Post on 23-Jul-2015
1. ANALISA SOSIOLOGI HUKUM BERDASARKAN METODE
PENDEKATAN DAN FUNGSI HUKUM
Latar Belakang
Analisa Sosiologi yang berdasarkan Metode Pendekatan dan Fungsi Hukum,
yang pada pokoknya adalah terdapatnya unsur-unsur seperti Sosiologi Hukum
Pendekatan Intrumental, Pendekatan Hukum Alam dan Karakteristik Kajian
Sosiologi Hukum.Dengan memerlukan Metode Pendekatan Sosiologi Hukum,
Perbandingan Yuridis Empris dengan Yuridis Normatif, Hukum Sebagai Sosial
Kontrol dan Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat, yang merupakan
sebagai tolak ukur terhadap norma-norma atau kaidah-kaidah yang hidup didalam
masyarakat, apakah norma atau kaidah tersebut dipatuhi atau untuk dilanggar,
apabila dilanggar bagaimana pernerapan sangsi, sebagai yang melakukan
pelanggaran tersebut.
Norma atau kaidah yang hidup didalam masyarakat tersebut dipengaruhi oleh
kondisi internal maupun eksternal dari masyarakat itu sendiri.
Terdapat beberapa permasalahan pokok yaitu :
1. bagaimanakah Pendekatan Intrumental dan Pendekatan Alam yang
dipengaruhi oleh kondisdi internal maupun eksternal ?, dan
2. bagaimanakah Perbandingan Yuridis Empris dengan Yuridis Normatif
apabila dilihat dari sudut pandang internal maupun eksternal
Tujuan dan maksud, dalam membahas serta menganalisa sampai tentang
Sosiologi Hukum yang secara tidak sadar meresap dan hidup didalam kehidupan
masyarakat baik secara internal maupun secara eksternal didalam melakukan
interaksi social, yaitu dengan menggunakanMetode Pendekatan Sosiologi Hukum
dan Perbandingan Yuridis Empris dengan Yuridis Normatif adalah yang merupakan
standarisasi sebagai objek pokok pembahasan Sosiologi Hukum.
Penggunaan kerangka teori dan konsep adalah untuk melihat pendapat para
ahli yang telah mendefinisikan, seperti : konsep dari H.L.A. HART yang difinisinya
adalah : “Bahwa suatu konsep tentang hukum yang mengandung unsur-unsur
kekuasaan yang berpusat kepada kewajiban tertentu didalam gejala hukum yang
tampak dari kehidupan bermasyarakat”.
Pengertian Sosiologi Hukum terlihat dari Difinisi para ahli Sosiologi Hukum
sepert :
1. Soejono Soekanto. Sosilogi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan
yang secara analitis dan empiris yang menganalisis atau mempelajari
hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya.
2. R. Otje Salaman. Sosiologi hukum (ilmu yang mempelajari hubungan timbal
balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya secara empiris
analistis).
Jelas terlihat berdasarkan definisi para ahli bahwa sosiologi hukum adalah
segala aktifitas social manusia yang dilihat dari aspek hukumnya disebut sosiologi
hukum.
Dasr sosiologi hukum adalah Anzilotti pada tahun 1882, yang dipengaruhi
oleh disiplin ilmu Filsafat hukum, ilmu hukum dan sosiologi yaitu :
1. Filsafat Hukum adalah dimana pokok bahasannya adalah aliran filsafat
hukum, yang menyebakan lahirnya sosiologi hukum yaitu aliran Positivisme
(difinisi Hans Kelsen. “Hukum berhirarkhis”). Dan aliran filsafat hukum
tumbuh dan berkembang berdasarkan :
a. Mazhab sejarah yang dipelopori oleh Carl Von Savigny yang
mengungkapkan bahwa hukum itu dibuat, akan tetapi tumbuh dan
berkembang bersama-sama dengan masyarakat (volksgeisf).
b. Aliran Utility (Jeremy Bentham) yaitu bahwa hukum harus bermanfaat
bagi masyarakat guna mencapai hidup bahagia.
c. Aliran Sociological Juriprudence (Eugen Ehrlich) yaitu hukum yang
dibuat harus sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat
(living law).
d. Aliran Pragmatic Legal Realism (Roscoe Pound) yaitu “ law as at tool
of social engineering”.
2. Ilmu Hukum menganggap bahwa hukum sebagai gejala social, banyak
mendorong pertumbuhan sosiologi hukum dan hukum harus dibersihkan dari
anasir-anasir sosiologi (non yuridis).
3. Sosilogi yang berorientasi pada hukum adalah bahwa dalam setiap
masyarakat selalu ada solideritas, ada yang solidaritas mekanis yaitu terdapat
dalam masyarakat sederhana, hukumnya bersifat reprensip.
Ruang Lingkup Sosilogi Hukum, dimana sosiologi hukum didalam ilmu
pengetahuan, bertolak kepada apa yang disebut disiplin ilmu, yaitu sistem ajaran
tentang kenyataan, yang meliputi disiplin analitis dan disiplin hukum (perskriptif).
Disiplin analitis, contohnya adalah sosilogis, psikologis, antropologis,
sejarah, sedangkan disiplin hukum meliputi : ilmu-ilmu hukum yang terpecah
menjadi ilmu tentang kaidah atau patokan tentang prilaku yang sepantasnya,
seharusnya, ilmu tentang pengertian-pengertian dasar dan system dari pada hukum
dan lain-lain. Terdapatnya pendekatan-pendekatan yang terdiri dari :
1. Pendekatan Instrumental.
Adalah menurut pendapat Adam Podgorecki yang dikutip oleh Soerjono
Soekanto yaitu bahwa sosiologi hukum merupakan suatu disiplin Ilmu teoritis yang
umumnya mempelajari ketentraman dari berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin
ilmu adalah untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang didasari
secara rasional dan didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat
2. Pendekatan Hukum Alam.
Adalah menurut Philip Seznik yaitu bahwa pendekatan instrumental
merupakan tahap menengah dari perkembangan atau pertumbuhan sosiologi hukum
dan tahapan selanjutnya akan tercapai, bila ada otonomi dan kemandirian intelektual.
Tahap tersebut akan tercapai apabila para sosiolog tidak lagi berperan sebagai
teknisi, akan tetapi lebih banyak menaruh perhatian pada ruang lingkup yang lebih
luas. Pada tahan ini seorang sosilog harus siap untuk menelaah pengertian legalitas
agar dapat menentukan wibawa moral dan untuk menjelaskan peran ilmu social
dalam menciptakan masyarakat yang didasrkan pada keseimbangan hak dan
kewajiban yang berorientasi pada keadilan.( Rule of Law menurut Philip Seznick).
Karakteristik Kajian Sosilogi Hukum, adalah fenomena hukum didalam
masyarakat dalam mewujudkan : 1. deskripsi, 2. penjelasan, 3. Pengungkapan
(revealing), dan 4 prediksi yaitu bahwa karekteristik kajian sosiologi hukum adalah
sebagai berikut :
1. Sosilogi Hukum berusaha untuk memberikan deskripsi terhadap praktek
hukum dan dapat dibedakan dalam pembuatan Undang-Undang, penerapan
dalam pengadilan, maka mempelajari pula bagaimana parktek yang terjadi
pada masing-masing bidang kegiatan hukum tersebut.
2. Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa sesuatu praktek-
praktek hukum didalam kehiduipan social masyarakat itu terjadi, sebab-
sebabnya, factor-faktor apa yang mempengaruhi. Latar belakang dan
sebagainya.Pendapat Max Weber yaitu “ Interpretative Understanding” yaitu
cara menjelaskan sebab, perkembangan serta efek dari tingkah laku social,
dimana tingkah laku dimaksud mempunyai dua segi yaitu luar dan dalam atau
internal dan ekternal.
3. Sosilogi hukum senantiasa menguji kesahian empiris dari suatu peraturan
atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang
sesuai dan/atau tidak sesuai dengan masyarakat tertentu.
4. Sosilogi hukum bersifat khas ini adalah apakah kenyataan seperti yang tertera
padsa peraturan itu ? dan harus menguji dengan data empiris.
5. Sosiologi Hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum, tingkah laku
yang mentaati hukum, sama-sama merupakan obyek pengamatan yang
setaraf, tidak ada segi obyektifitas dan bertujuan untuk memberikan
penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata.
Penguraian Metode Pendekatan Sosilogi Hukum, Perbandingan Yuridis
Empiris dengan Yuridis Normatif, Hukum sebagai social Kontrol dan Hukum
Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat.
Metode Pendekatan Sosiologi Hukum,
Dalam pengkajian hukum positif masih mendominasi studi hukum pada
Fakultas Hukum, yang cenderung untuk menjadi suatu lembaga yang mendidik
mahasiswa untuk menguasai teknologi hukum, yaitu menguasai hukumnya bagi
sesuatu persoalan tertentu yang terjadi serta bagaimana melaksanakan atau
menerapkan peraturan-peraturan hukum. Hal ini dapat disebut pengkajian hukum
melalaui pendekatan yuridis normative. Dan selain pendekatan tersebut dalam
pengkajian hukum ada sisi lain yaitu hukum dalam kenyataannya didalam kehidupan
social kemasyarakatan, bukan kenyataan dalam bentuk pasal-pasal dalam perundang-
undangan, melainkan sebagaimana hukum dioperasikan oleh masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pendidikan hukum yang bersifat
sociological model yang terdiri dari 1. social structure, 2.behavior,3. variable, 4
observer, 5.scientific dan 6.explanation akan menjadikan ilmu hukum itu reponsif
terhadap perkembangan dan perubahan dalam masyarakat.
Perbandingan Yuridis Empiris dengan Yuridis Normatif,
Untuk membanding hal tersebut diatas, maka pendekatan kenyataan hukum
dalam masyarakat dengan pendekatan yuridis normative, maka perlu menguraikan
lebih dahulu dimaksud pendekatan yuridis empiris atau ilmu kenyataan hukum dan
penjelasannya sebagai berikut :
1. Sosilogi Hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
hukum dengan gejala-gejala social lainnya secara empiris analistis. Contoh :
apakah seorang bermaksud lebih dari seorang isteri terdapat dalam PP No. 9
Tahun 1975 Pasal 40.
2. Antropologi hukum adalah ilmu yang mempelajari pola-pola sengketa dan
bagaimana penyelesaiannya pada masyarakat sederhana dan pada masyarakat
modern. Contoh : pada masyarakat sederhana ada dewam masyarakat adat
sedangkan pada masyarakat modern adalah Putusan Hakim.
3. Psikologi Hukum adalah ilmu yang mempelajari perwujudan dari jiwa
manusia. Contoh: diatatinya atau dilanggarnya hukum yang berlaku dalam
masyarakat.
4. Sejarah Hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum positif pada masa
lampau/Hindia Belanda sampai dengan sekarang. Contoh : Monumen
ordinantie ( HIR/Rbg).
5. Perbandingan Hukum adalah ilmu yang membandingkan sistem-sistem
hukum yang ada didalam suatu Negara atau antar Negara. Contoh Hukum
adat Batak dengan hukum adat jawa atau hukum singapura dengan hukum
Negara Indonesia.
Pendekatan yuridis empiris atau pendekatan kenyataan hukum dalam
masyarakat yang dilengkapi dengan contoh diatas, dapat dipahami bahwa berbeda
dengan pendekatan yuridis normative/pendekatan doktrin hukum.
Hukum Sebagai Sosial Kontrol,
Dimana setiap kelompok masyarakat selalu ada problem sebagai akibat
adanya perbedaan antara yang ideal dan yang aktual, antara yang standard dan yang
parktis. Penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat dapat dicontohkan :
pencurian, perzinahan hutang, membunuh dan lain-lain. Semua contoh ini adalah
bentuk prilaku yang menyimpang yang menimbulkan persoalan didalam masyarakat,
baik pada masyarakat yang sederhana maupun pada masyarakat yang modern. Dalam
situasi yang demikian itu, kelompok itu berhadapan dengan problem untuk menjamin
ketertiban bila kelompok itu menginginkan, mempertahankan eksistensinya.
Fungsi Hukum dalam kelompok masyarakat adalah menerapkan mekanisme control
sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang
tidak dikehendaki, sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk mempertahankan
eksistensi kelompok masyarakat tersebut. Hukum yang berfungsi demikian adalah
merupakan instrument pengendalian social.
Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat,
Hukum sebagai sosial control, juga hukum sebagai alat untuk mengubah
masyarakat atau biasa disebut social enginnering, Alat pengubah masyarakat adalah
analogikan sebagai suatu proses mekanik. Terlkihat akibat perkembangan Industri
dan transaksi-transaksi bisnis yang memperkenalkan nilai-nilai baru. Peran
perubahan/pengubahan tersebut dipegang oleh hakim melalui interprestasi dalam
mengadili kasus yang dihadapinya secara seimbang (balance) dan harus
memperhatikan beberapa hal yaitu :
1. Studi tentang aspek social actual dari lembaga hukum.
2. Tujuan dari pembuatan peraturan hukum yang efektif.
3. Studi tentang sosiologi dalam mempersiapkan hukum.
4. Studi tentang metodologi hukum.
5. Sejarah hukum.
6. Arti penting tentang alasan-alasan dan solusi adari kasus-kasus individual
yang pada angkatan terdahulu berisi tentang keadilan yang abstrak dari suatu
hukum yang abstrak.
Dari keenam langkah yang perlu diperhatikan oleh hakim atau praktisi hukum
dalam melakukan “interprestasi”, maka perlu ditegaskan bahwa memperhatikan
temuan-temuan tentang keadaan social masyarakat melalui bantuan ilmu sosilogi,
maka akan terlihat adanya nilai-nilai atau norma-norma tentang hak individu yang
harus dilindungi, yang semula hanya merupakan unsur-unsur tersebut kemudian
dipegang oleh masyarakat dalam mempertahankan kepada apa yang disebut dengan
hukum alam. (natural law).
Menganalisa Faktor Internal.
Metode Pendekatan Sosiologi Hukum sangat dipengaruhi oleh factor internal
yang hidup didalam masyarakat, seperti dalam pengkajian hukum positif terhadap
studi hukum yang cenderung untuk melembaga yang mendidik mahasiswa untuk
menguasai teknologi hukum, yaitu menguasai hukumnya bagi sesuatu persoalan
tertentu yang terjadi serta bagaimana melaksanakan atau menerapakan peraturan-
peraturan hukum. Hal ini dapat disebut pengkajian hukum melalaui pendekatan
yuridis normative, dan selain pendekatan tersebut dalam pengkajian hukum ada sisi
lain yaitu hukum dalam kenyataannya didalam kehidupan sosial kemasyarakatan,
bukan kenyataan dalam bentuk pasal-pasal dalam perundang-undangan, melainkan
sebagaimana hukum dioperasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian pendidikan hukum yang bersifat sociological model yang
terdiri dari
1. social structure,
2. behavior,
3. variable,
4. observer,
5. specientific dan
6. explanation akan menjadikan ilmu hukum itu reponsif terhadap
perkembangan dan perubahan dalam masyarakat.
Secara analisa factor internal bahwa metode pendekatan tersebut dipengaruhi
kebijakan dasar yaitu Dewan Hukum Adat pada masyarakat sederhana, sedangkan
pada masyarakat modern adalah putusan hakim. Juga dipengaruhi kebijakan
pemberlakuan, akibat pengaruh kebijakan dasar tersebut dengan upaya untuk
mematuhi keputusan kebijakan dasar dan apabila tidak melaksanakan maka akan
terkena sanksi kebijakan pemberlakuan, pada masyarakat sederhana keputusan
dewan kepala adat harus dilaksanakan dengan ketentuan musyarakat dewan adat,
sedangkan pada masyarakat modern, keputusan Hakim adalah merupakan kebijakan
dasar sedangkan kebijakan pemberlakukan adalah apabila tidak melaksanakan
putusan tersebut akan mendapat sanksi yang ditentukan oleh undang-undang yang
berlaku.
Menganilsa Faktor Eksternal
Metode Pendekatan Sosiologi Hukum sangat dipengaruhi juga oleh faktor
eksternal yang hidup diluar masyarakat, seperti dalam pengkajian hukum positif
terhadap studi hukum yang cenderung untuk melembaga yang mendidik mahasiswa
untuk menguasai teknologi hukum, yaitu menguasai hukumnya bagi sesuatu
persoalan tertentu yang terjadi serta bagaimana melaksanakan atau menerapakan
peraturan-peraturan hukum. Hal ini dapat disebut pengkajian hukum melalaui
pendekatan yuridis normative, dan selain pendekatan tersebut dalam pengkajian
hukum ada sisi lain yaitu hukum dalam kenyataannya didalam kehidupan sosial
kemasyarakatan, buka kenyataan dalam bentuk pasal-pasal dalam perundang-
undangan, melainkan sebagaimana hukum dioperasikan oleh masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari.Dengan demikian pendidikan hukum yang bersifat
sociological model yang terdiri dari
1. social structure,
2. .behavior,
3. variable,
4. observer,
5. specientific dan
6. explanation akan menjadikan ilmu hukum itu reponsif terhadap
perkembangan dan perubahan dalam masyarakat.
Secara analisa faktor eksternal mempengaruhi metode pendekatan tersebut,
terhadap kebijakan dasar eksternal yaitu peraturan nasional yang menaungi keamaan
dan ketentraman masyarakat sederhana tersebut, seperti pemberlakuan hak
penguasan tanah adat (Hak Ulayat), sedangkan pada masyarakat modern adalah
peraturan perundangan-undangan pertanahan (Hukum Agraria) yang melindungi
masyarakat modern didalam hal penguasaan tanah. Sangat jelas terlihat bahwa
kebijakan pemberlakuan, sebagai akibat dipengaruh kebijakan dasar tersebut, dengan
upaya untuk mematuhi keputusan kebijakan dasar yang berupa peraturan perundang-
undang dan apabila tidak melaksanakan ketentuan tersebut, maka akan hilang hak
penguasaan tanah tersebut yaitu kebijakan pemberlakuan pada masyarakat modern.
Kesimpulan
Pada pendekatan intrumental adalah merupakan disiplin Ilmu teoritis yang
umumnya mempelajari ketentraman dari berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin
ilmu adalah untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang didasari
secara rasional dan didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat
dan tidak terlepas dari pendekatan Hukum Alam. menciptakan masyarakat yang
didas untukrkan pada keseimbangan hak dan kewajiban yang berorientasi pada
keadilan.( Rule of Law).
Pada karakteristik kajian sosiologi hukum adalah fenomena hukum didalam
masyarakat dalam mewujudkan : 1. deskripsi, 2. penjelasan, 3. Pengungkapan
(revealing), dan 4 prediksi yaitu bahwa karekteristik kajian sosiologi hukum adalah
sebagai berikut yaitu Sosilogi Hukum berusaha untuk memberikan deskripsi terhadap
praktek hukum dan dapat dibedakan dalam pembuatan Undang-Undang, penerapan
dalam pengadilan, Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa sesuatu
praktek-praktek hukum didalam kehidupan social masyarakat itu terjadi, sebab-
sebabnya, factor-faktor apa yang mempengaruhi. Latar belakang, Sosilogi hukum
senantiasa menguji kesahihan empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum,
sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai dan/atau tidak sesuai
dengan masyarakat tertentu, Sosilogi hukum bersifat khas ini adalah apakah
kenyataan seperti yang tertera pada peraturan dan harus menguji dengan data
empiris.
Dengan dilakukan metode Pendekatan Sosiologi Hukum, adalah pengkajian
hukum positif, yang cenderung untuk menjadi suatu lembaga yang mendidik
mahasiswa untuk menguasai teknologi hukum, yaitu menguasai hukumnya bagi
sesuatu persoalan tertentu yang terjadi serta bagaimana melaksanakan atau
menerapakan peraturan-peraturan hukum (pendekatan yuridis normative dan
pendekatan pengkajian hukum pada kenyataa didalam kehidupan social
kemasyarakatan). Sedangkan Perbandingan Yuridis Empiris dengan Yuridis
Normatif, adalah pendekatan kenyataan hukum dalam masyarakat dengan
pendekatan yuridis normative, dengan menguraikan lebih dahulu pendekatan yuridis
empiris atau ilmu kenyataan hukum dan penjelasannya yaitu : Sosilogi Hukum
adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-
gejala social lainnya secara empiris analistis, Antropologi hukum adalah ilmu yang
mempelajari pola-pola sengketa dan bagaimana penyelesaiannya pada masyarakat
sederhana dan pada masyarakat modern, Psikologi Hukum adalah ilmu yang
mempelajari perwujudan dari jiwa manusia, Sejarah Hukum sebagai iilmu yang
mempelajari hukum positif pada masa lampau sampai dengan sekarang, dan
Perbandingan Hukum adalah ilmu yang membandingkan sistem-sistem hukum yang
ada didalam suatu Negara atau antar Negara.
Hukum Sebagai Sosial Kontrol, adalah setiap kelompok masyarakat selalu
ada problem sebagai akibat adanya perbedaan antara yang ideal dan yang aktual,
antara yang standar dan yang parktis yaitu penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam
masyarakat.adalah untuk menjamin ketertiban bila kelompok itu menginginkan,
mempertahankan eksistensinya.Begitu juga mengenai Fungsi Hukum dalam
kelompok masyarakat adalah menerapkan mekanisme control sosial yang akan
membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki.
Hukum Sebagai Alat Untuk Mengubah Masyarakat, adalah hukum sebagai
sosial control, dan sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau biasa disebut social
enginnering, sebagai alat pengubah masyarakat adalah dianalogikan sebagai suatu
proses mekanik. Terlihat akibat perkembangan Industri dan transaksi-transaksi bisnis
yang memperkenalkan nilai-nilai baru, dengan melakukan “interprestasi”, ditegaskan
dengan temuan-temuan tentang keadaan social masyarakat melalui bantuan ilmu
sosilogi, maka akan terlihat adanya nilai-nilai atau norma-norma tentang hak
individu yang harus dilindungi, dan unsur tersebut kemudian dipegang oleh
masyarakat dalam mempertahankan kepada apa yang disebut dengan hukum alam.
(natural law).
2. PARADIGMA METODOLOGI PENELITIAN HUKUM
( Bagian Pertama )
Tiga landasan ilmu pengetahuan atau yang sering disebut dengan tiga tiang
peyangga ilmu pengetahuan dalam kajian filsafat ilmu yaitu ontologi, epistimologi
dan aksiologi atau teleologis. Ketiga unsur ini merupakan tolok ukur dalam
membangun The Body of Knowledge.
Salah satu tiang penopang dalam bangunan ilmu pengetahuan adalah
epistimologi. Epistimologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi
pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Epistimologi
membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk
memperoleh pengetahuan. Epistimologi merupakan teori pengetahuan yang
diperoleh melalui proses metode keilmuan dan sah disebut sebagai keilmuan.
Dengan epistimologi maka hakikat keilmuan akan ditentukan oleh cara berfikir
yang dilakukan dengan sifat terbuka, dan menjunjung tinggi kebenaran di atas
segala-galanya. Oleh sebab itu aliran yang berkembang dalam menopang konsep
epistimologi menunjukkan koridor di atas seperti rasionalisme, empirisme, kritisme,
positivisme, fenomenologi.
Konsep epistimologi secara eksplisit dapat dikaji dari penerapan metode
ilmiah. Makna metode ilmiah dalam penerapan metodologis merupakan prosedur
yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah
untuk memperoleh pengetahuan yang baru atau mengembangkan pengetahuan yang
ada. Langkah-langkah semakin bervariasi dalam ilmu pengetahuan tergantung pada
bidang spesialisasinya.
Pada dasarnya metode ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun
tubuh pengetahuannya berdasarkan :
a. kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat
konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun;
b. menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran
tersebut dan ;
c. melakukan verfikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran
pernyataan secara faktual.
Ketiga hal di atas secara akronim disebut dengan logico hypotetico
verificative-deducto hypothetico verificative. Kerangka pemikiran yang logis adalah
argumentasi yang bersifat rasional dalam mengembangkan penjelasan terhadap
fenomena alam. Verifikasi secara empiris berarti evaluasi secara objektif dari suatu
pernyataan hipotesis terhadap kenyataan faktual. Verfikasi ini berarti bahwa ilmu
terbuka untuk kebenaran lain, selain yang terkandung dalam hipotesis (mungkin
fakta menolak hipotesis). Demikian juga verifikasi faktual membuka diri atas kritik
terhadap kerangka pemikiran yang mendasari pengajuan hipotesis. Kebenaran ilmiah
dengan keterbukaan terhadap kebenaran baru mempunyai sifat pragmatis yang
prosesnya berulang berdasarkan cara berfikir kritis.
Dalam epistimologi terdapat asas moral yang secara implisit dan eksplisit
masuk dalam logico hypotetico verificative-deducto hypothetico verificative yaitu
bahwa dalam proses kegiatan keilmuan, setiap upaya ilmiah harus ditujukan untuk
menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa mempunyai
kepentingan langsung tertentu dan hak hidup yang berdasarkan kekuatan argumentasi
secara individual.
Dalam beberapa kajian filsafat ilmu, posisi epistimologi ini mempunyai standar
pengujian yang kokoh karena didasari postulat value free. Konsep ini berbeda
dengan ontologi dan aksiologi yang sangat rawan untuk disalahgunakan karena unsur
subjektivitasnya sangat tinggi dalam dua bidang ini sehingga dilihat tidak bebas nilai.
Upaya melakukan kajian epistimologi dalam metode penelitian adalah
pengeksplorasian konsep dasar yang menjadi blue print bagi pola pengembangan
pembelajaran matakuliah ini. Pengeksplorasian ini dilakukan dengan tujuan ke depan
terdapat upaya-upaya pemaduan atau integrasi epistimologi antara metodologi
penelitian hukum dan metodologi penelitian hukum Islam sampai pada pembentukan
prototipe metodologinya. Selanjutnya akan dihasilkan sebuah perpaduan yang
komprehensif integral bagi perumusan awal substansi pembelajaran metode
penelitian hukum yang diajarkan di Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah. Upaya
pengembangan matakuliah tersebut sesuai dengan salah satu konsep startegi
pengembangan ilmu yaitu ilmu dan konteksnya saling meresapi dan saling
mempengaruhi untuk memberi kemungkinan bagi timbulnya gagasan-gagasan baru
yang aktual dan relevan bagi pemenuhan kebutuhan sesuai dengan waktu dan
keadaan (science for the sake human progres).
Metode penelitian hukum dan metode penelitian hukum Islam dalam proses
aplikasi dan pengembangannya mengalami berbagai pengaruh baik itu faktor
internal maupun faktor eksternal. Faktor internal misalnya terjadinya perluasan objek
studi akibat perkembangan kasus-kasus yang terjadi di masyarakat secara kultural,
terjadi keharmonisan pemikiran tentang objek kajian yang mengakibatkan terjadinya
modifikasi substansi pembelajaran, hasil-hasil penelitian yang berpengaruh pada
proses pembelajaran dan sebagainya. Secara eksternal hal ini dapat dilihat dari
kebijakan pemerintah yang mengakibatkan terjadinya perubahan struktural dan
sistem legislasi, tuntutan masyarakat akan kebutuhan prototipe sarjana hukum Islam,
tuntutan para pengguna lulusan (stake holders) dan sebagainya.
Dalam perkembangan metodologi penelitian hukum dan metodologi penelitian
hukum Islam mengalami pengaruh pula dari perkembangan metodologi penelitian
ilmu-ilmu sosial. Hal itu disadari sepenuhnya karena ranah penelitian dari
metodologi penelitian hukum dan metodologi penelitian hukum Islam berinduk pada
ranah makro dalam penelitian ilmu-ilmu sosial. Keterkaitan tersebut dapat ditelusuri
dari paradigma epistimologi dalam metodologi seperti : positivisme logis (M.Schlick,
1882-1936) ; rasionalisme kritis (K.R.Popper 1906-1994) ; empirisme analitis
(A.D.De Groot, 1975) ; hermeneutika (Wilhelm Dilthey 1833-1911 diteruskan oleh
K.Opel dan J.Habermas) ; konstruktivisme kritis ( oleh JJJ.Wuisman). Masing-
masing aliran ini mempunyai konsekuensi keilmiahan yang berbeda satu dengan
yang lain. Dengan ini akan terlihat kecenderungan mana dari isme ini yang dianut
oleh perkembangan metodologi penelitian hukum dan metodologi penelitian hukum
Islam. Guba dan Egon mengkaji aspek epistimologi paradigma ilmu dari positivisme,
postpositivisme, critical theory, dan konstruktivisme.
Pemikiran dan penerapan metodologi penelitian hukum yang berkembang di
Indonesia dapat dilihat dari konsep maupun aplikasi penelitian dalam struktur
diskursus. Terlihat jelas, uraian metodologi sangat dipengaruhi oleh pandangan
filsafat yang dianut. Pandangan filsafat ini dapat ditelusuri dari terdapatnya “benang
merah” yang secara konsisten terlihat dalam uraian teknis operasional bentuk
metodologi penelitian hukum yang dianut oleh peers group. Secara makro dapat
hukum yaitu metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian yuridis
sosiologis.dirumpunkan dalam dua kategori besar tentang cara pandang dalam
metode penelitian.
Penelitian hukum normatif adalah alur sejarah yang mengawali penelitian
hukum dan tetap konsisten mempertahankan “kenormatifannya” sebagai aras dan
tujuan penelitian hukum. Di luar ini bukan penelitian hukum. Sebagai bentuk
“klasik” dari penelitian hukum, hal ini tercermin dari tokoh-tokoh yang menganutnya
termasuk modifikasi-modifikasi yang dilakukan. Modifikasi yang dibangun dari
kerangka dasar penelitian tetap berbentuk normatif, karena sama sekali melepaskan
diri dari anasir eksternal dan bersifat esoterik. Sebutlah tokoh-tokoh besar seperti :
Hans Kalsen, H.L.Hart, John Austin maupun Rudolf von Jhering seperti yang terurai
pada Bab terdahulu
Penelitian yuridis sosiologis, merupakan bentuk penelitian hukum yang
“membuka diri “ atas perubahan-perubahan sosial khususnya perkembangan
penelitian ilmu-ilmu sosial. Filsafat yang dibangun atas kontribusi perkembangan
ilmu di luar hukum seperti sosiologi, antropologi, public policy dan sebagainya yang
memberikan “warna dinamis” pada pola penjabaran penelitian. Tokoh yang
berpengaruh pada aras penelitian ini, sebutlah F.Savigny, Donald Black, Eugen
Erlich, Adam Podgorecki sampai Roberto Mangaibera Unger dengan “The Critical
Legal Studies Movement”.
Di Indonesia, pola pemahaman dan penerapan metodologi penelitian hukum
berkembang atas kajian mendalam dan modifikasi yang dinamis para tokohnya.
Setiap tokoh mempunyai bentuk pemaknaan terhadap pola-pola yang berkembang
dalam menyusun metodologi penelitian hukum. Sebutlah tokoh-tokoh seperti :
Soerjono Soekanto, Ronny Hanitijo Soemitro, Sunaryati Hartono, Maria SW
Soemardjono sampai Soetandyo Wigjosoebroto. Pemikiran para tokoh ini
berkembang dalam wacana literature dan pendidikan hukum di Indonesia.
Perkembangan yang tidak dinafikan dalam koridor penelitian hukum adalah
dilakukannya eksplorasi yang tiada henti oleh kaum ilmuwan hukum maupun kaum
ilmuan sosial pemerhati metode penelitian hukum untuk melakukan berbagai
penelaahan dan pelebaran wawasan metode penelitian hukum dengan “mengakses”
perkembangan penelitian ilmu-ilmu sosial. Termasuk didalamnya paradigma
penelitian ilmu-ilmu sosial dan teknis operasionalnya menjadi pemaduan yang
menarik dalam kajian penelitian ilmu hukum. Perkembangan ini berjalan pesat
terutama pada penelitian yuridis sosiologis.
Sedemikian lajunya perjalanan metodologi penelitian ilmu hukum yang
“diwarnai” oleh perkembangan metodologi penelitian secara interdisipliner dan
multidisipliner tersebut mengakibatkan “keprihatinan” yang mendalam Ibu Sunaryati
Hartono dengan menulis makalah di tahun 1984 dengan judul “Kembali Ke Metode
Penelitian Hukum”. Alasan yang mendasar yang beliau sampaikan adalah peneliti
hukum yang terlalu “asyik” dengan metodologi penelitian ilmu-ilmu sosial pada
akhirnya meninggalkan aspek “normatif” dari metodologi penelitian hukum. Padahal
disadari metodologi penelitian hukum tidak boleh meninggalkan aspek normatif,
karena hal itu merupakan ciri dari metodologi penelitian hukum.
Keprihatinan tersebut membawa kesadaran bahwa sejauh apapun penggunaan
metodologi penelitian ilmu-ilmu sosial sebagai “alat atau pisau analisis” pada
hakekatnya membantu peneliti untuk mengungkapkan “fenomena sosial” dari tineliti
agar “bekerjanya hukum dalam masyarakat” dapat dideskripsikan secara utuh
mendekati realitas sosial yang terjadi.
“Keberanian” untuk mengungkapkan penemuan dalam upaya pemaduan
konsep dasar metodologi penelitian hukum dengan metodologi penelitian sosial yang
diposisikan sebagai “pelengkap” oleh peneliti hukum dituntun oleh dasar-dasar
argumentasi yang rasional empirik sehingga tingkat kepercayaan peers group dapat
memahami.
Salah satu cara untuk mengetahui perkembangan metodologi penelitian
hukum adalah dengan menelusuri alur pemikiran metodologi penelitian hukum dapat
dibagi dalam dua hal yang mendasar yaitu :
a. Jurisprudential Model yang mengedepankan aspek-aspek : rules, logic,
universal, participant, practical, and decesion.
b. Sociological Model yang mengedepankan aspek-aspek : social structure,
behaviour, variable, observer, scientific and explanation.
Kedua model di atas yang merupakan pola pengembangan dari two models
of law dari Donald Black (1989), yang melihat persoalan pengembangan dan
pembagian model hukum dengan menitiberatkan pada : focus, process, scope,
perspective, purpose dan goal.
3. HUKUM DAN MASYARAKAT
Rematerialisasi Hukum dan Masyarakat
Perubahan orientasi dari pemerintah yang terbetuk dalam rasional formal
menuju pada penguatan sub-sub sistem yang ada pada masyarakat (substantive
Rationality) memang disadari harus dilakukan melalui rematerialisasi hukum
(rematerialization of law) sebagai sebuah alternatif jalan keluar yang banyak
dilakukan dalam mengatasi keadaan yang dikenal dengan Krisis Hukum. Namun
bagaimana sebenarnya rematerialisasi hukum itu oleh Gunther Tuebner dikatakan:
“The rematerialization of formal law is the corollary development within the
legal sphere. law develops a substantive rationality characterized by
particularism, result-orientation, an instrumentalist sosial policy approach,
and the increasng legalization of formerly autonomus sosial processes.”
Sehingga dengan kata lain secara ringkas dapat dikatakan bahwa
rematerialisasi hukum adalah kecenderungan di bidang hukum dari rasionalitas
formal ke rasionalitas substantif, atau pemisahan dari formalitas hukum sebagai
konsekuensi logis paham negara kesejahteraan (welfare state) maupun negara
pengatur (regulatory state). Namun demikian, rematerialisasi hukum ini harus
diawasi sebab suatu remateriliasasi hukum dapat berdampak pada munculnya
ancaman terhadap nilai-nilai sosial ini, sebab dengan rematerilisasi hukum, nilai-nilai
yang kehidupan sosial akan tidak mendapat perhatian sehingga akan tidak
terakomodasi dalam pengaturan hukum. Disamping itu, secara langsung
rematerialisasi hukum ini akan mengganggu individualitas, sebab hukum akan
senantiasa mengacuh pada keinginan rasionalitas yang mengarah pada sasaran formal
dan tentunya dengan sendirinya akan melupakan persoalan individu. Sebagai
konsekuensi logis dari gambaran ini tentunya perlindungan hukum terhadap individu
dan masyarakat tentu akan berkurang.
Evolusioner dalam Hukum dan Sosial
Dalam memahami hubungan antara perubahan dalam hukum dan perubahan
dalam masyarakat, diperlukan sebuah teori yang bersifat evolusioner, meskipun teori
perkembangan ini tidak selamanya dapat menjelaskan bagaimana sebuah hukum
tertentu dapat bekerjasama dengan gambaran-gambaran sosial, ekonomi dan
organisasi politik dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, maka teori evolusioner
ini seharusnya mampu untuk mempertimbangkan hubungan antara struktur-struktur
hukum dan sosial serta membantu kita untuk memahami bagaimana transformasi-
transformasi itu dapat terjadi. Dalam sebuah model yang dikembangkan oleh Nonet
dan Selznick, Nonet dan Selznick menganalisis sebuah model mengenai proses
perubahan hukum yang membebankan aturan yang berpusat pada “dinamika
internal” sistem hukum. Dengan model ini maka aturan- aturan hukum hanya berada
pada penguatan-penguatan yang mengatur di dalam lingkungan hukum itu sendiri
saja. Hal ini berarti bahwa rematerialisasi hukum ini hanya memperbaiki kondisi
hukum itu saja, terlepas dari apakah hukum itu mempunyai dampak yang langsung
atau tidak kepada berbagai masalah lain seperti ekonomi, masyarakat, dan budaya.
Penguatan yang berpusat pada hukum ini akan memperkuat bentuk hukum yang ada
pada sisi pembuat hukum itu sendiri sehingga kecenderungan yang akan muncul
adalah hukum akan sulit diterima secara menyeluruh oleh masyarakat sebab orientasi
yang dimuat dalam model ini hanya akan menjadikan hukum sebagai poduk
otonomi. Dari gambaran model ini, maka kemungkinan hasil yang dapat dilihat
sebagai hasilnya adalah bahwa hukum akan memperkuat otoritas pemerintahan dan
akan cenderung mengarahkan pada hukum reperessif atau hukum akan cenderung
menguat dengan sendirinya sehingga tidak ada yang dapt mengganggu keadaan
hukum ini sehingga menjadi hukum yang otonom (autonomous law). Kemungkinan
lain yang akan muncul adalah aturan hukum ini akan berjalan sendiri tanpa adanya
unsur sosial didalamnya sehingga akan menimbulkan istilah yang dikenal dengan
‘hukum tanpa masyarakat ‘(law without society).
Meskipun demikian, model dari Nonet dan Selznick ini bagaimanapun tidak
seluruhnya hanya melihat pada aturan kekuatan sosial eksternal. Model ini secara
eksplisit juga mengenal adanya faktor-faktor seperti sosial, ekonomi atau budaya
yang berperan dalam perkembangan hukum, meskipun hanya sedikit. Tuebner
mengatakan bahwa Lingkungan eksternal dari model ini nampaknya tidak banyak
membawa perubahan pada hukum, karena pada prinsipnya menghambat atau
memfasilitasi realisasi pembangunan yang dipicu oleh dinamika internal hukum.
Struktur-struktur sosial yang lebih luas menstimulasi atau memperkuat peng-
aktualisasian dari potensi hukum, menentukan stabilitas dari suatu tahapan
evolusioner dan kemungkinan adanya kemajuan dan kemunduran. Oleh sebab itu
oleh Tuebner ia mengkombinasikan model dari Nonet dan Selznik ini dengan model
yang diberikan oleh Habermas-Luhman yang lebih mengarahkan masyarakat sebagai
organisasi yang teratur secara bertingkat dalam memberikan model sehingga pada
akhirnya akan terbentuk sebuah model hukum-sosial (social-legal model).
Pada hakekatnya, Luhmann dan Habermas mendasarkan analisisnya pada
teori-teori yang menyangkut evolusi struktur-struktur sosial dan proses-proses
hukum dan ko-variasi sosial. Luhmann menggunakan skema evolusioner atau tiga
tahapan perkembangan masyarakat yaitu:
1) Masyarakat tersegmentasi (segmented society) yang hidup secara
berkelompok atau terpencar yang dihubungkan oleh kekerabatan yang kuat,
meski tidak memiliki struktur kenegaraan;
2) Masyarakat yang terstrata (strartified society) secara bertingkat serta;
3) Masyarakat yang terdiferensiasi (differentiated society) secara fungsional.
Pada intinya Luhmann mengatakan masyarakat moderen berhadapan dengan
meningkatnya kompleksitas lingkungannya melalui proses diferensiasi, segmentasi,
stratifikasi masyarakat yang merupakan gabungan antara segmentasi dan stratifikasi,
serta fungsionalitas masyarakat. Sementara itu, Habermas mengidentifikasi tahapan-
tahapan evolusioner dalam masyarakat dan menganalisis hubungan antara tahapan-
tahapan ini melalui perkembangan moral hukum dengan mengemukakan tahapan-
tahapan perkembangan hukum dan masyarakat, yakni: Prekonvensional,
Konvensional, Pascakonvensional. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa
perubahan-perubahan hukum yang ditawarkan oleh Nonet dan Selznick bersandar
pada variabel-variabel internal sistem hokum, sementara Habermas dan Luhmann
menekankan pada inter-relasi eksternal antara hukum dan struktur sosial.
Hukum dalam Sistem Sosial
Bentuk konkret dari model hukum sosial dapat terlihat dimana aturan-aturan
hukum yang ada tersebut harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem-sistem dalam masyarakat. Namun demikian, bagaimana sistem itu dapat
terbentuk dalam masyarakat, perlu terlebih dahulu di pahami bahwa dalam
kehidupan bermasyarakat penggunaan istilah sistem biasa disalahpahami. Istilah
sistem sering dipakai dan digunakan dalam berbagai perbincangan akademik seperti
dalam perspektif sosiologi (misalnya istilah sistem sosial), dalam perspektif empirik
dengan istilah sistem politik, antropologi dengan sistem nilai budaya, perspektif
komunikasi seperti sistem komunikasi, maupun dalam perspektif administrasi dengan
penggunaan sistem administarsi negara dan lain sebagainya. Dalam tradisi ilmu-ilmu
sosial, istilah sistem tersebut sebenarnya sering digunakan untuk menjelaskan sebuah
sistem organik, atau sebuah sistem yang komponen-komponennya terdiri dari benda
yang berjiwa (animate). Sementara itu, dalam tradisi ilmu alam, istilah sistem lebih
sering digunakan untuk menjelaskan sistem anorganik, yaitu sebuah sistem yang
komponenkomponennya terdiri dari benda-benda yang tidak berjiwa (in-animate).
Penggunaan dan pembedaan ini sebenarnya tidak esensial karena secara umum
dapat dikatakan bahwa dari kedua bentuk diatas, suatu sistem sebanrnya adalah
sebuah himpunan yang terdiri dari bagaian-bagian yang saling berhubungan satu
sarna lain secara teratur dan membentuk suatu keseluruhan. Untuk lebih jelasnya
secara konkret, dapat dicontohkan pada sebuah sistem mekanik pada kendaraan
dimana jika komponen-komponen tersebut dihubungkan secara teratur dan kemudian
membentuk suatu kelengkapan, maka ia akan dapat berfungsi sebagai satu sistem
yang dapat disebut sebagai kendaraan. Talcott Parsons mengartikan sistem sebagai
sebuah pengertian yang menunjuk pada adanya interdependensi antara bagian-
bagian, komponen-komponen, dan proses-proses yang mengatur hubungan-
hubungan tersebut. Secara spesifik pengertian ini lebih menekankan pada
interdependensi antar komponennya.
Dengan demikian, maka pengertian sistem sosial dapat diartikan sebagai sebuah
keseluruhan komponen-komponen dalam masyarakat dimana seluruh komponen
dalam masyarakat ini berhubungan antara satu dengan lainnya sehingga membentuk
satu kesatuan yang saling berkaitan. Secara rinci, karakteristik sebuah sistem dapat
dilihat sebagai:
1. Terdiri dari beberapa komponen.
2. Saling berhubungan satu sama lain dalam suatu pola saling ketergantungan.
3. Keseluruhannya lebih dari sekadar penjumlahan dari komponenkomponennya
dimana yang terpenting bukanlah kuantitas komponen, melainkan kualitas
komponen secara keseluruhan.
Selain itu, sebagai sebuah konsep sosial, Talcott Parsons, menyatakan bahwa
masyarakat itu adalah suatu sistem sosial yang swasembada (self-subsistent) melebihi
masa individu normal, dan merekrut anggota secara reproduksi biologis serta
melakukan sosialisasi terhadap generasi penerusnya. Sementara Mariam Leve
mensyaratkan empat kritera agar sebuah kelompok bisa disebut sebagai masyarakat
yakni:
1. kemampuan bertahan melebihi masa hidup individu;
2. rekruitmen sebuah atau sebagian anggota melalui reproduksi;
3. kesetian pada suatu sistem tindakan utama bersama;
4. adanya sistem tindakan utama yang bersifat swasembada.
Konsep yang demikian bila dihubungkan dengan hukum, akan memperlihatkan
kegiatan-kegiatan yang mengarah pada perubahan sosial yang terjadi secara terus
menerus. Hal ini dapat terjadi karena hukum baik sebagai the tool of social
engineering akan terus mengendalikan suatu masyarakat dalam perkembangannya.
Secara umum, hukum sebagai aturan yang mengandung perintah dan larangan yang
bila dikaitkan dengan proses modernisasi masyarakat ternyata sangat berpengaruh
terhadap hukum itu sendiri.
Satjipto Raharjo menyatakan bahwa apakah yang seyogianya atau yang
seharusnya dilakukan dalam menghadapi kenyataan dalam masyarakat, dikenal
dengan nama disiplin presriptif. Ruang lingkup disiplin presriptif adalah: Pertama,
ilmu hukum. Ilmu hukum di sini yang dilihat adalah: (1) ilmu tentang kaidah yang
menelaah hukum sebagai kaedah atau sistem kaedah-kaedah dengan dogmatic dan
sistematik hukum; (2) ilmu pengertian, tentang pengertian-pengertian dari dasar dari
sistemhukum menakup subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum,
hubungan hukum, dan objek hukum; (3) ilmu tentang kenyataan yang menyoroti
hukum sebagai perangkat sikap, tindak dan perilaku yang terdiri dari sosiologi
hukum (hubungan timbal balik antara hukum dan gejolak sosial), antropologi hukum
(pola-pola sengketa da penyelesaiannya), psikologi hukm (hukum sebagai suatu
perwujudan daripada jiwa manusia), perbandingan hukum (membadingkan
sistemhukum antar beberapa masyarakat, dan sejarah hukum (perkembangan dan
asal usul daripada sistem hukum). Kedua, politik hukum yang mencakup kegiatan
memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nila yang dipilih itu. Ketiga, filsafat hukum
yang mencakup perenungan nilai-nilai, perumusan nilai-nilai, dan keserasian nilai-
nilai yang berpasangan dan kadangkala bersitegang atau berbenturan.
4. HUKUM DAN STRATIFIKASI DALAM KENYATAAN SOSIAL
A. Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial di sini diartikan sebagai perbedaan penduduk atau
masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atau secara hierarkis. Oleh karena
itu, para ahli sosiologi hukum biasanya mengemukakan suatu hipotesis bahwa
semakin kompleks stratifikasi sosial dalam suatu masyarakat, semakin banyak
hukum yang mengaturnya. Stratifikasi sosial yang kompleks dimaksud, diartikan
sebagai suatu keadaan yang mempunyai tolok ukur yang banyak atau ukuran-ukuran
yang dipergunakan sebagai indikator untuk mendudukkan seseorang di dalam posisi
sosial tertentu.
Seseorang yuris legis, biasanya lebih suka menelaah hukum sebagai suatu
gejala yang berdiri sendiri; sedangkan yuris yang orientasinya empiris lebih senang
menghubungkan antara hukum dengan gejata-gejala sosial lainnya. Sayang sekali
bahwa kedua pendekatan yang sebenarnya saling melengkapi itu, sering kali
dipertentangkan, sehingga tidak dapat dimanfaatkan hasilnya yang mungkin positif.
Dalam setiap masyarakat pasti ada sesuatu yang dihargai. Sesuatu yang dimaksud
akan melahirkan suatu sistem sosial yang berlapis-lapis atau stratifikasi sosial pada
masyarakat dimaksud. Stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk secara
bertingkat-tingkat berdasarkan hierarkinya. Suatu contoh: Masyarakat Bali
mempunyai beberapa kasta. Kasta-kasta dimaksud, antara satu dengan lainnya tidak
akan pernah sederajat. Selain itu, dapat juga diungkapkan bahwa dalam naasyarakat
cij Sulawesi Tengah tampak adanya masyarakat yang kaya, miskin, dan masyarakat
menengah.
Stratifikasi sosial yang dicontohkan di atas merupakan aspek vertikal dari
kehidupan sosial berdasarkan pendistribusian yang tidak seimbang seperti sandang,
pangan, dan tempat tinggal. Pengelompokan dari adanya stratifikasi sosial, biasanya
didasari oleh kekayaan, kekuasaan, kehormatan dan mungkin juga pengetahuan.
Pada keadaan masyarakat mempunyai banyak lapisan sosial; adakalanya
dijumpai pula stratifikasi sosial yang banyak lapisannya. Hipotesis di atas
mempunyai akibat bahwa semakin rendah status sosial seseorang dalam masyarakat,
semakin banyak perangkat hukum yang meugatumya. Oleh karena itu, semakin
banyak kekuasaan, kekayaan dan kehormatan, semakin sedikit perangkat hukum
yang mengaturnya. Masalahnya adalah keadaan seperti itu sangat bertentangan
dengan tujuan hukum yang tidak membedakan semua golongan, status, dan
sebagainya (persamaan di hadapan hukum). Dalam tulisan ini dikemukakan contoh
praktik hukum yang merupakan refleksi menindak seseorang pejabat tinggi yang
terlibat dalam pungutan liar, daripada menindak unsur-unsur rendahan dari suatu
sistem virokrasi. Dengan demikian, ada suatu kecenderungan, bahwa semakin ke atas
seseorang dalam-stratifikasi sosial, semakin berkurang hukumnya, akan tetapi bagi
ahli sosiologi hukum yang penting penerapannya secara nyata.
Selain hal di atas, juga dikemukakan masalah penegakan hukum yang
berorientasi kepada status sosial. Tulisan ini mengutip suatu artikel yang berasai dari
Prof. Sudarto dalam Seminar Kriminologi ke-IV di Semarang; la mengernukakan
bahwa saat ini peraturan perundang-undangan yang menyangkut penanggulangan
kejahatan potitik bertitik tolak pada “instansi”(instansi sentris) sehingga
menimbulkan fragmentasi. Dasar yuridis formal yang fragmentaris, secara asumtif
tnengakibatkan pada keadaan-keadaan yang lebih parah, terutama dari segi
penegaknya yang apabila berbuat negatif disebut oknum. Tulisan ini meninjau
masalah oknum, dalam judulnya dipergunakan “orientasi pada status”.: Dikatakan,
secara asumtif orientasi pada status merypakan suatu akibat negatif dari gejala
instaosi sentris: Selanjutnya dijelaskan pengertian status atau kedudukan dan peran.
Suatu status merupakan posisi dalam suatu sistem (sosial); sedangkan peranan adalah
pola perilaku yang terkait pada status tersebut.
Kenyataannya banyak contoh yang menunjukkan adanya kecenderungan
bahwa orientasi diarahkan pada status. Akibatnya adalah yang dipentingkan
posisinya dan bukan peranan atau fungsi. Masalah yang dihadapi adalah
pertentangan antara status atau kedudukan dengan peranan atau fungsi: Istilah sehari-
harinya disebut dengan istilah prestise dan prestasi. Orang yang berorientasi pada
status akan lebih mementingkan prestasi. Keadaan demikian sangat ber,pengaruh
terhadap kelancaran proses penegakan hukum, yang sedikit banyaknya tergantung
pada sikap tindak penegaknya.
B. Hukum Dan Gejala Sosial
Soerjono Soekanto mengungkapkan bahwa rule of law berarti persamaan di
hadapan hukum, yaitu setiap warga negara harus tunduk kepada hukum. Demikian
pengertian yang dapat dipahami dari suatu negara hukum. Namun demikian, terdapat
kecenderungan keterkaitan antara hukum dengan gejalagejala sosial, dalam hal ini
stratifikasi sosial yang terdapat pada setiap masyarakat. Tujuan kajiannya tidak lain
hanya untuk mengidentifikasi fakta, yang mungkin ada manfaatnya di dalam
pelaksanaan penegakan hukum yang saat ini banyak dipersoalkan oleh masyarakat di
Indonesia, terutama masyarakat yang mendiami wilayah perkotaan. Kasus-kasus
semacam ini dapat diungkapkan, misalnya peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti
dan Universitas Tadulako oleh oknum aparat keamanan ketika melakukan aksi
demonstrasi atas protes terhadap situasi kondisi perekonomian negara, Dwifungsi
ABRI dan semacamnya, baik di Jakarta, Makassar, maupun Palu.
Terhadap kasus penembakan tersebut, muncul pertanyaan mengapa oknum
aparat POLRI dan/atau TNI melakukan penembakan terhadap mahasiswa? Mungkin
akan dapat diungkapkan latar belakang sosialnya, sehingga kita semua akan lebih
mengerti mengapa peristiwa-peristiwa tersebut terjadi di negara hukum yang
berdasarkan Pancasila.
Selama ini memang terjadi banyak peristiwa yang agaknya “mengejutkan”,
datangnya sedemikian bertubi-tubi, sehingga kelihatan bahwa mekanisme hukum
memang kurang efektif; seolah-olah telah terjadi anarki di dalam kesibukan
penegakan hukum: Untuk praktisnya, di dalam tulisan ini hukum diartikan sebagai
peraturan yang ditetapkan oleh penguasa. Peraturan-peraturan tadi dapat bersifat
umum dan dapat juga bersifat khusus dari sudut ruang lingkup norma-normanya. Hal
itu kemudian dihubungkan dengan stratifikasi sosial, oleh karena masih memerlukan
penelitian yang lebih mendalam. Jadi, hukum di sini diartikan sebagai suatu jenis
social control yang diterapkan oleh penguasa.
C. Hukum Sebagai Variabel Kuantitatif
Suatu variabel adalah karakteristik dari suatu gejala yang berubah-ubah,
tergantung dari situasi atau kondisi di mana keadaan tersebut berada atau terjadi. Ada
suatu pendapat dalam sosiologi yang melihat hukum sebagai suatu variabel
kuantitatif, oleh karena menurut situasi dan kondisi, hukum dapat bertambah atau
bahkan berkurang di dalam perwujudannya. Suatu pengaduar, di kantor polisi
misalnya, adalah peristiwa hukum apabila dibandingkan dengan suatu kantor polisi
yang sama sekali tidak ada pengaduan semacam itu.
Secara kuantitatif terjadi lebih banyak proses hukum apabila frekuensi
gugatan pada suatu pengadilan negeri adalah tinggi, bila dibandingkan dengan
keadaan suatu pengadilan yang sama sekali kurang terjadi gugatan-gugatan. Kalau
penguasa pada suatu masa mengeluarkan lebih banyak peraturan tertulis daripada
masa lain, maka terdapat lebih banyak hukum. Suatu contoh konkret adalah
peraturan-peraturan tertulis mengenai peruntukkan tanah yang dikeluarkan oleh
GubernurlKepala Daerah Khusus ibukota Jakarta, selama periode antara tahun 1966
sampai dengan tahun 1970. Pada tahun 1968 dikeluarkan tiga peraturan, pada tahun
1969 tujuh peraturan, pada tahun 1970, 1971, dan 1972 tidak ada peraturan yang
dikeluarkan; sedangkan pada tahun 1973 dan 1974, masing-masing satu peraturan
(Pemerintah DKI Jakarta, Himpunan Peraturan Pertanahan DKI Jakarta 1976).
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa terdapat huktam pada tahun 1969, apabila
dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan tahun-tahun sesudahnya.
Hal di atas ditemukan meialui pendekatan sosiologis sebagai salah satu dasar
perikelakuan yang nyata ataupun fakta yang terlihat. Hal ini mungkin berarti pada
suatu ketika jenis jenis social control lainnya lebili menonjol perannya daripada
hukum. Sebab, integrasi dan keteraturan dalatn masyarakat tidak hanya disebabkan
oleh adanya hukum, akan tetapi justru mungkin karena adanya jenis jenis social
control lain, seperti kaidah-kaidah kesusilaan, sopan saritun, dan seterusnya. Maka
adakalanya para sasiolog bertitik tolak pada hipotesis, bahwa bertambahnya hukum
adalah sesuai dengan berkurangnya jenis-jenis social control lainnya; atau
berkurangnya hukum adalah sejalan dengan bertambahnya jenis jenis kontroi sosial
selain hukum.?[2]
D. menyoal anarki dan penegakan hukum di indonesia
Jauh-jauh hari Prafesor Donald Black (dalam The Behavior of Law, 1976)
merumuskan hahwa ketika pengendalian sosial oleh pemerintah yang sering
dinamakan hukum tidak jalan, maka bentuk lain dari pengendalian sosial sccara
otomatis akan muncul. Suka atau tidak suka, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
individu dan kelompok yang dari optik yuridis dapat digolongkan sebagai tindakan
main hakim sendiri (eigenrichtirzg), pada hakikatnya merupakan wujud
pengendalian sosial yang dilakukan oleh rakyat.
Berbagai tindakan anarki, baik dalam wujud tindakan main hakim sendiri
tnaupun tawuran, pertikaian suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dan jenis
lainnya, menjadi fenomena yang kini tampak di berbagai tempat di tanah air.
Terakhir yang paling mengerikan, pembakaran lima sosok tersangka penodong oieh
warga tnasyarakat setempat.
Berbagai tindakan anarkis dan main hakim sendiri itu, celakanva hanya
ditanggapi dengan penanganan sangat parsial dan sempit oleh penguasa dan aparat
penegak hukum, serta mengabaikan “akar masalah”nya sendiri. Padahal mestinya
disadari, perilaku anarkis itu lahir dalam suatu lingkungan yang kondusif, baik secara
struktural maupun situasional.
Setiap kasus yang demikian merupakan suatu struktur kompleks posisiposisi
dan hubungan-hubungan sosial: Para petinggi hukum hanya bicara tentang
keberadaan rambu-rambu hukum yang memang ada, tetapi di dalam ketiyataannya
justru tidak berdaya (atau mungkin sengaja tidak diberdayakan oleh sosoksosok
petinggi atau penegak hukum tertentu). Kaum realis sering mengemukakan,
generally speaking, legal doctrine alone cannot adequately predict or explain how
cases are handled (secara umum, doktrin hukum semata tidak dapat secara memadai
meramalkan atau menjelaskan bagaimana kasus-kasus ditangani). Memang di satu
pihak penanganan situasional dibutuhkan, misalnya diharapkan suatu tindakan yang
tegas dan profesional oleh aparat penegak hukum terhadap para pelaku anarkis,
namun di pihak lain, penanganan secara mendasar pada akar masalahnya juga harus
ditangani secara nasional.
Seyogianya disadari bahwa berbagai tindakan anarkis yang terjadi bela-
kangan ini, merupakan perwujudan dari apa yang diistilahkan oleh Smelser sebagai a
hostile outburst (ledakan kemarahan) atau a hostile frustration (ledakan tumpukan
kekecewaan).
Tingkat kepercayaan warga masyarakat terhadap pranata formal, termasuk
terhadap law enforcement, sudah teramat buruk. Dan sudah menjadi adagium yang
universal, ketika tingkat kepercayaan warga terhadap penegakan hukum itu
memburuk, otomatis tingkat tindakan main hakim sendiri akan meningkat, demikian
sebaliknya. Untuk itu sangat beralasan dikemukakan bahwa Indonesia membutuhkan
suatu strategi raksasa dalam upaya penanggulangan tindakan anarki tersebut. Apa
yang dimaksudkan sebagai strategi raksasa ialah pengembalian kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah dan penegakan hukum.
Bagaimana mungkin masyarakat akan pulih kepercayaannya jika yang
mereka saksikan dalam proses penegakan hukum, terutama yang berkaitan dengan
kasus-kasus KKN kelas kakap, masih seperti yang dialunkan oleh syair aku masih
seperti yang dulu. Berbagai sikap diskriminatif, dilakonkan para penegak hukum
negeri ini. Tampak benar oleh mata hati masyarakat bahwa asas equal justice under
law masih merupakan lips service. Hanya bahan retorika belaka para petinggi
hukum. Lebih-lebih lagi ketika muncul kasus suap pada proses hukurn Probosuteja
terhadap aparat Mahkamah Agung termasuk ketua Mahkamah Agung.
Pengembalian kepercayaan itu tentu saja barns dimulai dengan pelengseran
para petinggi hukurn dan penegak hukurn yang tergolong sosak-sosok sapat kotor.
Dari sekitar 80-an calon hakim agung yang kini (2002) akan dipilih oleh DPR,
seyogianya 20 orang bakal tersisa, yang notabene benar-benar orang barn dan dengan
paradigma baru, yang tidak pernah bersentuhan dengan sistetn pernerincahan di masa
lalu. Dan memiliki catatan prestasi yang baik, khususnya yang mempunyai
komitmen tinggi terhadap upaya menjadikan hukurn sebagai panglima di republik
ini. Kejaksaan Agung pun tak terkecuali, harits dibersihkan.
Ada baiknya, dari level Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung hingga ke
lapisan petinggi hukurn di tingkat daerah, ditempati sosok-sosok nonpartisan,
sehingga kebijakannya tidak bias oleh kepentingan partai politiknya, sebab secara
teouetis dikatakan intimacy breeds partisanship, Secara ilmiah, faktor stratifikasi dan
morfologi, sangat kental mempengaruhi penegak hukum, bahkan menurut Donald:
Even the smallest degree of intimacy, such as, eye contact with jurors, strengthens a
case (bahkan kadar keintiman yang paling kecil, seperti kontak mata dengan para
anggota dewan juri akan memperkuat suattt kasus).
Kondisi keterpurukan hukurn di Indonesia saat ini hanya mungkin diatasi jika
para penegak hukurn lebih banyak bertanya kepada hati nuraninya daripada perutnya,
sehingga apa yang disebut benar dan adil oleh masyarakat mampu
diimple.mentasikan oleh para penegak hukurn melalui putusan-putusan hukurn di
pengadilan.
5. KEBERADAAN HUKUM DALAM MASYARAKAT DALAM KONTEKS
PENEGAKAN HUKUM
A. Efektivitas Hukum Dalam Masyarakat
Bila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat berarti membi-
carakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa masyarakat untilk
taat terhadap hukum. efektivitas hukum dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum
yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis; berlaku secara sosiologis,
dan berlaku secara filosofis. Oleh karetta itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
hukum itu berfungsi dalam masyarakat, yaitu (1) kaidah hukum/ peraturan itu
sendiri; (2) petugas/penegak hukum; (3) sarana atau fasilitas yang digunakan oleh
penegak hukum; (4) kesadaran masyarakat. Hal itu akan diui-aikan secara berurut
sebagai berikut.
1. Kaidah Hukum
Di dalam teori-teori ilmu hukum, dapat dibedakan tiga macam hal mengenai
berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal itu diungkapkan sebagai berikut:
1) Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan
pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang
telah ditetapkan.
2) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah fersebut efektif.
Artinya, kaidah dimaksud dapat dipaksakan be-rlakunya oleh penguasa
walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau
kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat.
3) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu- sesuai dengan cita hukum
sebagai nilai positif yang tertinggi.
Kalau dikaji secara mendalam, agar hukum itu berfungsi maka setiap kaidah
hukum harus memenuhi ketiga macam unsur di atas, sebab: (1) bila kaidah hukum
hanya berlaku secara yuridis, ada kernungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati;
(2) kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan,maka kaidah itu
menjadi aturan pemaksa; (3) apabila hanya bertaku secara filosofis, kemungkinannya
kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (itas cotastituendum).
Berdasarkan penjelasan di atas, tatnpak betapa rumitnya persoalan efektivitas hukum
di Indonesia. Oleh karena itu, agar suatu kaidah hukum atau peraturan tertulis benar-
benar berfungsi, senantiasa dapat dikembalikan pada empat faktor yang telah
disebutkan.
2. Penegak Hukum
Penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup
ruang lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut petugas pada strata atas,
menengah, dan bawah. Artinya, di dalam tnelaksanakan tugas-tugas penerapatr
hukum, petugas seyogianya harus memiliki suatu pedoman, di antaranya pet-atut-an
tertulis tertentu yang meneakup ruang lingkup tugas-tugasnya. Di dalatn hal
penegakan hukum dimaksud, kemungkinan petugas penegak hukutn menghadapi hal-
hal sebagai berikut.
1) Sampai sejauh mana petugas terikat dari peraturan-peraturan yang ada?
2) Sampai batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan?
3) Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada
masyarakat?
4) Sampai sejauh manakah derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang
diberikan kepada para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas
pada wewenangnya?
Masalah-masalah umum yang diungkapkan di atas, masih dapat bertambah;
untuk sementara ini hanya disebutkan contoh-contoh sebagai berikut.
1. Di berbagai ibukota provinsi di Indonesia, misalnya Palu, jarang sekali tet’lilat
diambilnya tindakan terhadap pejalan kaki yang seenaknya menyeberang jalan.
Kalau terjadi kecelakaan lalu lintas, ada kecenderungan yang sangat kuat, bahwa
yang mengemudikan kendaraan bermotor yang ditindak. Padahal ada peraturan-
peraturan yang dikenakan terhadap para pejalan kaki, yaitu dalam Pasal 9 dan 10
PP Nomor 38 Tahun 1951. Di dalam Pasal 108 dari PP tersebut, ada ancaman
hukuman terhadap peianggar Pasat 9 dan 10 ayat (2), yang oleh Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1965 diklasifikasi sebagai peristiwa (tindak) pidana pelanggaran.
Entah mengapa petugas lalu lintas di wilayah ini hampir-hampir tidak pernah
menerapkan ketentuanketentuan tersebut, akan tetapi 3ebih cenderung untuk
menerapkan Pasal 359 dan 360 KUHP terhadap pengemudi kendaraan bermotor
apabila terjadi kecelakaan lalu lintas yang melibatkan tubrukan antara kendaraan
bertnotor dengan pejalan kaki.
2. Ada perkembangan baru soal peradilan yang menyimpang di Sulawesi Tengah,
pada persidangan 22 kasus di Parigi pada tanggal 15 Maret 2003.
Sidang dimaksud, hanya dilaksanakan oleh majelis hakim sekitar setengah
hari sebagaimana yang dianalisis oleh Pain Justice Watch (PJW). Hasil temuan itu
ditindaklanjuti lagi oleh wartawan Radar Sulteng, Tempo, dan dikutip oleh beberapa
wartawan, baik lokal maupun nasional. Dari husil temuan dimaksud, penulis
berkesimpulan bahwa kemungkinan besar terjadi penyimpangan dalam hukum acara
pidana, oleh karena adanya pengakuan dalam bentuk keluhan dari salah seorang
hakim mengenai banyaknya perkara yang harus diselesaikan dalam wilayah hukum
Pengdilan Negeri Palu. Demikian juga pengakuan atas kekeliruan wau kekhilafan
Jaksa Penuntut Umum.
Berdasarkan keterangan singkat dari dua kasus di atas, faktor petugas
memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik.
tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masaiah. Demikian pula
sebaliknya, apabila peraturannya buruk, sedangkan kualitas petugasnya baik,
mungkin pula timbul masalah-masalah.
3. Sarana/Fasilitas
Fasilitas atau sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu.
Ruang lingkup sarana dimaksud, terutama sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor
pendukung. Misalnya, bila tidak ada kertas dan karbon yang cukup serta mesin tik
yang cukup baik, bagaimana petugas dapat membuat berita acara mengenai suatu
kejahatan. Bagaimana polisi dapat bekeija dengan baik apabila tidak dilengkapi
dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proporsional. Kalau peralatan
dimaksud sudah ada, faktor-faktor pemeliharaannya juga memegang peran yang
sangat penting. Memang sering tei jadi bahwa suatu peraturan sudah difungsikan,
padahal fasilitasnya belum tersedia lengkap. Peraturan yang semula bertujuan untuk
memperlancar proses, malahan mengakibatkan terjadinya kemacetan. Mungkin ada
baiknya, ketika hendak menerapkan suatu peraturan secara resmi ataupun
memberikan tugas kepada petugas, dipikirkan mengenai fasilitas-fasilitas yang
berpatokan kepada:
1) apa yang sudah ada, dipelihara terus agar setiap saat berfungsi;
2) apa yang belum ada, perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu
pengadaannya;
3) apa yang kurang, perlu dilengkapi;
4) apa yang telah rusak, diperbaiki atau diganti;
5) apa yang macet, dilancarkan;
6) apa yang telah mundur, ditingkatkan.
4. Warga Masyarakat
Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga
masyarakat. Yang dimaksud di sini adalah kesadarannya untuk mematuhi suatu
peraturan perundang-undangan, yang kerap disebut derajat kepatuhan. Secara
sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum
merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Sebagai
contoh dapat diungkapkan sebagai berikut.
1) Apabila derajat kepatuhan terhadap peraturan rambu-rambu lain lintas
adalah tinggi maka peraturan lalu lintas dimaksud, pasti akan berfungsi,
yaitu mengatur waktu penyeberangan pada persimpangan jalan. Oleh
karena itu, bila rambu-rambu lalu lintas warna kuning menyaIa, para
pengemudi diharapkan memperlambat laju kendaraannya. Namun bila
terjadi sebaliknya; kendaraan yang dikemudikan makin dipercepat lajunya
atau tancap gas; besar kemungkinan akan terjadi tabrakan.
2) Bagi orang Islam Indonesia termasuk warga masyarakat Islam yang
mendiami kota Palu, tahu dan paham tentang Undang-Undang ltlomou 3$
Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Undang-undang dimaksud; lahir
dari adanya ajaran Islam yang mewajibkan berzakat bagi setiap muslim
yang mempunyai penghasilan, baik penghasilan dari pekerjaan profesi
sebagai pegawai negeri, pejabat strukturai, maupun pejabat fungsional.
Namun demikian, masih ditemukan pegawai negeri sipil dirnaksud;
mengeluarkan zakatnya tanpa melembaga. Artinya orang Islam dimaksud,
memberikan zakat kepada orang yang dianggap bei-hak menerimanya.
Padahal baik peraturan perundang-undangan maupun ajaran Islam
(Aiquran Surah At-Taubah: 60) menghendaki agar zakat ctikeluarkan
melalui letrtbaga amil zakat. Sebab, salah satu fungsi sosial zakat adalah
pemenuhan hak bagi delapan golongan yang berhak menerima zakat dalam
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Berdasarkan dua contoh di atas, persoalannya adalah (1) apabila peraturan
baik, sedangkan warga masyarakat tidak mematuhinya, faktor apakah yang
menyebabkannya? (2) apabila peraturan itu baik serta petugas cukup berwibawa,
fasilitas cukup, mengapa masih ada yang tidak mematuhi peraturan perundang-
undangan?
Selain masalah-masalah di atas, masih ada persoalan lain, yaitu adanya suatu asumsi
yang menyatakan bahwa semakin besar peran sarana pengendalian sosial selain
hukum (agama dan adat istiadat), semakin kecil perao hukum. Oleh karena itu,
hukum tidak dapat dipaksakan keberlakuannya di dalam segala hal; selama masih
ada sarana lain yang ampuh: Hukum hendaknya dipergunakan pada tingkat yang
terakhir bila sarana lainnya tidak mampu lagi untuk mengatasi masalah. Namun,
untuk mengakhiri pembahasan ini, perlu diungkapkan hal-hat yang berkaitan dengan
kesadaran masyarakat terhadap hukum, yaitu:
(1) penyuluhan hukum yang teratur;
(2) pemberian teladan yang baik dari petugas di dalam hal kepatuhan terhadap
hukum dan respek terhadap hukum;
(3) pelembagaan yang terencana dan terarah.
B. Usaha-Usaha Meningkatkan Kesadaran Hukum
Pada umumnya orang berpendapat bahwa kesadaran warga masyarakat
terhadap hukurn yang tinggi mengakibatkan para warga masyarakat mematuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya,apabila
kesadaran warga masyarakat terhadap hukum rendah, derajat kepatuhannya juga
rendah. Pernyataan yang demikian berkaitan dengan fungsi hukurn dalam
masyarakat atau efektivitas dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum dalam
masyarakat. Pernyataan yang lain adalah kesadaran masyarakatterhadap hukurn
mempunyai beberapa masalah di antaranya: apakah ketentuan hukum tertentu benar-
benar berfungsi atau tidak di dalam masyarakat. Misalnya, pada umumnya,
masyarakat yang mendiami kota Palu pada tahun 80-an membangun rumah tanpa
IMB (Izin Mendirikan Bangunan) sehingga sebagian jalan yang ada ditemukan
rnengikuti rumah. Akibatnya jalan-jalan itu sebagian tidak lurus. Contoh dimaksud,
menunjukkan rendahnya kesadaran warga masyarakat terhadap izin mendirikan
bangunan (IMB) di kota Palu.
Masalahnya adalah apakah kesadaran masyarakat tentang hukum sesederhana
itu, sebagaimana yang diungkapkan di atas? Kiranya tidaklah demikian. Sebab,
fungsi hukurn amat tergantung pada efektivitas menanamkan hukum tadi, reaksi
masyarakat dan jangka waktu untuk menanamkan hukum dimaksed. Misalnya,
apabila ada peraturan perundang-undangan yang baru metogenai perpajakan maka
pertama-tama yang perlu dilakukan adalah pengumuman melalui macam-macam alat
mass media. Kemudian, perlu diambil jangka waktu tertentu untuk menelaah reaksi
dari masyarakat. Apabila jangka waktu tersebut telah lampau, barulah diambil
tindakan yang tegas terhadap para pelanggarnya. Bila cara tersebut ditempuh, warga
masyarakat akan lebih menaruh respons terhadap hukurn termasuk penegak dan
pelaksanaannya.
Dengan demikian, masalah kesadaran hukurn warga masyarakat sebenarnya
menyangkut faktor-faktor apakah suatu ketentuan hukum tertentu diketahui,
dipahami, ditaati, dan dihargai? Apabila warga masyarakat hanya mengetahui adanya
suatu ketentuan hukum, maka taraf kesadaran hukumnya lebih rendah dari mereka
yang memahaminya, dan seterusnya. Hal itulah yang disebut legal corzscioacsness
atau knowledge and opinion about law. Hal-hat yang berkaitan dengan kesadaran
hukum akan diuraikan sebagai berikut.
1. Pengetahuan Hukum
Bila suatu peraturan perundang-undangan telah diimdangkan dan diterbitkan
menurut prosedur yang sah dan resmi, maka secara yuridis peraturan perundang-
undangan itu berlaku. Kemudian timbul asumsi bahwa setiap warga masyarakat
dianggap mengetahui adanya undang-undang tersebut, misalnya Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat: Namun, asumsi tersebut tidaklah
demikian kenyataannya.
Pengetahuan hukum masyarakat akan dapat diketaltui bila diajukan sepe-
rangkat pertanyaan mengenai pengetahuan hukum tertevtu. Pei-tanyaan dimaksud,
dijawab oleh masyarakat itu dengan benar sehingga kita dapat mengatakan bahwa
masyarakat itu sudah mempunyai pengetahuan hukum yang benar. Sebaliknya, bila
pertanyaan-pertanyaan dimaksud tidak dijawab dengan benar, dapat dikatakan
masyarakat itu belum atau kurang mempunyai pengetahuan hukum.
2. Pemahaman Hukum
Apabila pengetahuan hukum saja yang dimiliki oleh masyarakat, hal itu
belumlah memadai, masih diperlukan pemahaman atas hukum yang berlaku. Melalui
pemahaman hukum, masyarakat diharapkan memahami tujtaan peraturan perundang-
undangan serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh
peraturan perundang-undangan dimaksud.
Kalau ditelaah Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat, tidak semua kaidah yang tercantum di dalamnya dapat dimengeiti, apalagi
oleh masyarakat luas. Misalnya, ketentuan Pasal i l ayat (2), harta yang dikenai zakat
adalah:
1. emas, perak, dan uang;
2. perdagangan dan perusahaan;
3. hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan;
4. hasil pertambangan;
5. hasil peternakan;
6. hasil pendapatan dan jasa;
7. rikaz.
Sebagian besar warga masyarakat belum mengetahui sepenuhnya muatan
Pasal 11 ayat (2) tersebut sehingga amat sulit menentukan kesadarannya untuk
rnembayar zakat harta. Selain itu, lembaga amil zakat kurang transparan dalam hal
penerimaan dan pemanfaatan zakat.
Pemahaman hukum masyarakat akan dapat diketahui bila diajukan
seperangkat pertanyaan mengenai pemahaman hukum tertentn. Pertanyaan
dimaksud, dijawab oleh masyarakat itu dengan benar sehingga kita dapat
mengatakan bahwa masyarakat itu sudah mempunyai pemahaman hukum yang
benar. Sebaliknya, bila pertanyaan-pertanyaan dimaksud tidak dijawab dengan benar,
dapat dikatakan bahwa masyarakat itu belum memahami hukum.
3. Penaatan Hukum
Seorang warga masyarakat menaati hukum karena pelbagai sebab. Sebab-
sebab dimaksud, dapat dicontohkan sebagai berikut.
1) Takut karena sanksi negatif, apabila hukum dilanggar.
2) Untuk menjaga hubungan baik dengan penguasa.
3) Untuk menjaga hubungan baik dengan rekan-rekan sesamanya.
4) Karena hukum tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianut.
5) Kepentingannya terjamin.
Secara teoretis, faktor keempat merupakan hal yang paling baik. Hal itu
disebabkan pada faktor pertama, kedua, dan ketiga, penerapan hukum senantiasa
harus diawasi oleh petugas-petugas tertentu, agar hukum itu benar-benar ditaati di
dalam kenyataannya. Dalam hal ini, seyogianya ada suatu penelitian yang mendalam
mengenai derajat ketaatan terhadap Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999.
4. Pengharapan terhadap Hukum
Suatu norma hukum akan dihargai oleh warga masyarakat apabila ia telah
mengetahui, memahami, dan menaatinya. Artinya, dia benar-benar dapat merasakan
bahwa hukum tersebut menghasilkan ketertiban serta ketenteraman dalam dirinya.
Hukum tidak hanya berkaitan dengan segi lahiriah dari tnanusia, akan tetapi juga dari
segi batiniah.
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat berkaitan
dengan rukun Islam yang dapat menenteramkan batin bagi yang melaksanakannya
dan dapat mernbantu memenuhi kebutuhan mendesak bagi yang menerimanya, Oleh
karena itu, perlu diungkapkan bahwa status hukum zakat merupakan ibadah wajib
yang termasuk rukun Islam yang ketiga. Perintah zakat yang terdapat dalamAlquran
sebanyak 30 ayat atau tempat dan 28 kali iaerintah itu bergandengan dengan perintah
salat.
Zakat sebagai ibadah wajib kepadaAllah, mencerminkan hubungan manusia
sebagai hamba, dengan Tuhan sebagai Pencipta yang menetapkan kewajiban zakat
terhadap orang-yang memiliki harta kekayaan. Lembaga zakat mencerminkan nilai-
nilai keislaman dan ketakwaan bagi orang yang memiliki kewajiban untuk
menunaikannya. Zakat merupakan salah satu tolok ukur dalam mengetahui tingkat
ketakwaan seseorang di samping memilih fungsi kemasyarakatan.
Menurut H. Muhammad Daud Ali, fungsi kemasyarakatan yang terdapat
dalam zakat, ialah (1) mengangkat derajat fakir – miskin dan membantunya dari
kesulitan hidup serta penderitaan; (2) membantu memecahkan masalah yang
dihadapi oleh para gharinain, ibntl sabid, dan mustahik lainnya; (3) membentangkan
dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam datt manusia pada umumnya; (4)
menghilangkan sifat kikir dan sifat loba bagi pemitik harta; (5) membersihkan diri
dari sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dalam arti orang-orang miskin; (6)
menjembatani jurartg pemisah antara si kaya dengan si miskin dalam suatu
masyarakat; (7) mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang,
terutama pada mereka yang memiliki harta kekayaan; (8) mendidik manusia untuk
disiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang lain yang ada padanya;
(9) sarana pemerataan pendapatan (rezeki) untuk mewujudkan keadilan sosial.[4]
Berdasaakan fungsi zakat yang telah diuraikan di atas, baik fungsinya sebagai ibadah
wajib kepada Tuhan maupun fungsinya da(am masyat-akat, dapat diketahui bahwa
ditetapkannya zakat sebagai rukun Islam, mengandung hikmah: hikmah bagi
pemberi, hikmah bagi penerima, hikmah bagi pemberi dan penerima, dan hikmah
bagi harta itu sendiri.
5. Peningkatan Kesadaran Hukum
Peningkatan kesadaran hukum seyogianya dilakukan melalui penecangan dan
penyuluhan hukum yang teratur atas dasar perencanaan yang mantap. Penyuluhan
hukum bertujuan agar warga masyarakat mengetahui dan memahami hukum-hukum
tertentu, misalnya peraturan perundang-undangan tertentu mengenai zakat, pajak,
dan seterusnya. Peraturan dimaksud, dijelaskan melalui penerangan dan penyuluhan
hukum, mungkin hanya perlu dijelaskan pasal-pasal tertentu dari suatu peraturan
perundang-undangan, agar masyarakat merasakan manfaatnya. Penerangan dan
penyuluhan hukum harus disesuaikan dengan masalah-masalah hukum yang ada
dalam masyarakat pada suatu waktu yang menjadi sasaran penyuluhan hukum.[5]
Penyuluhan hukum merupakan tahap selanjutnya dari penerangan hukum. Tujuan
utama dari penerangan dan penyuluhan hukum adalah agar warga m-asyarakat
memahami hukum-hukum tertentu, sesuai masalah-masalah hukum yang sedang
dihadapi pada suatu saat. Penyuluhan hukum harus berisikan hak dan kewajiban di
bidang-bidang tertentu, serta manfaatnya biia hukum dimaksud ditaati.
Peoerangan dan penyuluhan hukum menjadi tugas dari kalangan hukum pada
umumnya, dan khususnya mereka yang mungkin secara langsung berhubungan
dengan warga masyarakat, yaitu petugas hukum. Yang disebutkan terakhir ini harus
diberikan pendidikan khusus, supaya mampu memberikan penei’angan dan
penyuluhan hukum. Jangan sampai terjadi petugas-petugas itulah yang justru
memanfaatkan hukum untuk kepentingan pribadi, dengan jalan menakut-nakuti
warga masyarakat yang awam terhadap hukum.
6. Paradigma Moral Penyelesaian Konflik dan Sengketa Pertanahan
ADA keyakinan pada diri penulis, tanah tidak dapat langsung menyajikan
kemakmuran, yang menyajikan kemakmuran adalah "pembangunan" di atas tanah
tersebut. Pengertian kata "pembangunan" pada dasarnya merupakan istilah yang
dapat dipakai dalam macam-macam konteks, dan seringkali digunakan dalam
konotasi politik dan idiologi tertentu. Hal tersebut sangat tergantung pada konteks
menggunakan dan untuk kepeningan apa. Pembangunan dapat dimaknai sebagai
perubahan sosial, pertumbuhan, progres, dan modernisasi. Dari pengertian
pembangunan di atas, arti yang paling makna positif adalah perubahan sosial.
Dalam melaksanakan pembangunan, yang merupakan bagian dari perubahan
sosial tidak jarang, terjadi ekses-ekses kebijakan oleh Pemerintah baik itu yang
bersifat positif maupun negatif bagi seseorang, kelompok tertentu (masyarakat
hukum adat misalnya) atau masyarakat pada umumnya.
Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pembangunan mungkin akan terjadi suatu
kondisi di mana seseorang, kelompok/golongan tertentu, atau masyarakat akan
merasa diuntungkan, sebaliknya terjadi pula dimana seseorang, kelompok/golongan
dirugikan. Atau dengan kata lain akan muncul seseorang maupun kolektif jadi
korban yang menderita kerugian akibat perbuatan (penerbitan keputusan) atau
bahkan sama sekali tidak melakukan perbuatan pada hal itu menjadi kewajibannya,
yaitu tidak menerbitkan Keutusan Tata Usaha Negara (Pasal 3 ayat (1) UU No 5
Tahun 1986 Jo UU No 9 Tahun 2004).
Dalam kaitan tersebut, jelas bahwa dalam pelaksanaan pembangunan akan
timbul korban baik perorangan maupun kelompok tertentu, korporasi, badan hukum
swasta, yang kalau tidak ditangani secara serius dan hati-hati akan menjadi konflik,
sengketa dan akhirnya kalau tidak dapat dikelola dengan baik akan bermuara ke
pengadilan. Secara riil di lapangan yang langsung menjadi objek atau korban adalah
para oknum atau anggota kelompok itu sendiri.
Pembaruan Agraria
Dalam Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, ditegaskan bahwa dalam Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan SDA harus dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan
perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hal yang lebih penting lagi, bahwa tanah merupakan perekat Negara Kesatuan
Republik Indonesia, oleh karena itu perlu dikelola secara Nasional dengan tetap
menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam tataran
empiris, kebijakan yang bersifat nasional tersebut tidak pula meninggalkan norma
yang tumbuh dan berkembang dalam komunitas tertentu seperti masyarakat hukum
adat yang eksistensinya masih ada di beberapa daerah tertentu seperti Sumatera
Barat, Propinsi Papua dan beberapa daerah lain di luar Pulau Jawa.
BPN-RI dengan Mandat Baru
Dalam Negara Kesatuan RI satu-satunya lembaga atau institusi yang sampai
saat ini diberikan kewenangan (kepercayaan) untuk mengemban amanah dalam
mengelola bidang pertanahan adalah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
(BPN-RI). Pasal 2 Peraturan Presiden (Perpres) No 10 Tahun 2006 tentang Badan
Pertanahan Nasional menyebutkan bahwa Badan Pertanahan Nasional mempunyai
tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional,
regional dan sektoral. Oleh karena itu, maka BPN-RI dengan mandat baru tersebut,
ke depan harus mampu memegang kendali perumusan kebijakan nasional di bidang
pertanahan , kebijakan teknis, perencanaan dan program, penyelenggaraan pelayanan
administrasi pertanahan dalam rangka menjamin kepastian hukum hak atas tanah,
penatagunaan tanah, reformasi agraria, penguasaan dan pemilikan hak atas tanah,
termasuk pemberdayaan masyarakat. Bahkan Institusi/lembaga ini salah satu misi
nya adalah melakukan pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan
konflik di bidang pertanahan.
Sebagai wujud keinginan dan kepedulian Pemerintah untuk menangani
konflik dan sengketa pertanahan yang mempunyai implikasi langsung terhadap
'korban" di bidang pertanahan, maka dalam pembentukan BPN-RI dengan visi dan
misi yang baru, di BPN Pusat telah dibentuk Deputi IV Bidang Pengkajian dan
Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (Pasal 343 Peraturan Kepala BPN No
3 Tahun 2006). Yang selanjutnya di tingkat Propinsi yaitu pada Kantor Wilayah BPN
dibentuk Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan ,
sedangkan di tingkat Kabupaten/ Kota, yaitu pada setiap Kantor Pertanahan
Kabupaten/ Kota dibentuk Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara (Pasal 4 dan 27, 32,
dan 53 Peraturan Kepala BPN No 4 Tahun 2006).
Sementara untuk mewujudkan visi dan misi BPN-RI yang baru tersebut,
Kepala BPN-RI Joyo Winoto, telah menetapkan sebelas agenda kegiatan, yaitu: 1)
Membangun kepercayaan masyarakat pada BPN; 2) Meningkatkan pelayanan dan
pelaksanaan pendaftaran tanah, serta sertifikasi tanah secara menyeluruh di seluruh
Indonesia; 3) Memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah; 4) Menyelesaikan
persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam dan daerah-daerah
konflik di seluruh tanah air; 5) Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah,
sengketa dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia secara sistematis; 6)
Membangun Sistem Infomasi dan Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS)
dan Sistem keamanan dokumen pertanahan di seluruh Indonesia; 7) Menangani
masalah KKN serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat; 8)
Membangun database penguasaan dan pemilikan tanah skala besar; 9) Melaksanakan
secara konsisten semua peraturan perundang-undangan pertanahan yang telah
ditetapkan; 10) Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional; dan 11)
Mengembangkan dan memperbaharui politik, hukum, dan kebijakan pertanahan.
Dalam konteks kebijakan pertanahan nasional, sebelas agenda di atas tidak
menegasikan wacana kedaerahan (regional) untuk menggali kearifan lokal dalam
penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang terdapat di beberapa
daerah di Indonesia, dalam bingkai Negara Kesatuan RI. Sebagai contoh, telah
dituangkannya substansi pengaturan bidang pertanahan pada Pasal 213 UU No 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Paradigma Moral
Berdasarkan hasil pengamatan penulis, penyelesaian konflik dan sengketa
serta perkara pertanahan pada masa lalu masih dilakukan melalui pendekatan
paradigma hukum normatif (tertulis) semata. Penyelesaian kasus-kasus pertanahan di
beberapa daerah di Propinsi Papua, kasus beberapa PT Perkebunan Nusantara
(PTPN) di Sumatera Utara, pendekatan hukum normatif masih sangat mendominasi.
Pada hal ternyata pendekatan tersebut, dalam tataran empiris kurang berhasil. Akar
permasalahannya adalah pendekatan paradigma hukum normatif (hukum tertulis)
alias hukum modern semata yang bersifat legal positivistic, akan mengakibatkan
hancurnya substansi norma hukum yang diyakini dan dipatuhi oleh masyarakat
hukum adat setempat. Satjipto Rahardjo dalam menggambarkan perseteruan antara
kedua sistem hukum tersebut mengibaratkan bagaikan seseorang memasukkan
seekor kambing dalam kandang harimau, dengan demikian tentunya kambingnya
akan dilahap. Oleh karena itu, dalam penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan
harus dibangun dengan paradigma "moral". Pihak yang mempunyai posisi tawar
yang kuat harus mengamalkan kejujuran, pengendalian diri, dan mengurangi sifat
keakuan (selfishness). Sedangkan paradigma moral yang dimaksudkan adalah akhlak
yang baik/mulia (akhlaq al-karimah). Atau menurut Sudjito (2005:1) disebut istilah
"moral religius", yang menyentuh semua sendi-sendi kehidupan bagi siapapun, di
manapun, dan kapanpun. Moral religius ini dari sisi sifatnya yang realistik
mengandung kebebasan, kelebihan maupun kelemahan yang melekat pada diri setiap
manusia. Oleh karena itu, dalam setiap penyelesaian konflik, sengketa dan perkara
pertanahan diharapkan paradigma moral lebih dikedepankan, ketimbang paradigma
hukum. Sifat merasa dirinya paling benar, paling baik, merasa bisa "sok rumangsa
bisa" harus ditinggalkan. Dengan demikian, dalam penyelesaian konflik, sengketa
dan perkara pertanahan tidak akan lagi jatuh korban-korban kebijakan, yang belum
jelas dari perlindungan hukumnya. q – g
7. Keberadaan Hukum Dalam Masyarakat Dalam Konteks Hak Asasi
Manusia Atau Ham
A. Pengertian hak asasi manusia atau ham
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan
Yang Maha Pencipta, hak-hak yang bersifat kodrati. Oleh karena itu, tidak ada
kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan
berarti manusia dengan hak-haknya itu dapat berbuat semau-maunya. Sebab apabila
seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan mengotori hak asasi orang
lain, ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pada hakikatnya HAM terdiri
atas dua hak dasar yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak
kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir HAM yang lain atau tampa hak dasar
kedua ini hak asasi manusia lainnya sulit untuk ditegakkan.
Hak asasi manusia yang dimaksudkan di Indonesia diatur melalui Undang-
undang Dasar. Baik dalam pembukaan maupun dalam batang tubuhnya. Namun, hak
asasi manusia/HAM secara khusus diatur dalam UUD nomor Tahun . oleh
karena itu, perbuatan seseorang atau kelompok termasuk aparat Negara, baik
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang melanggar hukum,
mengurangi, menghalangi, membatasi atau mencabut hak asasi manusia seseorang
atau kelompok yang dijamin oleh UUD.
Pelanggaran hak asasi manusia yang demikian, disebut hak asasi manusia
yang ringan. Lain halnya pelanggaran hak asasi yang berat, yaitu pembunuhan
missal, pembunuhan sewenang-wenang atau diluar putusan pengadilan, penyiksaan,
penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan
secara sistematis.
B. Ruang lingkup hak asasi manusia
Hak asasi manusia mempunyai ruang lingkup yang luas dan mencakup
berbagai aspek kehidupan. Hal ini diungkapkan sebagai berikut :
1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga dan kehormatan,
martabat, dan hak miliknya.
2. Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hokum sebagai manusia pribadi
dimana saja ia berada.
3. Setiap orang berhak atas rasa aman da tentram serta perlindungan terhadap
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
4. Setiap orang tidak boleh diganggu yang merupakan hak yang berkaitan dengan
kehidupan pribadi didalam tempat kediamannya.
5. Setiap orang berhak atas kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan komunikasi
melalui sareana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim
atau kekuasan lain yang sesuai dengan UUD.
6. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan
yang kejam, tidak manusiawi, dan membunuh.
7. Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditekan, disiksa, dikucilkan, diasingkan atau
dibuang secara swenang-wenang.
8. Setiap oranfg berhak hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang
damai, aman dan tenteram, dan menghormati, dan melindungi.
C. Latar belakang hak asasi manusia
Hak asasi manusia lahir bersama dengan manusia. Artinya, hak asasi manusia
timbul sejak adanya manusia. Perjanjian lama Genesis menceritakan terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia pertama ket5ika anak Nabi Adam as. Yang bernama
Qabil yang membunuh Adiknya Habil, karena rasa kecemburuan terhadap adiknya.
Kalau diperhatikan dari sejarah dunia, yaitu bangsa eropa yang perna
menjajah Negara benua Asia, Afrika, Australia. Hal ini juga termasuk salah satu
pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, para pejuang kemerdekaan bangsa
termasuk bangsa Indonesia. Memikirkan perlu adanya HAM. Namun demikian, ide
mengenai munculnya hak asasi manusia secara hokum ketatanegaran diperkirakan
pada abad tujuh belas dan delapan belas masehi. Hal ini terjadi sebagai reaksi
terhadap arogansi dan kediktatoran raja-raja dan kaum feodal terhadap rakyat yang
mereka perintah atau manusia yang di pekerjakan di zaman itu.
Dalam agama tauhid terkandung ide persamaan dan persaudaraan dalam
seluruh manusia. Bahkan bukan hanya itu saja, melaikan mencakup ide persamaan
dan persatuan semua makhluk, baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa.,
tumbu-tumbuhan. Tegasnya dalam agama tauhid terdapat pula ide prikemakhlukan,
disajmping ide prikemanusian.
Dalam ajaran agama islam ide prikemakhlukan itu mendorong manusia untuk
tidak bersikap sewenang-wenang, baik terhadap manusia atau terhadap makhluk lain
yang diciptakan oleh Allah SWT. Oleh karena itu manusia dilarang menyakiti
binatang. Seperti hadits Nabi Muhammad SAW. Mengungkapkan bahwa wanita
yang mengikat kucing, tidak memberinya makan dan tidak melepaskannya mencari
makan ia akan masuk neraka.
D. Perbedaan hak asasi manusia menurut hukum islam dan peraturan
perundang-undangan
Hak asasi manusia dalam versi peraturan perundang-undangan No. Tahun
dan versi PBB amat beda dengan versi yang terdapat dalam hukum islam. Sebab,
memiliki karateristik yang tidak dimiliki hak asasi manusia menurut peratura
perundang-undangan dan versi PBB.selain itu, khusus pasal yang tertuyang dalam
piagam PBB amat bertentangan dengan berbagai aspek hokum di Indonesia, baik
dalam konteks hokum adat maupun dalam konteks hokum islam. Demikian juga
dalam konteks hokum Negara Indonesia. Sebab sama sekali tidak menghiraukan
ajaran agama. Karateristik hokum islam sebagai berikut :
1) Bidimensional, sifat bidimensional mengandung makna baik maupun Illahiah.
2) Adil, dalam konteks ini sifat itu melekat sejak kaidah dalam syari’ah yang
ditetapkan.
3) Individualistic dan kemasyarakatan, sifat tersebut diikat oleh nilai-nilai
transedental atau wahyu Allah SWT kepada Nabi Muhammad SA
TUGAS
MATERI TENTANG
“SOSIOLOGI HUKUM”
OLEH :
KELOMPOK
� I KADEK AGUS HERMANTA D 101 09 616
� I WAYAN ANDIWAN WIJAYA D 101 09 624
� ANAK AGUNG PUTU RAI DUANA D 101 09 606
� I WAYAN URIP RIASA D 101 09 618
� I GUSTI NGURAH PUTU SUDARMANA D 101 09 615
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
2011