Post on 14-Feb-2015
description
APLIKASI TEKNOLOGI PENDIDIKAN DALAM
PEMERATAAN PENDIDIKAN
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Sejak dicanangnya Repelita (Rancana Penbangunan Lima Tahun) yang
dimulai tahun 1974-1999 pandidikan menjadi prioritas disamping ekonomi.
Target utama pembangunan pendidikan dimassa ini adalah pendidikan dasar
Sembilan tahun, dalam waktu 15 tahun terjadai perbaikan kualitas, akses dan
relepansi pendidikan yang mengarah penningkatan SDM Indonesia
Pada awal orde baru hingga awal pelita keVI sector pendidikan
mengalami perkembangan yang cukup baik secara kuantitatif strategi
pendidikan nasional yang dicanagkan pada akhir pelita ke II terdiri dari 4
butir yaitu:1. Peningkatan kualitas pendidikan, 2. Pemertataan Kesempatan
memperoleh Pendidiakan 3. Relevansi pendidikan dan 4. Efesiensi
pendidikan (Ali. M, 2009)
Dalam pemahaman teori Human Capital yang dipelopori oleh
Theodore W. Schultz (dalam Suharsaputra, 2007), manusia merupakan suatu
bentuk kapital sebagaimana bentuk kapital-kapital lainnya yang sangat
menentukan bagi pertumbuhan produktivitas suatu bangsa. Pendidikan
merupakan salah satu bentuk investasi Sumber Daya Manusia, dengan
pendidikan seseorang dapat memperluas pilihan-pilihan bagi kehidupannya
baik dalam profesi, pekerjaan, maupun dalam kegiatan-kegiatan lainnya guna
meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Selain pendekatan teori human capital ada dua pendekatan lain yaitu
teori fungsionalisme dan teori empirisme. Teori fungsionalisme yang
dipelopori oleh Burton Clark (dalam Suharsaputra, 2007), menekankan pada
preservation of human resources atau pemeliharaan sumber daya manusia,
dimana dalam upaya tersebut perhatian pada perubahan teknologi sangat
menonjol sehingga diperlukan pengembangan sistem pendidikan dan
pemilihan program-program pendidikan disamping perlunya upaya perluasan
pendidikan yang lebih merata dalam konteks interaksi antara lembaga
pendidikan dengan lembaga-lembaga lainnya dalam masyarakat termasuk
perkembangan teknologi yang terjadi dengan cepat.
Sementara itu pendekatan teori empirisme (Suharsaputra, 2007)
menekankan pada perlunya diagnosis terhadap masalah pemerataan
pendidikan dengan mengkombinasikan antara metodologi dan substansi
(Methodological empiricism). Menurut pemahaman teori ini terjadinya
ketidakmerataan kesempatan pendidikan merupakan hasil dari perselisihan
antara kelas-kelas sosial yang berbeda kepentingan, kelas-kelas sosial yang
dianggap elit lebih suka mempertahankan status quo, sementara kelas-kelas
populis terus berjuang guna mendapatkan kesempatan memperoleh
pendidikan.
Dari ketiga pendekatan tersebut, terlihat adanya perbedaan orientasi
dalam melihat masalah pendidikan, namun satu hal yang cukup menonjol
adalah berkaitan dengan pentingnya pendidikan bagi kehidupan manusia
yang berimplikasi pada perlunya upaya pemerataan pendidikan baik itu
sebagai modal/investasi manusia, sebagai pemeliharaan terhadap sumber
daya manusia, maupun sebagai aktivitas yang dialami sehari-hari yang terus
menerus beninteraksi dengan lingkungan baik sosiologis, ekonomis, maupun
lingkungan teknologis. Semua implikasi ini memerlukan perhatian yang
sungguh-sungguh dari pembuat kebijakan guna menciptakan situasi yang
kondusif bagi warga masyarakat berpartisipasi lebih aktif dan
bertanggungjawab dalam dimensi pendidikan yang lebih luas.
Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan telah lama menjadi masalah yang mendapat
perhatian, terutama di negara-negara sedang berkembang. Hal ini tidak
terlepas dari makin tumbuhnya kesadaran bahwa pendidikan mempunyai
peran penting dalam pembangunan bangsa, seiring juga dengan
berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan education for
all.
Sejak tahun 1984, pemerintah Indonesia secara formal telah mengupayakan
pemerataan pendidikan Sekolah Dasar, dilanjutkan dengan wajib belajar
pendidikan sembilan tahun mulai tahun 1994. Upaya-upaya ini nampaknya
lebih mengacu pada perluasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan.
Pendidikakan kesetaraan juga mendapat perhatian dari pemerintah
yang disediakan bagi yang tidak berkesempatan mengikuti pendidikan
disekolah. Tercatat 3.663.114 orang mengikuti pendidikan keaksaraan hingga
tahun 2007. Sementara pendidikan anak usia dini (PAUD) juga meningkat
sehingga APK pada jenjang ini mencqapai 48 persen yakni 13.736.074 orang
siswa mengikuti pendidikan PAUD yang merupakan 48 persen jumlah anak
usia 2-6 tahun hingga akhir 2007 (Ali,2009:20)
Agaknya pelaksanaan wajib belajar negeri ini adalah slogan yang selalu
didengung-dengungkan. Padahal, dalam kenyataannya, pelaksanaan wajib
belajar dihalang-halangi, karena untuk masuk sekolah dasar pun kini harus
membayar mahal sehingga masyarakat miskin tidak mungkin dapat
membayarnya. Maka terjadilah hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi
apabila semua pihak, terutama guru dan kepala-kepala sekolah, menghayati
tujuan wajib belajar itu. Bagi masyarakat dan orangtua yang kaya, anaknya
akan dapat bersekolah di sekolah negeri, sedangkan yang miskin akan gagal
dan tidak bersekolah.
Untuk masuk ke sekolah swasta, masyarakat miskin tidak mungkin
mampu membayarnya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan
memperoleh kesempatan memperoleh pendidikan. Sungguh satu hal yang
ironis. Sebab, pada negara yang lebih 60 tahun usianya ini, banyak anak
bangsanya akan menjadi buta huruf karena dililit kemiskinan dan negeri ini
akan terpuruk karena kualitas sumber daya manusianya tidak mampu
bersaing dengan Negara–negara yang lain. (Ali,2009)
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka akan dilakukan
pembahasan tentang PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH untuk peningkatkan
pemahaman konsep.
B. Permasalahan
Pada makalah ini yang berjudul Aplikasi Teknologi Pendidikan
Dalam Pemerataan Pendidikan, terdapat sebuah permasalahan
yaitu :
1. Bagaimana aplikasi Teknologi Pendidikan dalam Pemerata
Pendidikan?
2. Bagaimana Peran dari PLS dalam membantu pemerataan
Pendidikan
C. Tujuan
Tujuan pada makalah ini adalah untuk mengetahui secara lebih
mendalam mengenai:
1. Aplikasi Teknologi Pendidikan dalam Pemeratan Pendidikan.
2. Peran dari PLS dalam membantu pemerataan Pendidikan
II. PEMBAHASAN
A. Pemerataan Kesempatan Belajar
Bagi bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan.
Sama dengan kebutuhan perumahan, sandang, dan pangan. Bahkan, ada bangsa
atau yang terkecil adalah keluarga, pendidikan merupakan kebutuhan utama.
Artinya, mereka mau mengurangi kualitas perumahan, pakaian, bahkan makanan,
demi melaksanakan pendidikan anak-anaknya. Seharusnya negara juga demikian.
Apabila suatu negara ingin cepat maju dan berhasil dalam pembangunan, prioritas
pembangunan negara itu adalah pendidikan. Jika perlu, sektor-sektor yang tidak
penting ditunda dulu dan dana dipusatkan pada pembangunan pendidikan.
Negara kita telah lebih dari 20 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan
Dasar 6 Tahun dan telah 10 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar
9 Tahun.
Maksud dan tujuan pelaksanaan wajib belajar adalah memberikan pelayanan
kepada anak bangsa untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau
oleh kemampuan masyarakat banyak. Apabila perlu, pendidikan dasar enam tahun
seharusnya dapat diberikan pelayanan secara gratis karena dalam pendidikan dasar
enam tahun atau sekolah dasar kebutuhan mendasar bagi warga negara mulai
diberikan. Di sekolah dasar inilah anak bangsa diberikan tiga kemampuan dasar,
yaitu baca, tulis, dan hitung, serta dasar berbagai pengetahuan lain. Setiap wajib
belajar pasti akan dimulai dari jenjang yang terendah, yaitu sekolah dasar.
Seperti diketahui, sebagian besar keadaan sosial ekonomi masyarakat kita
tergolong tidak mampu. Dengan kata lain, mereka masih dililit predikat miskin.
Mulai Inpres Nomor 10 Tahun 1971 tentang Pembangunan Sekolah Dasar
dan inpres- inpres selanjutnya, negeri ini telah berusaha memberikan pendidikan
murah untuk anak bangsanya. Puluhan ribu gedung sekolah dasar telah dibangun
dan puluhan ribu guru sekolah dasar diangkat agar pemerataan kesempatan belajar
untuk jenjang sekolah dasar dapat dilaksanakan dengan murah, dari kota sampai
ke desa-desa. Semua warga negara, kaya atau miskin, diberi kesempatan yang
sama untuk menikmati pendidikan dasar enam tahun yang biayanya dapat
dijangkau golongan miskin. Kejadian itu dapat dinikmati dalam jangka waktu
cukup lama, yaitu sejak dicetuskannya Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun
tahun 1984.
Agaknya pelaksanaan wajib belajar negeri ini adalah slogan yang selalu
didengung-dengungkan. Padahal, dalam kenyataannya, pelaksanaan wajib belajar
dihalang-halangi, karena untuk masuk sekolah dasar pun kini harus membayar
mahal sehingga masyarakat miskin tidak mungkin dapat membayarnya. Bagi
masyarakat dan orangtua yang kaya, anaknya akan dapat bersekolah di sekolah
negeri, sedangkan yang miskin akan gagal dan tidak bersekolah.
Untuk masuk ke sekolah swasta, masyarakat miskin tidak mungkin mampu
membayarnya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan memperoleh
kesempatan memperoleh pendidikan.
B. Pendidikan Luar Sekolah
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pasal 13, menyebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal,
informal dan nonformal. Namun demikian secara konseptual jalur informal
sesungguhnya bagian dari pendidikan nonformal, akan tetapi bisa saja terjadi
dijalur pendidikan formal.
Di Indonesia Pendidikan Luar Sekolah (PLS) memiliki sejarah yang
panjang dan sejalan dengan sejarah tersebut nama PLS berubah-ubah terus. Sejak
PLS dinamai Pendidikan masyarakat, kemudian berubah menjadi PLS dan
sekarang sesuai UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, pasal 13
dinamai Pendidikan Nonformal. Sesuai dengan fungsi PLS yaitu sebagai
substitusi, suplemen dan komplemen pendidikan sekolah, PLS mempunyai
cakupan garapan yang sangat luas. Di negara maju yang kualitas jalur sekolahnya
sudah baguspun peranan PLS masih tetap besar, Namun dalam kenyataannya PLS
belum dimanfaatkan sesuai dengan potensi dan kemampuannya yang cukup besar
sehingga kontribusinya juga belum optimal.
Jalur PLS merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui
kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan bersinambungan.
PLS yang dilaksanakan yaitu:
1. Kursus
2. Paket A Setara SD, B Setara SMP, C Setara SLTA
3. Keaksaraan Fungsional (KF) Buta Huruf
4. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Satuan PLS meliputi kursus/lembaga pendidikan keterampilan dan satuan
pendidikan yang sejenis. Secara umum, manfaat PLS (Prawiradilaga, 2007:225)
antara lain :
1. Mempercapat program wajib belajar pendidikan dasar
2. Memperluas dan menciptakan lapangan kerja
3. Terhadap jalur sekolah dapat menjadi suplemen, komplemen dan substitusi
(memberikan pendidikan yang tidak dapat dilakukan jalur sekolah)
4. Menyiapkan tenaga kerja yang terampil dan siap kerja
5. Membentuk manusia yang mandiri dan percaya diri
6. Mencegah urbanisasi
7. Memberantas buta huruf
Dari beberapa manfaat PLS tersebut dapat dikatakan tujuan dari PLS adalah
sebagai berikut :
1. Melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini mungkin
dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya.
2. Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan ketrampilan dan sikap
mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah
atau melanjutkan ke tingkat dan atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
3.Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur
pendidikan sekolah.
Jenis PLS terdiri atas:
1) pendidikan umum;
2) pendidikan keagamaan;
3) pendidikan jabatan kerja;
4) pendidikan kedinasan; dan
5) pendidikan kejuruan.
PLS dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, perorangan atau sekelompok
Warga Negara Indonesia atau badan hukum swasta yang berkedudukan di
Indonesia dan tunduk kepada hukum Indonesia. Lembaga internasional atau
badan/lembaga swasta asing di wilayah Republik Indonesia dapat
menyelenggarakan PLS dengan ketentuan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kursus PLS yang diselenggarakan masyarakat (Diklusemas) didaftarkan
pada Dinas Pendidikan Kecamatan dan mendapat izin penyelenggaraan dari
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
Seluruh program kursus Diklusemas dikelompokkan ke dalam sepuluh
rumpun pendidikan yaitu: kerumahtanggaan, kesehatan, keolahragaan, pertanian,
kesenian, kerajinan dan industri, teknik dan perambahan, jasa, bahasa dan khusus.
Di tengah krisis ekonomi seperti sekarang, kursus/lembaga pendidikan
keterampilan ini barangkali harus lebih dikedepankan. Kegiatan kursus bukan
hanya memberi harapan pada anak putus sekolah yang sulit mencari kerja tetapi
juga memberikan jalan bagi banyaknya jumlah lulusan SLTA yang tak
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi sehingga lembaga kursus selalu
mendapat tempat. Di tangan para pengelolanya, lembaga pendidikan ini bisa
bergerak cepat mengikuti irama perkembangan dan tuntutan yang terjadi di
masyarakat.
Begitu cepatnya antisipasi yang dilakukan para penyelenggara kursus atas
tuntutan masyarakat, sangat boleh jadi, lembaga pendidikan nonformal ini tidak
begitu berat terkena pukulan akibat krisis ekonomi. Menurut mereka, lulusan
SMTA yang akan memasuki perguruan tinggi perlu berpikir ulang, baik mengenai
biaya maupun lama waktu belajar yang harus ditempuh. Apalagi, setelah selesai
kuliah, para lulusan perguruan tinggi pun belum tentu mudah mendapatkan
pekerjaan.
Meski kursus masih dipandang sebelah mata, anak tiri dalam sistem
pendidikan di Indonesia itu kini telah tumbuh menjadi sebuah bidang usaha yang
nyaris tanpa batas. Tidak sedikit perguruan tinggi swasta bercikal bakal dari
kursus. Lembaga-lembaga kursus di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir
tumbuh sangat pesat dan berkembang menjadi industri mimpi yang menggiurkan.
Banyak warga masyarakat yang rela membayarkan uangnya beratus ribu atau
jutaan rupiah sekadar untuk mewujudkan impian. Bahwa kemudian mimpi indah
itu tidak terwujud, adalah kenyataan lain yang tidak pernah disesali.
Berdasarkan fungsinya, jenis-jenis lembaga kursus itu dapat
dikategorikan menjadi tiga yaitu:
1. Sejenis Bimbingan Tes/Belajar yang bertujuan meningkatkan kemampuan
belajar melalui pelajaran tambahan untuk bidang-bidang tertentu seperti IPA,
matematika, bahasa Inggris, dan lain-lain dengan sasaran untuk semua pelajar SD-
SMTA. Tapi ada yang khusus untuk pelajar pada tingkat tertentu saja, misalnya
kelas III SMTA yang akan mengikuti tes UMPTN.
2. Kursus-kursus Keterampilan yang bertujuan memberikan atau meningkatkan
keterampilan mengetik, kecantikan, bahasa asing, akuntansi, montir, menjahit,
sablon, babysitter, dan lain-lain. Sasaran lembaga ini mayoritas adalah para
lulusan SMP dan SMTA yang memerlukan sertifikat keterampilan untuk mencari
kerja.
3. Pengembangan Profesi, seperti kursus sekretaris atau humas perusahaan,
akuntan publik, kepribadian, dan lain-lainnya. Sasarannya tamatan SMTA sampai
perguruan tinggi, dari yang belum bekerja sampai yang sudah bekerja, namun
ingin meningkatkan profesionalismenya. Jenis ketiga ini lebih ke arah
pembentukan image dalam masyarakat, bukan hanya sekadar memberikan
keterampilan teknis saja. Karena itu dari segi waktu pelaksanaan kursus lebih
panjang (antara enam bulan sampai dua tahun).
D. Kontribusi Pendidikan Luar Sekolah dalam Pembangunan Pendidikan
Nasional/SDM
Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih
punya satu sikap yakni optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu
pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan nonformal atau
lebih dikenal dengan PLS.
Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari
rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya
kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan
anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi,
sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau bisa saja
disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan oleh factor
ekonomi
Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat
otonomi daerah adalah mengerakan program PLS tersebut, karena UU Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas
menyebutkan bahwa PLS akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka
mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut
bertanggungjawab kelangsungan PLS sebagai upaya untuk menuntaskan wajib
belajar 9 tahun.
Rencana Strategis untuk mendukung penyelenggaraan PLS menurut Isjoni
(2004) baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota adalah :
1. Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;
2. Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A
setara SD dan B setara SLTP;
3. Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional;
4. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan
(PKUP), Program Pendidikan Orang tua (Parenting);
5. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan
melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang,
beasiswa/kursus; dan
6. Memperkuat dan memandirikan Pendidikan Keterampilan Berbasis Masyarakat
(PKBM) yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah.
Selain itu menurut Isjoni (2004), dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas
dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada kebutuhan
pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab itu Program PLS
mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan
daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu
disusun Rencana strategis adalah :
1. Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS;
2. Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat
meningkatkan kualitas proses dan hasil;
3. Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard
kompetensi, standard kurikulum untuk kursus;
4. Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti Dudi,
asosiasi profesi, lembaga diklat; serta
5. Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat
dan pasar. Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen
pendidikan.
Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang
dilakukan adalah :
1. Meningkatkan peran serta masyarakat dan pemerintah daerah;
2. Pembinaan kelembagaan PLS;
3. Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat;
4. Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS;
5. Meningkatkan fasilitas di bidang PLS
Sasaran PLS lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan. Selanjutnya PLS harus mampu
membentuk SDM berdaya saing tinggi, dan sangat ditentukan oleh SDM muda
(dini), dan tepatlah PLS sebagai alternative di dalam peningkatan SDM ke depan.
PLS menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah sejalan dengan Pendidikan
Berbasis Masyarakat, penyelenggaraan PLS lebih memberdayakan masyarakat
sebagai perencana, pelaksanaan serta pengendali, Pemerintah daerah propinsi,
kabupaten dan kota secara terus menerus memberi perhatian terhadap PLS sebagai
upaya peningkatan SDM, dan PLS sebagai salah satu solusi terhadap permasalahan
masyarakat, terutama anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan pendidikan,
dan anak usia putus sekolah..
E. Model Pendidikan Luar Sekolah
Dalam beberapa tahun terakhir, homeschooling (HS) merebak di beberapa kota di
Indonesia. Tak hanya untuk kalangan berada, sekolah rumah itu juga bakal bisa
diterapkan terhadap keluarga tak mampu. Belum ada data pasti berapa jumlah anak
yang belajar atau bersekolah di rumah alias ber-homeschooling di Indonesia. Namun,
saat ini kian banyak orang tua yang berminat memberikan pembelajaran di rumah.
Apalagi HS sebagai salah satu pendidikan alternative sudah terakomodasi dalam
Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Sisdiknas pasal 27 ayat 1 Di sana disebutkan, “Kegiatan pendidikan
informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar
secara mandiri”. Ayat 2 menyebutkan, “Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud
ayat 1 diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik
lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan”. Melalui payung hukum itu,
mereka yang belajar di rumah sudah tak perlu was-was tentang legalitas sistem
pembelajaran mereka.
Namun demikian, citra homeschooling di masyarakat masih beragam. Sebagian
menganggap homeschooling mahal. Pasalnya, berbagai macam fasilitas harus
dipenuhi sendiri. Misalnya alat-alat laboratorium yang jamaknya disediakan sekolah.
Menanggapi hal itu, Daniel M. Rosyid, ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur dalam
artikel Pontianak Post Online (Andriayani, 2007), menegaskan bahwa siapa pun
dapat ber-homeschooling. Menurutnya, model pendidikan rumah itu justru hadir bagi
mereka yang tak mampu dalam hal finansial. Misalnya, keluarga miskin (gakin).
Sebab, anak-anak miskin tidak perlu mengeluarkan ongkos seragam sekolah, SPP,
maupun uang gedung. Dengan demikian, jatuhnya biaya lebih murah dibandingkan
pendidikan formal.
F. Peranan Teknologi Pendidikan dalam Pendidikan Luar Sekolah
1. Perlunya Perubahan Paradigma Pendidikan Luar Sekolah
Bagi negara maju dan negara berkembang, perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta sistem informasi yang begitu cepat mendorong berbagai aspek,
khususnya sistem pendidikan untuk mengubah visi, misi dan strateginya secara
revolusioner. Revolusi pendidikan berarti secara totalitas menjabarkan konsep
Teknologi Pendidikan (TP) dalam berbagai bentuk dan tingkatan implementasinya,
sehingga efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya yang ketersediannya
sangat terbatas dapat tercapai, dan pendidikan yang sesuai dengan kebituhan
masyarakat dapat disediakan.
2. Indikator yang menunjukan bahwa PLS merupakan sumber ekonomi
pendidikan, diantaranya :
1. Tingkat efisiensi dan efektifitas PLS sangat tinggi, karena hampir semua PLS
dirancang dan dilakukan berdasarkan kebutuhan masyarakat
2. Secara fungsional, kaitan PLS dengan pendidikan jalur sekolah adalah sebagai
substitusi, suplemen dan komplemen pendidikan sekolah.
3. Lulusan PLS baik yang berasal dari pengangguran, pegawai yang ingin
meningkatkan profesi dan keterampilannya menjadikan mereka dapat bekerja di
dalam negeri dan luar negeri
4. Siswa dari jalur sekolah yang kemampuan akademik dan keterampilan
kejuruannya belum memadai, setelah mengikuti kursus teretntu menjadi siswa yang
berprestasi
5. Para penyelenggara PLS dapat memperoleh keuntungan dan dapat
memperkerjakan cukup banyak pegawai untuk mengelola lembaga PLS , dan mereka
merupakan swadaya murni masyarakat tanpa bantuan pemerintah.
3. Masalah Penerapan Teknologi Pendidikan dalam Pendidikan Luar Sekolah
Media massa khususnya TV dan media cetak mestinya lebih banyak atau
dapat dimanfaatkan untuk program-program pendidikan, yang secara tidak langsung
merupakan penerapan TP dalam PLS.
Selain media massa, tutorial merupakan salah satu metode pembelajaran yang
sudah dilakukan sejak zaman dulu kala. Belajar pada jalur PLS lebih menekankan
pada peran belajar tutorial, kelompok dan mandiri sebagai satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dan secara konseptual sangat positif. Namun karena tutor bukan
seseorang yang secara khusus dididik sebagai tutor, tetapi guru yang merangkap
tutor, sehingga meraka memiliki keterbatasan dalam pemahaman dirinya sebagai
tutor.
Program Paket A setara SD dan Paket B setara SLTP dan paket A setara
SLTA juga semakin kehilangan pamornya, karena semakin sedikit warga masyarakat
yang tidak bersekolah di SD dan SLTP yang tertarik menjadi peserta belajar di kedua
program tersebut. Satu-satunya program PLS yang sangat dinamis dalam
perkembangan kebutuhan masyarakat, ilmu pengetahuan den teknologi ialah kursus-
kursus yang diselenggarakan masyarakat. Bahkan sekarang banyak lembaga kursus
yang berkerjasama dengan negara lain dan telah menyusun standar kompetansi
internasional, sehingga tamatannya diakui oleh negara tersebut dan dapat bekerja di
negara asing lainya.
III. Penutup
Kesimpulan
Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan telah lama menjadi masalah yang mendapat perhatian, terutama di
negara-negara sedang berkembang. Hal ini tidak terlepas dari makin tumbuhnya
kesadaran bahwa pendidikan mempunyai peran penting dalam pembangunan bangsa,
seiring juga dengan berkembangnya demokratisasi pendidikan dengan semboyan
education for all.
Pendidikan Luar Sekolah (PLS) yaitu sebagai substitusi, suplemen dan
komplemen pendidikan sekolah, PLS mempunyai cakupan garapan yang sangat luas.
Namun dalam kenyataannya PLS belum dimanfaatkan sesuai dengan potensi dan
kemampuannya yang cukup besar sehingga kontribusinya juga belum optimal.
Teknologi Pendidikan (TP) dalam berbagai bentuk dan tingkatan implementasinya,
sehingga efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya yang ketersediannya
sangat terbatas dapat tercapai, dan pendidikan yang sesuai dengan kebituhan
masyarakat dapat disediakan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali M, 2009. Pendidikan Untuk Pembangunan Nasional. Jakarta, Grasindo
Andriyani, Titik dan Anita Rachman. 2007. Model Pendidikan Luar Sekolah hasil
Pemikiran Asah Pena. Pontianak Post Online. (http://www.pontianakpost.com/
berita/index.asp?Berita=Edukasi&id=137047,).
Isjoni. 2004. Pendidikan Luar Sekolah. www.pendidikan.net. (http://re-
searchengines. com/isjoni13.html).
Miarso, Yusufhadi. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group.
PTS Online. 2007. Kursus: Pendidikan Luar Sekolah. (http://www.pts.co.id/
kursus.asp).
Seels, Barbara B dan Richey, Rita C. 1994. Teknologi Pembelajaran Definis dan
Kawasannya. Jakarta : Universitas Negeri Jakarta.
Suharsaputra, Uhar. 2007. Pemerataan Pendidikan. (http://tappkipmkng.wordpress.
com/2007/05/03/pemerataan-pendidikan). Surabaya, Usaha Nasional
Faisal Sanafiah,( ) Pendidikan Luar Sekolah