Post on 03-Jul-2020
ANALISIS DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA
KORUPSI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA
(Putusan No. 1/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Tjk dan Putusan
No. 45/Pid.Sus-TPK/2018/PN Tjk)
(Skripsi)
Oleh:
Risma Monica Tarigan
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
ABSTRAK
ANALISIS DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA
KORUPSI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA
(Putusan No. 1/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Tjk dan Putusan
No. 45/Pid.Sus-TPK/2018/PN Tjk)
OLEH
RISMA MONICA TARIGAN
Dana desa merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam pembangunan
desa. Dalam pelaksanannya, dana desa sering di salahgunakan oleh perangkat
desa melalui korupsi. Salah satu contoh kasus tindak pidana korupsi tentang
penggelapan anggaran pendapatan dan belanja desa adalah kasus dalam putusan
No. 1/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Tjk yang diputus pidana penjara selama 4 (empat)
bulan dan No. 45/Pid.Sus-TPK/2018/PN Tjk Tahun 2019 yang diputus pidana
penjara selama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan. Menilai dari kedua putusan perkara
yang dinilai berbeda penjatuhan pidana tersebut, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai bagaimanakah disparitas penjatuhan sanksi
pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi Nomor: 1/Pid.Sus-
TPK/2019/PN.Tjk dan Nomor: 45/Pid.Sus-TPK/2018/PN Tjk serta
bagaimanakah aspek keadilan yang diberikan oleh hakim dalam kedua kasus
tersebut.
Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian skripsi ini adalah metode
pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Disparitas terhadap
Perkara Tindak Pidana Korupsi putusan Nomor 1/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Tjk dan
putusan Nomor: 45/Pid.Sus-TPK/2018/PN Tjk. Penelitian ini menggunakan
sumber data primer yang diperoleh secara langsung dari hasil wawancara dengan
3 narasumber yakni, Hakim PN Tanjung Karang, Jaksa Kejari Bandar Lampung, dan
juga Akademisi FH UNILA.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diketahui bahwa hakim dalam
memutuskan perkara pada perkara Nomor: 45/Pid-Sus.TPK/2018/PN.TJK dan
1/Pid-Sus.TPK/2019/PN.TJK telah terjadi disparitas pidana. Dengan
pertimbangan, pada perkara pertama telah terjadi pengulangan tindak pidana yang
sama sehingga menjadi dasar hakim menjatuhkan putusan yang lebih berat
dibandingkan dengan perkara kedua.
Risma Monica Tarigan
Adapun dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara
dalam nomor: 45/Pid.Sus-TPK/2018/PN.TK yaitu, pelaku terbukti telah
melakukan pengulangan tindak pidana yang sama dan pelaku hanya
mengembalikan kerugian negara tidak lebih dari 50%. Sedangkan pada perkara
kedua, pelaku tidak melakukan pengulangan tindak pidana dan sudah melakukan
pengembalian kerugian negara sebesar 85%.
Saran penulis yaitu hendaknya majelis hakim dalam memberikan keputusan harus
berpijak terhadap peraturan perundang-undangan dan menjatuhkan sanksi sesuai
dengan ketentuan yang ada didalam UU PTPK, mengingat dana desa mempunyai
nilai dan fungsi yang strategis dalam pembangunan desa. Dengan hukuman yang
sesuai dan maksimal tersebut, diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap
pelaku dan masyarakat, sehingga peruntukan dana desa dapat dilakukan secara
maksimal.
Kata Kunci: Disparitas Pidana, Tindak Pidana Korupsi, Dana Desa
ANALISIS DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA
KORUPSI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA
(Putusan No. 1/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Tjk dan Putusan
No. 45/Pid.Sus-TPK/2018/PN Tjk)
Oleh
RISMA MONICA TARIGAN
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap penulis adalah Risma Monica Tarigan,
penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 11 Mei
1998, penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara
dari pasangan Ayahanda Alm. Kasman Tarigan dan Ibunda
Almh. Marianta Purba.
Penulis memulai pendidikan di TK Tunas Melati II Natar yang diselesaikan pada
tahun 2003, SD Negeri Merak Batin yang diselesaikan pada tahun 2010, SMP
Yadika Natar yang diselesaikan pada tahun 2013, kemudian penulis melanjutkan
SMA di Negeri 1 Natar selama kurang lebih 1 tahun, dan memutuskan pindah ke
SMA Yadika Natar dan selesai pada tahun 2016.
Pada akhir 2016, penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum di
Universitas Lampung. Semasa kuliah penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan
organisasi yakni menjadi pengurus aktif di UKM-F MAHKAMAH dan menjabat
sebagai sekretaris bidang Pengabdian Masyarakat periode 2017/2018, pengurus
aktif di BEM-F Hukum Unila Kabinet Harmoni sebagai sekretaris bidang PSDM
(Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa) periode 2018/2019, dan juga pengurus
aktif di HIMA Pidana Hukum Unila sebagai kepala bidang eksternal periode
2018/2019. Pada bulan januari 2019, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata
(KKN) di Desa Bumi Jaya, Lampung Barat selama 40 hari.
MOTTO
“Bermimpilah setinggi langit. Maka disaat kau jatuh, kau akan jatuh diantara
bintang-bintang.”
(Ir. Soekarno)
“Tak ada yang tahu kapan kau mencapai tuju. Dan percayalah bukan urusanmu
untuk menjawab itu, jadi mari bersender pada waktu.”
(Baskara Putra)
“Jadilah kamu manusia yang pada kelahiranmu semua orang tertawa bahagia,
tetapi hanya kamu sendiri yang menangis; dan pada kematianmu semua orang
menangis sedih, tetapi hanya kamu sendiri yang tersenyum.”
(Mahatma Gandhi)
“ Jika kamu gagal 1000x, maka pastikan kamu bangkit 1001x.”
(Risma Monica Tarigan)
PERSEMBAHAN
Saya persembahkan skripsi saya ini kepada:
Orang-orang terbaik dalam hidup saya
Alm. Ayahanda Kasman Tarigan dan Almh. Ibunda Marianta Purba, yang telah
membekali saya pelajaran hidup yang luar biasa sekali tentang cinta, kasih
sayang, kecewa, bahagia, keras, lembut, bediri, dan terjatuh. Saya tahu betul
bahwa dalam dunia nyata mereka sudah tidak dapat berdiri disamping saya lagi,
memeluk saya disaat saya terjatuh, ikut bertepuk tangan disaat saya bahagia,
mengucapkan “selamat ya, nak.” di momen-momen bersejarah dalam hidup saya
untuk saat ini dan seterusnya, tapi doa dan pelajaran hidup yang pernah mereka
berikan akan selalu membimbing saya untuk menjadi manusia yang mempunyai
arti untuk manusia lainnya.
Keponakan saya tercinta, Muhammad Alzam Tarigan yang memberikan saya
kepercayaan dan dukungan penuh untuk saya dapat menyelesaikan skripsi ini.
Dan untuk semua teman-teman satu angkatan saya terhebat, terimakasih karena
telah menjadi bagian penting dalam perjalanan perkuliahan saya. Terimakasih
untuk kenangan-kenangan manis yang pernah kita lewati bersama. Jadi apapun
kalian di masa yang akan datang, besar harapan saya agar kebahagiaan selalu
menyertai langkah kalian, aamiin.
SAN WACANA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang, yang dapat memberikan berkat-Nya yang melimpah sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Disparitas Putusan Hakim
Terhadap Tindak Pidana Korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(Studi Putusan No. 1/Pid.Sus TPK/2019/PN.Tjk dan Putusan No. 45/Pid.Sus-
TPK/2018/PN Tjk)” sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan
Program Sarjana ( S1 ) Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini banyak memperoleh
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan rasa hormat penulis
menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
penulisan skripsi ini, antara lain:
1. Bapak Prof. Dr. Karomani, M. Si, selaku Rektor Universitas Lampung.
2. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
3. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
4. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H., selaku Sekretari Bagian Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
5. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang telah
memberikan arahan, bimbingan, dan masukan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
6. Ibu Emilia Susanti, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan arahan, bimbingan, dan masukan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
7. Bapak Prof. Dr. Sunarto, DM., S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas I yang
telah memberikan kritik, saran, dan masukan dalam penulisan skripsi ini.
8. Ibu Sri Riski, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II yang telah
memberikan kritik, saran, dan masukan dalam penulisan skripsi ini.
9. Bapak Dr. FX. Sumarja, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik
yang memberikan dukungan dan saran dalam penulisan skripsi ini.
10. Seluruh Dosen Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang
penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis.
11. Para staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung terutama
pada Bagian Hukum Pidana: Bu Aswati, Mba Tika, dan Bang Ijal. Kalian
luar biasa.
12. Bapak F.X. Supriyadi, S.H., M.Hum., selaku Hakim Pengadilan Negeri
Kelas 1A Tanjung Karang, Bapak Fredy Simanjuntak, S.H., selaku Jaksa
Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Prof. Dr. Maroni, S.H., M.Hum.,
selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu
dalam mendapatkan data yang diperlukan penulisan skripsi ini,
terimakasih atas semua kebaikan dan bantuannya.
13. Terimakasih untuk kedua orangtua saya Alm. Ayahanda Kasman Tarigan
dan Almh. Ibunda Marianta Purba, yang telah menyisipkan pelajaran hebat
dalam kehidupan saya sehingga saya dapat tumbuh kuat sekuat sekarang.
Ada banyak hal yang tidak dapat dijelaskan oleh kata ketika saya harus
mendeskripsikan bagaimana beruntungnya saya dapat menjadi salah satu
anak dari orang tua saya. Jadi yang dapat saya katakan adalah;
Terimakasih. Terimakasih karena sempat hadir dalam kehidupan saya
walaupun tak lama. Jika diizinkan oleh Allah SWT, semoga kita dapat
berjumpa di kehidupan selanjutnya.
14. Keponakan saya tercinta, Muhammad Alzam Tarigan yang telah menjadi
vitamin ketika saya dalam keadaan lelah. Terimakasih ya, bang. Semoga
kelak abang jadi manusia yang mempunyai arti penting bagi manusia
lainnya.
15. Terimakasih kepada Bapak Rohman Jalil dan Ibu yang sudah saya anggap
sebagai orang tua saya dalam proses menjalankan KKN (Kuliah Kerja
Nyata) di Desa Bumi Jaya, Lampung Barat. Terimakasih pak atas cerita
kehidupan yang sering bapak ceritakan ke saya selama 40 hari.
16. Terimakasih kepada keluarga besar UKM-F Mahkamah, organisasi
pertama yang saya ikuti ketika saya masuk dunia perkuliahan. Saya belajar
arti kepemimpinan dari sini. Saya mengenal banyak orang-orang hebat
didalam organisasi ini. Tanpa Mahkamah, saya hanya mahasiswa yang
tidak ada artinya.
17. Terimakasih kepada keluarga besar BEM-F Hukum Universitas Lampung
Kabinet Harmoni. Terimakasih karena sudah mempercayai saya untuk
dapat berpartisipasi dalam pembangunan Fakultas secara internal. Saya
belajar banyak sekali dari Lembaga ini.
18. Terimakasih kepada keluarga besar HIMA Pidana Universitas Lampung.
Terimaksih karena sudah mempercayai saya untuk dapat menjadi salah
satu nahkoda dalam himpunan mahasiswa ini.
19. Terimakasih kepada Selina Putri Gandi, Sonia Ghea Olivia, Siti Yunita
Zulfiana, Amelia Oktariawati, Putri Zakia Yurahman, Meissy Kurnia Aziz,
Moza Julika, Anisandra Ekajayanti, Fadita Ayuningtyas, Naufal Irga
Adipati, Calvin Cahyo dan teman-teman Fakultas Hukum Angkatan 2016
lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Senang rasanya dapat
bertemu dan mengenal kalian semua, semoga kita semua dapat mencapai
apa yang kita tuju, ya. Aamiin.
20. Terimakasih kepada teman-teman SMA saya, Bagus Muhammad, M.
Gilang Romadhon, Azmi Farhan Fauzian, dan Agres Tiara Mustika.
Terimakasih karena tidak berdampak apa-apa terhadap pembuatan skripsi
saya ini, kecuali Agres karena Agres orangnya baik. Buat bagus, adon, dan
farhan; teruslah tumbuh menjadi sesuatu yang tidak berguna.
21. Terimakasih teruntuk Kanda dan Yunda angkatan 2014 dan 2015. Kanda
Bowo, Kanda Masum, Kanda Iqbal, Kanda Saptori, Kanda Chand, Kanda
Torfel, Kanda Egi, Kanda Firdi, Kanda Agung, Yunda Ika, Yunda Andrea,
Yunda Poppy, Yunda Day, Yunda Lala, Yunda Dita, Yunda Agnes, Yunda
Merza, dan Kanda Yunda lainnya yang mungkin saya lupa menyebutkan.
Terimakasih untuk semua arahan dan masukan yang pernah diberikan ke
saya. Dimanapun Kanda Yunda berada, semoga kebahagiaan selalu
menyertai, ya.
22. Terimakasih untuk seluruh musisi yang ada di playlist saya; Kunto Aji,
.Feast, GNTZ, Pamungkas, Baskara Putra, Nadin Amizah, Sal Priadi, Mac
Ayres, Float, Kangen Band, dan musisi lainnya yang tidak dapat saya
sebutkan satu per satu. Terimakasih atas karya kalian yang selalu
menemani saya dalam pembuatan skripsi ini.
23. Terimakasih kepada Almamater tercinta, Universitas Lampung.
24. Terimakasih untuk seseorang yang telah menjadi bagian terakhir dalam
cerita perkuliahan saya. Berkat orang ini, saya belajar bahwa hidup tidak
selalu tentang memetik apa yang kita tanam. Terimakasih atas kesempatan
yang diberikan untuk dapat mengenalmu sedikit lebih jauh. Tentang
kebahagiaan yang selalu kamu doakan, aminku selalu menyertaimu.
Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, terimakasih atas semua
bantuan dan dukungannya. Akhir kata, penulis mengucapkan mohon maaf
apabila ada yang salah dalam penulisan skripsi ini.
Bandar Lampung, 12 Januari 2020
Penulis
Risma Monica Tarigan
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ..................................................... 6
C. Tujuan dan Kegunaan ................................................................................ 7
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ............................................................ 8
E. Sistematika Penulisan ................................................................................ 15
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Disparitas Pidana ..................................................................... 17
B. Tinjauan Umum Pemidanaan .................................................................... 18
1. Pengertian Pemidanaan ......................................................................... 18
2. Teori-Teori Pemidanaan ........................................................................ 19
C. Bentuk-Bentuk dan Teori Penjatuhan Putusan Hakim .............................. 23
1. Bentuk-Bentuk Putusan Hakim ............................................................. 24
2. Teori Penjatuhan Putusan Hakim .......................................................... 26
D. Dasar Hukum Pertimbangan Hakim .......................................................... 30
E. Tinjauan Umum Tindak Pidana Korupsi ................................................... 36
1. Pengertian Korupsi .................................................................................. 36
2. Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi ........................................................ 41
3. Sanksi Tindak Pidana Korupsi ............................................................... 41
F. Tinjauan Umum Dana Desa ........................................................................ 43
1. Sejarah Dana Desa ................................................................................. 43
2. Landasan Teori Dana Desa .................................................................... 45
3. Sumber Pendapatan Dana Desa .............................................................. 46
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah .................................................................................. 51
B. Jenis dan Sumber Data .............................................................................. 51
C. Penentuan Narasumber .............................................................................. 53
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengelolaan Data .......................................... 54
E. Analisis Data .............................................................................................. 55
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Putusan ........................................................................ 56
1. Putusan No. 45/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk ...................................... 56
2. Putusan No. 1/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Tjk ........................................ 58
B. Disparitas Pidana Dalam Putusan No. 45/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk
dan Putusan No. 1/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Tjk ..................................... 59
C. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Berbeda
Pada Putusan No. 45/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Tjk dan No. 1/Pid.Sus-
TPK/2019/PN.Tjk ....................................................................... 71
1. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan No. 45/Pid.Sus-
TPK/2018/PN.Tjk ................................................................................ 71
2. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan Putusan No.
1/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Tjk ............................................................. 79
V. PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 87
B. Saran .......................................................................................................... 89
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, yang bermakna bahwa
Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana tercantum di dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hukum memiliki
arti penting dalam setiap aspek kehidupan, pedoman tingkah laku manusia dalam
hubungannya dengan manusia yang lain, dan hukum yang mengatur segala
kehidupan masyarakat Indonesia. Setiap tindakan warga negara diatur dengan
hukum, setiap aspek memiliki aturan, ketentuan dan peraturannya masing-masing.
Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan, apa yang boleh dilakukan serta apa
yang dilarang.
Salah satu bidang dalam hukum adalah hukum pidana yaitu mengatur tentang
aturan perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang. Sedangkan tindak pidana,
merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang mana disertai
ancaman sanksi. Pada praktiknya, korupsi ini dapat ditemukan dalam berbagai
modus operasi dan dapat dilakukan oleh siapa saja, dari berbagai strata sosial dan
ekonomi. Terkait dengan tindak pidana korupsi, sudah diatur dalam Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 yang selanjutnya disingkat dengan UU PTPK.
Adanya UU PTPK menjadi harapan bagi bangsa Indonesia dalam memberantas
2
korupsi. UU PTPK mengatur sejumlah perbuatan yang tergolong sebagai Tindak
Pidana Korupsi, yaitu:
1. Perbuatan yang merugikan Negara
2. Suap
3. Gratifikasi
4. Penggelapan dalam jabatan
5. Pemerasan
6. Perbuatan curang
7. Benturan kepentingan dalam pengadaan1
Terhadap perbuatan melanggar ketentuan-ketentuan dalam UU PTPK diatur
sejumlah sanksi pidana, yaitu:
1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
2. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00
(seratusjuta rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima
puluh juta rupiah) setiap orang yang pada waktu membuat bangunan, atau
penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang
atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang.
3. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp150.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus
atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau
daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
4. Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) yaitu setiap pegawai
negeri atau penyelenggaran negara yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
1Klik Legal, Tujuh Kelompok Jenis Tindak Pidana Korupsi (web: https://kliklegal.com/ini-tujuh-
kelompok-jenis-tindak-pidana-korupsi/) , 2016, diakses pada tanggal 20 Juni 2019
3
5. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda sedikit Rp150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain
pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara
terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan
uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan
oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Salah satu bentuk Tindak Pidana Korupsi yang saat ini banyak terjadi adalah
Tindak Pidana Korupsi penggelapan anggaran dan pendapatan belanja desa.
Perilaku korupsi menjadi ancaman bagi aparatur Desa dalam penyelenggaraan
pemerintah Desa.2 Salah dua contoh kasus Tindak Pidana Korupsi Dana Desa
adalah dalam Studi Putusan Nomor 1/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Tjk dan 45/Pid.Sus-
TPK/2018/PN Tjk Tahun 2019. Berdasarkan data yang diolah penulis dapat
diketahui Tindak Pidana Penggelapan Anggaran dan Pendapatan Belanja Desa
antara tahun 2018 – 2019 dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 1.1 Kasus Tindak Pidana Korupsi Penggelapan Dana Desa di Pengadilan
Negeri Tanjung Karang Tahun 2018.
NO. Nama Terdakwa Nomor Putusan
Pengadilan
Lama Hukuman
1. Zikri, S.Pd. 38/Pid.Sus-
TPK/2018/PN Tjk
1 tahun 4 bulan
2. Iwan Sobarna 39/Pid.Sus-
TPK/2018/PN Tjk
1 tahun
3. Candra Gunawan 36/Pid.Sus-
TPK/2018/PN Tjk
1 tahun 3 bulan
4. Yoseph Hanuar 11/Pid.Sus-
TPK/2018/PN Tjk
7 bulan
5. Welson S.T 22/Pid.Sus-
TPK/2018/PN Tjk
1 tahun 2 bulan
Sumber: http://sipp.pn-tanjungkarang.go.id
2 Marten Bunga dan Aan Aswari, “Konsepsi Penyelamatan Desa dari Perbuatan Korupsi”, Vol.2,
2018, 98.
4
Banyaknya kasus tindak pidana korupsi tersebut diperparah dengan adanya
keputusan pengadilan yang berbeda (disparitas) dalam setiap keputusannya.
Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak
pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya dapat
diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas.3
Lebih spesifik lagi tentang disparitas pidana, menurut Harkristusi Harkrisnowo
disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori, yaitu :
1. Disparitas antara tindak pidana yang sama.
2. Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang
sama.
3. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim.
4. Dispritas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda
untuk tindak pidana yang sama.4
Penjatuhan pidana ditunjukan terhadap pelaku tindak pidana yang diberikan oleh
hakim akibat pelanggaran yang dilakukannya, sehingga hakim memiliki peran
yang sangat sentral dalam hal timbulnya disparitas pemidanaan. Penilaiaan
terhadap berat dan ringannya hukuman yang pantas dijatuhkan terhadap terdakwa
sesuai kesalahan yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkannya dikembalikan
lagi kepada peran hakim.5
Contoh kasus disparitas pidana pada penggelapan anggaran dan pendapatan
belanja desa dapat dilihat dalam putusan hakim dalam Studi Putusan Nomor
1/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Tjk dan 45/Pid.Sus-TPK/2018/PN Tjk Tahun 2019.
Pada kasus terdakwa Putusan Nomor : 1/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Tjk atas nama
3 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992
hlm.52 4 Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,
2001, hlm. 101-102. 5 Nicholas Hany, “Disparitas Pidana Dalam Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Semarang”,2018, Vol.1, 22.
5
Sugiarto bin Hadi Sucokro dijatuhi hukuman penjara selama 4 (empat) bulan
dengan menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani
terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Bandingkan pada
kasus terdakwa Putusan Nomor: 45/Pid.Sus-TPK/2018/PN Tjk atas nama Dedi
Haryadi bin Nur Wijaya dijatuhi hukuman 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dengan
menetapkan bahwa pidana yang dilakukan terdakwa apabila tidak membayar
denda sebanyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), diganti dengan
pidana tambahan 4 (empat) bulan penjara.
Berdasarkan kasus diatas, dapat dilihat bahwa pemberian dan penerapan pasal
yang di lakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang terhadap
perkara Tindak Pidana Korupsi yang menyebabkan ruginya kas desa terjadi
disparitas pidana dalam putusan yang berikan oleh hakim terhadap pelaku
tindak pidana dalam hal pemidanaan, antara putusan yang satu dengan
putusan yang lain yang memiliki karakteristik pelanggaran pidana yang sama
seperti bahaya yang dilakukan, akibat yang ditimbulkan, keseriusan dan ketentuan
pasal yang dilanggar sama.
Atas dasar isu hukum yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul Analisis Disparitas Putusan Hakim Terhadap Tindak
Pidana Korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Studi Putusan No.
1/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Tjk dan No. 45/Pid.Sus-TPK/2018/PN Tjk) Tahun 2019.
6
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas dapat penulis kemukakan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
a. Mengapa terjadi disparitas pidana antara putusan Nomor : 1/Pid.Sus-
TPK/2019/PN.Tjk dan Nomor :45/Pid.Sus-TPK/2018/PN Tjk?
b. Apa saja yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan
terhadap putusan Nomor : 1/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Tjk dan Nomor
:45/Pid.Sus-TPK/2018/PN Tjk?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini akan difokuskan pada hal-hal yang berkaitan
dengan ilmu hukum pidana formil, khusunya mengenai putusan hakim pada
perkara Tindak Pidana Korupsi putusan Nomor 1/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Tjk dan
putusan Nomor : 45/Pid.Sus-TPK/2018/PN Tjk. Ruang lingkup tempat
penelitian dilakukan pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dengan waktu
penelitian Tahun 2019.
7
C. Tujuan dan Kegiatan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini merupakan bentuk sumbangan pikiran yang
bermanfaat khususnya dibidang ilmu pengetahuan hukum yang disparitas pidana
dalam putusan pengadilan terhadap tindak pidana korupsi yang menyebabkan
ruginya kas Negara terdapat dua macam yaitu:
a. Untuk mengetahui disparitas penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak
pidana korupsi pada putusan Nomor 1/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Tjk dan
putusan Nomor : 45/Pid.Sus-TPK/2018/PN Tjk.
b. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
memberikan putusan terhadap pu tus an Nomor 1/Pid.Sus-
TPK/2019/PN.Tjk dan putusan Nomor : 45/Pid.Sus-TPK/2018/PN Tjk.
2. Kegunaan Penelitian
Manfaat atau kegunaan penelitian setidak-tidaknya ada 2 (dua) macam yaitu:6
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah
kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berhubungan dengan disparitas
pemidanaan terhadap pidana tindak pidana korupsi penggelapan.
b. Kegunaan Praktis
Secara praktis hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat berguna sebagai
bahan masukan bagi para praktisi/aparat penegak hukum dan masyarakat.
6 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan penelitian, Bandung: Citra aditya bakti, 2004, hlm 66
8
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi
dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya yang bertujuan
untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap
relevan oleh peneliti.7
Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah :
a. Teori Disparitas Pidana
Putusan perkara pidana mengenal adanya suatu kesenjangan dalam penjatuhan
pidana yang lebih dikenal dengan disparitas. Disparitas adalah penerapan pidana
(disparity of sentencing) yang tidak sama (same Offence) atau terhadap tindak
pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pemberian
yang jelas. Disparitas pidana dipersepsi publik sebagai bukti ketiadaan keadilan
(societal justice), secara yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap telah
melanggar hukum, meskipun demikian seringkali orang melupakan bahwa elemen
“keadilan” pada dasarnya harus melekat pada putusan yang diberikan oleh
hakim.8
Disparitas pidana timbul karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda
terhadap tindak pidana yang sejenis. Penjatuhan pidana ini tentunya adalah
hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana sehingga
dapatlah dikatakan bahwa figur hakim didalam hal timbulnya disparitas
pemidanaan sangat menentukan. Disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa
7 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Pres. 1986, hlm. 124.
8 Muladi-Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Bakti.2003, hlm.77.
9
kategori yaitu:
1) Disparitas antara tindak pidana yang sama.
2) Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang
sama.
3) Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim.
4) Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda
untuk tindak pidana yang sama.9
Sesuai dengan pendapat di atas maka dapat diketahui adanya wadah dimana
disparitas tumbuh dan menyejarah dalam penegakan hukum di Indonesia. Faktor
yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana adalah tidak adanya
pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Pedoman
pemberian pidana akan memudahkan hakim dalam menetapkan pemidanaannya,
setelah terbukti bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya.10
Faktor eksternal yang membuat hakim bebas menjatuhkan pidana yang bersumber
pada ketentuan Pasal 24 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 memberikan
landasan hukum bagi kekuasaan hakim dimana kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Ketentuan ini memberikan jaminan terhadap kebebasan
lembaga peradilan sebagai lembaga yang merdeka, termasuk didalamnya
kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya. Hakim bebas memilih jenis
pidana, karena tersedia jenis pidana didalam pengancaman pidana dalam
ketentuan perundang-undangan pidana.11
Akibat adanya disparitas pidana tidak
sesuai dengan tujuan hukum pidana dan semangat dari falsafah pemidanaan.
9 Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,
2001, hlm. 101-102. 10
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 34. 11
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 23.
10
Disparitas pidana semakin menimbulkan kekacauan dalam masyarakat, tidak
hanya menyakiti rasa keadilan masyarakat, tetapi juga mendorong masyarakat
untuk melakukan tindakan pidana. Suatu fakta hukum dapat dilihat dari berbagai
sudut pandang, ada juga ahli hukum yang tidak sependapat bahwa disparitas
hanya membawa dampak negatif sehingga harus diminimalisasi, mereka tidak
memandang disparitas pidana sebagai suatu kesalahan atau cacat tubuh dalam
penegakan hukum pidana di Indonesia.
Disparitas di dalam pemidanaan dapat dibenarkan, dalam hal sebagai berikut:
1. Disparitas pemidanaan dapat dibenarkan terhadap penghukuman delik-delik
yang agak berat, namun disparitas pemidanaan tersebut harus disertai
dengan alasan-alasan pembenaran yang jelas.
2. Disparitas pemidanaan dapat dibenarkan apabila itu beralasan ataupun
wajar.12
b. Teori Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan
Menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan
oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara,
yaitu sebagai berikut:13
1) Teori Keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini adalah keseimbangan antara syarat-
syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang dan kepentingan pihak-pihak yang
tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya
keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan
12
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung, 1996, hlm. 82. 13
Bagir Manan, Agustus 2006, Hakim dan Pemindanaan, IKAHI, Jakarta, hlm. 7-12
11
terdakwa dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak penggugat dan pihak
tergugat. Keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan terdakwa. Pada
praktik umumnya dirumuskan dalam pertimbangan mengenai hal-hal yang
memberatkan dan meringankan penjatuhan pidana bagi terdakwa, di mana
kepentingan masyarakat dirumuskan dalam hal-hal yang memberatkan, dan
kepentingan terdakwa dirumuskan pada hal-hal yang meringankan. Menurut Pasal
197 Ayat 1 Huruf F KUHAP, pertimbangan hal-hal memberatkan dan
meringankan tersebut, merupakan faktor yang menentukan berat ringannya pidana
yang dijatuhkan terhadap terdakwa.
2) Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim.
Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan
keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam
perkara perdata, hakim akan melihat keadaan pihak yang berpekara, yaitu
penggugat atau tergugat dalam perkara perdata, dan pihak terdakwa atau penuntut
umum dalam perkara pidana. Pendekatan ini ditentukan oleh insting atau intuisi
daripada pengetahuan dari hakim.
3) Teori Pendekatan Keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus
dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kiatannya
dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari
putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa
dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi
atau insting semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan
12
juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus
diputukannya. Oleh karena itu, hakim dituntut untuk menguasai berbagai ilmu
pengetahuan, baik itu ilmu hukum dan ilmu pengetahuan lainnya, sehingga
putusan yang dijatuhkannya tersebut, dapat dipertanggungjawabkan dari segi
teori-teori yang ada dalam ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perkara yang
diperiksa, diadili, dan diputuskan oleh hakim.
4) Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam
menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena dengan
pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana
dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana, yang berkaitan
dengan pelaku, korban maupun masyarakat.
5) Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang
disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undang yang relevan
dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan
putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas
untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang
berperkara.
6) Teori Kebijaksanaan
Teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak yang
termuat di dalam aspeknya menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga,
dan orang tua, ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik,
13
dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi
keluarga, masyarakat, dan bagi bangsanya.14
2. Kerangka Konseptual
Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-
konsep khusus, yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan
istilah yang ingin diteliti. Bahwa suatu konsep atau suatu kerangka konsepsionil
pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih kongkrit
daripada kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat abstrak. Agar
memberikan kejelasan yang mudah untuk dipahami sehingga tidak terjadi
kesalahpahaman terhadap pokok-pokok pembahasan dalam penulisan, maka akan
dijabarkan beberapa pengertian mengenai istilah-istilah yang berkaitan dengan
judul penulisan skripsi ini, yaitu:
a. Disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap
tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifat bahayanya
dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas.15
b. Pidana adalah nestapa/derita yang dijatuhkan dengan sengaja oleh Negara
dimana nestapa itu dikenakan pada seseorang yang secara sah telah
melanggar hukum pidana dan nestapa itu dijatuhkan melalui proses
peradilan pidana.16
c. Pemidanaan merupakan penjatuhan pidana/sentencing sebagai upaya yang
sah yang dilandasi oleh hukum untuk mengenakan nestapa penderitaan
14
Ahmad Rifai. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum Progresif. Sinar Grafika.
Jakarta. 2010. Hal 106 15
Muladi-Barda Nawawi Arief, Loc,Cit, hlm.52. 16
Kejaksaan Agung, Azaz-azaz hukum pidana,Jakarta : Pusat Pendidikan dan Pelatihan kejaksaan
RI, 2010, hlm.160.
14
pada seseorang yang melalui proses peradilan pidana terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana.17
d. Penggelapan diatur dalam Pasal 372 KUHP. Yang termasuk penggelapan
adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau
seluruhnya) di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku,
tapi penguasaan itu terjadi secara sah.
e. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang
termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang
dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
f. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa adalah pertanggungjawaban dari
pemegang manajemen desa untuk memberikan informasi tentang segala
aktifitas dan kegiatan desa kepada masyarakat desa pemerintah atas
pengelolaan dana desa dan pelaksanaan berupa rencana-rencana program
yang dibiayai dengan uang desa.18
17
Kejaksaan Agung Ibid,hlm.160. 18
Yoseph Putro, “Pengertian APB Desa” diakses dari www.keuangandesa.com/.../pengertian-
anggaran-pendapatan-dan-belanja-desa-apbdes pada tanggal 20 Juni 2019.
15
E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan mengenai sistematika penelitian hukum yang
sesuai dengan aturan maka penulis menjabarkan penelitian skripsi ini terdiri dari
lima bab. Tiap-tiap bab terbagi dalam sub bagian sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Pada bab ini berisikan tentang latar belakang penulisan. Dari uraian latar
belakang tersebut munculah pokok permasalahan dan ruang lingkup, tujuan
dan kegunaan penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis akan menguraikan kerangka teori yang meliputi tinjauan
tentang sinkronisasi peraturan perundang-undangan, tinjauan umum tentang
disparitas, dan tinjauan umum mengenai sebab terjadinya disparitas.
III. METODE PENELITIAN
Pada bab ini memuat tentang metode yang digunakan dalam penulisan yang
menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan
masalah, yaitu dalam memperoleh dan mengklasifikasikan sumber dan jenis
data, penentuan populasi dan sampel, serta prosedur pengumpulan data yang
telah dikumpulkan dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisikan tentang hasil dari penelitian dan pembahasan dilapangan
terhadap permasalahan dalam penelitian yang akan menjelaskan tentang
disparitas terhadap tindak pidana korupsi dengan pemberatan.
16
V. PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan
kepada pihak yang terkait agar dapat mengurangi disparitas terhadap putusan
pengadilan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Disparitas Pidana
Menurut Barda Nawawi Arief, disparitas pidana adalah penerapan pidana yang
tidak sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang
sifat bahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas.19
Disparitas pidana yang masih sering terjadi dapat berakibat fatal, akibat dari
disparitsas pidana dapat berdampak bagi terpidana dan masyarakat secara luas.
Dampak disparitas pidana bagi terpidana yaitu, apabila terpidana setelah dijatuhi
hukuman membandingkan pidana yang diterimanya. Terdakwa yang merasa
diperlakukan tidak adil oleh hakim dapat di pahami, karena pada umumnya
keadilan merupakan perlakuan yustisiable.
Menurut pemikiran Molly Cheang dalam bukunya “Disparity of Sentencing
sebagaimana disadur oleh Muladi, yang dimaksud dengan disparitas pidana adalah
“the imposition of unequal sentences for the same offence, or for offences or
comparable seriousness, without a clearly visible justification”, yang artinya
penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak-tindak pidana yang sama atau
terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan,
tanpa dasar pembenaran yang jelas. Disamping itu menurut Jackson yang dikutip
19
Muladi-Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Bakti.2003, hlm.59.
18
oleh Muladi, maka tanpa merujuk legal category (kategori hukum), disparitas
pidana dapat terjadi pada pemidanaan yang tidak sama terhadap mereka yang
melakukan bersama suatu tindak pidana.20
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa dalam putusan perkara pidana dikenal
adanya suatu kesenjangan dalam penjatuhan pidana yang lebih dikenal dengan
disparitas. Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa disparitas pidana timbul
karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang
sejenis. Penjatuhan pidana ini tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh
hakim terhadap pelaku tindak pidana sehingga dapatlah dikatakan bahwa figur
hakim di dalam hal timbulnya disparitas pemidanaan sangat menentukan. Lebih
spesifik dari pengertian itu, menurut Barda Nawari Arief, disparitas pidana dapat
terjadi dalam beberapa kategori yaitu:
1. Disparitas antara tindak pidana yang sama
2. Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang
sama
3. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim
4. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang
berbeda untuk tindak pidana yang sama.21
B. Tinjauan Umum Pemidanaan
1. Pengertian Pemidanaan
Menurut Barda Nawawi Arief pengertian sistem pemidanaan diartikan secara luas
sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka
dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan itu mencakup pengertian:
20
Muladi-Barda Nawawi Arief,Op,Cit, hlm.52 21
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,
2001, hlm. 101-102.
19
1. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemidanaan;
2. Keseluruhan sistem (aturan Undang-Undang) untuk pemberian/penjatuhan
dan pelaksanaan pidana ;
3. Keseluruhan sistem (aturan Undang-Undang) unntuk mengatur
fusngsionalisasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana;
4. Keseluruhan sistem (aturan Undang-Undang) yang mengatur bagaimana
hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret
sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana).22
Pemidanaan melahirkan eksistensi ide individualisasi pidana. Pada pokoknya ide
individualisasi memiliki beberapa karakteristik tentang aspek-aspek sebagai
berikut :23
1. Petanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perorangan (asas personal) 2. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas
“tiada pidana tanpa kesalahan”) ;
3. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini
berarti harus ada kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim dalam memilih
sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi) dan harus ada
kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam
pelaksanaannya.
2. Teori-Teori Pemidanaan
Perkembangan teori-teori tentang tujuan pemidanaan berkembang seiring dengan
munculnya berbagai aliran-aliran di dalam hukum pidana yang mendasari
perkembangan teori-teori tersebut. Perihal ide dari diterapkannya tujuan pidana
dan pemidanaan yang dalam perkembangannya sebagai berikut :
a. Teori Absolut/Teori Pembalasan (Vegerldings Theorien)
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan
kejahatan atau tindak pidana. Teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Teori
Absolut didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis,
seperti memperbaiki penjahat tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan
22
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, hlm. 136. 23
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia,Pradya Paramita, 1986, hlm 22.
20
hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, dengan kata lain
hakikat pidana adalah pembalasan (revegen).24
Muladi menyatakan bahwa “teori
absolut memandang pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang
telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya
kejahatan itu sendiri”. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum
pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan
yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada
orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan
tuntutan keadilan. Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut
telah melakukan penyerangan pada hak dan kepentingan hukum baik pribadi,
masyarakat maupun negara yang telah dilindungi. Oleh karena itu, ia harus
diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang
dilakukannya.25
b. Teori Relatif atau Tujuan (Doel Theorien)
Teori Relatif atau teori tujuan, berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah
alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Teori ini berbeda
dengan teori absolut, dasar pemikiran agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman
artinya penjatuhan pidana mempunyai tujuan tertentu, misalnya memperbaiki
sikap mental atau membuat pelaku tidak berbahaya lagi, dibutuhkan proses
pembinaan sikap mental. Teori relatif berasas pada tiga tujuan utama pemidanaan
yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan preventif untuk melindungi
masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat.
Tujuan deterrence (menakuti) untuk menimbulkan rasa takut melakukan
24
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. 2005, hlm.31 25
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta. 2005, hlm.11
21
kejahatan, baik bagi individual pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya,
maupun bagi publik sebagai langkah panjang. Sedangkan tujuan reformatif untuk
mengubah sifat jahat pelaku dengan dilakukannya pembinaan dan pengawasan,
sehingga nantinya dapat kembali melanjutkan kebiasaan hidupnya sehari-hari
sebagai manusia yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Teori relatif ini melihat bahwa penjatuhan pidana bertujuan untuk memperbaiki si
penjahat agar menjadi orang yang baik dan tidak akan melakukan kejahatan lagi.
Menurut Zevenbergen terdapat tiga macam memperbaiki si penjahat, yaitu
perbaikan yuridis, perbaikan intelektual, dan perbaikan moral. Perbaikan yuridis
mengenal sikap si penjahat dalam hal mentaati Undang-Undang. Perbaikan
intelektual mengenai cara berfikir si penjahat agar ia insyaf akan jeleknya
kejahatan. Sedangkan perbaikan moral mengenai rasa kesusilaan si penjahat agar
ia menjadi orang yang bermoral tinggi.26
c. Teori Gabungan/Modern (Vereningings Theorien)
Teori gabungan atau teori modern memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat
plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan absolut
(pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan
mengandung karakter pembalasan sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik
moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter tujuannya
terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau
perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Teori ini diperkenalkan oleh
Prins, Van Hammel, Van List dengan pandangan sebagai berikut :27
26
Wirjono Projdodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika, Aditama, Bandung,
2003, hlm.26 27
Djoko Prakoso, Hukum Penetesier di Indonesia,Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm.47
22
1. Tujuan terpenting pidana adalah memberantas kejahatan sebagai suatu
gejala masyarakat .
2. Ilmu hukum pidana dan Perundang-Undangan pidana harus
memeperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologis.
3. Pidana ialah suatu dari yang paling efektif yang dapat digunakan
pemerintah untuk memberantas kejahatan. Pidana bukanlah satu-satunya
sarana, oleh karena itu pidana tidak boleh digunakan tersendiri akan tetapi
harus digunakan dalam bentuk kombinasi dengan upaya sosialnya.
Van Bemmelan menganut teori gabungan, ia menyatakan “pidana bertujuan
membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat”. Tindakan bermaksud
mengamankan dan memelihara tujuan. keduanya bertujuan mempersiapkan untuk
mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat.28
Grottus
mengembangkan teori gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak yang
diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar tiap-
tiap pidana adalah penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya perbuatan yang
dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya
perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang
berguna bagi masyarakat. Teori yang dikemukakan oleh Grottus tersebut
dilanjutkan Rossi dan kemudian Zenvenbergen, yang mengatakan bahwa makna
tiap-tiap pidana melindungi tata hukum.29
Teori gabungan yang kedua yaitu menitik beratkan pertahanan tata tertib
masyarakat. Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan
gunanya juga tidak boleh lebih besar daripada yang seharusnya. Pidana bersifat
pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, pembalasan adalah
sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana ialah melindungi
kesejahteraan masyarakat.
28
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit. hlm.18 29
Ibid. Hal.90.
23
Menurut Vos “pidana berfungsi sebagai prevensi umum, bukan yang khusus
kepada terpidana, karena kalau ia sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu
takut lagi, karena sudah berpengalaman.“ Teori gabungan yang ketiga, yaitu yang
memandang pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat. Menurut E.
Ultrecht teori ini kurang dibahas oleh para sarjana.30
Berikut akan diperlihatkan
tujuan-tujuan dari pemidanaan:
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat;
2. Mengadakan koreksi terhdap terpidana dengan demikian menjadikannya
orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat; 3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat;
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
C. Bentuk-Bentuk Dan Teori Penjatuhan Putusan Hakim
Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari
pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). Penetapan adalah pernyataan hakim
yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam siding
terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan
(voluntalt). Keputusan artinya kesudahan, penghabisan, sesuatu yang telah
ditetapkan atau sebagai kesimpulan, begitu juga pertimbangan hakim.
Putusan artinya barang apa yang sudah putus atau juga berarti ketentuan atau
ketetapan.31
Sebelum pada keputusan atau tahap aplikatif yang dilakukan oleh
hakim sebagai pejabat negara diberi wewenang oleh undang-undang untuk
30
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemindanaan di Indonesia,Prandya Paramita, Bandung, 1986,
hlm. 24. 31
Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Hlm.28.
24
mengadili. Sehingga dengan kewenangannya tersebut hakim berperan penting
dalam proses peradilan, yaitu untuk terciptanya rasa keadilan dan tegaknya
keadilan dalam masyarakat.
1. Bentuk-Bentuk Putusan Hakim
Menurut Pasal 1 Ayat 1 KUHAP, hukum perundang-undangan Putusan
pengadilan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan
yang terbuka untuk umum. Sebagaimana telah disebutkan, bentuk putusan akan
dijatuhkan pengadilan tergantung hasil musyawarah yang bertitik tolak pada
dakwaan dengan segala sesuatu yang telah terbukti dalam pemeriksaan
persidangan pengadilan. Adapun putusan-putusan yang akan diberikan diakhir
persidangan dapat berbentuk sebagai berikut :32
a. Putusan Bebas (vrijpraak/acquittal)
Pada asasnya esensi putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaan. Konkretnya, terdakwa
dibebaskan dari segala macam tuntutan hukum atau singkatnya terdakwa tidak
dijatuhi pidana. Hakikatnya bentuk-bentuk putusan “bebas/acquittal” dikenal
adanya beberapa bentuk, yaitu :
1. Pembebasan murni atau de”zulvere vrijspraak“ dimana hakim
membenarkan mengenai “feiten-nya” (na alle
noodzzakelijkevoorbeslissingen met juistheld te hebben genomen).
2. Pembebasan tidak murni atau de”onzuivere vrijspaark” dalam hal
batalnya dakwaan secara terselubung atau perampasan yang
menurut kenyataannya tidak dasarkan pada ketidak terbuktian dalam
suratdakwaan.
3. Pembebasan secara alasan pertimbangan pergunaan
ataude”vrisjspraak op grond doilmatigheld ovimegingex” bahwa
32
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta. Sinar Grafika. 2000. hlm 374.
25
berdasarkan pertimbangan haruslah di akhiri suatu penuntutan yang
sudah pasti tidak ada hasilnya.
4. Pembebasan yang terselubung atau de”berdeke vrijkspraak” dimana
hakim telah mengambil keputusan “feiten” dan menjatuhkan
putusan “pelepasan dan tuntutan hukum”, padahal menurut HR
putusan tersebut berisikan suatu “pembebasan secara murni”.
b. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van
allerechtsvervolging).
Secara Fundamental terhadap “putusan pelepasan dari segala tuntutan hakim” atau
Onslag van alle rechtsvervolging di atur dalam ketentuan Pasal 191 Ayat (2)
KUHAP di rumuskan dengan redaksional bahwa: “Jika pengadilan berpendapat
bahwa perbuatan yang di dakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu
tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa di putus lepas dari segala
tuntutan hukum.” Pada ketentuan Pasal 191 Ayat (2) KUHAP terhadap putusan
pelepasan dari segala tuntutan hakim terjadi jika perbuatan yang di dakwakan
kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, tetapi
perbuatan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana, melainkan, misalnya
termasuk yuridiksi hukum perdata adat, atau dagang. Perbuatan yang di dakwakan
kepada terdakwa terbukti, tetapi amar/diktum putusan hakim melepaskan
terdakwa dari segala tuntutan hukum karena adanya alasan pemaaf dan alasan
pembenar.
c. Putusan pemidanaan (veroordeling)
Pada asasnya, putusan pemidanaan atau “veroordeling” di atur dalam Pasal 193
Ayat (1) KUHAP dengan redaksional bahwa Jika pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang di dakwakan padanya, maka
pengadilan menjatuhkan pidana. Putusan pemidanaan dapat terjadi jika perbuatan
terdakwa sebagaimana di dakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaan
26
telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Berdasarkan praktik
peradilan, putusan pemidanaan kerap muncul nuansa yuridis. Pertama, jika tidak
dilakukan penahanan terhadap terdakwa, majelis hakim dapat memerintahkan
supaya terdakwa ditahan, yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih atau
tindak pidana itu termasuk yang diatur dalam ketentuan Pasal 21 Ayat (4)
KUHAP dan terdapat alasan cukup untuk itu. Dalam Pasal 193 Ayat 2 KUHAP,
aspek terdakwa dilakukan suatu penahanan maka pengadilan dapat menetapkan
terdakwa tersebut tetap berada dalam tahanan atau membebaskannya jika terdapat
cukup alasan untuk itu. Kedua, sedangkan terhadap lamanya pemidanaan
(sentencing atau straftoemetting) pembentuk Undang-Undang memberi
kebebasan kepada hakim untuk menentukan antara pidana minimum dan
maksimum terhadap pasal yang terbukti dalam persidangan. Walaupun pembentuk
undang-undang memberikan kebebasan menentukan batas maksimum dan
minimum lama pidana yang harus dijalani terdakwa, hal ini bukan berarti hakim
dapat dengan sewenang-wenangnya sendiri menjatuhkannya pidana tanpa dasar
pertimbangan yang lengkap.
2. Teori Penjatuhan Putusan Hakim
Menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan
oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara,
yaitu sebagai berikut :33
1) Teori Keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini adalah keseimbangan antara syarat-
syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang dan kepentingan pihak-pihak yang
33
Bagir Manan, Agustus 2006, Hakim dan Pemindanaan, IKAHI, Jakarta, hlm. 7-12
27
tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya
keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan
terdakwa dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak penggugat dan pihak
tergugat. Keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan terdakwa. Pada
praktik umumnya dirumuskan dalam pertimbangan mengenai hal-hal yang
memberatkan dan meringankan penjatuhan pidana bagi terdakwa, di mana
kepentingan masyarakat dirumuskan dalam hal-hal yang memberatkan, dan
kepentingan terdakwa dirumuskan pada hal-hal yang meringankan. Menurut Pasal
197 Ayat 1 Huruf F KUHAP, pertimbangan hal-hal memberatkan dan
meringankan tersebut, merupakan faktor yang menentukan berat ringannya pidana
yang dijatuhkan terhadap terdakwa.
2) Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim.
Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan
keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam
perkara perdata, hakim akan melihat keadaan pihak yang berpekara, yaitu
penggugat atau tergugat dalam perkara perdata, dan pihak terdakwa atau penuntut
umum dalam perkara pidana. Pendekatan ini ditentukan oleh insting atau intuisi
daripada pengetahuan dari hakim.
3) Teori Pendekatan Keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus
dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kiatannya
dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari
putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa
28
dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi
atau insting semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan
juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus
diputukannya. Oleh karena itu, hakim dituntut untuk menguasai berbagai ilmu
pengetahuan, baik itu ilmu hukum dan ilmu pengetahuan lainnya, sehingga
putusan yang dijatuhkannya tersebut, dapat dipertanggungjawabkan dari segi
teori-teori yang ada dalam ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perkara yang
diperiksa, diadili, dan diputuskan oleh hakim.
4) Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam
menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena dengan
pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana
dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana, yang berkaitan
dengan pelaku, korban maupun masyarakat.
5) Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang
disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undang yang relevan
dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan
putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas
untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang
berperkara.
29
6) Teori Kebijaksanaan
Teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak yang
termuat di dalam aspeknya menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga,
dan orang tua, ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik,
dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi
keluarga, masyarakat, dan bagi bangsanya.34
Suatu putusan hakim akan bermutu, jika bergantung kepada tujuh hal, yakni:
a. Pengetahuan hakim yang mencakup tentang pemahaman konsep keadilan
dan kebenaran;
b. Integritas hakim meliputi nilai-nilai kejujuran dan harus dapat dipercaya;
c. Independensi kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh pihak-
pihak yang sedang berperkara maupun tekanan publik;
d. Tatanan politik, tatanan sosial, hukum sebagai alat kekuasaan maka
hukum sebagai persyaratan tatanan politik dan hukum mempunyai
kekuatan moral;
e. Fasilitas di lingkungan badan peradilan;
f. Sistem kerja yang berkaitan dengan manajemen lainnya termasuk fungsi
pengawasan dari masyarakat untuk menghindari hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga peradilan di daerah;
g. Aturan hukum formil dan materil masih mengandung kelemahan.35
Teori dasar pertimbangan hakim, yaitu putusan hakim yang baik, mumpuni, dan
sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan empat kriteria dasar
pertanyaan (the way test) berupa:
1. Benarkah putusanku ini?;
2. Jujurkah aku dalam mengambil putusan ini?;
3. Adilkah bagi pihak-pihak terkait dalam putusan ini?;
4. Bermanfaatkah putusanku ini?.
34
Ahmad Rifai. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum Progresif. Sinar Grafika.
Jakarta. 2010. Hal 106 35
Ibid, Hal. 109
30
Kenyataannya pada praktik penjatuhan putusan walaupun telah bertitik tolak dari
sifat/sikap seseorang hakim yang baik, kerangka landasan bertindak dan melalui
empat buah titik pertanyaan tersebut, hakim hanyalah seorang manusia biasa yang
tidak luput dari kelalaian, kekeliruan, kekhilafan (rechterlijk dwaling), rasa
rutinitas, kekurang hatih-hatian, dan kesalahan dikarenakan masih ada saja aspek-
aspek tertentu yang kerap tidak diperhatikan hakim dalam membuat keputusan.
D. Dasar Hukum Pertimbangan Hakim
Menurut Pasal 1 Ayat 8 KUHAP, hakim adalah pejabat pengadilan negara yang
diberi wewenang oleh undang- undang untuk mengadili. Oleh karena itu,
fungsi seorang hakim adalah seseorang yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk melakukan atau mengadili setiap perkara yang dilimpahkan kepada
pengadilan. Berdasarkan ketentuan di atas maka tugas seorang hakim adalah:
1. Menerima setiap perkara yang diajukan kepadanya;
2. Memeriksa setiap perkara yang diajukan kepadanya;
3. Mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.
Secara yuridis, didalam Pasal 184 KUHAP, seorang hakim dalam hal
menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut
kecuali apabila dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga
hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya. Alat bukti sah yang dimaksud adalah:
1. Keterangan Saksi;
2. Keterangan Ahli;
3. Surat;
31
4. Petunjuk;dan
5. Keterangan Terdakawa atau hal yang secara umum telah diketahui
sehingga tidak perlu dibuktikan.36
Pihak pengadilan dalam rangka penegak hukum pidana, hakim dapat menjatuhkan
pidana tidak boleh terlepas dari serangkaian politik kriminal dalam arti
keseluruhannya, yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat. Pidana yang dijatuhkan oleh hakim mempunyai dua tujuan yaitu
pertama untuk menakut-nakuti orang lain, agar supaya mereka tidak melakukan
kejahatan, dan kedua untuk memberikan pelajaran kepada si terhukum agar tidak
melakukan kejahatan lagi.37
Pedoman pemberian pidana akan memudahkan hakim dalam menetapkan
pemidanaannya, setelah terbukti bahwa tertuduh telah melakukan perbuatan yang
dituduhkan kepadanya. Dalam daftar tersebut dimuat hal-hal bersifat subjektif
yang menyangkut hal-hal yang diluar pembuat. Dengan memperhatikan butir-
butir tersebut diharapkan penjatuhan pidana lebih proporsional dan lebih dipahami
mengapa pidananya seperti yang dijatuhkan itu.38
Hakim dalam mengadili dapat mengacu pada ketentuan-ketentuan yang mengatur
masalah jenis-jenis pidana, batas maksimun dan minimum lamanya pemidanaan.
Walaupun demikian bukan berarti kebebasan hakim dalam menentukan batas
maksimum dan minimum tersebut bebas mutlak melainkan juga harus melihat
36
Satjipto Rahardjo, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat
PelayananKeadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1998, hlm. 11 37
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, PT Citra Aditya
Bhakti, 1996, hlm.2. 38
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998,
hlm.67.
32
pada hasil pemeriksaan di sidang pengadilan dan tindak pidana apa yang
dilakukan seseorang serta keadaan-keadaan atau faktor-faktor apa saja yang
meliputi perbuatannya tersebut.39
Hakim dalam kedudukannya yang bebas
diharuskan untuk tidak memihak (impartial judge). Sebagai hakim yang tidak
memihak dalam menjalankan profesi, mengandung makna hakim harus selalu
menjamin pemenuhan perlakuan sesuai hak-hak asasi manusia khususnya bagi
tersangka atau terdakwa.
Hal demikian telah menjadi kewajiban hakim untuk mewujudkan persamaan
kedudukan di depan hukum bagi setiap warga negara (equality before the law).40
Suatu putusan pidana sedapat mungkin harus bersifat futuristic. Keputusan pidana
selain merupakan pemidanaan tetapi juga menjadi dasar untuk memasyarakatkan
kembali si terpidana agar dapat diharapkan untuk tidak melakukan kejahatan lagi
di kemudian hari sehingga bahaya terhadap masyarakat dapat dihindari.41
Salah satu dasar pertimbangan dalam menentukan berat atau ringannya pidana
yang diberikan kepada seseorang terdakwa selalu didasarkan kepada asas
keseimbangan antara kesalahan dengan perbuatan melawan hukum. Dalam
putusan hakim harus disebutkan juga alasan bahwa pidana yang dijatuhkan adalah
sesuai dengan sifat dari perbuatan,keadaan meliputi perbuatan itu, keadaan pribadi
terdakwa. Dengan demikian putusan pidana tersebut telah mencerminkan sifat
futuristik dari pemidanaan itu.42
39
Lilik Mulyadi, Kekuasaan Kehakiman, Surabaya, Bina Ilmu, 2007, hlm. 63. 40
Wahyu Affandi, Hakim dan Penegakan Hukum, Bandung , Alumni, 1984, hlm. 69. 41
Cahaya, Perspektif Hakim Dalam Penegakan Hukum, Bandung , Alumni, 1984, hlm. 22. 42
Wahyu Affandi, Hakim dan Penegakan Hukum, Bandung , Alumni, 1984, hlm. 89.
33
Secara konseptual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam
melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:43
(1) Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;
(2) Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau
mengarahkan putusan yang akan dijatuhi oleh hakim;
(3) Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas
dan fungsi yudisial.
Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan
mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dohormati oleh semua pihak
tanpa terkecuali, sehingga tidak ada suatu pihak yang dapat menginterpensi hakim
dalam menjalankan tugasnya. Hakim dalam menjalankan putusannya harus
mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang
sedang diperiksa, tingkat perbuatannya dan kesalahan yang dilakukan pelaku.
Kepentingan pihak korban, keluarganya dan memenuhi rasa keadilan masyarakat
luas. Sebelum hakim memutuskan perkara terlebih dahulu ada serangkaian
keputusan yang harus dilakukan, yaitu:44
1. Keputusan mengenai perkaranya yaitu apakah perbuatan terdakwa telah
melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya;
2. Keputusan mengenai hukumannya yaitu apakah perbuatan yang
dilakukan terdakwa itu merupakan tindak pidana dan apakah terdakwa
tersebut bersalah dan dapat dipidana;
3. Keputusan mengenai pidananya apabila terdakwa memang dapat dipidana.
Pada praktik peradilan, biasanya hakim akan menarik sebuah kesimpulan yang
didapat dari pertimbangan yuridis dan non-yuridis. Berikut akan dijelaskan
pertimbangan-pertimbangan hakim yang bersifat yuridis dan non-yuridis:
43
Ahmad Rifai, Penemuan oleh hakim dalam perspektif hukum progresif, Cetakan 1, Sinar grafika
Jakarta: 2010, hlm.103. 44
Muladi-Barda Nawawi Arief, Loc,Cit, hlm.82.
34
1. Pertimbangan yang Bersifat Yuridis
Yakni pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di
dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang
harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis di antaranya:
a. Dakwaan jaksa penuntut umum
Menurut Pasal 143 Ayat 1 KUHAP, dakwaan merupakan dasar hukum
acara pidana karena berdasarkan itulah pemeriksaan dipersidangan
dilakukan. Dakwaan berisi identitas terdakwa juga memuat uraian tindak
pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat pasal yang
dilanggar. Identitas terdakwa tersebut telah dijelaskan dalam Pasal 143
Ayat 2 KUHAP.
b. Keterangan saksi
Merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam pasal 184 KUHP.
Sepanjang keterangan itu mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar
sendiri ia lihat sendiri dan alami sendiri dan harus disampaikan dalam
sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah.
c. Keterangan terdakwa
Menurut Pasal 184 KUHAP butir E keterangan terdakwa digolongkan
sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan
terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami.
d. Barang bukti yakni benda tersangka atau terdakwa yang seluruhnya atau
sebagian diduga atau diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari
tindak pidana.
35
e. Pasal-pasal dalam Undang-undang terkait. Hal yang sering terungkap di
persidangan adalah pasal-pasal yang dikenakan untuk menjatuhkan pidana
kepada terdakwa. Pasal-pasal ini bermula dan terlihat dalam surat dakwaan
yang diformulasikan oleh penuntut umum sebagai ketentuan hukum tindak
pidana yang dilanggar oleh terdakwa.
2. Pertimbangan yang Bersifat Non Yuridis
Pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk menentukan nilai keadilan dalam
pemidanaan seseorang, tanpa ditopang dengan pertimbangan non yuridis yang
bersifat sosiologis, psikologis, kriminologis dan filosofis. Pertimbangan non-
yuridis oleh hakim dibutuhkan oleh karena itu, masalah tanggung jawab hukum
yang dilakukan oleh terdakwa tidaklah cukup kalau hanya didasarkan pada segi
normatif, visi kerugiannya saja, tetapi faktor intern dan ekstern seseorang yang
melatarbelakangi seseorang dalam melakukan kejahatan juga harus ikut
dipertimbangkan secara arif oleh hakim yang mengadili.45
Aspek sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial mengapa
seseorang melakukan suatu tindak pidana, aspek psikologis berguna untuk
mengkaji kondisi psikologis terdakwa pada saat melakukan suatu tindak pidana
dan setelah menjalani pidana sedangkan aspek kriminologi diperlukan untuk
mengkaji sebab-sebab seseorang melakukan tindak pidana dan bagaimana sikap
serta perilaku orang yang melakukan tindak pidana, dengan demikian hakim
diharapkan dapat memberikan putusan yang adil.46
45
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 20. 46
Ibid. hlm. 27.
36
E. Tinjauan Umum Tindak Pidana Korupsi
1 Pengertian Korupsi
Korupsi adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri,
serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak
legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka
untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Kata korupsi berasal dari bahasa latin
“corruptio” atau corruptus yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik, menyogok. Menurut para ahli bahasa, corruptio berasal dari kata
kerja corrumpere, suatu kata dari Bahasa Latin yang lebih tua. Kata tersebut
kemudian menurunkan istilah corruption, corrups (Inggris), corruption
(Perancis), corruptie/korruptie (Belanda) dan korupsi (Indonesia).
Artinya dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan
jabatan resmi untuk keuntungan pribadi atau tindakan seseorang yang
menyalahgunakan kepercayaan dalam suatu masalah atau organisasi untuk
mendapatkan keuntungan. Atau suatu kegiatan yang merugikan kepentingan
publik dan masyarakat luas untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Undang-undang di Indonesia yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi
adalah UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
selanjutnya disebut dengan UU PTPK. Dalam pasal 15 UU PTPTK, disebutkan
bahwa orang yang membantu pelaku tindak pidana korupsi dikenakan ancaman
pidana yang sama dengan yang dikenakan kepada pelaku korupsi. Baharuddin
37
Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah
korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang
berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang
kepentingan umum.47
Berdasarkan Pasal 16 UU PTPK, ketentuan ini juga berlaku untuk setiap orang
yang berada di luar wilayah Indonesia yang membantu pelaku tindak pidana
korupsi. Ancaman pidana untuk orang yang turut serta melakukan tindak pidana
korupsi, kita perlu perlu merujuk pada ketentuan umum hukum pidana yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Berdasarkan Pasal 55 ayat
(1) KUHP, orang yang turut serta melakukan perbuatan pidana, dipidana sebagai
pelaku tindak pidana. Jadi berdasarkan pasal tersebut, orang yang turut serta
melakukan tindak pidana korupsi juga dipidana dengan ancaman pidana yang
sama dengan pelaku tindak pidana korupsi.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur mengenai tindak
pidana korupsi, saat ini sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya dengan
dikeluarkannya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang
Bersih dan Bebas Dari KKN, UU PTPK, serta terakhir dengan diratifikasinya
United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan UU No. 7 Tahun 2006. Menurut UU
PTPK, yang termasuk dalam Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut :
1. Menurut Pasal 2 UU PTPK, setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara
47
Hartanti, Evi, S.H.. Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika : Jakarta,2005, hal 9.
38
2. Menurut Pasal 3 UU PTPK, setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian Negara.
3. Menurut Pasal 5 UU PTPK, setiap orang atau pegawai negeri
sipil/penyelenggara negara yang memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya
pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya; atau memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya.
4. Menurut Pasal 6 UU PTPK, setiap orang yang memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau. memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat
yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili.
5. Menurut Pasal 7 UU PTPK, orang yang dimaksud ialah:
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau
penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan
bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan
perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan
bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan
Negara dalam keadaan perang
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan
negara dalam keadaan perang; atau;
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.
e. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang
yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan
orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang
atau yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan
perang.
39
f. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat
berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang
atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain,
atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
6. Berdasarkan Pasal 9 UU PTPK, pegawai negeri atau orang selain pegawai
negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus
menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku
atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
7. Menurut Pasal 10 UU PTPK, pegawai negeri atau orang selain pegawai
negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus
menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja.
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang,
yang dikuasai karena jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut.
8. Menurut Pasal 11 UU PTPK, pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga,
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut
pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan
dengan jabatannya.
9. Menurut Pasal 12 UU PTPK:
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan
sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan,
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau
40
pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau
kepada kas umum, seolaholah pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang
kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan
utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau
penyerahan barang, seolaholah merupakan utang kepada dirinya,
padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya
terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan
perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal
diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan
perundangundangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun
tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,
pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan,
untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.
10. Menurut Pasal 12B UU PTPK, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan
dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
11. Menurut Pasal 13 UU PTPK, setiap orang yang memberi hadiah atau janji
kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang
melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau
janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan.
12. Menurut Pasal 14 UU PTPK, setiap orang yang melanggar ketentuan
Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran
terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi
berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
41
2. Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi
Setidaknya ada tujuh jenis kelompok tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU
PTPK, yaitu:
1. Perbuatan yang merugikan negara.
Perbuatan yang merugikan negara, dapat di bagi menjadi dua bagian,
yaitu;
a. mencari keuntungan dengan cara melawan hukum, dan;
b. merugikan negara serta menyalahgunakan jabatan untuk mencari
keuntungan dan merugikan negara.
2. Suap
Pengertian suap adalah semua bentuk tindakan pemberian uang atau menerima
uang yang dilakukan oleh siapa pun baik itu perorangan atau badan hukum.
3. Gratifikasi.
Gratifikasi adalah pemberian hadiah yang diterima oleh pegawai negeri atau
penyelenggara negara. Gratifikasi dapat berupa uang, barang, diskon, pinjaman
tanpa bunga, tiket pesawat, liburan, biaya pengobatan, serta fasilitas-fasilitas
lainnya.
4. Penggelapan dalam jabatan.
Tindakan seorang pejabat pemerintah yang dengan kekuasaaan yang
dimilikinya melakukan penggelapan laporan keuangan, menghilangkan barang
bukti atau membiarkan orang lain menghancurkan barang bukti yang bertujuan
untuk menguntungkan diri sendiri dengan jalan merugikan negara.
5. Pemerasan.
Tindakan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau
dengan menyalahgunakan kekuasaaannya dengan memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan,
atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
6. Perbuatan curang.
Perbuatan curang ini biasanya terjadi di proyek-proyek pemerintahan, seperti
pemborong, pengawas proyek, dan lain-lain yang melakukan kecurangan
dalam pengadaan atau pemberian barang yang mengakibatkan kerugian bagi
orang lain atau keuangan Negara.
7. Benturan kepentingan dalam pengadaan.
Pengadaan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghadirkan barang atau
jasa yang dibutuhkan oleh instansi atau perusahaan.
3. Sanksi Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan ketentuan UU PTPK, jenis sanksi yang dapat dijatuhkan oleh hakim
terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah:
42
1) Pidana Mati
Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi yang dapat merugikan Keuangan Negara atau
perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Ayat 1
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu.
2) Pidana Penjara
a. Berdasarkan Pasal 2 Ayat 1 UU PTPK, pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling
lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 bagi setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan Keuangan
Negara atau perekonomian Negara.
b. Berdasarkan Pasal 3 UU PTPK, pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 tahun dan atau denda paling sedikit
Rp. 50.000.000,00 dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 bagi
setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan Keuangan Negara atau
perekonomian Negara.
c. Berdasarkan Pasal 21 UU PTPK, Pidana penjara paling singkat 3
tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
150.000.000,00 dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 bagi setiap
orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan
secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau
terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.
d. Pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 dan paling banyak
Rp.600.000.000,00 bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam
pasal 28, pasal 29, pasal 35 dan pasal 36.
3) Pidana Tambahan
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud
atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik
terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari
barang-barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya
sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1
tahun.
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan
oleh pemerintah kepada terpidana.
e. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam
43
waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa
dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
f. Jika terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara
yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana
pokoknya, dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan
pengadilan.
g. Terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh atau atas nama korporasi
maka pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan
ketentuan maksimal ditambah 1/3.
F. Tinjauan Umum Dana Desa
1. Sejarah Dana Desa
Keberadaan desa secara yuridis dalam Undang-Undang No 6 tahun 2014
menjelaskan bahwa desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional
yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Perubahan sistem pemerintahan dari Sentralisasi pada masa
orde baru menjadi Desentralisasi membuat perubahan kebijakan yang baru pada
kewenangan pemerintah daerah. Sistem Sentralisasi yaitu sistem yang
memusatkan pemerintah pusat dalam menentukan arah pembangunan negara.
Sistem tersebut dinilai kurang efektif karena terdapat pembangunan yang kurang
merata di seluruh Indonesia. Sedangkan sistem Desentralisasi yaitu pemerintah
pusat memberikan wewenangnya kepada pemerintah daerah untuk menanggulangi
pembangunan yang tidak merata dan untuk meningkatkan fungsi-fungsi pelayanan
pemerintah kepada masyarakat. Hal tersebut yang menjadikan desa menjadi objek
44
yang penting terkait dengan pembangunan di Indonesia. Mulai awal tahun 2015,
desa mendapatkan sumber anggaran baru yakni Dana Desa yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Setiap desa akan mengelola
tambahan anggaran berupa Dana Desa yang akan diterima bertahap. Pembagian
Dana Desa ini dihitung berdasarkan empat faktor, yakni jumlah penduduk, luas
wilayah, angka kemiskinan dan kesulitan geografis. Dana Desa diprioritaskan
untuk membiayai pelaksanaan program dan kegiatan berskala lokal desa bidang
pembangunan desa seperti sarana dan prasarana permukiman, ketahanan pangan,
kesehatan, pendidikan dan untuk membiayai bidang pemberdayaan masyarakat
yaitu program yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat desa
dalam pengembangan wirausaha, peningkatan pendapatan, serta perluasan skala
ekonomi individu warga atau kelompok masyarakat. Dengan adanya Dana Desa
menjadikan sumber pemasukan di setiap desa akan meningkat.
Meningkatnya pendapatan desa yang diberikan oleh pemerintah untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat desa. Tetapi dengan adanya Dana Desa juga
memunculkan permasalahan yang baru dalam pengelolaan, pemerintah desa
diharapkan dapat mengelola sesuai dengan peraturan perundang-undangan secara
efisien, ekonomis, efektif serta transparan dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan serta mengutamakan kepentingan
masyarakat.48
Desa tidak hanya sekedar jadi obyek pembangunan tetapi sekarang menjadi
subyek untuk membangun kesejahteraan. Dalam UU Nomor 6 tahun 2014
48
Ferina Burhanuddin. Pengertian Umum Dana Desa. Sinar Grafika: Jakarta, 2016, hal. 27.
45
menegaskan bahwa komitmen dari pemerintah untuk membangun desa agar
menjadi mandiri dan demokratis, sehingga mampu membawa harapan-harapan
baru bagi kehidupan kemasyarakatan.
2. Landasan Teori Dana Desa
1. Otonomi Desa Berdasarkan Undang-Undang No 6 Tahun 2014
Undang-Undang No 6 tahun 2014 tentang desa, merupakan UU tentang
pengembalian tataran mengenai jati diri desa yang dikembalikan lagi kepada
asalusulnya. UU ini juga menggambarkan itikad negara untuk memberikan
kemandirian kepada pemerintahan desa. Sehingga masyarakat desa disebut
sebagai masyarakat yang mengatur dirinya sendiri dan membangun pemerintahan
desa yang mengatur diri sendiri. Hal yang perlu diperhatikan, desa merupakan
tatanan pemerintahan yang kecil di setiap daerah yang telah ada bahkan sebelum
Indonesia ini terbentuk sebagai sebuah negara berdaulat. Reformasi ini untuk
mendorong proses reformasi berbasis otonomi daerah bersifat hakiki. Tujuannya
untuk menciptakan pemerintahan desa yang mampu menyejahterakan rakyat
tataran bawah. Otonomi desa merupakan otonomi asli dan utuh yang dimiliki oleh
desa, dan bukan termasuk pemberian dari pemerintah. Hak pemberian merupakan
hak yang diperoleh atas dasar pemberian oleh pemerintahan yang mempunyai
strata lebih tinggi. Sedangan Hak Bawaan merupakan hak yang diperoleh oleh
unit pemerintahan akibat dari suatu proses sosial, ekonomi, politik dan budaya,
termasuk proses interaksi dengan persekutuan-persekutuan masyarakat hukum
lainnya. Oleh sebab itu, pemerintah berkewajiban untuk menghormati otonomi
asli yang dimiliki oleh desa tersebut.
46
Menurut Undang-undang No 6 tahun 2014 pasal 3 tentang Desa, terdapat asas-
asas yang mengakibatkan desa mempunyai hak bawaan :
a. Asas Rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal-usul.
b. Asas Subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan
pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat.
c. Asas Keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap nilai
yang berlaku di masyarakat desa, tetapi tidak mengindahkan nilai bersama
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Disamping itu, tujuan dari
adanya otonomi desa terdapat pada pasal 4, yakni:
1. Memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap desa yang sudah
ada sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
2. Memberikan kepastian hukum untuk mewujudkan keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia.
3. Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, maupun budaya yang ada
di lingkungan masyarakat.
4. Mendorong adanya partisipasi dari masyarakat desa untuk
mengembangkan potensi yang ada di desa yang bertujuan untuk
menyejahterakan masyarakat.
5. Membentuk pemerintahan desa yang profesional secara efektif dan
efisien, serta bertanggung jawab.
3. Sumber Pendapatan Dana Desa
Pendapatan desa adalah segenap penerimaan yang sah yang dapat dinilai dengan
uang sedangkan yang dimaksud dengan sumber-sumber dalam Undang-Undang
47
26 Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 72 ialah sumber-sumber pendapatan desa yang
pada umumnya sebagai berikut:
2) Dari pemerintah adalah sumbangan-sumbangan dari pemerintah pusat atau
pemerintah daerah yang perlu merealisasikan dalam APBD (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah) masing-masing sebesar 10% untuk dana
alokasi desa. Adapun jenis-jenis sumbangan dari pemerintah pusat, adalah
sebagai berikut :
1. Bantuan, subsidi, atau sumbangan dari pemerintah pusat.
2. Bantuan dari pemerintah provinsi.
3. Bantuan dari pemerintah kabupaten.
4. Sumbangan atau hadiah dari panitia-panitia perlombaan, dan
5. Sebagian pajak dan retsibusi yang diberikan kepada desa.
3) Dari masyarakat adalah sumber dari masyarakat dikenal dengan berbagai
sebutan, seperti: pungutan desa, gotong royong, swadaya, iuran, urunan, dan
lain-lain.
4) Dari pihak ketiga adalah pemerintah desa dapat menerima sumber dari pihak
ketiga yang bersifat tidak mengikat dan sah. Misalnya dari yayasan, badan-
badan dan organisasi.
5) Dari kekayaan desa adalah segala kekayaan dan sumber penghasilan bagi
desa bersangkutan, kekayaan desa tersebut di atas terdiri atas:
a. Tanah kas
b. Pasar desa
c. Bangunan desa
d. Objek rekreasi yang diurus desa
48
e. Pemandian umum yang diurus desa
f. Hutan desa
g. Tempat-tempat pemancingan di hutan
h. Pelelangan ikan yang dikelola oleh desa
i. Jalan desa
Kemudian Prof. Drs HAW. Widjaja menambahkan sumber pendapatan desa, yang
terdiri atas:49
1. Sumber pendapatan desa yang terdiri atas:
a. Hasil usaha desa;
b. Hasil kekayaan desa;
c. Hasil swadaya dan partisipasi;
d. Lain-lain pendapatan asli desa yang sah;
e. Bantuan dari pemerintah kabupaten yang meliputi;
f. Bagian perolehan pajak dan retsibusi daerah;
g. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah;
h. Bantuan dari pemerintah dan pemerintah provinsi;
i. Sumbangan dari pihak ketiga;
j. Pinjaman desa.
2. Pemilikan dan Pengelolaan, yang meliputi:
a. Sumber pendapatan yang telah dimiliki dan dikelola oleh desa tidak
dibenarkan diambil oleh pemerintah atau pemerintah daerah.
Pemberdayaan potensi desa dalam meningkatkan pendapatan desa
49
Widjaja, HAW. Pemerintahan Desa/Marga. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2003. Hlm.3
49
dilakukan antara lain dengan pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMD),
kerja sama dengan pihak ketiga dan wewenang melakukan pinjaman.
b. Sumber pendapatan daerah yang berada di desa, baik pajak maupun
retribusi yang telah dipungut oleh daerah kabupaten tidak dibenarkan
adanya pungutan oleh pemerintah desa. Pendapatan daerah dari sumber
tersebut terus harus diberikan kepada desa yang bersangkutan dengan
pembagian secara proporsional dan adil. Ketentuan ini dimaksudkan untuk
menghilangkan beban biaya ekonomi tinggi dan dampak lainnya.
Kegiatan pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja desa yang ditetapkan
setiap tahun meliputi penyusunan anggaran pelaksanaan tata usaha keuangan dan
perubahan serta perhitungan anggaran. Dalam Undang-Undang. No. 6 Tahun
2014 tentang Desa Pasal 72 dan Ayat 1 disebutkan sumber pendapatan desa
berasal dari:
1. Pendapatan asli desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan
partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa.
2. Alokasi dari APBN dalam belanja transfer ke daerah/desa;
3. Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota; paling
sedikit 10% dari pajak dan retribusi daerah
4. Alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang
diterima kabupaten/kota; paling sedikit 10% dari dana perimbangan yang
diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi Dana Alokasi
Khusus.
5. Bantuan Keuangan dari APBD Provinsi dan APBD kabupaten/kota;
50
6. Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan lainlain
pendapatan desa yang sah.
Bagi hasil pajak & retribusi daerah kabupaten/kota:
a. Pajak daerah, paling sedikit 10%;
b. Retribusi daerah, sebagian;
3. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh
kabupaten/kota, paling sedikit 10% yang dibagi secara proposional yang
merupakan Alokasi Dana Desa (ADD).
4. Bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota dalam pelaksanaan urusan pemerintahan.
5. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah
pendekatan yang dilakukan dengan cara mempelajari konsep-konsep, teori-teori
serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalah.
Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan untuk mempelajari
hukum dalam kenyataan, baik berupa penilaian, prilaku, pendapat, dan sikap yang
berkaitan dengan proses Penjatuhan Pidana oleh Hakim yang mengandung unsur
Disparitas terhadap Perkara Tindak Pidana Korupsi putusan Nomor 1/Pid.Sus-
TPK/2019/PN.Tjk dan putusan Nomor : 45/Pid.Sus-TPK/2018/PN Tjk.
B. Jenis dan Sumber Data
Metode penelitian yang dapat dipergunakan untuk memperoleh data guna
menyusun skripsi ini sebagai berikut :
1. Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian
yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.91
Data yang dimaksud dari
Hakim Pengadilan Negeri yang berada pada umumnya di Kota Bandar Lampung.
91
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 2012, hlm. 51
52
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan menelusuri
literatur-literatur yang berhubungan dengan masalah yang disesuaikan dengan
pokok permasalahan yang ada dalam skripsi ini. Jenis data sekunder dalam skripsi
ini terdiri dari bahan hukum primer yang diperoleh dalam studi dokumen, bahan
hukum sekunder, bahan hukum tersier, yang diperoleh melalui studi literatur.
Adapun data sekunder terdiri dari: 92
a. Bahan hukum primer yaitu Bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri
dari;93
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
2. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
4. Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
5. Undang-Undang No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
b. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya
dari kalangan hukum.94
Bahan hukum sekunder ini juga yang berkaitan
dengan Analisis Disparitas Putusan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana
Korupsi putusan nomor 1/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Tjk dan putusan nomor :
45/Pid.Sus-TPK/2018/PN Tjk.
92
ibid, hlm.51 93
Soerjono Soekanto dan Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat ,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010, hlm.13 94
Ibid, hlm.13
53
c. Bahan hukum tersier yaitu yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder contohnya adalah
kamus ensiklopedia, indeks, kumulatif, dan seterusnya.95
C. Penentuan Narasumber
Narasumber adalah orang yang memberikan informasi/keterangan secara jelas
atau menjadi sumber informasi. Metode wawancara seringkali dianggap sebagai
metode yang paling efektif dalam pengumpulan data primer di lapangan karena
interviewer dapat bertatap muka langsung dengan responden untuk menanyakan
prihal pribadi responden, fakta-fakta yang ada dan pendapat (opinion) maupun
saran-saran responden.96
Narasumber dalam penelitian ini adalah Hakim
Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Jaksa Kejaksaan Negeri Tanjung Karang dan
Dosen Fakultas Hukum Pidana Universitas Lampung.
Berdasarkan sempel di atas maka yang menjadi responden dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 Orang
2. Jaksa Kejaksaan Negeri Tanjung Karang : 1 Orang
3. Dosen Fakultas Hukum Bagian Pidana Universitas Lampung : 1 Orang
Jumlah : 3 Orang
95
Ibid, hlm.13 96
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 57
54
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Pengumpulan Data
Setiap penelitian, bagaimana bentuknya, memerlukan data. Data inilah keterangan
mengenai sesuatu. Keterangan ini mungkin berbentuk angka atau bilangan dan
mungkin juga berbentuk kalimat atau uraian.97
Teknik pengumpulan data dalam skripsi ini dilakukan dengan prosedur sebagai
berikut:
b. Studi Pustaka (Library Research)
Studi kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yang
dilakukan dengan serangkaian kegiatan berupa membaca, mencatat, mengutip
dari buku-buku literatur serta informasi yang berhubungan dengan penelitian
yang dilakukan.
c. Studi Lapangan (Field Research)
Studi ini dilakukan dengan maksud untuk memperoleh data primer yang
dilakukan dengan metode wawancara (interview) secara langsung kepada
responden yang telah ditentukan terlebih dahulu.
2. Pengolahan Data
Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data di
lapangan sehingga siap pakai untuk dianalisa.98
Data yang terkumpul melalui
kegiatan pengumpulan data diproses pengolahan data dilakukan dengan cara:
97
Husin Sayuti, Pengantar Metodologi Riset, Jakarta: Fajar Agung, 1989, hlm. 62. 98
Bambang Waluyo, Op. Cit. Hlm. 72
55
a. Identifikasi data, yaitu mencari materi data yang diperolah untuk disesuaikan
dengan pokok bahasan yaitu buku-buku atau literatur-literatur dan instansi
yang berhubungan.
b. Seleksi data, yaitu data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pokok
bahasan dan mengutip data dari buku-buku literatur dan instansi yang
berhubungan dengan pokok bahasan.
c. Klasifikasi data, yaitu menempatkan data-data sesuai dengan ketetapan dan
aturan yang telah ada.
d. Sistematika data, yaitu penyusunan data menurut tata urutan yang telah
ditetapkan sesuai dengan konsep, tujuan dan bahan sehingga mudah untuk
dianalisis datanya.
E. Analisis Data
Tujuan analisis data adalah menyederhanakan data dalam bentuk yang mudah
diidentifikasikan. Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan analiasis
kualitatif dimana dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian- uraian
kalimat, dengan cara indukatif, yaitu suatu cara berfikir yang dilakukan pada
fakta-fakta yang bersifat umum kemudian dilanjutkan dengan keputusan yang
bersifatkhusus.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Diketahui bahwa hakim dalam memutuskan perkara pada perkara Nomor :
45/Pid-Sus.TPK/2018/PN.TJK dan 1/Pid-Sus.TPK/2019/PN.TJK telah terjadi
disparitas pidana. Karena, dilihat pada perkara pertama yakni perkara Nomor:
45/Pid-Sus.TPK/2018/PN.TJK, terdakwa terbukti telah melakukan
pengulangan tindak pidana yang sama dimasa lampau. Kemudian, dilihat dari
besarnya kerugian yang diperbuat oleh terdakwa dalam perkara pertama,
terdakwa dianggap telah merugikan kas negara dengan nominal yang lebih
besar dibanding perkara kedua dan terdakwa dalam perkara pertama hanya
melakukan pengembalian kas negara tidak lebih dari 50% sedangkan
terdakwa dalam perkara kedua telah mengembalikan kerugian Negara
sebanyak 85%, sehingga hakim mempunyai alasan yang jelas untuk
menjatuhkan pidana yang lebih berat kepada terdakwa dalam perkara pertama
dibandingkan dengan terdakwa dalam perkara kedua yakni perkara Nomor:
1/Pid-Sus.TPK/2019/PN.TJK.
88
2. Dasar pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara dalam No.
45/Pid.Sus-TPK/2018/PN.TK dan No. 1/Pid.Sus-TPK/2019/PN.TJK adalah:
1) Kedua terdakwa dinyatakan terlibat dalam kegiatan penggelapan anggaran
pendapatan dan belanja desa dan menerima hasil atau keuntungan atas
penggelapan anggaran pendapatan dan belanja desa tersebut.
2) Dalam perkara pertama, terdakwa dijatuhi hukuman 3 tahun 6 bulan,
alasan pemberatnya ialah dikarenakan terdakwa sebelumnya telah
melakukan pengulangan tindak pidana yang sama di masa lampau
sehingga hakim dalam memutus perkara pada kasus ini memberikan
hukuman pidana yang lebih lama dibandingkan dengan terdakwa dalam
perkara kedua.
3) Hakim dalam kedua kasus ini tidak hanya berpedoman dengan ketentuan
peraturan yang sudah ada, tetapi hakim juga melihat dari berbagai aspek
yakni aspek sosiologis, aspek psikologis, dan aspek kriminogi. Aspek
sosiologis berguna untuk mengkaji latar belakang sosial mengapa
seseorang melakukan suatu tindak pidana, aspek psikologis berguna
untuk mengkaji kondisi psikologis terdakwa pada saat melakukan suatu
tindak pidana dan setelah menjalani pidana sedangkan aspek kriminologi
diperlukan untuk mengkaji sebab-sebab seseorang melakukan tindak
pidana dan bagaimana sikap serta perilaku orang yang melakukan tindak
pidana.
89
B. Saran
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hendaknya majelis hakim dalam memberikan keputusan harus berpijak
terhadap peraturan perundang-undangan dan menjatuhkan sanksi sesuai
dengan ketentuan yang ada didalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Jo. UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi mengingat dana desa mempunyai nilai dan fungsi yang strategis
dalam pembangunan desa. Dengan hukuman yang sesuai dan maksimal
tersebut, diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap pelaku dan
masyarakat, sehingga peruntukan dana desa dapat dilakukan secara maksimal.
2. Dalam hal mengembalikan kerugian negara, hakim dalam melakukan
pertimbangan yakni mengambil keputusan untuk menjatuhkan pidana terhadap
pelaku, hendaknya hakim tidak hanya menjatuhkan pidana berupa perampasan
kemerdekaan, tetapi juga berupa pengembalian denda kerugian yang telah
pelaku perbuat kepada negara.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdoel, Djamali. 2012, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Ali. 1996, Tujuan Putusan Hakim, Jakarta. Dempster, Quentien. 2006,
Whistleblowers Para Pengungkap Fakta, Jakarta: Elsam.
Andrisman, Tri. 2007, Hukum Pidana Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum
Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung: Fakultas Hukum Unila.
Hamzah, Andi. 2010, Korupsi Di Indonesia, Masalah Dan Pemecahannya
Cetakan II, Bandung: PT Gramedia Pustaka Utama.
----. 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.
----. 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Bandung: Pradnya
Paramita.
----. 2005, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.
Harahap, Krisna. 2006. Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, Bandung:
PT. Grafitri.
Harkrisnowo, Harkristuti. 2003, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu
Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, Jakarta:
KHN Newsletter.
Kelsen, Han. 2007, Teori Umum Hukum dun Negara (Dcuur-dusar Ilmu
Hukum Normutif sebugui Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik), Jakarta: BEE Media
Indonesia.
Lopa, Baharudin. 2001, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Bandung.
Manan, Bagir. 2006, Hakim dan Pemindanaan, Jakarta: IKAHI.
Muhammad, Abdulkadir. 2004, Hukum dan penelitian, Bandung: Citra aditya
bakti.
Nawawi Arief, Barda. 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung:
PT Citra Aditya Bakti.
----. 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
----. 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya
Bakti.
----. 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Citra Bakti.
Prakoso, Djoko dan Nurwachid. 1983, Studi tentang Pendapat-Pendapat
Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.
-----. 1986, Upetisme Ditinjau Dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi cetakan I, Jakarta: Bina Aksara.
-----. 1988, Hukum Penetesier di Indonesia, Yogyakarta: Liberty.
Prinst, Darwan. 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Rifai, Ahmad.2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum
Progresif, Jakarta:Sinar Grafika.
Soesilo, R. 2010, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal, Bogor: Politea.
Waluyo, Bambang. 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar
Grafika.
Wijayanto, Ridwan Zachrie. 2009, Korupsi Mengorupsi Indonesia, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
C. Sumber Lainnya
Bunga, Marten. 2018. Konsepsi Penyelamatan Desa dari Perbuatan Korupsi. (2).
Holrev: 98.
Hany, Nicholas. 2015. Disparitas Pidana Dalam Putusan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi Semarang. (1) Universitas Atma Jaya Yogyakarta: 22.