Post on 04-Feb-2016
description
Sekolah Unggul dan Penyakit Kambuhan Tahun Ajaran BaruINDIRA PERMANASARISiang | 14 Juli 2015 17:35 WIB 1076 dibaca 0 komentar
Jelang tahun ajaran baru, sejumlah sekolah mulai "diserbu" para orangtua murid
yang mencari sekolah terbaik bagi putra-putri mereka. Bangku-bangku sekolah yang
difavoritkan masyarakat yang dikenal sebagai "sekolah unggulan" menjadi rebutan.
Lantas, apakah yang dimaksud dengan sekolah unggul itu?
KOMPAS/YUNIADHI AGUNGOrangtua siswa mengecek posisi ranking anak mereka di daftar penerimaan siswa baru di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 19, Jakarta, Senin (22/6). Melanjutkan sekolah di SMK menjadi salah satu pilihan karena siswa mendapat tambahan keterampilan saat lulus sekolah.
Selama bertahun-tahun, sejumlah sekolah, terutama sekolah negeri tertentu, menjadi
incaran. Cap sekolah favorit atau sekolah unggulan dilekatkan pada sekolah-sekolah
itu oleh masyarakat. Di sejumlah daerah, termasuk di ibu kota DKI Jakarta, demi
keadilan dan transparansi, pemerintah daerah menerapkan sistem penerimaan
mahasiswa baru secara daring untuk sekolah negeri. Sistem komputer akan
"menghitung" dengan mempertimbangkan pilihan siswa, nilai, dan daya tampung di
sekolah itu. Pada umumnya, siswa dengan nilai-nilai ujian nasional tertinggi
kemudian berkumpul di sekolah-sekolah favorit tersebut.
Di tengah situasi kompetitif itu, terdapat orang-orang yang mengambil jalan pintas
dengan berbuat curang. Kecurangan ada yang dilakukan oleh orangtua, pihak
sekolah, ataupun oknum lain. Maka, setiap tahun ajaran baru tiba, kambuh pula
penyakit penyuapan, penjualan kursi, sampai penyusupan calon murid dengan
imbalan tertentu.
Untuk tahun ini, secara umum, Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan menemukan sejumlah modus kecurangan, yakni upaya menyusupkan
siswa ke sekolah incaran, pada umumnya sekolah negeri, termasuk sekolah
unggulan. Modus lain ialah menghadirkan oknum yang mengaku sebagai lembaga
swadaya masyarakat, wartawan, hingga dari Program Indonesia Pintar Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Nama pejabat dicatut dan oknum datang
dengan surat berkop Kemdikbud untuk memaksa agar sekolah menerima "calon
siswa" yang mereka bawa.
Ada juga modus pemalsuan kartu keluarga di daerah yang menerapkan sistem
zonasi, yakni murid harus mendaftar ke sekolah sesuai dengan domisilinya
(rayonisasi). Demi anak masuk sekolah incaran, ada yang sengaja membuat kartu
keluarga palsu. Pada kasus lain, inspektorat jenderal menemukan sekolah-sekolah
yang sengaja menyusupkan siswa meskipun kuota sudah penuh (Kompas, 10 Juli
2015).
Beragam motivasi orangtua atau wali murid mengincar sekolah tertentu, terutama
sekolah negeri yang difavoritkan. Salah satu motivasi ialah terpenuhinya harapan
bahwa anak terjamin pendidikannya ke depan, termasuk ketika akan masuk
perguruan tinggi (Kompas, 23 April 2015).
Di sejumlah sekolah negeri, persentase tembus ke perguruan tinggi negeri terbilang
besar. Walau masih harus dilihat lebih dalam lagi, apakah daya tembus perguruan
tinggi negeri yang kompetitif itu karena murid yang masuk ke sekolah itu pada
dasarnya sudah memiliki kemampuan akademis tinggi, proses belajar bermutu, atau
berkat bantuan pelatihan di bimbingan belajar. Motivasi lain, almamater dari sekolah
yang difavoritkan dipandang penting dalam mencari pekerjaan kelak.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Sekolah unggul
Lantas, apa yang sebetulnya dimaksud dengan sekolah unggul? Pemerintah pernah
membuat "strata" sekolah dan mengenalkan istilah sekolah unggulan, mulai dari
unggulan lokal sampai nasional. Istilah sekolah unggulan antara lain diperkenalkan
mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro pada 1994.
Waktu itu, Wardiman Djojonegoro menegaskan, pendirian sekolah-sekolah unggul di
daerah dimaksudkan untuk mempercepat transfer ilmu pengetahuan dan
kesempatan yang sama kepada anak didik di setiap daerah dalam bidang pendidikan
berkualitas (Kompas, 2 Mei 1994).
Departemen Pendidikan Nasional, saat itu, dalam pengembangan sekolah unggul
membuat sejumlah kriteria sekolah unggulan, seperti, input diseleksi secara ketat
sesuai dengan kriteria dan prosedur tertentu. Tidak hanya nilai rapor dan Ebtanas,
tetapi juga rangkaian tes prestasi dan psikotes untuk mengukur intelegensia. Kriteria
lain ialah sarana belajar menunjang; lingkungan belajar kondusif; guru dan tenaga
kependidikan unggul, baik dalam penguasaan kurikulum, metode mengajar, maupun
komitmen; kurikulum diperkaya; kurun waktu lebih lama dari sekolah lain; serta
proses belajar berkualitas. Sekolah tidak hanya memberi manfaat bagi peserta didik,
tetapi juga memiliki resonansi sosial terhadap lingkungan sekitar; adanya pembinaan
kemampuan kepemimpinan; dan kegiatan tambahan di luar kurikulum, seperti
remedial dan pengayaan.
Namun, pengertian sekolah unggul juga terbuka interpretasinya. Sekolah unggul
dapat pula dimaknai sebagai sekolah yang efektif yang ditandai antara lain dengan
kepemimpinan profesional; visi dan misi bersama; lingkungan belajar; konsentrasi
pada proses pembelajaran; pengajaran bermakna; adanya harapan yang tinggi;
pengayaan yang positif; organisasi pembelajar; dan adanya kemitraan dengan
orangtua. Intinya, sekolah mampu memberikan nilai tambah kepada siswanya (Harris
dan Bennet, 2001). Sekolah mampu memenuhi bahkan melebih harapan atau
standar.
Ke depannya, "model" sekolah unggulan yang didorong pemerintah pada
pertengahan 1990-an itu menuai kritik karena menciptakan diskriminasi. Pemerintah
semestinya menciptakan pendidikan berkualitas secara merata bagi semua anak
bangsa. Istilah unggulan atau standar internasional atau strata lainnya tidak lagi
digunakan di lingkungan birokrasi pendidikan.
Setidaknya, dari fenomena berebutan masuk ke sekolah-sekolah yang difavoritkan
itu, terlihat bahwa tuntutan masyarakat akan pendidikan dan sekolah semakin tinggi
di dunia yang kian kompetitif. Di tengah kesadaran dan tuntutan itu, pemerintah
diharapkan untuk berperan besar dalam meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan
secara lebih merata. Ketidakmerataan akses dan kualitas pendidikan (termasuk
sekolah), pada akhirnya memunculkan rasa ketidakadilan dan putus asa bagi
masyarakat. Apalagi, ketika sekolah masih dipandang masyarakat sebagai tangga
naik status sosial dan ekonomi.
Selain itu, dilihat dari kriteria-kriteria sekolah unggul di atas, setidaknya dapat dikaji
lagi sejauh mana sekolah-sekolah yang difavoritkan masyarakat dan menjadi rebutan
itu memang memenuhi kriteria sebagai sekolah unggul. Jangan-jangan masyarakat
hanya terpaku pada kabar dari mulut ke mulut terkait dengan persentase lulusan
sekolah itu yang tembus ke perguruan tinggi negeri favorit atau sekadar cap
"unggulan" yang melekat selama ini.