Post on 20-Jan-2016
ASSIGNMENT PRESENTATION
TEACHING & LEARNING
Diajukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan Mata Kuliah Keahlian
Program Doktor Ilmu Pendidikan Kedokteran dan Kesehatan
DISUSUN OLEH:
YANTI
NIM : 11/324172/SKU/00412
PROGRAM DOKTOR ILMU PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
TAHUN 2011
0
APLIKASI KONSTRUKTIVISME DENGAN PENDEKATAN “ACTIVE LEARNING”
DALAM PEMBELAJARAN ASUHAN KEBIDANAN PERSALINAN
A. PARADIGMA BELAJAR KONSTRUKTIVISME
1. Model Pembelajaran Konstruktivisme
Model pembelajaran merupakan suatu rencana mengajar yang memperhatikan pola
pembelajaran tertentu (Briggs, 1978:23) yang menjelaskan model adalah “seperangkat prosedur
dan berurutan untuk mewujudkan suatu proses”. Dengan demikian model pembelajaran adalah
seperangkat prosedur yang berurutan untuk melaksanakan proses pembelajaran.
Model Konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang
menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya
konflik kognitif. Konflik kognitif ini hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri (self-
regulation). Dan akhirnya proses belajar, pengetahuan akan dibangun sendiri oleh anak melalui
pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya (Bell, 1993:24, Driver & Leach,
1993:104 dalam Briggs, 1978).
Saat ini terdapat empat variasi Konstruktivisme dalam konstruksi pendidikan yaitu: 1)
Personal atau Individual, Social (emergent dan apprenticeship), Philosophical, dan
Aphiosophical (Margaret, 2009: 21).
Personal constructivism berasal dari gagasan Jean Piaget “cognitive-development theory”
yang terdiri dari tiga kerangka pemikiran, yaitu: 1) Belajar adalah proses internal yang muncul
dalam pikiran individu ; 2) Proses belajar terpenting adalah adanya konflik kognitif dan refleksi
yang muncul saat adanya tantangan pemikiran ; 3) Peran pendidik adalah mengembangkan model
pembelajaran yang adekuat untuk masing-masing cara peserta didik memandang gagasan,
merencanakan situasi belajar yang menantang cara berpikir mereka, serta membantu peserta didik
menguji hubungan cara mereka saat ini berpikir (Confrey, 1985 dalam Margaret, 2009:22).
Pada Social Constructivism, mengatakan berbeda dengan personal constructivism dalam
tiga hal, yaitu definisi pengetahuan, definisi belajar, serta lokasi belajar. Social Constructivism
memandang ruang kelas adalah sebuah komunitas yang bertugas mengembangkan pengetahuan,
dan juga memandang pengetahuan sebagai suatu yang tidak dapat dipisahkan dari aktifitas yang
memproduksinya (Bredo, 1994; Dewey & Bentley, 1949 dalam Margaret, 2009:22). Dalam
1
Social Constructivism juga mempertimbangkan pendekatannya sebagai sebuah alternatif untuk
belajar melalui menemukan (discovery) (Wood ed al, 1995 dalam Margaret, 2009:23).
Gaya belajar konstruktivist menguraikan suatu proses belajar dimana siswa bekerja secara
individu atau dalam kelompok-kelompok kecil untuk menjelajah, menyelidiki dan memecahkan
permasalahan nyata serta secara aktif terlibat dalam mencari pengetahuan dan informasi,
ketimbang sebagai penerima pasif. Dalam proses ini, siswa harus berperan aktif dan mandiri
dalam membangun arti baru dalam konteks pengetahuan dan pengalaman mereka. Siswa menjadi
sukses dalam membangun pengetahuan melalui pemecahan permasalahan yang bersifat realistis,
dan biasanya melibatkan kerja sama/kolaborasi dengan yang lain. Dalam pelaksanaannya, mereka
mendapatkan suatu pemahaman yang lebih dalam tentang suatu peristiwa dan dengan demikian
membangun pengetahuan dan solusi-solusi atas permasalahan mereka sendiri ( Duffy &Jonassen,
1991; Jonassen, 1994).
Dalam konstruktivisme ini, pengetahuan tidak diberikan tetapi sedang dibangun oleh
peserta didik melalui kegiatan mental. Peserta didik menyesuaikan diri dengan pengetahuan
melalui pembelajaran aktif dan eksplorasi. Peserta didik harus berpikir dan menjelaskan cara
penalarannya kepada guru bukan menghafal apa yang diajarkan oleh guru. Peserta didik adalah
pusat dari proses belajar dan pengetahuan dibentuk oleh kemampuannya untuk mengolah dan
menginterpretasikan informasi. Mengajar dengan demikian menjadi interdisipliner dan guru
hanya memainkan peran sebagai fasilitator. Dengan kata lain, mereka pencari-pencari informasi
dan pengetahuan mandiri.
Implikasi dari teori konstruktivisme untuk pendidik adalah bahwa ia harus
memperhitungkan bahwa peserta telah memiliki pengetahuan sebelumnya dan pengetahuan ini
mungkin digunakan dalam membangun makna. Belajar dari kesalahan dapat menjadi elemen
kunci dari kegiatan belajar konstruktivisme, karena kesalahan-kesalahan ini memberikan
kesempatan untuk belajar lebih lanjut dan merupakan bagian alami dari proses belajar (Proulx,
2006 dalam Collins, 2008).
Dalam konstruktivisme, penekanan belajar adalah pada siswa yang aktif, mencari
informasi dan pengetahuannya sendiri, menentukan bagaimana caranya mencapai hasil belajar
yang diinginkan dengan tidak bergantung pada para guru untuk menyediakan informasi bagi
mereka. Mereka belajar untuk memecahkan permasalahan dan bekerja secara kolaboratif dengan
teman sebaya mereka. Belajar berlangsung di suatu konteks penuh arti, nyata dalam lingkungan
2
sosial, suatu aktivitas kolaboratif, di mana teman sebaya memainkan satu peran yang penting di
dalam memberi harapan belajar. Dalam semangat ini, guru sudah tidak lagi merasa sebagai
tempat bersandar siswa, namun untuk memudahkan belajar, mengarahkan dan mendukung proses
siswa membangun pengetahuannya sendiri (Orlich, Harder, Callahan & Gibson, 1998).
2. Strategi Pembelajaran Konstruktivisme
Strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai sudut pandang kita terhadap proses
pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih
sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode
pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari strateginya, terdapat dua jenis strategi
pembelajaran, yaitu: (1) pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student
centered approach) dan (2) pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher
centered approach) (Newman dan Logan dalam Abin Syamsuddin Makmun, 2003).
Di dalam konstruktivisme fokus belajar adalah pada proses dibanding isi, belajar
'bagaimana caranya belajar' dibanding 'berapa banyak yang dipelajari'. Lingkungan ini
mendorong para siswa untuk mengembangkan pemikiran kritis, memecahkan masalah dan
ketrampilan-ketrampilan kelompok, dengan teknologi yang terintegrasi.
Salah satu karakteristik dari pembelajaran konstruktivisme adalah yang menggunakan
pendekatan belajar aktif (active learning strategy) dimana dituntut adanya keaktifan siswa dan
guru, sehingga tercipta suasana belajar aktif.
Beberapa kalangan berpendapat bahwa inti dari reformasi pendidikan saat ini justru
terletak pada perubahan paradigma pembelajaran dari model pembelajaran pasif ke model
pembelajaran aktif.
Active Learning: “Anything that involves students in doing things and thinking about the things they are doing”. Learners must reflect on what they are doing Active learning is learner-centric, new knowledge is constructed. Passive learning: Reading, watching, listening without engagement, doing, or reflection. Presumes knowledge is transferred (passively) (Bonwell & Elison, 1991 dalam Ben Graffam, 2007).
Pembelajaran aktif (active learning), merujuk pada pemikiran L. Dee Fink (Fink, 2003
dalam Ben Graffam, 2007) dalam sebuah tulisannya yang berjudul Active Learning, di bawah ini
diuraikan konsep dasar pembelajaran aktif. Menurut L. Dee Fink, pembelajaran aktif terdiri
dari dua komponen utama yaitu: 1) unsur pengalaman (experience), meliputi kegiatan
3
melakukan (doing) dan pengamatan (obeserving) ; 2) dialogue, meliputi dialog dengan diri
sendiri (self) dan dialog dengan orang lain (others) seperti tampak pada gambar 2 berikut.
Gambar 2: Komponen active learning menurut L. Dee Fink (2003)
a. Dialog dengan Diri (Dialogue with Self) :
Dialog dengan diri adalah bentuk belajar dimana para siswa melakukan berfikir
reflektif mengenai suatu topik. Mereka bertanya pada diri sendiri, apa yang sedang
atau harus dipikirkan, apa yang mereka rasakan dari topik yang dipelajarinya. Mereka
“memikirkan tentang pemikirannya sendiri, (thinking about my own thinking)”, dalam
cakupan pertanyaan yang lebih luas, dan tidak hanya berkaitan dengan aspek kognitif
semata.
b. Dialog dengan orang lain (Dialogue with Others) :
Dalam pembelajaran tradisional, ketika siswa membaca buku teks atau mendengarkan
ceramah, pada dasarnya mereka sedang berdialog dengan “mendengarkan” dari orang
lain (guru, penulis buku), tetapi sifatnya sangat terbatas karena didalamnya tidak
terjadi balikan dan pertukaran pemikiran. L. Dee Fink menyebutnya sebagai “partial
dialogue“
Bentuk lain dari dialog yang lebih dinamis adalah dengan membagi siswa ke dalam
kelompok-kelompok kecil (small group), dimana para siswa dapat berdiskusi
mengenai topik-topik pelajaran secara intensif.
4
c. Mengamati (Observing) :
Kegiatan ini terjadi dimana para siswa dapat melihat dan mendengarkan ketika orang
lain “melakukan sesuatu (doing something)”, terkait dengan apa yang sedang
dipelajarinya. Tindakan mengamati dapat dilakukan secara “langsung” atau “tidak
langsung”. Pengamatan langsung artinya siswa diajak mengamati kegiatan atau situasi
nyata secara langsung. Sedangkan pengamatan tidak langsung, siswa diajak melakukan
pengamatan terhadap situasi atau kegiatan melalui simulasi dari situasi nyata, studi
kasus atau diajak menonton film (video).
d. Melakukan (Doing):
Kegiatan ini menunjuk pada proses pembelajaran di mana siswa benar-benar
melakukan sesuatu secara nyata. Misalnya, membuat desain bendungan (bidang
teknik), mendesain atau melakukan eksperimen (bidang ilmu-ilmu alam dan sosial),
menyelidiki sumber-sumber sejarah lokal (sejarah), membuat presentasi lisan,
membuat cerpen dan puisi (bidang bahasa) dan sebagainya. Sama halnya dengan
mengamati (observing), kegiatan “melakukan” dapat dilaksanakan secara langsung
atau tidak langsung.
Untuk menciptakan suasana belajar aktif tidak lepas dari beberapa komponen yang
mendukungnya. Sukandi (2003: 9) menyebutkan bahwa komponen-komponen pendekatan
belajar aktif dalam proses belajar-mengajar terdiri dari:
a. Pengalaman
Sukandi (2003: 10) mengungkapkan bahwa “Pengalaman langsung mengaktifkan lebih
banyak indra dari pada hanya melalui mendengarkan”. Sedangkan Zuhairini (1993: 116)
menyebutkan bahwa “cara mendapatkan suatu pengalaman adalah dengan mempelajari,
mengalami dan melakukan sendiri”. Melalui membaca, siswa lebih menguasai materi
pelajaran yang mereka pelajari dari pada hanya mendengarkan penjelasan dari guru.
b. Interaksi
Belajar akan terjadi dan meningkat kualitasnya bila berlangsung dalam suasana diskusi
dengan orang lain, berdiskusi, saling bertanya dan mempertanyakan, dan atau saling
menjelaskan. Pada saat orang lain mempertanyakan pendapat kita atau apa yang kita
kerjakan, maka kita terpacu untuk berpikir menguraikan lebih jelas lagi sehingga kualitas
5
pendapat itu menjadi lebih baik. Diskusi, dialog dan tukar gagasan akan membantu anak
mengenal hubungan-hubungan baru tentang sesuatu dan membantu memiliki pemahaman
yang lebih baik. Anak perlu berbicara secara bebas dan tidak terbayang-bayangi dengan
rasa takut sekalipun dengan pernyataan yang menuntut (alasan/argumen). Argumen dapat
membantu mengoreksi pendapat asalkan didasarkan pada bukti. (Sukandi, 2003: 10)
c. Komunikasi
Pengungkapan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tulisan, merupakan
kebutuhan setiap manusia dalam rangka mengungkapkan dirinya untuk mencapai
kepuasan. Pengungkapan pikiran, baik dalam rangka mengemukakan gagasan sendiri
maupun menilai gagasan orang lain, akan memantapkan pemahaman seseorang tentang
apa yang sedang dipikirkan atau dipelajari. (Sukandi, 2003: 11)
d. Refleksi
Bila seseorang mengungkapkan gagasannya kepada orang lain dan mendapat tanggapan,
maka orang itu akan merenungkan kembali (merefleksi) gagasannya, kemudian
melakukan perbaikan, sehingga memiliki gagasan yang lebih mantap. Refleksi dapat
terjadi akibat adanya interaksi dan komunikasi. Umpan balik dari guru atau siswa lain
terhadap hasil kerja seorang siswa yang berupa pernyataan yang menantang (membuat
siswa berpikir) dapat merupakan pemicu bagi siswa untuk melakukan refleksi tentang
apa yang sedang dipikirkan atau dipelajari. (Sukandi, 2003: 11)
Agar suasana belajar aktif dapat tercipta secara maksimal, maka diantara beberapa
komponen diatas terdapat pendukungnya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sukandi
(2003: 12) antara lain:
1) Sikap dan perilaku guru
Sesuai dengan pengertian mengajar yaitu menciptakan suasana yang mengembangkan
inisiatif dan tanggung jawab belajar siswa, maka sikap dan perilaku guru antara lain:
terbuka, mau mendengarkan pendapat siswa, membuat siswa mendengarkan guru
atau siswa lain yang berbicara, menghargai perbedaan pendapat, mentolelir kesalahan
siswa dan mendorong untuk memperbaikinya, memberi umpan balik, tidak terlalu
cepat untuk membantu siswa, tidak pelit untuk memuji dan menghargai, serta
mendorong siswa untuk tidak takut salah dan berani menanggung resiko. (Sukandi,
2003: 12)
6
Ruang kelas yang menunjang belajar aktif, diantaranya yaitu: berisikan banyak
sumber belajar, seperti buku dan benda nyata, alat bantu belajar seperti media atau
alat peraga, hasil kerja siswa seperti laporan percobaan, dan alat hasil percobaan.
Letak bangku dan meja diatur sedemikian rupa sehingga siswa leluasa untuk
bergerak. (Sukandi, 2003: 14)
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat digambarkan sebuah ilustrasi sebagai berikut:
Bagan 1: Komponen-Komponen Strategi Belajar Aktif (Active Learning Strategy)
3. Prinsip-prinsip rancangan pembelajaran dalam konstruktivisme
Prinsip-prinsip desain instruksional dalam pembelajaran konstruktivisme meliputi:
a. Memusatkan seluruh aktifitas pembelajaran sebagai tugas yang besar atau
problem.
Bahwa belajar harus memiliki tujuan yang tak terbatas, atau merupakan sebuah tugas.
Tujuan dari beberapa aktifitas belajar seharusnya jelas bagi peserta didik. Aktifitas
pembelajaran secara mandiri menjadi isu penting dalam berbagai tipe, dimana peserta
didik merasa jelas dan menerima dengan baik kegiatan belajar tertentu yang
berhubungan dengan tugas yang lebih besar dan kompleks (Cognition an d
Technology Group at Vanderbilt (CTGV), 1992; Honebein, et.al, 1993).
7
Sikap
Guru
Ruang
Kelas
Pengalaman
Komunikasi
Refleksi
InteraksiBelajar Aktif Sikap
b. Mendukung siswa dalam pengembangan dirinya untuk keseluruhan problem atau
tugas.
Perencanaan pembelajaran secara khusus menentukan tujuan pembelajaran dan
mungkin juga mengikutsertakan peserta didik dalam sebuah perencanaan, diibaratkan
bahwa mereka akan mengerti dan mengkaitkan dengan nilai dari problem yang
relevan, antara lain dengan mengumpulkan masalah dari peserta didik dan
menggunakannya sebagai stimulus untuk aktifitas pembelajaran.
c. Merancang penugasan yang sebenarya (an authentic task).
Lingkungan pembelajaran yang sesungguhnya bukan berarti harus berada di tempat
yang secara fisik persis, dan juga bukan berarti bahwa harus dengan permasalahan
yang sama. Namun, peserta didik harus terlibat dalam aktifitas pembelajaran, dalam
lingkungan yang kita rancang untuk mereka (Honebein, et.al. 1993).
d. Merancang penugasan dan lingkungan pembelajaran untuk refleksi kompleksitas
lingkungan dimana peserta didik seharusnya mampu pada akhir pembelajaran.
Daripada menyederhanakan lingkungan bagi peserta didik, kita mencoba mendukung
mereka belajar dalam lingkungan yang kompleks. Sesuai dengan kedua teori
pemagangan (apprenticeship) (Collins, Brown, & Newman, 1989) dan teori
fleksibilitas (flexibility theories) (Spiro, et al. 1992) serta refleksi-refeksi dari konteks
yang penting dalam menentukan pengertian beberapa konsep atau prinsip khusus.
e. Memberi hak peserta didik atas proses yang digunakan dalam mengembangkan
sebuah solusi.
Peserta didik harus memiliki hak atas pembelajaran atau proses penyelesaian masalah
sendiri. Dengan demikian mereka dapat menentukan penyelesaian masalah dengan
baik atau menggunakan metode pemikiran kritis atau area khusus yang harus
dipelajari. Sebagai contoh, dalam kerangka kerja PBL, penugasan untuk membaca
disesuaikan dengan masalah. Dengan menyiapkan aktifitas yang spesifik, siswa
mendapatkan stimulus untuk penyelesaian masalah serta belajar secara mandiri (self
directed learning). Peran guru seharusnya memberikan tantangan bagi siswa untuk
berpikir dan bukan mengatur atau membuat aturan untuk berpikir.
8
f. Merancang lingkungan pembelajaran untuk mendukung dan menantang
pemikiran peserta didik.
Yang terpenting dalam hal ini adalah bahwa peran guru adalah lebih sebagai pelatih
dan fasilitator, bukan mengajari apa dan bagaimana berpikir, tetapi mengajari untuk
timbul rasa keingintahuan.
The teacher must not take over thinking for the learner by telling the learner what to do or how to think, but rather teaching should be done by inquiring at the "leading edge" of the protégé’s thinking (Fosnot, 1989). Peserta didik menggunakan sumber informasi (semua jenis media) dan bahan-bahan
pelajaran sebagai sumber informasi. Bahan pelajaran tidak dapat mengajari, tetapi
hanya mendukung keingingintahuan atau performance mereka. Dalam hal ini bukan
berarti tidak ada kebaikan dari sumber pembelajaran, namun hal itu hanya sebuah
alasan atas penggunaan media.
g. Mendorong pengujian gagasan-gagasan yang berlawanan dengan pandangan atau
konteks tertentu.
Pengetahuan secara sosial didiskusikan. Kualitas pemahaman yang mendalam hanya
dapat ditentukan dalam lingkungan sosial dimana kita bisa melihat ketika pemahaman
kita mampu mengakomodasi isu-isu serta pandangan-pandangan orang lain serta
melihat pandangan-pandangan tertentu yang dapat digunakan dalam memahami.
The importance of a learning community where ideas are discussed and understanding enriched is critical to the design of an effective learning environment. The use of collaborative learning groups as a part of the overall learning environment we have described provides one strategy for achieving this learning community (CTGV in press, Scardamalia et al, 1992, Cunningham, Duffy, & Knuth 1991).
h. Menyediakan kesempatan untuk mensupport refleksi pada isi serta proses
pembelajaran.
Tujuan penting dari pembelajaran adalah untuk mengembangkan ketrampilan-
ketrampilan self-regulation untuk menjadi mandiri. Guru seharusnya menjadi model
dalam berpikir reflektif melalui proses pembelajaran serta mendukung siswa dalam
refleksi pada strategi untuk belajar sebagaimana apa yang ia pelajari (Schon, 1987;
Clift, Houston, & Pugach 1990).
9
Munculnya teknologi multimedia sangat memungkinkan siswa untuk ikut terlibat dalam
proses pembelajaran mereka. Dengan teknologi multimedia, mereka dapat menciptakan
penggunaan multimedia yang merupakan bagian dari kebutuhan belajar mereka. Hal itu akan
membuat mereka secara aktif terlibat dalam proses belajar mereka, dan juga membantu
perkembangan pembelajaran kooperatif dan kolaboratif antar siswa, yang merupakan media
terbaik guna menyiapkan keterampilan mereka untuk situasi pekerjaan nyata (Roblyer &
Edwards, 2000).
Oleh karena itu, rancangan penggunaan multimedia menawarkan pengetahuan baru dalam
proses pembelajaran kepada perancang (guru) dan mendorong mereka untuk menyampaikan
informasi dan pengetahuan dalam sebuah cara inovasi baru (Agnew, Kellerman & Meyer, 1996).
Lingkungan pembelajaran berbasis konstruktivisme muncul untuk memberi keleluasaan
siswa agar menjadi mandiri, secara bebas terlibat dalam proses belajar mereka, juga untuk
mengembangkan keterampilan mereka dalam penyelesaian masalah, serta berlatih berfikir
kreatif, kritis dan analitis dalam pekerjaan mereka. Selaras dengan posisi konstruktivisme dalam
berbagai perspektif pada permasalahan nyata dapat dikembangkan multimedia, penggunaan
berbagai cara seperti audio, grafik, video pendukung, dimana siwa secara aktif terlibat dalam
penyelesaian permasalahan mereka sendiri (Cunningham, Duffy & Knuth, 1993). Dengan
demikian, dengan terlibat merancang multimedia, siswa tertantang untuk belajar lebih tentang
subyek materi pilihan mereka untuk mengembangkan kemampuan mereka dalam untuk
mengorganisir, menganalisis, serta mensintesis tugas-tugas mereka dalam seting kelompok.
Peran guru di kelas sebagai fasilitator dan konsultan bagi siswanya. Guru dan siswa
bertemu untuk mendiskusikan hasil karya siswa dan membahas berbagai isue atau beberapa hal
penting yang mungkin mereka temukan.
Pemakaian teknologi memainkan peran dalam menyediakan sumber daya yang cukup
untuk memastikan lingkungan belajar yang memadai. Model untuk menggambarkan hubungan
kompleks ini ditunjukkan di dalam Gambar 3.
10
Model Pembelajaran Konvensional
SiswaKuliah, misal dengan Slide Presentation
Guru
Mencip. Lingk. Bjr yg “Konstruktif”
Gambar 3: Hubungan antara guru, siswa dan teknologi multimedia dalam pembelajaran konvensional dan konstruktivisme.
Secara keseluruhan uraian dalam pembelajaran konstruktivisme yang diaplikasikan
melalui pendekatan active learning serta desain instruksionalnya dapat digambarkan sebagai
berikut:
B. STRATEGI PEMBELAJARAN DAN PRINSIP-PRINSIP INSTRUKSIONAL
DALAM PENGAJARAN ASUHAN KEBIDANAN PERSALINAN
Learning Objective :
11
Instructional Principles
Learning Strategis
Constructivism(Dewey, Bruner, Voygotsky)
SiswaGuru
Tek. Mutimedia
Penggunaan Multimedia dlm proses pembelajaran
Teknologi multimedia yg memungkinkan memediasi proses
pembelajaran
Model Multimedia yg mendukung pembelajaran
konstruktif
Siswa mjd aktif & mandiri belajar memainkan peran utama dlm proses
belajarnya
Guru menyediakan petunjuk2, fasilitas belajar, mengarahkan &
memfasilitasi siswa dalam membangun pengetahuannya
1. Active learning2. Experiential learning3. Problem-solving learning4. Case-based learning5. Social interaction6. Learner-centered learning 1. Situated learning
2. Role playing3. Cooperative learning4. Collaborative learning5. Problem-based learning6. Creativity learning
1. Learning from interactive with artificial real environment
2. Learning from problem-solving to promote creatively
3. Motivating learners’ learning4. Virtual reality as a scaffolding
tool for leaners to learnBagan 2: Aplikasi konstruktivisme dalam pembelajaran
Mahasiswa mampu mendemontrasikan asuhan kebidanan pada ibu bersalin
dengan 58 langkah APN (Asuhan Persalinan Normal)
Strategi Pembelajaran:
Active learning dengan berbagai metode antara lain menerapkan konsep VAK
(Visualization, Auditory, Kinestetic), AIR (Auditory, Intellectualy, Repetition) melalui
melihat video, demonstrasi, simulasi, dan role play.
Instructionals design:
1. Dosen memutarkan video tentang langkah-langkah pertolongan persalinan (58
langkah APN).
Catatan:
Saat ini dosen dan mahasiswa melihat dengan seksama video yang diputar. Selanjutnya
dosen menjelaskan beberapa ‘key point’ yang tampak dengan memutar ulang per
bagian video.
Prinsip:
Mahasiswa didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep yang
akan dibahas, dengan memancing dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan
problematik tentang fenomena persalinan yang sering ditemui sehari-hari dengan
mengkaitkan konsep yang akan dibahas. Mahasiswa diberi kesempatan untuk
mengkomunikasikan, mengilustrasikan pemahamannya tentang konsep itu.
2. Dosen mendemontrasikan langkah-langkah pertolongan persalinan (58 langkah APN)
dengan phantom dibantu seorang simulated patient.
Catatan:
saat ini mahasiswa mengamati dan mencatat beberapa hal yang dirasa merupakan ‘key
point’ yang harus diperhatikan selama melakukan tindakan.
Prinsip:
Selain mengamati peragaan yang ditampilkan dosen, mahasiswa juga diajak untuk
mendengarkan dan melihat dari orang lain, yaitu menyaksikan penampilan
bagaimana cara kerja seorang bidan profesional ketika sedang menolong persalinan,
mahasiswa diajak untuk mengamati fenomena-fenomena lain, terkait dengan topik
yang sedang dipelajari, yaitu sebuah proses persalinan.
3. Siswa diminta untuk mengulang (mendemontrasikan), dosen bersama siswa yang lain
mengamati sambil memberi masukan.
Catatan:
12
Dalam memberikan masukan dosen perlu hati-hati dimana harus mempertimbangkan
untuk tidak menyurutkan semangat belajar mahasiswa (constructed suggestion).
4. Untuk selanjutnya masing-masing siswa diminta mengulang ketrampilan tersebut
secara mandiri (Role Play dengan temannya sebagai simulated patient), dengan
divideo dan dievaluasi sendiri sampai dirasa sudah seperti video APN yang dijadikan
acuan.
Catatan:
Selama siswa belajar mandiri tetap diberi kesempatan untuk berkonsultasi kepada
dosen bila ada beberapa hal yang kurang dimengerti atau muncul pengalaman baru
yang butuh penjelasan dosen.
Prinsip:
Mahasiswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep melalui
pengumpulan, pengorganisasian, dan penginterpretasian data dalam suatu kegiatan
yang telah dirancang dosen. Secara keseluruhan, tahap ini akan memenuhi rasa
keingintahuan siswa tentang fenomena persalinan (secara kelompok maupun
individu).
5. Hasilnya (masing-masing video dari masing-masing siswa) kemudian ditunjukkan
kepada dosen untuk memastikan apakah tujuan pembelajaran yang diharapkan yaitu
apakah siswa sudah mampu mendemonstrasikan langkah-langkah pertolongan
persalinan (58 langkah APN) pada ibu bersalin sudah tercapai atau belum.
6. Dosen menyampaikan feedback kepada mahasiswa mengenai pencapaian ketrampilan
masing-masing mahasiswa secara positif untuk meyakinkan mahasiswa bahwa ia
sudah mampu atau masih perlu belajar lagi.
Prinsip:
Mahasiswa dapat memberikan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil kerjanya
ditambah dengan penguatan dosen, sehingga ia membangun pemahaman baru tentang
konsep yang sedang dipelajari. Hal ini menjadikan mahasiswa tidak ragu-ragu lagi
tentang konsepnya.
DAFTAR PUSTAKA
13
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya Remaja.
Agnew, P. W., Kellerman, A. S., and Meyer, J. (1996). Multimedia in the Classroom. Allyn and Bacon, Boston.
Ben Graffam. (2007). Active learning in medical education: Strategies for beginning implementation. Medical Teacher, (29): 38-42.
Briggs, Lisslie, (1978). Instructional Design, New Jersey : Ed.Techn Pub. P.23. (http://www.google.com/books?id=aOcWFqPw4JQC&lpg=PR5&ots=bPtg6_mLNt&dq=Briggs%2C%20Leslie%2C%20(1978).%20Instructional%20Design&lr&hl=id&pg=PP1#v=onepage&q&f=false)
Bruner, J. S. (1985). Models of the learner. Educational Researcher, 14(6), 5-8.
Collins, A., Brown, J.S., & Newman, S.E. (1989). Cognitive Apprenticeship: Teaching the crafts of reading, writing and mathematics. In L.B. Resnick (Ed.), Knowing, learning and instruction: Essays in honor of Robert Glaser, Hillsdale NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Cunningham, D.J., Duffy, T.M. & Knuth, R. (1993). The textbook of the future. In C. McKnight, A. Dillion & J. Richardson (Eds), Hypertext: A Psychological Perspective. Ellis Harwood.
Dewey, J. (1896). The reflex arc concept of psychology. Psychology Review, 3, 357-370.
Dewey, J. (1983). The influence of the high school upon educational methods [Reprinted from School Review, January 1896 issue]. American Journal of Education, 91, 406-418.
Duffy, T. M. and Jonassen, D. H. (1991). Constructivism: New implications for instruction technology. Educational Technology, May, pp. 7-12. (http://www.google.com/books?id=7Uv8NHvKK44C&lpg=PA1&ots=XOcB1yYdlA&dq=Duffy%2C%20T.%20M.%20and%20Jonassen%2C%20D.%20H.%20(1991).%20Constructivism%3A%20New%20implications%20for%20instruction%20technology&lr&hl=id&pg=PA1#v=onepage&q&f=false).
14
Duffy, T.M. & Jonassen, D. (Eds.), (1992).Constructivism and the technology of instruction: A conversation. Hillsdale NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Fosnot, C.T. (1989). Enquiring Teachers Enquiring Learners. A Constructivist Approach to Teaching. New York: Teacher’s College Press.
Honebein, P., Duffy, T.M., & Fishman, B. (1993). Constructivism and the design of learning environments: Context and authentic activities for learning. In Thomas M. Duffy, Joost Lowyck, and David Jonassen (Eds.), Designing environments for constructivist learning. Heidelberg: Springer-Verlag.
Jonassen, D. H., Peck, K. L. and Wilson, B. G. (1999). Learning with Technology: A Constructivist Perspective. Merrill/Prentice Hall, New Jersey.
Margaret E. Gredler. (2009). Learning and Instruction. Theory into Practice. 6th ed. New Jersey: Pearson. P. 19-31
Orlich, D. C., Harder, R. J., Callahan, R.C. and Gibson, H.W. (1998). Teaching Strategies: A Guide To Better Instruction. Houghton Mifflin Co., New York. (http://www.google.com/books?id=aKuEYJdGyTIC&lpg=PR3&ots=JRkNiDdUhj&dq=orlich%20teaching%20strategies%20a%20guide%20to%20better%20instruction&lr&hl=id&pg=PP1#v=onepage&q&f=false).
Proulx, J. (2006). Constructivism: A re-equilibration and clarification of the concepts, and some potential implications for teaching and pedagogy. Radical Pedagogy, 8(1). Retrieved September 25, 2008, from http://radicalpedagogy.icaap.org/content/issue8_1/proulx.html.
Roblyer, M.D. and Edwards, J. (2000). Integrating Educational Technology into Teaching (2nd Edition). Merrill/Prentice-Hall, New Jersey.
Schon, D.A. (1987). Educating the Reflective Practitioner. San Francisco: Jossey-Bass Limited.
Sharon R. Collins, B. (2008). Enhanced Student Learning Through Applied Constructivist Theory. Transformative Dialogues:Teaching & Learning Journal. Volume 2, Issue 2 (November 2008).
Spiro, R.J., Feltovich, P.L., Jacobson, M.J., & Coulson, R.L. (1992). Cognitive flexibility, constructivism, and hypertext: Random access for advanced knowledge acquisition in illstructured domains. In T.M. Duffy & D. Jonassen
15
(Eds.), Constructivism and the technology of instruction: A conversation. Hillsdale NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Sukandi, dkk. (2003). Belajar Aktif & Terpadu. Duta Graha,Surabaya.
Thomas M. Duffy, Joost Lowyck, and David Jonassen (Eds.), Designing environments for constructivist learning. Heidelberg: Springer-Verlag.
Zuhairini, dkk, 1993. Metodologi Pendidikan Agama, Rahmadhani, Solo.
16