Post on 14-Feb-2015
ANEMIA NUTRISIONAL PADA ANAK
BAB I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terkait dengan
peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas, terutama pada wanita hamil dan
anak-anak. Anemia merupakan penyakit yang disebabkan oleh banyak etiologi.
Anemia dapat disebabkan karena defisiensi gizi (vitamin dan mineral) dan infeksi
yang sering terjadi. (1)
Asia Tenggara memiliki jumlah terbesar penderita anemia, termasuk anak-
anak. Enam puluh persen perempuan, 36% laki-laki dan 66% dari anak-anak di
wilayah Asia Tenggara mengalami anemia. Hal ini memberikan kontribusi
kematian dan cacat yang besar yaitu 324.000 kematian dan 12.500.000 cacat.
(indian jurnal). Data WHO tahun 2005 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk
regional yang masih memiliki masalah anemia pada anak yang parah di dunia. (2)
Dampak anemia pada anak menyebabkan anak pucat, lemah, kurang nafsu
makan. Komplikasi ringan antara lain kelainan kuku, atrofi papil lidah, dan
stomatitis. Komplikasi yang berat seperti penurunan daya tahan tubuh terhadap
penyakit, gangguan pada pertumbuhan sel tubuh dan sel otak, penurunan fungsi
kognitif, anak apatis, mudah tersinggung, cengeng, rendahnya kemampuan fisik,
gangguan motorik dan koordinasi, pengaruh psikologis dan prilaku, penurunan
prestasi belajar, rendahnya kemampuan intelektualitas yang dapat menyebabkan
dampak secara luas yaitu menurunkan kualitas sumber daya manusia. (3)
Oleh karena dampak anemia sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan
dan perkembangan anak, penulis ingin membahas anemia nutrisional pada anak
yang ditugaskan sebagai syarat ujian akhir di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah
Sakit Prof. Dr. Margono Soekarjo.(manampiring)
B, Tujuan
C. Manfaat Penulisan
BAB II. Tinjauan Pustaka
A. Definisi Anemia Nutrisional
Anemia nutrisional adalah kondisi dimana konsentrasi hemoglobin darah turun
ketingkat abnormal, karena kekurangan dalam satu atau beberapa nutrisi
(mikronutrien) yang terlibat dalam sintesis hemoglobin. Mikronutrien yang terlibat
dalam sintesis hemoglobin adalah besi, asam folat dan vitamin B12
(Cyanocobalamine).(2)
B. Interaksi antara Fe dan Vitamin A, Riboflavin, dan Copper Sebagai Etiologi
Anemia Nutrisional
Sampai saat ini diperkirakan bahwa sekitar separuh dari semua kasus anemia
karena kekurangan zat besi dan sisanya disebabkan oleh penyebab defisiensi nutrisi
lainnya, penyakit infeksi, dan hemoglobinopati. Prevalensi anemia sangat tinggi di
negara-negara berkembang di mana kekurangan mikronutrien merupakan hal
tersering. Kekurangan salah satu zat gizi mikro mungkin akan mempengaruhi
absorbsi, metabolisme dan atau ekskresi mikronutrien lain. Hal yang terpenting
dalam anemia nutrisional adalah interaksi antara kekurangan zat besi dan empat
mikronutrien lainnya yaitu vitamin A, B2 (riboflavin), dan tembaga (copper). (4)
Anemia dapat terjadi pada defisiensi vitamin A walaupun saat ini tidak dikenal
istilah anemia defisiensi vitamin A. Hubungan antara kekurangan vitamin A dan
anemia telah diakui beberapa tahun, bahwa status vitamin A yang baik dalam tubuh
dapat meningkatkan hemoglobin dan mengurangi kejadian anemia. Mekanisme
terjadinya anemia diduga karena ada peran vitamin A dalam mobilisasi dan
transport zat besi, serta hematopoesis. Vitamin A berberan dalam proliferasi sel
progenetor eritrosit, potensiasi imunitas dan penurunan anemia karena infeksi,
mobilisasi zat besi dari jaringan. Penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa
pada populasi yang mengalami defisiensi vitamin A juga mempunyai prevalensi
anemia yang tinggi. Uji klinis tentang manfaat suplementasi vitamin A pada anak
dengan anemia menunjukkan peningkatan kadar hemoglobin, hematokrit, saturasi
transferin dan zat besi serum, namun tidak mempunyai efek terhadap kadar feritin.
Perbaikan parameter anemia tidak terjadi apabila suplementasi vitamin A
dilakukan terhadap populasi dengan angka defisiensi vitamin A rendah. (4)(5)
Defisiensi riboflavin diketahui dapat mengganggu eritropoesis dan
berhubungan dengan terjadinya anemia. Namun, namun mekanisme defisiensi
riboflavin terhadap anemia belum jelas. Banyak studi yang memiliki perbedaan
pendapat tentang hubungan riboflavin memiliki hubungan terhadap terjadinya
anemia. Salah satu penyebab perbedaan tersebut adalah variabel riboflavin masih
dapat dikacaukan dengan etiologi pada variabel multifaktorial anemia. Kekurangan
riboflavin umumnya terjadi didaerah dengan intake produk susu dan daging yang
rendah. (4)
Selain itu kekurangan tembaga juga diketahui dapat mengganggu penyerapan
zat besi dalam usus. Namun, beberapa studi mengatakan defisiensi tembaga jarang
terjadi pada populasi umum. Selain itu defisiensi tembaga merupakan bukan
penyebab langsung terjadi anemia. (4)
C. Anemia Defisiensi Fe
Zat besi terdapat disetiap sel tubuh manusia dan mempunyai berbagai fungsi
vital yang penting, sebagai pembawa oksigen dari paru ke jaringan-jaringan tubuh
dalam bentuk hemoglobin (Hb), sebagai fasilitator dalam penggunaan serta
cadangan oksigen otot dalam bentuk myoglobin, sebagai media transport elektron
didalam sel dalam bentuk cytochromes serta merupakan bagian in tegral dari
berbagai enzim dalam jaringan. Kekurangan besi akan menyebabkan terganggunya
berbagai fungsi vital tersebut serta dapat menimbulkan berbagai penyakit dan
kematian. (6)
Sebagian besar besi yang fungsional (lebih dari 80%) terdapat dalam eritrosit
sebagai Hb, sedangkan sisanya sebagai myoglobin dan enzim pernapasan
intraselular (cytochrome). Besi disimpan dalam tubuh terutama dalam bentuk
feritin, namun sebagian dalam bentuk hemosiderin. Besi ditransport dalam darah
oleh protein dalam bentuk transferin. Jumlah besi keseluruhan dalam tubuh
ditentukan oleh asupan besi, hilangnya besi, serta cadangan dalam tubuh. (6)
Pengaturan keseimbangan besi dalam tubuh terutama melalui sistem
gastrointestinal, melalui pengaturan absorbsi. Jika mekanisme ini berjalan normal,
maka besi yang fungsional dapat dipertahankan, demikian pula dengan cadangan
besinya. Kapasitas absorbsi besi dari tubuh tergantung dari makanan yang
dikonsumsi, jumlah dan jenis besi yang dikandung didalamnya, serta adanya
interaksi dengan berbagai bahan makanan yang dapat mempercepat dan
menghambat absorbsi besi, serta kecepatan pembuatan eritrosit. (6)
Penyebab kekurangan zat besi pada anak dan bayi adalah akibat kebutuhan
yang meningkat karena cepatnya pertumbuhan yang tidak diikuti dengan asupan
yang cukup. Kurangnya zat besi pada anak menyebabkan gangguan tumbuh
kembang anak, serta berbagai penyimpangan perilaku (penurunan kemampuan
motorik, integrasi sosial, serta kemampuan untuk berkonsentrasi) yang pada
akhirnya akan dapat menurunkan kualitasnya. Kondisi defisiensi zat besi ini
sekaligus dapat merupakan kondisi rawan keracunan timbal (Pb), karena pada
kondisi ini dapat meningkatkan absorbsi timbal. (6)
Kebutuhan zat besi pada bayi dan anak
Pembentukan sel darah merah dan dekstruksinya merupakan proses sirkulasi
zat besi di dalam tubuh. Kurang lebih 70% kebutuhan zat besi bayi diambil dari
pemecahan sel darah merah, 30% diambul dari intake makanan. Selama 3-4 bulan
pertama kehidupan, bayi hanya memerlukan sedikit zat besi dari luar oleh karena
mereka masih menggunakan kembali hemoglobin fetus. Setelah bayi berumur 6
bulan, membutuhkan makanan dengan sumber zat besi oleh karena adanya
pertumbuhan cepat dan mengurangnya simpanan zat besi di tubuh bayi.
Dibandingkan dengan bayi normal, bayi dengan berat badan lahir rendah
mempunyai simpanan zat besi awal rendah, mempunyai kecepatan pertumbuhan
yang lebih tinggi dan kemungkinan juga kehilangan darah lebih banyak oleh
karena pengambilan darah yang dilakukan pada tubuh bayi. Sehingga pada umur 2-
3 bulan, simpanan zat besinya sudah mulai berkurang. (6)
Pada usia 4 bulan cadangan zat besi bayi dapat berkurang sampai separuhnya,
pada saat itu pemberian besi diperlukan untuk mempertahankan Hb selama
pertumbuhan cepat antara 4-12 bulan. Absorbsi besi dari makanan dibutuhkan 0,8
mg per hari, 0,6 mg dibutuhkan untuk pertumbuhan dan 0,2 mg untuk
menggantikan yang hilang. Kebutuhan zat besi pada usia 4-6 bulan adakah 4,3
mg/hari dan pada umur 7-12 bulan adalah 7,8 mg/hari. Anak berumur 1-3 tahun
membutuhkan zat besi sebanyak 7 mg/hari. (6)
Absorbsi besi
Proses absorbsi besi dalam usus sangat kompleks, karena dikendalikan oleh 4
regulator yaitu dietary regulator (jenis diet dengan bioavailibiltas besi yang tinggi
dan adanya faktor en-hancer akan meningkatkan absorbsi besi), stores regulator
(besarnya cadangan besi dapat mengatur tinggi rendahnya absorbsi besi),
erythropoetic regulator (besarnya absorbsi besi berhubungan dengan kecepatan
eritropoesis) dan hepsidin yang diperkirakan berperan sebagai soluble regulator
absorbsi besi di usus. (6)(7)
Pada metabolisme besi normal, absorbsi besi di usus memegang peranan
sangat penting. Absorbsi terbanyak terjadi di proksimal duodenum karena pH asam
lambung dan kepadatan protein tertentu yang diperlukan pada proses absorbsi besi
di epitel usus. Proses absorbsi besi dibagi 3 fase: (7)
1. Fase luminal, dimana besi dalam makanan dilepaskan ikatannya karena
pengaruh asam lambung dan direduksi dari bentuk nferi menjadi fero yang siap
diserap di duodenum. Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu
besi heme dan besi non-heme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan,
tingkat bioavaibilitasnya tinggi. Besi non-heme berasal dari sumber nabati,
tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. (7)(8)
2. Fase mukosal, merupakan suatu proses aktif yang sangat kompleks dan
terkendali. Besi heme dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam
lambung. Pada brush border dari sel absorptif (terletak pada puncak vili usus,
disebut sebagai apical cell), besi feri direduksi menjadi besi fero oleh enzim
ferireduktase, mungkin dimediasi oleh protein duodenal cytochrome b-like
(DCYTB). Transpor melalui membran difasilitasi oleh divalent metal
transporter (DMT 1). (7)
Gambar 1. Mekanisme absorbsi Fe di Intestinal (9)
Setelah besi masuk ke sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk
feritin, sebagian dikeluarkan ke katableter usus melalui basolateral transporter
(feroportin/FPN). Pada proses ini terjadi oksidasi dari fero menjadi feri oleh
enzim ferooksidase (antara lain oleh hephaestin), kemudian feri diikat oleh
apotransferin dalam katableter usus. Terdapat fenomena mucosal block, dimana
setelah beberapa hari dilakukan bolus besi dalam diet, maka eritrosit resisten
terhadap absorbsi besi berikutnya. Hambatan ini mungkin timbul karena
akumulasi besi dalam enterosit sehingga menyebabkan set-pont diatur seolah-
olah kebutuhan besi sudah berlebihan. (9)
Gambar 2. Transportasi Fe dalam epitel intestinal (8)
3. Fase korporeal, zat besi sudah diserap enterosit dan melewati bagian basal
epitel usus, memasuki katableter usus lalu dalam darah diikat oleh
apotransferin menjadi transferin. Transferin ini akan melepaskan besi pada
sel retikuloendothelial system (RES) melalui proses pinositosis. Satu molekul
transferin dapat mengikat maksimal dua molekul besi. Kompleks besi
transferin ini (Fe2-Tf) nantinya akan diikat oleh reseptor transferin
(transferrin receptor=Tfr) yang terdapat pada permukaan sel membentuk
kompleks Fe2-Tf-Tfr, yang akan membentuk endosom. Suatu pompa proton
akan menurunkan pH endosom, sehingga melepaskan ikatan besi dari
transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan
bantuan divalent metal transporter 1 (DMT 1), sedangkan ikatan
apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke
permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali. (8)
Gambar 3. Gambar siklus transferin dalam sitoplasma sel (8)
Hepsidin merupakan sebuah hormon peptida yang dihasilkan di dalam
hati dan mengatur penyerapan zat besi dalam tubuh. hepsidin mencegah tubuh
menyerap lebih banyak zat besi dari yang diperlukan baik yang berasal dari
makanan atau siplemen dan menahan pengambilan zat besi dari sel.
Keseimbangan zat besi dalam tubuh diatur oleh interaksi antara feroportin,
sehingga mengurangi pengeluaran zat besi dari sel. Kelebihan hepsidin dalam
darah dapat menyebabkan anemia, sementara defisiensi hormon ini
menyebabkan pembentukan zat besi berlebihan yang akan merusak organ dalam
tubuh. (7)
Ketika konsentrasi hepsidin rendah, zat besi selular dilepaskan ke
dalam plasma menembus membran dan bergabung dengan ferroportin (FPN).
Ketika konsentrasi hepsidin tinggi, hepsidin berikatan dengan ferroportin, dan
ferroportin masuk dan didegradasi oleh hepsidin. Sebagai konsekuensi dari
hilangnya ferroportin, eksport zat besi selular berkurang dan besi terakumulasi
dalam feritin sitoplasma makrofag dan hepatosit. (7)
Eritropoesis yang aktif menghambat hepsidin (membiarkan zat besi
diabsorbsi/dikeluarkan untuk sintesis hemoglobin). Kadar hepsidin juga dapat
meningkat akibat peningkatan sitokin peradangan terutama IL-6 sehingga
mengakibatkan ketersediaan zat besi selama proses peradangan berkurang
karena tidak dikeluarkan dari cadangan besi makrofag dan hepatosit. (7)
Merabolisme zat besi
Metabolisme besi diawali dengan fagositosis eritrosit oleh makrofag
dan pemecahan di fagosom, kemudian besi dikeluarkan melalui feroportin
dengan bantuan seruloplasmin ferooksidase (yang berperan homolog seperti
hephaestin di enterosit). Siklus besi dalam tubuh terjadi suatu closed circuit
dimana peredaran jumlah besi tubuh sangat efisien, hasil absorbsi besi di usus
bergabung dengan besi yang dimobilisasi dari makrofag sumsum tulang untuk
keperluan eritropoesis. (7) (10)
Besi yang berada dalam sitoplasma sebagian disimpan dalam bentuk
feritin dan sebagian masuk ke mitokondria dan bersama-sama dengan
protoporfirin untuk membentuk heme. Protoporfirin adalah suatu tetrapirol
dimana keempat cincin pirol ini diikat oleh 4 gugusan metan hingga terbentuk
suatu rantai protoporfirin. Empat dari enam posisi ordinal fero menjadi
chelating kepada protoporfirin oleh enzim heme sintetase ferocelatase.
Sehingga terbentuk heme, yaitu suatu kompleks persenyawaan protoporfirin
yang mengandung satu atom besi fero ditengahnya (11)
Hasil eritropoesis yang inefektif dan besi pada eritrosit yang telah
mengalami penuaan, akan dikembalikan lagi kepada makrofag dengan jumlah
yang sama dengan keperluan eritropoesis tersebut. sehingga hasil akhir
mekanisme ini adalah keseimbangan jumlah besi tubuh. Proses penggantian sel
darah merah yang lama dengan sel-sel darah merah yang baru disebut turn over.
Setiap hari turn over zat besi ini berjumlah 35 mg, tetapi tidak semuanya harus
didapatkan dari makanan. Sebagian besar, yaitu sebanyak 34 mg didapat dari
penghancuran sel-sel darah merah yang tua, yang kemudian disaring oleh tubuh
untuk dapat dipergunakan kembali oleh sumsum tulang untuk pembentukan sel-
sel darah merah yang baru. Hanya 1-2 mg zat besi dari penghancuran sel-sel
darah merah yang tua yang dikeluarkan oleh tubuh melalui kulit, saluran
pencernaan dan air kencing. Jumlah zat besi yang hilang melalui jalur ini
disebut sebagai kehilangan basal (iron basal losses). (7)(10)
Perubahan metabolisme zat besi pada bayi dan anak
Janin telah mengumpulkan zat besi secara teratur antara 1,6-2,0 mg/kg/hari
sampai trimester ketiga. Pada saat itu jumlah besi berkisar 75 mg/kg. Zat besi
berada dalam bentuk hemoglobinm besi jaringan, maupun besi cadangan. (6)
Sesudah lahir terjadi 3 tahap perubahan metabolisme besi dan kecepatan
eritropoetik: (6)
1. Tahap I, dimulai sejak lahir sampai umur 6-8 minggu, ditandai dengan
penurunan kadar Hb sampai 11 g/dl. Penurunan ini terjadi akibat berkurangnya
eritropoesis sebagai reaksi terhadap peningkatan aliran oksigen ke jaringan pada
masa postnatal dan akibat umur sel darah merah janin yang pendek, yang hanya
dua pertiga umur sel darah merah orang dewasa.
2. Tahap II, dimulai pada umur 2 bulan, ditandai dengan peningkatan Hb dari 11
g/dl sampai 12,5 g/dl. Pada tahap ini eritropoesis meningkat dan cadangan zat
besi mulai dipergunakan sebagai reaksi penurunan aliran oksigen ke jaringan.
Kadar eritropoetin darah, jumlah retikulosit dan prekusor eritroid dalam
sumsum tulang meningkat.
3. Tahap III, ditandai dengan peningkatan kebutuhan zat besi dari sumber
makanan karena cadangan zat besi mulai berkurang (deplesi). Pada bayi lahir
cukup bulan jarang terjadi deplesi cadangan zat besi ataupun anemia defisiensi
besi sebelum umur 4 bulan dan lebih-lebih bila makanan yang mengandung zat
besi serta makanan padat lainnya diberikan pada umur 4-6 bulan.
Definisi
Anemia defisiensi besi adalah sebagai keadaan defisiensi besi yang menyebabkan
turunnya kadar hemoglobin didalam darah rendah daripada nilai normal sesuai
dengan ketentuan umur dan jenis kelamin.(2)
Tabel 1. Hemoglobin normal pada kelompok anak (12)
Kelompok Umur Hemoglobin
Anak 6 bulan s/d 5 tahun
5 tahun s/d 11 tahun
12 tahun s/d 13 tahun
11
11,5
12.0
Mekanisme anemia
Zat besi diperlukan untuk hemopoesis (pembentukan darah) dan juga
diperlukan oleh berbagai enzim sebagai faktor penggiat. Zat besi yang terdapat
dalam enzim juga diperlukan untuk mengangkut elektron (sitokrom), untk
mengangtifkan oksigen (oksidase dan oksigenase). Defisiensi zat besi tidak
menunjukkan gejala yang khas (asimtomatik) sehingga anemia pada anak sukar
dideteksi. (10)
Anemia defisiensi besi dimulai dengan menipisnya simpanan zat besi (feritin)
dan bertambahnya absorbsi zat besi yang digambarkan dengan meningkatnya
kapasitas pengikat besi.pada tahap yang lebih lanjut berupa habisnya simpanan zat
besi, berkurangnya kejenuhan transferin, berkurangnya jumlah protoporpirin yang
diubah menjadi heme, dan akan diikuti dengan menurunnya kadar feritin serum.
Akhirnya terjadi anemia dengan cirinya yang khas yaitu rendahnya kadar
hemoglobin darah. (10)
Bila sebagian dari feritin jaringan meninggalkan sel akan mengakibatkan
konsentrasi feritin serum rendah. Kadar feritin serum dapat menggambarkan
keadaan simpanan zat besi dalam jaringan. Kadar feritin serum yang rendah akan
menunjukkan anak dalam keadaan anemia defisiensi besi bila kadar feritin serumnya
<12 ng/ml. Hal yang perlu diperhatikan adalah nila kadar feritin serum normal tidak
selalu menunjukkan status besi dalam keadaan normal, karena status besi yang
berkurang lebih dahulu baru diikuti dengan kadar feritin. (10)
Penyebab anemia defisiensi besi pada balita dan anak
Penyebab anemia gizi pada bayi dan anak yaitu: (10)
a. Pengadaan zat besi yang tidak cukup
1. Cadangan zat besi waktu lahir tidak cukup
a. Berat lahir rendah, lahir kurang bulan, lahir kembar
b. Ibu waktu mengandung menderita anemia defisiensi besi yang berat
c. Pada masa fetus kehilangan darah pada saat atau sebelum persalinan seperti
adanya sirkulasi fetus ibu dan perdarahan retroplasenta.
2. asupan zat besi kurang cukup
b. Absorbsi kurang
1. diare menahun
2. sindrom malabsorbsi
3. kelainan saluran pencernaan
c. Kebutuhan akan zat besi meningkat untuk pertumbuhan, terutama pada lahir
kurang bulan dan pada saat akil balik.
d. Kehilangan darah
1. perdarahan yang bersifat kronis, misalnya pada poliposis rektum, divertikel
Meckel
2. infeksi cacing
Gejala dan tanda anemia defisiensi besi
Rasa lemah, letih, hilang nafsu makan, menurunnya daya konsentrasi dan sakit
kepala atau pening adalah gejala awal anemia. Pada kasus yang lebih parah, sesak
nafas disertai gejala jantung berdebar-debar dapat terjadi. Pada pemeriksaan fisik
hanya ditemukan pucat tanpa tanda-tanda perdarahan (petekie, ekimosis, atau
hematoma) maupun hepatomegali. (10)
Diagnosis
Diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan
dengan gejala klinis yang sering tidak khas pada anak. Diagnosis pasti ditegakkan
melalui pemeriksaan kadar besi atau feritin serum yang rendah dan pewarnaan besi
jaringan sumsum tulang. Kriteria diagnosis anemia defisiensi besi menurut WHO
adalah (1) kadar hemoglobin kurang dari normal sesuai usia, (2) konsentrasi
hemoglobin eritrosit rata-rata <31% (nilai normal: 32-35%), (3) kadar fe serum <50
μg/dL (nilai normal:80-180 μg/dL), dan (4) saturasi transferin <15% (nilai
normal:20%-25%). (13)
Cara lain untuk menentukan anemia defisiensi besi dapat juga dilakukan uji
percobaan pemberian preparat besi. Bila dengan pemberian preparat besi dosis 3-6
mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar hemoglobin 1-2 g/dL
maka dapat dipastikan bahwa anak menderita anemia defisiensi besi. (13)
Penatalaksanaan anemia defisiensi besi
Bila diagnosis defisiensi besi sudah ditegakkan, pengobatan harus segera
dimulai untuk mencegah berlanjutnya keadaan ini. Pengobatan terdiri atas
pemberian preparat besi secara oral berupa garam fero (sulfat, glukonat, fumarat dan
lain-lain), pengobatan ini tergolong murah dan mudah dibandingkan dengan cara
lain. Pada bayi dan anak, terapi besi elemental diberikan dengan dosis 3-6
mg/kgBB/hari dibagi dalam dua dosis, 30 menit sebelum sarapan pagi dan makan
malam; penyerapan akan lebih sempurna jika diberikan sewaktu perut kosong. (13)
Penyerapan akan lebih sempurna lagi bila diberikan bersama asam askorbat
atau asam suksinat. Bila diberikan setelah makan atau sewaktu makan, penyerapan
akan berkurang hingga 40-50%. Namun mengingat efek samping pengobatan besi
secara oral berupa mual, rasa tidak nyaman di ulu hati, dan konstipasi, maka untuk
mengurangi efek samping tersebut preparat besi diberikan segera setelah makan.
Penggunaan secara intramuskular atau intravena berupa besi dextran dapat
dipertimbangkan jika respon pengobatan oral tidak berjalan baik misalnya karena
keadaan pasien tidak dapat menerima secara oral, kehilangan besi terlalu cepat yang
tidak dapat dikompensasi dengan pemberian oral, atau gangguan saluran cerna
misalnya malabsorpsi. Cara pemberian parenteral jarang digunakan karena dapat
memberikan efek samping berupa demam, mual, ultikaria, hipotensi, nyeri kepala,
lemas, artralgia, bronkospasme sampai reaksi anafilatik. Respon pengobatan mula-
mula tampak pada perbaikan besi intraselular dalam waktu 12-24 jam. Hiperplasi
seri eritropoitik dalam sumsum tulang terjadi dalam waktu 36-48 jam yang ditandai
oleh retikulositosis di darah tepi dalam waktu 48-72 jam, yang mencapai puncak
dalam 5-7 hari. Dalam 4-30 hari setelah pengobatan didapatkan peningkatan kadar
hemoglobin dan cadangan besi terpenuhi 1-3 bulan setelah pengobatan. Untuk
menghindari adanya kelebihan besi maka jangka waktu terapi tidak boleh lebih dari
5 bulan. (13)
Transfusi darah hanya diberikan sebagai pengobatan tambahan bagi pasien
ADB dengan Hb 6 g/dl atau kurang karena pada kadar Hb tersebut risiko untuk
terjadinya gagal jantung besar dan dapat terjadi gangguan fisiologis. Transfusi darah
diindikasikan pula pada kasus ADB yang disertai infeksi berat, dehidrasi berat atau
akan menjalani operasi besar/narkose. Pada keadaan ADB yang disertai dengan
gangguan/kelainan organ yang berfungsi dalam mekanisme kompensasi terhadap
anemia yaitu jantung (penyakit arteria koronaria atau penyakit jantung hipertensif)
dan atau paru (gangguan ventilasi dan difusi gas antara alveoli dan kapiler paru),
maka perlu diberikan transfusi darah. Komponen darah berupa suspensi eritrosit
(PRC) diberikan secara bertahap dengan tetesan lambat. (13)
D. Anemia Defisiensi Vitamin B12
Metabolisme
Kobalamin dilepaskan dari protein makanan di lambung melalui pencernaan
lambung pada pH yang rendah. Kemudian mengikat R Protein yang merupakan
sebuah glycoprotein yang ditemukan dalam lambung dan air liur. Ketika kompleks
B12 dan R protein masuk ke duodenum, ikatan R protein dicerna oleh protease
pankreas dan B12 bebaskan dari ikatan R protein. Kemudian B12 diambil oleh
faktor instrinsik (IF) yang merupakan protein yang dihasilkan oleh sel parietal
lambung. Kompleks kobalamin-IF kemudian diserap oleh sel-sel mukosa ileum,
dimana kemudain kobalamin dakhirnya dilepaskan. Kemudian kobalamin
berikatan dengan protein transpor transkobalamin (TC)-II yang kemudian masuk
dalam sirkulasi portal setelah 3-5 jam dan disimpan didalam hati, sumsum tulang
dan jaringan. TC-II memasuki sel dengan mediasi reseptor endositosis, dan
kobalamin dikonversi menjadi bentuk aktif (Methylcobalamin dan
adenosylcobalamin) yang penting dalam transfer kelompok metil dan sintesis
DNA. Plasma juga memiliki 2 protein trasnpor kobalamin lainnya yaitu TC-1 dan
TC-III. Berbeda dengan TC-II dan TC-III, TC-I tidak berperan sebagai protein
transpor kobalamin. Namun, kedua protein transpor kobalamin tersebut
mencerminkan cadangan vitamin B12 dalam plasma karena hampir semua
kobalamin plasma berikatan dengan TC-I dan TC-III. (14)
Laboratorium
Manifestasi hematologi dari defisiensi folat dan kobalamin adalah identik. Anemia
akibat defisiensi kobalamin adalah makrositik, dengan yang paling menonjol
macro-ovalocytosisdari sel darah merah. Neutrofil mungkin menjadi besar dan
hipersegmentasi. Dalam kasus lanjut, neutropenia dan trombositopenia dapat
terjadi, menyerupai anemia aplastik atau leukemia. Kadar serum vitamin B12
rendah, dan konsentrasi serum asam methylmalonic dan homosistein biasanya
meningkat. Konsentrasi besi serum dan asam folat serum normal atau meningkat.
Kadar bilirubin serum meningkat sedang (2-3 mg/dL) juga dapat ditemukan.
Ekskresi berlebihan asam methylmalonic dalam urin (normal, 0-3,5 mg/24 jam)
merupakan indeks yang handal dan sensitif dari kekurangan vitamin B12. (14)
Etiologi
Kekurangan vitamin B12 dapat disebabkan oleh asupan makanan yang tidak
memadai dari kobalamin, kekurangan faktor instrinsik, gangguan penyerapan usus
dari IF-CBL, atau tidak adanya protein transpor vitamin B12. (14)
Asupan makanan yang tidak memadai dari kobalamin
Kebutuhan harian kobalamin untuk anak-anak berkisar antara 0,4-2,4 µg. Karena
vitamin B12 terdapat dalam banyak makanan, kekurangan kobalamin dari makanan
jarang terjadi. Namun, kurang asupan tersebut dapat terjadi dalam kasus
pembatasan yang ekstrim (misalnya, vegetarian yang ketat) dimana tidak ada
produk hewan atau vitamin B12 yang dikonsumsi. Pada anak-anak, anemia
megaloblastik dapat muncul dalam 1 tahun kehidupan ketika disusui oleh ibu
vegetarian ketat. (14)
Kekurangan faktor instrinsik
Defisiensi kongenital faktor instrinsik dalah gangguan autosomal resesif yang
jarang terjadi. Hal ini tidak berhubungan dengan antibodi sel parietal atau kelainan
endokrin. Gejala menjadi menonjol pada usia dini (6-24 bulan), konsisten dengan
jabisnya cadangan vitamin B12 yang diperoleh dalam kandungan ibu. Sebagai
anemia menjadi parah, kelemahan, iritabilitas, anoreksi, dan kelesuan terjadi. Lidah
halus, merah dan sakit. manifestasi neurologis termasuk ataksia, parestesia,
hiporefleksia, respon babinski dan klonus. Operasi lambung juga dapat
menyebabkan kekurangan faktor instrinsik, dan anak-anak yang menerima obat
yang mengganggu sekresi asam lambung juga berisiko. Insufisiensi pankreas dapat
menyebabkan gangguan pembentukan kompleks faktor instrinsik yang juga dapat
menyebabkan defisiensi kobalamin. (14)
Gangguan absorbsi
Pasien dengan penyakit inflamasi seperti enteritis regional, enterocolitis
necroticans neonatal, atau penyakit celiac mungkin memiliki gangguan penyerapan
vitamin B12. Pertumbuhan berlebihan dari bakteri usus dalam divertikula atau
duplikasi dari usus kecil juga dapat menyebabkan kekurangan vitamin B12 oleh
konsumsi (persaingan) vitamin atau pemisahan kompleks kobalamin dengan faktor
instrinsik. Dalam kasus ini, respon hematologi dapat mengikuti terapi antibiotik
yang tepat. Di daerah endemik cacing pita ikan (Diphyllobothrium latum)
berkoloni dalam usus halus, dapat mengganggu absorbsi B12. Pada kasus infeksi
cacing ini, anemia megaloblastik terjadi dengan kadar serum vitamin B12 rendah,
faktor instrinsik yang normal, dan hasil tes Schilling yang abnormal tidak dapat
dikoreksi dengan penambahan eksogen faktor instrinsik. (14)
Tidak adanya protein transpor vitamin B12
Defisiensi TC-II merupakan penyebab yang jarang dari anemia megaloblastik.
Peran TC-II terhadap transportasi B12 mirip dengan transferin (Tf) untuk besi,
reseptor khusus untuk TC-II dan Tf ada di sel yang membutuhkan vitamin B12 dan
besi. Defisiensi kongenital diwariskan sebagai kondisi autosomal resesif
mengakibatkan kegagalan untuk menyerap dan mengangkut B12. Kebanyakan
pasien kekurangan TC-II, tetapi beberapa memiliki bentk fungsional yang rusak.
Kadar serum vitamin B12 pada defisiensi TC-II ditemukan normal karena
penyimpanan kobalamin oleh TC-I dan TCIII. Gangguan ini biasanya
bermanifestasi pada minggu-mingu pertama kehidupan. Secara karakteristik, ada
gagal tumbuh, diare, anemia megaloblastik, glositis, dan kelainan neurologis.
Diagnosis gangguan ini disarankan oleh adanya anemia megaloblastik berat dengan
vitamin B12 dan folat normal dan tidak ada bukti dari setiap kesalahan
metabolisme lainnya. (14)
Manifestasi klinis
Anak-anak dengan defisiensi vitamin B12 sering dengan manifestasi nonspesifik
seperti lemah, kelelahan, gagal tumbuh, dan lekas marah. Temuan umum lainnya
termasuk pucat, glositis, muntah, diare, dan ikterus. Gejala neurologis juga dapat
terjadi seperti parestesia, defisit sensorik, hipotonia, kejang, keterlambatan
perkembangan, regresi perkembangan, dan perubahan neuropsikiatri. Masalah
neurologis dari kekurangan B12 dapat terjadi tanpa adanya kelainan hematologi.
(14)
Diagnosis
Penyebab spesifik dari kekurangan vitamin B12 sering terlihat dari klinisnya.
Dalam kasus dimana ada penjelasan yang masuk akal untuk penurunan penyerapan
vitamin B12 (lambung atau ileum sebelumnya dioperasi), mungkin masuk akal
untuk memulai terapi yang tepat tanpa evaluasi lebih lanjut. Pada anak-anak yang
sangat muda di antaranya insufisiensi diet dapat menjadi faktor, evaluasi ibu untuk
anemia dan serum vitamin B12 sering bermanfaat. Jika tidak ada penyebab yang
jelas untuk penurunan serum vitamin B12, penyerapan vitamin B12 dapat dinilai
dengan tes Schilling. Meskipun tes ini dianggap sebagai standar emas untuk
pengujian penyerapan vitamin B12, tes Schilling kurang banyak tersedia. Ketika
orang normal makan sejumlah kecil vitamin B12 sampai telah dimasukkan cobalt-
57, vitamin radioaktif menggabungkan dengan IF pada sekresi lambung dan lolos
ke ileum terminal, di mana penyeraman terjadi. Karena vitamin diserap terikat untk
TCII dan dimasukkan kedalam jaringan, biasanya sedikit atau tidak ada yang
diekskresikan dama urin. Jika dosis besar (1mg) vitamin B12 dari nonradioactive
disuntikkan secara parenteral setelah 2 jam (flushing dose), sekitar 10-30% vitamin
radioaktif yang diserap sebelumnya diekskresi dalam urin 24 jam. (14)
Untuk mengkonfirmasi bahwa tidak adanya IF adalah sebagai dasar dari
malabsorbsi vitamin B12, jika diberikan dengan dosis kedua vitamin B12
radioaktif. Jumlah normal vitamin radioaktif sekarang harus diserap dan diekskresi
dalam urin. Namun, ketika hasil malabsorbsi vitamin B12 dari tidak adanya
reseptor vitamin B12 di ileum atau penyebab usu lainnya, tidak akan ada perbaikan
dalam penyerapan yang terjadi dengan IF. Hasil uji Schilling tetap normal pada
pasien dengan anemia pernisiosa. (14)
Pengobatan
Rejimen pengobatan pada anak-anak belum diteliti dengan baik. Penyebab
kekurangan vitamin B12 pada akhirnya harus menentukan dosis pengobatan serta
durasi terapi. Dosis penyesuaian harus dilakukan sebagai respon terhadap status
klinis dan nilai-nilai laboratorium. Kebutuhan fisiologis untuk vitamin B12 adalah
sekitar 1-3 µg/hari. Respon hematologi telah diamati dengan dosis kecil,
menunjukkan bahwa pemberian dosis kecil yang dapat digunakan sebagai uji
terapeutik bila diagnosis defisiensi vitamin B12 diragukan atau dalam keadaan
dimana anemia berat, dan dosis awal yang lebih tinggi mungkin mengakibatkan
gangguan metabolisme yang parah. (14)
E. Anemia Defisiensi Asam Folat
Asam folat adalah salah satu vitamin, termasuk dalam kelompok vitamin B,
merupakan salah satu unsur penting dalam sintesis DNA (deoxyribo nucleic acid).
Unsur ini diperlukan sebagai koenzim dalam sintesis pirimidin. Kebutuhan
meningkat pada saat terjadi peningkatan pembentukan sel seperti pada kehamilan,
keganasan dan bayi prematur. Anemia megaloblastik merupakan manifestasi paling
khas untuk defisiensi asam folat, walaupun ternyata defisiensi asam folat dapat
menyebabkan kelainan-kelainan yang berat mengenai jaringan non hemopoetik.
Kelainan ini bahkan sudah bermanifestasi sebagai kelainan kongenital yaitu neural
tube defect (NTD). Defisiensi asam folat juga mengakibatkan peningkatan
homosistenin plasma (hiperhomosisteinemia) yang dianggap sebagai salah satu
faktor risiko penyakit kardiovaskular berupa aterosklerosis. (15)
Molekul asam folat terdiri dari tiga gugus yaitu pteridin, suatu cincin
yang mengandung atom nitrogen, cincin psoriasis aminobenzoicacid
(PABA) dan asam glutamat. Tubuh manusia tidak dapat mensintesis
struktur folat, sehingga membutuhkan asupan dari makanan. Walaupun
banyak bahan makanan yang mengandung folat, tetapi karena sifatnya
termolabil dan larut dalam air, sering kali folat dari bahan-bahan
makanan tersebut rusak karena proses memasak. (15)
Sumber dan kebutuhan asam folat
Folat tersebar luas pada berbagai tumbuh-tumbuhan dan jaringan
hewan, terutama sebagai poliglutamat dalam bentuk metil atau formil
tereduksi. Sumber-sumber yang paling kaya akan asam folat adalah
ragi, hati, ginjal, sayur-sayuran berwarna hijau, kembang kol, brokoli;
dalam jumlah yang cukup terdapat dalam makanan yang terbuat dari
susu, daging dan ikan, dan sedikit dalam buah-buahan. Pemanasan
dapat merusak 50-90% folat yang terdapat dalam makanan. Asupan
sebanyak 3,1 mg/kgbb/hari dapat memenuhi angka kecukupan gizi
yang dianjurkan di Indonesia. (15)
Metabolisme asam folat
Sebagian besar asam folat dari makanan masuk dalam bentuk
poliglutamat. Absorpsi terjadi sepanjang usus halus, terutama di
duodenum dan jejunum proksimal dan 50-80% di antaranya dibawa ke
hati dan sumsum tulang. Folat diekskresi melalui empedu dan urin. Di
mukosa usus halus, poliglutamat dari makanan akan dihidrolisis oleh
enzim pteroil poliglutamathidrolase menjadi monoglutamat yang
kemudian mengalami reduksi/metilasi sempurna menjadi 5 metil
tetrahidrofolat (5-metil THF). Metil THF masuk ke dalam sel dan
mengalami demetilasi dan konjugasi. Dengan bantuan enzim metil
transferase, 5-metil THF akan melepaskan gugus metilnya menjadi
tetrahidrofolat (THF). Metilkobalamin akan memberikan gugus metil
tersebut kepada homosistein untuk membentuk asam amino metionin.
(15)(16)
Definisi
Anemia defisiensi asam folat (anemia megaloblastik) adalah Anemia
megaloblastik adalah suatu keadaan yang ditandai oleh adanya
perubahan abnormal dalam pembentukan sel darah, sebagai akibat
adanya ketidaksesuaian antara pematangan inti dan sitoplasma pada
seluruh sel seri myeloid dan eritorid. Anemia megaloblastik merupakan
manifestasi yang paling khas untuk defisiensi folat. (15)
Mekanisme
Mekanisme biokimiawi yang mendasari terjadinya perubahan
megaloblastik adalah terganggunya konversi dump menjadi dTMP.
Dalam keadaan normal dump dikonversi menjadi dTMP dengan adanya
enzim timidilat sintetase yang membutuhkan koenzim folat. Pada
defisiensi folat dump diubah menjadi dUTP melebihi kapasitas kerja
enzim dUTP dalam sel melalui konversi kembali menjadi dump,
akibatnya terjadi penumpukan dUTP di dalam sel, sehingga terjadi
kelambatan dalam sintesis DNA. (15)
Gejala klinis
Tanda anemia megaloblastik berupa glositis (lidah pucat dan licin),
stomatitis angularis, diare/konstipasi, anoreksia, ikterus ringan,
sterilitas, neuropati perifer bilateral, pigmentasi melalui pada kulit. (15)
Laboratorium
Hasil laboratorium dari anemia defisiensi asam folat adalah anemia
makrositik (mean corpuscular volume > 100fL). Variasi dalam RBC dan
ukuran yang umum. Jumlah retikulosit rendah, dan sel darah merah
bernukleus menunjukkan morfologi megaloblastik sering terlihat dalam
darah. Neutropenia dan trombositopenia jarang mungkin ada, terutama
pada pasien dengan defisiensi folat yang lama. Neutrofil besar dengan
beberapa hipersegmentasi inti. Kadar asam folat normal adalah 5-20
ng/mL. Dikatakan defisiensi asalm folat dengan kadar <3 ng/mL. Kadar
zat besi dan vitamin B12 dalam serum biasanya normal atau
meningkat. Apusan sumsum tulang didapatkan hipersellular karena
eritroid hiperplasia, dan perubahan megaloblastik yang menonjol. (17)
Diagnosis
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisis, diagnosis ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan folat serum dan folat eritrosit. Cara
pengukuran folat plasma dan eritrosit terbaru ialah dengan
menggunakan cara microbiological assay atau competitive binding
technique.20 Kadar asam folat serum normal sekitar 9-45 nm (3-16
mg/ml). Defisiensi asam folat ditegakkan bila kadar asam folat serum
kurang dari 3 mg/ml dan asam folat eritrosit kurang dari 100 mg/ml.
(17)
Diagnosis banding
Di samping asam folat, untuk pematangan akhir sel darah merah
diperlukan vitamin B12; 4,20 oleh karena itu anemia megaloblastik dapat
pula disebabkan oleh defisiensi vitamin B12. Seperti halnya defisiensi
asam folat, defisiensi vitamin B12 dapat mengakibatkan terjadinya
kerusakan jaringan non hemopoletik yaitu pada sistem saraf yang
memberikan gejala dan tanda neurologis seperti parestesia ekstremitas,
penurunan refleks tendon dalam dan pada stadium lanjut dapat terjadi
penurunan ingatan dan penurunan fungsi penglihatan.
Pengobatan dan pencegahan
Penggunaan terapi asam folat dalam klinik terbatas pada pencegahan
dan pengobatan defisiensi vitamin. Penggunaan asam folat secara
efektif tergantung pada keakuratan diagnosis dan pemahaman
mengenai mekanisme terjadinya penyakit. (15)
Prinsip-prinsip umum yang perlu diperhatikan: pemberian asam
folat profilaksis harus dengan indikasi yang jelas, pada setiap pasien
dengan defisiensi asam folat, harus dicari penyebabnya dengan teliti,
sebaiknya merupakan terapi yang spesifik, dan folat tidak dapat
memperbaiki kelainan neurologis, yang disebabkan oleh defisiensi
vitamin B12. (15)
Folat tersedia sebagai asam folat dalam bentuk tablet 0,1, 0,4, 10,
20 dan dalam bentuk injeksi asam folat 5 mg/cc. Selain itu terdapat
pula dalam berbagai sediaan multivitamin dan mineral. Pengobatan
pasien dengan anemia megaloblastik akut berupa asam folat 1-5 mg
intra muskular dan dilanjutkan dengan maintenance 1-2 mg/hari oral
selama 1-2 minggu. Pemberian asam folat secara oral dengan dosis 0,5-
1 mg sehari pada pasien anemia megaloblastik umumnya memuaskan.
Namun, jika diagnosis spesifik masih ragu, dosis yang lebih kecil (0,1
mg/hari) dapat digunakan untuk 1 minggu sebagai tes diagnostik,
karena respon hematologi dapat diharapkan dalam waktu 72 jam. Dosis
folat >0,1 mg dapat memperbaiki anemia defisiensi vitamin B12 tapi
mungkin memperburuk kelainan neurologis terkait. Di negara maju
percobaan terapeutik untuk membedakan penyebab yang berbeda dari
anemia megaloblastik jarang dilakukan karena vitamin B12 dean folat
biasanya sudah tersedia. Terapi asam folat (0,5-1 mg/hari) harus
dilanjutkan untuk waktu 3-4 minggu sampai respon hematologi yang
pasti telah terjadi. Terapi profilaktiks pada bayi prematur 50 mg/hari.
Terapi selama 4 bulan biasanya cukup untuk memperbaiki gejala klinis
dan untuk mengganti sel darah; namun bila penyebab defisiensi belum
dapat diatasi, perlu terapi yang lebih lama. (17)
BAB II. Simpulan