kontinyu melakukan penyerapan (osteoclasia).
Proses ini merupakan hasil sekresi dari beragam material yaitu asam laktat dan
asam sitrat yang memiliki pH rendah dan memfasilitasi pembebasan mineral, serta
7
enzim hidrolitik kuat (acid hydrolase, collagenase, dll) yang mampu mencerna
matriks ekstraseluler (ECM).
Gambar 3 Osteoklas, Howslip’ lacuna atau resorption bay (Caceci 2007)
Setiap osteoklas melalui proses enzimatik kemudian mendepres bagian
matriks yang disebut Howslip’s lacuna atau resorption bay (Gambar 3). Selama
tulang aktif melakukan penyerapan, sel tersebut akan berkontak langsung dengan
bony matrik (Samuelson 2007; Mills 2007)
Komponen Matriks Ekstraseluler Tulang
Sebagian besar komposisi tulang berupa matriks ekstraseluler, dua
pertiganya adalah bahan anorganik dan sisanya merupakan bahan organik
(Samuelson 2007). Sebagian besar bahan organik tersebut berupa serabut kolagen
tipe I dan sejumlah kecil bahan dasar (dalam bentuk amorphous). Bahan
anorganiknya berupa bahan mineral kalsium yang ditemukan dalam beberapa
varian hidroksiapatit [Ca10(PO4)6(OH)2]. Bahan mineral lainnya seperti
bikarbonat, magnesium, natrium, kalium, tembaga, seng, mangan dan lainnya.
Secara umum tulang tersusun oleh 30% substansi organik, 55% substansi
anorganik dan 10% air (Aoki 1994)
Kristal hidroksiapatit disusun dalam tata cara yang terorganisasi dalam
mengatur pembuatan serabut kolagen dan dengan gap regionya. Molekul-molekul
proteoglycan yang berjumlah sedikit memiliki komponen utama yang terdiri dari
glycosaminoglycans sulfat, chondroitin 4 sulfat dan keratin sulfat yang melekat
pada hyaluronans, dan membentuk komponen agrecans yaitu hyaloronic
proteoglycan aggregate yang melapisi kristal hidroksiapatit.
8
Proteoglycans dalam komposisi tersebut adalah instrumen dalam inisiasi
dan inhibisi (penghambat) mineralisasi tulang. Selama terjadi proses mineralisasi
secara normal berlangsung, jumlah proteoglycans di dalam matriks ekstraseluler
(ECM) relatif menurun. Jadi terdapat hubungan timbal balik antara jumlah
proteoglycans dan derajat mineralisasi pada pertumbuhan tulang (Samuelson
2007). Bahan dasar yang terutama terdiri dari komponen agregat tersebut,
memungkinkan air untuk berkontak dengan kristal dan terjadi pertukaran ion.
Glycoprotein terdiri dari osteocalcin dan osteopontin, keduanya dapat mengikat
kristal kemudian pada bahan lain integrin termasuk protein transmembran yang
berasosiasi dengan osteoblas dan osteoklas dan banyak tipe sel yang lain termasuk
fibroblast. Sialoprotein adalah matrik yang mempunyai fungsi adhesif, dapat
mengikat integrin dari sel pembentuk tulang dan komponen matriks tulang.
Proses mineralisasi di dalam ECM tulang tidak sepenuhnya diketahui.
Secara tidak pasti mempengaruhi kehadiran vesikel matriks, dikeluarkan ke
osteoid oleh osteoblas. Vesikel dipenuhi oleh kalsium dan ion fosfat dengan cyclic
adenosine monophosphate (AMP), adenosine triphosphate (ATP) dan adenosine
triphosphatase (ATPase) kemudian dua enzim lainnya yaitu alkaline phosphatase
dan pyrophosphatase, serta protein yang mengikat kalsium. Selain itu, vesikel
memiliki pompa kalsium yang memungkinkan pergerakan lebih jauh dari elemen
ini ke dalam ECM. Setiap vesikel berada pada beberapa level struktur autonom
yang dapat membentuk kristal hidroksiapatit di luar sitoplasma dari osteoblas dan
osteosit dan di daerah ECM prebone. Sebagai kristal yang dikeluarkan dari
vesikel dan ditimbun di sepanjang permukaan dekat dengan molekul kolagen,
kemudian daerah tersebut menjadi mikrosenter dari lanjutan kalsifikasi dan
mineralisasi setelah periode terakhir dengan berangsur-angsur kehilangan air.
Klasifikasi Tulang
Klasifikasi tulang dapat dilihat dari segi perkembangannya, konfigurasi
dan pengaturannya. Berdasarkan perkembangannya, tulang dibedakan menjadi
tulang dewasa (mature) dan tulang yang masih belum dewasa (immature). Tulang
yang belum dewasa ada pada tulang fetus, primer, spogiosa dan postnatal.
Kemudian tulang dewasa (mature) adalah tulang yang secara umum lebih kompak
9
dari pada tulang yang belum dewasa, tersusun dari matriks yang tertimbun oleh
serabut kolagen.
Berdasarkan konfigurasinya, tulang dibagi ke dalam dua tipe yaitu
spongiosa (trabekular) dan tipe kompakta (kortikal). Tulang spongiosa terdiri dari
tulang cancellous merupakan jaringan yang umumnya memiliki bentuk
berlubang-lubang seperti spon. Jarak antara lubangnya (interoseus) lebih besar
dari pada tulang kompakta. Tipe tulang ini sering dideskripsikan sebagai tulang
yang belum dewasa (immature bone), terutama pada pertumbuhan bagian dari
epifisis dan diafisis dari tulang panjang (Samuelson 2007). Tulang trabekular
(cancellous atau medullary) memiliki berat 20% dari keseluruhan massa tulang.
Didapatkan pada bagian dalam tulang dan terutama pada tulang vertebra. Terdiri
dari spikula tipis tulang yang meluas dari korteks menuju ruang medula. Jaring-
jaring spikula tulang terlihat sebagai garis yang muncul pada beberapa daerah
yang terdapat osteoblas dan osteoklas serta sel-sel yang terlibat pada remodelling
tulang. Tulang trabekula secara konstan akan disintesa dan diserap oleh elemen
seluler. Tulang kompak (kortikal) menempati 80% dari keseluruhan massa tulang
dan merupakan lapisan terluar (korteks) tulang. Sel tulang kortikal terdiri dari
jaringan padat yang sebagian besar tersusun dari mineral tulang dan elemen
matriks ekstraseluler, terpisahkan oleh penetrasi pembuluh darah dan sekumpulan
osteosit yang ada di dalam tulang. Osteosit ini saling berhubungan satu sama lain
dengan osteoblas pada permukaan tulang yang disebut kanalikuli dimana terjadi
proses penyebarluasan osteosit seluler. Hubungan ini memungkinkan perpindahan
Ca2+ dari dalam tulang ke permukaan, proses ini biasa disebut osteolisis osteosit.
Kepadatan tulang kortikal menghasilkan suatu kekuatan terhadap beban yang
berat yang mengenai tulang-tulang panjang (Baron & Emile 2003).
Berdasarkan pengaturannya tulang padat dibedakan antara tulang lamellar
dan tipe tulang osteon. Tulang lamellar terdiri dari lapisan-lapisan atau lamel-
lamel tulang yang berada pada daerah periosteum dan endosteum. Sedangkan tipe
tulang osteonal terdiri dari lamel-lamel yang tersusun secara silinder atau disebut
osteon (Haversian sistem).
Tulang dewasa sebagian besar komponennya terdiri dari satu unit struktur
yang bersifat silindris dinamakan osteon atau sistem Haversian. Setiap osteon
10
terdiri atas: a) matriks tulang yang berupa lamel-lamel konsentris (lamel-lamel
khusus) yang mengelilingi saluran Haver’s (canalis centralis). Pada saluran ini
terdapat pembuluh darah dan syaraf yang menyuplai nutrisi ke osteon; b) lakuna
yang berisi osteosit, terletak pada lamel-lamel tulang; c) kanalikuli, merupakan
penjuluran-penjuluran osteosit yang tersusun secara radial terhadap saluran
Haver’s. Kanalikuli ini berhubungan dengan saluran Haver’s dan membantu difusi
nutrisi maupun sisa metabolisme baik dari pembuluh darah ke osteosit maupun
sebaliknya (Samuelson 2007; Dellmann & Eurell 1998)
Diantara osteon-osteon terdapat sisa-sisa lamel osteon sebelumnya dan
dinamakan lamel-lamel interstitial. Panjang sumbu osteon sejajar atau paralel
dengan sumbu tulang. Serabut kolagen tulang tersusun paralel satu dengan lainnya
pada lamel-lamel khusus, sehingga potongan memanjangnya menyerupai kayu.
Pada sisi luar osteon, terdapat lamel-lamel umum luar (outer circumferential
lamellae), sedangkan lamel-lamel umum dalam (inner circumferential lamellae)
terdapat disebelah dalam osteon berbatasan dengan sumsum tulang (Samuelson
2007; Dellmann & Eurell 1998).
Saluran Volkmann (perporating canal) merupakan saluran yang
menghubungkan dua saluran Haver’s dan juga merupakan saluran tempat
pembuluh darah dan syaraf berjalan mulai dari permukaan periosteum dan
endosteum sampai mencapai saluran Haver’s (Gambar 4). Saluran ini tidak
dikelilingi oleh lamel dan merupakan ciri khusus dalam identifikasi secara
histologi (Samuelson 2007; Dellmann & Eurell 1998). Berikut gambaran sistem
Haversian dan lamelar ditunjukkan pada Gambar 4.
11
Gambar 4 Struktur tulang (Lerro 2007).
Osteogenesis (Proses Pembentukan Tulang)
Osteogenesis atau proses pembentukan tulang dapat diklasifikasikan
menjadi dua cara, yaitu osifikasi intramembranous dan osifikasi endokhondral.
Pembentukan tulang langsung dari jaringan ikat, proses ini dinamakan osifikasi
intramembranous sedangkan proses pembentukan tulang dimulai dari tulang
rawan disebut osifikasi endokhondral atau osifikasi intrakartilagous (Samuelson
2007).
Osifikasi Intramembranous
Proses terjadinya osifikasi intramembranous dimulai dari vaskularisasi di
jaringan ikat. Kemudian terjadi kondensasi sel-sel mesenkim ke tempat tulang
yang akan dibentuk. Sel osteoprogenitor berdeferensiasi menjadi osteoblas. Sel
tersebut mulai mensintesis dan mensekresikan osteoid. Komponen utama yang
disekresikan oleh osteoid adalah kolagen. Selama awal osifikasi
intramembrenous, osteoblas dikelilingi oleh sebagian matriks yang dimineralisasi
dan berisi serabut kolagen. Osteoid banyak diproduksi, diikuti oleh mineralisasi
12
lengkap. Sebagian osteoblas menjadi terisolasi di lakuna dan menjadi osteosit.
Sebagian kecil menjadi pusat osifikasi. Dari pusat osifikasi kemudian menyebar
ke beberapa arah membentuk trabekular (Dellman & Eurell 1998).
Saat osteoblas mensintesis dan mensekresikan bahan organik matriks,
plasmalemmma buds, disebut vesikel matriks, bentuk selnya panjang dan saling
berdekatan di pinggir dengan osteoid dan dalam posisi menjepit. Vesikel matriks
berisi lipid, akumulasi ion kalsium, dan memiliki ativitas alkaline phosphatase,
semua ini dibutuhkan untuk menginisiasi dan memelihara mineralisasi
(Samuelson 2007).
Osifikasi Endokhondral
Osifikasi endokhondral merupakan proses pertumbuhan atau pembentukan
tulang yang berasal dari tulang rawan hialin atau kartilago (Mills 2007). Hampir
semua tubuh awalnya tumbuh sebagai tulang rawan pada tingkat embrio, namun
pertumbuhannya dilanjutkan dengan proses osifikasi endokhondral. Pada tingkat
seluler, sel-sel kartilago akan berubah menjadi osteoblas kemudian osteosit. Pada
osifikasi ini dikenal pusat osifikasi primer (primary center of ossification) di
diafisis serta pusat osifikasi sekunder (secondary ossification center) di epifisis
(Samuelson 2007; Mills 2007).
Pada diafisis, sel-sel kartilago mengalami tiga hal, yaitu hipertropi,
kalsifikasi matriks serta kematian sel-selnya. Selain itu, perikhondrium akan
mengalami vaskularisasi sehingga sel-sel kartilago akan berubah menjadi
osteoblas. Perikhondrium yang merupakan bagian permukaan dari kartilago
berubah menjadi periosteum. Pemanjangan tulang berlangsung hanya pada
perbatasan antara diafisis dan epifisis (lempeng epifisis). Hal ini dikarenakan
hanya sel-sel kartilago di bagian inilah yang mampu berproliferasi. Mendekati
diafisis, sel-sel ini mengalami hipertropi dan matriksnya akan mengalami
kalsifikasi. Osifikasi pertama kali terjadi di diafisis, yaitu pusat osifikasi primer,
pada akhir masa embrionik.
Pada waktu lahir, sebagian besar diafisis telah mengalami osifikasi,
sedangkan epifisis masih berupa kartilago. Osifikasi sekunder baru berlangsung
pada tahun-tahun pertama usia bayi. Karena osifikasi dari dua arah, dari epifisis
13
dan diafisis, hanya daerah di tengah-tengah kedua daerah itulah (lempeng epifisis)
yang masih berupa kartilago. Kartilago ini akan terus berproliferasi yang diikuti
dengan osifikasi. Saat seluruh lempeng epifisis telah mengalami osifikasi, berarti
masa pertumbuhan tulang telah berhenti.
Remodelling Tulang
Remodelling merupakan reorganisasi atau renovasi struktur tulang lama.
Terjadi resorpsi jaringan tulang dan deposisi simultan tulang baru pada tulang
normal, kedua proses ini berada dalam keseimbangan yang dinamis (Dorland
2002). Menurut Mills (2007) remodelling adalah proses yang dinamis, pada
proses ini terjadi pengurangan dan penggantian tulang baik kortikal atau tulang
trabekular. Proses ini akan berlanjut sepanjang hidup untuk mempertahankan
massa tulang, integritas kerangka dan fungsi kerangka. Kejadiannya sangat
komplek dan sebagian dikontrol oleh sistem syaraf pusat melewati hormon
(contohnya leptin) dan induksi mekanik dari kerusakan kecil. Prosesnya juga
sangat bergantung pada integrasi gerakan dari osteoblas, osteosit dan osteoklas.
Sel-sel tersebut secara bersamaan membentuk basic sellular unit dari tulang, pada
saat dewasa resorpsi dalam remodelling tulang kira-kira terjadi sebanyak 10% dari
jumlah kerangka pertahunnya (Mills 2007). Proses remodelling diawali pada
permukaan bony dan tergabung dalam beberapa tahapan aktivitas sel yaitu
aktivasi, resorpsi, reversal (pengembalian), dan formasi atau pembentukan tulang.
Rangkaian aktivitas remodelling tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
Tahap aktivasi bergantung pada sel yang berdeferensiasi menjadi
osteoblas, yang ada di permukaan tulang atau sumsum tulang, bertindak pada
prekursor sel darah (hemapoetic cells) untuk membentuk osteoklas yang akan
menyerap tulang. Proses resorpsi terjadi di bawah lapisan sel (lining sel) (Gambar
5). Setelah fase reversal, osteoblas memulai untuk pembentukan tulang baru. Sisa
osteoblas di dalam tulang akan berubah menjadi osteosit. Masing-masing osteosit
akan berhubungkan satu sama lain dan dihubungkan juga ke permukaan osteoblas.
Fase resorpsi berakhir hanya pada beberapa minggu tetapi fase formasi terjadi
lebih lambat, yaitu berlangsung selama beberapa bulan untuk melengkapinya,
14
sebagai lapisan yang banyak pada tulang baru dibentuk oleh berturut-turut
gelombang dari osteoblas.
Gambar 5 Proses remodelling tulang ( Lerro 2007).
Proses Persembuhan Fraktur Tulang
Kerusakan pada fraktur dapat terjadi karena trauma atau tenaga fisik.
Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang
menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya (Price & Wilson
2006). Dalam kasus ini penggunaan bone graft mungkin diperlukan untuk
memperbaiki kerusakan tersebut.
Salah satu aplikasi bone graft yaitu dengan menanamkannya pada
kerusakan spinal fusion. Menurut Boden et al. (1995), proses penyatuan bone
graft di dalam spinal fusion model hampir sama dengan proses persembuhan
tulang yang terjadi dalam keadaan persembuhan fraktur.
Persembuhan fraktur akan mengembalikan jaringan yang rusak menjadi
jaringan tulang yang sesuai. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor lokal
maupun sistemik. Persembuhannya terjadi dalam empat tahap berbeda tetapi
saling tumpang tindih, antara lain: 1. Tahap hemoragi dan tahap awal inflamasi, 2.
15
tahap perbaikan (pembentukan kalus) dan 3. tahap pembentukan tulang rawan dan
terakhir 4. tahap remodelling (Kalfas 2001).
1. Tahap Hemoragi dan Tahap Awal Inflamasi
Saat terjadi fraktur maka pembuluh darah akan mengalami kerusakan atau
ruptur dan terjadi hemoragi di dalam daerah fraktur, jika darah merembes
melewati periosteum di dalam otot. Kemudian darah mengalami koagulasi dan
mengisi ruang terjadinya fraktur (Cheville 2006), atau terjadi hematoma dalam
ruang fraktur (Kalfas 2001). Adanya trauma pada kejadian fraktur akan
menginduksi tahap inflamasi (Cheville 2006). Pada tahap ini, sel-sel peradangan
seperti monosit, limfosit, sel-sel polimorfonuklear dan fibroblast menginfiltrasi
tulang yang diperantarai oleh prostaglandin (Kalfas 2001). Monosit yang masuk
ke dalam daerah fraktur akan bertransformasi menjadi makrofag yang memainkan
peranan penting dalam persembuhan tulang (Tabel 1) (Cheville 2006). Hal ini
akan menyebabkan pembentukan jaringan granulasi, pertumbuhan jaringan
pembuluh darah (neovaskularisasi), dan migrasi dari sel-sel mesenkimal (Kalfas
2001). Tahap ini terjadi pada awal kerusakan yaitu satu sampai lima hari pertama
setelah terjadi kerusakan.
2. Tahap Perbaikan (Pembentukan Kalus)
Tahap perbaikan fraktur diawali dengan pembentukan kalus kemudian
sampai 48 jam setelah fraktur, darah yang mengendap akan diinfiltrasi oleh sel
osteogenik yang ada pada lapisan periosteum, endosteum dan sumsum tulang. Sel
tersebut berproliferasi di pinggir fraktur dan dengan cepat menghampiri endapan
dan perbatasan area nekrotik. Kalus merupakan jaringan baru antara dua ujung
fraktur yang kemudian akan berubah menjadi jaringan tulang (Dorland 2002).
Awalnya, terjadi jaringan granulasi (kalus lunak) dan kemudian berubah menjadi
kartilago atau tulang (kalus keras). Fase jaringan granulasi diperpanjang dan
formasi jaringan tulang rawan hialin akan menyokong sampai terjadi
pembentukan tulang di kalus.
3. Tahap Pembentukan Tulang Rawan
Dalam waktu satu minggu, proliferasi sel akan mulai berdeferensiasi
menjadi khondroblas. Material matriks yang dilepaskan dari permukaan
khondroblas yang tertimbun dalam lingkaran yang mengeliling sel. Dalam proses
16
kalsifikasi tulang rawan, vesikel matriks kecil keluar dengan proses enzimatik
(alkaline fosfatase dan enzim untuk ATP-dependent calcium transport) yang
meningkatkan konsentrasi lokal dari orthofosfat yang akan berfungsi untuk
membentuk hidroksiapatit. Pada hari ke 7-10, pH di dalam kalus meningkat dan
akan menyokong endapan garam kalsium.
Tulang rawan yang terbentuk keberadaannya hanya sementara dan pada
akhirnya akan digantikan dengan tulang sebenarnya (woven bone) melalui tahap
remodelling, dan membutuhkan waktu untuk menjadi tulang lamellar (lamellar
bone). Matriks ekstraseluler tulang rawan mengalami kalsifikasi, kemudian
menyebabkan khondrosit mati. Tulang baru terbentuk sebagai tulang rawan yang
disintegrasi. Osteosit berkembang dari pluripoten mesenkim sel, fibroblast, dan
deposit osteoid. Selama tahap perbaikan, fibroblast menuju stroma yang akan
membantu pertumbuhan pembuluh darah (vaskular). Tahap perubahan tulang
rawan menjadi tulang terjadi melalui mekanisme osifikasi endokhondral.
4. Tahap Remodelling
Persembuhan fraktur akan sempurna selama tahap remodelling. Pada tahap
ini kerusakan tulang telah kembali mempunyai bentuk, struktur, dan kekuatan
mekanik seperti semula. Remodelling tulang terjadi secara perlahan selama
beberapa bulan bahkan tahun. Kekuatan tulang yang memadai akan dicapai dalam
tiga sampai enam bulan (Kalfas 2001).
Dalam pemasangan bone graft terdapat penggabungan antara tulang dan
biomaterialnya. Persembuhan ini tidak sepenuhnya mirip dengan keadaan
persembuhan fraktur. Seperti pemasangan bone graft (autograft) pada prosedur
cangkok tulang belakang, selama proses persembuhannya tulang dan graft
digabungkan oleh proses yang terintegrasi. Tulang lama mengalami nekrosis
secara perlahan dan diserap kembali dan sekaligus digantikan dengan tulang baru
yang lebih baik. Proses penggabungannya disebut “creeping subtitution’’(Lane et
al. 1992), sel-sel primitif mesenkim berdeferensiasi menjadi osteoblas yang
tersimpan di sekitar inti osteoid dari tulang yang nekrosis. Proses dari penggantian
dan remodelling pada akhirnya akan digantikan dari tulang yang nekrosis dalam
graft tersebut.
17
Masa yang paling kritis dalam penyembuhan tulang adalah minggu-
minggu pertama sampai minggu kedua. Pada saat ini peradangan dan
revaskularisasi terjadi. Penggabungan dan remodelling tulang dari sebuah bone
graft membutuhkan sel-sel mesenkim yang memiliki akses vaskuler ke graft
untuk berdeferensiasi menjadi osteoblas dan osteoklas. Berbagai faktor sistemik
dapat menghambat penyembuhan tulang, contohnya malnutrisi, diabetes, rematik
arthritis, dan osteoporosis. Bone graft juga sangat dipengaruhi oleh faktor
mekanikal lokal selama tahap remodelling tulang, kepadatan, geometri, ketebalan,
dan orientasi trabekular tulang dapat berubah tergantung pada persyaratan
mekanik dari graft.
Tabel 1 Persembuhan luka pada fraktur tulang tipe sederhana (uncomplicated) Waktu Proses persembuhan
Immediate 1-5 hari 3-7 hari 1-4 minggu >4 minggu
Hemoragi dan pembentukan hematoma Pembekuan darah pada perbatasan fraktur Invasi makrofag untuk menghilangkan debris, RBC, dan fibrin Nekrosis sel osteosit pada daerah fraktur Edema dan pengendapan fibrin pada jaringan sekitar fraktur Invasi jaringan granulasi Proliferasi khondrosit dan osteoblas dari pinggir periosteal dan endosteal Pembentukan provisional kalus sebagai tulang yang merupakan penghubung oleh jaringan dan pulau-pulau granulasi dari tulang rawan Bony kalus terbentuk oleh proses kalsifikasi, penghubung (jembatan) dari provisional kalus dari hubungan trabekula osteoid yang diproduksi oleh osteoblas Remodelling tulang: proses osteoclasia terus berlangsung dan pembentukan oleh osteoblas; Penghilangan eksternal kalus; Pelekukan internal kalus untuk membentuk sumsum tulang
(Cheville 2006)
Biomaterial (Bone graft)
Bone graft merupakan bahan pengganti tulang yang digunakan dalam
perbaikan fraktur yang kompleks. Bahan ini digunakan juga untuk perbaikan
kerusakan (defek) tulang karena cacat bawaan, traumatik, operasi kanker tulang
dan rekontruksi kranial atau fasial. Bone graft yang sering digunakan dalam
kasus-kasus tersebut adalah bahan autograft yaitu bahan cangkok tulang yang
diperoleh dari individu atau spesies itu sendiri, tulang pengganti yang sering
18
digunakan adalah os ilium. Jaringan autograft memang merupakan jaringan yang
sangat ideal untuk bone graft karena memiliki karakteristik yang sesuai dalam
memicu pertumbuhan tulang seperti osteokonduktif, osteogenik dan osteoinduktif
(Laurencin & Yusuf 2009). Pemanenan tulang pengganti di bagian tulang lain
dapat menimbulkan komplikasi seperti inflamasi, infeksi, kerusakan kronis
apabila operasi tidak dilakukan dengan baik. Selain itu, jumlah jaringan yang
dapat dipanen sangat sedikit, sehingga menjadi kendala dalam ketersediaan.
Bone graft lainnya yang dapat digunakan yaitu allograft. Allograft adalah
bahan pengganti tulang yang diperoleh dari individu lain dari spesies yang sama.
Sebagai alternatif dari autograft, allograft dapat diambil dari donor manusia atau
kadaver. Namun penggunaannya memiliki resiko seperti adanya bahan pengawet
jaringan dan perlakuan jaringan sebelum dicangkokkan mengandung bahan
berbahaya seperti bahan pengawet ethylene oxide. Resiko lainnya, allograft
berpotensi menjadi transmisi penyakit-penyakit infeksius dari danor ke resipien
seperti hepatitis dan HIV AIDS. Sedangkan bone graft yang berasal dari hewan
sering disebut xenograft. Kedua bone graft ini terkadang menimbulkan reaksi
penolakan dari tubuh (Ratih et al. 2003). Sebagai alternatif lain pengganti tulang
(bone graft) juga dapat disintesis dari berbagai biomaterial, seperti hidroksiapatit,
trikalsium fosfat, hidrogel dan lain-lain.
Klasifikasi Bone Graft
Menurut (Laurencin et al. 2001), klasifikasi bone graft berdasarkan bahan
dasarnya antara lain:
• Allograft-based bone graft substitutes, menggunakan allograft itu sendiri
atau dikombinasi dengan material lainnya.
• Factor-based bone graft substitutes adalah berupa faktor pertumbuhan
yang alami atau rekombinan, digunakan dengan growth factor itu sendiri
atau dikombinasi dengan material lainnya, seperti transforming growth
factor-beta (TGF-beta), platelet-derived growth factor (PDGF), fibroblast
growth factor (FGF) dan bone morphogenetic protein (BMP).
19
• Cell-based bone graft substitutes menggunakan sel-sel untuk
membangkitkan jaringan baru, digunakan bahan ini sendiri atau ditanam
ke dalam bahan pendukung matrik (contohnya, mesenchymal stem cells).
• Ceramic-based bone graft substitutes seperti kalsium fosfat, kalsium sulfat
dan bioglass, dapat digunakan dari bahan itu sendiri atau dikombinasikan.
• Polymer-based bone graft substitutes, degradable dan nondegradable
polymer, dapat digunakan dari bahan itu sendiri atau dikombinasikan
dengan material lainnya.
Dalam penelitian ini digunakan implan bone graft ceramic-based bone
graft substitutes. Bahan yang digunakan adalah hidroksiapatit (HA) dan trikalsium
fosfat (TKF). Penggunaan keramik, khususnya kalsium fosfat merupakan bagian
dari komponen anorganik primer tulang yang berupa kalsium hidroksiapatit, yang
termasuk ke dalam keluarga kalsium fosfat. Kalsium fosfat juga memiliki
karakteristik oseokonduktif, osteointegratif (formula jaringan baru yang
termineralisasi membentuk ikatan yang kuat dengan bahan implan) dan beberapa
menyatakan osteoinduktif (Laurencin & Yusuf 2009). Bahan ini membutuhkan
temperatur yang tinggi untuk membentuk scaffold dan mempunyai sifat rapuh.
Mineral Apatit
Komponen utama senyawa apatit adalah kalsium fosfat. Kalsium fosfat
terdiri dari beberapa fase yaitu oktakalsium fosfat, dikalsium fosfat dihidrat
(DKFD), trikalsium fosfat (TKF) dan hidroksiapatit (HA). Komponen mineral
apatit memiliki rumus kimia M10(ZO4)6X2. Unsur pada bagian M, Z dan X dapat
digantikan dengan unsur-unsur lain, yakni sebagi berikut; M= Ca, Se, Ba, Cd, Pb,
dll; Z= P, V, As, S, Si, Ge, dll; X = F, Cl, OH, O, Br, CO3, dll. Kristal apatit
mengandung banyak karbon dalam bentuk karbonat. Karbonat di dalam tubuh
dapat mensubtitusi formula hidroksiapatit dengan menempati dua posisi yakni
menggantikan posisi OH yang disebut sebagai apatit karbonat tipe A yang
terbentuk pada suhu tinggi. Karbonat menggantikan posisi PO43- disebut apatit
karbonat tipe B yang dapat dibentuk pada suhu rendah. Kalsium fosfat (Ca-P)
dapat ditemukan di alam (coralline hidroksiapatit) atau disintesa menggunakan
regen kimia dengan metode presipitasi (Aoki 1994)
20
Hidroksiapatit
Hidroksiapatit (HA) merupakan material keramik bioaktif dengan
bioafinitas tinggi, bersifat biokompatibel dan bioaktif. Bioaktif adalah
kemampuan material bereaksi dengan jaringan dan menghasilkan ikatan kimia
yang sangat baik sedangkan biokompatibel adalah kemampuan material untuk
menyesuaikan dengan kecocokan tubuh penerima (Purnama 2006). Hidroksiapatit
merupakan unsur mineral terbesar yang terdapat pada tulang dan gigi (Aoki
1991). Hidroksiapatit termasuk ke dalam senyawa kalsium fosfat yang merupakan
senyawa mineral dan anggota kelompok mineral apatit dengan rumus kimia
[Ca10(PO4)6(OH)2] yang mempunyai struktur heksagonal serta memiliki rasio
Ca/P sekitar 1,67 (Aoki 1991). Senyawa ini adalah salah satu dari sedikit material
yang diklasifikasikan sebagai bioaktif material. Material tersebut dapat
mendukung pertumbuhan tulang tanpa adanya penghancuran ketika digunakan
untuk implantasi pada manusia. Hidroksiapatit dapat melekat secara biointegrasi.
Implan yang terbuat dari bahan ini dapat berkontak dan menyatu secara kimiawi
dengan tulang. HA dalam bentuk keramik dan kristal lambat dalam penyerapan
dan pembentukan tulang, sebaliknya pada non keramik, bentuk non kristal cepat
dalam penyerapan dan dalam pembentukan tulang (Reddy & Swamy 2010).
Trikalsium Fosfat
TKF merupakan salah satu jenis kalsium fosfat yang memiliki rasio Ca/P
sebesar 1,50 dan memiliki struktur kimia Ca3(PO4)2 (Aoki 1991). TKF memiliki 4
polymorph yaitu α, ß, γ dan super-α. ß polymorph adalah fase bertekanan tinggi
dan super-α polymorph dapat diobservasi pada temperatur kira-kira diatas 1500oC.
Oleh karena itu, TKF polymorph yang sering digunakan dalam penelitian
biokeramik adalah α dan ß-TKF (Shi 2004).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa TKF memiliki sifat biodegradabel,
walaupun sedikit berbeda dengan karakteristik material yang digunakan (Shi
2004). Strukturnya juga berupa kristal, laju biodegradasi TKF lebih baik daripada
HA. Bahkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Takatoshi (2007) menyatakan
bahwa implantasi material ß-TKF ke dalam os femur kelinci menunjukkan
bioresorbabel atau dapat diserap namun tidak pada HA. TKF mempunyai peranan
21
penting sebagai bioresorbabel keramik. Bahan ini memperlihatkan tingginya daya
larut dan bioaktifitas. Hasilnya menunjukkan mikrostrutur ß-TKF berefek pada
aktifitas dari sel-sel tulang dan kemudian dapat menggantikan tulang. ß-TKF
dapat diterima dan digunakan di dalam tubuh atau dikenal sebagai biokompatibel,
bioresorbabel material untuk perbaikan tulang yang dibentuk menjadi keramik
blok, granul, atau fosfat semen (Shi 2004).
Karakteristik Implan (Bone Graft) Komposit Hidroksiapatit-Trikalsium
Fosfat (HA-TKF)
Implan yang ditanamkan dalam penelitian ini merupakan kombinasi
hidroksiapatit dan trikalsium fosfat. Keduanya merupakan grup kalsium fosfat
namun berbeda fase. Hidroksiapatit memiliki sifat stabil namun memiliki
kemampuan penyerapan yang kecil. Untuk mengimbanginya ditambahkanlah
TKF (trikalsium fosfat) yang memiliki daya penyerapan lebih tinggi. Kombinasi
keduanya sering disebut bifase kalsium fosfat (BKF) keramik. Bifase kalsium
fosfat keramik memiliki keuggulan potensi sebagai osteokonduktif dan memiliki
tingkat resorpsi optimal untuk pembentukan tulang (Xue et al. 2009)
Implan (bone graft) yang digunakan merupakan hasil pembuatan yang
dilakukan oleh Nur Aisyah Nuzulia dari Departemen Fisika, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB. Bikalsium fosfat (BKF) ini merupakan hasil
presipitasi material Na2HPO4.2H2O dengan butiran dari CaCl2.2H2O dengan rasio
Ca/P adalah 1,67. Hasil dari metode ini adalah bubuk BKF dan memiliki massa
sebesar 1,3162 gram. Hasil karakterisasi menggunakan scanning electron
microscopy (SEM) menujukkan bahwa BKF keramik memiliki morfologi berupa
kumpulan seperti bola besar yang tebal menunjukkan terbentuknya BKF dan bola
kecil yang mengelilinginya dan jumlahnya sangat banyak merupakan
hidroksiapatit (Fellah 2007 diacu dalam Nuzulia 2009). Dari hasil tersebut BKF
terlihat jelas dan terlihat juga pembentukan OCP yang terdiri dari piringan kecil
seperti partikel di permukaan sampel (Imaizumi 2006 diacu dalam Nuzulia 2009)
Kalsium fosfat keramik juga merupakan bahan yang memiliki sifat
osteokonduktif, sehingga penggunaannya dapat menjadi alternatif autogenous
cortico cancellous bone graft untuk mengisi defek tumor, tibial plate fraktur,
22
spinal fusion, operasi scoliosis, dll (Saikia et al. 2008). Pemeriksaan histologi
menunjukkan adanya pertumbuhan tulang baru ke dalam struktur pori-pori dari
implan HA. Di dalam hasil pengamatan preparat tersebut tidak ada bukti yang
meyakinkan bahwa implan terbiodegradasi meskipun terdapat histiosit,
multinukleat giant sel, osteoklas (Saikia et al. 2008). Sedangkan Levin et al
(1975) melaporkan bahwa pada percobaan menggunakan hewan model terjadi
resorpsi ß-TKF secara sempurna.
Fisiologi Perbaikan Tulang dan Bone Graft (Implan)
Penggunaan bone graft untuk mencapai tujuan arthodesis (membuat kaku
sendi melalui pembedahan, sehingga tidak terjadi gerakan lagi pada sendi yang
bersangkutan) atau dalam pengisian tulang dipengaruhi oleh karakter anatomi,
histologi dan prinsip biokimiawi. Sebagai tambahan, beberapa sifat fisiologis
bone graft (cangkok tulang) akan mempengaruhi secara langsung keberhasilan
atau kegagalan penggabungan graft. Sifat tersebut antara lain osteogenesis,
osteoinduktif, dan osteokonduktif (Prolo 1990; Kalfas 2001).
Osteogenesis adalah kemampuan suatu graft untuk memproduksi tulang
baru. Pada proses ini dipengaruhi oleh kehadiran sel-sel tulang di dalam graft
tulang. Material osteogenik graft terdiri dari sel dengan kemampuan untuk
membentuk tulang (sel osteoprogenitor) atau berpotensi untuk berdiferensiasi
menjadi sel pembentuk tulang (diinduksi sel prekursor osteogenik/sel
osteoprogenitor). Sel yang berpartisipasi dalam tahap awal proses persembuhan
untuk menyatukan graft dengan tulang. Osteogenesis hanya ditemukan dalam
properti autogenous tulang segar dan dalam sel sumsum tulang, meskipun
penelitian mengenai sel dalam graft menunjukkan sangat sedikit yang
ditransplantasikan dapat bertahan (Muschler et al. 1990).
Osteokonduktif adalah sifat fisik dari graft dalam menjalankan fungsi
sebagai scaffold untuk mendukung dalam persembuhan tulang. Osteokonduktif
memungkinkan untuk pertumbuhan neovaskularisasi dan infiltrasi sel-sel
prekursor osteogenik ke dalam ruang graft. Sifat osteokonduktif ditemukan di
autograft dan allograft, demineralisasi tulang matrik, hidroksiapatit, kolagen dan
kalsium fosfat (Kalfas 2001).
23
Osteoinduktif adalah kemampuan dari material graft untuk menginduksi
stem sel agar dapat berdeferensiasi menjadi sel-sel tulang dewasa. Proses ini
biasanya berkaitan dengan adanya faktor pertumbuhan tulang dalam material graft
atau suplemen pendukung dalam graft tulang. Bone morphogenic protein (BMP)
dan mineralisasi matriks tulang merupakan bahan pokok osteoinduktif (Muschler
et al. 1990).
Domba sebagai Hewan Coba
Penggunaan domba dalam penelitian di bidang ortopedik semakin
meningkat dalam dekade terakhir ini, meskipun anjing masih menjadi pilihan
yang paling baik. Pada periode 1990-2001, sebanyak 9-12% domba digunakan
dalam penelitian ortopedik yang melibatkan patah tulang, osteoporosis, bone
lengthenin, dan osteoarthritis. Pada periode 1980-1989 yang hanya digunakan
kurang lebih sebanyak 5% (Martini et al. 2001). Peningkatan penggunaannya
terkait dengan isu-isu etis dan persepsi negatif masyarakat dalam penggunaan
hewan kesayangan untuk penelitian medis.
Ditinjau dari segi makroskopisnya, sebagian besar literatur menyatakan
bahwa anjing lebih cocok digunakan sebagai model untuk tulang manusia dilihat
dari sudut pandang biologis, namun domba dewasa menawarkan keuntungan
diantaranya berat tubuh domba mirip dengan manusia. Kemudian keuntungan
lainnya domba memiliki dimensi tulang panjang yang sesuai untuk implantasi dan
percobaan prosthesis manusia (Newman et al. 1995) yang tidak mungkin
dilakukan pada spesies yang lebih kecil seperti kelinci atau anjing dengan ras
kecil.
Penggunaan domba dalam eksperimental sering digunakan untuk menguji
biokompatibilitas berbagai biomaterial (Hunziker 2003), hal ini dilakukan untuk
mengetahui bioaktivitas yang berkaitan dengan resorpsi atau integrasi dari bahan
yang ditanamkan ke dalam tulang (Hing et al. 1998). Struktur khusus dan
morfologi tulang panjang pada domba sesuai dengan fungsi dan beban mekanik
daerah tulang tertentu. Penggunaan domba memiliki hasil yang lebih baik
daripada hewan laboratorium kecil seperti tikus karena memiliki kesamaan
metabolisme tulang yang sesuai dengan manusia. Pada hasil penelitian yang
24
dilakukan oleh Nuss et al. (2006) juga menunjukkan bahwa pengujian dengan
mengimplantasikan dengan cara membuat lubang bor pada domba terbukti dapat
menjadi model hewan yang sangat baik untuk menguji biokompatibilitas
biomaterial yang harus tertanam dalam tulang.
Secara histologi, struktur tulang domba dan manusia memiliki perbedaan.
Struktur tulang domba didominasi oleh struktur tulang primer (osteonnya
berdiameter kurang dari 100 µm) mengandung pembuluh darah sentral dan tidak
memiliki cement line (deKleer 2006). Komponen tulang pada manusia struktur
tulang sekunder lebih mendominasi (Pearce et al. 2007). Perbedaan lainnya
terlihat dari densitas atau kepadatan dari kedua tulang. Dalam penelitian Nafei et
al. (2000) melaporkan kepadatan (massa/volume, mencerminkan tingkat porositas
dari tulang) dari trabekular tulang domba yang diambil dari proksimal tibia domba
dewasa sebesar 0,61 g/cm3 dengan kerapatan abu 0,41 g/cm3 (massa/volume,
mencerminkan tingkat mineralisasi tulang). Data tersebut lebih tinggi dibanding
nilai untuk trabekular tulang femur manusia, dengan kerapatan 0,43 g/cm3 didapat
kepadatan abunya sebesar 0,26 g/cm3 sehingga domba memiliki kepadatan tulang
1,5-2 kali lebih besar dari manusia (Liebschner 2004).
Perbedaan kepadatan tersebut dapat pula berbeda pada lokasi tulang yang
berlainan. Sebagai contoh, Liebschner (2004) melaporkan bahwa kepadatan
trabekular tulang belakang domba sebesar 60±0,16 g/cm3 berbeda dengan tulang
belakang manusia yang kepadatan adalah 0,14±0,06 g/cm3. Dari segi komposisi
mineral tulang, menyimpulakan bahwa selain dari tahap awal fisiologis
pertumbuhan terdapat subsitusi parsial Mg2+ untuk Ca2 di trikalsium magnesium
fosfat, komposisi mineral manusia dan hewan tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan (Ravaglioli et al. 1996). Dalam hal remodelling tulang, berbagai riset
melaporkan bahwa domba dan manusia memiliki pola yang sama dalam
pertumbuhan tulang ke implan berpori (Pearce et al. 2007)